Vous êtes sur la page 1sur 18

-Seni sebagai penghubung Pertemuan : Sebuah Teori Komunikasi Ostensif

dari Terapi Seni-


-Art as relational encounter : an ostensive communication theory of art therapy-

Abstrak
Teori biopsikososial memperkuat psikoterapi dengan berfokus pada interaksi yang
melibatkan sistem attachment/keterikatan. Terapi seni berpotensi untuk selaras
secara koheren dengan teori saat ini asalkan sesuai dengan nilai seni yang terlibat
dengan sistem attachment/keterikatan. Artikel ini menjelaskan tentang teori
interpersonal dari terapi seni berdasarkan model komunikasi ostensive yang
mendukung sistem attachment sebagai mekanisme perubahan dalam segitiga
terapi seni, yakni hubungan antara klien, terapis, dan objek seni. Sebuah sketsa
kasus klinis, yang berasal dari deskripsi klien tentang pengalaman terapi seninya
dalam wawancara audio-image, menggambarkan tentang teori komunikasi
ostensive dan pengembangan kepercayaan epistemik dalam terapi seni.

Banyak praktisi melihat nilai dalam setiap penelitian dengan tujuan


meningkatkan hasil praktiknya. Meskipun begitu, tuntutan untuk selalu up-to-date
mungkin tampak menakutkan karena bukti yang dibutuhkan seringkali terletak
dalam temuan penelitian dari berbagai disiplin ilmu.
Upaya terbaru di bidang psikoterapi untuk membentuk beberapa bukti ke dalam
teori biopsikososial yang koheren telah menyatu kepada pentingnya keterikatan
manusia dalam mekanisme perubahan secara umum. Secara biologis tertanam pada
semua manusia, attachment /keterikatan adalah mekanisme utama
sebagaimana hubungan sosial yang kita gunakan untuk memproses sebuah
pengalaman. Oleh karena itu, psikoterapi dapat menjadi lebih efektif dengan
memprioritaskan interaksi interpersonal tertentu yang melibatkan sistem
attachment dalam kaitannya dengan distress. Penekanan pada “attachment”
sepertinya dapat meningkatkan keefektivitasan terapi seni.
Ahli terapi seni telah lama berusaha membedakan praktik mereka dari
psikoterapi verbal dengan menekankan hubungan segitiga yang berbeda dari terapi
seni. Konstruksi ini menggambarkan hubungan antara klien dan ahli terapi seni
baik pada hubungan interpersonal yang bersifat dyad/(bersifat hubungan dua
arah)/, seperti psikoterapi verbal, dan melalui yang ketiga, yakni entitas eksternal
dari objek seni.
Membedakan hubungan diadic/bersifat dua arah/ dan triangular akan membatasi
penerapan teori biopsikososial terhadap terapi seni. Kesenjangan pengetahuan akan
tampak jelas ketika hubungan segitiga diformulasikan dalam kerangka attachment.
Artikel ini mencoba untuk merelokasi hubungan segitiga sebagai proposisi
attachment sekaligus menawarkan model yang membentuk teori biopsikososial
dengan teori maupun praktik terapi seni.
Pertanyaan penelitian kami adalah ini: Nilai apa yang dapat berhubungan
dengan objek seni untuk menambah keterlibatan sistem attachment dalam seni
psikoterapi?

KETERIKATAN/ATTACHMENT SEBAGAI MEKANISME PERUBAHAN


PSIKOTERAPETIK
Model biopsikososial dari psikoterapi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allen
(2013), memaparkan emosi sebagai proses dari interaksi bersama antara regio
limbik dari otak dan tubuh. Oleh karena itu, tubuh mengumpulkan data dari
lingkungannya melalui panca indra, menilai data tersebut sebagai emosi dan, pada
gilirannya, memulai tindakan (dikenal sebagai skema motorik utama) yang
dimediasi melalui sekresi hormon. Respons emosional seperti itu dapat beroperasi
tanpa kesadaran sebagai suatu bentuk bertahan hidup (misalnya, bertarung atau lari/
flight or fight). Oleh karena daerah terbaru dari otak diatur oleh korteks,
bagaimanapun juga, manusia memiliki kapasitas untuk memperluas pemprosesan
emosi mereka di luar aktivasi skema motorik primer dengan membentuk
representasi di dalam pikiran mereka. Kedua sisi korteks dapat melakukan fokus
refleksif ganda: baik sebagai kesadaran nonkonseptual yang kosong, yang
disebut sebagai mindfulness, atau pengkodean dalam konteks sosial dan
otobiografi, yang disebut sebagai mentalizing. Fungsi reflektif ini dapat
menghambat skema motorik utama, yang memungkinkan manusia untuk berhenti,
mundur, dan mempertimbangkan pengalaman langsung dari perspektif abstrak
yang lain. Meskipun refleksivitas introspektif seperti itu merupakan proses yang
panjang dan rumit, namun hal tersebut memberikan keuntungan pada manusia
dengan cara mendukung kerja sama secara sosial dan perencanaan yang strategis.
Manusia membutuhkan periode ketergantungan yang panjang, di mana otak
bayi mereka secara bertahap "masuk ke/plug into/" otak pengganti yang lebih
matang. Penelitian interdisipliner menunjukkan bahwa sistem attachment
dijalankan untuk mengembangkan fungsi reflektif melalui interaksi sosial
(Allen, 2013). Seperti yang dijelaskan oleh Fonagy et al. (2015), hubungan pada
otak melalui keterikatan/attachment adalah, pada kenyataannya, merupakan
sarana yang kuat untuk bertukar informasi epistemik; yaitu, memberikan tanda
pada suatu kenyataan dengan konsep abstrak yang diperoleh dari perspektif orang
lain. Dengan mempertimbangkan sebuah situasi melalui perspektif orang lain,
seorang individu mendapatkan lebih banyak pilihan untuk bertindak
berkaitan dengan situasi tersebut. Dengan cara ini, manusia telah berevolusi
untuk memperoleh keuntungan dari suatu informasi melalui sarana biologis, (yaitu,
DNA) untuk pengembangan budaya, yang dalam konteks ini dapat didefinisikan
sebagai representasi mentalistik bersama antar manusia. Keterikatan/attachment
memungkinkan budaya manusia menjadi sumber daya yang dapat diandalkan untuk
menarik seluruh rentang kehidupan seseorang dalam memahami perasaan batiniah
serta dunia sekitarnya.
Khususnya, panjangnya periode manusia akan ketergantungannya terhadap
masa anak anak juga dapat menjadi sebuah resiko. Kualitas attachment dapat
menentukan keefektivitasan mental individu dalam mengatur emosi, berpikir
ke depan, dan bekerja sama secara sosial. Ketika lingkungan attachment tidak
dapat diandalkan, individu dapat belajar bahwa rasa percaya pada pikiran
orang lain adalah sebuah kesalahan. Reaksi semacam ini akan mengurangi
potensi dalam mengembangkan pengetahuan epistemik melalui pembelajaran
sosial. Selain itu, karena otak manusia sangat bergantung pada dasar
representasional, uniknya kita dapat terganggu oleh isi pikiran kita sendiri.
Penderitaan dapat melampaui saat-saat kesulitan yang sebenarnya jika hal tersebut
kembali kedalam pikiran melalui representasi yang menghilang secara sosial.
Representasi ini dapat memicu reaksi emosional yang kuat, sehingga
menciptakan lingkaran setan antara tubuh dan pikiran.
Penelitian oleh Baron-cohens tahun 2006, membantu memahami fungsi
representasi dalam pikiran yang sedang berkembang. Dia menggunakan istilah
representasi urutan pertama untuk menggambarkan persepsi yang diasumsikan
sebagai tiruan dari realitas. sebagai contoh, hal tersebut terjadi tanpa adanya
kesadaran reflexive bahwa satu persepsi tunduk pada interpretasi oleh diri sendiri
atau orang lain sebagai fenomena berbasis pikiran. Sebuah representasi urutan
kedua, sebaliknya, dialami sebagai interpretasi dari sebuah realitas. istilah “as
if/seolah olah” dibedakan dari realitas, yang memungkinkan kita melakukan
eksperimen dalam pikiran dengan tujuan membuat kesempatan membayangkan
terjadinya suatu peristiwa tertentu tanpa adanya ketakutan akan rusaknya realitas
yang sebenarnya.
(note : hanya mengandai andai, jadi tidak melakukan realitas yang sebenarnya)

Dengan demikian, individu dapat mundur dari situasi sebelum mengambil


tindakan dan memainkan skenario yang berbeda dalam pikirannya tanpa
memperhatikan konsekuensi dari kehidupan nyata. Keuntungan yang
ditawarkan oleh representasi urutan kedua terletak pada bagaimana mereka
"menggabungkan pikiran" yang mengandung lebih dari satu perspektif pada situasi
tertentu. Berbagai studi teori pikiran (misalnya, Baron-Cohen, 1991; Wimmer &
Perner, 1983) telah mendemonstrasikan prinsip yang mendasari representasi urutan
dua: Orang harus memahami bahwa representasi mental seseorang dari suatu situasi
berbeda dari sudut pandangnya sendiri untuk dapat memprediksi perilaku
berdasarkan adanya pemahaman.
Hal penting untuk psikoterapi adalah bahwa dengan kembali menarik
pertukaran representasi urutan kedua melalui sistem attachment, emosi dapat diberi
label ulang dan dengan demikian mengganggu siklus yang buruk ini. Meskipun
begitu, karena proses ini menetap pada proses sosial, kepercayaan epistemik tetap
menjadi yang utama, dan menimbulkan masalah dalam penatalaksanaannya,
termasuk pada tubuh; psikoterapi diminta untuk tidak hanya percaya pada orang
lain dalam melabel ulang perasaan itu sendiri. Setiap pengertian dari bagaimana
interaksi sosial dapat membangun kepercayaan epistemik dapat membantu
psikoterapis menggunakan mekanisme untuk berubah dari biopsikososial
yang kuat ini.

MODEL KOMUNIKASI OSTENSIVE


Munculnya teori terapi seni mengisyaratkan bahwa aktivitas fisik dari
pembuatan seni mungkin membuat data sensorik dan emosional lebih dapat
diterima oleh proses terapi yang terjadi didalam korteks. Meskipun begitu,
konsep seni itu sendiri telah didefinisikan dalam hal interaksi sosial, relatif terhadap
proposisi yang kuat ini. Kami mengusulkan bahwa terapi seni mungkin selaras
lebih efektif dengan model biopsikososial dengan membuat pengembangan
karya seni sebagai representasi urutan kedua untuk tujuan utama pengobatan
dan menggunakan sistem attachment/keterikatan pada klien sebagai
mekanisme untuk mempengaruhi tujuan tersebut. Nilai seni itu sendiri sebagai
suatu bentuk komunikasi ostensif mungkin menjadi kunci untuk menemukan
kesesuaian antara teori terapi seni yang ada dan model psikoterapi biopsikososial.
Dalam kerangka teori keterikatan/attachment theory (Bowlby, 1988),
komunikasi ostensif mengacu pada interaksi antara gerakan tubuh, nada
suara, dan arah pandangan antara pengasuh dan bayi. Teori Gergely (2007)
mengusulkan bahwa interaksi ini menjadi bahasa untuk intersubjektivitas ketika
dimediasi melalui tanda serta urutan pencerminan yang kontingen (nanti dijelaskan
kemudian)

KETIDAKTERLIHATAN DIRI
Komunikasi ostensif sebagai suatu proses sosial memiliki akar yang lebih dalam
pada perkembangan manusia serta attachment. Sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya, proses psikoterapetik pada otak membutuhkan keterikatan
timbal balik antara sistem neuron, kortikal dan limbik. pengetahuan mengenai
emosi merupakan aspek penting pada proses ini namun perkembangan dari
kemampuan ini menimbulkan suatu paradoxal. Berdasarkan van der kolk (2014),
neuroscience membenarkan bahwa “satu satunya jalan yang kita dapat akses
secara sadar dengan emosional otak adalah melalui self-awareness (kesadaran
diri). Yakni dengan cara mengaktivasi kortex prefrontal medial, bagian dari
otak yang sadar tentang apa yang terjadi didalam diri kita”. Melalui anggapan
yang sama ini, introspeksi terapetik ternyata bukan merupakan proses yang
sederhana dikarenakan “kebanyakan otak yang sadar didedikasikan untuk berfokus
pada dunia luar“. Dengan ketidakadaan alat introspektif dan dengan pilihan untuk
memfokuskan perhatian pada stimulus eksternal, bayi itu sendiri akan menjadi
“tidak tampak”. Oleh karena itu, hanya poin awal dari kesadaran diri saja yang
membutuhkan elaborasi/perluasan melalui proses sosial dari attachment.
Identifikasi terhadap mekanisme neurologis yang menggerakkan diri yang tak
kasat mata menuju potensinya untuk mengintrospeksi dibantu oleh penemuan
neuron pencerminan/mirror neurons. Rizzolatti, Fadiga, Gallese, dan Fogassi
(1996) menemukan bahwa neuron-neuron ini meniru perilaku yang lain,
seolah-olah melalui tindakan pengamatan seorang pengamat yang sedang
mengamati selfacting nya sendiri. Neuron cermin/mirror menciptakan
semacam "wifi saraf" antar otak. Pada perkembangan awal, pengasuh bayi
mencerminkan dan memberi label skema motorik utama bayi, yang dianggap
sebagai kunci dalam memahami perkembangan diri secara subjektif dan
intersubjektivitas antar manusia. Unsur-unsur ini membentuk dasar komunikasi
ostensive (Tabel 1).

Model ini mengidentifikasi hal yang tidak disadari atau “diri yang tak
terlihat” dengan preferensi terhadap fokus external yang mengembangkan kapasitas
intersubjektivitas melalui pengalaman pencerminan yang mengisyaratkan
penerimaan dan kesiapan untuk diperhatikan bersama. Unsur teoritis utama di sini
adalah bahwa, berlawanan dengan intuisi, pengalaman pribadi dalam diri individu
dimulai sebagai proses interpersonal antar individu. Tanpa pencerminan, emosi
adalah skema motor utama yang tidak ada artinya.
JENIS JENIS PENCERMINAN
Komunikasi ostensive didasari pada banyaknya asumpsi. Seperti yang
dijelaskan sebelumnya, dikarenakan skema motorik primer merupakan manifestasi
eksternal dari bagaimana mekanisme sistem limbik berekasi, hal tersebut dianggap
mampu mewakili sebuah keadaan emosional dari bayi terhadap pengasuhnya.
Pengasuh berinvestasi dengan tetap melacak komunikasi motorik pada bayi,
mencatat kapan hal tersebut terjadi dan menyimpulkan keadaan subjektif
berdasarkan pengawasan yang mereka lakukan. Keputusan ini kemudian
diberikan kembali ke pada bayi, melalui pencerminan ekspresi wajah dan
nada bicara, sesuai dengan informasi epistemik. Secara bersamaan, bayi
memiliki prefensi bawaan untuk mengikuti stimulus eksternal tersebut,
khususnya melalui kontak mata dengan pengasuh nya yang menawarkan
pencerminan/mirroring. Pencerminan dimediasi melalui gestur eksternal,
yang memfasilitasi adanya intersubjektifitas. Sebagaimana yang tampak pada
tabel 1, pengasuh menawarkan dua jenis pencerminan : contingent dan
responding, yang merujuk pada ketepatan dalam meniru gestur tubuh,
ditandai dengan mekanisme deteksi dimana bayi menunjukkan preferensinya
terhadap fenomena yang mereka lakukan. Sebagai contoh, penelitian oleh watson
(1994), ketika bayi dipaparkan video langsung/live yang berisi diri mereka
sedang menendang nendang kaki, mereka tampak tertarik, namun ketika
ditambahkan waktu tambahan/time delay, bayi tersebut tampak kehilangan
minat. Deteksi contingent juga mengeluarkan oksitosin, menandakan
terjadinya penurunan respon untuk berhati hati/bersikap waspada dan
mendesak untuk bersikap lebih toleran dimana sikap ini diperlukan untuk
suatu interaksi.
Marked mirroring (pencerminan yang jelas) merupakan elaborasi dari respon
contingent awal yang ditandai dengan beberapa perilaku pengasuh seperti
menaikkan alis mata, menyempitkan atau meluaskan mata, dan intonasi yang
diarahkan pada bayi (“baby talk”/motherese”). Hal yang dipengaruhi ini “tidak
secara nyata untuk pengasuh” namun sebagai respon terhadap gestur bayi. Mereka
ditawarkan sebagai sebuah versi “penerima-yang telah sesuai” dari manifestasi
motorik bayi, menciptakan kesempatan untuk belajar meniru. Marking
mengirimkan representasi urutan ke dua sebagai versi elaborasi dari realitas dan
merupakan pembagian dari informasi kontemplatif melalui perhatian bersama.
Pentingnya mirroring sebagai komunikasi ostensif memiliki makna yang kuat
pada eksperimen. Penelitian klasik ini menunjukkan bahwa bayi merespon
contingent mirroring (pencerminan contingen) secara visual ketika hal tersebut
memiliki akurasi yang tinggi. Sikap reseptif yang dibuat memungkinkan
dilakukannya proses pengambilan dan penandaan/marking yang menyenangkan.
Ketika ibu mencoba menghentikan komunikasi ostensive dengan membuat
wajah yang tidak ada ekspresi, ternyata hal tersebut dapat menyebabkan
distress yang besar dan kekacauan pada bayinya. Ketika ibu mulai mencoba
contingent mirroring lagi, distress serta ketidakteraturannya pun menghilang.

KOMUNIKASI OSTENSIVE PADA TERAPI SENI


Proses mendasar yang telah dijelaskan sebelumnya telah dijalankan untuk
psikoterapi. Bateman dan fonagy (2006) merujuk pada respon contingen, dimana
mereka menulis :
“Pasien harus mencari diri mereka sendiri didalam pikiran terapis, dan, sama
halnya dengan terapis yang harus mengerti dirinya sendiri didalam pikiran
pasien. Jika keduanya bersama sama mengembangkan proses mentalisasi.
Keduanya juga harus mengalami perubahan pikiran,”
Penulis juga mengindentifikasikan tujuan pengobatan pada dasarnya adalah salah
satu bentuk marked responding, dituliskan bahwa terapis harus “terus memberikan
pandangan dunia internal yang stabil dan jelas (masuk akal) agar tujuan ini dapat
diambil oleh klien” (Bateman & Fonagy, 2004, p.26).
Komunikasi ostensif menyimpan elemen-elemen untuk membangun teori-
keterikatan dari seni yang jelas/koheren dalam terapi seni. Seni dapat
diposisikan secara relasional sebagai bagian dari tahap pertemuan. Argumen
ini sesuai dengan penolakan pada lapangan dari kaum elit dan definisi problematik
mengenai seni berdasarkan standar komersial, opini para ahli, dan norma galeri
abad 20-an, yang memisahkan antara seniman dan penikmat seni. Perlu
diperhatikan bahwa seni kontemporer juga tidak lagi berpegang pada asumsi ini,
Bourriaud (2002) menegaskan bahwa seni dapat bersifat relasional,
menganggapnya sebagai “cakrawala teoritis-nya dunia interaksi manusia dan
konteks sosialnya” dibanding sebagai tempat symbol independen atau pribadi (p.
14). Dengan demikian, ketika seni melibatkan seniman dan penikmat seni, hal
tersebut menjadi “sarana pertukaran” antara pembuat seni dan penikmat seni.
Komunikasi ostensive mendukung posisi objek seni adalah hanya karena
orang-orang yang membuatnya menjadi seni. Tanpa orang-orang yang
menggunakan seni-seni tersebut untuk tujuan sosial, lukisan tetap akan menjadi
kanvas biasa dan tanpa warna, pahatan hanya sebagai batu atau metal.
Kami mungkin menanyakan pertanyaan ini: Apa yang membuat material objek
relasional dan menjadikannya sebuah seni? Teori komunikasi ostensive
menunjukan bahwa karena objek seni merupakan bagian eksternal dari sebuah
subject yang mengamatinya, objek objek tersebut menawarkan medium yang sama
bagi pikiran untuk masing-masing bertemu melalui proses pencerminan
(mirroring). Memang, pengalaman kami sendiri menegaskan bahwa mirroring yang
kentara/marked mirroring kemungkinan besar merupakan dasar bagaimana
manusia melihat seni. Contohnya, kita nampaknya membutuhkan seni baik sebagai
sesuatu yang familiar maupun sesuatu yang baru pada yang saat bersamaan :
familiar, seperti ingin menyadari pengalaman kita dalam karya seni sehingga hal
tersebut dapat menemukan dimana kita saat itu (kontingen), tapi juga menginginkan
seni dapat memindahkan kita, untuk menawarkan perspektif baru pada pengalaman
tersebut (ditandai).
Kami telah menyadari terdapat preokupasi dalam membuat dan menyajikan
seni dengan menilai keaslian dari ekspresi seni tersebut; kurangnya kebenaran
merusak keterlibatan artistic seperti mantra yang menghilang. Sebaliknya, seni
yang asli sering menghasilkan perasaan aneh bahwa kita telah bertemu seseorang
yang berbagi pengalaman kepada kita dan “mengerti” kita, bahkan jika empati ini
disalurkan hanya melalui objek seni dan bukan orang yang sebenarnya. Dalam
terapi seni, pengalaman ini mungkin diperkuat ketika baik seniman dan penikmat
seni ada.
(Note : seni tidak ada artinya bila tidak disandingkan dengan terapi seni, seni dapat
menjadi objek bagi klien untuk menyalurkan pengalaman buruknya, melalui seni yang klien
gambar, para terapis seni diharap mampu membaca isi pikiran dan sifat dari klien tersebut)

Jika manusia membuat suatu makna melalui keterikatan/attachment, maka


teori komunikasi ostensif membutuhkan benda benda seni untuk di
interpersonalisasi sebelum dapat dijalani secara personal. Untuk tujuan ini, ahli
terapi seni mungkin berasumsi bahwa klien membuat seni untuk orang lain (kepada
terapis atau kepada anggota kelompok). Meskipun begitu, Seni tidak secara
otomatis dapat menciptakan suatu pertemuan. Banyak klien yang merujuk pada
terapi seni ternyata menganggap pengalaman seni sebagai sesuatu yang asing bagi
mereka, baik di sekolah mereka maupun yang berhubungan dengan dunia seni.
Klien yang mengalami gangguan attachment/keterikatan, akan memiliki
kepercayaan epistemik yang rendah, mereka menggambarkan pengalaman asing
mereka saat di museum atau galeri seni, sebagai sebuah kisah dari kesalahan
pemadam kebakaran pada instalasi seni. Sikap waspada mereka merujuk kepada
rasa takut yang keliru melalui kepercayaan epistemik pada seni.
Dengan demikian, pertemuan kembali fase awal klien dengan seni
membutuhkan perhatian bersama mulai dari ahli terapi seni, yang tugasnya
dapat didefinisikan sebagai : untuk mendapatkan kepercayaan epistemik
mereka melalui demonstrasi berulang, bersikap ostensif bahwa tujuan mereka
sudah relevan dan jinak.

(note : mereka yang rasa keterikatannya rendah, biasanya tidak suka hal hal yang
berhubungan dengan seni oleh karena itu dibutuhkan ahli terapi seni untuk membantu
mereka agar mau berbubungan dengan seni tersebut)

Bukti menunjukkan bahwa kepercayaan tidak hanya diperoleh melalui


interaksi terhadap seni tetapi juga melibatkan semua interaksi dalam terapi
seni. Penelitian yang dilakukan oleh Evans dan dubowski (2001) dengan anak muda
yang didiagnosis sprektum autistik mengkoleksi dan menganalisis data yang
diperoleh dari sesi pertama rekaman video terapi seni. Para penulis
mengidentifikasi saat-saat krusial antara terapis dan klien dalam berbagai
pertukaran di ruangan. Ketika beberapa momen dilewatkan dan tidak dicerminkan
oleh ahli terapi seni, klien sering kali menjadi tampak cemas atau agresif.
Sebaliknya, ketika terapis seni mengidentifikasi isyarat yang tertangkap di video
dan kemudian memastikan tanggapan kepada mereka dalam sesi tersebut, sikap
agresi tampak menurun dan terjadi peningkatan keterlibatan pasien pun meningkat.
Temuan ini berhubungan dengan perubahan pada karya seni klien, yang berubah
mulai dari gambar yang skematik ke gambar yang lebih playful/lucu serta lebih
eksploratif. Mirip dengan penelitian tersebut, Ball (2002) menemukan adanya
peningkatan kerjasama antara terapis seni dengan anak anak pada semua aktifitas
sesi terapi yang berhubungan dengan besarnya kontrol perhatian serta lebih reliabel
dalam mengidentifikasi diri pada gambaran serta verbalisasi anak anak tersebut.
Penelitian terbaru oleh springham dan camic (2017) menemukan bahwa
ketika terapis seni secara eskplisit menunjukkan minat mereka pada karya
seni klien yang didiagnosis dengan gangguan kepribadian borderline, terdapat
lebih sedikit interaksi terhadap karya seni yang “diacuhkan”, serta tingginya
jumlah momen untuk saling bekerja sama atau saling berbagi perhatian
terhadap karya seni. Momen momen ini di sesuai dengan penelitian gergely
(2007) yakni deskripsi tentang sikap reseptif. Sebaliknya, interaksi yang tidak
efektif meningkat ketika para terapis seni tidak memberi isyarat dan minat
secara ostensif, meskipun mereka mengaku telah memberikan minat mereka
secara subjektif.
Kesimpulannya, kami berpendapat bahwa seni dapat berfungsi sebagai bahan
untuk mentransfer informasi budaya antar manusia. Jika kami menerima bahwa
objek-objek eksternal ini dalam bentuk komunikasi ostensive, maka istilah
“seni/art” akan tampak lebih jelas merujuk pada proses konstriuksi sosial yang
diterapkan pada benda benda seni sebagai objeknya. Sistem attachment/keterikatan,
yang memfasilitasi istilah komunikasi ostensive, kemudian berdampak langsung
pada semua aspek seni. Teori ini menyoroti kelemahan yang potensial dari
pengakuan bahwa objek seni terkadang memproses pengalaman secara independen
dan diluar dari hubungan manusia.
Kami berpendapat bahwa posisi seni sebagai suatu pertemuan dalam sistem
komunikasi ostensif pada terapi seni dapat meningkatkan ketersediaan
representasi mentalistik untuk klien karena hal tersebut dapat mempengaruhi
sistem attachment/keterikatan. Interaksi sosial pada terapi seni berguna untuk
mengembangkan karya seni mulai dari urutan representasi pertama hingga kedua
sehingga dapat melindungi keadaan subjektif yang bermasalah. Kasus vignette
berikutnya, diangkat dari kajian klien terhadap terapi seni yang ia jalani melalui
wawancara yang direkam menggunakan audio-image, mampu menggambarkan
proposisi ini. Klien (pseudonym Kitty) sedang menjalani terapi dengan penulis
pertama, telah membaca artikel ini, dan memverifikasi analisis dari kami begitu
juga dengan materi yang ia tambahkan.

CONTOH KASUS
Selama masa kecilnya, ibu Kitty mengalami episode psikosis berulang dan sering
dirawat di rumah sakit. Sejak usia muda, Kitty sering membantu ibunya untuk
melakukan tugas-tugas dasar seperti mandi, obat-obatan, makan, dan tidur. Dia juga
membantu membanting panci untuk mengusir hantu yang dipercaya ibunya telah
membuat dia terpenjara di dalam kamar tersebut. Ayah Kitty berjuang untuk
menerima kenyataan ini. Kapan pun subjek dibesarkan, dia(laki-laki/ayah kitty)
menganggap bahwa penderitaan ibu terhadap anak-anaknya membuat ia menjadi
tertekan dan dia melarang mereka (anak anaknya) untuk membicarakan hal
tersebut.
Kakak perempuan Kitty menghabiskan waktu selama 3 tahun di sebuah
institusi psikiatri sejak usia 16 tahun dan kehilangannya dalam keluarga tersebut
cukup traumatis. Dengan pengalaman ini, Kitty belajar bahwa berbicara itu bersifat
merusak. Dia mengatasi masalah tersebut (koping) dengan melakukan self-
harm/membahayakan diri sendiri, penyalahgunaan zat, dan meminum obat
penghilang rasa sakit. Kitty sangat ingin adanya kemajuan dalam hidupnya dan
selalu senang membantu orang lain. Dia mencoba pelatihan untuk menjadi perawat,
tetapi pelatihan tersebut harus terhenti dikarenakan kurus pelatihan tersebut
membuat dia merasakan kecemasan dan depresi yang menyiksa. Kitty ditawarkan
waktu selama 18 bulan untuk melakukan perawatan berbasis mentalisasi (Bateman
& Fonagy, 2006), yang termasuk komponen kelompok terapi seni.
Dalam kajian anamnesis ini, Kitty menegaskan bahwa non--komunikasi
dalam keluarganya dihilangkan karena secara efektif dapat membuat suatu
pengalaman diproses diluar kendali oleh sistem attachment. Stresor ini memiliki
hasil ganda: kurangnya pengalaman tentang bagaimana mengkomunikasikan
emosi dan merupakan sebuah tanda dari komunikasi yang tidak aman, yang
digeneralisasikan ke semua area kehidupan Kitty.
Selama mewawancarai kitty, Kitty memilih dan merefleksikan dua
gambar seni yang dia buat dalam terapi. Gambar 1 menggambarkan
seseorang di dalam kotak yang kokoh. Dia menggambarkan karya seni pertama
ini sebagai berikut :

“Itu ada hubungannya dengan sesuatu yang terjebak di kepala saya. Benar-benar
tidak ada tempat untuk pergi dalam gambar itu, tidak ada celah, tidak ada yang
hilang. . . isolasi total. Hal itu mengikutiku terus. Ada begitu banyak di kepala saya,
itu seperti longsoran salju: Anda mengatakan satu hal dan sisanya akan mengikuti.
. . tidak ada akal atau alasan. Saya bersikeras saya tidak akan mempercayai siapa
pun dengan hal ini [dan] kelompok terapi seni yang saya temukan sangat sulit hanya
karena membiarkan orang orang masuk ke dalamnya. Semua ini diluar kehendak
saya apa yang mereka kira tentang gambar tersebut dan apa yang saya katakan. Hal
tersebut amat sangat menyita waktu yang lama untuk berubah”
Kitty menjelaskan tahap emosinya sebagai representasi urutan pertama
: Kata-katanya mengungkapkan pengalaman kecemasan yang tidak
terwakili, di mana segalanya “ tampak nyata”. Kepercayaan epistemik Kitty
termasuk yang rendah. Komunikasi dalam kelompoknya sangat minim,
dengan sedikit kontak mata. Upaya-upaya dalam penjabaran bersama dengan
orang lain sangat sulit baginya. Kitty menggambarkan karya seni yang dibuatnya
setelah menjalani terapi (Gambar 2), sebagai berikut :

“Saya menyadari kegelisahan saya bukan merupakan bagian dari kekacauan, hal
tersebut merupakan sesuatu yang berasal dari entitas saya sendiri dan hal tersebut
terpisah dari sesuatu yang terjadi dalam hidup saya dan dengan menyadari bahwa
hal tersebut membuat saya untuk mencoba membicarakannya lebih sering dan
mencoba untuk memisahkan apa yang ada dalam kecemasan itu. Itu bukan
merupakan gambaran tentang apa yang membuat saya gelisah [dan] juga bukan
karena setiap angin badai memiliki maknanya sendiri. Hanya saja angin puyuh
tersebut tampak tetap pada pendiriannya. Hal tersebut memberikan saya momen
seperti “light bulb” bahwa ini mungkin yang saya rasakan — tetapi sebenarnya saya
memang benar benar merasakannya. Hal tersebut valid/sah, tetapi tidak selalu ada
di sana. Hal tersebut memberikan saya perasaan keterpisahan, bahwa sesuatu
memang tetap pada pendiriannya, yang bisa abaikan atau bicarakan dan coba untuk
tangani. Mempercayai [terapis], ketika anda membicarakan hal tersebut biasanya
tidak sama seperti kenyataannya. Saya tidak mendapatkan tempat tinggal di kepala
saya sendiri jadi saya mungkin juga memberi kesempatan terhadap sudut pandang
yang lain”.

Dalam kutipan ini kita melihat bahwa deskripsi emosi-emosi Kitty


dielaborasi dengan ide-ide dari orang lain. Kesadaran seperti itu memberikan
Kitty jarak yang sangat penting untuk melakukan pertimbangan dalam menandai
hal tersebut dengan berbagai perasaan dan struktur yang bersifat sementara. Karena
lukisan dapat menggambarkan serta berbicara tentang “seolah olah/as if” dalam
istilah-istilah representasi, keadaan emosional yang dirujuknya memiliki kekuatan
yang jauh lebih tidak merusak/ lebih tidak destruktif. Perubahan ini kemungkinan
adalah hasil dari keberaniannya untuk percaya pada epistemik. Di akhir
renungannya, Kitty kemudian diwawancara ulang agar kami dapat
memahami elemen apa dalam terapi seni yang membantu baginya untuk
mencapai kepercayaan seperti itu.
Kami menemukan dua tema utama: pertama, bahwa batasan serta aturan
dititrasinya berdasarkan kontak manusia, dan kedua, bahwa minat yang ia alami
tampaknya tulus berasal dari dirinya. Dengan memperinci tema pertama, Kitty
menggambarkan bahwa dia menemukan kontak manusia termasuk sesuatu yang
berbahaya dan aturan yang jelas dapat mengurangi pandangan tersebut :

“Dengan adanya orang lain di dalam kelompok, saya khawatir gambar tentang diri
saya berdampak terhadap mereka dan bagaimana perasaan mereka tetapi saya harus
mengatakan pada diri saya sendiri bahwa seorang profesional bisa saja mengambil
langkah mundur. Saya tahu posisi saya dengan para profesional, itu tidak akan pergi
terlalu jauh dan saya juga tidak berada di luar sana mengatakan "apa yang akan
mereka pikirkan" atau "apa konsekuensi dari mengatakan hal ini" Saya percaya
kepada Anda [terapis seni] karena Anda telah membuktikannya dengan menjadi
orang yang dapat dipercaya, dengan cara lain seperti melalui telefon ketika Anda
mengatakan akan melakukannya.”

Sehubungan dengan elemen kunci kedua dalam perawatan terapi seninya,


dimana minat tersebut dikembalikan kepadanya, Kitty menyatakan:
“Anda tampaknya hampir menangkap dan tertarik pada hal-hal yang bahkan tidak
saya pikirkan dalam gambar yang saya buat. Saya memercayai minat itu karena
tampak sangat mantap, anda tidak dapat membiarkannya jatuh dan Anda datang
seolah Anda benar-benar ingin mendapatkan intinya. Jika itu hanya kasus “Itu
gambar anda, Anda terlihat sedih. Baik. Kami hanya akan melanjutkan ke yang
berikutnya", Saya tidak akan mampu mengatasinya. Sebaliknya, Anda memberi
saya kesempatan untuk menjelaskan bagaimana perasaan saya, dimana biasanya
saya merupakan orang yang tertutup. Sekali lagi, hal tersebut memang
membutuhkan waktu tetapi saya pikir memang sudah seharusnya begitu karena
Anda mengajukan pertanyaan tentang hal itu dan Anda tertarik dan itu membuat
saya berbicara tentang hal itu sedikit lebih banyak, lama kelamaan saya berpikir
"tetap pada cara berpikir saya sendiri atau mencoba pemikiran Anda."

Kitty melanjutkan, mencatat hal tersebut dalam terapi seni:

“Tidak ada yang diberhentikan, dan Anda mengajukan pertanyaan dan Anda cukup
baik dalam hal itu. Sebuah validasi menurut ku, apa yang telah Anda ambil dan apa
yang Anda rasakan dapat dikenali seseorang merupakan sesuatu yang nyata dan
penting. Saya bisa melihat validasi tetapi butuh waktu beberapa saat untuk
merasakannya. Butuh beberapa saat untuk mulai berbicara tentang gambar orang
lain karena saya cenderung mengatakan apa yang saya pikir ingin mereka dengar.
Setelah saya terbiasa berbicara dengan anggota kelompok lain dan tidak hanya
setuju dengan mereka, mereka dapat melihat berbagai hal. Kemudian ketika saya
menyadari ide-ide mereka dalam seni mereka tidak begitu jauh dari punya saya dan
saya bisa melihat diri saya sendiri dalam apa yang mereka gambar”

KESIMPULAN
Teori terapi seni memiliki potensi untuk berjalan selaras secara koheren
dengan teori attachment, asalkan hal tersebut membahas nilai seni dan
melibatkan sistem attachment. Menurut kami, teori komunikasi ostensive
(Gergely, 2007) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan umum antara hubungan
terapi seni dyadic dan triangular dan mungkin menyesatkan karena semua
intersubjektivitas berada pada tingkat yang dimediasi melalui hubungan
segitiga/triangular. Oleh karena itu, nilai khusus yang ditambahkan oleh seni ke
dalam hubungan psikoterapeutik bukanlah suatu bentuk segitiga/triangular
yang unik, tetapi seni itu sendiri menawarkan kesempatan pencerminan yang
kuat dalam sistem komunikasi ostensif yang memang selalu berbentuk
segitiga/triangular. Selain itu, seni sangat berguna untuk “menandai” pengalaman
melalui pencerminan/mirroring karena objek seni begitu mudah menandakan
kualitas “tidak nyata”nya, yang dapat mengurangi risiko pertemuan relasional agar
tidak terlalu intens.
Kami berpendapat bahwa teori komunikasi ostensive juga memiliki sejumlah
implikasi yang signifikan terhadap praktik terapi seni. Pertama, jika terapis
bermaksud menggunakan sistem attachment untuk memanfaatkan kepercayaan
epistemik, mereka harus menyadari bahwa niat subyektif mereka tidak akan terlihat
oleh klien kecuali jika secara tegas ditunjukkan; yakni dengan; “melihat berarti
percaya”. Ketertarikan manusia merupakan agen yang diperlukan dalam
keterikatan/attachment dan hal ini membutuhkan sikap emosional dari terapis.
Kedua, minat yang tulus sebagai suatu respons kontingen tidak dapat
diformulasikan karena manusia membuat pengungkapan yang tak disadari melalui
bahasa tubuh. Klien peka terhadap berbagai pengungkapan ini sebagai cara untuk
menilai suatu kepercayaan karena hal tersebut dianggap sangat penting. Terapis
seni mungkin menawarkan sebuah seni karena mereka sendiri telah familier
atau memiliki keakraban tinggi serta kepercayaan epistemik pada seni
tersebut.
Kami membutuhkan daya tarik dari keaslian seni karena keaslian tersebut
terpampang jelas;; hal tersebut membuka kesempatan untuk melakukan
pencerminan kontingen terhadap klien dalam usaha menemukan diri mereka
di dalam pikiran terapis seni. Yang paling penting, ahli terapi seni tidak hanya
menyarankan seni sebagai cara bagi klien untuk mengekspresikan diri tetapi
juga menekankan kepada klien bahwa karya seni mereka sangat membantu
bagi terapis seni untuk memahami klien sebanyak mungkin.
Komunikasi ini memiliki arti bahwa subjek manusia yang nyata berada di
ujung penerimaan dari ungkapan tersebut — karya seni diarahkan kepada
seseorang dan bukan kekosongan yang harus diisi, misalnya, keterikatan dengan
sosok di masa lalu. Yang terakhir, meskipun respon kontingen mungkin
membuka kemungkinan akan adanya keterkaitan, kualitas penerimaan itu
bersifat "termodinamik", yakni tidak bertahan lama dan membutuhkan
tambahan tenaga yang konstan. Oleh karena itu, terapis seni ditantang agar
lebih cepat dan ringkas dalam melakukan marking/penandaan untuk
mencegah pembagian perspektif yang berlebihan atau elaborasi pada karya
seni klien agar tidak kehilangan momen penerimaan/receptive moment.
Dengan cara ini pencapaian sebuah seni dalam terapi seni mungkin
didefinisikan oleh suatu keberhasilan dalam memanfaatkan peluang
pencerminan/mirroring dalam membentuk representasi urutan kedua yang lebih
relevan.
Kami mengakui bahwa konstruksi teori terapi seni ini belum diuji secara
empiris. Implikasi kepada penelitian adalah bahwa hasil studi harus selalu
memantau keefektivitasan komunikasi ostensif dengan cara merekam atau
memfilimkan sesi terapi karena proses relasional ini mungkin terbukti sebagai
sebuah penentu keefektifitasan yang lebih besar daripada prosedur klinis lainnya.

Vous aimerez peut-être aussi