Vous êtes sur la page 1sur 7

SEMINAR NASIONAL

LIFE STYLE AND ARCHITECTURE (SCAN#2:2011)

ANGKRINGAN JOGJA
Ruang Kota dan Gaya Hidup yang Terus Berubah

Sekar Mangalandum
Asisten Penelitian di Indonesian Visual Art Archive (IVAA)
Jalan Patehan Tengah 37 Yogyakarta 55133 Telepon +62-274-375247
E-mail : mangalandum@yahoo.fr

ABSTRACT
The tide of city newcomers toward Jogja has been very intense within these last ten years, with
purposes wide-ranging from simply travelling to studying. Media exposed incessantly the image of
Jogja’s ambience. This had made quite an impact that the city government designated angkringan
as a culinary attraction. Imaging angkringan is imaging the city, for angkringan exists just right on
the street and street is a representation of the city. Before, angkringan operated insomuch as the-
general-public’s economical and communicatory sphere—this is “angkringan rakyat”. Nowadays,
certain angkringan appeared to indicate higher class and lifestyle, targeting upper-middle élites—
this is “angkringan elit”. While angkringan rakyat is hawked by the grassroots to earn living;
angkringan elit is managed by stakeholder, namely capitalist, to pursue as much profit as
opportunity allows. Obviously, Jogja is changing into lifestyle! Coexisting in one same arena, each
with its own devotees, angkringan rakyat as well as angkringan elit has nothing to do but sharing
the urban space. Howsoever brand-new and eye-catching angkringan elit’s design be, angkringan
rakyat does not lose its typical savour that contributes dynamism to the urban space. This paper is
looking forward to searching and portraying, at the same moment, the changes on Jogja’s urban
space through a typical signifier, angkringan, which was established since more than 5 decades in
Jogja’s streets, by approaching the hictorical dimension, its changing appearance, design, and
ownership. Angkringan rakyat and angkringan elit’s coexistence reaffirms the everchanging visage
of Jogja.

Keywords: angkringan, design, lifestyle, change, urban space

1. PENDAHULUAN
Gelombang liburan menuju Jogja semakin marak dalam 10 tahun terakhir1. Apa yang
membuatnya demikian? Faktor teknologi, media, promosi pariwisata, dan hasrat para
pemodal untuk menangguk keuntungan ada di belakang semua itu.
Harus diakui, di Jogja, atmosfer budaya dan tradisi masih bertahan, termasuk pamor
kraton, kharisma situs arkeologis, serta bangunan-bangunan cagar budaya. Akan tetapi,
yang secara khusus membuat Jogja menjadi istimewa adalah dimensi historisnya,
sekalipun kebanyakan orang tidak berpikiran sampai ke situ: bahwa Jogja adalah satu-
satunya kota yang tak pernah menyerah kepada penguasa kolonial.
Seorang pegawai negeri yang telah menyelesaikan studi S2 di UGM Jogja dan kini
kembali ke posnya di Departemen Perdagangan, Jakarta, berkata, ketika dia melanjutkan
studi di Jogja, dia tidak dibekali “sangu” yang cukup, sementara alokasi dana terbesar dia
pakai untuk buku dan fotokopi. Menyiasati situasinya, dana untuk makan sehari-hari mau-
tidak mau dia tekan untuk mensubsidi kebutuhannya akan buku dan fotokopi. Angkringan

1
Ditunjukkan Berita Resmi Statistik yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, data
penumpang kereta api dan pesawat jurusan Jakarta-Jogja maupun Jogja-Jakarta, liputan media
cetak dan elektronik.

PSIKOLOGI DAN ARSITEKTUR II. 161


SEMINAR NASIONAL
LIFE STYLE AND ARCHITECTURE (SCAN#2:2011)

pun menjadi “sang penyelamat” bagi dia dan kebanyakan teman-temannya yang datang
dari luar kota Jogja dengan kondisi mirip: “sangu” terbatas. Setelah studi S2-nya selesai
dan dia kembali bertugas di Jakarta, secara reguler dia “pulang” ke Jogja untuk
mengunjungi ibu kos dan warung-warung angkringan tempatnya makan sehari-hari dulu
itu.
Oleh Pemerintah Kota Jogja, hal-hal personal seperti di atas ditangkap sebagai
peluang untuk meningkatkan pendapatan kota. Dengan target Jogja menjadi pusat wisata
kreatif pada tahun 2010, nostalgia pun mulai digarap sebagai salah satu cara promosi
pariwisata. Angkringan tak pelak menjadi salah satu ruang nostalgia yang mereka soroti
dan angkat ke permukaan.
Dalam 50 tahunnya di bumi Jogja, angkringan dilanda perubahan. Berdirinya
angkringan-angkringan elit yang didukung oleh ekspos media mempertegas bahwa Jogja
dirambah para pemodal besar dengan cukup cepat. Perubahan ini saling berimbas pada
lingkup yang lebih besar, yakni kota Jogja. Profil Jogja berubah. Identitas ruang kota ini
sebagai milik rakyat mengabur, beralih menjadi arena gaya.

2. KAJIAN PUSTAKA

Angkringan Bertumbuh (Sejarah Angkringan)

Angkringan dibawa ke Jogja oleh Mbah Pairo dari Klaten. Mula-mula Mbah Pairo
berdagang di emplasemen Stasiun Tugu Jogja pada tahun 1950 (Utomo, 2006; Redaksi
Explore Indonesia, 2008). Angkringannya bukan gerobak dorong, melainkan pikulan khas
Klaten dan masih bertahan di Jogja hingga saat ini. Generasi setelah Mbah Pairo ialah Lik
Man yang mulai berjualan tahun 1969. Pada April 2010, sudah ada tiga angkringan
pikulan yang berjajar di samping Angkringan Lik Man. Keempatnya bernaung di bawah
satu tenda, berlokasi di Jl. Wongsodirjan. Orang Jogja lebih sering menyebutnya
Angkringan Kopi Joss2. Angkringan gerobaklah yang paling lazim dijumpai di Jogja.
Tahun 1990-an, mulai banyak angkringan macam ini di kaki lima. Orang bisa
menemukannya hampir di setiap seratus meter trotoar, tikungan jalan, pertigaan, maupun
perempatan.
Meski sebagian besar pedagang angkringan di Jogja berasal dari Klaten (khususnya
dari Cawas), angkringan di Klaten tidak sebanyak di Jogja. Di Solo, orang-orang tidak
mengenal angkringan, tetapi hik. Penamaan ini merupakan onomatopeia dari suara yang
dibuat si penjual ketika menjajakan dagangan, “Ting ting hiiik!” Seruan “hik” ini pastilah
begitu kental aksen Jawanya sehingga para bloggers yang mewarta secara on-line
menggambarkannya dengan ejaan “hiiik... iyeeek!” (Mulyadi, 2010). Nama hik ini
kemudian dibuatkan kepanjangan hidangan istimewa (à la) kampung.
Sementara itu di Jakarta, angkringan dikembangkan menjadi tren. Gaya kerakyatan
angkringan tidak dapat dipertahankan sebab yang disukai pangsa pasar Jakarta bukanlah
tenda dan gerobak, melainkan semiresto dan franchise. Kebutuhan yang mendesak untuk
mereka penuhi di angkringan bukan lagi kebutuhan perut, melainkan psikologis,
kebutuhan akan waktu dan ruang di antara kesibukan. “Kadang di Jakarta, kita duduk
agak lama sudah diusir-usir karena tempatnya buat pembeli yang lain. Kalau di
[angkringan] sini bebas, mau tiduran juga bisa. Sedangkan kita buka dari jam 3 sore
sampai 3 dini hari,” tutur seorang pendiri angkringan di Bekasi, Sartono, asal Sukoharjo,
pada tahun 2009 (Wiyono, 2009).
Kalau di Jakarta angkringan sudah bergaya semiresto dan ber-franchise, angkringan
yang dibawa ke luar Jawa dipertahankan gaya rakyatnya. Suhadi, seorang warga Jogja,
membuka usaha angkringan di Lampung pada awal tahun 2009 (Elwina, 2009). Suhadi

2
Kopi joss adalah kopi yang ke dalamnya dicemplungkan arang yang panas membara dari anglo.

PSIKOLOGI DAN ARSITEKTUR II. 162


SEMINAR NASIONAL
LIFE STYLE AND ARCHITECTURE (SCAN#2:2011)

memilih tepian jalan di daerah Gedongmeneng, Bandar Lampung, untuk menempatkan


gerobaknya. Harga murah, logat Jawa, dan kopi joss adalah bagian dari angkringan di
Jogja yang dibawanya ke Lampung. Di Lampung yang belum semetropolitan Jakarta,
“sekadar” angkringan bertenda dan bergerobak masih memancarkan daya tarik.

3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi ke 4 angkringan rakyat berbeda dan
2 angkringan elit; dengan metode wawancara terhadap 2 orang yang bekerja membantu
pemilik angkringan rakyat, 1 karyawan angkringan elit, dan 6 pengangkring (pelanggan
angkringan) berbeda; serta dengan metode pustaka. Dipilih pendekatan sejarah supaya
akar angkringan di jalan kota Jogja terpahami dari dimensi historisnya. Pendekatan
komparatif juga digunakan selama menilik angkringan rakyat dan angkringan elit yang
berada bersama-sama (coexists) di ruang kota agar potret Jogja yang berubah tampak
nyata kepada pembaca melalui tulisan ini.
Batasan pembahasan dalam penelitian ini adalah hal berubahnya angkringan Jogja
dalam wujud dan citranya dari yang kerakyatan menjadi yang bergaya dan berkelas.
Perubahan wujud dan citra angkringan membuat ruang kota, profil, dan identitas Jogja itu
sendiri berubah. Bahasan penelitian ini diharapkan memberi sumbangan cara pandang
untuk penataan ruang kota Jogja dan kota-kota di luarnya agar berani berpihak pada
rakyat, tidak hanya memenangkan pesona gaya hidup (lifestyle) dan arogansi ekonomi.
Demi kekayaan tulisan, ditetapkan bahwa yang menjadi penanda suatu angkringan
adalah makanan dan minuman (yang spesifik) yang dijualnya: nasi kucing, gorengan,
baceman, sate usus, sate telur puyuh, wedang jahe, teh, kopi, dan/atau susu.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Angkringan Tradisional dan Angkringan Elit

Di Jogja, muncul para “pemain baru” yang bermodal besar, yang menciptakan
angkringan gaya baru (angkringan elit). Angkringan elit tersebut berkonsep exclusive café
seperti The House of Raminten dimiliki seorang pengusaha batik terkemuka di Jogja.
Angkringan pemodal besar lain, T’Nong, dibuka tahun 2008 dengan slogan “Angkringan
gaya loe!”, milik seorang pengusaha event organizer. Pemilik angkringan elit ialah para
pengusaha, sama sekali berbeda dengan pemilik angkringan rakyat.
Meskipun demikian, angkringan rakyat masih juga dikunjungi oleh orang-orang
Jakarta yang tampak “gaya” sekalipun secara fisik, angkringan rakyat amat sangat tidak
“gaya”. Mungkin mereka sekadar ingin mencoba saja seperti pada suatu malam
pembukaan Festival Kebudayaan Tionghoa Yogyakarta tahun 2010. Sebuah keluarga
dari Jakarta datang ke Angkringan Lik No. Si ibu dan anak perempuannya bergaya chic,
sementara sang ayah tampak melangkah dengan berwibawa di samping mereka.
Berempat dengan si anak laki-laki, keluarga itu memilih dan memilah bungkusan nasi
kucing. Dari gesturnya, keluarga ini menunjukkan perasaan tidak familiar. Si ayah
memprotes ketika ditawari sate kikil, si ibu menanyakan apakah sate-sate itu matang, si
anak laki-laki kecewa pada sate kulit ayam. Oleh kelas menengah seperti keluarga ini,
makanan angkringan tradisional “dicurigai” sebagai tidak higienis dan tak bernutrisi.
Kemudian si anak perempuan memesan air mineral dan saudaranya berujar, “Teh botol.”

PSIKOLOGI DAN ARSITEKTUR II. 163


SEMINAR NASIONAL
LIFE STYLE AND ARCHITECTURE (SCAN#2:2011)

Tentu saja, angkringan tradisional tidak menyediakan air mineral ataupun teh botol. Yang
ada justru minuman seperti teh, teh kampul3, kopi, wedang jahe, wedang tape.
Ciri khas kelas menengah ke atas yang mapan juga diejawantahkan dalam
pembaruan bentuk fisik pada angkringan elit. Gerobak beroda dua dan bertenda diganti
dengan bangunan permanen. Untuk membangunnya, dipilih material yang sekiranya akan
mengesankan suasana alami atau bahkan “mendesa”. Misalnya kayu, bambu, dan atap
ijuk. Tidak lupa desain dan dekorasi interior dirancang menarik. Ada pula angkringan gaya
baru yang dengan sengaja ditempatkan di pelataran samping rumah pemiliknya. Bentuk
fisik seperti pondok-pondok berlantai dua dibangun pula, tentulah untuk memaksimalkan
daya tampung pengunjung. Lain halnya dengan angkringan gaya lama, pedagangnya
mesti setiap hari membongkar pasang gerobaknya. Menjelang senja, gerobak didorong
menuju tempat mereka berjualan. Tenda dipasang, bangku pun diturunkan. Sementara
itu, angkringan gaya baru sudah lepas dari kegiatan bongkar pasang setiap hari.
Mengamati angkringan gaya lama dan gaya baru, keduanya sama-sama
menyediakan banyak waktu untuk dihabiskan pengunjung. Pada angkringan gaya lama,
jam buka angkringan yang satu, tanpa diatur oleh kesepakatan bersama, bergantian
dengan jam buka angkringan yang lain, seakan aplosan. Akan tetapi angkringan gaya
baru, dengan modal besar, mampu “memborong” jam buka. Angkringan gaya baru buka
hampir 24 jam. Salah satunya buka pukul 9.00-00.00 dalam tujuh hari seminggu.
Pengunjung dapat ia jaring sebanyak-banyaknya untuk mengantungi laba sebesar-
besarnya.
Di angkringan gaya baru, atmosfer guyub yang melingkungi “gerobak dengan tenda”
tidak lagi yang utama. Pengunjung diberi layanan yang profesional. Di tengah banyaknya
angkringan gaya lama di jalan-jalan Jogja, angkringan gaya baru tentu mesti
menghadirkan dirinya secara berbeda. “Beda dari yang lain” sangat penting sebagai
bagian dari pemasaran (marketing). Mereka menciptakan suasana khas, interior didesain
sedemikian rupa, melibatkan properti-properti unik. Pencahayaan yang minimalis
dipertahankan, meniru umumnya angkringan gaya lama, sekalipun tidak dengan lampu
petromaks.
Makanan yang menjadi penanda suatu angkringan adalah nasi kucing. Tambahan
omelet membuat nasi kucing angkringan elit menjadi Barat. Di angkringan gaya baru di
kawasan elit Kotabaru nasi kucing disediakan dalam porsi yang bervariasi. Sebagian
besar angkringan gaya lama membungkus nasi kucing dalam kertas minyak cokelat,
kertas koran bekas, dan/atau daun pisang. Tetapi, ada juga angkringan gaya lama yang
menghidangkan nasinya di atas piring. Pemilik angkringan gaya baru mengkreasi menu-
menu baru yang tidak terdapat di angkringan gaya lama. Di antara yang sama-sama teh,
angkringan gaya lama menawarkan teh nasgithel4, sedangkan salah satu angkringan
gaya baru menawarkan teh gajah ndhekem5. Di antara yang sama-sama kopi, Angkringan
Lik Man dan Lik No menyediakan kopi joss, sementara angkringan gaya baru yang lain
menawarkan kopi cappuccino moccaramello.

Angkringan dalam Citra Suasana dan Gaya Hidup

Bagaimanapun canggihnya angkringan gaya baru, orang-orang berkantung cekak


seperti mahasiswa atau para seniman muda Jogja masih saja pergi ke angkringan gaya
lama untuk memenuhi kebutuhan perut. Di angkringan, mereka berjumpa, tidak hanya
dengan sesama mahasiswa atau seniman, tetapi juga para pembecak dan tukang
3
Teh yang ke dalamnya dicampurkan jeruk keprok yang dibelah. Alih-alih diperas agar keluar
airnya, jeruk dibiarkan saja mengapung/mengambang—kemampul dalam bahasa Jawa—dalam
gelas teh.
4
Singkatan dari panas legi kenthel yang artinya ‘panas, manis, kental’.
5
‘Gajah mendekam’.

PSIKOLOGI DAN ARSITEKTUR II. 164


SEMINAR NASIONAL
LIFE STYLE AND ARCHITECTURE (SCAN#2:2011)

bangunan. Sambil makan, orang-orang muda itu nongkrong dan mengobrol satu sama
lain, dengan pengunjung yang lain, atau dengan pemilik angkringan yang bersangkutan.
Greg Sindana, seorang seniman muda, bercerita bahwa di angkringan tenda Jl. Abubakar
Ali, Kotabaru para tukang becak duduk, makan, mengobrolkan politik, mempercakapkan
pandangan pribadi mereka. Keunikan angkringan tenda tampak dari adanya komunikasi
kerakyatan lintas kota dan provinsi. Tukang becak, warga Jogja, serta para pendatang
(pelajar, mahasiswa, ataupun wisatawan) tumpah menjadi satu di pinggir jalan. Bagi
mereka, angkringan adalah celah (space) di sela kesumpekan. Maka, jalan menunjukkan
dirinya sebagai ruang komunikatif kerakyatan.
Belakangan ini, semakin banyak yang meminjam nama angkringan untuk event
diskusi, festival, pameran, judul program radio, tayangan televisi, juga tajuk website.
Lembaga swadaya Jogja IMPULSE menamai diskusi rutin mereka “Angkringan Sokrates”.
SMAN 3 Padmanaba Jogja menamai festival dan pameran mereka pada April 2010
“Angkringan Budaya”. Ketika orang bermaksud menyebut “sebuah kesempatan—ruang
dan waktu—untuk berbincang-bincang dalam suasana informal yang mengakrabkan
ataupun untuk mengadakan dialog serius dengan cara santai bersahabat”, kesemuanya
cukup diungkapkan dengan satu kata. Angkringan. Dengan demikian, angkringan pun
boleh dimiliki semua orang. Dan inilah kota Jogja itu sendiri.
Tetapi, media (pers) telah membangun pencitraan angkringan tersendiri yang
disebarkan sampai ke luar Jogja. Media membuat tajuk pada angkringan gaya lama
sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari orang yang bermukim di Jogja, melekatkannya
dengan citra wong cilik yang mereka bahasakan sebagai “masyarakat kelas bawah”
(laman http://wikimapia.org). Angkringan rakyat pun dipersepsi sebagai “tempat diskusi
bagi masyarakat Jogja” (Wanto, 2009) atau “ruang diskusi publik” (laman
http://wikimapia.org) yang menyalurkan “rintihan masyarakat arus bawah” (Kedaulatan
Rakyat, 2009).
Seiring kecanggihan teknologi informasi, citra kota Jogja sebagai kota angkringan
dirilis besar-besaran oleh para bloggers. Salah satunya adalah Gurat Ungu Senja.
Blogger bersangkutan mewarta dalam http://wisata.kompasiana.com, tertanggal 28
Februari 2010, “Saat ini angkringan telah bergeser menjadi tempat tempat kongkow
alternatif di Jogja, munculnya angkringan di sepanjang bantaran [K]ali Code menjadi
begitu semarak dan hidup. Angkringan di bantaran [K]ali Code berbeda dengan tempat
lain, karena pengunjung tak lagi duduk di kursi panjang, tetapi ber[alih] ke atas tikar yang
digelar di sepanjang trotoar. Bantaran [K]ali Code malam hari begitu hidup, mulai pukul
17.00 hingga pagi tempat tersebut menjadi begitu marak.”

5. KESIMPULAN

Bagi suatu kota, gaya penting untuk pariwisata. Dari situ nadi suatu kota bisa
mempertahankan denyut. Menurut Ketua Yayasan Widya Budaya Yogyakarta, Jogja
menjadi tujuan wisata karena kekuatan budayanya sehingga wisatawan tertarik
mengunjungi kota tersebut. Jogja pun, setelah menyandang gelar sebagai kota
pendidikan dan kota budaya, ditargetkan sebagai pusat wisata kreatif pada Tahun Kreatif
tingkat nasional, tahun 2009. Senada dengan Ketua Yayasan Widya Budaya Yogyakarta,
Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
RI berpendapat bahwa wisata kreatif adalah jenis wisata yang mengandalkan
pengembangan aset budaya. Kekuatan atau aset budaya yang hendak dikembangkan
pemerintah untuk pariwisata Jogja sudah bukan lagi hanya keraton ataupun bangunan
warisan Belanda, melainkan kuliner. Di dalamnya, termasuklah angkringan. Pada
dasarnya, pengembangan pariwisata kreatif ini bertujuan untuk menjual Jogja.
“Tantangan kita, bagaimana wisata kreatif di DIY itu layak jual,” begitu kata Kepala Badan
Pariwisata Provinsi DIY.

PSIKOLOGI DAN ARSITEKTUR II. 165


SEMINAR NASIONAL
LIFE STYLE AND ARCHITECTURE (SCAN#2:2011)

Tujuan menjual mengakibatkan ruang ekonomi kota Jogja terbuka lebar untuk
dimasuki dan dirasuki oleh para “pemain baru” bermodal besar. Mereka masuk ke segala
sektor, termasuk sektor informal (ruang ekonomi kerakyatan). Maka sama seperti kota-
kota besar lainnya, kota Jogja mulai berwajah kapitalis, yang “menjual sekaligus dijual”.
Diekspos oleh berbagai media yang gencar meromantisasi citra suasana Jogja. Sehingga
suka atau tidak suka, pencitraan terhadap angkringan menunjukkan pencitraan terhadap
kota sebab angkringan hanya ada di jalan6 dan jalan adalah milik kota. Angkringan di
Jogja, yang pada mulanya adalah ruang ekonomi kerakyatan, ruang yang terbuka untuk
setiap rakyat yang memutuskan mencari nafkah di jalur lambat usaha dagang makanan,
dan ruang di mana para penarik becak, para tukang, transvestites, duduk bersama untuk
makan dan bercakap-cakap tentang banyak hal dengan para seniman dan mahasiswa
yang berkantong tipis kini telah menjadi ruang prospektif untuk para pemodal besar. Tidak
mengherankan sebab mereka capable membuat perubahan signifikan pada angkringan
sambil tetap mempertahankan ciri angkringan sebagai tempat semua orang [berduit]
berkumpul. Mereka mendorong pencitraan baru atas angkringan dengan tujuan
memenuhi selera orang-orang Jakarta yang bertandang ke Jogja. Para pemodal besar
mencuatkan angkringan sebagai gaya hidup. Tak pelak, Jogja pun menjadi gaya hidup!
Akan tetapi, jika ditilik, “sejarah angkringan di Jogja merupakan sebuah romantisme
perjuangan menaklukkan kemiskinan,” demikian penuturan blogger Agus Mulyadi tentang
angkringan dan kota Jogja. Dan mengingat cara pandang seperti ini masih ada dalam
ingatan sebagian orang Jakarta yang bertandang ke Jogja, bahwa mereka paham
angkringan pada mulanya adalah milik wong cilik yang berjuang mencari nafkah, bahwa
inilah yang melatarbelakangi kenangan romantik mereka tentang angkringan tenda di
jalanan Jogja. Sebagian dari orang-orang Jakarta sendirilah yang tak mau kehilangan
kenangan romantik mereka akan masa-masa studi mereka di Jogja yang akan ikut
menentukan angkringan tenda tetap eksis—selain, tentu saja, para wong cilik Jogja
langganan angkringan tenda serta seniman dan mahasiswa (plus para calon mahasiswa
berkantong cekak dari luar daerah) yang sekarang masih tetap (dan pasti akan)
berdomisili di Jogja. Dengan penggemar sendiri-sendiri, angkringan “berbagi arena”,
angkringan tenda bergaya lama mencari nafkah, yang elit bergaya baru menangguk laba.
Meskipun sedang didangkalkan sebagai sekadar gaya hidup, Jogja tetap istimewa.
Terhadap pengaruh-pengaruh luar seperti neoliberalisme atau kapitalisme, pintu Jogja
sudah terbuka. Seperti terlihat pada arena angkringan yang telah menjadi semakin sesak
oleh kehadiran para pemodal besar. Tetapi, dalam tendensi mereka hendak mengubah
Jogja, dampak yang mereka akibatkan justru di-Jogja-kan oleh rakyat. Sukar untuk
mendeskripsikannya secara gamblang, namun secara kasat mata ini nyata-nyata terlihat:
angkringan elit milik pemodal besar tidak mencaplok angkringan tradisional milik rakyat.
Keduanya justru hidup berdampingan! Masing-masing mempunyai pangsa pasarnya,
pelanggan mereka berbeda kelas. Maka, angkringan rakyat tidak mungkin punah.
Perjalanan waktu telah menunjukkan.

6. DAFTAR PUSTAKA
1. “Buletin dan Radio Komunitas Angkringan”, (On-line),
(http://wikimapia.org/4512137/id/Buletin-Radio-Komunitas-ANGKRINGAN, diakses
pada tanggal: 22 Februari 2010)
2. Elwina, S., 2009, “Nasi Angkringan, Nuansa Yogya di Gedongmeneng”, dalam
Lampung Pos, (On-line),
(http://www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2009022305551457, diakses
pada tanggal 23 Februari 2010).

6
Jalan dengan “peran”-nya pada ruang fisik kota.

PSIKOLOGI DAN ARSITEKTUR II. 166


SEMINAR NASIONAL
LIFE STYLE AND ARCHITECTURE (SCAN#2:2011)

3. “FJR Kenang Rendra dari Angkringan”, 2010, dalam Kedaulatan Rakyat, (On-line),
(http://www.krjogja.com/news/detail/670/FJR.Kenang.Rendra.Dari.Angkringan.htm/,
diakses pada tanggal: 23 Februari 2010).
4. Mulyadi, A., 2010, “Sejarah Angkringan”, (On-line), (http://sekedar-
tahu.blogspot.com/2010/01/sejarah-angkringan.html, diakses pada tanggal: 22
Februari 2010).
5. Redaksi Explore Indonesia, 2008, “Angkringan Lik Man”, (On-line),
(http://www.explore-indo.com/beranda/40-kuliner/82-angkringan-lik-man.pdf, diakses
pada tanggal: 18 Maret 2010).
6. Senja, G. U., 2010, “Memburu Angkringan”, (On-line),
(http://wisata.kompasiana.com/2010/02/28/memburu-angkringan, diakses pada
tanggal 19 Maret 2010).
7. Utomo, Y. W., 2006, “Angkringan Lik Man”, (On-line),
(http://yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/places-of-interest/angkringan-lik-
man/, diakses pada tanggal: 22 Februari 2010).
8. Wanto, 2010, “Menyambut Malam dengan Segelas Teh Gula Batu”, dalam Bernas
edisi 5 Oktober 2009, (On-line),
(http://www.bernas.co.id/news/cybermetro/DIY/9714.htm, diakses pada tanggal: 22
Februari 2010).
9. Wiyono, 2010, “Angkringan Ki Asem, Menggeliat Saat yang Lain Terlelap”, dalam
Majalah Pengusaha, (On-line), (http://majalahpengusaha.com/content/view/1209/28,
diakses pada tanggal: 22 Februari 2010).

------------

PSIKOLOGI DAN ARSITEKTUR II. 167

Vous aimerez peut-être aussi