Vous êtes sur la page 1sur 21

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

GAWAT DARURAT PADA PASIEN DENGAN

CEDERA KEPALA BERAT

OLEH :

NI PUTU MARLINA

1002105047

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

2013
A. Konsep Dasar Penyakit

1. Penngertian

• Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent.
(Irwana,2009)

• Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak.(Budi,hendri,2008)

• Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2. Epidemiologi

Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam terutama karena
peningkatan penggunaankendaraan bermotor. WHO memperkirakan bahwa pada tahun
2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga
terbanyak di dunia. Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum
tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera
kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya
adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada
kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan
penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-
9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi (Irwana,2009).

3. Etiologi

a. Kecelakaan Lalu Lintas


Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan
kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau
kecederaan kepada pengguna jalan raya .
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah
dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun
sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).
Selain itu penyebab lain terjadinya trauma kepala (Smeltzer, 2001:2210;
Long,1996:203), antara lain :
1) Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak, misalnya
tertembak peluru atau benda tajam
2) Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
3) Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun
bukan dari pukulan
4) Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
5) Kecelakaan lalu lintas
6) Jatuh
7) Kecelakaan industri
Serangan yang disebabkan karena olah raga
8) Perkelahian

Mekanisme cedera
Mekanisme cedera / trauma kepala, meliputi :
a) Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang
diam kemudian dipukul atau dilempar.
b) Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada kepala yang
terbentur.
c) Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, misalnya
adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak.
4. Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan
suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala ( Gennarelli,
1996 dalam Israr dkk, 2009 ). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa
berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa
kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Akselerasi-deselerasi terjadi
karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma.
Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi
solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr
dkk,2009).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan


iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak.
Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal.
Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu
yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran
kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan
dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-
sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang
konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik
bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk
mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa
daerah tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003).
4. Klasifikasi

Cedera kepala dibagi menjadi:

a. Cedera Kepala terbuka

Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya tengkorak atau
luka penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa
dan bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak
menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak
b. Cedera Kepala Tertutup

Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak
berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup
meliputi: komusio (gegar otak), kontusio (memar), dan laserasi (Brunner & Suddarth,
2001; Long,1990)

c. Berdasarkan Tingkat Keparahan


Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas GCS.
Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :

 Reaksi membuka mata (E)


Reaksi membuka mata Nilai

Membuka mata spontan 4

Buka mata dengan rangsangan suara 3

Buka mata dengan rangsangan nyeri 2

Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri 1


 Reaksi berbicara
Reaksi Verbal Nilai

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5

Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4

Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3

Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata 2

Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 1

 Reaksi Gerakan lengan / tungkai

Reaksi Motorik Nilai

Mengikuti perintah 6

Melokalisir rangsangan nyeri 5

Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 4

Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 3

Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 2

Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri 1

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan


menjadi :

a. Cedera kepala ringan

Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai dengan nyeri
kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur tengkorak,
kontusio/hematoma

b. Cedera kepala sedang


Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24 jam, dapat mengalami
fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung)
c. Cedera kepala berat

Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio serebral,
laserasi, hematoma dan edema serebral (Hudack dan Gallo, 1996)

6. Gejala klinis
 Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak tegap,
kehilangan tonus otot.
 Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
 Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
 Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua fungsi.
 Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)
 Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau
tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris)
deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti
pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon
tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
 Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak
bisa beristirahat, merintih.
 Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
 Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi,
perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung (CSS),
gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara
umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
 Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang – ulang.
 Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
 Cemas,delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
 Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
 Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam penglihatan,seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia,
gangguan pengecapan dan penciuman.
 Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
 Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada hematoma,
kesadaran mungkin hilang, atau bertahap sering dengan membesarnya hematoma
atau edema intestisium.
 Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk.
 Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik timbul dengan segera atau secara lambat.
 Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat. Hematoma
ini mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan detoriorasi yang cepat, sakit
kepala, kejang, koma dan hernia otak dengan kompresi pada batang otak.
 Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan dikarakteristikkan
dengan sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk berat, penurunan tingkat
kesadaran, dan peningkatan TIK. Hematoma subdural kronis juga dapat terjadi.
 Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
 Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertenai, depresi pernapasan)
 Apabila meningkatnya tekanan intracranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas
Perdarahan yang sering ditemukan
a. Epidural Hematoma

Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater akibat


pecahnya pembuluh darah / cabang – cabang arteri meningeal media yang
terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena
itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari.
Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis. Gejala-
gejala yang terjadi: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah,
hemiparesis, dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam cepat kemudian
dangkal irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.

b. Subdural Hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut
dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena
yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit.
Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat
terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan. Tanda-tanda dan gejalanya
adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat,
kejang dan udem pupil. Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di
jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri; kapiler; vena. Tanda
dan gejalanya: nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan,
hemiplegia kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.

c. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah
dan permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan
kaku kuduk
7. Pemeriksaan fisik
Observasi dan pemeriksaan fisik

1. Keadaan umum : Lemah, gelisah, cenderung untuk tidur


2. TTV : Suhu, nadi, tensi, RR, GCS

a. Pernafasan ( B1 : Breathing )
- Hidung : Hidung simetris , atau terdapat fraktur
- Dada : Bentuk simetris kanan kiri, retraksi otot bantu pernafasan, ronchi

- Di seluruh lapangan paru, batuk produktif, irama pernafasan, nafas dangkal.


• Inspeksi : Inspirasi dan ekspirasi pernafasan, frekuensi, irama, gerakan
cuping hidung, terdengar suara nafas tambahan bentuk dada, batuk
• Palpasi : Pergerakan asimetris kanan dan kiri, taktil fremitus raba sama
antara kanan dan kiri dinding dada

• Perkusi : Adanya suara-suara sonor pada kedua paru, suara redup pada
batas paru dan hepar.

• Auskultasi : Terdengar adanya suara vesikuler di kedua lapisan paru,


suara ronchi dan weezing.

b. Kardiovaskuler ( B2 : Bleeding )

• Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan kiri, denyut jantung pada ictus cordis 1
• Palpasi : Frekuensi nadi/HR, tekanan darah, suhu, perfusi dingin, berkeringat

• Perkusi : Suara pekak

• Auskultasi : Irama reguler, sistole/murmur, bendungan vena jugularis, oedema

c. Persyarafan ( B3 : Brain ) Kesadaran, GCS

• Kepala : Bentuk ovale, wajah tampak miring ke sisi kanan


• Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak icteric, pupil isokor, gerakan
bola mata mampu mengikuti perintah.

• Mulut : Kesulitan menelan, kebersihan penumpukan ludah dan lendir, bibir


tampak kering, terdapat afasia.

• Leher : Tampak pada daerah leher tidak terdapat pembesaran pada leher, tidak
tampak perbesaran vena jugularis, tidak terdapat kaku kuduk.

d. Perkemihan-eliminasi urine ( B4 : Bledder )

• Inspeksi : Jumlah urine, warna urine, gangguan perkemihan tidak ada,


pemeriksaan genitalia eksternal, jamur, ulkus, lesi dan keganasan.
• Palpasi : Pembesaran kelenjar inguinalis, nyeri tekan.

• Perkusi : Nyeri pada perkusi pada daerah ginjal.

e. Pencernaan-eliminasi alvi ( B5 : Bowel )

• Inspeksi : Mulut dan tenggorokan tampak kering, abdomen normal tidak ada
kelainan, keluhan nyeri, gangguan pencernaan ada, kembung kadang-kadang,
terdapat diare, buang air besar perhari.
• Palpasi : Hepar tidak teraba, ginjal tidak teraba, anoreksia, tidak ada nyeri
tekan.

• Perkusi : Suara timpani pada abdomen, kembung ada suara pekak pada daerah
hepar.

• Auskultasi : Peristaltik lebih cepat.

• Abdomen : Tidak terdapat asites, turgor menurun, peristaltik ususnormal.

• Rektum : Rectal to see

f. Tulang-otot-integumen ( B6 : Bone )
• Kemapuan pergerakan sendi : Kesakitan pada kaki saat gerak pasif, droop foot,
kelemahan otot pada ekstrimitas atas dan bawah.
• Kulit : Warna kulit, tidak terdapat luka dekubitus, turgor baik, akral kulit.

8. Pemeriksaan diagnostik/penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
• AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
perdarahan sub arakhnoid.
• Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan
dalam peningkatan TIK atau perubahan mental.
b. Radiology
• CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
• MRI : sama dengan CT Scan
• Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma.
• EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
• Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang ( fraktur ),
pergeseran struktur dari garis tengah ( karena perdarahan ) adanya fragmen
tulang.
• BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
• PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
• Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat
sehingga menyebabkan penurunan kesadan.
• Myelogram :Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya
bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.
• Thorax X ray :Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
c. Fungsi lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub
arakhnoid.
d. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
e. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadan.
f. Pemeriksaan fungsi pernafasan: Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan
ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat
pernafasan (medulla oblongata).

9. Theraphy
Penatalaksanaan
 Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari factor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan
tekanan intracranial yang meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak
jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan
intracranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan
hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolisme
intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakin dengan intubasi
endotrakeal, hiperventilasi. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien yang
koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi
yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intracranial.
 Penangan khususnya pada klien dengan CKB yang mengalami perdarahan atau
hematom di kepala baik pada bagian EDH maupun SDH dilakukan tindakan
trepanasi. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Epidural Hematoma
(EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di antara tulang dan lapisan duramater.
 Kontusio berat observasi dan tirah baring, dilakukan pembersihan / debridement dan
sel-sel yang mati (secara bedah terutama pada cedera kepala terbuka)
 Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotika untuk mencegah terjadinya infeksi
 Dilakukan metode-metode untuk menurukan tekanan intracranial termasuk pemberian
diuretic dan anti inflamasi
 Lakukan pengkajian neurologik
a. Fungsi serebral ( kesadaran, orientasi, memori, bicara )
b. TTV ( TD, nadi)
c. Fungsi motorik dan sensorik
 Kaji adanya cedera lain, terutama cedera servikal. Jangan memindahkan pasien
sampai kemungkinan cedera servikal telah disingkirkan / ditangani. Tinggikan kepala
tempat tidur sampai 30 derajat jika tidak terdapat cedera servikal.
 Pantau adanya komplikasi
a. Pantau TTV dan status neurologist dengan sering
b. Periksa adanya peningkatan TIK
c. Periksa adanya drainase dari hidung dan telinga.

10. Komplikasi
a. Koma.
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi ini,
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini
penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative
state atau mati penderita pada masa vegetative statesering membuka matanya dan
mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian
penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita
pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh

b. Seizure.
Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya
sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian,
keadaan ini berkembang menjadi epilepsy

c. Infeksi.
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena
keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain
d. Kerusakan saraf.
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis.
Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk
pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda

e. Hilangnya kemampuan kognitif.


Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat
mengalami masalah kesadaran

11. Prognosis
Pragnosa pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara
tepat dan cepat. Pasien meninggal karena beberapa factor yakni : Prolog hipoksia dan
hipotensi, herniasi otak, komplikasi - komplikasi sistemik.

B.Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1.Pengkajian

a. Data subjektif :
 Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: Nama, umur,jenis
kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
alamat, dan hubungan pasien dengan keluarga/pengirim).

 Keluhan utama: Bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat darurat, apakah
pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim oleh orang lain?

 Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal, jam),


lokasi/tempat mengalami cedera.

 Mekanisme cedera: Bagaimana proses terjadinya sampai pasien menjadi


cedera.

 Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap makanan


(jenisnya), obat, dan lainnya.
 Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan pengobatan
pertama setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani proses pengobatan
terhadap penyakit tertentu?

 Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah pasien


menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera, apakah penyakit
tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera?

 Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan terakhir sebelum
cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk mempermudah
mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih lanjut/operasi.

 Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): Apakah pasien


mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu bisa terjadi?

Pengkajian ABCD FGH

AIRWAY
- Cek jalan napas paten atau tidak
- Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh kebelakang, terdapat
cairan, darah, benda asing, dan lain-lain.
- Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas tambahan seperti snoring,
gurgling, crowing.
BREATHING
- Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak
- Gerakan dinding dada simetris atau tidak
- Irama napas cepat, dangkal atau normal
- Pola napas teratur atau tidak
- Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi
- Ada sesak napas atau tidak (RR)
- Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan
CIRCULATION
- Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)
- Tekanan darah
- Sianosis, CRT
- Akral hangat atau dingin, Suhu
- Terdapa perdarahan, lokasi, jumlah (cc)
- Turgor kulit
- Diaphoresis
- Riwayat kehilangan cairan berlebihan
DISABILITY
- Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
- GCS : EVM
- Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
- Ada tidaknya refleks cahaya
- Refleks fisiologis dan patologis
- Kekuatan otot

EXPOSURE
- Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, laserasi, edema
- Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka, kedalaman
FIVE INTERVENTION
- Monitoring jantung (sinus bradikardi, sinus takikardi)
- Saturasi oksigen
- Ada tidaknya indikasi pemasangan kateter urine, NGT
- Pemeriksaan laboratorium
GIVE COMFORT
- Ada tidaknya nyeri
- Kaji nyeri dengan
P : Problem
Q : Qualitas/Quantitas
R : Regio
S : Skala
T : Time
H 1 SAMPLE
- Keluhan utama
- Mekanisme cedera/trauma
- Tanda gejala
H 2 HEAD TO TOE
- Fokus pemeriksaan pada daerah trauma
Kepala dan wajah

2. Diagnosa Keperawatan
• PK : Peningkatan TIK
• Risiko Aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran

• Ketidakefektifan Pola Napas berhubungan dengan hiperventilasi ditandai


dengan klien mengalami sesak napas, klien menggunakan pernapasan cuping
hidung

• Risiko Syok berhubungan dengan Hipoksia


• Resiko Infeksi berhubungan dengan trauma jaringan

• Nyeri Akut berhubungan dengan iskemina serebral ditandai dengan nyeri


kepala hebat
• Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke otak d.d
odema otak.

3. Rencana Tindakan
Terlampir

DAFTARPUSTAKA

American College of Surgeon Committee on Trauma. 2004. Cedera Kepala. Dalam :


Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi
trauma IKABI.
Turner DA. 1996 Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam :
Neurosurgery2nd edition. New York: McGraw Hill, 1996
Irwana O. (2009) Cedera Kepala .Faculty of Medicine Universitas of Riau Pekan Baru.

Online.http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/05/cedera_kepala_files_of_drs
med_fkur.pdf (diakses pada tanggal 14 desember 2013)

Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Http://www.biausa.org


[diakses 14 desember 2013]
Bickley, Lynn S. 2008. Buku Saku Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Bates. Edisi 5.
EGC, Jakarta.

Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. EGC, Jakarta.

Doenges M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta.

Hudak & Gallo, 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume 2, EGC, Jakarta.

Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.

Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jilid Satu. Edisi Kedelapan. Jakarta : EGC

Vous aimerez peut-être aussi