Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
OLEH :
NI PUTU MARLINA
1002105047
2013
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Penngertian
• Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent.
(Irwana,2009)
• Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak.(Budi,hendri,2008)
• Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2. Epidemiologi
Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam terutama karena
peningkatan penggunaankendaraan bermotor. WHO memperkirakan bahwa pada tahun
2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga
terbanyak di dunia. Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum
tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera
kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya
adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada
kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan
penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-
9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi (Irwana,2009).
3. Etiologi
Mekanisme cedera
Mekanisme cedera / trauma kepala, meliputi :
a) Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang
diam kemudian dipukul atau dilempar.
b) Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada kepala yang
terbentur.
c) Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, misalnya
adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak.
4. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan
suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala ( Gennarelli,
1996 dalam Israr dkk, 2009 ). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa
berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa
kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Akselerasi-deselerasi terjadi
karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma.
Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi
solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr
dkk,2009).
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya tengkorak atau
luka penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa
dan bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak
menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak
b. Cedera Kepala Tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak
berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup
meliputi: komusio (gegar otak), kontusio (memar), dan laserasi (Brunner & Suddarth,
2001; Long,1990)
Mengikuti perintah 6
Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai dengan nyeri
kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur tengkorak,
kontusio/hematoma
Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio serebral,
laserasi, hematoma dan edema serebral (Hudack dan Gallo, 1996)
6. Gejala klinis
Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak tegap,
kehilangan tonus otot.
Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua fungsi.
Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)
Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau
tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris)
deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti
pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon
tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak
bisa beristirahat, merintih.
Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi,
perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung (CSS),
gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara
umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang – ulang.
Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Cemas,delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam penglihatan,seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia,
gangguan pengecapan dan penciuman.
Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada hematoma,
kesadaran mungkin hilang, atau bertahap sering dengan membesarnya hematoma
atau edema intestisium.
Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk.
Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik timbul dengan segera atau secara lambat.
Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat. Hematoma
ini mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan detoriorasi yang cepat, sakit
kepala, kejang, koma dan hernia otak dengan kompresi pada batang otak.
Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan dikarakteristikkan
dengan sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk berat, penurunan tingkat
kesadaran, dan peningkatan TIK. Hematoma subdural kronis juga dapat terjadi.
Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertenai, depresi pernapasan)
Apabila meningkatnya tekanan intracranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas
Perdarahan yang sering ditemukan
a. Epidural Hematoma
b. Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut
dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena
yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit.
Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat
terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan. Tanda-tanda dan gejalanya
adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat,
kejang dan udem pupil. Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di
jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri; kapiler; vena. Tanda
dan gejalanya: nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan,
hemiplegia kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
c. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah
dan permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan
kaku kuduk
7. Pemeriksaan fisik
Observasi dan pemeriksaan fisik
a. Pernafasan ( B1 : Breathing )
- Hidung : Hidung simetris , atau terdapat fraktur
- Dada : Bentuk simetris kanan kiri, retraksi otot bantu pernafasan, ronchi
• Perkusi : Adanya suara-suara sonor pada kedua paru, suara redup pada
batas paru dan hepar.
b. Kardiovaskuler ( B2 : Bleeding )
• Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan kiri, denyut jantung pada ictus cordis 1
• Palpasi : Frekuensi nadi/HR, tekanan darah, suhu, perfusi dingin, berkeringat
• Leher : Tampak pada daerah leher tidak terdapat pembesaran pada leher, tidak
tampak perbesaran vena jugularis, tidak terdapat kaku kuduk.
• Inspeksi : Mulut dan tenggorokan tampak kering, abdomen normal tidak ada
kelainan, keluhan nyeri, gangguan pencernaan ada, kembung kadang-kadang,
terdapat diare, buang air besar perhari.
• Palpasi : Hepar tidak teraba, ginjal tidak teraba, anoreksia, tidak ada nyeri
tekan.
• Perkusi : Suara timpani pada abdomen, kembung ada suara pekak pada daerah
hepar.
f. Tulang-otot-integumen ( B6 : Bone )
• Kemapuan pergerakan sendi : Kesakitan pada kaki saat gerak pasif, droop foot,
kelemahan otot pada ekstrimitas atas dan bawah.
• Kulit : Warna kulit, tidak terdapat luka dekubitus, turgor baik, akral kulit.
8. Pemeriksaan diagnostik/penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
• AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
perdarahan sub arakhnoid.
• Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan
dalam peningkatan TIK atau perubahan mental.
b. Radiology
• CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
• MRI : sama dengan CT Scan
• Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma.
• EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
• Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang ( fraktur ),
pergeseran struktur dari garis tengah ( karena perdarahan ) adanya fragmen
tulang.
• BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
• PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
• Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat
sehingga menyebabkan penurunan kesadan.
• Myelogram :Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya
bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.
• Thorax X ray :Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
c. Fungsi lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub
arakhnoid.
d. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
e. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadan.
f. Pemeriksaan fungsi pernafasan: Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan
ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat
pernafasan (medulla oblongata).
9. Theraphy
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari factor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan
tekanan intracranial yang meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak
jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan
intracranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan
hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolisme
intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakin dengan intubasi
endotrakeal, hiperventilasi. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien yang
koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi
yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intracranial.
Penangan khususnya pada klien dengan CKB yang mengalami perdarahan atau
hematom di kepala baik pada bagian EDH maupun SDH dilakukan tindakan
trepanasi. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Epidural Hematoma
(EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di antara tulang dan lapisan duramater.
Kontusio berat observasi dan tirah baring, dilakukan pembersihan / debridement dan
sel-sel yang mati (secara bedah terutama pada cedera kepala terbuka)
Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotika untuk mencegah terjadinya infeksi
Dilakukan metode-metode untuk menurukan tekanan intracranial termasuk pemberian
diuretic dan anti inflamasi
Lakukan pengkajian neurologik
a. Fungsi serebral ( kesadaran, orientasi, memori, bicara )
b. TTV ( TD, nadi)
c. Fungsi motorik dan sensorik
Kaji adanya cedera lain, terutama cedera servikal. Jangan memindahkan pasien
sampai kemungkinan cedera servikal telah disingkirkan / ditangani. Tinggikan kepala
tempat tidur sampai 30 derajat jika tidak terdapat cedera servikal.
Pantau adanya komplikasi
a. Pantau TTV dan status neurologist dengan sering
b. Periksa adanya peningkatan TIK
c. Periksa adanya drainase dari hidung dan telinga.
10. Komplikasi
a. Koma.
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi ini,
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini
penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative
state atau mati penderita pada masa vegetative statesering membuka matanya dan
mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian
penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita
pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh
b. Seizure.
Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya
sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian,
keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
c. Infeksi.
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena
keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain
d. Kerusakan saraf.
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis.
Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk
pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda
11. Prognosis
Pragnosa pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara
tepat dan cepat. Pasien meninggal karena beberapa factor yakni : Prolog hipoksia dan
hipotensi, herniasi otak, komplikasi - komplikasi sistemik.
1.Pengkajian
a. Data subjektif :
Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: Nama, umur,jenis
kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
alamat, dan hubungan pasien dengan keluarga/pengirim).
Keluhan utama: Bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat darurat, apakah
pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim oleh orang lain?
Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan terakhir sebelum
cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk mempermudah
mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih lanjut/operasi.
AIRWAY
- Cek jalan napas paten atau tidak
- Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh kebelakang, terdapat
cairan, darah, benda asing, dan lain-lain.
- Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas tambahan seperti snoring,
gurgling, crowing.
BREATHING
- Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak
- Gerakan dinding dada simetris atau tidak
- Irama napas cepat, dangkal atau normal
- Pola napas teratur atau tidak
- Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi
- Ada sesak napas atau tidak (RR)
- Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan
CIRCULATION
- Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)
- Tekanan darah
- Sianosis, CRT
- Akral hangat atau dingin, Suhu
- Terdapa perdarahan, lokasi, jumlah (cc)
- Turgor kulit
- Diaphoresis
- Riwayat kehilangan cairan berlebihan
DISABILITY
- Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
- GCS : EVM
- Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
- Ada tidaknya refleks cahaya
- Refleks fisiologis dan patologis
- Kekuatan otot
EXPOSURE
- Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, laserasi, edema
- Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka, kedalaman
FIVE INTERVENTION
- Monitoring jantung (sinus bradikardi, sinus takikardi)
- Saturasi oksigen
- Ada tidaknya indikasi pemasangan kateter urine, NGT
- Pemeriksaan laboratorium
GIVE COMFORT
- Ada tidaknya nyeri
- Kaji nyeri dengan
P : Problem
Q : Qualitas/Quantitas
R : Regio
S : Skala
T : Time
H 1 SAMPLE
- Keluhan utama
- Mekanisme cedera/trauma
- Tanda gejala
H 2 HEAD TO TOE
- Fokus pemeriksaan pada daerah trauma
Kepala dan wajah
2. Diagnosa Keperawatan
• PK : Peningkatan TIK
• Risiko Aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran
3. Rencana Tindakan
Terlampir
DAFTARPUSTAKA
Online.http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/05/cedera_kepala_files_of_drs
med_fkur.pdf (diakses pada tanggal 14 desember 2013)
Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. EGC, Jakarta.
Doenges M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta.
Hudak & Gallo, 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume 2, EGC, Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.
Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jilid Satu. Edisi Kedelapan. Jakarta : EGC