Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Abstrak
Teori biopsikososial memperkuat psikoterapi dengan berfokus pada interaksi yang
melibatkan sistem attachment/keterikatan. Terapi seni berpotensi untuk selaras
secara koheren dengan teori saat ini asalkan sesuai dengan nilai seni yang terlibat
dengan sistem attachment/keterikatan. Artikel ini menjelaskan tentang teori
interpersonal dari terapi seni berdasarkan model komunikasi ostensive yang
mendukung sistem attachment sebagai mekanisme perubahan dalam segitiga
terapi seni, yakni hubungan antara klien, terapis, dan objek seni. Sebuah sketsa
kasus klinis, yang berasal dari deskripsi klien tentang pengalaman terapi seninya
dalam wawancara audio-image, menggambarkan tentang teori komunikasi
ostensive dan pengembangan kepercayaan epistemik dalam terapi seni.
KETIDAKTERLIHATAN DIRI
Komunikasi ostensif sebagai suatu proses sosial memiliki akar yang lebih dalam
pada perkembangan manusia serta attachment. Sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya, proses psikoterapetik pada otak membutuhkan keterikatan
timbal balik antara sistem neuron, kortikal dan limbik. pengetahuan mengenai
emosi merupakan aspek penting pada proses ini namun perkembangan dari
kemampuan ini menimbulkan suatu paradoxal. Berdasarkan van der kolk (2014),
neuroscience membenarkan bahwa “satu satunya jalan yang kita dapat akses
secara sadar dengan emosional otak adalah melalui self-awareness (kesadaran
diri). Yakni dengan cara mengaktivasi kortex prefrontal medial, bagian dari
otak yang sadar tentang apa yang terjadi didalam diri kita”. Melalui anggapan
yang sama ini, introspeksi terapetik ternyata bukan merupakan proses yang
sederhana dikarenakan “kebanyakan otak yang sadar didedikasikan untuk berfokus
pada dunia luar“. Dengan ketidakadaan alat introspektif dan dengan pilihan untuk
memfokuskan perhatian pada stimulus eksternal, bayi itu sendiri akan menjadi
“tidak tampak”. Oleh karena itu, hanya poin awal dari kesadaran diri saja yang
membutuhkan elaborasi/perluasan melalui proses sosial dari attachment.
Identifikasi terhadap mekanisme neurologis yang menggerakkan diri yang tak
kasat mata menuju potensinya untuk mengintrospeksi dibantu oleh penemuan
neuron pencerminan/mirror neurons. Rizzolatti, Fadiga, Gallese, dan Fogassi
(1996) menemukan bahwa neuron-neuron ini meniru perilaku yang lain,
seolah-olah melalui tindakan pengamatan seorang pengamat yang sedang
mengamati selfacting nya sendiri. Neuron cermin/mirror menciptakan
semacam "wifi saraf" antar otak. Pada perkembangan awal, pengasuh bayi
mencerminkan dan memberi label skema motorik utama bayi, yang dianggap
sebagai kunci dalam memahami perkembangan diri secara subjektif dan
intersubjektivitas antar manusia. Unsur-unsur ini membentuk dasar komunikasi
ostensive (Tabel 1).
Model ini mengidentifikasi hal yang tidak disadari atau “diri yang tak
terlihat” dengan preferensi terhadap fokus external yang mengembangkan kapasitas
intersubjektivitas melalui pengalaman pencerminan yang mengisyaratkan
penerimaan dan kesiapan untuk diperhatikan bersama. Unsur teoritis utama di sini
adalah bahwa, berlawanan dengan intuisi, pengalaman pribadi dalam diri individu
dimulai sebagai proses interpersonal antar individu. Tanpa pencerminan, emosi
adalah skema motor utama yang tidak ada artinya.
JENIS JENIS PENCERMINAN
Komunikasi ostensive didasari pada banyaknya asumpsi. Seperti yang
dijelaskan sebelumnya, dikarenakan skema motorik primer merupakan manifestasi
eksternal dari bagaimana mekanisme sistem limbik berekasi, hal tersebut dianggap
mampu mewakili sebuah keadaan emosional dari bayi terhadap pengasuhnya.
Pengasuh berinvestasi dengan tetap melacak komunikasi motorik pada bayi,
mencatat kapan hal tersebut terjadi dan menyimpulkan keadaan subjektif
berdasarkan pengawasan yang mereka lakukan. Keputusan ini kemudian
diberikan kembali ke pada bayi, melalui pencerminan ekspresi wajah dan
nada bicara, sesuai dengan informasi epistemik. Secara bersamaan, bayi
memiliki prefensi bawaan untuk mengikuti stimulus eksternal tersebut,
khususnya melalui kontak mata dengan pengasuh nya yang menawarkan
pencerminan/mirroring. Pencerminan dimediasi melalui gestur eksternal,
yang memfasilitasi adanya intersubjektifitas. Sebagaimana yang tampak pada
tabel 1, pengasuh menawarkan dua jenis pencerminan : contingent dan
responding, yang merujuk pada ketepatan dalam meniru gestur tubuh,
ditandai dengan mekanisme deteksi dimana bayi menunjukkan preferensinya
terhadap fenomena yang mereka lakukan. Sebagai contoh, penelitian oleh watson
(1994), ketika bayi dipaparkan video langsung/live yang berisi diri mereka
sedang menendang nendang kaki, mereka tampak tertarik, namun ketika
ditambahkan waktu tambahan/time delay, bayi tersebut tampak kehilangan
minat. Deteksi contingent juga mengeluarkan oksitosin, menandakan
terjadinya penurunan respon untuk berhati hati/bersikap waspada dan
mendesak untuk bersikap lebih toleran dimana sikap ini diperlukan untuk
suatu interaksi.
Marked mirroring (pencerminan yang jelas) merupakan elaborasi dari respon
contingent awal yang ditandai dengan beberapa perilaku pengasuh seperti
menaikkan alis mata, menyempitkan atau meluaskan mata, dan intonasi yang
diarahkan pada bayi (“baby talk”/motherese”). Hal yang dipengaruhi ini “tidak
secara nyata untuk pengasuh” namun sebagai respon terhadap gestur bayi. Mereka
ditawarkan sebagai sebuah versi “penerima-yang telah sesuai” dari manifestasi
motorik bayi, menciptakan kesempatan untuk belajar meniru. Marking
mengirimkan representasi urutan ke dua sebagai versi elaborasi dari realitas dan
merupakan pembagian dari informasi kontemplatif melalui perhatian bersama.
Pentingnya mirroring sebagai komunikasi ostensif memiliki makna yang kuat
pada eksperimen. Penelitian klasik ini menunjukkan bahwa bayi merespon
contingent mirroring (pencerminan contingen) secara visual ketika hal tersebut
memiliki akurasi yang tinggi. Sikap reseptif yang dibuat memungkinkan
dilakukannya proses pengambilan dan penandaan/marking yang menyenangkan.
Ketika ibu mencoba menghentikan komunikasi ostensive dengan membuat
wajah yang tidak ada ekspresi, ternyata hal tersebut dapat menyebabkan
distress yang besar dan kekacauan pada bayinya. Ketika ibu mulai mencoba
contingent mirroring lagi, distress serta ketidakteraturannya pun menghilang.
(note : mereka yang rasa keterikatannya rendah, biasanya tidak suka hal hal yang
berhubungan dengan seni oleh karena itu dibutuhkan ahli terapi seni untuk membantu
mereka agar mau berbubungan dengan seni tersebut)
CONTOH KASUS
Selama masa kecilnya, ibu Kitty mengalami episode psikosis berulang dan sering
dirawat di rumah sakit. Sejak usia muda, Kitty sering membantu ibunya untuk
melakukan tugas-tugas dasar seperti mandi, obat-obatan, makan, dan tidur. Dia juga
membantu membanting panci untuk mengusir hantu yang dipercaya ibunya telah
membuat dia terpenjara di dalam kamar tersebut. Ayah Kitty berjuang untuk
menerima kenyataan ini. Kapan pun subjek dibesarkan, dia(laki-laki/ayah kitty)
menganggap bahwa penderitaan ibu terhadap anak-anaknya membuat ia menjadi
tertekan dan dia melarang mereka (anak anaknya) untuk membicarakan hal
tersebut.
Kakak perempuan Kitty menghabiskan waktu selama 3 tahun di sebuah
institusi psikiatri sejak usia 16 tahun dan kehilangannya dalam keluarga tersebut
cukup traumatis. Dengan pengalaman ini, Kitty belajar bahwa berbicara itu bersifat
merusak. Dia mengatasi masalah tersebut (koping) dengan melakukan self-
harm/membahayakan diri sendiri, penyalahgunaan zat, dan meminum obat
penghilang rasa sakit. Kitty sangat ingin adanya kemajuan dalam hidupnya dan
selalu senang membantu orang lain. Dia mencoba pelatihan untuk menjadi perawat,
tetapi pelatihan tersebut harus terhenti dikarenakan kurus pelatihan tersebut
membuat dia merasakan kecemasan dan depresi yang menyiksa. Kitty ditawarkan
waktu selama 18 bulan untuk melakukan perawatan berbasis mentalisasi (Bateman
& Fonagy, 2006), yang termasuk komponen kelompok terapi seni.
Dalam kajian anamnesis ini, Kitty menegaskan bahwa non--komunikasi
dalam keluarganya dihilangkan karena secara efektif dapat membuat suatu
pengalaman diproses diluar kendali oleh sistem attachment. Stresor ini memiliki
hasil ganda: kurangnya pengalaman tentang bagaimana mengkomunikasikan
emosi dan merupakan sebuah tanda dari komunikasi yang tidak aman, yang
digeneralisasikan ke semua area kehidupan Kitty.
Selama mewawancarai kitty, Kitty memilih dan merefleksikan dua
gambar seni yang dia buat dalam terapi. Gambar 1 menggambarkan
seseorang di dalam kotak yang kokoh. Dia menggambarkan karya seni pertama
ini sebagai berikut :
“Itu ada hubungannya dengan sesuatu yang terjebak di kepala saya. Benar-benar
tidak ada tempat untuk pergi dalam gambar itu, tidak ada celah, tidak ada yang
hilang. . . isolasi total. Hal itu mengikutiku terus. Ada begitu banyak di kepala saya,
itu seperti longsoran salju: Anda mengatakan satu hal dan sisanya akan mengikuti.
. . tidak ada akal atau alasan. Saya bersikeras saya tidak akan mempercayai siapa
pun dengan hal ini [dan] kelompok terapi seni yang saya temukan sangat sulit hanya
karena membiarkan orang orang masuk ke dalamnya. Semua ini diluar kehendak
saya apa yang mereka kira tentang gambar tersebut dan apa yang saya katakan. Hal
tersebut amat sangat menyita waktu yang lama untuk berubah”
Kitty menjelaskan tahap emosinya sebagai representasi urutan pertama
: Kata-katanya mengungkapkan pengalaman kecemasan yang tidak
terwakili, di mana segalanya “ tampak nyata”. Kepercayaan epistemik Kitty
termasuk yang rendah. Komunikasi dalam kelompoknya sangat minim,
dengan sedikit kontak mata. Upaya-upaya dalam penjabaran bersama dengan
orang lain sangat sulit baginya. Kitty menggambarkan karya seni yang dibuatnya
setelah menjalani terapi (Gambar 2), sebagai berikut :
“Saya menyadari kegelisahan saya bukan merupakan bagian dari kekacauan, hal
tersebut merupakan sesuatu yang berasal dari entitas saya sendiri dan hal tersebut
terpisah dari sesuatu yang terjadi dalam hidup saya dan dengan menyadari bahwa
hal tersebut membuat saya untuk mencoba membicarakannya lebih sering dan
mencoba untuk memisahkan apa yang ada dalam kecemasan itu. Itu bukan
merupakan gambaran tentang apa yang membuat saya gelisah [dan] juga bukan
karena setiap angin badai memiliki maknanya sendiri. Hanya saja angin puyuh
tersebut tampak tetap pada pendiriannya. Hal tersebut memberikan saya momen
seperti “light bulb” bahwa ini mungkin yang saya rasakan — tetapi sebenarnya saya
memang benar benar merasakannya. Hal tersebut valid/sah, tetapi tidak selalu ada
di sana. Hal tersebut memberikan saya perasaan keterpisahan, bahwa sesuatu
memang tetap pada pendiriannya, yang bisa abaikan atau bicarakan dan coba untuk
tangani. Mempercayai [terapis], ketika anda membicarakan hal tersebut biasanya
tidak sama seperti kenyataannya. Saya tidak mendapatkan tempat tinggal di kepala
saya sendiri jadi saya mungkin juga memberi kesempatan terhadap sudut pandang
yang lain”.
“Dengan adanya orang lain di dalam kelompok, saya khawatir gambar tentang diri
saya berdampak terhadap mereka dan bagaimana perasaan mereka tetapi saya harus
mengatakan pada diri saya sendiri bahwa seorang profesional bisa saja mengambil
langkah mundur. Saya tahu posisi saya dengan para profesional, itu tidak akan pergi
terlalu jauh dan saya juga tidak berada di luar sana mengatakan "apa yang akan
mereka pikirkan" atau "apa konsekuensi dari mengatakan hal ini" Saya percaya
kepada Anda [terapis seni] karena Anda telah membuktikannya dengan menjadi
orang yang dapat dipercaya, dengan cara lain seperti melalui telefon ketika Anda
mengatakan akan melakukannya.”
“Tidak ada yang diberhentikan, dan Anda mengajukan pertanyaan dan Anda cukup
baik dalam hal itu. Sebuah validasi menurut ku, apa yang telah Anda ambil dan apa
yang Anda rasakan dapat dikenali seseorang merupakan sesuatu yang nyata dan
penting. Saya bisa melihat validasi tetapi butuh waktu beberapa saat untuk
merasakannya. Butuh beberapa saat untuk mulai berbicara tentang gambar orang
lain karena saya cenderung mengatakan apa yang saya pikir ingin mereka dengar.
Setelah saya terbiasa berbicara dengan anggota kelompok lain dan tidak hanya
setuju dengan mereka, mereka dapat melihat berbagai hal. Kemudian ketika saya
menyadari ide-ide mereka dalam seni mereka tidak begitu jauh dari punya saya dan
saya bisa melihat diri saya sendiri dalam apa yang mereka gambar”
KESIMPULAN
Teori terapi seni memiliki potensi untuk berjalan selaras secara koheren
dengan teori attachment, asalkan hal tersebut membahas nilai seni dan
melibatkan sistem attachment. Menurut kami, teori komunikasi ostensive
(Gergely, 2007) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan umum antara hubungan
terapi seni dyadic dan triangular dan mungkin menyesatkan karena semua
intersubjektivitas berada pada tingkat yang dimediasi melalui hubungan
segitiga/triangular. Oleh karena itu, nilai khusus yang ditambahkan oleh seni ke
dalam hubungan psikoterapeutik bukanlah suatu bentuk segitiga/triangular
yang unik, tetapi seni itu sendiri menawarkan kesempatan pencerminan yang
kuat dalam sistem komunikasi ostensif yang memang selalu berbentuk
segitiga/triangular. Selain itu, seni sangat berguna untuk “menandai” pengalaman
melalui pencerminan/mirroring karena objek seni begitu mudah menandakan
kualitas “tidak nyata”nya, yang dapat mengurangi risiko pertemuan relasional agar
tidak terlalu intens.
Kami berpendapat bahwa teori komunikasi ostensive juga memiliki sejumlah
implikasi yang signifikan terhadap praktik terapi seni. Pertama, jika terapis
bermaksud menggunakan sistem attachment untuk memanfaatkan kepercayaan
epistemik, mereka harus menyadari bahwa niat subyektif mereka tidak akan terlihat
oleh klien kecuali jika secara tegas ditunjukkan; yakni dengan; “melihat berarti
percaya”. Ketertarikan manusia merupakan agen yang diperlukan dalam
keterikatan/attachment dan hal ini membutuhkan sikap emosional dari terapis.
Kedua, minat yang tulus sebagai suatu respons kontingen tidak dapat
diformulasikan karena manusia membuat pengungkapan yang tak disadari melalui
bahasa tubuh. Klien peka terhadap berbagai pengungkapan ini sebagai cara untuk
menilai suatu kepercayaan karena hal tersebut dianggap sangat penting. Terapis
seni mungkin menawarkan sebuah seni karena mereka sendiri telah familier
atau memiliki keakraban tinggi serta kepercayaan epistemik pada seni
tersebut.
Kami membutuhkan daya tarik dari keaslian seni karena keaslian tersebut
terpampang jelas;; hal tersebut membuka kesempatan untuk melakukan
pencerminan kontingen terhadap klien dalam usaha menemukan diri mereka
di dalam pikiran terapis seni. Yang paling penting, ahli terapi seni tidak hanya
menyarankan seni sebagai cara bagi klien untuk mengekspresikan diri tetapi
juga menekankan kepada klien bahwa karya seni mereka sangat membantu
bagi terapis seni untuk memahami klien sebanyak mungkin.
Komunikasi ini memiliki arti bahwa subjek manusia yang nyata berada di
ujung penerimaan dari ungkapan tersebut — karya seni diarahkan kepada
seseorang dan bukan kekosongan yang harus diisi, misalnya, keterikatan dengan
sosok di masa lalu. Yang terakhir, meskipun respon kontingen mungkin
membuka kemungkinan akan adanya keterkaitan, kualitas penerimaan itu
bersifat "termodinamik", yakni tidak bertahan lama dan membutuhkan
tambahan tenaga yang konstan. Oleh karena itu, terapis seni ditantang agar
lebih cepat dan ringkas dalam melakukan marking/penandaan untuk
mencegah pembagian perspektif yang berlebihan atau elaborasi pada karya
seni klien agar tidak kehilangan momen penerimaan/receptive moment.
Dengan cara ini pencapaian sebuah seni dalam terapi seni mungkin
didefinisikan oleh suatu keberhasilan dalam memanfaatkan peluang
pencerminan/mirroring dalam membentuk representasi urutan kedua yang lebih
relevan.
Kami mengakui bahwa konstruksi teori terapi seni ini belum diuji secara
empiris. Implikasi kepada penelitian adalah bahwa hasil studi harus selalu
memantau keefektivitasan komunikasi ostensif dengan cara merekam atau
memfilimkan sesi terapi karena proses relasional ini mungkin terbukti sebagai
sebuah penentu keefektifitasan yang lebih besar daripada prosedur klinis lainnya.