Vous êtes sur la page 1sur 5

Kajian Scriptual Qur’an-Sunnah dan Fikih Siyasah

dalam Konteks Sistem Negara Islam


by: MWiyono

“Al Qur’an dan sunnah tidak memberikan landasan bentuk negara


yang secara spesifik dan bahwa syari’ah tidak mengelaborasi suatu
konstitusional yang rinci, namun apapun bentuknya, negara Islam
harus sesuai dengan syari’ah yang melindungi hal-hak manusia
secara komunal. Yang notabene-nya sebagai khalifah, kelengkapan
syari’ah terformulasikan sedemikian rupa sehingga syari’ah tidak
perlu berubah atau diubah, karena kesesuaiannya dengan fithrah
manusia pada saat itu”

Begitulah statemen Maulana Asad yang ditulis oleh Abdullah Ahmad An-
Nai’im; sebenarnya yang ingin dikatakan Asad adalah Syari’ah menetapkan
segala sesuatu dengan sepenuhnya berpegang teguh kepada aspek-aspek
kehidupan manusia yang hakekatnya tidak berubah, selanjutnya prinsip-prinsip
umum yang terdapat dalam syari’ah dinterpretasikan untuk diaplikasikan ke
dalam tatanan kehidupan nyata, supaya tercipta kehidupan yang nyaman dan
tentram. Sedangkan yang mempunyai otoritas memobilisatori gerbong sistem itu
adalah seperangkat sistem yang di mobilisasi sedemikian rupa oleh penguasa
atau pemimpin, istilah penguasa atau pemimpin dalam literatur Arab klasik
disebut dengan khalifah atau Imam. Spesifikasi ilmu mengupas persoalan itu
adalah ilmu politik (siyasah). Pendek kata siyasah atau politik yaitu seni yang
mempelajari tentang pengolahan atau me-manag hubungan timbal balik antara
pemimpin dengan yang dipimpin, antara atasan dengan bawahan untuk
mencapai taraf kehidupan yang mapan.

Ulil Absar Abdalah membedakan makna politik dengan siyasah dari segi
pendekatan. Politik muncul dari literatur Barat (Romawi) yang lebih cenderung ke
arah sistemik sedangkan siyasah muncul dari Arab, yang lebih mengedepankan
pendekatan personal. Namun pada garis besarnya sama, yaitu mengatur relasi
kehidupan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain dalam berbangsa
dan bernegara.

Berbicara sistem, secara otomatis membicarakan subyek yang menjalankan


sistem tersebut, dalam konteks ini adalah seorang khalifah. Menarik untuk dikaji,
ketika di kaitkan dengan Islam yang jelas-jelas tidak mempunyai bentuk negara
yang permanen. Marilah kita tengok sejenak fakta sejarah yang melatarbelakangi
munculny sistem kekhalifahan. Setidaknya ada tiga fakta sejarah, di mana pada
saat itu kehadiran Muhammad secara de facto dinobatkan sebagai pemimpin di
Madinah khususnya dan di masyarakat Arab pada umumnya;

Pertama, Muhammad di utus ke Mekkah, pada saat itu masyarakatnya


hidup dalam keadaan bersuku-suku yang potensial menelorkan praktik
kanibalisme, sehingga membuat suatu sistem saling mencintai dan saling
menghormati merupakan suatu keniscayaan.
Kedua, seiring dengan diutusnya Muhammad yang mempunyai misi agama
baru (baca; Islam) yang tidak hanya mempunyai dimensi individualistik tetapi
juga sosial-demokratik yang merupakan inti dari ajaran baru tersebut.

Ketiga, Muhammad dengan sendirinya tertuntut untuk membuat suatu


perjanjian sederhana yang mengatur kehidupan sosial pada saat itu. Dengan
demikian maka terbentuklah sebuah sistem masyarakat yang menyerupai negara
—kalau keberatan dinamakan dengan negara. Pada saat itu belum disebut
sebagai bangunan politik karena Muhammad sendiri enggan disebut sebagai
‘raja’, karena raja adalah Allah, yang mempunyai kedaulatan absolut. Dalam
istilah Arab yang menunjuk ke makna itu adalah raja atau Khalifah.

Hal ini menggiring ke arah pertanyaan “siapa yang akan mengendalikan


perintah di dunia ini?” atau dalam ungkapan kontemporer :”siapa yang
memimpin negara ini? Sedangkan penguasa tertinggi adalah Allah dan Rasulnya,
bagaimana sepeninggal rasululah, bukankah Rasulullah tidak pernah menunjuk
siapa yang menggantikannya, Secara historis dapat dimaklumi kalau kemudian
muncul perselisihan serius dalam hal ini, yang pertama kali terjadi di kalangan
umat Islam yaitu silang pendapat tentang generasi penerus Rasulullah. Klaim
muhajirin merasa kubunya-lah yang berhak atas kedudukan itu, sama halnya
yang dipikirkan oleh Kaum Anshar.

Sebenarnya keduanya mempunyai legalitas yang sah untuk menduduki


jabatan itu. Akhirnya dengan pertimbangan bahwa orang Arab tidak akan mau
tuduk kecuali kepada suku Quraisy, kemudian Abu Bakar berhasil di pilih secara
demokratis menjadi representasi dari umat Islam dan kemudian di Bay’at untuk
menjadi pengganti Rasulullah saw (khalifaturasulillah), yang mempunyai derajat
sama tanpa memiliki otoritas relegius serupa. Pertimbangan apa itu tidak penting
sekaligus tidak saatnya untuk membicarakan tentang hal itu, fenomena yang
terjadi itulah sebagai bahan rakitan ijtihadiy untuk melacak konsep kekuasaan
politik.

Fenomena tersebut kemudian dijadikan rujukan utama –jika tidak satu-


satunya—untuk menopang teori kekhalifahan dalam sisitem politik Islam oleh
para ahli fiqh dari aliran ahli sunnah. Inilah yang menjadi fokus pada
pembicaraan kali ini. Meskipun ada satu madzhab besar yang berbicara tentang
konsep kekuasaan, yaitu konsep imamah yang dimiliki oleh faham syi’i.
Kekhalifahan menjadi penting karena sebagai wujud implementasi kedaulatan
Tuhan, untuk menegakkan syari’at produk Tuhan yang tertuang dalam Qur ‘an
dan Hadits yang membawa ‘suara’ keadilan dan persamaan (levelling) tanpa
adanya unsur diskriminasi.

Penguasa Dan Kekuasaan

Penguasa adalah orang yang didelegasikan melalui pengakuan sosial


untuk melaksanakan tugas kekuasaan di alam nyata, terlepas dari filsafat atau
ideologi yang melatarbelakanginya, dengan harapan membawa pengaruh positif
dalam kehidupan. Plato berpendapat bahwa tujuan kekuasaan itu adalah
menciptakan rezim yang disinari oleh kebenaran dan ilmu pengetahuan, karena
itu penguasa diharapkan dari orang yang mempunyai integritas moral yang
mapan agar dapat di teladani, bak Nabi saat memberi teladan kepada
ummatnya. Penguasa adalah wakil dari ‘suara’ rakyat, sebagai konsekwensi
logisnya harus mementingkan kepentingan sosial di atas kepentingan individual,
Ibnu Khaldun pakar Sosiolog Islam berpendapat :“ Apabila penguasa itu
mementingkan kepentinga rakyat maka negaranya adalah baik, dan begitulah
sebaliknya.

Kalau kita lihat di dalam dunia kristiani, keadaan penguasa sangat


ditentukan oleh pandangannya tentang negara tuhan, bukan negara dunia, St
Agustinus menolak negara dunia karena dipenuhi dengan tipu muslihat dan
kecurangan serta ketidak jujuran. Berbeda dengan aliran moderat dalam hal ini
diwakili oleh St Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa sistem kehidupan
harus ditentukan berdasarkan rasionalitas yang dapat dipahami oleh manusia
sebagai subyek pelaku kehidupan bernegara.

Kedua prespektif itulah yang membedakan politik modern dengan politik


Islam. Politik modern mengedepankan rasionalitas sebagai produk kreatifitas akal
manusia itu sendiri, sedangkan politik Islam mengedepankan tatanan baku
bercorak transendental, yang sudah di-design dalam al Qur’an selalu siap
menunggu untuk diinterpretasikan dan diaplikasikan ke dalam kehidupan aktual.
Kenyataan yang harus mendapat sorotan adalah khalifah yang mempunyai
kehendak politik (political will) yang dia punyai dan budaya politik yang ia
tampilkan, adagium politik “ing ngarso sang tulodo” (di depan menjadi teladan ),
khalifah tidak hanya benar tetapi harus mampu menjadi contoh yang benar,
dalam ungkapan Arab lisan al haal afsahu min lisaan al maqaal (bahasa
perbuatan adalah lebih fasih (tajam) daripada bahasa lisan).

Baik Hadits maupun Al Qur’an memberikan pedoman yang jelas mengenai


persyaratan khalifah, meskipun terlalu sederhana, diantaranya adalah khalifah
harus dari orang muslim (QS:4:59), dewasa baik prinsip maupun akalnya
(QS:4:5), dan warga negara Islam (WNI) seperti yang tertuang dalam QS.
8:72 :”mereka yang telah masuk Islam tetapi mereka tidak berhijrah (ke negara
Islam) tidak memperoleh perlindungan sampai mereka berhijrah”. Persyaratan
lain yang masih dalam medan perdebatan adalah jenis kelamin, dalil inilah yang
kemudian menjadi landasan kedaulatan masyarakat, dan wajib taat selama tidak
untuk berbuat kemaksiatan.

Kekhalifahan bukan berarti kesewenang-wenangan, tetapi lebih bermakna


suatu amanat yang harus dilaksanakan secara jujur dan adil serta penuh
tanggung jawab, karena ia dituntut pertanggungjawabannya secara moral di
hadapan syari’at yang meng-ideologi dalam kekhalifahannya itu. Ungkapan
sehari-hari “ke atas menjilat ke bawah menginjak “ menggambarkan dengan
tajam mekanisme psikologis hubungan antara atasan dan bawahan antara
pemimpin dan yang dipimpin yang kurang harmonis dan mengilustrasikan suatu
kemungkinan bentuk nyata negatif fungsi pemimpin sebagai teladan. Dalam
kodisi seperti ini maka pemimpin belum cukup hanya memberi teladan namun
juga harus sanggup menyerap teladan dari luar dirinya sendiri, saling
berkomunikasi memberi wejangan-wejangan kebajikan dan kesabaran, seperti
yang terdapat dalam surat al-ashr.

Argumen wakil tuhan adalah ummat, totalitas rakyat negara Islam, tidak
terbatas pada seorang secara individual atau sekelompok orang, rupanya
menawarkan beberapa pemecahan terhadap berbagai problem itu. Jika ummat
adalah wakil kolektif kedaulatan tuhan, maka mereka berhak untuk menunjuk
wakil-wakilnya untuk melaksanakan kewajiban pemerintah dan mempertanggung
jawabkan kepada ummat sebagai agen kedaulatan ummat yang sejati, seperti
yang terdapat dalam sabda nabi di dalam kitab sahihnya Ibn Hakim :”barang
siapa yang mengikuti seseorang dalam sebuah kelompok manusia, sementara ia
mendapatkan seseorang di kelompok tersebut orang yang lebih baik, dari pada
orang yang diikutinya maka sesungguhnya ia berkhianat kepada Allah dan Rasul-
Nya dan kepada kaum muslimin” Namun sayangnya di dalam syari’at tidak
ditemui mekanisme agenda tersebut.

***

Manusia dengan setumpuk keterbatasannya, disamping sebagai teladan


juga sebagai hamba yang lemah, maka sudah menjadi keharusan membuka diri
lebar-lebar untuk di benahi (dikritik), melalui media yang diberi nama dengan
Syura –yang diabadikan menjadi sebuah nama surat dalam al Qur’an.

Meski demikian khalifah tidak diperbolehkan mengikuti pendapat


mayoritas tanpa pertimbangan syar’i, karena hasil dari keputusan syura itu tidak
dapat mengikat, sebagaimana yang terdapat dalam prinsip musyawarah dalam
panggung politik modern, yang selalu di dasarkan pada pandangan masyarakat
mayoritas (Vooting), sehingga membuka peluang diskriminasi terhadap kaum
minoritas. Inilah perbedaan yang mendasar antara sistem musyawarah politik
modern dengan politik klasik (siyasah Islamiyah).

Perlu di ingat, bahwa setiap manusia mempunyai potensi untuk salah dan
benar. Karena potensi itulah, khalifah juga harus mempunyai sifat kesediaan
mendegarkan pendapat orang lain, sebagai bahan korektif atas kehendak politik
yang dijalankannya. Di sinilah posisi syura sangat diperlukan. Musyawarah pada
hakekatnya adalah interaksi positif sebagai individu di dalam masyarakat take
and give ide yang mengingatkan dan sekaligus mengikatkan kebenaran dan
kebaikan, sesuai dengan cita-cita masyarakat beradab untuk mewujudkan
masyarakat yang bermoral atau berakhlakul karimah, sebagaimana ungkapan
Qur’an yang dinyatakan sebagai Baldatun tayyibatun ‘negara yang sejahtera ‘.

Demikianlah tulisan ini kami buat dengan kesadaran penuh akan


kekurangannya, oleh karena kritik konstruktif itulah sebagai harapan untuk
menuju penyempurnaan. Amiin
http://rumahkutiaraku.blogspot.com/2009/03/obat-penyakit-ganas.html

Vous aimerez peut-être aussi