Vous êtes sur la page 1sur 17

MAKALAH

FILSAFAT HUKUM

“HERMENEUTIKA DUA KEKUATAN MANUSIA AGAMA DAN


LOGIKA”

DIBUAT OLEH:

AHMAD RAPIANOR (17810648)

KELAS 4B ILMU HUKUM NON-REG BANJARBARU

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD ARSYAD AL


BANJARI

2019
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya
miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Banjarbaru, april 2019

Penyusun
1.1. Pendahuluan

Kata hermeneutika telah menjadi sesuatu yang familier bagi mereka


yang berkecimpung pada ilmu-ilmu seperti teologi, kitab suci, filsafat dan
ilmu-ilmu sosial. Hermeneutika telah dipakai di dalam penelitian teks-teks
kuno yang otoritatif, misalnya, kitab suci, kemudian juga diterapkan di
dalam teologi dan direfleksikan secara filosofis, sampai pada akhirnya juga
menjadi metode di dalam ilmu-ilmu sosial.1
Hermeneutika atau hermeneutik adalah pengindonesiaan dari kata
inggris hermeneutics. Kata hermeneutics berasal dari kata kerja Yunani
hermeneuo yang berarti “mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam
kata-kata”. Hermeneutics juga dapat diartikan sebagai “menerjemahkan”
dan “bertindak sebagai penafsir”. Ketiga pengertian ini sebenarnya hendak
mengungkapkan bahwa hermeneutika adalah usaha untuk beralih dari
sesuatu yang relatif gelap ke sesuatu yang lebih terang. Pengertian
hermeneuein dapat dipahami sebagai semacam peralihan dari sesuatu yang
relatif abstrak dan gelap, yakni pikiran-pikiran, ke dalam bentuk ungkapan-
ungkapan yang jelas, yaitu dalam bentuk bahasa. Pemadatan pikiran dalam
bahasa sudah merupakan penafsiran.2
Pengertian kedua adalah “menerjemahkan”, terdapat usaha
mengalihkan diri dari bahasa asing yang maknanya gelap bagi kita ke dalam
bahasa kita sendiri yang maknanya jelas. Pengertian ketiga pada waktu
seseorang sedang menafsirkan sesuatu, ia melewati suatu ungkapan pikiran
yang kurang jelas menuju ke yang lebih jelas; bentuk pemikiran yang
kurang jelas diubah menjadi bentuk pemikiran yang lebih jelas; itulah
menafsirkan. Hermeneutika sebagai ilmu (science) atau seni (art) dalam
memahami, pada wilayah timur tengah kerap mendapatkan beberapa
tentangan karena cara-cara yang digunakan dalam hermeneutika dianggap
‘membahayakan’ sakralitas kitab suci agama (semisal alquran) sebagai
wahyu Tuhan yang diagungkan.3

1
Budi Hardiman, 2013. Seni Memahami. Yogyakarta: Kanisius. hal. 25
2
Ibid.
3
Ibid. hal. 27
Refleksi kritis mengenai hermeneutika dirintis oleh Friedrich
Schleiermacher (1768-1834). Sumbangan yang diberikannya adalah
mengenai divinatorisches Verstehen (pemahaman intuitif). Sebuah tafsir
membutuhkan intuisi tentang karya yang sedang dipelajari. Sebuah teks
yang kita baca tidaklah asing sepenuhnya, juga tidak biasa secara
keseluruhan. Keasingan suatu teks dapat diselesaikan dengan cara
memahami maksud si pengarang. Rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman
dan kondisi batin pengarang dan berempati dengannya adalah suatu
kewajiban.
Dalam bidang hermeneutika, Schleiermacher mempergunakan bidang
ini terutama dalam diskusi-diskusi tentang filsafat dan teologi.
Hermeneutika bagi Schleiermacher adalah sebuah teori tentang penjabaran
dan interpretasi teks-teks mengenai konsep-konsep tradisional kitab suci dan
dogma. Schleiermacher menerapkan metode-metode filologi untuk
membahas tulisa-tulisan biblis (tentang kitab suci Bible) dan menerapkan
metode hermeneutik teologis untuk teks-teks yang tidak berhubungan
dengan injil (Bible). Penerapan metode filologi tersebut dimaksudkan, oleh
Schleiermacher, untuk mencapai pemahaman yang tepat atas makna teks.
Hermeneutika dapat disebut sebagai sebuah “seni”, karena dua hal:
pertama, karena bertolak dari situasi tanpa pemahaman bersama atau bahkan
kesalahpahaman umum, sehingga pemahaman memerlukan upaya
“canggih” dan tidak dapat secara spontan saja; kedua, karena praktik untuk
mengatasi kesalahpahaman umum itu dilakukan menurut kaidah-kaidah
tertentu. Kata “seni” di sini dimengerti sebagai “kepiawaian” seperti yang
dapat kita temukan pada seniman yang menghasilkan fine art.
Pada abad ke 18 terjadi suatu persaingan antara dua arus besar
pemikiran, yaitu antara arus besar Pencerahan dan Romantisme. Gerakan
Romantisme sangat kritis terhadap Pencerahan di abad ke-18. Para pemikir
gerakan Romantisme memandang kemajuan-kemajuan peradaban kapitalis
industrial Eropa sebagai hal yang berbahaya dan wujud kemerosotan umat
manusia. Pengikut gerakan Romantisme mencoba menggali kebijaksanaan
kuno dalam tradisi, agama, mitos untuk menemukan core of value bagi masa
kini, dan terutama menemukan perasaan-perasaan sebagai kekuatan
manusiawi yang penting.4
Romantisisme sejalan dengan Kant dalam hal tekanan pada kehendak
bebas dan doktrin bahwa realitas semesta pada dasarnya spiritual, dengan
alamsendiri merupakan cermin dari jiwa manusia. Pengetahuan tentang
semesta spiritual tidak dapat diperoleh lewat cara-cara analitik rasional,
tetapi hanya dengan keterlibatan—ketertenggelaman emosional dan intuitif
dalam suatu proses. Sumbangan romantisisme bagi hermeneutika
Schleiermacher adalah hermeneutika sebagai upaya pemahaman teks, bukan
sebagai objek intelektual dengan memetakan aturan-aturan sintaksis semata,
melainkan sebagai upaya memeroleh kembali yang subjektif-individual dari
balik teks tersebut dengan kebebasan imajinasi intuisi.
Pada masa itu pandangan Kant yang menyempitkan agama pada
moralitas dan Hegel yang menyaring agama menjadi rasionalitas belaka
sangat dominan serta etika Gereja yang amat pervasive dalam kehidupan
waktu itu mulai terkikis. Tidak dapat dipungkiri adanya dua gerakan besar
antara penganut Romantisme dan Pencerahan dari kedua tokoh tersebut
turut mempengaruhi pemikiran Schleiermacher. Schleiermacher mengambil
jalan tengah dengan membangun argumentasi bahwa hakikat agama adalah
“perasaan ketergantungan mutlak” di hadapan alam semesta.5 Berdasarkan
pemaparan di atas, perlu dikaji lebih mendalam bagaimana peran
hermeneutika Schleiermacher terkait sintesa antara agama dan rasionalitas
serta mengenai seni memahami.

4
Ibid.
5
Komaruddin Hidayat. 2003. Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju. Hal. 37
1.2. Pembahasan

Sintesa Agama dan Rasio

Schleiermacher lebih dikenal sebagai teolog dan pengkotbah dari pada


sebagai filsuf. Fokus kerjanya dengan hermeneutika mewarnai perjalanan
karier intelektual sejak dirinya mengajar di Halle pada 1805 sampai
meninggalnya. Schleiermacher tidak membuat hermeneutikanya dari suatu
kevakuman. Karyanya harus dilihat dalam skema latar belakang
perkembangan diri dan zamannya. Hermeneutika Schleiermacher harus
dilihat sebagai bagian dari pergerakan romantik awal, 1795 – 1810, yang
merevolusi kehidupan intelektual di pusat Eropa.6
Sebelum membicarakan lebih jauh tentang Schleiermacher, akan lebih
baik jika membicarakan dua pendahulunya terlebih dahulu. Keduanya
adalah filolog, yakni peneliti teks-teks kuno yang dalam konteks Eropa
adalah warisan Yunani-Romawi kuno. Mayoritas orang pada zaman mereka
memahami hermeneutika secara spesial sebagai interpretasi atas teks-teks
kuno. Tokoh pertama, Friedrich Ast (1778-1841), berpendapat bahwa tugas
filologi adalah adalah “roh” atau—dalam kosakata Herder—Volkgeist (roh
rakyat) dalam kebudayaan Yunani dan Romawi kuno. Istilah “roh” di sini
memadatkan berbagai aspek mental-intelektual kebudayaan, seperti tata
nilai, moralitas, alam pikir dan seterusnya. Mengerti mentalitas suatu
kebudayaan yang tercermin dalam teks-teks tentu bukan pekerjaan yang
mudah.7
Tokoh kedua adalah Friedrich August Wolf (1759-1824). Seperti Ast,
Wolf juga membatasi hermeneutika sebagai upaya untuk menangkap makna
dalam teks-teks kuna, makna adalah alat dalam filologi. Baginya interpretasi
adalah sebuah dialog dengan penulis. Agar dapat menangkap pikiran
penulis, penafsir perlu menempatkan diri dalam situasi penulis atau—dalam
istilah Wolf—memiliki “keringanan jiwa” yang “lekas menyelaraskan diri
dengan pikiran-pikiran asing”.

6
Buku Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, hal. 201 – 203.
7
Ibid.
Sejarah perkembangan hermeneutika, khususnya hermeneutika atas
teks-teks dapat ditelusuri dalam sejarah keagamaan, dan lebih umum lagi,
sejarah pemikiran Yudeo-Kristiani. Tradisi agama Yahudi, melakukan
penafsiran terhadap teks-teks Taurat (Tora) dilakukan oleh para ahli kitab,
yaitu mereka yang membaktikan hidupnya untuk belajar dan menafsirkan
hukum-hukum agama. Selain para ahli kitab itu, dalam masyarakat Yahudi
juga muncul tokoh-tokoh tafsir lainnya, yaitu para nabi. Mereka mendidik
masyarakat sambil melontarkan kritik sosial atas praktik-praktik keagamaan
yang tidak dibarengi praktik yang berkeadilan. Para nabi yahudi dalam
menjalankan fungsinya mereka terus-menerus berupaya memberi tafsir
tentang apa itu agama yang benar sesat dan palsu. Dasar tafsir tersebut
adalah tradisi Yahudi dan pengalaman pribadi sang nabi.
Tradisi Kristiani awal juga segera menerapkan hermeneutika pada
teks-teks Perjanjian Lama. Orang-orang Kristen purba menafsirkan teks-
teks itu dengan cara pandang baru yang tidak dimiliki oleh orang-orang
yang beragama Yahudi, yaitu pengalaman iman akan Yesus Kristus yang
wafat dan bangkit. Oleh karena itu teks-teks Perjanjian Lama itu dipahami
“secara Kristiani”. Hasil tafsir tersebut termuat di dalam Perjanjian Baru.
Masalah hermeneutika teks-teks kitab suci mulai jelas dalam abad-
abad pertama Masehi. Terhadap teks-teks kitab suci itu, orang-orang Kristen
mencoba memberi dua macam penafsiran: penafsiran simbolis dan
penafsiran harfiah. Kedua macam hermeneutika ini tampil dalam
kontroversi antara mazhab Antiokhia dan mazhab Aleksandria, dua pusat
agama Kristen pada abad-abad pertama perkembangannya. Mazhab
Antiokhia menafsirkan kitab suci secara harfiah, sedangkan mazhab
Aleksandria secara alegoris atau simbolis.
Puncak permasalahan hermeneutika teks kitab suci dialami agama
Kristen pada zaman Reformasi. Agama Kristen terpecah karena perbedaan
prinsip-prinsip hermeneutis. Sementara golongan Protestan memegang
prinsip sola scriptura (hanya kitab suci), gereja Katolik memegang prinsip
tradisi: kitab suci ditafsirkan dalam terang tradisi. Pada masa-masa inilah
hermeneutika menjadi kegiatan yang sangat penting dan memiliki implikasi
sosiopolitis yang sangat luas. Masing-masing aliran dalam agama Kristen
pasca-Reformasi memperkembangkan bangunan teologisnya menurut
prinsip-prinsip hermeneutisnya sendiri sehingga perbedaan ini juga terwujud
dalam bentuk sosioreligius yang berbeda-beda.
Schleiermacher memandang agama sebagai iman atau kepercayaan
tak lain hanyalah merasakan alam semesta. Simbol-simbol atau ritus-ritus
dalam agama tak lain adalah ungkapan “perasaan religius” tersebut.
Pembakuan dogmatisasi penafsiran yang membelenggu kebebasan individu
dalam proses penafsiran kitab suci ditolak oleh Schleiermacher.
Schleiermacher juga menyatakan kritik-kritik dari ilmu-ilmu lain tidak harus
dibentengi atas nama suatu otoritas pemaknaan, melainkan justru diterima
sebagai masukan yang akan memperkaya pemaknaan teks suci itu sendiri.8
Melalui pemikirannya tentang eksegesis, Schleiermacher ingin
mendobrak dua ototritas sekaligus, yaitu supremasi akal dan dogmatism
eksegesis. Schleiermacher banyak dipengaruhi Kant, dimana ia pun
mengesampingkan unsur pengetahuan dalam iman. Namun, jika Kant
meletakkan yang transenden di ranah noumena yang terasing dan
menganjurkan suatu keberagaman dalam batas-batas penalaran saja
(religion within the limits of reason alone), maka Schleiermacher ingin
memberi tempat pada perasaan, emosi dalam beragama yang ia mengerti
sebagai rasa ketergantungan darri Allah yang dialami manusia.
Kritisisme yang dibangun oleh Immanuel Kant bersumbangsih melalui
pemilahan antara fenomena yang penuh aturan dan noumena yang bebas-
unik batiniah. Pemahaman inilah yang kemudian dipakai Schleiermacher
untuk melihat teks sebagai fenomena berupa aturan-aturan sintaksis
komunitas bahasa si pengarang yang supra individual dan noumena berupa
muatan batin individual pengarang yang ingin diungkapkan.
Tugas utama seorang hermeneut adalah membawa kembali kehendak
makna yang menjadi jiwa suatu teks. Apabila teks suci dilihat sebagai
wacana dimana ada suatu yang mau diungkapkan, ada yang dituju (umat),
ada waktu (saat teks disusun), dan mengacu wahana tertentu (teks tertulis),

8
Hardiman Budi, 2013. Seni.... Op.cit. hal. 33
maka teks-teks yang dianggap mengungkapkan iman harus didekati dari
sudut ‘rasa saya apabila teks itu dibaca’. Proses interpretasi harus masuk
menembus segala dogmatisasi penafsiran untuk sampai pada maksud si
pengarang (interioritas rohani yang mendahului penyusunan teks) melalui
daya intuisi yang dimiliki manusia.
Eksegesis Schleiermacher ingin ‘meloncati’ segala ajaran iman atau
dogma dari sejarah Gereja dan teologi langsung ke makna asli teks itu bagi
‘pengalaman imanku’.9 Schleiermacher seringkali dipandang sebagai bapak
teologi liberal, yakni teologi yang menekankan kebebasan setiap orang
dalam memperkaya intensitas keimanannya. Kebebasan si penafsir dan
segala dogmatism penafsiran membantu penafsir untuk secara intuitif
mengalami proses batin pengarang teks dan menghayati dengan mesra
proses-proses keimanan si penyusun teks tersebut. Hal itu merupakan
kebalikan dari komposisi sebagai penyususnan suatu teks, yaitu dengan
bertitik tolak dari yang sudah jadi untuk mundur merekonstruksi
pengalaman batin yang dahulu kala telah menghasilkan teks tersebut. Lewat
pemikirannya tentang eksegesis, Schleiermacher telah mengubah iman dan
agama menjadi ‘pengalaman religius’, ‘teologi menjadi antropologi’, dan
wahyu menjadi kesadaran religius bangsa manusia.10
Khusus hermeneutika yang telah dipraktekan cendekiawan muslim
dalam dunia Islam menangkap makna mendalam Al-Quran telah terjadi pro
dan kontra hingga kini. Kalangan muslim modernis mengkritik pandangan
sementara kalangan yang terlalu mengagung-agungkan sejarah kebesaran
dan kegemilangan umat Islam masa lalu, serta menganggap bahwa Islam
hendak ditarik ke masa lalu, sebagaimana diinginkan kalangan salafi.
Persoalan umat Islam begitu kompleks, dan tentu tidak sekompleks
persoalan umat Islam masa lalu.11 Oleh karenanya pemecahannya bukan
dengan bermimpi dengan mengusung apa saja yang membuat kesuksesan
umat Islam terdahulu ke dalam kehidupan umat Islam dewasa ini, tetapi

9
Friedrich Schleiermacher. 1998. Hermeneutics and Criticism and Other Writings,
terj.Andrew Bowie, Cambridge University Press. hal. 32
10
Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius,
11
Mulyono, Slamet “Hermeneutika Al-Quran Antara Pemaknaan Tekstual dan
Kontekstual”. Jurnal Ulumuna Vol.1 no. 1. Juni 2010 hal. 15
melakukan interpretasi ulang terhadap ajaran (al-Qur‟an) yang membuat
umat Islam masa lalu begitu sukses, dan kemudian mengaplikasikannya
dalam dunia modern dewasa ini. Disinilah perlunya dialog yang intens
antara tradisi dan modernitas. Pada sisi yang lain, kalangan ulama terdahulu
senantiasa menempatkan al-Qur‟an pada posisi sentral dan tertinggi, artinya
al-Qur‟an sudah dianggap sebagai kebenaran final dan tidak mungkin
berubah, dan al-Qur‟an merupakan Kalamullah, bukan buatan Muhammad
sebagaimana tulisan-tulisan para orientalis dan kalangan barat.12
Kecenderungan menggunakan metode hermeneutika di kalangan
muslim modern adalah didasarkan pada keinginan untuk menggali dan
mengungkap nilai-nilai al- Qur‟an dalam kehidupan yang sudah berubah
ini. Reinterpretasi dalam memahami al-Qur‟an sangat mendesak untuk
dilakukan. Metode tafsir yang selama berabad-abad dilakukan oleh para
ulama, ternyata tidak mampu menjawab persoalan kemanusiaan saat ini.
Tantangan dan masalah yang dihadapi umat Islam sekarang sangat berbeda
dengan tantangan dan masalah umat Islam pada masa-masa yang lalu.13
Oleh karena itu, hermeneutika dipandang sebagai satu metode yang tepat
dalam memahami al- Qur‟an di era modern ini.

Seni Memahami
Schleiermacher menggambarkan bahwa proses hermeneutis sebagai
pembalikan dari proses penulisan teks. Proses hermeneutis dimana penulis
bergerak dari pikirannya ke ungkapannya dalam susunan kalimat-kalimat,
pembaca bergerak sebaliknya dari susunan kalimat-kalimat memasuki dunia
mental yaitu pikiran penulisnya. Contoh kongkrit adalah sebagai berikut
Kartini mengungkapkan pikiran-pikirannya ke dalam susunan kalimat-
kalimat dalam surat-suratnya, kita sebagai pembaca mencoba memasuki isi

12
Khalif, Muammar, ”Politik Islam: Antara Demokrasi dan Teokrasi”, Jurnal Islamia Vol.
2, No. 6, Maret 2005.
13
Syamsuddin, Sahiron, dkk. 2003. Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta:
Islamikaa
pikiran Kartini lewat pintu kalimat-kalimat itu. Di sini Schleiermacher lalu
membedakan antara “interpretasi gramatis” dan “interpretasi psikologis”.14
Interpretasi gramatis atau teknis adalah proses memahami sebuah teks
bertolak dari bahasa, struktur kalimat-kalimat, dan juga hubungan antara
teks itu dan karya-karya lainnya dengan jenis yang sama. Surat-surat Kartini
misalnya ditulis dalam bahasa Belanda dari abad lalu dan berhubungan
dengan tulisan-tulisan lain yang sejenis, misalnya, buku-buku yang dibaca
Kartini atau korespondensinya dengan teman-temannya. Bila interpretasi
gramatis menempatkan teks dalam kerangka obyektif, interpretasi
psikologis memusatkan diri pada sisi subyektif teks itu, yaitu dunia mental
penulisnya. Yang dicari di sini adalah seperti disebut Palmer “individualitas
si pengarang, kejeniusannya yang khas”.
Schleiermacher berpendapat bahwa tujuan pemahaman adalah
menghadirkan kembali dunia mental penulisnya atau memakai istilah dari
Palmer—“rekonstruksi pengalaman mental pengarang teks”. Kita sebagai
pembaca seolah-olah mengalami kembali (Wieder-Erleben) pengalaman
penulis teks. Di sini kita perlu berhati-hati agar tidak menyalahpahami
Schleiermacher. Dengan interpretasi psikologis tidak dimaksudkan
menangkap penyebab perasaan-perasaan penulis. Targetnya bukan emosi,
melainkan pikiran penulis. Alih-alih bertanya, apa yang dirasakan Kartini,
kita bertanya, apa yang dipikirkan olehnya dengan kalimat-kalimat itu. Isi
pikiran di balik perasaan-perasaan itulah yang relevan untuk pemahaman.
Makna teks dapat dipahami, jika pembaca seolah-olah masuk ke
dalam kulit penulis teks, dan hal itu tidak terjadi secara subyektif belaka.
“Penafsir,” demikian tulis Schleiermacher, “harus menempatkan dirinya
baik secara obyektif maupun subyektif dalam posisi pengarang”. Pada salah
satu bagian tulisannya dia menulis pernyataan tentang tugas interpretasi
yang kerap dikutip, yakni “Memahami teks pertama-tama dan juga
kemudian bahkan lebih baik daripada pengarang teks itu”.15 Pernyataan ini
tentu membingungkan. Bagaimana mungkin kita sebagai pembaca dapat
memahami teks lebih baik daripada penulisnya? Ambil contoh lain, yaitu
14
Hardiman Budi, 2013. Seni.... Op.cit. hal. 40
15
Ibid.
surat-surat Paulus. Rasul Paulus yang surat-suratnya masuk ke dalam
Perjanjian Baru tentu lebih memahami maksud isi surat-suratnya itu
daripada kita, pembaca dari dua milenium sesudah dia. Bagaimanapun
penulis adalah asal muasal dari maksud atau makna teks yang
dihasilkannya, maka ia lebih tahu daripada pembaca. Pernyataan
Schleiermacher itu membutuhkan penjelasan sedikit panjang di sini.
Pernyataan itu tidak dimaksudkan bahwa pembaca lebih benar
memahami teks daripada penulisnya. Sebaliknya, pembaca tidak memiliki
akses langsung ke dalam dunia mental penulis, maka ia perlu mengerti
banyak hal lain yang terkait dengan teks itu agar dapat memasuki isi pikiran
penulis. Hal-hal lain yang diketahui oleh pembaca itu sebenarnya tidak
diketahui atau tidak disadari oleh penulisnya.
Untuk memahami isi surat Paulus kepada umat di Korintus, misalnya,
kita perlu mengetahui tidak hanya siapa Paulus dan latar belakang
pendidikan dan kisah hidupnya, melainkan juga keadaan sosial, ekonomis,
politis serta adat istiadat masyarakat Korintus pada umumnya dan jemaat
Korintus yang menjadi alamat surat itu pada khususnya. Data demografis,
pemakaian simbol-simbol, gaya bahasa, kaitan dengan kelompok-kelompok
Kristiani purba lainnya adalah hal-hal lain yang perlu diketahui agar dapat
mengakses makna, yaitu isi pikiran Paulus, penulis surat itu. “Kita mesti
menyadari banyak hal yang tidak disadari oleh si penulis sendiri” demikian
kata Schleiermacher. Banyaknya buku tafsir atas surat-surat Paulus bukan
hanya berarti bahwa ada banyak interpretasi atas surat-surat itu, melainkan
juga bahwa ada banyak hal lain yang tidak diketahui oleh Paulus sendiri,
tetapi diketahui oleh para penafsirnya. Dalam arti ini para penafsir Paulus
memahami Paulus lebih baik daripada Paulus sendiri.16
Dua jenis interpretasi yang disarankan oleh Schleiermacher kiranya
dapat menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan memahami teks
lebih baik daripada penulisnya. Kanon pertama Schleiermacher berbunyi:
“Segala hal dalam sebuah tuturan yang memerlukan sebuah penentuan yang

16
Donny Gahral Adian. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif.
Yogyakarta: Jalasutra, 2006. hal. 47
lebih tepat hanya dapat ditentukan dari area bahasa yang sama bagi si
pengarang dan pendengar langsungnya”. Masalah dalam setiap tugas
interpretasi adalah kesenjangan waktu antara penulis dan pembacanya.
Penulis berasal dari zaman yang berbeda dari pembacanya, dan hal itu
melibatkan banyak hal, seperti misalnya, pengartian yang berbeda dari
bahasa yang sama atau perubahan arti lewat waktu. Kata Latin hostis,
misalnya, berarti “orang asing”, tetapi semula artinya adalah “musuh”,
karena dulu semua orang asing adalah musuh. Lewat waktu orang mulai
berhubungan dengan orang asing, maka kata itu perlahan mengalami
perubahan arti yang lalu berbeda dari musuh. Kanon pertama menyarankan
agar pembaca menjangkau makna asli sebelum kata mengalami perubahan
arti lewat waktu, yakni artinya sebagaimana dipahami oleh penulis dan
pembaca awalnya.
Schleiermacher menggunakan istilah “lingkup” (Sphäre) untuk
konteks hidup penulis, seperti: perkembangannya, keterlibatannya, cara
bicaranya. Kita sebagai pembaca harus memahami lingkup itu lewat
interpretasi gramatis, misalnya, dengan menempatkan kata yang dipakainya
dalam konteks lebih luas, membandingkan pemakaian kata yang satu
dengan yang lainnya, membedakan arti literal dan figuratif, dan seterusnya
karena “sebuah kata tidak pernah terisolasi, bahkan ketika berada sendiri,
karena pengertiannya tidak berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari
konteksnya”
Kanon kedua berbunyi: “Makna tiap kata sebuah kalimat harus
ditentukan dengan konteks kata itu berasal”. Sebuah kata bisa memiliki
berbagai arti, maka arti yang dimaksudkan oleh penulis dapat dipahami
dengan memeriksa konteks munculnya kata itu. Menurut Schleiermacher
kita tidak dapat sepenuhnya menjelaskan arti suatu kata sebagaimana
dipakai penulis di masa lalu. Bahasa bisa mati, sehingga maknanya sulit
ditangkap seluruhnya, sementara makna bahasa yang masih hidup juga sulit
ditangkap sepenuhnya karena masih berubah. Meski demikian, pembaca
dapat mengakses lingkup penulis untuk memahami apa yang ia maksud.
Dalam rangka mengakses lingkup penulis itulah diperoleh banyak data yang
tidak diketahui si penulis sendiri.
Schleiermacher menganggap, interpretasi gramatis itu harus
dilengkapi interpretasi psikologis, dan kedua macam interpretasi ini terjadi
serentak dalam lingkaran hermeneutis, karena “bahasa dan pikiran-pikiran
berkelindan”. Juga dalam interpretasi psikologis bagian-bagian diterangi
oleh keseluruhan dan sebaliknya. Kita baru memahami makna bahasa
khusus yang dipakai si pengarang, jika kita telah memahami bahasa yang
dipakai oleh masyarakatnya pada waktu itu. Begitu juga dalam interpretasi
psikologis, kita baru dapat memahami individualitas si pengarang, jika
diterangi oleh pemahaman atas seluruh kehidupannya dan juga zamannya.
Hal itu tidak hanya berlaku untuk kesusastraan, hukum atau teks-teks sakral,
melainkan juga untuk karya-karya seni.17 Untuk memahami karya-karya
musik Wolfgang Amadeus Mozart, misalnya, penafsir harus membaca
biografi-biografi Mozart dan tokoh-tokoh sezamannya untuk mendapatkan
terang mengenai “lingkup” atau konteks kepribadian dan singularitas sang
jenius.
Lawrence K. Schmidt mencoba menskemakan interpretasi psikologis
Schleiermacher menjadi empat tahap: Pertama, menangkap keutuhan dan
arah tulisan itu untuk menemukan “ide sentral” yang menggerakkan penulis.
Kedua, mengidentifikasi tulisan itu dalam konteks obyektif, yakni misalnya,
termasuk dalam genre mana. Ketiga, menemukan cara bagaimana si penulis
menata isi pikirannya. Keempat, menemukan pikiran-pikiran sekunder yang
berkesinambungan dengan kehidupan penulis. Keempat tahap ini dilakukan
untuk merekonstruksi “genesis karya” itu (Understanding Hermeneutics,
19-20). Sebagaimana telah diulas, kita merekonstruksi genesis sebuah karya
tulis tidak cukup dengan memahami kalimat-kalimat yang tertulis di sana,
melainkan juga dengan mengambilalih posisi si penulis atau apa yang lalu
disebut “empati” psikologis. Untuk itu kita sebagai pembaca harus keluar
dari teks itu untuk menemukan konteks penciptaannya. Seluruh proses
pengenalan konteks dan penciptaan karya itu adalah sebuah keahlian atau

17
Ibid.
apa yang disebut Schleiermacher “seni”, dan keahlian menjalankan seni
itulah yang membuat seorang penafsir memahami karya itu lebih baik
daripada penulisnya.
1.3.Penutup

Schleiermacher dalam konteks sintesa antara agama dan rasionalitas


ingin mendobrak dua ototritas sekaligus, yaitu supremasi akal dan
dogmatism eksegesis. Schleiermacher banyak dipengaruhi Kant, dimana ia
pun mengesampingkan unsur pengetahuan dalam iman. Kant yang
meletakkan yang transenden di ranah noumena yang terasing dan
menganjurkan suatu keberagaman dalam batas-batas penalaran saja
(religion within the limits of reason alone), maka Schleiermacher ingin
memberi tempat pada perasaan, emosi dalam beragama yang ia mengerti
sebagai rasa ketergantungan darri Allah yang dialami manusia.
Eksegesis Schleiermacher ingin melampaui segala bentuk ajaran iman
atau dogma dari sejarah Gereja dan teologi langsung ke makna asli teks itu.
Schleiermacher seringkali dipandang sebagai bapak teologi liberal, yakni
teologi yang menekankan kebebasan setiap orang dalam memperkaya
intensitas keimanannya. Kebebasan si penafsir dan segala dogmatism
penafsiran membantu penafsir untuk secara intuitif mengalami proses batin
pengarang teks dan menghayati dengan mesra proses-proses keimanan si
penyusun teks tersebut.
Sedangkan konsep hermeneutikanya lebih menekankan pada aspek
historis dan psikologis sebagai analisa untuk menemukan makna yang
otentik seperti yang dimaksud pengarang pertama (the first author). Adapun
cara yang digunakan dengan rekonstruksi historis, subjektif dan objektif
terhadap sebuah pernyataan. Dalam hal ini Schleiermacher tidak
membedakan bahasa tuturan dan tulisan karena menurutnya keduanya sama-
sama mengandung unsur gramatis dan psikologis. Schleiermacher
berpendapat hermeneutika sebagai seni memahami the art of understanding)
membutuhkan metode langkah kerja praktis yaitu komparatif dan
divinatoris. Sebagai pemikir hermeneutika, Schleiermacher dipengaruhi
banyak tokoh utamanya filolog Friedrich Ast dan Friedrich August Wolf, di
mana keduanya menunjukkan hermeneutika sebagai seni interpretasi teks
melalui analisis aspek luar dan dalam teks.
Daftar Pustaka

Buku

Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar


Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2006.

Hardiman Budi, 2013. Seni Memahami. Yogyakarta: Kanisius

Hidayat, Komaruddin. 2003. Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju.

Schleiermacher, Friedrich. 1998. Hermeneutics and Criticism and Other Writings,


terj.Andrew Bowie, Cambridge University Press.
Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius,
Syamsuddin, Sahiron, dkk. 2003. Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya,
Yogyakarta: Islamika

Jurnal

Mulyono, Slamet “Hermeneutika Al-Quran Antara Pemaknaan Tekstual dan


Kontekstual”. Jurnal Ulumuna Vol.1 no. 1. Juni 2010

Khalif, Muammar, ”Politik Islam: Antara Demokrasi dan Teokrasi”, Jurnal


Islamia Vol. 2, No. 6, Maret 2005.

Vous aimerez peut-être aussi