Vous êtes sur la page 1sur 11

p-ISSN 2086-6380 Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, November 2017, 8(3):169-179

e-ISSN 2548-7949 DOI: https://doi.org/10.26553/jikm.2017.8.3.169-179


Available online at http://www.jikm.unsri.ac.id/index.php/jikm

ANALISIS HUBUNGAN DERAJAT MEROKOK


DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PADA PEROKOK DI INDONESIA
(ANALISIS DATA IFLS 2014)

Indah Wahyuni Harahap, Rini Mutahar, Yeni1


Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

CORRELATION OF SMOKING DEGREE WITH TUBERCULOSIS


ON SMOKERS IN INDONESIA (ANALYSIS OF IFLS 2014)

ABSTRACT
Background: Tuberculosis is one of infectious disease that has special attention in Indonesia. Based on
WHO report, in 2015 Indonesia is the second country with the largest tuberculosis cases in the world which
number of tuberculosis reach 10% of all TB cases in the world. This condition also consist by the higher
number of smokers in Indonesia where Indonesia is the third rank of the largest number of smokers in the
world. This study conducted to know the correlation between smoking degree with tuberculosis.
Method: This study is an analytical study using cross sectional approach. The sampel in this study are 9.639
people. Statistical analysis used in this study are univariate, bivariate, and multivariate analysis using
complex sample analysis.
Result: The result of univariate analysis of this study showed the percentage of respondents who suffer from
tuberculosis is 6,7%. Bivariate analysis showed a correlation between smoking degree , age, sex, education
level, income level, body mass index, occupancy density, type of house floor, and the type of wall of the house
with the incidence of tuberculosis. The result of multivariate analysis showed that there was a correlation
between the smoking degree and the incidence of tuberculosis after controlling for age, sex, education level,
income level, body mass index, and type of house wall.
Conclusion: The smoking degree influences the incidence of tuberculosis in Indonesia, so it should be given
special attention to smokers in Indonesia in order to decrease the incidence of tuberculosis and can optimize
the health status of Indonesian people, especially the group of smokers in Indonesia.
Key Word: Tuberculosis, degree of smoking, smokers

ABSTRAK
Latar Belakang: Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular yang mendapat perhatian khusus di
Indonesia. Berdasarkan laporan WHO, pada tahun 2015 Indonesia menempati peringkat kedua dengan kasus
tuberkulosis terbanyak di dunia dengan kasus tuberkulosis yang mencapai 10% dari kejadian tuberkulosis di
dunia. Keadaan ini juga diperberat dengan tingginya angka perokok di Indonesia dimana Indonesia
menempati peringkat ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia. penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan derajat merokok dengan kejadian tuberkulosis.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan pendekatan potong lintang (cross
sectional). Sampel dalam penelitian ini berjumlah 9.639 responden. Analisis statistik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis univariat, bivariat, dan multivariat dengan menggunakan analisis complex
sample.
Hasil Penelitian: Hasil analisis univariat penelitian ini menunjukkan persentase responden yang menderita
tuberkulosis adalah sebesar 6,7%. Analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square menunjukkan adanya
hubungan antara derajat merokok, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat indeks massa tubuh,
kepadatan hunian, jenis lantai rumah, dan jenis dinding rumah dengan kejadian tuberkulosis. Hasil analisis
multivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara derajat merokok dengan kejadian tuberkulosis setelah
dikontrol dengan variabel umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, indeks massa tubuh,
dan jenis dinding rumah.
Kesimpulan: Derajat merokok seseorang berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis di Indonesia, sehingga
perlu diberikan perhatian khusus terhadap perokok di Indonesia guna menekan angka kejadian tuberkulosis
dan dapat mengoptimalkan status kesehatan masyarakat Indonesia khususnya kelompok perokok di
Indonesia.
Kata Kunci: Tuberkulosis, derajat merokok, perokok

Alamat Koresponding: Indah Wahyuni Harahap, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya. Jl. Palembang Prabumulih
KM. 32, Indralaya Indah Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, email : indahwahyuni05@gmail.com

November 2017 169


Harahap et al. / Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, November 2017, 8(3):169-179

PENDAHULUAN METODE
Tujuan pembangunan berkelanjutan Penelitian ini menggunakan metode
atau Sustainable Development Goals (SDGs) survei observasonal analitik kuantitatif dengan
telah disusun sebagai tujuan pembangunan pendekatan potong lintang (cross-sectional)
kesehatan jangka panjang dengan salah satu dengan menganalisis data sekunder Indonesia
indikatornya memuat penyelesaian kejadian Family Life Survey tahun 2014. Populasi
emerging infectious disease salah satunya dalam penelitian ini adalah seluruh individu
adalah tuberkulosis dan penyakit menular dalam rumah tangga di seluruh Indonesia.
lainnya pada tahun 2030.1 Berdasarkan Teknik pengambilan sampel pada Indonesia
laporan WHO, pada tahun 2015 terdapat 10,4 Family Life Survey yaitu multistage random
juta kasus TB dengan 1,8 juta kematian sampling. IFLS merupakan survey yang
(CFR=17,3%). Kejadian ini juga dilakukan secara longitudinal. Penarikan
menempatkan tuberkulosis sebagai salah satu sampel pada IFLS1 dilakukan terlebih dahulu
dari 10 penyebab kematian terbesar di dunia. dengan memilih wilayah cacah secara random
Pada tahun 2014 jumlah kasus TB di dari 13 provinsi FLS berdasarkan kerangka
Indonesia mencapai 1 juta kasus atau 10% sampel yang ada pada SUSENAS tahun 1993
dari seluruh kasus TB di dunia. Keadaan ini yang kemudian didapatkan 321 wilayah cacah
menempatkan Indonesia sebagai negara kedua baik perkotaan maupun pedesaan. Selanjutnya
terbanyak kasus TB pada tahun 2015 dilakukan pemilihan rumah tangga dari
bersamaan dengan Cina setelah India dengan masing-masing wilayah cacah yang dilakukan
23% kasus TB dari seluruh kasus TB di secara random yaitu sebanyak 20 rumah
Dunia.2 tangga dari perkotaan dan 30 rumah tangga
Perilaku seseorang merupakan salah dari pedesaan. Selanjutnya dilakukan
satu faktor risiko yang dapat meningkatkan pemilihan individu pada rumah tangga
risiko untuk terinfeksi tuberkulosis. Perilaku berdasarkan beberapa ketentuan. Pada IFLS5
ini dapat mencakup aktivitas fisik yang dilakukan re-contact terhadap individu yang
kurang, tidak mendapatkan imunisasi BCG, diwawancarai pada IFLS1, IFLS2, dan IFLS4
dan status merokok seseorang.3 Merokok dengan beberapa ketentuan yang disesuaikan
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya dengan waktu pengambilan sampel.
penyakit tuberkulosis. Meningkatnya angka Sampel pada penelitian ini adalah
perokok di masyarakat tentunya akan individu perokok yang berusia 15-24 tahun
meningkatkan angka kejadian tuberkulosis. sebanyak 9.639 responden. Variabel dependen
Tidak hanya tuberkulosis, rokok juga penelitian ini adalah kasus tuberkulosis,
merupakan faktor risiko utama bagi beberapa variabel independen pada penelitian ini adalah
penyakit khususnya penyakit kronis.4 derajat merokok, dan variabel yang diduga
Indonesia merupakan negara yang menempati confounding adalah umur, jenis kelamin,
peringkat ketiga dengan jumlah perokok tingkat pendidikan, tingkat pendapatan
terbanyak di dunia setelah Cina dan India.5 keluarga, indeks massa tubuh, kepadatan
Tingginya angka perokok berdampak pada hunian, jenis lantai rumah, dan jenis dinding
peningkatan kasus tuberkulosis yang rumah. Penelitian ini dianalisis secara
menyebabkan ketidaktercapainya indikator univariat, bivariat dan multivariat. Analisis
SDGs. Penelitian ini bertujuan untuk bivariat penelitian ini menggunakan analisis
mengetahui hubungan derajat merokok chi square, sedangkan analisis multivariat
dengan kejadian tuberkulosis pada perokok di menggunakan uji regresi logistik berganda
Indonesia. model faktor risiko.

170 November 2017


Harahap et al. / Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, November 2017, 8(3):169-179

HASIL PENELITIAN
Tabel 1.
Hubungan Derajat Merokok dengan Kejadian Tuberkulosis pada Perokok di Indonesia

Variabel Jumlah (n) Persentase (%)


Kasus Tuberkulosis
Ya 647 6,7
Tidak 8.992 93,3
Derajat Merokok
Berat 1.449 15,0
Sedang 5.069 52,6
Ringan 3.121 32,4
Umur
Usia Produktif 6.622 68,7
Usia Lansia 3.017 31,3
Jenis Kelamin
Laki-Laki 9.239 95,9
Perempuan 400 4,1
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah 386 4,0
Pendidikan Dasar 5.498 57,0
Pendidikan Menengah 2.858 29,7
Pendidikan Tinggi 897 9,3
Tingkat Pendapatan
Rendah 8.914 92,5
Tinggi 725 7,5
Indeks Massa Tubuh
Kurus 1.445 15,0
Gemuk 1.990 20,6
Normal 6.203 64,4
Kepadatan Hunian
Berisiko 869 9,0
Tidak Berisiko 8.770 91,0
Jenis Lantai
Berisiko 1.221 12,7
Tidak Berisiko 8.418 87,3
Jenis Dinding
Berisiko 1.910 19,8
Tidak Berisiko 7.729 80,2

Hasil penelitian menunjukkan kasus sedangkan responden dengan kelompok usia


tuberkulosis sebanyak 647 responden (6,7%). lansia sebanyak 3.017 responden (31,3%).
Hasil analisis univariat pada tabel di atas Hasil analisis univariat juga menunjukkan
menunjukkan distribusi responden. bahwa responden didominasi oleh responden
Berdasarkan variabel derajat merokok, laki-laki (95,9%), responden dengan tingkat
responden dengan derajat merokok berat pendidikan dasar (57,0%), responden dengan
sebanyak 1,449 responden (15,0%), tingkat pendapatan keluarga rendah (92,5%),
responden dengan derajat merokok sedang responden dengan indeks massa tubuh normal
sebanyak 5.069 (52,6%), dan responden (64,4%), responden dengan kepadatan hunian
dengan derajat merokok ringan adalah tidak berisiko (91,0%), responden dengan
sebanyak 3.121 responden (32,4%). jenis lantai rumah tidak berisiko (87,3%), dan
Responden pada penelitian ini didominasi responden dengan jenis dinding rumah tidak
oleh responden dengan usia produktif yakni berisiko (80,2%). (Tabel 1)
sebanyak 6.622 responden (68,7%),

November 2017 171


Harahap et al. / Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, November 2017, 8(3):169-179

Tabel 2.
Hubungan Derajat Merokok dengan Kejadian Tuberkulosis

Tuberkulosis
Variabel Total p-value PR 95%CI
Ya Tidak
Derajat Merokok
Berat 89 1.360 1.449 0,761 0,602-0,963
0,004*
Sedang 312 4.757 5.069 0,767 0,651-0,903
Ringan 246 2.875 3.121 Reff. Reff.
Umur
Produktif 331 6.291 6.622 <0,0001* 0,477 0,413-0,551
Lansia 316 2.701 3.017 Reff. Reff.
Jenis Kelamin
Laki-laki 589 8.650 9.236 <0,0001* 0,441 0,346-0,562
Perempuan 58 342 400 Reff. Reff.
Tingkat Pendidikan
Rendah 312 5.572 5.884 <0,0001* 0,594 0,513-0,689
Tinggi 335 3.420 3.755 Reff. Reff.
Tingkat Pendapatan
Rendah 542 8.372 8.914 <0,0001* 0,422 0,342-0,520
Tinggi 104 621 725 Reff. Reff.
IMT
Kurus 73 1.372 1.445 0,791 0,621-1,008
<0,0001*
Gemuk 182 1.809 1.991 1,489 1,249-1,775
Normal 392 5.811 6.203 Reff. Reff.
Kepadatan Hunian
Berisiko 48 823 869 0,020* 0,768 0,614-0,960
Tidak Berisiko 601 8.169 8.770 Reff. Reff.
Jenis Lantai
Berisiko 45 1.176 1.221 <0,0001* 0,516 0,408-0,653
Tidak Berisiko 602 7.816 8.418 Reff. Reff.
Jenis Dinding
Berisiko 79 1.831 1.910 <0,0001* 0,562 0,450-0,703
Tidak Berisiko 568 7.161 7.729 Reff. Reff.
*Signifikan pada alpha 0,05

Hasil analisis bivariat menunjukkan Hasil yang mirip juga ditemukan pada
seluruh variabel kurang dari nilai alpha sebagian besar variabel yang diduga
(0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada confounding yaitu umur, jenis kelamin,
hubungan antara derajat merokok, umur, jenis tingkat pendidikan, tingkat pendapatan,
kelamin, tingkat pendidikan, tingkat kepadatan hunian, jenis lantai dan jenis
pendapatan, indeks massa tubuh, kepadatan dinding, dimana seluruh variabel ini jika
hunian, jenis lantai rumah, dan jenis dinding dilihat dari nilai PR yang berada dibawah
rumah dengan kejadian tuberkulosis pada angka 1 merupakan faktor protektif. Begitu
perokok di Indonesia. Hasil analisis statistik juga jika dilihat dari rentang confidence
di atas menunjukkan nilai PR pada variabel interval yang hampir mendekati angka 1 yang
independen utama yaitu derajat merokok menunjukkan bahwa variabel-variabel
bernilai 0,761 dan 0,767 dengan nilai 95% CI tersebut tidak menunjukkan risiko yang cukup
masing-masing adalah 0,602-0,963 dan 0,651- berbeda pada setiap kategorinya.
0,903 yang berarti bahwa variabel derajat Berbeda dengan variabel Indeks Massa
merokok merupakan faktor protektif, namun Tubuh (IMT), dimana responden dengan IMT
nilai PR dan rentang CI hampir mendekati kurus tidak signifikan terhadap kejadian
angka 1 yang mengartikan bahwa derajat tuberkulosis jika dibandingkan dengan
merokok seseorang tidak cukup signifikan responden dengan IMT normal, atau
untuk menurunkan risiko atau hampir tidak seseorang dengan IMT kurus dan IMT normal
terdapat risiko yang berbeda antarkelompok tidak memiliki perbedaan risiko untuk
perokok untuk terinfeksi tuberkulosis. (Tabel terinfeksi tuberkulosis. Hasil yang berbeda
2) ditunjukkan pada responden dengan IMT
gemuk dimana nilai confidence interval

172 November 2017


Harahap et al. / Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, November 2017, 8(3):169-179

berada diatas angka 1 yang menunjukkan gemuk lebih berisiko 1,489 kali lebih besar
bahwa ada perbedaan risiko antara kelompok untuk terinfeksi tuberkulosis dibandingkan
IMT gemuk dan kelompok IMT normal untuk dengan responden IMT normal, namun angka
terinfeksi tuberkulosis. Nilai PR sebesar 1,489 PR ini menggambarkan risiko yang tidak jauh
mengartikan bahwa responden dengan IMT berbeda antara kedua kelompok ini.

Tabel 3.
Hubungan Derajat Merokok dengan Kejadian Tuberkulosis pada Perokok di Indonesia

Crude PR Adjusted PR
Variabel
p-value PR 95%CI p-value PR 95%CI
Derajat Merokok
Berat 0,009* 0,728 0,574-0,923 0,009* 0,727 0,573-0,922
Sedang 0,047* 0,842 0,711-0,998 0,042* 0,839 0,708-0,994
Ringan Reff. Reff. Reff. Reff. Reff. Reff.
Umur <0,0001* 0,372 0,312-0,442 <0,0001* 0,370 0,311-0,441
Jenis Kelamin <0,0001* 0,463 0,345-0,623 <0,0001* 0,464 0,345-0,624
Tingkat Pendidikan <0,0001* 0,502 0,422-0,596 <0,0001* 0,497 0,419-0,591
Tingkat Pendapatan <0,0001* 0,510 0,393-0,660 <0,0001* 0,508 0,392-0,657
IMT
Kurus 0,099 0,815 0,639-1,039 0,086 0,808 0,634-1,030
Gemuk 0,112 1,160 0,966-1,393 0,103 1,164 0,970-1,398
Normal Reff. Reff. Reff. Reff. Reff. Reff.
Kepadatan Hunian 0,612 0,939 0,735-1,199
Jenis Lantai 0,052 0,759 0,575-1,004
Jenis Dinding 0,025 0,738 0,565-0,963 <0,0001* 0,649 0,514-0,821

Berdasarkan hasil analisis multivariat menyimpulkan bahwa ada hubungan yang


yang telah dijelaskan di atas, maka dapat signifikan antara derajat merokok seseorang
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara dengan kejadian tuberkulosis.
variabel derajat merokok dengan kejadian Partikel yang terkandung di dalam
tuberkulosis setelah dikontrol dengan variabel asap rokok dapat mempengaruhi kinerja bulu
umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, getar pada sistem pernafasan yang berdampak
tingkat pendapatan, indeks massa tubuh dan pada pembersihan sistem mukosilier. Partikel
jenis dinding rumah. asap rokok ini juga akan mengendap pada
lapisan mucus pada sistem pernapasan yang
PEMBAHASAN meningkatkan iritasi pada epitel mukosa
bronkus sehingga seseorang dapat dengan
Perokok berat dikelompokkan sebagai
mudah terserang penyakit khususnya penyakit
orang yang mengkonsumsi rokok lebih dari 20
tuberkulosis. Secara substansial seharusnya
batang rokok dalam satu hari, perokok sedang
hubungan yang ditunjukkan antara kedua
adalah orang yang mengkonsumsi rokok 10
variabel ini adalah berbanding lurus, yaitu
sampai 20 batang perhari, dan perokok ringan
semakin banyak jumlah rokok yang dihisap
adalah orang yang merokok kurang dari 10
dapat meningkatkan risiko untuk terinfeksi
batang rokok dalam satu hari.6 Hasil uji
tuberkulosis, meningkatkan keparahan
statistik menunjukkan adanya hubungan
penyakit tersebut, meningkatkan kekambuhan
antara derajat merokok dengan kejadian
tuberkulosis serta meningkatkan kegagalan
tuberkulosis, meskipun hubungan yang
terhadap terapi tuberkulosis. Banyaknya
ditunjukkan adalah faktor protektif. Hal ini
pajanan asap rokok ini dipengaruhi oleh
menunjukkan hubungan yang berbeda, namun
kuantitas rokok yang dihisap serta faktor lain
hasil penelitian ini didukung oleh penelitian
yang mendukung seperti lamanya merokok,
yang dilakukan oleh Alcaide et al. dalam
Hasmiller dan Purnamasari yang

November 2017 173


Harahap et al. / Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, November 2017, 8(3):169-179

dalamnya hisapan asap rokok serta faktor memasuki usia tua.8 Seseorang yang berusia 0
lainnya.7 hingga 2 tahun sangat berisiko untuk
Hasil yang berbeda yang ditemukan terinfeksi tuberkulosis dikarenakan imunitas
dalam penelitian ini dapat diakibatkan karena yang kurang baik untuk menangkal kuman
desain penelitian yang kurang tepat tuberkulosis ini, sedangkan pada usia remaja
menjelaskan hubungan sebab akibat, yaitu hingga dewasa akhir merupakan rentang usia
hanya dilakukan pengukuran pada satu waktu yang sangat baik untuk menangkal bakteri
saja khususnya pada konsumsi rokok dan ini.9
waktu orang tersebut didiagnosis tuberkulosis, Pada umumnya, usia produktif adalah
dalam penelitian ini derajat merokok usia dimana seseorang bebas untuk
seseorang juga tidak dikaitkan dengan melakukan kegiatan serta bertemu dengan
lamanya seseorang merokok, sehingga orang-orang baru untuk saling berinteraksi.
keadaan ini dapat mengakibatkan seorang Kesibukan seseorang pada usia produktif
perokok ringan bisa saja mulai mengurangi dapat mempengaruhi daya tahan tubuh
konsumsi rokoknya setelah didiagnosis seseorang, hal ini diakibatkan orang tersebut
menderita tuberkulosis, dan juga akan banyak melakukan kegiatan yang
memungkinkan seseorang yang baru saja kemudian akan berujung pada kurangnya
memulai merokok namun dalam kategori istirahat dan pola makan yang kemungkinan
perokok berat lantas tidak langsung menderita kurang akan komponen gizi.10 Kegiatan
tuberkulosis. seseorang yang berusia produktif juga dapat
Peneliti mengkategorikan variabel umur meningkatkan interaksi dengan dunia luar dan
menjadi dua kelompok yaitu kelompok usia memungkinkan untuk bertemu dengan orang-
produktif dan kelompok usia lansia. orang baru dengan status kesehatan yang
Kelompok usia produktif adalah responden berbeda-beda. Hal tersebut kemudian dapat
dengan rentang usia 15 sampai 50 tahun, meningkatkan risiko seseorang dengan usia
sedangkan kelompok usia lansia adalah produktif untuk terinfeksi tuberkulosis.
responden yang berusia di atas 51 tahun. Hasil Temuan pada penelitian ini cukup
analisis statistik menyimpulkan bahwa berbeda dengan beberapa penelitian dimana
terdapat hubungan antara umur dengan responden dengan usia produktif akan
kejadian tuberkulosis. Hasil penelitian ini menurunkan risiko untuk terinfeksi
didukung juga oleh penelitian yang dilakukan tuberkulosis dibandingkan dengan responden
oleh Fitriani yang menyebutkan bahwa ada dengan usia lansia. Hal ini dapat diakibatkan
hubungan antara umur seseorang dengan oleh sistem kekebalan tubuh yang semakin
kejadian tuberkulosis (p-value=0,004). menurun pada usia lansia sehingga lebih
Umur seseorang cukup berperan rentan untuk terinfeksi penyakit khususnya
terhadap kejadian tuberkulosis, risiko yang tuberkulosis.
didapatkan seseorang berdasarkan umur Uji statistik chi square menunjukkan
layaknya kurva normal terbalik. Seseorang hasil bahwa jenis kelamin seseorang
akan berisiko pada awalnya untuk terkena berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis
tuberkulosis dikarenakan sistem kekebalan selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh
tubuh yang belum baik untuk menangkal Rukmini dan Chatarina. Namun, jika dilihat
bakteri tuberkulosis ini, risiko kemudian akan dari nilai prevalence ratio, temuan pada
menurun pada usia 2 tahun hingga usia remaja penelitian ini cukup berbeda dari kebanyakan
dikarenakan daya tangkal terhadap penyakit penelitian dimana responden laki-laki justru
ini cukup baik pada usia ini, kemudian risiko mengurangi risiko untuk terinfeksi
akan meningkat lagi pada awal usia dewasa tuberkulosis dibandingkan dengan responden
muda dan akan menurun seiring menjelang perempuan. Hal ini dapat diakibatkan karena

174 November 2017


Harahap et al. / Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, November 2017, 8(3):169-179

perempuan yang menderita tuberkulosis lebih kejadian tuberkulosis selaras dengan


sedikit mengunjungi fasilitas pelayanan kesimpulan pada penelitian Romlah.
kesehatan dibandingkan dengan laki-laki yang Tingkat pendidikan seseorang sangat
diakibatkan oleh stigma yang didapatkan oleh berpengaruh terhadap pengetahuan khususnya
perempuan sehingga proporsi prevalensi pengetahuan seseorang terhadap penyakit
kejadian tuberkulosis banyak ditemukan pada menular. Semakin tinggi tingkat pendidikan
kelompok perempuan, hal ini juga diakibatkan seseorang maka pengetahuan tentang penyakit
oleh sulitnya menjangkau pelayanan menular semakin baik.13 Kurangnya
kesehatan sehingga lebih memilih alternatif pengetahuan seseorang terhadap penyakit
pengobatan lainnya seperti pengobatan menular juga mempengaruhi perilaku
tradisional, rasa malu dan juga rasa takut pada seseorang terhadap faktor risiko penyebab
perempuan.6 penyakit dalam hal ini adalah tuberkulosis.
Secara substansial, pada umumnya laki- Dengan pengetahuan yang baik maka
laki lebih berisiko untuk terinfeksi seseorang akan berusaha untuk berperilaku
tuberkulosis akibat gaya hidup yang dilakukan hidup bersih dan sehat yang dapat mengurangi
oleh laki-laki lebih berisiko daripada risiko kejadian tuberkulosis ini.14
perempuan. Pada umumnya laki-laki lebih Selain pengaruh pendidikan terhadap
dominan untuk merokok dan juga minum- pengetahuan kesehatan seseorang, pendidikan
minuman beralkohol yang merupakan faktor seseorang juga berpengaruh terhadap jenis
risiko dari kejadian tuberkulosis.11 Selain pekerjaan orang tersebut. Jenis tingkat
kebiasaan merokok yang banyak ditemukan pendidikan tertentu akan berpengaruh
pada kelompok laki-laki yang menyebabkan terhadap jenis pekerjaan tertentu.15 Beberapa
risiko tuberkulosis akan meningkat, laki-laki jenis pekerjaan yang memiliki mobilitas tinggi
juga memiliki mobilitas dan aktivitas yang akan memungkinkan seseorang untuk bertemu
lebih tinggi daripada perempuan, hal ini dengan orang dengan status kesehatan
didukung bahwa pada umumnya di berbeda-beda dan dengan jenis lingkungan
masyarakat Indonesia laki-laki atau suami yang berbeda pula. Jenis pekerjaan seseorang
berfungsi sebagai tulang punggung untuk kemudian akan berpengaruh pula terhadap
mencari nafkah untuk keluarga.12 Hal ini pendapatan keluarga tersebut. Keluarga
menyebabkan laki-laki lebih sering untuk dengan tingkat pendapatan rendah kemudian
berinteraksi dan bertemu dengan orang-orang akan meningkatkan kemungkinan pemenuhan
dengan status kesehatan yang berbeda-beda. gizi yang kurang pada keluarga dan
Hal inilah yang kemudian meningkatkan lingkungan rumah yang kurang memenuhi
risiko pada laki-laki untuk terinfeksi syarat kesehatan, status gizi yang kurang baik
tuberkulosis. pada keluarga kemudian berimbas terhadap
Tingkat pendidikan dikategorikan pada buruknya sistem imun, didukung oleh kondisi
tingkat pendidikan rendah dan tinggi. lingkungan yang kurang baik, maka keluarga
Responden dengan tingkat pendidikan rendah tersebut akan semakin berisiko untuk
adalah responden yang berada pada kelompok terinfeksi tuberkulosis.
tidak sekolah dan kelompok pendidikan dasar, Hasil penelitian ini berbeda dengan
sedangkan responden dengan tingkat penelitian lain dimana justru seseorang
pendidikan tinggi adalah responden yang dengan pengetahuan rendah akan menurunkan
berada pada kelompok pendidikan menengah risiko untuk terinfeksi tuberkulosis
dan pendidikan tinggi. Penelitian ini juga dibandingkan dengan responden dengan
menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan tinggi, hal ini dapat
tingkat pendidikan seseorang terhadap diakibatkan karena pendidikan seseorang
tidak selalu berbanding lurus dengan

November 2017 175


Harahap et al. / Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, November 2017, 8(3):169-179

pengetahuan tentang faktor risiko oleh Fitriani pada tahun 2013 yang
tuberkulosis. Pengetahuan mengenai menyimpulkan bahwa ada hubungan antara
tuberkulosis ini tidak hanya didapatkan dari pendapatan keluarga dengan kejadian
tingkat sekolah formal saja namun bisa tuberkulosis.
didapatkan juga melalui sumber informal Secara substansial, tingkat pendapatan
lainnya seperti penyuluhan dari tenaga keluarga yang rendah berpengaruh terhadap
kesehatan, dari tetangga, keluarga, televisi, pemenuhan gizi dalam keluarga. Keluarga
media sosial dan sumber informasi lainnya. yang memiliki pendapatan yang rendah
Responden dengan tingkat pendapatan cenderung mengkonsumsi makanan dengan
rendah adalah responden dengan pendapatan kebutuhan gizi yang kurang bagi setiap
keluarga yang kurang dari nilai pendapatan anggota keluarga, sebagaimana diketahui
perkapita pertahun (< Rp 47.960.000,-), bahwa status gizi ini kemudian berpengaruh
sedangkan responden dengan tingkat terhadap respon imun seseorang sehingga
pendapatan tinggi adalah responden dengan menyebabkan seseorang lebih mudah untuk
pendapatan keluarga yang lebih dari nilai terserang penyakit. Tingkat pendapatan yang
pendapatan perkapita pertahun (≥ Rp rendah juga dapat mempengaruhi konstruksi
47.960.000,-). Tingginya proporsi penderita rumah dan kepadatan hunian rumah. Keluarga
tuberkulosis pada responden dengan dengan tingkat pendapatan rendah cenderung
kelompok tingkat pendapatan tinggi (14,4%) memiliki konstruksi rumah dan kepadatan
dapat diakibatkan oleh perilaku sehari-hari hunian yang tidak memenuhi syarat kesehatan
responden tersebut, seperti pola makan dan sehingga menyebabkan anggota rumah tangga
pemeliharaan kesehatan responden tersebut. tersebut lebih mudah untuk terserang
Seseorang dengan pendapatan tinggi biasanya penyakit.7 Hasil penelitian ini menunjukkan
memiliki aktivitas yang cukup tinggi pula hasil yang cukup berbeda dengan beberapa
pada saat bekerja, sehingga pemenuhan gizi penelitian lain dimana responden dengan
orang tersebut kurang baik yakni dengan lebih tingkat pendapatan rendah justru menurunkan
sering mengkonsumsi makanan cepat saji risiko untuk terinfeksi tuberkulosis
yang kurang akan zat gizi,16 pemenuhan zat dibandingkan dengan responden dengan
gizi yang kurang baik kemudian berpengaruh tingkat pendapatan tinggi, hal ini dapat terjadi
terhadap sistem imun yang kurang baik pula karena aktivitas yang tinggi pada responden
dan kemudian dapat meningkatkan risiko dengan pendapatan tinggi yang berimbas pada
untuk terinfeksi tuberkulosis. Tingginya pemenuhan gizi yang kurang baik yaitu
aktivitas responden kemudian juga dapat cenderung mengonsumsi makanan cepat saji
berdampak terhadap pemeliharaan kesehatan yang kemudian berujung pada status imun
orang tersebut. Seseorang yang memiliki yang kurang baik pada orang tersebut.
aktivitas tinggi akan memiliki waktu yang Responden dengan kategori IMT kurus
lebih sedikit untuk mengunjungi tempat adalah responden dengan IMT kurang dari
pelayanan kesehatan guna memeriksakan 18,5. Responden dengan IMT normal adalah
kesehatannya, kurangnya kesigapan dalam responden dengan IMT yang berada pada
pemeliharaan kesehatan orang tersebut rentang 18,5 sampai 25,0, sedangkan
kemudian juga akan berdampak terhadap responden dengan kategori IMT gemuk
meningkatnya risiko untuk perkembangan adalah responden dengan nilai IMT lebih dari
penyakit tuberkulosis ini. Secara statistik, 25,0.17 Secara statistik, pada penelitian ini
penelitian ini menunjukkan bahwa ada terdapat hubungan antara indeks massa tubuh
hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian tuberkulosis. Indeks massa
dengan kejadian tuberkulosis. Penelitian ini tubuh merupakan salah satu indikator
juga didukung oleh penelitian yang dilakukan penilaian status gizi seseorang. Status gizi

176 November 2017


Harahap et al. / Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, November 2017, 8(3):169-179

seseorang juga sangat berpengaruh terhadap oksigen.23 Apabila dalam satu rumah tangga
sistem imun seseorang yang diperantarai oleh terdapat satu orang penderita tuberkulosis
limfosit-T. Terganggunya sistem imun namun tidak diobati secara benar dapat
seseorang sebagai akibat dari status gizi yang meningkatkan risiko untuk terinfeksi
buruk mengakibatkan seseorang lebih mudah tuberkulosis pada anggota keluarga lain
untuk terinfeksi penyakit infeksi seperti dengan kondisi rumah yang tidak memenuhi
tuberkulosis.18 syarat kesehatan.23
Rumah yang sehat adalah rumah Berdasarkan jenis material lantai terluas
dengan kepadatan hunian yang tidak lebih dari rumahnya, peneliti mengelompokkan variabel
8m2 setiap orangnya, sedangkan rumah yang ini menjadi dua kelompok yaitu kelompok
tidak memenuhi syarat kesehatan adalah berisiko yaitu jenis lantai rumah yang tidak
rumah dengan kepadatan hunian kurang dari memenuhi syarat rumah sehat, dan jenis lantai
8m2 setiap orangnya. Berdasarkan peraturan rumah tidak berisiko yaitu jenis lantai rumah
ini, peneliti kemudian mengelompokkan yang memenuhi syarat rumah sehat.
variabel kepadatan hunian menjadi dua Tingginya proporsi kasus tuberkulosis pada
kelompok yaitu kelompok berisiko (≤ 8m2) kelompok responden dengan jenis lantai
dan kelompok tidak berisiko (8m2).19 Secara rumah tidak berisiko dapat disebabkan oleh
statistik terdapat hubungan yang bermakna faktor lain yang merancu hubungan kedua
antara kepadatan hunian dengan kejadian variabel ini seperti pengetahuan responden
tuberkulosis sejalan dengan penelitian yang terhadap penyakit tuberkulosis. Apabila
dilakukan oleh Ayomi dkk pada tahun 2012 seseorang dengan pengetahuan yang cukup
dan Ruswanto pada tahun 2010. baik mengenai penularan penyakit
Hasil penelitian ini menunjukkan nilai tuberkulosis ini, maka orang tersebut akan
prevalence ratio yang menyimpulkan bahwa berusaha untuk menekan faktor risiko lainnya
kepadatan hunian yang berisiko justru meskipun jenis lantai yang dimiliki oleh
menurunkan risiko untuk terinfeksi keluarga tersebut tidak kedap air dan begitu
tuberkulosis. Hal ini dapat diakibatkan oleh juga sebaliknya.24
faktor lain seperti keberadaan orang yang Sama halnya dengan variabel jenis
terinfeksi tuberkulosis di dalam rumah lantai rumah, tingginya proporsi kasus
tersebut.20 Keluarga yang memiliki anggota tuberkulosis pada kelompok responden
rumah tangga yang terinfeksi tuberkulosis di dengan jenis dinding rumah tidak berisiko
dalam rumah tersebut akan lebih mudah untuk dapat disebabkan oleh faktor lain yang
menularkan tuberkulosis pada anggota rumah merancu hubungan kedua variabel ini seperti
tangga lainnya yang dengan kondisi sehat pengetahuan responden terhadap penyakit
meskipun kondisi rumah tersebut tidak terlalu tuberkulosis. Apabila seseorang dengan
padat.21 pengetahuan yang cukup baik mengenai
Kepadatan hunian merupakan salah penularan penyakit tuberkulosis ini, maka
satu faktor yang berpengaruh terhadap orang tersebut akan berusaha untuk menekan
penularan suatu penyakit. Semakin padat faktor risiko lainnya meskipun jenis dinding
suatu hunian maka akan semakin yang dimiliki oleh keluarga tersebut tidak
mempermudah suatu penyakit untuk kedap air.
menyebar terutama penyakit yang menular Hasil penelitian ini juga menunjukkan
melalui udara (air borne disease).22 Luas bahwa ada hubungan jenis dinding rumah
rumah yang tidak sebanding dengan anggota dengan kejadian tuberkulosis. Sama halnya
rumah tangga yang tinggal dalam rumah dengan variabel jenis lantai rumah, jenis
tersebut dapat menyebabkan overcrowded dinding rumah yang non/semi permanen
yang menyebabkan kurangnya konsumsi bertekstur lebih lembab daripada jenis dinding

November 2017 177


Harahap et al. / Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, November 2017, 8(3):169-179

rumah yang permanen yang menyebabkan 1. Perlunya perhatian khusus terhadap


bakteri tuberkulosis mampu bertahan dalam perokok di Indonesia untuk menekan
waktu yang cukup lama yaitu berhari-hari angka kejadian tuberkulosis dari segala
bahkan berbulan-bulan hingga dapat pihak baik pemerintah maupun
memudahkan dalam penyebaran penyakit masyarakat.
tuberkulosis ini.25 2. Tenaga kesehatan sebaiknya meningkatkan
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)
KESIMPULAN DAN SARAN kepada masyarakat khususnya perokok
terkait penyakit tuberkulosis ini dan faktor
Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada
risikonya.
hubungan antara derajat merokok, umur, jenis
3. Masyarakat sebaiknya lebih
kelamin, tingkat pendidikan, tingkat
memperhatikan kesehatannya apabila
pendapatan, indeks massa tubuh, kepadatan
terpapar dengan faktor risiko tuberkulosis
hunian, jenis lantai rumah dan jenis dinding
dengan memeriksakan kesehatannya ke
rumah dengan kejadian tuberkulosis.
tempat pelayanan kesehatan baik sebelum
Saran dari penelitian ini adalah sebagai
ataupun setelah muncul gejala yang
berikut:
mengindikasikan tuberkulosis.

DAFTAR PUSTAKA Tuberkulosis Paru. Unnes Journal Of


Public Health. 2013. 2 (1). Hlm. 1-4.
1. Kementrian Kesehatan RI. Infodatin: 10. Dotulong, Jenfra F.J. Hubungan Faktor
Situasi Penyakit HIV AIDS di Indonesia. Risiko Umur, Jenis Kelamin dan
2016. Kepadatan Hunian dengan Kejadian
2. Kementrian Kesehatan RI. Infodatin: Penyakit TB Paru di Dewa Wori
Tuberkulosis Temukan Obati Sampai Kecamatan Wori. Jurnal Kedokteran
Sembuh. 2016. Komunitas dan Tropik. 2015. Vol. III No.
3. Depkes. Pedoman Nasional Pengendalian 2. Hlm. 1-9.
Tuberkulosis. Ditjen Pengendalian 11. Ketut, Ni Lisa. S. Faktor Risiko Kejadian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Penyakit Tuberkulosis Paru di Puskesmas
Kementrian Kesehatan Republik Karang Taliwang Kota Mataram Provinsi
Indonesia. 2011. NTB Tahun 2013, [Tesis]. Universitas
4. WHO. Tobacco, Fact Sheet. Available Udayana. 2012.
from <http://www.who.int/, diakses pada 12. Kurniasari, R.A.S., Suhartono, Cahyo, K.
08 Maret 2017. 2016. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru
5. Depkes. Angka Perokok di Indonesia. di Kecamatan Baturetno Kabupaten
Available from <http://www.depkes.go.id/, Wonogiri. Media Kesehatan Masyarakat
diakses pada 23 April 2017 .2017. Indonesia. 2012. Vol. 11, No. 2. Hlm. 198-
6. Kemenkes. Peraturan Pemerintah No. 109 204.
Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan 13. Husnaniyah, Dedeh. Gambaran Harga Diri
yang Mengandung Zat Adiktif Berupa (Self Esteem) Penderita Tuberkulosis Paru
Tembakau Bagi Kesehatan. 2012. di Wilayah Eks Kawedanan Indramayu.
7. Kemenkes. Infodatin: Situasi Penyakit Jurnal Keperawatan. 2016. Vol. 08 No. 02.
HIV AIDS di Indonesia. 2016. 14. Romlah, L. Hubungan Merokok dengan
8. Purnamasari, Y. Hubungan Merokok Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di
dengan Angka Kejadian Tuberkulosis Paru Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota
di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Tangerang Selatan, [Skripsi]. Universitas
[Skripsi]. Universitas Sebelas Maret Syarif Hidayatullah. 2015.
Surakarta. 2010. 15. Rusnoto. Faktor-Faktor Yang
9. Fitriani, Eka. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Tb Paru
Berhubungan dengan Kejadian pada Usia Dewasa (Studi Kasus di Balai
Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru

178 November 2017


Harahap et al. / Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, November 2017, 8(3):169-179

Pati). Jurnal Epidemiologi. Universitas Sulawesi Utara. Media Litbangkes. 2013.


Diponegoro. 2008. Vol. 23 No. 4.
16. Setiarni, S.M., Sutomo, A.H., & Hariyono, 22. Izzati, S., Basyar, M., & Nazar, J. Faktor
W. Hubungan Antara Tingkat Risiko yang Berhubungan dengan
Pengetahuan, Status Ekonomi dan Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah
Kebiasaan Merokok dengan Kejadian Kerja Puskesmas Andalas Tahun 2013.
Tuberkulosis Paru pada Orang Dewasa di Jurnal Kesehatan Andalas. 2015. 4 (1)
Wilayah Kerja Puskesmas Tuan-Tuan Hlm. 262-268.
Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. 23. Rikyandini, Very. Faktor-Faktor yang
Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2011. Vol. Berhubungan dengan Kejadian
5, No. 3 Hlm. 162-232. Tuberkulosis pada Usia Kerja di Wilayah
17. Supariasa, I Dewa Nyoman. et.al. Kerja Puskesmas Kecamatan Nguter
Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC. 2001. Kabupaten Sukoharjo, [Skripsi]. Fakultas
18. Ruswanto, B. Analisis Spasial Sebaran Ilmu Kesehatan Universitas
Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau dari Muhammadiyah Surakarta. 2012.
Faktor Lingkungan dalam dan Luar Rumah 24. Ayomi, A.C., Setiani, O., & Joko, T.
di Kabupaten Pekalongan, [Tesis]. Faktor Risiko Lingkungan Fisik Rumah
Universitas Diponegoro. 2010. dan Karakteristik Wilayah sebagai
19. Kementrian Kesehatan RI. Kepmenkes RI Determinan Kejadian Penyakit
No. 829/MENKES/SK/VII/1999 Tentang Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja
Persyaratan Kesehatan Perumahan. 1999. Puskesmas Sentani Kabupaten Jayapura
20. Muaz, Faris. Faktor-Faktor yang Provinsi Papua. Jurnal Kesehatan
Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Lingkungan Indonesia. 2012. Vol. 11 No.
Paru Basil Tahan Asam Positif di 1 Hlm. 1-8.
Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang 25. Fahreza, E.U., Waluyo, H., & Novitasari,
Kota Serang Tahun 2014, [Skripsi]. A. Hubungan antara Kualitas Fisik Rumah
Universitas Syarif Hidayatullah. 2014. dan Kejadian Tuberkulosis Paru dengan
21. Azhar, K., Perwitasari, D. Kondisi Fisik Basil Tahan Asam Positif di Balai
Rumah dan Perilaku dengan Prevalensi TB Kesehatan Paru Masyarakat Semarang.
Paru di Propinsi DKI Jakarta, Banten dan Jurnal Kedokteran Muhammadiyah. 2012.
Vol. 1 No. 1 Hlm. 9-13.

November 2017 179

Vous aimerez peut-être aussi