Vous êtes sur la page 1sur 27

REALITAS REFERENSIAL LABA AKUNTANSI SEBAGAI REFLEKSI

KANDUNGAN INFORMASI
(Studi Interpretif-Kritis Dari Komunitas Akuntan dan Non-Akuntan)

AKHMAD RIDUWAN1
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya

ABSTRACT
The main aim of the research is to understand the interpretation of accounting earnings by
accountants and non-accountants, and its underlied accounting concepts. This research is motivated
by the fact that accounting earnings is one of many simbols in the financial statements used to
representing certain reality in the communication space. Equality of accounting earning interpretation
in that communication space will determine the communication effectivity. Based on hermeneutics, or
particularly named as an interpretive approach, the result of this research gives an understanding that
accounting earnings are differently interpreted by accountants and non-accountants.
In the accountants’ interpretation frame, accounting earnings are the signifier of enterprises’
economic reality changes, should not signify by the net cash inflows in the reporting period. However,
in the non-accountants’ interpretation frame, the reality represented by accounting earnings sign is
not clear: is that an economic reality, financial reality, or accounting reality, so that usefulness of
accounting earnings information in decision making is low. Analogically, in the perspective of non-
accountants, accounting earnings are not differ with the reality reflected from the cracked mirror.
Nevertheless, in the everyday accounting practice, non accountants still accepted and used the
accounting earnings information calculated based on the accounting and financial reporting
standards. Implications of this research are the rising of the needs for: (a) decomposite of accounting
and financial reporting standards that useful to accomodate the ”habitus” difference between
accountants and non-accountants; (b) eliminate the hegemony in accounting practice; and (c)
reasking of the meaning of ”generally accepted accounting principles”.
Key-Words: Accounting Earnings, Refferential Reality, Information Contents, Interpretation,
Communication, Hegemony, Decomposition.

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Akuntansi adalah bahasa teknis perusahaan. Akuntansi adalah teks yang menjadi media ko-
munikasi informasi keuangan antara manajer dan pihak-pihak yang berada di luar perusahaan,
ketika manajer tidak memiliki kesempatan secara langsung untuk berkomunikasi melalui wi-
cara. Ray J. Chambers menyatakan bahwa akuntansi adalah bahasa tulis yang berfungsi seba-
gai pengganti bahasa wicara tersebut, dan berpendapat bahwa aspek komunikasi dari akuntan-
si ini seharusnya menjadi dasar dalam pengembangan teori akuntansi (lihat Lee 1982, 152).

1
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Iwan Triyuwono, SE., Ak., MEc., PhD.;
Gugus Irianto, SE., Ak., MSA., PhD., serta Dr. Unti Ludigdo, SE., Ak., MSi. (Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Malang) atas arahan beliau dalam pelaksanaan dan penulisan hasil penelitian. Walaupun demikian, semua kesalahan dan
kekhilafan dalam penulisan ringkasan sebagian hasil penelitian ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.
1
Pengakuan Chambers bahwa akuntansi merupakan bahasa teknis perusahaan, memper-
oleh respon dan dukungan positif dari kalangan profesi maupun akademisi akuntansi (misal-
nya Li 1972; Lusk 1973, Ijiri 1975; Heath 1987; Fiol 1989; Fischer dan Stoken 2001; serta
Suwardjono 2005, 28). Ijiri (1975, 23) memberikan dukungan dengan menyatakan bahwa di
samping berhubungan erat dengan masalah pengukuran, akuntansi juga berkaitan erat dengan
masalah komunikasi, sehingga betapapun efektif proses pengukuran yang dilakukan dalam
akuntansi, informasi yang dihasilkannya akan kurang bermanfaat jika tidak dikomunikasikan
dengan tepat.
Sependapat dengan Chambers, Belkaoui (1980, 363) juga mengakui bahwa akuntansi
dapat disebut sebagai sebuah bahasa, karena akuntansi memiliki karakteristik leksikal maupun
gramatikal. Dengan karakteristik tersebut, akuntansi dapat diartikan sebagai seperangkat sim-
bol bahasa atau representasi simbolik yang menunjuk pada suatu makna atau realitas tertentu.
Karena efek komunikatif merupakan sasaran penyampaian informasi dari penyedia informasi
kepada pengguna informasi, maka ungkapan bahasa harus tepat sehingga maknanya dapat
diinterpretasikan sama persis dengan makna yang dimaksudkan. Oleh karena itu, di samping
aspek sintaktik (pengukuran) dan pragmatik (kebermanfaatan), teori akuntansi perlu dikem-
bangkan dengan mempertimbangkan aspek semantik (realitas yang direpresentasikan).
Dari sekian banyak simbol, salah satu simbol akuntansi yang dikomunikasikan melalui
laporan keuangan untuk merepresentasikan realitas tertentu adalah simbol ”laba”. Dalam esai
kritis-filosofisnya, Macintosh et al. (2000, 38) mengungkapkan bahwa saat ini akuntansi ber-
hadapan dengan transaksi-transaksi ekonomik yang semakin kompleks, termasuk dalam peng-
gunaan nilai moneter sebagai unit pengukur. Dalam situasi demikian, simbol laba (income)
dan modal (capital) tidak memiliki referen pada objek dan peristiwa yang nyata. Dalam
pandangan Macintosh et al., simbol laba akuntansi tersebut hanya merupakan simulakra
murni2, yang berarti bahwa referensi laba akuntansi adalah pada dirinya sendiri, dan berputar-
putar pada dirinya sendiri membentuk dunia hiperrealitas. Secara keseluruhan, tidak terbatas
pada simbol laba, Macintosh et al. (2000, 13) berpendapat bahwa banyak simbol akuntansi
yang tidak memiliki rujukan secara jelas pada objek dan peristiwa nyata, sehingga akuntansi

2
Nugroho (2006, 279) mengartikan simulakra sebagai “suatu simbol tanpa ada yang disimbolkan”, sedangkan
Piliang (2003, 132-134) mengartikan simulakra sebagai sebuah duplikasi dari duplikasi, yang aslinya tidak pernah ada,
sehingga perbeda-an antara yang duplikat dan yang asli menjadi kabur. Simulakra merupakan suatu citra (image) atau
konsep yang terbentuk melalui simulasi – yaitu proses penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang tidak ada asal-
usul atau referensi realitasnya, sehingga memampukan manusia untuk menjadikan hal-hal yang supernatural, ilusi, fantasi,
dan khayali menjadi tampak nyata.
2
tidak secara penuh menjalankan fungsinya sesuai logika representasi, pertanggungjawaban,
atau penyajian informasi ekonomik secara transparan.3
Berbeda dengan Macintosh et al. (2000), tetapi dengan substansi yang sama, Mattessich
(2003, 452) menyatakan bahwa semua simbol akuntansi – kata dan angka – selalu memiliki
relasi dengan realitas referensialnya, hanya saja realitas referensial dari simbol-simbol
akuntansi tersebut mungkin berada pada tingkatan yang berbeda-beda. Khusus untuk simbol
laba (income) misalnya, Mattessich menyatakan bahwa realitas referensial atas simbol laba
tersebut tidak berada pada tingkatan realitas fisis, tetapi berada pada tingkatan ”realitas sosial”
(social reality) – artinya, realitas tersebut menjadi ”ada” karena kesepakatan yang terjadi
dalam komunitas akuntansi4.
Berbagai pendapat yang berbeda tentang relasi antara simbol laba dengan realitas referen-
sialnya sebagaimana terungkap melalui kajian kritis-filosofis dari Macintosh et al. (2000) dan
Mattessich (2003) tersebut, merefleksikan adanya peluang akan timbulnya perbedaan inter-
pretasi laba akuntansi dalam sebuah ruang komunikasi. Perbedaan interpretasi laba akuntansi
ini tentu akan mempengaruhi efektivitas komunikasi informasi laba itu sendiri, karena realitas
yang sesungguhnya ingin direpresentasikan oleh simbol laba ternyata diinterpretasikan secara
berbeda oleh pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi. Jika hal ini terjadi, maka efek
pemengaruhan yang diharapkan dalam pengkomunikasian laba akuntansi tidak tercapai kare-
na respon terhadap informasi menjadi bias. Perbedaan interpretasi laba dan timbulnya respon
yang bias ini merupakan penanda bahwa laba akuntansi tidak memiliki kandungan informasi
(information contents).
Penelitian-penelitian akuntansi, terutama yang dilakukan dengan pendekatan kuantitatif,
banyak mengungkapkan bukti empiris bahwa (a) laba akuntansi memiliki makna dan (b) laba
akuntansi memiliki kandungan informasi.5 Fakta bahwa laba akuntansi memiliki makna, dire-

3
Esai kritis Macintosh et al. (2000) atas laba dan modal direfleksikan pada tingkatan relasi tanda dan realitas referensialnya
(order of simulacra) yang dikembangkan oleh Jean Baudrillard melalui pemikiran filosofisnya. Order of simulacra yang
dikemukakan oleh Baudrillard adalah: (1) tanda merefleksikan realitas yang benar-benar nyata dan ada mendahului tanda
(profound reality). (2) tanda menyembunyikan dan menyimpangkan sifat-sifat asli dari profound reality; (3) tanda
menyembunyikan ketidakhadiran realitas; (4) tanda muncul mendahului realitas, sehingga tanda tidak memiliki relasi apa
pun dengan realitas, bahkan realitasnya sendiri belum atau tidak ada, atau simulakra murni (pure simulacrum).
4
Esai kritis Mattessich (2003) atas laba dan modal direfleksikan pada konsep onion model of reality yang
dibangunnya sendiri. Ia menyebut konsepnya sebagai metafor tentang realitas. Melalui konsep atau metafornya itu,
Mattessich (2003, 446) menyatakan bahwa ”realitas” (kenyataan atau fakta) memiliki tingkatan yang berbeda atau berlapis-
lapis berdasarkan perspektif yang bersifat multidimensi, termasuk dimensi waktu. Oleh karena itu, realitas tidak dapat
dipandang secara linier berdasarkan dimensi tertentu yang bersifat tunggal. Mattessich menyebutkan bahwa onion model of
reality membedakan dan menempatkan realitas dalam lima tingkatan, yaitu: (1) realitas sejati (ultimate reality); (2) realitas
fisis-kimiawi (physical-chemical reality); (3) realitas biologis (biological reality); (4) realitas mental (mental reality); dan
(5) realitas sosial (social reality).
5
Hasil-hasil penelitian yang relevan dengan pernyataan ini sangat banyak. Hasil penelitian yang relevan dengan
pernyataan ini misalnya dapat dilihat dalam Beaver (1968), Lipe (1968), May (1971), Bamber (1986), Finger (1994),
Fairfield, et al., (1996), Landsman dan Maydew (2002), Bradshaw dan Sloan (2002), serta Diana dan Kusuma (2004).
3
fleksikan dari banyaknya perjanjian kontraktual (misalnya debt covenant) yang pelaksanaan-
nya terikat atau diikatkan pada angka laba. Walaupun demikian, penelitian-penelitian tersebut
tidak menjelaskan secara transparan tentang makna laba yang secara empiris diinterpretasikan
oleh pihak-pihak yang terikat perjanjian kontraktual itu.
Pada lingkup yang lain, beberapa penelitian juga mengungkapkan fakta empiris bahwa
laba akuntansi memiliki kandungan informasi, yang direfleksikan oleh adanya respon investor
terhadap informasi laba yang dipublikasikan. Kandungan informasi yang dimaksud dalam pe-
nelitian tersebut adalah makna laba dalam perspektif investor, bukan dalam perspektif
penyedia informasi. Walaupun demikian, tidak berbeda dengan penelitian yang disebutkan di
atas, penelitian-penelitian tentang kandungan informasi laba tersebut juga tidak menjelaskan
secara transparan tentang realitas referensial yang secara empiris merupakan kandungan
informasi laba dalam perspektif investor, apalagi dalam pespektif penyedia informasi.
Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini dimaksudkan untuk melengkapi temuan
penelitian-penelitian tersebut. Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang pada umumnya
terfokus pada pengujian kandungan informasi laba berdasarkan relasi antara laba publikasian
dan respon investor, penelitian ini berusaha mengungkapkan kandungan informasi laba
akuntansi berdasarkan interpretasi tentang realitas yang direpresentasikan oleh laba akuntansi
tersebut.

Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah sebagai berikut: (1)
bagaimanakah akuntan dan non-akuntan menginterpretasikan laba (earnings) yang tercantum
dalam laporan laba-rugi?; dan (2) sejauh mana akuntan dan non-akuntan memahami konsep
laba dalam rerangka konseptual akuntansi yang mempengaruhi penetapan laba tersebut?

Motivasi Penelitian

Penelitian ini termotivasi oleh beberapa hal berikut. Pertama, terdapat pandangan umum
bahwa laba akuntansi tidak memiliki referen pada objek, peristiwa nyata atau realitas fisis,
tetapi referen simbol laba tersebut hanya terbatas pada tingkatan realitas sosial – yaitu realitas
yang hanya disepakati oleh akuntan (Mattessich 2003, 452). Bahkan secara lebih radikal,
Macintosh et al. (2000, 38) menyatakan bahwa simbol laba merupakan simulakra murni yang
berarti ”simbol tanpa ada yang disimbolkan” karena merupakan hasil produksi dan reproduksi
dari simbol-simbol akuntansi yang lain. Penelitian ini berusaha mengungkapkan apakah
pernyataan-pernyataan tersebut konsisten dalam ranah empiris.
4
Kedua, berdasarkan konsep laba komprehensif, laba didefinisikan sebagai kenaikan aset
bersih (ekuitas) yang tidak dipengaruhi oleh kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik
perusahaan. Dengan demikian, pengukuran dan pengakuan laba dilakukan secara bersamaan
dengan pengukuran dan pengakuan perubahan aset bersih. IAI (2007) melalui KDPPLK
paragraf 67 menyatakan bahwa ”hanya karena faktor kebetulan kalau jumlah ekuitas agregat
sama dengan jumlah yang dapat diperoleh dengan melepaskan seluruh aset bersih”. Hal ini
menunjukkan bahwa ekuitas tidak merujuk pada realitas objektif. Karena perubahan ekuitas
menjadi pedoman dalam pengukuran dan pengakuan laba, maka dengan sendirinya laba itu
sendiri juga tidak merujuk pada realitas objektif. Penelitian ini berusaha mengungkapkan
sejauh mana konsep laba komprehensif dipahami oleh akuntan dan non-akuntan, dalam
keterkaitannya dengan interpretasi mereka atas laba akuntansi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan berikut: (1) memperoleh bukti empi-
ris tentang kesimetrisan interpretasi laba akuntansi oleh akuntan dan non-akuntan. Sebagai
simbol yang digunakan dalam komunikasi, laba yang dicantumkan dalam laporan laba-rugi
seharusnya dimaknai secara sama, karena hanya dengan demikian komunikasi menjadi
efektif; (2) memperoleh bukti empiris tentang pemahaman akuntan dan non-akuntan terhadap
konsep laba yang digunakan dalam rerangka konseptual akuntansi. Pihak-pihak yang berke-
pentingan dengan informasi laba diasumsikan telah memahami konsep laba yang dianut da-
lam akuntansi ini, karena hanya dengan demikian mereka tidak menginterpretasikan laba
akuntansi berdasarkan persepsinya masing-masing.

Kontribusi Penelitian

Konstribusi praktis. Jika ditemukan bukti bahwa laba yang dilaporkan dalam laporan laba-
rugi dapat dipahami secara sama antara akuntan dan non-akuntan, berarti tujuan dan efek
komunikasi informasi laba telah tercapai sesuai harapan. Tetapi, jika yang terbukti adalah
sebaliknya, hal ini harus dikaji kasus per kasus. Sebagaimana dikatakan oleh Jones (1996, 86)
bahwa problema komunikasi dapat terletak pada aspek readability atau aspek understand-
ability laporan keuangan. Problema tersebut dapat diselesaikan dengan memperbaiki cara
pengkomunikasian informasi laba, misalnya laporan laba-rugi disusun dengan isi dan bentuk
yang tidak tunggal dan universal.

5
Kontribusi kebijakan. Konsep laba komprehensif mendasari spirit totalitas akuntansi untuk
merepresentasikan realitas ekonomik perusahaan secara utuh, tunggal, ideal dan universal.
Tetapi, realitas ekonomi yang dikonsepsikan akuntan melalui totalitas itu mungkin tidak selalu
sejalan dengan realitas ekonomi yang dipersepsikan oleh non-akuntan. Jika hal ini yang
terjadi, maka para pengambil kebijakan – khususnya penyusun standar akuntansi – perlu
mempertimbangkan aspek-aspek ”pragmatisme” dalam persepsi non-akuntan, dan tidak hanya
mengutamakan aspek ”idealisme” akuntan dalam penyusunan standar akuntansi.

Kontribusi teoritis. Walaupun penelitian ini tidak bertujuan untuk melakukan generalisasi atas
temuan, tetapi temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada tataran
teoritis, yaitu melengkapi literatur-literatur akuntansi, khususnya yang berkaitan dengan
makna laba dalam ruang komunikasi. Jika penelitian ini menemukan bukti bahwa laba tidak
memiliki referen pada realitas objektif, tetapi terbatas pada realitas konseptual atau bahkan
tidak merepresentasikan realitas apa pun (pure simulacrum), maka tentu ada argumentasi lain
yang perlu diungkap mengapa investor, kreditor serta pengguna lain masih memerlukan infor-
masi laba akuntansi dari waktu ke waktu.

2. PROBLEMA TEKS DAN PEMBACA TEKS AKUNTANSI

Readability dan Understandability

Efek komunikatif merupakan sasaran penyampaian informasi dari penyedia informasi kepada
pengguna informasi, sehingga ungkapan bahasa harus tepat sehingga maknanya dapat ditafsir-
kan sama persis dengan makna yang dimaksudkan. Oleh karena itu, teori akuntansi perlu
dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek semantik (makna bahasa) ini. Aspek
semantik penting untuk dipertimbangkan karena informasi keuangan secara ideal harus
memiliki kandungan infor-masi atau mengacu pada ”realitas” yang disepakati oleh penyedia
maupun pemakai informasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, Li (1972, 105) menyatakan bahwa sebagai sebuah sis-
tem bahasa, kandungan fakta (factual content) dari informasi akuntansi merupakan hal yang
harus diutamakan, dan untuk itu, akuntansi harus membatasi kegiatannya pada deskripsi peris-
tiwa bisnis yang dapat diuji kebenarannya, yang disebut sebagai referents – yaitu peristiwa
bisnis yang keberadaan dan besaran nilai keuangan yang menyertainya harus jelas batasannya.
Hal ini konsisten dengan harapan Lee (1982, 155) bahwa jangan sampai simbolisasi peristiwa
dan objek yang semula dimaksudkan untuk menyederhanakan dan memudahkan proses ko-

6
munikasi, justru menimbulkan kesulitan dalam mengkomunikasikan informasi akuntansi
tersebut (lihat juga Preston et al. 1996, 121).
Problema semantik dalam pengkomunikasian informasi akuntansi seperti dikhawatirkan
oleh Li (1972) dan Lee (2982) tersebut sebenarnya telah dibuktikan oleh Haried (1972).
Menurut Haried, problema semantik terjadi karena dua faktor, yaitu: (1) kata-kata (words)
yang menjadi simbol bahasa teknis akuntansi ternyata memiliki makna berbeda dalam bahasa
sehari-hari atau memiliki makna yang berbeda dalam bidang lain di luar akuntansi; dan (2)
standarisasi istilah (terms) yang digunakan dalam laporan keuangan kurang memadai untuk
merepresentasikan realitas.
Smith dan Taffler (1992) serta Courtis (1998) mendukung temuan Haried (1972). Mereka
menemukan fakta bahwa akuntansi sebagai bahasa bisnis masih mengandung setidaknya dua
problema utama, baik yang bersumber dari teks akuntansi itu sendiri maupun yang bersumber
dari pembaca teks akuntansi. Dengan ungkapan lain, Jones (1996, 86) menyebut dua pro-
blema tersebut tersebut sebagai kemudahan untuk dibaca (readability) dan kemampuan untuk
memahami (understandability)6.
Jones (1996, 86) menjelaskan, bahwa readability merupakan problema komunikasi infor-
masi akuntansi yang bersumber dari teks akuntansi itu sendiri, terutama karena adanya kom-
pleksitas simbol (kata maupun angka) yang digunakan selama proses akuntansi hingga peng-
komunikasian laporan keuangan. Sebaliknya, understandability terfokus pada pembaca teks
akuntansi, yang berarti bahwa kemampuan untuk memahami bahasa akuntansi tergantung
pada karakteristik pembaca, baik dalam hal latar belakang, pengetahuan yang dimiliki, tujuan
membaca, kepentingan, serta kemampuan melakukan pembacaan secara umum.

Reifikasi dan Pygmalion Syndrome

Dalam praktik akuntansi, konsep laba komprehensif dijalankan berdasarkan asumsi akrual.
Implikasi dari asumsi dasar akrual ini adalah, bahwa suatu transaksi atau peristiwa dibukukan
pengaruhnya terhadap aktiva, kewajiban, ekuitas, pendapatan atau beban pada saat transaksi
atau peristiwa itu terjadi tanpa mempertimbangkan apakah kas atau setara kas telah diterima
atau dibayarkan. Dengan berbasis akrual, catatan akuntansi tidak hanya merekam fakta terja-
dinya arus kas sekarang, tetapi juga merekam potensi terjadinya arus kas di masa depan, serta
6
Adelberg (1983, 163) menganggap bahwa kata readability dan understandability memiliki makna yang sama, dan
karenanya, ia menggunakan kedua kata itu secara bergantian. Jones (1996, 86) berpendapat bahwa meskipun kata
readability dan understandability dapat dimaknai sama dan digunakan secara bergantian, tetapi masing-masing kata ter-
sebut terfokus pada dua hal yang berbeda, sehingga kedua kata itu masih dapat dibedakan maknanya. Kata readability
terfokus pada teks akuntansi, sedangkan understandability terfokus pada pembaca teks akuntansi.

7
konsekuensi dari arus kas di masa lalu. Fakta, potensi, dan konsekuensi tersebut seluruhnya
dicatat sekarang, sehingga angka-angka yang tercantum dalam laporan keuangan sebagai
produk akuntansi – kecuali laporan aliran kas – seringkali menjadi sulit untuk dimengerti
(Chambers 1989, 7).
Pencatatan fakta, potensi dan konsekuensi dalam akuntansi akrual tersebut, yang secara
keseluruhan diartikan sebagai realitas ekonomik, dijustifikasi terutama oleh prinsip ”substansi
mengungguli bentuk”. Substansi ekonomi lebih diunggulkan daripada bentuk hukum, karena
substansi ekonomi dianggap dapat menggambarkan realitas ekonomik suatu transaksi, dan
dengan demikian, informasi akuntansi dianggap meyajikan secara jujur transaksi atau pe-
ristiwa lain yang seharusnya disajikan.
Dampak dari spirit akuntansi akrual untuk merepresentasikan realitas ekonomik perusa-
haan secara jujur serta menyajikan apa yang seharusnya disajikan dalam laporan keuangan
tersebut adalah timbulnya pygmalion syndrome (Heath 1987, 1)7. Dalam konteks akuntansi,
istilah pygmalion syndrome sebenarnya bukan istilah baru, karena istilah ini merupakan idiom
dari istilah ”reifikasi” (Heath 1987, 1). Ansari dan Euske (1987) menggunakan istilah reifi-
kasi (reification)8 untuk merujuk pada makna yang sama dengan makna pygmalion syndrome.
Sebagai contoh reifikasi dalam akuntansi adalah cara berfikir tentang laba (earnings). Dalam
konteks akuntansi berbasis akrual, akuntan seringkali mereifikasi laba. Misalnya, baik secara
lisan maupun melalui tulisan, akuntan membuat pernyataan-pernyataan berikut: mendistribu-
sikan laba, menahan laba, menginvestasikan kembali (reinvestment) laba, membiayai pembe-
lian peralatan pabrik dengan bagian laba, dan lain-lain. Implisit dalam pernyataan tersebut
adalah bahwa akuntan membayangkan seolah-olah ”laba” merupakan suatu benda (things)
yang secara fisis dapat dibagi-bagikan, didistribusikan, disimpan, atau dibelanjakan. Dalam
akuntansi akrual, laba atau rugi hanyalah sebuah model konseptual, dan tidak dapat
diobservasi atau diukur secara langsung.

7
Istilah pygmalion syndrome pada awalnya terdapat dalam ilmu fisika, khususnya dalam teori relativitas. Pygmalion
syndrome menunjukkan kecenderungan seseorang untuk mengacaukan (confuse) antara model konseptual tentang sesuatu
atau peristiwa di dunia nyata dengan sesuatu atau peristiwa itu sendiri. Model konseptual adalah deskripsi, perhitungan dan
persamaan matematis, atau analogi yang digunakan untuk menggambarkan secara sederhana tentang sesuatu atau peristiwa
yang tidak dapat diobservasi secara langsung (Heath 1987, 1). Sebagai contoh, kalau suatu surat kabar memberitakan
bahwa pada tahun 2007 jumlah kelahiran bayi di Indonesia rata-rata adalah 200 orang per hari, maka angka 200 merupakan
hasil perhitungan matematis sebagai penjelasan sederhana tentang jumlah kelahiran bayi yang sebenarnya tidak dapat
diobservasi secara langsung setiap harinya. Jika seseorang berfikir bahwa benar-benar terjadi kelahiran bayi 200 orang per
hari, seolah-olah ia mengobservasi langsung kelahiran itu, maka ia dikatakan mengidap gejala pygmalion syndrome.
8
Secara etimologis, reification berasal dari bahasa latin “res” yang berarti “benda” atau “objek”, sehingga reify
berarti ”membendakan” (thingify) (lihat Heath 1987, 1). Reifikasi (reification) adalah berbicara atau berfikir tentang sesuatu
secara konseptual, tetapi membayangkan bahwa sesuatu itu adalah benda yang ada secara fisis dan dapat diobservasi secara
langsung di dunia nyata.
8
Reifikasi atau pygmalion syndrome atas laba dapat menimbulkan problema dalam komu-
nikasi informasi akuntansi. Problema ini mungkin tidak akan terjadi jika komunikasi dila-
kukan oleh mereka yang memahami rerangka konseptual akuntansi. Misalnya, ketika A ber-
kata kepada B, ”Tahun lalu, PT X mendistribusikan 40 persen labanya”, tidak berarti bahwa
komunikasi ini bermasalah atau tidak efektif. Meskipun laba telah direifikasi oleh A, tetapi B
faham bahwa laba yang tampak sebagai bottom-line dalam laporan laba-rugi tidak merepre-
sentasikan suatu benda (kas) yang dapat didistribusikan. B menyadari bahwa A hanyalah
berbicara secara metaforis, yang bermaksud menyingkat ucapannya untuk mengatakan bahwa
PT X membagikan dividen tunai yang jumlahnya setara dengan 40 persen dari laba yang
dilaporkan.
Jika akuntan mereifikasi laba pada saat berkomunikasi dengan pihak-pihak yang tidak
memahami rerangka konseptual akuntansi, problema komunikasi akan terjadi. Tetapi,
problema komunikasi yang ditimbulkan oleh reifikasi atau pygmalion syndrome atas laba
ternyata tidak hanya terjadi dalam berkomunikasi dengan non-akuntan, tetapi juga terjadi pada
diri akuntan sendiri (Heath 1987, 3). Meskipun akuntan merepresentasikan peristiwa dalam
dunia nyata melalui model akuntansi, tetapi mereka sendiri sering mengacaukan model
akuntansi tersebut dengan peristiwa yang ingin mereka representasikan. Heath (1987, 4)
memberikan ilustrasi melalui sebuah cerita yang disebutnya sebagai old story tentang sebuah
perusahaan yang membeli mesin tulis (typewriter) berikut ini:
Ketika mesin tulis yang lama telah didepresiasi penuh, perusahaan ingin membeli lagi sebuah mesin
tulis yang sama. Karena tipe mesin tulis yang lama tidak tersedia lagi di pasaran, maka terpaksa dibeli
sebuah mesin tulis bekas pakai dengan tipe dan kondisi yang persis sama dengan mesin tulis lama.
Ketika ruangan kantor ditata kembali untuk mengakomodasi keberadaan mesin tulis ”baru” ini,
ternyata ruangan kantor terkesan makin sempit dan suasana dalam ruangan menjadi kurang sedap
dipandang. Oleh karena itu, sebuah dari mesin tulis yang memiliki tipe dan kondisi sama tersebut
dibuang (dibesituakan dan dimasukkan gudang) oleh pegawai kantor. Akuntan terkejut ketika menge-
tahui sebuah mesin tulis dibuang, kemudian ia bertanya, ”Mesin tulis mana yang kau buang?”. Setelah
memperoleh jawaban bahwa mesin tulis lama yang dibuang, akuntan berkata, ”Syukurlah kalau begitu,
berarti saya tidak harus melaporkan kerugian bagi perusahaan”.

Dalam konteks old story di atas, akuntan telah gagal untuk menggunakan model atau
konsepnya dalam merepresentasikan peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Peristiwa yang
gagal direpresentasikan adalah ”kerugian” akibat membuang mesin tulis lama yang sebe-
narnya masih memberikan manfaat bagi perusahaan. Dengan gejala pygmalion syndrome-nya,
akuntan telah mereifikasi kerugian sebagai kehilangan uang, bukannya kehilangan aset
perusahaan berupa mesin tulis yang masih bermanfaat.

9
3. METODA PENELITIAN

Hermeneutika Sebagai Pendekatan

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan hermeneutika, atau secara
lebih spesifik adalah pendekatan interpretif. Apa yang dipahami oleh akuntan dan non-
akuntan tentang laba akuntansi dalam suatu ruang komunikasi, sehingga informasi laba akun-
tansi menjadi sedemikian penting bagi mereka? Realitas apa yang terpikirkan oleh mereka ke-
tika berkomunikasi tentang informasi laba akuntansi tersebut? Jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan ini adalah persoalan yang terkait dengan pemaknaan teks; dan setiap pemaknaan
teks selalu memerlukan upaya interpretasi yang bertujuan untuk memperoleh pemahaman atas
teks yang bersangkutan. Upaya penginterpretasian teks untuk memperoleh pemahaman ini
disebut oleh Schmidt (2007, 272) sebagai hermeneutika (hermeneutics).
Laba akuntansi, baik sebagai kata maupun angka, adalah sebuah teks. Interpretasi laba
akuntansi sebagai teks, tidak dapat dilepaskan dari konteks, yaitu tergantung pada siapa yang
menafsirkan, waktu, situasi, kepentingan atau tujuan pembacaan, pengetahuan, kebiasaan,
pengalaman, serta latar belakang lainnya (Schmidt 2007, 273).

Informan dan Pengumpulan Informasi

Individu-individu yang menjadi informan dalam penelitian ini terdiri atas: (a) tiga orang
akuntan – yang berprofesi sebagai akuntan pendidik, akuntan manajemen dan akuntan publik;
dan (b) empat orang non-akuntan – yang berprofesi sebagai manajer keuangan, penasihat
investasi, investor, dan analis kredit. Tabel 1 berikut menunjukkan informan terpilih dalam
penelitian ini.
Tabel 1
INFORMAN PENELITIAN

Identitas Informan Bidang Pekerjaan/Posisi/Jabatan dalam Organisasi

Akuntan:
1. Hardiwibowo Dosen mata kuliah akuntansi keuangan dan teori akuntansi
pada sebuah PTN di Jakarta.
2. Budi Rismawan Accounting Manager PT DLS di Surabaya, bertanggungja-
wab pada Vice Finance Manager.
3. Sari Kusuma Managing Partner, Kantor Akuntan Publik SB & Rekan

Non-Akuntan:
4. Salim Tirta Direktur Keuangan PT GGI (2003-2007), sekarang Direktur
Utama (sejak September 2007)

10
5. Mujianto Penasehat dan Manajer Investasi PT SM Securities Jakarta,
bertanggungjawab kepada Direktur Utama.
6. Franky Hardi Investor Individu, juga bekerja sebagai Pegawai Negeri
Sipil di Pemerintahan Provinsi Jawa Timur.
7. Septi Yuliana Kepala Cabang Bank ABC Surabaya (sejak Mei 2007),
berpengalaman sebagai analis kredit (2000-2007).

Catatan: Nama-nama informan adalah bukan nama sebenarnya. Akronim-akronim organisasi juga tidak mere-
fleksikan akronim yang sebenarnya.

Pemilihan para informan tersebut di atas dilakukan secara sengaja, berdasarkan kriteria yang
dijelaskan oleh Bungin (2003: 54), bahwa informan merupakan individu yang telah cukup
lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau medan aktivitas yang menjadi sasaran
penelitian. Mereka tidak hanya sekedar tahu dan dapat memberikan informasi, tetapi juga
telah menghayati secara sungguh-sungguh sebagai akibat dari keterlibatannya yang cukup
lama dengan lingkungan atau kegiatan yang bersangkutan.
Pengumpulan informasi dilakukan melalui wawancara yang tidak terstruktur, tidak ter-
jadwal, dan dilakukan sedemikian rupa sehingga dalam memberikan informasi, para informan
tidak cenderung mengolah atau mempersiapkan informasi tersebut lebih dulu, serta dapat
memberikan penjelasan apa adanya.

Kritis-Folosofis-Retorik: Sifat Analisis dan Diskusi

Interpretasi atas laba akuntansi oleh para informan dianalisis sesuai dengan konteks yang
melatar-belakangi timbulnya interpretasi tersebut. Diskusi atas setiap interpretasi laba
akuntansi dari para informan dilakukan dengan merefleksikannya secara kritis pada disiplin
ilmu dan konsep-konsep filosofis lain yang relevan dengan konteksnya. Analisis dan diskusi
juga disampaikan secara retorik – dalam arti banyak menggunakan metafora dan analogi-
analogi – dengan harapan agar dapat dengan mudah dipahami.

4. LABA AKUNTANSI DALAM BINGKAI INTERPRETASI AKUNTAN

Laba Akuntansi: Hasil Aktivitas Real dan Tidak Real

11
Interpretasi laba tidak dapat dilepaskan dari aktivasi skema 9 pendapatan dan beban dalam
kognisi akuntan. Para akuntan mengatakan bahwa laba adalah kelebihan pendapatan di atas
beban, dan mereka berpendapat sama bahwa laba akuntansi bukan semata-mata representasi
dari jumlah uang yang diperoleh perusahaan dari pendapatan operasinya setelah dikurangi
beban. Hardiwibowo (akuntan pendidik) misalnya, mengatakan:
Akuntansi saat ini dioperasionalkan dengan menggunakan konsep akrual yang mengakui pendapatan
dan beban saat terjadinya, tanpa mempersoalkan apakah uang tunai sudah diterima atau dibayarkan.
Jika laba akuntansi yang dilaporkan jumlahnya persis sama dengan jumlah uang tunai bersih yang
diterima, itu hanya merupakan suatu kebetulan.
Para akuntan menyatakan, bahwa laba akuntansi merupakan representasi dari kinerja perusa-
haan selama perioda tertentu di masa yang lalu, dan kinerja itu merupakan ukuran realitas
ekonomik yang berhasil dicapai oleh perusahaan selama perioda tersebut. Kinerja perusahaan
yang mereka maksudkan, dicapai melalui aktivitas yang real maupun tidak real, sebagaimana
dikemukakan oleh Budi Rismawan (akuntan manajemen), bahwa:
Laba akuntansi itu merupakan hasil dari aktivitas real dan tidak real. Yang saya maksud dengan
aktivitas real adalah aktivitas yang ditandai oleh adanya transaksi secara fisis pada perioda pelaporan,
misalnya produksi, penjualan, pembelian, pembayaran, pertukaran, dan aktivitas fisis lainnya.
Sedangkan aktivitas yang tidak real adalah aktivitas tanpa ada transaksi secara fisis dalam perioda
pelaporan, tetapi hanya perhitungan di atas kertas seperti estimasi, alokasi, penyesuaian nilai dalam
catatan akuntansi, atau bahkan hanya perhitungan-perhitungan konseptual akuntansi. Jadi, harus hati-
hati memaknai laba akuntansi, jangan sampai membayangkannya sebagai uang tunai yang benar-benar
ada di depan mata.
Realitas ekonomik yang direpresentasikan oleh laba akuntansi, seperti diinterpretasikan oleh
Budi Rismawan tersebut, jelas tidak harus atau tidak selalu berwujud uang tunai secara fisis.
Jika demikian, apa yang dimaksud dengan ”realitas ekonomik” sebagai kata/frasa yang sering
diucapkan oleh para akuntan ketika berbicara tentang realitas referensial laba akuntansi?.
Hardiwibowo (akuntan pendidik) menjelaskan:
Realitas dapat diartikan sebagai kenyataan atau fakta. Jadi, yang dimaksud dengan realitas ekonomik
adalah kenyataan atau fakta ekonomik. Fakta ekonomik atas laba akuntansi tidak lain adalah selisih
antara semua pendapatan yang diperoleh perusahaan dan biaya-biaya yang berhubungan dengan
pendapatan tersebut. Tentang wujud laba, tidak selalu berupa uang, bisa juga berwujud aset lain yang
bisa dinilai dengan uang, karena pendapatan dan biaya itu sendiri juga tidak selalu berupa uang.
Interpretasi laba akuntansi yang dikemukakan oleh Hardiwibowo dan Budi Rismawan terse-
but menunjukkan bahwa kandungan informasi (realitas referensial) laba akuntansi dalam
bingkai interpretasi mereka adalah: (1) total hasil aktivitas perusahaan, baik yang berasal
aktivitas real (produksi dan penjualan produk) maupun aktivitas yang tidak real (perhitungan

9
Skema merupakan perwakilan konsep dari pikiran. Menurut Wilber (1997, 80), dalam psikologi kognitif, kesadaran
manusia terkait dengan skema fungsional dari kognisinya. Aktivasi dari sebuah skema menyadarkan manusia tentang
sesuatu (benda) yang diwakili oleh skema itu serta skema-skema lainnya yang berkaitan dengan skema utamanya.
Misalnya, skema kursi terkait dengan skema duduk dan meja. Skema anak terkait dengan skema ayah dan ibu. Skema
piring terkait dengan skema sendok dan garpu. Mengacu pada makna kesadaran berdasarkan pendekatan kognitif tersebut,
maka kesadaran akuntan tentang ”laba akuntansi” pada hakikatnya merupakan kesadaran yang terkait dengan skema.
Dalam hal ini, skema laba berkaitan erat dengan skema pendapatan dan beban.
12
di atas kertas dan konseptual); (2) laba akuntansi dapat berwujud uang tunai maupun
perubahan nilai aset lain yang diukur dalam satuan uang tanpa ada aliran kas secara lang-
sung.10

Laba Akuntansi: Label Perubahan Realitas Ekonomik

Cukup menarik untuk disimak lebih lanjut adalah interpretasi laba akuntansi oleh
Hardiwibowo (akuntan pendidik) dan Sari Kusuma (akuntan publik). Pekerjaan atau profesi
sehari-hari yang dijalani oleh akuntan pendidik dan akuntan publik mendasari interpretasi
mereka atas laba akuntansi yang cenderung lebih konseptual. Agak berbeda dengan akuntan
manajemen, mereka memberikan interpretasi tentang realitas ekonomik sebagai kandungan
informasi laba akuntansi dengan cara yang lebih filosofis berdasarkan penalaran-penalaran
logis mereka.
Interpretasi akuntan pendidik dan akuntan publik atas laba akuntansi sangat terkait
dengan rerangka berfikir mereka tentang akuntansi, yaitu suatu struktur berfikir mereka yang
menghubungkan antara teori akuntansi di satu sisi, dengan realitas yang ingin
direpresentasikan oleh simbol-simbol informasi akuntansi di sisi yang lain, khususnya
informasi laba. ”Karena kita sedang berbicara tentang laba akuntansi, maka interpretasi atas
laba akuntansi juga harus dilakukan dalam wilayah akuntansi”, demikian kata Hardiwibowo
(akuntan pendidik). Sari Kusuma (akuntan publik) juga menyatakan hal senada, bahwa
berbicara tentang laba akuntansi, tidak dapat disamakan dengan konteks yang lain. Sari
Kusuma menambahkan,

Ini berkaitan dengan language game. Ibarat sebuah permainan, akuntansi memiliki kesepakatan aturan yang
mungkin berbeda dengan jenis permainan lainnya. Artinya, istilah laba dalam konteks akuntansi dapat
diinterpretasikan secara berbeda pada konteks yang lain.

Hardiwibowo dan Sari Kusuma pada umumnya menyatakan kurang tepat jika laba akuntansi
diinterpretasikan sebagai realitas ekonomik yang dicapai perusahaan dalam suatu perioda,
karena realitas ekonomi perusahaan sebenarnya telah terrefleksi pada neraca. Dalam hal ini,
Hardiwibowo (akuntan pendidik) cenderung menginterpretasikan laba akuntansi sebagai
perubahan realitas ekonomik perusahaan, seperti yang ia katakan bahwa:
Laba akuntansi itu merupakan gambaran tentang perubahan realitas ekonomik perusahaan selama
perioda tertentu. Realitas ekonomik perusahaan tercermin dalam neraca yang memperlihatkan unsur-

10
Penjelasan Hardiwibowo dan Budi Rismawan tentang realitas ekonomi yang direpresentasikan oleh laba akuntansi
ini konsisten dengan kajian-kajian kesadaran manusia dan studi-studi logika yang menggolongkan realitas dalam dua
dimensi, yaitu realitas inderawi-eksternal dan realitas batini-internal (lihat Wilber 1997, Mattessich 2003, Takwim 2006
dan Harb 2006). Realitas dalam dimensi ”inderawi-eksternal” adalah realitas fisis yang secara objektif dapat dicerap oleh
indera manusia; sedangkan realitas dalam dimensi ”batini-internal” adalah realitas non-fisis yang secara subjektif ada
dalam pikiran atau akal-budi manusia. Secara lebih konkret, Rand (2003, 16) menyebutkan bahwa ”realitas” dapat berupa
fakta fisis maupun non-fisis, misalnya: benda, entitas, sifat, kondisi, aktivitas, kualitas, hubungan, dan sebagainya.
13
unsur aset dan kewajiban. Jika unsur-unsur aset dan kewajiban ini diperbandingkan dalam dua perioda,
maka akan tampak perubahannya. Perubahan neto atas aset dan kewajiban perusahaan itulah yang
sesungguhnya disebut laba akuntansi.
Sama dengan interpretasi Hardiwibowo, tetapi secara lebih spesifik, Sari Kusuma menginter-
pretasikan bahwa laba akuntansi merupakan label dari perubahan realitas ekonomik perusaha-
an, seperti yang ia katakan:
Laba akuntansi merupakan label perubahan realitas ekonomik perusahaan. Perubahan realitas ekono-
mik perusahaan ini dapat dilihat dari perubahan aset dan kewajiban. Sebelum muncul label ”laba”,
perubahan aset dan kewajiban ini lebih dulu diberi label ”pendapatan” atau label ”beban”.
Karena merupakan label perubahan realitas ekonomik, Sari Kusuma mengingatkan bahwa
orang yang membaca angka laba akuntansi jangan membayangkan angka laba tersebut seba-
gai sejumlah uang yang telah atau akan diperoleh perusahaan. Sebagai label perubahan reali-
tas ekonomik, angka laba akuntansi adalah produk dari penerapan prosedur akuntansi tertentu,
sehingga angka laba ini tidak sepenuhnya menggambarkan sejumlah uang yang diperoleh
perusahaan, karena angka laba dapat pula menggambarkan kenaikan (penurunan) bersih atas
nilai aset (kewajiban) perusahaan tanpa harus diikuti secara langsung oleh aliran uang.
Berkaitan dengan ”laba sebagai label perubahan realitas ekonomik” tersebut, Sari
Kusuma memberikan penjelasan yang cukup menarik dengan menunjukkan lebih dulu sebuah
literatur akuntansi yang menyatakan bahwa:

Real (permanent) accounts are assets, liability, and equity accounts; they appear on the balance
sheet. Nominal (temporary) accounts are revenue, expense, and dividend accounts; except for
dividends, they appear on the income statement. Nominal accounts are periodically closed; real
accounts are not. (Kieso et al. 2004, 63),
Berdasarkan pernyataan Kieso et al. tersebut, Sari Kusuma menjelaskan tentang makna ”real”
dan ”nominal” dengan cara cukup menarik, meskipun terkesan spekulatif. Menurutnya, secara
etimologis, kata ”nominal” berakar dari kata ”name” (nama), dan setiap nama hanyalah sebu-
ah label atau tanda. Sebagai label, akun pendapatan dan beban (termasuk pula akun laba) di-
buat untuk menandai terjadinya transaksi, kejadian atau peristiwa lain yang menyebabkan
perubahan pada akun ”real”. Dengan demikian, akun laba – yang terbentuk dari pendapatan
dikurangi beban – tidak memiliki referen pada realitas objektif, dalam arti realitas fisis yang
dapat diobservasi, kecuali berfungsi sebagai tanda. Lebih lanjut Sari Kusuma menyatakan:

Sesuai dengan prosedur akuntansi, laba akuntansi akan menjadi real setelah akun laba ditutup ke akun
modal atau saldo laba. Tetapi, makna kata real dalam hal ini juga tidak menggambarkan realitas
objektif, sebelum laba tersebut benar-benar didistribusikan dalam bentuk dividen, baik dividen tunai,
dividen properti, maupun dividen saham.
Penjelasan Sari Kusuma ini secara implisit dibenarkan oleh Hardiwibowo. Sebagai label
perubahan akun real, laba akuntansi juga tidak mungkin dapat – kecuali secara kebetulan –
ditelusuri referennya ke realitas objektif, seperti uang tunai atau aset lain yang siap didistribu-
14
sikan sebagai dividen. Hal ini terjadi, karena akun real pun – yang dipandang sebagai repre-
sentasi realitas ekonomi perusahaan - tidak selalu mengacu pada realitas objektif. Hal ini di-
akui oleh Hardiwibowo melalui pernyataannya berikut:
Realitas itu bentuknya bermacam-macam, ada yang secara fisis mempunyai wujud, tetapi ada juga
yang tidak. Realitas dapat berwujud benda seperti uang tunai, sediaan barang, tanah, bangunan dan
lain-lain. Realitas juga ada yang hanya berupa pemikiran, tanpa dapat dilihat wujudnya secara fisis.
Goodwill itu juga realitas, meskipun tidak ada secara fisis. Yang penting dalam akuntansi, semua
realitas yang dapat dinilai dengan uang dapat dicatat dan dilaporkan
Pernyataan Hardiwibowo tersebut memberikan pemahaman bahwa realitas ekonomi yang di-
representasikan oleh akun-akun ”real” tidak hanya berkaitan dengan aspek fisis atau kebenda-
an, tetapi juga berkaitan dengan aspek akal budi (fikiran) atau konsep yang semuanya dapat
diukur dengan nilai uang. Penyebab perubahan akun-akun real itu pun dapat berupa transaksi
atau kejadian fisis yang dapat diobservasi (inderawi-eksternal), dan dapat pula berupa
peristiwa yang hanya terjadi pada tataran mental atau konsep (batini-internal) dalam arti
bahwa peristiwanya tidak benar-benar terjadi atau ada. Hal ini konsisten dengan semboyan
Rene Descartes: cogito ergo sum – saya berfikir, maka saya ada.
Sebagai kandungan informasi (information content) dalam proses komunikasi, perubahan
realitas ekonomik yang terbagi dalam dua dimensi tersebut berpotensi menimbulkan keka-
cauan interpretasi dalam sebuah ruang komunikasi. Hal ini telah diprediksi oleh Harb (2006,
30) yang menyatakan bahwa perbedaan pemikiran di balik selubung makna dan serangkaian
pemahaman, dapat menimbulkan kekacauan komunikasi sebagai akibat perbedaan interpre-
tasi. Potensi seperti ini tampak dipahami oleh Hardiwibowo dan Sari Kusuma. Hardiwibowo,
misalnya, mengatakan:
Mungkin tidak semua orang menafsirkan laba akuntansi sebagai perubahan realitas ekonomik yang
bersifat fisis maupun non-fisis, sehingga penafsiran masing-masing orang akan berbeda. Ini berarti,
bahwa untuk memahami apa sebenarnya laba akuntansi itu, orang harus memahami konsep dan
prosedur akuntansi yang memunculkannya.

Realitas Ekonomik atau Realitas Akuntansi?

Walaupun para akuntan menginterpretasikan laba akuntansi sebagai label perubahan realitas
ekonomik, mereka pada umumnya masih mengungkapkan keraguannya apakah realitas yang
direpresentasikan oleh laba akuntansi benar-benar merupakan ”realitas ekonomik”. Keraguan
ini didasari oleh fakta bahwa banyak prosedur akuntansi menghasilkan informasi yang tidak
mencerminkan realitas ekonomik, karena prosedur tersebut dilakukan atas dasar asumsi-
asumsi tertentu yang digunakan untuk membangun teori akuntansi. Sebagai contoh adalah
beban penyusutan: pengakuan dan pelaporannya didasarkan pada ”alokasi akuntansi”, bukan
didasarkan pada ”penurunan nilai ekonomis” yang benar-benar terjadi. Contoh yang lebih luas
15
adalah penggunaan konsep biaya historis (historical cost), bukan biaya kini (current cost).
”Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa laba akuntansi merupakan label perubahan realitas
akuntansi, bukannya realitas ekonomik”, kata Sari Kusuma tanpa kesan bersungguh-sungguh
atas pernyataannya. Menanggapi hal ini, Hardiwibowo menolaknya, dan menjelaskan:
Jangankan teori akuntansi, teori ekonomi sendiri, salah satu disiplin ilmu yang mendasari teori
akuntansi, dibangun berdasarkan sejumlah asumsi tertentu yang tidak selalu sesuai dengan realitas
ekonomi. Realitas ekonomi bekerja dengan hukum-hukumnya sendiri sesuai dengan tingkat
perkembangan atau corak perekonomian suatu masyarakat. Akibatnya, penjelasan teori ekonomi hanya
mengandung kebenaran sejauh diterapkan pada dirinya sendiri. Artinya, sejauh diuji berdasarkan
asumsinya, kebenaran teori ekonomi bersifat mutlak, dengan mengesampingkan fakta bahwa asumsi-
asumsi teori ekonomi itu tidak ditemukan dalam realitas ekonomi.
Menurut Hardiwibowo, hal tersebut berlaku pula dalam akuntansi. Penjelasan teori akuntansi
juga hanya mengandung kebenaran sejauh diterapkan pada dirinya sendiri. Tentang informasi
laba akuntansi misalnya, sejauh diuji berdasarkan konsep dan asumsinya, laba akuntansi itu
adalah benar. Tetapi karena realitas yang dirujuk oleh laba akuntansi tidak selalu dapat dite-
mukan dalam realitas ekonomi, maka informasi laba akuntansi itu harus dilihat hanya sebagai
salah satu alat bantu dalam memahami realitas ekonomik.

5. LABA AKUNTANSI DALAM BINGKAI INTERPRETASI NON-AKUNTAN

Uang Tunai: Realitas Referensial Laba Akuntansi

Pemahaman laba melalui pemaknaan secara struktural tampaknya tidak dapat dihindari oleh
seluruh informan – manajer keuangan, analis kredit, investor dan penasihat investasi. Mereka
menyatakan secara sama bahwa laba adalah selisih antara pendapatan dan biaya. Di antara
non-akuntan yang menjadi informan penelitian ini, hanya Franky Hardi (investor individu),
yang tidak menyadari bahwa laba akuntansi tidak selalu merujuk pada arus kas masuk neto
yang real (nyata) karena pendapatan dan biaya juga tidak selalu merujuk pada arus kas masuk
dan keluar secara fisis. Ketidak-tahuan Franky Hardi ini terrefleksi dari pernyataannya bahwa:
Laba akuntansi adalah laba yang dihitung sesuai catatan akuntansi. Yang saya ketahui, catatan akun-
tansi adalah catatan tentang pemasukan dan pengeluaran uang. Kalau begitu, laba menurut akuntansi
dihitung dari pemasukan pendapatan dikurangi pengeluaran biaya yang sudah dicatat tadi. Jadi, bukan
seluruh pemasukan dikurangi seluruh pengeluaran.

Menurut Franky Hardi, laba akuntansi itu nyata. “Laba akuntansi ya berbentuk uang”, kata-
nya, “Kalau tidak berbentuk uang, mana bisa emiten membayar dividen, dan mana bisa peru-
sahaan reksadana memberikan hasil investasi untuk saya. Diperoleh dari mana uangnya kalau
tidak dari laba?”. Pernyataan Franky Hardi tersebut secara jelas menunjukkan bahwa ia tidak
mengetahui bahwa konsep akuntansi dalam pehitungan laba berbeda dengan konsep umum
yang selama ini difahaminya.

16
Laba Akuntansi: Antara Nyata dan Tidak Nyata

Kecuali Franky Hardi, semua informan non-akuntan dalam penelitian ini memahami bahwa
laba akuntansi tidak selalu merefleksikan arus kas masuk neto sebagai kelebihan pendapatan
di atas biaya. “Laba akuntansi memang dihitung dari pendapatan dikurangi biaya”, kata
Mujianto (penasihat investasi), “Tetapi pendapatan dalam akuntansi tidak selalu benar-benar
berupa uang. Begitu juga biaya, tidak selalu benar-benar ada uang keluar”. Secara lebih spe-
sifik, Mujianto menyebut bahwa, “Laba akuntansi dihitung dengan asal akrual atau asas wak-
tu, bukan asas tunai seperti pemahaman orang secara umum”.
Informan non-akuntan lainnya juga memahami bahwa laba akuntansi dihitung berdasar-
kan asas akrual. Tetapi, dalam pandangan mereka, asas akrual yang diterapkan dalam perhi-
tungan laba terlalu berlebihan. Berikut ini adalah komentar mereka:
Kalau asas akrual dalam perhitungan laba diterapkan untuk kejadian-kejadian yang nyata, maka laba
akuntansi menjadi mudah dipahami. Tetapi, sekarang ini asas akrual juga banyak diterapkan untuk ke-
jadian-kejadian yang tidak nyata, atau kejadian-kejadian yang hanya diperkirakan. Ini yang menyebab-
kan laba akuntansi sering sulit dipahami. [Salim Tirta – manajer keuangan]
Laba akuntansi tidak benar-benar menggambarkan kinerja keuangan yang dapat dipahami secara
operasional oleh orang awam, karena dalam mencatat pendapatan dan biaya, akuntansi tidak membe-
dakan mana fakta dan bukan fakta. Ada yang fakta, ada yang estimasi. [Septi Yuliana – analis kredit]
Objektivitas laba akuntansi itu masih perlu dipertanyakan akibat asas akrual yang diterapkan untuk
kejadian-kejadian yang tidak dapat dipahami secara operasional. Menurut saya, ada kejadian-kejadian
yang sebenarnya hanya konsep, tapi sudah dibukukan seperti kejadian yang nyata. [Mujianto –
penasihat investasi]
Berbagai komentar yang beragam tersebut menunjukkan bahwa dalam pandangan para infor-
man, laba akuntansi tidak menggambarkan realitas yang mereka fahami. Mereka pada umum-
nya menyatakan bahwa laba akuntansi menggambarkan realitas yang nyata maupun tidak
nyata. Komentar mereka juga merefleksikan suatu harapan bagaimana seharusnya laba akun-
tansi dihitung dan disajikan kepada mereka.

Laba Akuntansi Tidak Simetris Dengan Keputusan Keuangan

Meskipun laba akuntansi dalam pandangan informan merepresentasikan realitas yang nyata
maupun tidak nyata sehingga sulit dipahami, tetapi dalam praktiknya mereka mengakui bah-
wa laba akuntansi memiliki fungsi dan peran sebagai pengukur kinerja manajemen. Kinerja
manajer keuangan misalnya, dievaluasi berdasarkan pencapaian target laba. Analis kredit
menggunakan angka laba akuntansi sebagai dasar pencairan pinjaman secara bertahap bagi
debitor; sedangkan penasihat investasi mempertimbangkan laba akuntansi dalam memilih se-

17
kuritas emiten yang akan dimasukkan dalam portofolio investasi. Atas fakta yang kontradiktif
ini, Salim Tirta (manajer keuangan) berkomentar:
Ini masalah yang terkait dengan kebijakan pemegang saham dan perjanjian kredit dengan bank. Kebi-
jakan itu harus saya terima apa adanya. Pada satu sisi, kinerja saya dievaluasi oleh pemegang saham
atas dasar laba akuntansi. Pada sisi lain, pemegang saham menghendaki pembagian dividen tunai dan
bonus tahunan kepada karyawan atas dasar persentase tertentu dari laba akuntansi….
…Bank mensyaratkan besaran laba akuntansi tertentu untuk dapat mencairkan pinjaman bagi
perusahaan. Semua itu sering membuat saya cemas. Di satu sisi saya harus mencapai laba akuntansi
yang ditargetkan pemegang saham maupun bank. Untuk yang ini lebih mudah diatasi, karena seperti
kita tahu bahwa laba akuntansi tidak harus menggambarkan pendapatan bersih yang nyata, jadi bisa
diatur. Pada sisi yang lain, saya harus membayar dividen dan bonus karyawan secara tunai. Nah, yang
ini membuat saya pusing. Dividen dan bonus harus dihitung dari laba akuntansi, padahal laba
akuntansi tidak selu-ruhnya mencerminkan aliran kas yang konkret. Akhirnya ya terpaksa mencari dan
menggunakan dana pinjaman untuk membayar dividen dan bonus itu. Ini kan suatu bukti bahwa laba
yang dihitung menurut konsep akuntansi tidak simetris dengan keputusan keuangan.
Analis kredit memiliki pandangan yang berbeda dengan manajer keuangan. Bagi analis kredit,
laba akuntansi bukanlah satu-satunya informasi yang digunakan sebagai ukuran kinerja mana-
jemen. “Saya sadar bahwa laba akuntansi itu tidak selalu nyata berwujud aliran uang masuk”,
kata Septi Yuliana, analis kredit. Ia menambahkan:
Bukan hanya laba akuntansi yang dijadikan sebagai dasar untuk mengambil keputusan pemberian kre-
dit kepada debitor. Kinerja keuangan debitor kan tidak hanya dilihat dari labanya. Ada indikator kiner-
ja keuangan lain yang telah ditetapkan bank untuk dievaluasi dalam pemberian kredit. Nilai agunan
juga penting. Dan yang juga lebih penting adalah mengevaluasi karakter dan prospek bidang bisnis
debitor di masa mendatang. Pemberian kredit berkaitan dengan itikad baik debitor dan prospek bisnis
mereka, sementara laporan keuangan hanyalah informasi masa lalu... Mengevaluasi permohonan kre-
dit debitor tidak sesederhana dengan cara menganalisis rasio-rasio keuangan yang datanya diambil dari
laporan keuangan. Peraturan kredit bank memang mewajibkan untuk menganalisis laporan keuangan,
tetapi itu hanya mempengaruhi keputusan sekitar dua sampai lima persen saja. Faktor-faktor kualitatif
debitor, baik masa lalu maupun masa mendatang, jauh lebih penting untuk dipertimbangkan dalam
pemberian kredit.
Lebih lanjut, Septi Yuliana mengatakan:
Setelah permohonan kredit disetujui, dibuat komitmen yang dituangkan dalam perjanjian kredit. Kalau
dalam perjanjian kredit disebutkan adanya kewajiban debitor untuk mencapai laba akuntansi tertentu
sebagai syarat untuk mencairkan kredit berikutnya, itu semata-mata untuk mengikat dan mengingatkan
debitor agar tidak lalai untuk mempertahankan kinerja keuangannya. Angka laba akuntansi yang dite-
tapkan dalam perjanjian kredit itu pada umumnya didasarkan pada rata-rata angka laba tahun-tahun se-
belumnya, tidak ada perhitungan khusus. Hanya formalitas saja.
Penasihat investasi ternyata juga memiliki pandangan serupa dengan analis kredit. Mujianto
misalnya, mengatakan bahwa laba akuntansi emiten merupakan informasi yang perlu dilihat
jika seseorang bermaksud investasi dalam sekuritas emiten seperti saham. Laba akuntansi
emiten pada beberapa tahun ke belakang harus dilihat, kata Mujianto. Tujuannya adalah seka-
dar untuk memastikan lebih dulu bahwa kita akan membeli sekuritas emiten yang membu-
kukan laba, atau kita yakin tidak akan berinvestasi pada emiten yang rugi. Mujianto menga-
takan:
Berinvestasi dalam sekuritas merupakan persoalan yang berkaitan dengan hasil di masa depan, baik
dalam bentuk dividen maupun capital gain. Jadi, yang penting untuk dipertimbangkan dalam investasi
sekuritas adalah prospek bisnis emiten. Laporan keuangan hanya berisi informasi masa lalu. Meng-
18
kalkulasi hasil investasi berdasarkan fakta keuangan masa lalu tentu kurang memadai tanpa mengeva-
luasi apa yang akan terjadi di masa mendatang. Fakta keuangan masa lalu hanyalah fakta mikro, se-
mentara sangat banyak fakta makro yang justru penting untuk kita pertimbangkan.
Berdasarkan pengalamannya membaca laporan keuangan, Mujianto menyatakan bahwa mem-
baca laporan keuangan perusahaan harus ekstra hati-hati. Dalam pandangannya,
Laporan keuangan cukup membingungkan karena realitas yang direpresentasikan kurang jelas: apakah
realitas akuntansi, realitas keuangan, atau realitas ekonomi? Laporan keuangan cenderung menyajikan
informasi tentang realitas akuntansi yang dimunculkan melalui hukum-hukum akuntansi itu sendiri,
sementara keputusan investasi merupakan keputusan yang mengacu pada realitas keuangan.
Karena yang disajikan adalah realitas akuntansi, maka tingkat objektivitas informasi keuangan
menjadi rendah dari sudut pandang investor. Rendahnya tingkat objektivitas laporan keuangan
ini, menurut Mujianto, juga akibat dari realitas akuntansi yang mudah diubah-ubah oleh akun-
tan berdasarkan hukum-hukum yang logis menurut akuntansi.

Laba Akuntansi dan The Bad Boys of Finance

Terkait dengan pandangannya, dengan nada berseloroh dan tanpa kesan bersungguh-sungguh,
Mujianto menyindir profesi akuntan. Ia menyebut para akuntan sebagai “The Bad Boys of
Finance” – yang kira-kira berarti “Anak-Anak Kurang Faham Keuangan”. Karena kurang
faham keuangan, kata Mujianto, maka “anak-anak” tersebut menyajikan informasi keuangan
atas dasar konsep-konsep keuangan yang diterapkan tidak pada tempatnya. Mujianto memper-
jelas makna The Bad Boys of Finance tersebut melalui anekdot yang kurang-lebih dapat di-
kutip seperti berikut:
Dalam sebuah kelas, seorang profesor berhadapan dengan tiga orang yang memiliki keahlian berbeda:
matematikawan, teoretisi organisasi, dan akuntan. Profesor bertanya, “Satu ditambah satu berapa?”.
Matematikawan menjawab, “Dua”. Benar, dua adalah keniscayaan, karena satu ditambah satu memang
sama dengan dua, dan diterima umum. Teoretisi organisasi menjawab, “Relatif. Bisa dua, lima, dela-
pan atau sebelas”. Ini memang benar, yang dibuktikan dengan munculnya teori tentang sinergi dalam
organisasi. Si akuntan menjawab, “Dua, jika dijumlahkan sekarang. Tetapi, jika penjumlahannya ma-
sih akan dilakukan di masa depan, harus dihitung present value-nya lebih dulu”.
Walaupun The Bad Boys of Finance yang diungkapkan oleh Mujianto tersebut hanya meru-
pakan sebuah anekdot, tetapi hal tersebut sebenarnya merupakan sebuah realitas yang telah
lama menjadi perhatian Rosenfield (2003). The Bad Boys of Finance menghasilkan laporan
keuangan yang tidak merepresentasikan realitas keuangan, dan membingungkan orang.
Rosenfield (2003, 233) mengungkapkan kritiknya:
Penggunaan present value dalam penyajian laporan keuangan tidak memberikan kontribusi dalam
memperbaiki fungsi pokok akuntansi, yaitu melaporkan kondisi dan pengaruh keuangan dalam dunia
nyata yang relevan sesuai dengan kejadian yang sebenarnya. Pendiskontoan nilai masa depan menjadi
nilai sekarang adalah magical process, bertentangan dengan hubungan sebab-akibat terjadinya suatu
peristiwa, dan tidak ada alasan yang dapat membenarkan penjumlahan angka present value dan
historical value dalam laporan keuangan.
Menurut Rosenfield (2003, 234), masa depan tidak pernah terjadi sekarang, dan karenanya,
peristiwa keuangan di masa depan juga bukan representasi peristiwa sekarang. Oleh karena
19
itu, ia mempertanyakan apakah present value merupakan sebuah realitas keuangan yang
objektif, dan mengapa hal itu harus diadopsi dalam akuntansi.

Uneven Reification: Konsep Yang Dihadirkan Sebagai Kenyataan

Meskipun The Bad Boys of Finance yang dikemukakan oleh Mujianto (manajer keuangan)
hanyalah sebuah anekdot, tetapi cukup relevan dengan fakta bahwa laba akuntansi merupakan
hasil dari penerapan prosedur, yaitu prosedur pengurangan beban terhadap penghasilan.
Dalam akuntansi, prosedur tersebut dijalankan sesuai konsep dasar akuntansi, yaitu akrual.
Karena laba merupakan hasil dari penerapan prosedur, maka objektivitas informasi laba akun-
tansi semata-mata terletak pada kesesuaiannya dengan aturan permainan (rule of the game)
yang ditentukan sesuai dengan konsep atau asumsi-asumsi akuntansi akrual.
Walaupun semua orang mahfum bahwa aktivitas akuntansi pada dasarnya adalah menca-
tat dan melaporkan aliran kas, tetapi tidak semua orang menyadari bahwa perubahan aset dan
kewajiban perusahaan tidak selalu akibat dari transaksi tunai. Demikian pula, tidak semua
orang menyadari bahwa laba akuntansi bukanlah laba tunai (arus kas masuk neto yang dipero-
leh dari kegiatan atau proses bisnis) yang dapat segera dinikmati. Sebagai konsekuensinya,
orang harus lebih dulu memahami definisi penghasilan dan beban jika ia ingin memaknai
laba, termasuk memahami kriteria pengukuran dan pengakuannya.
Tanpa memahami prosedur pengukuran dan pengakuan laba akuntansi, orang akan terje-
bak pada reifikasi (reification) yang dikhawatirkan oleh Feng (2003)11 tentang bahayanya.
Reifikasi dapat terjadi secara alamiah, karena sudah menjadi kodrat bahwa setiap orang me-
miliki potensi untuk melakukan reifikasi tersebut. Reifikasi alamiah (natural reification) ini,
menurut Feng, tidak berbahaya karena terjadi secara internal dalam diri manusia. Dengan
reifikasi alamiah, secara internal orang memiliki kemampuan yang sangat baik untuk meng-
hubungkan konsepsi-konsepsi yang ada dalam pikirannya dengan dunia nyata yang dihadapi-
nya, sehingga kemampuan membedakan konsep dan fakta lebih besar. Tetapi, reifikasi juga
dapat terjadi pada setiap orang melalui sebuah paksaan dari orang lain yang “berkuasa”, yang
disebut oleh Feng sebagai pression reification. Reifikasi melalui paksaan ini dijelaskan oleh
Feng (2003, 132) seperti berikut:
Reifikasi, penyamaan konsep dengan realitas, dapat dipaksakan oleh orang lain kepada semua orang
yang dikehendaki. Pemaksaan ini dilakukan secara sistematis dengan cara-cara yang halus sehingga
tidak disadari oleh orang lain. Pemaksaan ini biasanya dilakukan melalui permainan kata yang dipro-
duksi oleh mereka yang “berkuasa” untuk disusupkan secara pelahan ke dalam pikiran orang, sehingga
sesuatu yang tidak nyata pada akhirnya harus dipercaya sebagai kenyataan, sesuatu yang fiktif diper-

11
Feng (2003, 130) mengartikan reifikasi sebagai penyamaan pemikiran-pemikiran konseptual dengan realitas atau dunia
nyata. Lihat penjelasan tentang reifikasi ini pada uraian yang telah dikemukakan pada bagian-bagian sebelumnya.
20
caya sebagai fakta. Pemaksaan juga dapat dilakukan melalui penciptaan situasi atau kondisi, sehingga
sesuatu yang artifisial dipercaya sebagai realitas yang harus diyakini keberadaan dan kebenarannya.
Menurut Feng (2003, 135), reifikasi yang dipaksakan ini berbahaya karena segala sesuatu
yang merupakan produk rekayasa pikiran manusia (product of human mind) akan diterima
sebagai kenyataan atau kebenaran. Menurut Feng, tragedi kemanusiaan banyak terjadi akibat
reifikasi paksaan semacam ini, karena tindakan dan keputusan-keputusan yang diambil atas
dasar konsep tidak dikonfirmasi dengan keadaan yang sebenarnya.Paulson (2005, 15) menye-
but reifikasi paksaan ini sebagai reifikasi yang kasar atau kejam (uneven reification). Dampak
buruk dari setiap tindakan dan keputusan yang didasarkan pada uneven reification ini tidak
perlu dipertanyakan lagi, kata Paulson (2005, 15), karena tindakan dan keputusan tersebut
didasarkan pada “kesadaran yang salah” (false consciousness) atau “kesadaran semu”.
Terkait dengan akuntansi, tampak adanya unsur reifikasi paksaan (uneven reification)
yang melekat pada konsep-konsep akuntansi yang harus diterapkan dalam penyajian informasi
keuangan. Tidak semua orang dapat menerima informasi keuangan berdasar konsep-konsep
akuntansi sebagai suatu kenyataan, tetapi konsep-konsep akuntansi tersebut tetap digunakan,
sehingga konsep akuntansi hanya mengandung kebenaran sejauh diterapkan pada dirinya
sendiri.

6. SIMPULAN, IMPLIKASI DAN KETERBATASAN PENELITIAN

Laba Akuntansi: Pantulan Realitas Dari Cermin Retak

Beragam interpretasi informan terhadap laba akuntansi, baik akuntan maupun non-akuntan
sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, bermuara pada kesimpulan bahwa laba akun-
tansi menggambarkan dua dunia, yaitu ”dunia yang bertubuh” dan ”dunia yang tak bertubuh”
– meminjam dua istilah yang digunakan oleh Plato (lihat Susilo 2005, 112) untuk menyebut
realitas yang direpresentasikan oleh pengalaman dan oleh akal pikiran. Immanuel Kant
menyebut dua bentuk realitas tersebut dengan istilah fenomena dan nomena (Susilo 2005,
113). Fenomena adalah pengetahuan manusia yang dibatasi oleh oleh batas-batas pengalaman
yang mungkin; sedangkan nomena adalah objek yang tidak diketahui, tetapi hanya dipikirkan
dan dipercayai ada. Ketika dunia yang bertubuh (fenomena) dilebur menjadi satu dengan du-
nia yang tak bertubuh (nomena), maka muncullah dunia yang disebut oleh Jean Baudrillard
(lihat Piliang 2003, 53) sebagai dunia hiperrealitas, yaitu dunia yang di dalamnya sulit untuk
dibedakan antara fenomena dan nomena, asli dan palsu, fakta dan fiksi, atau benar dan salah.
Dalam bingkai interpretasi akuntan dan non-akuntan, laba akuntansi menggambarkan du-
nia hiperrealitas tersebut. Laba akuntansi lepas dari realitas yang sebenarnya mereka harapkan
21
untuk direpresentasikan dalam sebuah ruang komunikasi, sehingga laba akuntansi kehilangan
kandungan informasinya. Harapan non-akuntan bahwa laba akuntansi dapat merepresentasi-
kan “dunia yang bertubuh” – yaitu kemampuan perusahaan untuk menghasilkan aliran kas
masuk neto yang bersumber dari kejadian-kejadian real – tidak terperoleh, karena akuntan
memandang bahwa laba akuntansi merupakan representasi dari dua dunia, baik “dunia bertu-
buh” maupun “dunia tak bertubuh”. Akibatnya, dalam konteks penelitian ini, laba akuntansi
kurang berguna bagi non-akuntan untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan ke-
uangan, sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Fakta yang dapat ditangkap dari pernyataan-pernyataan non-akuntan atas laba akuntansi,
dalam konteks penelitian ini, dapat dianalogikan bahwa membaca laba akuntansi dalam lapor-
an laba-rugi menjadi tidak berbeda dengan melihat realitas yang terrefleksi dari permukaan
cermin retak. Analogi ini didasarkan pada ilustrasi yang diberikan oleh Dillard (1991, 9), bah-
wa persepsi kita tentang ”realitas” adalah identik dengan persepsi ketika kita sedang bercer-
min. Kita akan melihat realitas sesuai dengan apa yang dipantulkan kembali oleh permukaan
cermin kepada kita. Realitas yang terpantulkan tentu tergantung pada permukaan cermin.
Kalau kita berdiri di depan permukaan cermin datar yang baik, maka yang terpantulkan
adalah ”realitas objektif” kita. Permukaan cermin yang berbeda akan memantulkan realitas
yang berbeda. Jika kita berdiri di depan cermin datar yang retak misalnya, tentu ”realitas kita”
yang terpantul menjadi terdistorsi, dalam arti tidak sesuai dengan keadaan kita yang sebenar-
nya. Dari permukaan cermin retak, garis lurus akan terpantulkan menjadi garis patah, sebuah
lingkaran tidak lagi terpantulkan sebagai lingkaran, dan semua realitas akan terpantulkan se-
cara tidak utuh seperti apa adanya.
Berdasarkan ilustrasi Dillard (1991, 9) tersebut, akuntansi – sebagai sebuah proses yang
didasarkan pada konsep tertentu – dapat dianalogikan sebagai cermin; sedangkan kejadian-
kejadian ekonomik yang real dapat dianalogikan sebagai realitas yang akan dipantulkan oleh
cermin tersebut. Jika cermin (konsep dan proses akuntansi) dalam kondisi yang seharusnya,
maka realitas (informasi tentang kejadian keuangan) akan terpantulkan seperti apa adanya
secara objektif. Tetapi, jika cerminnya retak, konsep dan proses akuntansi dalam kondisi yang
tidak seharusnya, maka realitas keuangan yang direpresentasikan tentu akan menjadi terdis-
torsi. Akibatnya, laba akuntansi menjadi identitas yang tidak jelas, meragukan dan kehilangan
makna. Hal ini selaras dengan ungkapan Hadi (2005, 158), bahwa:
Tatkala sesuatu yang diharapkan untuk diperoleh digantikan oleh sesuatu yang penuh keraguan, keti-
dakpastian, ketidak jelasan, dan tatkala sesuatu itu tidak lagi dipandang dengan sebelah mata mana
pun, di saat itulah sesuatu itu mengalami kehilangan identitas dan makna.

22
Memandang realitas pada permukaan cermin retak seperti diilustrasikan di atas, menghasilkan
persepsi yang hampir sama dengan melihat gambar atau foto yang direkam menggunakan ka-
mera canggih, seperti diilustrasikan oleh Sunardi (2004, 188). Kamera canggih bukan hanya
mampu merekam realitas seperti apa adanya, tetapi juga mampu mensimulasikan realitas de-
ngan yang bukan-realitas untuk direkamnya. Dengan simulasi tersebut, foto akan kehilangan
kekuatan evidential atau dokumenternya. Apa yang terjadi jika konsep dan proses akuntansi
untuk menghitung laba berperan seperti halnya kamera ini? Tentu jelas, bahwa informasi laba
akuntansi menjadi kehilangan kekuatan evidential atau dokumenternya itu.

Implikasi Penelitian

Hasil penelitian ini menunjukkan fakta bahwa laba akuntansi diinterpretasikan secara berbeda
oleh komunitas akuntan dan non-akuntan. Fakta ini membawa beberapa implikasi. Pertama,
berkaitan dengan habitus12 akuntan dan non-akuntan. Perbedaan interpretasi atas laba terjadi
karena akuntan dan non-akuntan hidup dalam habitus yang berbeda. Akuntan hidup dalam
”habitus idealistik”, sedangkan non-akuntan hidup dalam ”habitus pragmatik”, sehingga pan-
dangan akuntan dan non-akuntan atas laba akuntansi tersebut tidak dibentuk oleh satu rerang-
ka pemikiran yang sama. Oleh karena itu, sekat-sekat ruang sosial yang membatasi pertemuan
dua habitus tersebut perlu dibuka, sehingga terjadi dekomposisi dan sinergi pemikiran.
Kedua, berkaitan dengan kemungkinan terjadinya hegemoni13 dalam praktik akuntansi.
Standar akuntansi dan pelaporan keuangan merupakan produk perekayasaan akuntan secara
kolektif yang diharapkan bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Jika standar
akuntansi dan pelaporan keuangan direkayasa dan diberlakukan hanya berdasarkan habitus
idealistik komunitas akuntan, sementara habitus pragmatik komunitas non-akuntan diabaikan,
maka hegemoni dalam praktik akuntansi akan terjadi. Akuntan menjadi pihak pendominasi,
sementara non-akuntan berada dalam posisi terdominasi. Sugiharto (Kompas, 13 Agustus
2006) menyatakan, bahwa hegemoni menyebabkan pihak yang terdominasi menjadi teralie-
nasi dari kebutuhan dan kepentingannya. Dengan ungkapan lain, Karl Marx (lihat Cooper
12
Takwim (2005) menjelaskan bahwa habitus merupakan konsep yang digunakan oleh Pierre Bourdieu untuk meng-
gambarkan suatu sistem yang terdiri dari kecenderungan-kecenderungan yang berlangsung dalam diri manusia sepanjang
hidupnya. Kecenderungan ini mendorong terjadinya praktik yang berbeda pada berbagai arena, serta berfungsi sebagai
dasar terbentuknya praktik-praktik sosial yang terstruktur.
13
Istilah hegemoni banyak digunakan dalam berbagai konteks. Dalam ilmu politik misalnya, hegemoni digunakan untuk
menggambarkan bentuk dari kekuasaan dan otoritas yang dominan – sebagai lawan dari demokrasi atau poliarkhi (Khan
2007, 2). Istilah hegemoni secara lebih spesifik digunakan oleh Antonio Gramsci dalam karya-karyanya tentang studi
budaya kritis, untuk menjelaskan adanya dominasi suatu kelas sosial atas kelas sosial yang lain (Sallach 1979, 38). Tujuan
utama hegemoni adalah pemusatan kebenaran, melalui penyeragaman kehendak, tindakan, maupun pemikiran atau ideologi
(Cheal 1979, 110).

23
1995, 176), mengatakan bahwa hegemoni dari kelompok yang memiliki kuasa akan memben-
tuk pandangan awam tentang dunia yang hanya menghasilkan kesadaran semu (false cons-
ciousness). Dalam konteks ini, dekomposisi habitus idealistik-pragmatik dalam perekayasaan
standar akuntansi dan pelaporan keuangan sangat diperlukan, sehingga informasi [laba] akun-
tansi menjadi lebih bermakna.
Ketiga, berkaitan dengan pernyataan ”prinsip akuntansi berterima umum”. Perbedaan
interpretasi laba akuntansi oleh akuntan dan non-akuntan merefleksikan adanya perbedaan pe-
mahaman atas konsep dan prinsip akuntansi. Jika masyarakat (non-akuntan) selama ini menja-
lankan praktik akuntansi mengikuti praktik dari habitus-idealistik akuntan, hal tersebut dise-
babkan oleh standar akuntansi yang bersifat dogmatis dan koersif. Dalam posisi terdominasi,
masyarakat non-akuntan tidak lagi memiliki alternatif praktik lain di luar praktik akuntansi
yang telah mapan dalam habitus-idealistik akuntan, sehingga standar akuntansi dan pelaporan
keuangan dipandang sebagai hal yang dianggap benar tanpa sikap kritis (taken-for-granted).
Dengan praktik-praktik akuntansi seperti ini, layak untuk mempertanyakan kembali tentang
makna ”prinsip akuntansi berterima umum”.
Dekomposisi pemikiran habitus idealistik-pragmatik dalam praktik akuntansi dapat dila-
kukan secara konkret melalui dekomposisi definisi serta kriteria pengukuran dan pengakuan
elemen-elemen laporan keuangan, dekomposisi bentuk dan isi laporan keuangan, sehingga
pada akhirnya juga akan mendekomposisi makna laba akuntansi. Bagaimana bentuk dan cara
untuk mendekomposisi definisi, kriteria pengukuran dan pengakuan elemen-elemen laporan
keuangan, serta mendekomposisi isi laporan keuangan seharusnya dilakukan? Untuk menja-
wab pertanyaan ini, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menggali informasi yang lebih
rinci tentang kebutuhan para pengguna laporan keuangan, serta analisis konsep dan standar
akuntansi secara cermat.

Keterbatasan Penelitian

Pelaksanaan maupun hasil penelitian ini mengandung beberapa keterbatasan. Keterbatasan


utama adalah sebagai berikut. Pertama, penelitian ini hanya berusaha untuk memahami inter-
pretasi laba akuntansi dari para informan sesuai dengan posisi atau profesinya masing-masing,
dan belum menggali informasi secara rinci dari informan (khususnya non-akuntan) tentang in-
formasi akuntansi spesifik yang sebenarnya lebih banyak mereka perlukan dalam pengambil-
an keputusan.
Kedua, interpretasi laba akuntansi oleh akuntan dan non-akuntan dalam penelitian ini
tidak dapat digeneraliasi sebagai interpretasi akuntan dan non-akuntan secara keseluruhan.
24
Dengan demikian, implikasi dan saran yang telah dikemukakan merupakan implikasi dan sa-
ran sesuai dengan konteks penelitian ini. Penelitian lanjutan pada informan (akuntan dan non-
akuntan) yang berbeda masih sangat perlu untuk dilakukan.
Ketiga, penelitian ini membawa gagasan bahwa perbedaan interpretasi laba oleh akuntan
dan non-akuntan dapat dieliminasi dengan melakukan dekomposisi definisi, kriteria pengu-
kuran dan pengakuan elemen laporan keuangan, serta dekomposisi bentuk dan isi laporan
laba-rugi. Gagasan tersebut sejalan dengan Jacques Derrida dengan filsafat dekonstruktifnya
yang menyatakan bahwa makna suatu ”teks” tidak akan pernah stabil, makna teks akan selalu
”tertunda” – menunggu makna baru yang akan selalu muncul secara terus-menerus (lihat
Colebrook dan McHoul 1996, 432). Walaupun demikian, gagasan “dekomposisi” yang dibawa
dalam penelitian ini untuk memenuhi kebutuhan atas informasi laba yang berbeda juga akan
bersifat sementara, menunggu untuk “terdekomposisi” oleh gagasan yang lain.



DAFTAR PUSTAKA

Adelberg, A.H. 1983. The Accounting Syntactic Complexity Formula: A New Instrument For
Predicting the Readability of Selected Accounting Communication. Accounting and Business
Research. Summer: 163-175.
Ansari, S. dan K.J. Euske. 1987. Rational, Rationalizing and Reifying Uses of Accounting Data in
Organizations. Accounting, Organization and Society 12 (5): 549-570.
Bamber, L.S. 1986. The Information Content of Annual Earnings Releases: A Trading Volume
Approach,” Journal of Accounting Research 24 (1): 40-55.
Beaver, W. H. 1968. The Information content of Annual Earnings Announcements. Empirical
Research in Accounting: Selected Studies: 67-92.
Belkaoui, A.R. 1980. The Interprofessional Linguistic Communication of Accounting Concepts: An
Experiment in Sociolinguistic. Journal of Accounting Research 18 (2) Autumn: 362-374.
Bradshaw, M.T. dan R.G. Sloan. 2002. GAAP versus The Street: An Empirical Assessment of Two
Alternative Definitions of Earnings. Journal of Accounting Research 40 (1): 41-66.
Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah
Penguasaan Model Aplikasi. Cetakan Pertama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Cheal, D.J. 1979. Hegemony, Ideology and Contradictory Consciousness. The Sociological Quarterly
20 (Winter): 109-117.
Chambers, R.J. 1989. Time in Accounting. Abacus 25 (1): 7-21.
Colebrook, C. dan A. McHoul (1996). Discussion Note: Interpreting Understanding Context. Jurnal of
Pragmatics (25): 431-440.
Cooper, C. 1995. Ideology, Hegemony and Accounting Discourse: A Case Study of The National
Union of Journalists. Critical Perspective on Accounting (6): 175-209.
Courtis, J.K. 1998. Annual Report Readability Variability: Test of the Obfuscation Hypothesis.
Accounting, Auditing and Accountability Journal 11 (4): 459-471.
25
Diana, S.R. dan I.W. Kusuma. 2004. Pengaruh Faktor Kontekstual Terhadap Kegunaan Earnings dan
Arus Kas Operasi dalam Menjelaskan Return Saham. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia 7 (1):
74-93.
Dillard, J.F. 1991. Accounting as Critical Social Science. Accounting, Auditing and Accountability
Journal 4 (1): 8-28.
Fairfield, P.M., R.J. Sweeney dan T.L. Yohn. 1996. Accounting Classification and the Predictive
Content of Earnings. The Accounting Review 71 (3): 337-355.
Feng, F.H. 2003. Between Immediacy and Reification: Quotidian Pedagogy, Narrative, and Recovery
of Language and Meaning in Nature. Dissertation: The University of British Columbia.
Finger, C.A. 1994. The Ability of Earnings to Predict Future Earnings and Cash Flow. Journal of
Accounting Research 32 (2): 210-223.
Fiol, C.M. 1989. A Semiotic Analysis of Corporate Language: Organizational Boundaries and Joint
Venturing. Administrative Science Quarterly (34): 277-303.
Fischer, P.E. dan Stocken, P.C. 2001. Imperfect Information and Credible Communication. Journal of
Accounting Research 39 (1): 119-134.
Hadi, A. 2005. Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Humanis Mark Slouka Terhadap Jagad
Maya. Cetakan I. Yogyakarta: LKiS.
Harb, A. 2006. Relativitas Kebenaran. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia (Umar Bukhory dan Ghazi
Mubarak). Cetakan II. Yogyakarta: IRCiSoD.
Haried, A.A. 1972. Semantic Dimensions of Financial Statements. Journal of Accounting Research 10
(2) Autumn: 376-391.
Haried, A.A. 1973. Measurement of Meaning in Financial Reports. Journal of Accounting Research 11
(1) Spring: 117-145.
Heath, L.C. 1987. Accounting, Communication, and the Pygmalion Syndrome. Accounting Horizons
(March): 1-8.
Ijiri, Y. 1975. Theory of Accounting Measurement. Accounting Research Study No.10. Sarasota:
American Accounting Association.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2007. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.
Jones, M.J. 1996. Readability of Annual Reports: Western versus Asian Evidence – A Com-ment to
Contextualize. Accounting, Auditing and Accountability Journal 9 (2): 86-91.
Khan, G.A. 2007. Pluralisation: An Alternative to Hegemony. Journal Compilation: Political Studies
Association: 1-16.
Kieso, D.E., J.J. Weygandt, and T.D. Warfield. 2004. Intermediate Accounting. Eleventh Edition. USA:
John Wiley & Sons, Inc.
Landsman, W.R. dan E.L. Maydew. 2002. Has the Information Contents of Quarterly Earnings
Announcements Declined in the Past Three Decades?. Journal of Accounting Research 40 (3):
797-808.
Lee, T.A. 1982. Chambers and Accounting Communication. Abacus 18 (2): 152-165.
Li, D.H. 1972. The Semantic Aspect of Communication Theory and Accountancy. Journal of
Accounting Research 10 (2) Autumn: 102-107.
Lusk, E.J. 1973. Cognitive Aspects of Annual Reports: Field Independence/Dependence. Journal of
Accounting Research 11 (3) Supplement: 191-202.

26
Macintosh, N.B., T. Shearer, D.B. Thornton dan M. Welker. 2000. Accounting as Simulacrum and
Hyperreality: Perspectives on Income and Capital. Accounting Organization and Society (25):
13-50.
Mattessich, R. 2003. Accounting Representation and the Onion Model of Reality: a Comparison with
Baudrillard’s Order of Simulacra and His Hyperreality. Accounting Organization and Society
(28): 443-470.
Nugroho, A.A. 2006. “Posmodernisme, Toleransi Multikultural, dan Solidaritas Ekologis” dalam
Abdul Halim (Ed.) Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan Yang Membebaskan.
Cetakan 1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Halaman 272-284.
Paulson, J. 2005. Uneven Reification. Dissertation in History of Consciousness: University of
California, Santa Cruz.
Piliang, Y.A. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.
Preston, A.M., C. Wright dan J.J. Young. 1996. Imag[in]ing Annual Reports. Accounting,
Organization and Society 21 (1): 113-137.
Rand, A. 2003. Pengantar Epistemologi Objektif. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia (Cuk Ananta
Wijaya). Cetakan Pertama. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Rosenfield, P. 2003. Presenting Discounted Future Cash Receipts and Payments in Finan-cial
Statements. Abacus 39 (2): 233-249.
Sallach, D.L. 1974. Class Domination and Ideological Hegemony. The Sociological Quarterly 15
(Winter): 38-50.
Schmidt, D.J. 2007. Speaking of Language: On The Future of Hermeneutics. Research in
Phenomenology 37: 271-284.
Smith, M. dan R. Taffler. 1992. Readability and Understandability: Different Measure of the Textual
Complexity of Accounting Narrative. Accounting, Auditing and Accountability Journal 5 (4):
84-98.
Sugiharto, B. (Kompas 13 Agustus 2006). Kebudayaan, Konflik, dan Hegemoni.
Sunardi, S.T. 2004. Semiotika Negativa. Cetakan II. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.
Susilo, H. 2005. Integrasi Ilmu Pengetahuan. Cetakan Pertama. Jakarta: Teraju.
Suwardjono. 2005. Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Edisi Ketiga. Cetakan
Pertama. Yogyakarta: BPFE.
Takwim, B. 2005. “Habitus: Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidup”. Makalah disampai-
kan pada acara Extension Course ‘Resistensi Gaya Hidup, diselenggarakan oleh Forum Studi
Kebudayaan (FSK) FSRD, Institut Teknologi Bandung: 20 Mei.
Takwim, B. 2006. Kesadaran Plural. Cetakan Pertama. Bandung: Jalasutra.
Wilber, K. 1997. An Integral Theory of Consciousness. Journal of Consciousness Studies. February:
71-92.
□□□

27

Vous aimerez peut-être aussi