Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Fatwa Lain-Lain
• Fatwa No. 10: Wakalah
• Fatwa No. 18: Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS
• Fatwa No. 43: Ganti Rugi (Ta’widh)
• Fatwa No. 62: Akad Ju’alah
• Fatwa No. 71: Sale and Lease Back
Pengalihan Utang, Apa Hukumnya?
Red: Heri Ruslan
loktavia.blogspot.com
REPUBLIKA.CO.ID, Di era modern ini, utang sepertinya telah menjadi hal yang
biasa. Berbagai transaksi ditawarkan dengan cara kredit, mulai dari kendaraan, peralatan
elektronik hingga perumahan. Para pengusaha pun tak lepas dari utang. Untuk membesarkan
usaha yang dikelolalanya, berutang atau meminjam modal ke perbankan menjadi pilihan.
Seiring berkembangnya lembaga keuangan syariah (LKS) di Tanah Air, kesadaran masyarakat
untuk menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam bertransaksi juga mulai menggeliat. Kini, ada
sebagian umat Islam yang memiliki keinginan untuk mengalihkan utangnya atau transaksi non-
syariah di bank konvensional ke LKS agar sesuai syariah.
Bisakah mengalihkan utang dengan cara itu? Lalu apa hukumnya? Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) telah mengkaji masalah tersebut. Bahkan, telah
menetapkan Fatwa Nomor: 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Utang.
Fatwa itu ditetapkan dengan sejumlah pertimbangan. Pertama, salah satu bentuk jasa pelayanan
keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah membantu masyarakat untuk mengalihkan
transaksi non-syariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah.
‘’LKS perlu merespons kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya melalui akad
pengalihan utang oleh LKS,’’ ungkap Ketua Umum DSM MUI, KH MA Sahal Mahfudh dalam
fatwa itu. Fatwa pengalihan utang ditetapkan, kata dia, agar akad tersebut dilaksanakan sesuai
dengan Syariah Islam.
Hal itu sesuai dengan Alquran dan hadis. Dalam surah Al-Maidah [5] ayat 1, Allah SWT
berfirman, ‘’Hai orang-orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu…” Dalam surah Al-Isra’
[17] ayat 34, Sang Khalik berfirman, “…dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti
diminta pertanggungan awabnya.”
Atas dasar pertimbangan itu, peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada Rabu, 15
Rabi’ul Akhir 1423 H/26 Juni 2002 memutuskan: Pertama, pengalihan utang adalah pemindahan
utang nasabah dari bank/lembaga keuangan konvensional ke bank/lembaga keuangan syariah.
Kedua, al-Qardh adalah akad pinjaman dari LKS kepada nasabah dengan ketentuan bahwa
nasabah wajib mengembalikan pokok pinjaman yang diterimanya kepada LKS pada waktu dan
dengan cara pengembalian yang telah disepakati. Ketiga, nasabah adalah (calon) nasabah LKS
yang mempunyai kredit (utang) kepada lembaga keuangan konvensional (LKK) untuk pembelian
aset, yang ingin mengalihkan utangnya ke LKS. Keempat, aset adalah aset nasabah yang
dibelinya melalui kredit dari LKK dan belum lunas pembayan kreditnya.
Lalu bagaimana teknis akadnya? Dalam fatwa itu, akad pengalihan utang bisa dilakuan melalui
empat alternatif. Alternatif pertama berupa: 1) LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan
qardh tersebut nasabah melunasi kredit (utang)-nya; dan dengan demikian, aset yang dibeli
dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.
2) Nasabah menjual aset dimaksud poin pertama kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu
nasabah melunasi qardh-nya. 3) LKS menjual secara murabahah aset yang telah menjadi
miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.
Alternatif kedua: 1) LKS membeli sebagian aset nasabah, dengan seizin LKK; sehingga dengan
demikian, terjadilah //syirkah al-milk// antara LKS dan nasabah terhadap aset tersebut. 2) Bagian
aset yang dibeli oleh LKS sebagaimana dimaksud angka 1 adalah bagian aset yang senilai
dengan utang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK. 3) LKS menjual secara murabahah bagian aset
yang menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.
Alternatif ketiga: 1) Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh atas aset, nasabah
dapat melakukan akad Ijarah dengan LKS, sesuai dengan Fatwa DSN-MUI nomor 09/DSN-
MUI/IV/2002. 2) Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi kewajiban nasabah
dengan menggunakan prinsip al-Qardh
sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
3) Akad Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh dipersyaratkan dengan (harus
terpisah dari) pemberian talangan sebagaimana dimaksudkan angka 2. 4) Besar imbalan jasa
Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan yang
diberikan LKS kepada nasabah sebagaimana dimaksudkan angka 2.
Alternatif keempat: 1) LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah
melunasi kredit (utang)-nya; dan dengan demikian, aset yang dibeli dengan kredit tersebut
menjadi milik nasabah secara penuh. 2) Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS,
dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS. 3) LKS menyewakan
aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan akad al-Ijarah al- Muntahiyah
bi al-Tamlik.
‘’Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara
pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah,’’ papar Kiai Sahal.