Vous êtes sur la page 1sur 8

MENUJU KOTA CERDAS: PELAJARAN DARI KONSEP SMART

CITY YANG DITERAPKAN DI JAKARTA DAN SURABAYA1

TOWARDS SMART CITY: LESSONS FROM THE


IMPLEMENTATION OF SMART CITY’S CONCEPT IN JAKARTA
AND SURABAYA
Kurnia Novianti2 dan Choerunisa Noor Syahid3
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta
E-mail: kurnia.novianti@yahoo.com; novianti.kurnia80@gmail.com.
2
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta

ABSTRACT
Cities face more complex problems nowadays. Birth rate and migration trigger serious
economic, social, cultural, and security problems for cities. Consequently, there are gaps
between the people demand of city’s services and the capability of the services provider. City
management based on resources and technology utilization that recommended by smart city
concept is considered as an alternative solution to address these challenges. This paper aims to
describe implementation of smart city in two major cities in Indonesia, Jakarta and Surabaya.
Furthermore, this paper aims to analyze the development of smart city concept adopted by both
cities. This study used a qualitative approach and data were collected through interviews,
observation, and focused discussions with stakeholders of the program implementation. The
result shows that smart city is interpreted by Jakarta and Surabaya as a development process
that maximizes its resources and technology using to improve the quality of the government
services to the people. The interesting finding from Surabaya was that the city has started this
process earlier than Jakarta, even before the smart city concept popularized in Indonesia.
Therefore, Surabaya is considered as one of the recommended cities for other cities in
Indonesia, especially in implementing the open government.

Key words: smart city, urban management, technology, Jakarta, Surabaya

ABSTRAK
Dewasa ini kota menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Pertambahan jumlah penduduk
secara alami maupun migrasi menjadi pemicu munculnya berbagai permasalahan ekonomi,
sosial, budaya, dan keamanan. Warga menuntut pelayanan yang semakin maksimal dari
penyelenggara pemerintahan kota, sementara sumber daya yang dimiliki seringkali tidak
mendukung. Pengelolaan kota yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya dan teknologi yang
ditawarkan dalam konsep smart city dianggap sebagai alternatif solusi dalam menjawab
tantangan tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk implementasi smart city
di 2 kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta dan Surabaya. Selain itu, tulisan ini juga bertujuan
untuk menganalisis perkembangan konsep smart city yang diadopsi oleh kedua kota tersebut.
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data berupa
wawancara, pengamatan, dan diskusi terfokus dengan para pemangku kepentingan dalam
implementasi program. Penelitian menunjukkan bahwa smart city dimaknai oleh kedua kota
sebagai proses pembangunan yang memaksimalkan sumber daya yang dimiliki dengan bantuan
1
Tulisan ini merupakan diseminasi dari penelitian berjudul “Community Participation on Smart City Development: Case of Japan
and Indonesia” yang didanai oleh The Sumitomo Foundation (Periode April 2016-Maret 2017). Penelitian dilakukan di Indonesia
dan Jepang oleh Kurnia Novianti, MSi. Dan Choerunisa Noor Syahid, MSc (Pusat Penelitian Sumber Daya Regional, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia/P2SDR-LIPI). Pengumpulan data di Indonesia dilakukan penelitian lapangan di Jakarta dan Surabaya,
sementara di Jepang peneliti melakukan penelitian lapangan di Tokyo dan Yokohama.
2

1
teknologi sebagai enabler sehingga kualitas pelayanan terhadap warga dapat ditingkatkan. Hal
menarik yang menjadi temuan penulis adalah Surabaya telah memulai proses ini lebih dulu,
bahkan sebelum konsep smart city dipopulerkan di Indonesia. Dengan demikian, Surabaya
dianggap sebagai salah satu kota yang dapat menjadi rujukan bagi kota-kota lain di Indonesia
karena keberhasilannya dalam mengimplementasikan open government.

Kata kunci: smart city, pengelolaan kota, teknologi, Jakarta, Surabaya

PENDAHULUAN
Kota menjadi entitas yang menarik perhatian banyak peneliti. Tidak hanya
karena kota memiliki dinamika perubahan yang begitu cepat, tetapi juga karena dalam
banyak prediksi yang didasarkan pada hasil-hasil penelitian bahwa hampir 50%
penduduk dunia akan memadati kota (Senate Department for Urban Development and
the Environment, 2015; Bakıcı, et.al., 2013; Chourabi, et.al., 2012). Akibatnya kota
semakin menghadapi tantangan yang luar biasa besar dan kompleks terkait dengan
fasilitas yang diberikan kepada warganya. Kebutuhan-kebutuhan mendasar seperti
kesehatan, pendidikan, transportasi umum, sehingga warga kota merasakan keamanan,
kenyamanan, dan kebahagiaan tinggal di kotanya harus dipenuhi oleh pengelola kota
(Neirottia, et.all., 2014; Nam and Pardo, 2011; Washburn and Sindhu, 2010).
Realitas ini juga dihadapi oleh pengelola kota-kota di Indonesia, seperti Jakarta
dan Surabaya, dua kota yang paling banyak dibahas dalam konteks perkembangan kota.
Jakarta dan Surabaya memiliki karakteristik yang unik; sama-sama kota besar dan
multi-etnik, dan memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Pengelola kota,
yaitu pemerintah kota dan pemangku kepentingan yang terkait, di sisi lain memiliki
berbagai keterbatasan. Hal inilah yang kemudian mendorong para pengelola kota untuk
mencari jalan keluar untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut.
Belajar dari beberapa kota di dunia yang merespon kompleksitas masalahnya
dengan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki dan didukung dengan pemanfaatan
teknologi untuk mempermudah warga kota menikmati fasilitas umum, Jakarta dan
Surabaya mengadopsi konsep smart city. Menarik bagi penulis untuk mengkaji kedua
kota tersebut mengingat dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Jakarta dan
Surabaya mengalami proses yang berbeda dalam menuju kota cerdas. Penting pula
mengkaji keduanya mengingat Surabaya menjadi kota rujukan bagi kota-kota lain dalam
konteks kota cerdas, terutama untuk keberhasilannya mengimplementasikan e-
government dan mendorong partisipasi warga dalam membangun kotanya. Dengan

2
demikian, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis implementasi konsep smart city yang
diadopsi oleh kedua kota tersebut.

METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan
data primer berupa wawancara4 dan diskusi terfokus dengan para pemangku
kepentingan yang ditemui di lapangan, baik di Jakarta maupun Surabaya, serta
pengamatan langsung kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subyek penelitian terkait
smart city. Pemangku kepentingan yang dikunjungi dan diwawancarai adalah
pemerintah kota dan instansi yang terkait seperti Dinas Komunikasi dan Informasi
(Diskominfo), Dinas Tata Kota dan Pertamanan, perusahaan yang bekerja sama dengan
pemerintah dalam mengimplementasikan teknologi, akademisi yang memiliki perhatian
pada isu smart city, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan tentu saja warga masyarakat
yang aktif terlibat program-program smart city.
Penelitian lapangan dilakukan selama 2 minggu masing-masing di Jakarta dan
Surabaya pada bulan Juni dan Juli 2016. Selama kerja lapangan, penulis mencatat setiap
kejadian dan kegiatan yang diamati, dan menggunakan alat rekam untuk wawancara
serta kamera untuk dokumentasi.5 Data lain yang dibutuhkan dan tidak kalah penting
adalah literatur yang bersumber dari dokumen-dokumen berupa hard copy maupun soft
copy dari informan-informan yang ditemui saat penelitian lapangan dan hasil-hasil
penelitian para peneliti sebelumnya tentang kota cerdas di kedua kota.6

4
Untuk membantu penulis agar tidak keluar dari fokus penelitian, maka sebelum wawancara dilakukan akan disusun daftar
pertanyaan wawancara yang bersifat semi terstruktur. Wawancara yang dilakukan diharapkan tidak akan selalu formil, kecuali
pertemuan dengan pihak pemerintah sehingga data-data yang diperoleh diharapkan menjadi lebih kaya. Dengan demikian, penulis
“dituntut” mampu menginvestigasi setiap peristiwa yang diamatinya, mereview hasil wawancara dengan mempertemukan
pertentangan-pertentangan diantara informan yang diwawancara dan menuliskan hasilnya untuk dianalisis lebih seksama untuk
menjawab pertanyaan penelitian (Fetterman, 1989).

5
Dalam prosesnya, peneliti tidak hanya dituntut untuk selalu jeli terhadap hal-hal yang detil tetapi juga harus mampu menuangkan
hasil pengamatannya ke dalam sebuah deskripsi sehingga mampu ‘berbicara’ dengan para pembaca karyanya, sehingga tidak hanya
mampu menjelaskan tetapi juga harus bisa bercerita. Seperti dikatakan oleh Wolf (2001) bahwa dalam proses itu, peneliti membuat
catatan rinci mengenai siapa yang melakukan atau mengucapkan apa, kapan, di mana, kepada siapa, dan dengan siapa. Namun yang
ditekankan Wolf adalah sangat mungkin peneliti tidak cukup mengetahui sesuatu yang dilihat atau didengarnya hingga ia mulai
menanyakan pertanyaan-pertanyaan bermakna.

6
Konteks sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda diantara kedua kota tersebut juga mengharuskan penulis mempelajarinya
melalui surat kabar, media online, maupun melalui diskusi dengan para peneliti atau profesional yang pernah mengkaji topik yang
sama. Dengan demikian, data sekunder tidaklah diperlakukan sebagai pelengkap melainkan juga sama pentingnya dengan data
primer yang diperoleh di lapangan.

3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kolaborasi antara para pemangku kepentingan
Hasil wawancara dengan pihak pemerintah kota, akademisi, perusahaan, dan
warga di kedua kota yang diteliti menunjukkan bahwa smart city tidak dapat terwujud
tanpa adanya kerja sama antar pemangku kepentingan maupun kerjasama antar kota
yang saling terhubung (Chourabi, et.al., 2012; Nam dan Pardo, 2011; Hall, et.al., 2000).
Untuk itu, Jakarta menggandeng sebuah perusahaan teknologi informasi bernama PT.
Qlue Indonesia sebagai penyedia aplikasi qlue7 dan PT. IBM Indonesia sebagai
penyedia software, hardware, termasuk Subject Matter Experts/SME (konsultan) di
bidang teknologi informasi. Sementara Surabaya berkolaborasi dengan salah satu
universitas lokal ternama yaitu Institut Teknologi Surabaya (ITS) sebagai penyedia
aplikasi dan jejaring internet yang mendukung e-government.
Kerjasama juga memungkinkan munculnya inovasi-inovasi (Smart and Smart,
2003) yang dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan pelayanan pemerintah kota di
berbagai bidang. Kota Surabaya telah memulai implementasi e-government sejak tahun
2003 dan sistemnya terus dilengkapi dan diperbarui sesuai dengan kebutuhan warganya
hingga saat ini. Wawancara dengan Hefli S. Madjid, Dinas Komunikasi dan Informatika
Pemkot Surabaya, menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Surabaya dengan bantuan ITS
terus melakukan pembaruan sistem agar dapat menjawab tantangan efisiensi dan
efektivitas pelayanan.
Jakarta Smart City (JSC) sendiri memanfaatkan anak-anak muda yang
menguasai teknologi informasi untuk melakukan perbaikan-perbaikan sistem sehingga
pelayanan kepada warga dapat maksimal. Pihak JSC mengakui bahwa mereka banyak
belajar dari negara-negara lain seperti Korea, Jepang, Singapura, bahkan Rusia dalam
implementasi program smart city. Dengan bantuan anak-anak muda dan belajar dari
negara-negara lain yang sukses menerapkan program smart city, diharapkan lahir
inovasi-inovasi sebagai solusi atas segala permasalahan di kota Jakarta.
Teknologi sebagai unsur penting
7
Dalam wawancara dengan Gerry Mangenta diketahui bahwa qlue diambil diambil dari kata “keluhan” atau bisa juga “clue
(petunjuk)”. Konsep ini dipakai untuk mewujudkan visi Smart City Jakarta yang transparan dan melibatkan partisipasi publik. Qlue
merupakan aplikasi yang dapat diakses dari telepon genggam para pemangku kepentingan; tidak hanya pemerintah kota dan SKPD
terkait, tetapi juga warga Jakarta dan siapa saja. Qlue berisi segala macam informasi terkait dengan Jakarta dan aktivitas sehari-hari
warganya, termasuk keluhan-keluhan terkait dengan pelayanan yang diberikan oleh pengelola kota, misalnya pelayanan sarana
kesehatan, kebersihan taman kota dan jalan raya, ketertiban lingkungan, dan berbagai infrastruktur lainnya. Qlue memiliki 2 bentuk
aplikasi, yaitu qlue yang hanya dapat diakses oleh Pemprov DKI beserta jajaran dan SKPD di bawahnya, dan qlue yang dapat
diakses oleh warga umum. Qlue yang hanya dapat diakses pemerintah kota merupakan wadah untuk pemerintah kota dan SKPD-
SKPD terkait saling berkomunikasi sekaligus melakukan monitoring dan evaluasi dalam pelayanan publik. Sementara qlue yang
dapat diakses oleh warga memfasilitasi warga untuk tidak hanya berpartisipasi melaporkan hal-hal yang terkait dengan pelayanan
yang belum maksimal tetapi juga memberikan ruang bagi warga untuk berinisiatif melakukan perubahan atau perbaikan terhadap
kurangnya pelayanan dengan melakukan gerakan-gerakan komunitas. Secara ideal, qlue menjadi penghubung antara warga dan
pemerintah kota dalam upaya mewujudkan smart city.

4
Hal kedua yang menjadi perhatian penulis adalah bahwa smart city tidak dapat
dilepaskan dari teknologi. Dalam beberapa kajian tentang smart city, para ahli dan
praktisi menyebutkan bahwa kota-kota di dunia menghadapi berbagai masalah
demografi, ekonomi, sosial, lingkungan, dan keamanan yang kompleks sehingga
teknologi membantu pengelola kota melakukan pekerjaannya agar lebih efektif dan
efisien (Airaksinen, et.al., 2015; Neirottia, et.al., 2014; Batty, et.al., 2012; Schaffers,
et.al., 2011; Al-Hader dan Rodzi, 2009; Giffinger, et.al, 2007). Big data juga menjadi
isu yang sangat erat dengan implementasi smart city (Kitchin, 2014).8
Senada dengan hal tersebut, Prof. Suhono Supangkat, Inisiator Smart City dari
ITB, mengatakan bahwa globalisasi memicu pertukaran informasi dengan cepat dan
akurat sehingga bisa diakses secara real time dan terbuka (open source). Jika teknologi
informasi tidak berkembang atau stagnan, pembangunan pun menjadi terkendala dan
tidak bisa bersaing dengan negara lain. Oleh sebab itu diperlukan sistem jaringan
informasi di suatu kawasan, yang diinisiasi oleh dirinya dan beberapa akademisi dan
ahli lainnya dan melahirkan Smart City Initiatives Indonesia9 (Supangkat, 2015b).
Wawancara dengan Alberto, salah satu inisiator program Smart City Jakarta,
menegaskan kembali bahwa pemanfaatan teknologi harus diimbangi dengan
kemampuan SDM sebagai pengelola. Alberto mengatakan bahwa Jakarta memiliki
sumber daya manusia dan infrastruktur yang memadai untuk menuju smart city. Namun
ia menambahkan bahwa kendala yang masih dihadapi adalah data-data yang terkait
dengan masalah kependudukan, sosial, dan ekonomi yang menyangkut warga Jakarta
masih tersebar di instansi yang berbeda-beda sehingga perlu dilakukan pengintegrasian
data.10
Sementara wawancara dengan Hefli S. Madjid, Dinas Komunikasi dan
Informatika Pemkot Surabaya, memberikan informasi tentang sistem e-government11
8
Jakarta yang menurut Gerry Mangentang dari PT. Qlue Indonesia dan Aang Jatnika dari JSC, masih terkendala dengan data yang
belum terintegrasi. JSC menyebutkan bahwa tahun 2016 ditargetkan integrasi data mulai berjalan.

9
Prof. Supangkat mengatakan bahwa manusia tetap menjadi aspek terpenting dalam implementasi smart city. Dalam wawancara
yang peneliti lakukan dengan Prof. Supangkat bersamaan dengan kegiatan IISMEX 2016 di Surabaya, ia menegaskan bahwa
secanggih apapun teknologi yang digunakan tidak akan mengubah sebuah kota apabila tidak diimbangi dengan sumber daya
manusia yang cerdas (smart people). Dengan demikian, teknologi berfungsi sebagai enabler yang membantu pemerintah dalam
mengelola kota agar lebih baik sehingga penduduk tetap nyaman, aman, berkembang dan berkelanjutan (Supangkat, 2015a).

10
Selain itu, pemanfaatan teknologi masih dinilai mahal biaya pemeliharaan data-nya sehingga faktor pembiayaan menjadi penting
dipertimbangkan oleh pemerintah kota. Sementara menurut Priambodo, PT. IBM Indonesia, hal terpenting yang harus dilakukan
pertama kali adalah mengidentifikasi kebutuhan warga kota itu sendiri. Dengan demikian, teknologi dapat dimanfaatkan seoptimal
mungkin untuk memberikan pelayanan yang efektif dan efisien sehingga terwujud kota yang berkelanjutan (sustainable city).

11
e-government mempermudah warga untuk mengakses pelayanan-pelayanan kesehatan, pendidikan, transportasi, dan yang lainnya.
Kendati demikian, ia mengakui bahwa hingga beberapa tahun sistem berjalan, masih ditemui kendala-kendala seperti
ketidakmampuan warga atau individu di SKPD tertentu dalam memanfaatkan teknologi.

5
Kota Surabaya yang dibangun untuk menjawab tantangan tentang efektivitas dan
efisiensi pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kota. Ia menjelaskan bahwa sistem
berbasis big data seperti e-government sangat dibutuhkan oleh kota-kota yang terus
berkembang dan menghadapi masalah yang kompleks seperti Surabaya.
Fokus pembangunan smart city dan kepemimpinan
Pengalaman beberapa negara dalam menerapkan program smart city
(Government of India, 2015; Giffinger, et.al, 2007; Shapiro, 2006; Van Hove, 2001)
menegaskan bahwa penting bagi sebuah kota untuk memiliki visi yang jelas dalam
implementasi program smart city. Visi tersebut diterjemahkan ke dalam fokus bidang
atau aspek yang akan dikembangkan melalui program smart city. Hal senada juga
dikatakan oleh Prof. Johan Silas bahwa penting untuk mengidentifikasi kebutuhan
warga kota sehingga pembangunan yang dilakukan dapat lebih terarah.
Konsep smart city yang diadopsi Jakarta maupun Surabaya, dalam perspektif
penulis, sama-sama memandang bahwa manusia merupakan aspek terpenting dalam
implementasi smart city. Manusia adalah pembuat keputusan dan penentu arah
pembangunan dan pengembangan sebuah kota. Filosofi ini penulis rasakan cukup kuat
setelah mewawancarai beberapa informan di Surabaya yang merupakan pemangku
kepentingan seperti pemerintah kota, akademisi, perusahaan, dan warga kota sendiri.12
Aspek governance yang lebih transparan, melayani, dan inovatif juga menjadi
fokus smart city di Jakarta. Pemerintah kota berupaya untuk melakukan perubahan cara
berpikir aparat pemerintah dan jajarannya (SKPD) dalam mengelola kota. Wawancara
dengan Pak Teguh, Ketua RW 1 di Kelurahan Cililitan, menunjukkan bahwa strategi
mengelola kota kini tidak lagi tergantung pada gubernur atau walikota. Tetapi kelurahan
bahkan RW dan RT memegang peran penting dalam pengelolaan tersebut karena
mereka lebih dekat dengan warga. Qlue yang menjadi wadah berkomunikasi aparat
pemerintah kota sangat membantu warga untuk memonitor kerja para pemberi
pelayanan tersebut.
Selain fokus yang jelas dalam implementasi program smart city, kepemimpinan
juga menjadi faktor yang cukup menentukan. Untuk kasus Jakarta dan Surabaya,
penulis memandang bahwa kedua pemimpin kota tersebut memiliki potensi yang cukup
besar. Potensi tersebut didukung oleh keinginan yang baik untuk memperbaiki kota dan

12
Mereka bahkan sepakat bahwa smart city merupakan sebuah proses panjang di mana seluruh elemen di dalam kota berpikir dan
melakukan sesuatu sehingga tercipta kota yang lebih baik. Pengamatan selama beberapa hari di kota tersebut menunjukkan bahwa
Surabaya cukup memberikan perhatian besar pada aspek governance, perbaikan kampung, dan ruang terbuka hijau. Dengan
demikian, partisipasi warganya juga didorong untuk mewujudkan hal tersebut.

6
pengalaman dalam menjalankan pemeintahan. Berdasarkan data yang diperoleh, ketika
program smart city diimplementasikan, beberapa instansi pemerintahan (SKPD) di
kedua kota mengakui belum betul-betul siap dengan perubahan, tetapi dengan
kepemimpinan Pak Ahok dan Bu Risma yang tegas, berani, dan tanpa basa-basi,
program tersebut berjalan. Untuk mendukung implementasi tersebut, setiap SKPD
berupaya meningkatkan kemampuannya menguasai teknologi, antara lain melalui
pelatihan-pelatihan.

KESIMPULAN
Smart city menjadi alternatif solusi bagi Jakarta dan Surabaya, sebagaimana
kota-kota besar lain di dunia. Program ini diadopsi dengan tujuan memberikan
pelayanan publik yang lebih efektif dan efisien melalui inovasi teknologi. Dibandingkan
Jakarta, Surabaya telah lebih dulu memanfaatkan e-government untuk mengoptimalkan
pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, Jakarta melalui JSC memanfaatkan anak-
anak muda berkemampuan tinggi di bidang teknologi informasi untuk menyukseskan
smart city. Dari pengalaman kedua kota tersebut terlihat bahwa kolaborasi antara para
pemangku kepentingan, pemanfaatan teknologi yang diimbangi dengan kesiapan SDM,
dan kejelasan fokus dalam implementasi program serta kepemimpinan menjadi penting
dalam mewujudkan smart city.
Pembangunan kota menjadi lebih nyaman, layak huni, aman, dan inklusif
sepatutnya menjadi tanggung jawab seluruh elemen dalam masyarakat, termasuk
akademisi. Di sinilah akademisi dapat berperan aktif, yaitu melalui penelitian dan kajian
yang dilakukan dan hasilnya didiseminasikan kepada pemangku kepentingan yang lain,
tidak hanya terbatas kalangan akademisi tetapi juga pemerintah kota dan swasta serta
masyarakat. Melalui tulisan ini, penulis merekomendasikan kepada para akademisi dari
berbagai disiplin ilmu untuk berkolaborasi mengkaji aspek-aspek dalam smart city yang
nanti hasilnya dapat dimanfaatkan para pembuat kebijakan untuk pengembangan smart
city yang sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing sehingga kesejahteraan
masyarakat dapat diwujudkan.

REFERENSI
Airaksinen, Miimu, et.al. 2015. Smart City—Research Highlights. Miimu Airaksinen
and Matti Kokkala (ed.). Grano: VTT Technical Research Centre of Finland Ltd.
Al-Hader, Mahmoud and Ahmad Rodzi. 2009. “The Smart City Infrastructure
Development and Monitoring”. CCSAP, Number 2(11): 87-94.

7
Bakıcı, Tuba, Esteve Almirall, and Jonathan Wareham. 2013. “A Smart City Initiative:
the Case of Barcelona”. J Knowl Econ (2013) 4:135–148.
Batty, Michael, et.al. 2012. Smart Cities of the Future. Working Paper Series,
Paper 188-Oct 12. University College London.
Chourabi, Hafedh, et.al. 2012. Understanding Smart Cities: An Integrative
Framework. 45th Hawaii International Conference on System Sciences.
IEEE Computer Society. Page 2298-2297.
Government of India, Ministry of Urban Development. 2015. Smart Cities Mission
Statement & Guidelines. Official Report of Smart City Mission Transformation
on June, 2015.
Hall, Robert E, et.al. 2000. The Vision of A Smart City. Presented at the 2nd
International Life Extension Technology Workshop Paris, France.
Kitchin, Rob. 2014. “The real-time city? Big data and smart urbanism”.
GeoJournal (2014) 79:1–14.
Nam, Taewoo and Theresa A. Pardo. 2011. “Smart City as Urban Innovation: Focusing
on Management, Policy, and Context”. ICEGOV, September 26–28: 185-194.
Neirottia, Paolo, et.al. 2014. “Current trends in Smart City initiatives: some stylized
facts”. CITIES, vol. 38, pp. 25-36.
Schaffers, Hans, et.al. 2011. “Smart Cities and the Future Internet: Towards Cooperation
Frameworks for Open Innovation”. Future Internet Assembly, LNCS 6656, pp.
431–446.
Senate Department for Urban Development and the Environment. 2015. Smart City
Strategy Berlin. A Report of The “Berlin Strategy|Urban Development Concept
Berlin 2030”.
Shapiro, Jesse M. 2006. “Smart Cities: Quality of Life, Productivity, and the Growth
Effects of Human Capital”. The Review of Economics and Statistics, Vol. 88(2):
324-335.
Smart, Alan and Josephine Smart. 2003. “Urbanization and the Global Perspective”.
Annual Review of Anthropology, Vol. 32 (2003): 263-285.
Van Hove, Leo. 2001. “The New York City Smart Card Trial in Perspective: A Research
Note”. International Journal of Electronic Commerce, Vol. 5(2): 118-131.
Washburn, Doug and Usman Sindhu. 2010. Helping CIOs Understand “Smart City”
Initiatives: Defining The Smart City, Its Drivers, And The Role Of The CIO.
Research Report for CIOs. February 11, 2010. Online on www.forrester.com.

Vous aimerez peut-être aussi