Vous êtes sur la page 1sur 96

ANALISIS KINETIKA REAKSI TRANSESTERIFIKASI

PADA PRODUKSI BIODIESEL SECARA KATALITIK


DENGAN STATIC MIXING REACTOR

SULASTRI PANGGABEAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kinetika Reaksi


Transesterifikasi pada Produksi Biodiesel secara Katalitik dengan Static Mixing
Reactor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Sulastri Panggabean
NRP F151090071
ABSTRACT

SULASTRI PANGGABEAN. Analysis of Kinetic Transesterification Reaction in


Catalytic Biodiesel Production with Static Mixing Reactor. Under supervision of
LEOPOLD O. NELWAN and ARMANSYAH H TAMBUNAN

Catalytic process of biodiesel production requires rigorous mixing and a


certain amount of catalyst itself in order to obtain the proper result of the process.
Hipotetically, a good mixing can reduce the amount of required catalyst for a
certain results. In this study, a static mixing reactor with KOH as catalyst was
used to produce biodiesel. The objective of the study were (1) to evaluate the
affect of decreassing the amount of KOH required as catalyst for the biodiesel
production in the static mixing reactor (2) to study the kinetics of the reaction.
The result showed that the percentage of catalyst greatly affected the reaction
conversion, yield and kinetics of the transesterification reaction at the beginning
of the reaction and declined afterward, because its ability nearly reached its
maximum capacity. The model of reaction order that most appropriate to describe
the condition of transesterification in this study was a pseudo third-order model.
The activation energy was 71.83 kJ mol-1, and the influence of static mixers in the
reactor was indicated by the value of the collision frequency factor (1.95 x 108
min-1). In other words, the presence of static mixer has a significant influence in
accelerating the reaction.

Keywords: activation energy, biodiesel, catalytic reaction, reaction order, static


mixer, transesterificastion
RINGKASAN

SULASTRI PANGGABEAN. Analisis Kinetika Reaksi Transesterifikasi pada


Produksi Biodiesel secara Katalitik dengan Static Mixing Reactor. Dibimbing oleh
LEOPOLD O. NELWAN dan ARMANSYAH H TAMBUNAN.

Biodiesel merupakan bahan bakar diesel yang diproduksi dari ester asam
lemak atau minyak nabati yang merupakan sumber terbarukan (renewable).
Proses produksi biodiesel dibagi ke dalam dua proses, yaitu secara katalitik dan
non-katalitik. Metode non-katalitik masih memiliki beberapa kelemahan, yaitu
nilai rasio energi yang masih kecil dan laju reaksi yang masih lambat. Sehingga,
proses secara katalitik masih menjadi pilihan utama dalam proses produksi
biodiesel untuk skala besar. Proses produksi secara katalitik membutuhkan
bantuan katalis untuk mempercepat terjadinya reaksi trigliserida dan metanol
dengan cara menurunkan energi aktivasi. Disamping itu, metode katalitik
memerlukan pengadukan yang kuat (rigorous stirring) karena sifat TG dan
metanol yang sulit untuk saling tercampur (immiscible). Dan untuk mengatasi
masalah pengadukan tersebut, pada penelitian ini digunakan static mixer.
Katalis yang biasa digunakan adalah katalis basa (NaOH atau KOH).
Pengurangan pemakaian katalis menjadi salah satu pokok bahasan dalam proses
secara katalitik. Reaktor yang dilengkapi dengan static mixer diharapkan menjadi
solusi yang tepat dalam memecahkan permasalahan ini. Static mixer merupakan
suatu alat yang dapat digunakan untuk mencampur dua jenis fluida atau lebih
tanpa kerja mekanik, hanya memanfaatkan aliran dan kekentalan fluida. Bentuk
mixer yang berupa ulir membagi aliran fluida menjadi partikel-partikel fluida
sehingga dapat bercampur dengan baik.
Proses reaksi dalam static mixer memanfaatkan tumbukan antar partikel
senyawa yang bereaksi, dimana semakin besar tumbukan yang terjadi dalam
reaktor, maka reaksi antar partikel juga akan semakin besar, karena kontak antar
bidang permukaan partikel akan semakin sering. Prinsip kerja reaktor dengan
static mixer adalah membagi aliran fluida menjadi partikel-partikel fluida yang
lebih homogen sehingga mempermudah proses difusi dan diharapkan akan terjadi
reaksi antara trigliserida dengan gas metanol, kemudian keluar dalam bentuk
campuran biodiesel dan gliserol.
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan kajian pengolahan biodiesel
secara katalitik dengan mengunakan static mixing reactor (SMR) dan melakukan
analisis kinetika transesterifikasi yang terjadi akibat pengurangan KOH pada
proses produksi biodiesel yang menggunakan static mixing reactor (SMR). Sistem
produksi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sistem batch, dimana
umpan (3000 ml) dimasukkan seluruhnya sebelum proses dijalankan.
Adapun beberapa kondisi yang diperlukan demi tercapainya tujuan tersebut
adalah temperatur proses (30, 40 dan 60 oC), mol rasio (1:6 merupakan
perbandingan antara mol minyak dengan mol metanol), jumlah katalis (0.3, 0.4,
dan 0.5% w/w) dan waktu pemutaran bahan (10, 20, dan 30 menit). Hasil yang
diperoleh kemudian dianalisis (konversi dan yield), dan kinetika transesterifikasi.
Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan informasi tentang proses
produksi biodiesel secara katalitik dengan sistem pengadukan statis.
Dari hasil penelitian diperoleh nilai konversi tertinggi sebesar 95.82 %
(mol/mol) yang terjadi pada perlakuan temperatur 60 oC, KOH sebanyak 0.5%
w/w dalam waktu 30 menit pemutaran bahan. Demikian pula dengan nilai yield
tertinggi (96.15% w/w) terjadi pada kondisi perlakuan yang sama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai persentase katalis dan static
mixer memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap nilai konversi, yield dan
kinetika reaksi yang terjadi pada awal reaksi, kemudian pengaruhnya berkurang
setelah 10 menit. Sehingga, model orde reaksi yang paling sesuai untuk
menggambarkan kondisi tersebut dalam penelitian ini adalah model reaksi
pseudo-orde ketiga. Energi aktivasi yang dibutuhkan pada proses tersebut sebesar
71.83 kJ mol-1, dan dengan nilai faktor frekuensi tumbukan yang terjadi sebesar
1.95 x 108 menit -1.

Kata kunci: biodiesel, energi aktivasi, orde reaksi, static mixer, transesterifikasi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS KINETIKA REAKSI TRANSESTERIFIKASI PADA
PRODUKSI BIODIESEL SECARA KATALITIK
DENGAN STATIC MIXING REACTOR

SULASTRI PANGGABEAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Teknik Mesin Pertanian dan Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Usman Ahmad, M. Agr
Judul Tesis : Analisis Kinetika Reaksi Transesterifikasi pada Produksi Biodiesel
secara Katalitik dengan Static Mixing Reactor
Nama : Sulastri Panggabean
NRP : F151090071

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Leopold O. Nelwan, M.Si Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana


Teknik Mesin Pertanian dan Pangan

Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M. Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian: 05 Agustus 2011 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 ini ialah biodiesel, dengan
judul Analisis Kinetika Reaksi Transesterifikasi pada Produksi Biodiesel secara
Katalitik dengan Static Mixing Reactor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Leopold O. Nelwan,
M.Si dan Bapak Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan selaku pembimbing, serta
Bapak Dr. Ir. Usman Ahmad, M. Agr yang telah memberi banyak saran. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dirjen Dikti-Kemendiknas
RI atas biaya penelitian melalui hibah kompetitif penelitian kerjasama luar negeri
dan publikasi internasional.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda A. Madjid
Panggabean, ibunda Mariana Sinurat, kakanda Zakiyah Panggabean, Syirajuddin
Munir Putra Panggabean dan Misbah Munawar Panggabean, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2011


Sulastri Panggabean
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tarutung pada tanggal 17 April 1985 dari ayah Abdul
Madjid Panggabean dan ibu Mariana Sinurat. Penulis merupakan putri terakhir
dari empat bersaudara.
Tahun 2003 penulis lulus Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Penulis memilih program studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara dan lulus pada tahun 2007. Kemudiaan pada Tahun 2009 diterima
di Sekolah Pascasarjana Mayor Teknik Mesin Pertanian dan Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti program S2, penulis pernah menjadi asisten praktikum
mata kuliah Teknik Konversi Bioenergi untuk judul praktikum Biodiesel pada
tahun ajaran 2010/2011.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. viii
DAFTAR SIMBOL ......................................................................................... x
PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
Latar Belakang....................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................... 4
Manfaat Penelitian ................................................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 5
Bahan Bakar Biodiesel ........................................................................... 5
Proses Produksi Biodiesel ...................................................................... 7
Produksi Biodiesel secara Katalitik ........................................................ 8
Mekanisme Pengadukan Konvensional Blade Agitator .......................... 11
Static Mixer ........................................................................................... 12
Aliran Fluida dalam Pipa ................................................................ 15
Kinetika Reaksi Transesterifikasi ........................................................... 15
Laju Reaksi dan Orde Reaksi Transesterifikasi ............................... 15
Persamaan Arrhenius ...................................................................... 17
METODE ........................................................................................................ 19
Tempat dan Waktu ................................................................................. 19
Bahan dan Alat ...................................................................................... 19
Prosedur Penelitian ................................................................................ 24
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 28
Static Mixing Reactor ............................................................................ 28
Analisis Kebutuhan Daya ............................................................... 28
Proses Produksi Biodiesel secara Katalitik dengan Static
Mixing Reactor ............................................................................... 30
Konversi Reaksi ............................................................................. 33
Produksi Metil Ester dan Yield Biodiesel ........................................ 35
Kinetika Reaksi Transesterifikasi ........................................................... 37
Laju Reaksi .................................................................................... 37
Orde Reaksi dan Konstanta Laju Reaksi ......................................... 39
Energi Aktivasi dan Faktor Frekuensi Tumbukan ........................... 42
Simulasi Pendugaan Waktu Proses Transesterifikasi ....................... 46
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 51
Kesimpulan............................................................................................ 51
Saran ..................................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 53
DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pemakaian katalis basa pada produksi biodiesel ......................................... 10


2 Pola pengambilan sampel ........................................................................... 25
3 Nilai parameter hasil perhitungan ............................................................... 28
4 Kebutuhan Head pompa ............................................................................. 29
5 Kebutuhan daya berdasarkan perhitungan .................................................. 29
6 Data hasil penelitian ................................................................................... 37
7 Konstanta laju reaksi .................................................................................. 41
8 Perbandingan energi aktivasi pada beberapa penelitian lain ........................ 44
9 Energi aktivasi dengan menggunakan dua tahap perhitungan ..................... 45
10 Simulasi waktu proses pencapaian nilai SNI............................................... 50
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Persamaan stoikiometri reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi


biodiesel..................................................................................................... 7
2 Tahapan reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi biodiesel (R’COOR) .. 7
3 Pengaruh katalis terhadap energi aktivasi (Clark 2004). ............................. 9
4 Pola aliran di dalam bejana tanpa buffle pada sistem pengadukan dengan
blade agitator (McCabe et al. 1993)........................................................... 12
5 Pembagian aliran dan pencampuran radial cairan di dalam static mixer
(Bor dan Thomas 1971).............................................................................. 13
6 Pembagian aliran di mixer adalah fungsi dari jumlah elemen dalam static
mixer (Bor dan Thomas 1971). ................................................................... 14
7 Aliran fluida dalam static mixing reactor (Admix 2010b)........................... 14
8 Skematik static mixing reactor. .................................................................. 19
9 Reaktor ...................................................................................................... 21
10 Elemen static mixer .................................................................................... 21
11 Rangkaian elemen static mixer ................................................................... 22
12 Alat (Static mixing reactor) ........................................................................ 22
13 Diagram alir penelitian. .............................................................................. 26
14 Pola pencampuran dalam static mixer (Kenics 1998) .................................. 31
15 Sampel (a) minyak (RBDPO), (b) biodiesel crude (layer atas) dan
gliserol (layer bawah), (c) biodiesel crude, dan (d) biodiesel ...................... 33
16 Konversi reaksi pada temperatur 60 oC dengan KOH 0.3 %, 0.4 % dan
0.5 % (w/w). .............................................................................................. 33
17 Konversi reaksi pada KOH 0.5 % (w/w) dan temperatur 30, 40, 60 oC....... 34
18 Hubungan antara temperatur dan produk yang dihasilkan tiap waktu
pemutaran bahan ........................................................................................ 35
19 Hubungan antara yield biodiesel dan waktu pemutaran bahan
berdasarkan % KOH .................................................................................. 36
20 Kadar metil ester tiap perlakuan suhu dengan KOH 0.5% selama 30
menit pada alat static mixing reactor .......................................................... 38
21 Kadar metil ester (% w/w) tiap perlakuan suhu dengan KOH 1% selama
30 menit pada alat blade agitator (Alamsyah 2010) ................................... 38
22 Perubahan kadar metil ester tiap 10 menit pemutaran bahan pada
temperatur 60 oC ....................................................................................... 40
vi

23 Model reaksi transesterifikasi pseudo-orde ketiga pada perlakuan


temperatur 40 oC........................................................................................ 41
24 Penentuan nilai energi aktivasi dengan model reaksi pseudo-orde ketiga .... 43
25 Hasil simulasi model reaksi pseudo-orde ketiga pada perlakuan
temperatur 60 oC dan KOH 0.5% w/w ....................................................... 47
26 Nilai fraksi massa biodiesel selama 6 menit waktu reaksi pada perlakuan
temperatur 60 oC (Frascari et al. 2009)....................................................... 48
27 Hasil simulasi fraksi massa biodiesel selama 6 menit waktu reaksi pada
perlakuan temperatur 60 oC dan KOH 0.5% w//w ...................................... 48
28 Hasil simulasi nilai metil ester selama 50 menit waktu reaksi pada
perlakuan temperatur 60 oC dan KOH 0.5% w/w ....................................... 49
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Proses pabrikasi alat, komponen alat dan alat utuh ................................... 56


2 Langkah-langkah penelitian ..................................................................... 58
3 Persiapan bahan ....................................................................................... 62
4 Proses sampling ....................................................................................... 64
5 Metode pengujian menurut SNI 04-7182-2006 ......................................... 66
6 Syarat mutu biodiesel ester alkil berdasarkan SNI 04-7182-2006 ............. 67
7 Hasil analisis laboratorium ....................................................................... 68
8 Penghitungan konversi reaksi dan Yield biodiesel..................................... 69
9 Penentuan konstanta laju reaksi ................................................................ 70
10 Perbandingan antara hasil simulasi dan eksperimen untuk seluruh
perlakuan ................................................................................................. 72
DAFTAR SINGKATAN

A : Faktor frekuensi (mol-1)


A, B : Konsentrasi reaktan A dan B yang bereaksi (mol)
a, b : Orde reaksi terhadap A, B
Aa : Angka asam (mgKOH gbiodiesel-1)
As : Angka penyabunan (mgKOH gbiodiesel-1)
Cp : Panas jenis campuran (kJ kg-1 oC-1)
CPO : Crude palm oil
D : Diameter (m)
DG : Digliserida
EA : Energi aktivasi (kJ mol-1)
f : Koefisien kerugian
FAME : Fatty acid methyl esterified
FFA : Free fatty acid
g : Percepatan gravitasi (m s-2)
Gttl : Kadar gliserol total (%-massa)
H : Head (m)
k : Konstanta laju reaksi (mol-1)
KOH : Kalium hidroksida
L : Panjang (m)
m : Massa (m)
MeOH : Metanol
MG : Monogliserida
ME : Methyl esterified
Mf : Fraksi mol
n : Mol
NaOH : Natrium hidroksida
P : Daya Pompa (W)
PA : Pro analysis
Pf : Daya Fluida
Ph : Daya Heater (W)
ix

Q : Debit (m3 s-1)


q : Kalor (kJ)
R : Konstanta atau tetapan gas (8.314 J K-1 mol-1)
r : Laju reaksi (mol s-1)
Re : Bilangan Reynold
SMR : Static mixing reactor
SNI : Standar nasional Indonesia
SS304 : Stainless steel 304
T : Temperatur (Kelvin).
t : Waktu
TG : Trigliserida
uME : un methyl esterified
V : Volume (l)
v : Kecepatan (m s-1)
w/w : weight/weight
DAFTAR SIMBOL

α : Konversi reaksi (mol mol-1)


ηp : Efisiensi pompa (%)
ρ : Densitas metanol (kg m-3)
ν : Viskositas (m2 s-1)
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Biodiesel merupakan minyak diesel yang diproduksi dari ester asam lemak
atau minyak nabati (minyak kelapa, minyak kelapa sawit, minyak jarak, minyak
jagung, minyak biji bunga matahari, lemak hewan dan lain-lain) yang merupakan
sumber terbarukan (renewable). Khusus di Indonesia, bahan baku yang paling
berpotensi adalah minyak kelapa sawit, karena Indonesia memiliki lahan
perkebunan kelapa sawit yang luas, sehingga mampu menyediakan bahan baku
untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk ekspor.
Metode produksi biodiesel berbahan baku minyak kelapa sawit dapat
dibedakan ke dalam dua cara, yaitu secara katalitik dan non-katalitik. Proses
produksi secara katalitik membutuhkan bantuan katalis untuk mempercepat
terjadinya reaksi antara asam lemak bebas (FFA)/trigliserida dan metanol/etanol.
Dengan adanya katalis, maka energi yang dibutuhkan untuk terjadinya reaksi
(energi aktivasi) dapat diturunkan. Sehingga jumlah partikel yang mampu
bereaksi dapat bertambah. Katalis yang digunakan dapat berupa katalis asam
(untuk FFA tinggi), katalis basa (untuk FFA rendah) dan katalis enzim (untuk
FFA tinggi).
Proses produksi secara non-katalitik memiliki beberapa keunggulan, baik
dari segi ketersediaan bahan baku pendukung maupun kesederhanaan proses
produksi. Proses secara non-katalitik tidak membutuhkan katalis sehingga proses
yang berlangsung lebih sederhana, namun membutuhkan kondisi tertentu untuk
mencapai energi aktivasi yang dibutuhkan sehingga reaksi antara FFA/trigliserida
dengan metanol/etanol dapat berlangsung. Energi aktivasi dapat dicapai dengan
menaikkan tekanan maupun temperatur, salah satunya dengan mencapai kondisi
supercritical methanol (Kusdiana dan Saka 2001).
Proses pencapain kondisi supercritical methanol membutuhkan biaya
produksi yang cukup tinggi dan lebih beresiko terhadap terjadinya ledakan akibat
tekanan tinggi yang disertai dengan temperatur tinggi. Permasalahan tersebut
dapat diatasi dengan membuat kondisi superheated methanol vapor yaitu
2

temperatur tinggi dan tekanan atmosfer. Namun, sistem ini masih memiliki
kelemahan yaitu laju reaksi proses secara non-katalitik dengan kondisi
superheated methanol vapor masih rendah. Sehingga, proses secara katalitik
masih menjadi pilihan utama dalam proses produksi biodiesel untuk skala besar.
Pada proses secara katalitik yang melibatkan FFA dalam jumlah besar
(proses dengan katalis asam atau enzim) membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk menghasilkan produk yang diinginkan. Hal tersebut dapat diatasi dengan
pemakaian katalis basa. Namun, FFA minyak harus diturunkan terlebih dahulu
melalui proses esterifikasi, karena pemakaian katalis basa pada proses yang
melibatkan FFA tinggi dapat menghasilkan produk sampingan berupa sabun dan
air yang dapat menurunkan kualitas metil/etil ester (biodiesel) yang dihasilkan.
Oleh karena itu, penelitian proses produksi biodiesel secara katalitik lebih
diarahkan pada penggunaan katalis basa dan FFA di bawah 1%, dengan
mengoptimalkan pemakaian katalis.
Katalis basa yang biasa digunakan adalah NaOH atau KOH. Dari beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase KOH yang digunakan umumnya
sebesar 1% w/w atau masih lebih banyak jika dibandingkan dengan persentase
NaOH (dapat digunakan pada persentase kecil, yaitu dibawah 0.5% w/w). Oleh
karena itu, perlu dilakukan penelitian yang dapat menurunkan pemakaian KOH
tetapi tetap menghasilkan metil ester yang masuk dalam standard SNI (minimal
96.5 % w/w). Selain pemakaian katalis, energi aktivasi dapat dicapai melalui
perlakuan temperatur yang tepat dan meningkatkan frekuensi tumbukan antar
partikel reaktan. Peningkatan temperatur dapat dilakukan dengan menggunakan
heater dan frekuensi tumbukan dapat ditingkatkan melalui pengadukan.
Proses produksi dengan metode katalitik juga memerlukan system
pengadukan yang kuat (rigorous mixing) agar TG dan MeOH yang bersifat
immiscible (tidak saling tercampur) dapat bercampur dengan baik. Sistem
pengadukan atau pencampuran mekanis sudah banyak dilakukan dalam proses
produksi biodiesel. Namun, sistem yang melibatkan moving parts perlu dihindari
karena dapat menambah biaya perawatan dan umur ekonomis alat akan cenderung
singkat. Hal ini dapat diatasi dengan pemakaian alat yang dapat menjalankan
3

fungsinya sebagai pengaduk dan pencampur, namun bekerja dalam kondisi statis.
Salah satunya adalah dengan memanfaatkan static mixer.
Pemakaian static mixer sudah mulai digunakan dalam pencampuran katalis
pada proses produksi biodiesel secara katalitik. Kegunaan dari static mixer
tersebut dalam hal ini adalah untuk membantu fungsi katalis dalam mempercepat
terjadinya reaksi. Penelitian untuk membuktikan hal tersebut telah dilakukan oleh
Alamsyah (2010). Dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa pemakaian static
mixer dalam proses produksi biodiesel secara katalitik dapat menurunkan waktu
reaksi. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan pemakaian static
mixer dalam reaktor untuk memproduksi biodiesel secara katalitik.
Static mixing reactor (SMR) terdiri dari static mixer yang merupakan suatu
alat yang dapat digunakan untuk mencampur dua jenis fluida atau lebih tanpa
kerja mekanik, hanya memanfaatkan aliran dan kekentalan fluida. Untuk
mencapai energi aktivasi yang dibutuhkan, maka SMR dilengkapi dengan sistem
pemanas (heater) sehingga temperatur reaksi yang sesuai dapat tercapai dan reaksi
antara FFA/trigliserida dengan metanol/etanol dapat berlangsung dengan baik
untuk menghasilkan biodiesel.
Cara kerja SMR adalah membentuk atau meningkatkan turbulensi aliran
campuran FFA/trigliserida dan metanol/etanol, sehingga partikel-partikel dari
campuran ini menjadi lebih kecil (luas permukaan kontak partikel menjadi lebih
besar) dan dapat bercampur dengan baik. Turbulensi aliran yang terbentuk pada
kondisi temperatur yang sesuai dan dengan pemakaian sedikit katalis diharapkan
dapat mempercepat terjadinya reaksi antara FFA/trigliserida dan metanol/etanol
karena frekuensi tumbukan yang terjadi dalam reaktor semakin besar sehingga
jumlah partikel energik bertambah. Karena semakin besar tumbukan yang terjadi,
maka reaksi antar partikel juga akan semakin besar, karena kontak antar bidang
permukaan partikel akan semakin sering.
Dengan demikian, perlu dilakukan analisis pengurangan jumlah katalis
KOH dalam proses produksi biodiesel secara katalitik dan analisis kinetika reaksi
yang terjadi selama reaksi transesterifikasi. Dari hasil analisis tersebut dapat
disimulasikan kebutuhan waktu proses agar reaksi dapat berlangsung untuk
menghasilkan nilai metil ester yang masuk ke dalam nilai SNI (min. 96.5% w/w).
4

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:


- Melakukan kajian proses produksi biodiesel secara katalitik dengan
menggunakan static mixing reactor (SMR) sistem batch
- Melakukan kajian pengurangan jumlah KOH dalam produksi biodiesel secara
katalitik dengan menggunakan static mixing reactor (SMR) sistem batch
- Menganalisis kinetika reaksi transesterifikasi yang terjadi selama proses
produksi biodiesel secara katalitik dengan menggunakan static mixing reactor
(SMR) sistem batch
- Melakukan simulasi untuk menduga waktu proses transestrifikasi yang
dibutuhkan agar nilai metil ester yang dihasilkan memenuhi nilai SNI
(minimal 96.5% w/w)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang


kinetika reaksi transesterifikasi proses produksi biodiesel secara katalitik dengan
sistem pengadukan statis.
TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Bakar Biodiesel

Biodiesel adalah istilah untuk bahan bakar berbasis mono-alkil ester yang
terbuat dari sumber terbarukan seperti minyak sayur yang baru/telah digunakan
dan lemak hewan (Agarwal 2006). Pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar
alternatif disebabkan oleh karakteristiknya mirip dengan diesel konvensional dan
berasal dari sumber yang terbarukan (Kim et al. 2007). Dengan demikian,
penggunaannya tidak memerlukan modifikasi maupun penggantian komponen-
komponen mesin.
Bahan bakar ini ramah lingkungan dan berkontribusi dalam mengurangi
pemanasan global dan polusi udara karena bahan yang digunakan merupakan
karbon netral dan rendah kandungan sulfur, serta mengurangi emisi yang
mengandung hidrokarbon (seperti karbonmonoksida) (Yadav et al. 2010),
bilangan asap (smoke number) yang rendah, memiliki cetane number yang lebih
tinggi sehingga pembakaran lebih sempurna (clear burning), memiliki sifat
pelumasan terhadap piston mesin, dan dapat terurai (biodegradabe) sehingga tidak
menghasilkan racun (non toxic).
Selain itu, Gerpen (2005) mengungkapkan bahwa terdapat sekurangnya lima
alasan pengembangan biodiesel, antara lain:
1 Menyediakan pasar untuk kelebihan produksi minyak dan lemak hewan
2 Mengurangi, meskipun tidak menghilangkan, ketergantungan negara dalam
mengimpor petroleum.
3 Biodiesel merupakan bahan bakar yang dapat diperbaharui dan mengurangi
dampak pemanasan global karena siklus karbonnya yang tertutup. Analisis
siklus hidup biodiesel menunjukkan bahwa keseluruhan emisi CO2 berkurang
sebesar 78% dibandingkan dengan bahan bakar diesel berbahan petroleum.
4 Emisi buang karbon monoksida, hidrokarbon yang tidak terbakar, dan emisi
partikel padat dari biodiesel lebih rendah dibandingkan bahan bakar diesel.
6

5 Ketika ditambahkan ke dalam bahan bakar diesel yang reguler dalam jumlah
1 – 2%, dapat mengubah kelemahan sifat bahan bakar, misalnya bahan bakar
diesel yang rendah kadar sulfur dan menjadi bahan bakar yang dapat diterima.
Biodiesel membutuhkan bahan baku minyak nabati yang dapat dihasilkan
dari tanaman yang mengandung asam lemak seperti kelapa sawit (crude palm
oil/CPO), jarak pagar (crude jatropha oil/CJO), kelapa (crude coconut oil/CCO),
sirsak, srikaya, kapuk, dll. Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam yang
dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel. Kelapa sawit merupakan salah
satu sumber bahan baku minyak nabati yang prospektif dikembangkan sebagai
bahan baku biodiesel di Indonesia, mengingat produksi CPO Indonesia cukup
besar dan meningkat tiap tahunnya (Triwahyuningsih dan Adiprasetya 2009).
Indonesia dan Malaysia adalah 2 produsen minyak sawit mentah terbesar di
dunia. Bersama-sama, kedua negara ini menghasilkan 90% dari minyak sawit
mentah (crude palm oil, CPO) dunia. CPO dewasa ini merupakan bahan mentah
utama produksi biodiesel di seluruh dunia. Minyak sawit adalah satu-satunya
bahan mentah biodiesel yang banyak tersedia, karena dewasa ini Indonesia
memproduksi 19.5 juta ton/tahun CPO; 4.5 juta ton/tahun dikonsumsi oleh
industri pangan dalam negeri (terutama untuk minyak goreng), 2.5 juta ton/tahun
digunakan oleh produsen-produsen biodiesel dan sisanya diekspor (USAID 2009).
Pemanfaatan minyak nabati secara langsung sebagai bahan bakar mesin
diesel (biodiesel), ternyata masih dijumpai suatu masalah. Masalah yang dihadapi
tersebut terutama disebabkan oleh viskositas minyak nabati yang terlalu tinggi
(Krisnangkura et al. 2010) jika dibandingkan dengan diesel petroleum. Masalah-
masalah akan muncul setelah mesin beroperasi dengan menggunakan minyak
nabati dalam waktu yang lama, khususnya dengan sistem injeksi langsung.
Permasalahan tersebut meliputi:
1 pembentukan kerak dan bentuk yang menyerupai trompet pada injektor
sedemikian rupa sehingga proses atomisasi bahan bakar tidak berlangsung
dengan baik atau terhalang karena orifice yang tersumbat,
2 penumpukan karbon,
3 minyak ring tersendat dan
7

4 penebalan serta gelling pada minyak pelumas sebagai akibat dari kontaminasi
minyak nabati (Ma dan Hanna, 1999).
Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan proses konversi minyak
nabati kedalam bentuk ester (metil ester) dari asam lemak minyak nabati melalui
proses transesterifikasi (Hamid dan Yusuf 2002).

Proses Produksi Biodiesel

Biodiesel dihasilkan melalui suatu proses yang dikenal sebagai


transesterifikasi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
O O
|| ||
CH2 - O - C – R1 CH3 - O - C – R1
|
| O O CH2 - OH
| || || |
CH - O - C - R2 + 3 CH3OH CH3 - O - C - R2 + CH - OH
| (katalis) |
| O O CH2 - OH
| || ||
CH2 - O - C - R3 CH3 - O - C - R3
Trigliserida Metanol FAME Gliserol
Gambar 1 Persamaan stoikiometri reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi
biodiesel

Dimana R1, R2, dan R3 merupakan rantai panjang hidrokarbon, sering


disebut sebagai rantai asam lemak (Gerpen 2005). Reaksi tersebut dibagi ke dalam
3 tahapan, yaitu pembentukan produk antara digliserida (DG) dan monogliserida
(MG) (Utami et al. 2007) dan produk yang diinginkan yaitu FAME (fatty acid
methyl esters), dengan hasil samping dari produksi tersebut yaitu gliserin.
Tahapan tersebut berlangsung seperti pada Gambar 2 (Marchetti et al. 2007).

Gambar 2 Tahapan reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi biodiesel


(R’COOR)

Keseimbangan reaksi terjadi pada kondisi, 3 mol metanol direaksikan dengan 1


mol minyak. Menurut Hong et al. (2009), selama terjadinya reaksi, agar
keseimbangan selalu bergerak ke kanan, maka metanol yang direaksikan
sebaiknya dalam jumlah yang berlebih dengan kata lain lebih dari rasio
8

stoikiometri reaksi transesterifikasi. Reyes et al. (2010) menyarankan


perbandingan antara alkohol dengan trigliserida adalah 6:1.
Metode produksi biodiesel dapat dibedakan ke dalam dua cara, yaitu secara
katalitik dan non-katalitik (Petchmala et al. 2008). Pengolahan secara katalitik
menggunakan NaOH (Tomoki 2008) atau KOH sebagai katalis basa, H2SO4
sebagai katalis asam, dan lipase sebagai katalis yang berasal dari enzim (Marchetti
et al. 2007, dan Yoo et al. 2011). Sedangkan, pengolahan secara non-katalitik
dilakukan pada kondisi superkritis dari alkohol (tekanan dan temperatur tinggi
yaitu sekitar 350 oC, 30 MPa (Kusdiana dan Saka 2001), 570 – 600 K dan 10 – 15
MPa (Valle et al.) atau menggunakan uap metanol lewat jenuh (superheated
methanol vapor) (Joelianingsih 2008).
Proses produksi biodiesel secara non-katalitik dapat dilakukan dengan
menggunakan kondisi superkritis metanol tanpa menggunakan katalis (Kusdiana
dan Saka 2001, Hong et al. 2009 dan Kim et al. 2007). Cara ini akan memberikan
waktu yang lebih singkat dan cara pemurnian yang lebih mudah serta lebih ramah
lingkungan jika dibandingkan dengan proses katalis (Petchmala et al. 2008).
Namun, metode ini memiliki kelemahan yaitu kondisi superkritis (kondisi
temperatur tinggi yang disertai dengan tekanan tinggi) memberikan resiko
terhadap terjadinya ledakan, cukup besar. Oleh karena itu, dilakukan penelitian
lebih lanjut mengenai cara untuk mengatasi permasalahan tersebut, hingga
ditemukannya cara produksi biodiesel pada tekanan atmosfer. Namun, proses
terbentuknya FAME masih membutuhkan waktu yang cukup lama (menurut
Joelianingsih (2008) dengan alat bubble column reactor sekitar 270 sampai 300
menit waktu reaksi) atau dengan kata lain, laju reaksi pada proses superheataed
methanol vapor masih sangat rendah. Sehingga, proses produksi secara non-
katalitik masih dirasakan sulit untuk dikembangkan pada skala besar dan
membutuhkan penelitian yang lebih lanjut.

Produksi Biodiesel secara Katalitik

Katalis berfungsi untuk menurunkan energi aktivasi yang diperlukan untuk


berlangsungnya suatu reaksi. Sehingga, jumlah partikel yang mampu bereaksi
bertambah banyak, seperti yang terlihat pada Gambar 3.
9

Sekarang semua partikel


Sebelumnya ini sejumlah
hanya juga partikel yang berada
pada area di bawah kurva pada bagian ini yang
memiliki energi yang cukup untuk
memiliki energi yang cukup untuk bereaksi
bereaksi
Jumlah
Sebelumnya hanya sejumlah partikel yang
Sebelumnya berada
hanya sejumlah
partikel pada area di bawah kurva pada bagian ini yang
partikel yang berada
memiliki energi yang cukup untuk bereaksi
pada area
di bawah kurva pada bagian
ini yang memiliki energi yang
cukup untuk bereaksi

Partikel-partikel
yang tidak
memiliki energi
yang cukup untuk
bereaksi

Energi
Energi aktivasi yang baru Energi aktivasi
sebelumnya

Gambar 3 Pengaruh katalis terhadap energi aktivasi (Clark 2004).

Menambahkan katalis memberikan perubahaan yang berarti pada energi


aktivasi. Katalis menyediakan satu rute alternatif bagi reaksi. Rute alternatif ini
memiliki energi aktivasi yang rendah. Katalis hanya mempengaruhi laju
pencapaian kesetimbangan, bukan posisi keseimbangan (misalnya: membalikkan
reaksi). Katalis tidak mengganggu gugat hasil kesetimbangan suatu reaksi dimana
konsentrasi atau massanya setelah reaksi selesai sama dengan konsentrasi atau
massa reaksi sebelum reaksi dilangsungkan (Clark 2004).
Proses produksi dengan menggunakan katalis asam akan memberikan nilai
yield yang sangat besar namun reaksinya sangat lambat (dapat mencapai lebih satu
hari). Selain itu, jumlah alkohol yang digunakan sangat banyak (biasanya dengan
mol rasio 30:1 mol alkohol/mol minyak). Pemakaian katalis enzim memberikan
harapan terhadap proses produksi biodiesel yang lebih aman terhadap lingkungan.
Namun, sama halnya dengan katalis asam, katalis enzim membutuhkan waktu
yang sangat lama agar reaksi dapat berlangsung. Selain itu, proses produksi
dengan katalis enzim juga membutuhkan biaya yang sangat besar. Oleh karena
itu, katalis yang biasa digunakan dalam produksi biodiesel secara katalitik adalah
katalis basa (yang biasa digunakan adalah KOH dan NaOH). NaOH dan KOH
adalah jenis basa kuat yang dapat terlarut dalam metanol dan etanol (Marchetti et
al. 2005).
10

Alasan lain yang menyebabkan pemakaian katalis basa lebih dipilih dalam
proses produksi untuk skala industri adalah karena proses secara alkali (basa)
akan lebih efisien dan rendah korosif daripada proses secara asam, alkohol yang
digunakan lebih sedikit (biasanya 6:1 mol/mol), dan dengan temperatur proses
yang lebih rendah.
Tabel 1 Pemakaian katalis basa pada produksi biodiesel
Autor Katalis Jumlah (%)
Arquiza et al. (2000)* NaOH 0.5
Felizardo et al. (2006)* NaOH 0.6
Chhetri et al. (2008)* NaOH 0.08
Tomasevic dan Marinkovic (2003)* KOH 1
Reefat et al. (2008)* KOH 1
Phan dan Phan (2008)* KOH 0.75
Allawzi dan Kandah (2008)* KOH 1.2
Tang et al. (2007)** NaOH 0.8
Tapanes et al. (2008)** NaOH 0.8
Chitra et al. (2005)** NaOH 1
Berchmans et al. (2010)** KOH 1
Sumber: *Math et al. (2010); **Juan et al. (2011)

Tabel 1 menunjukkan bahwa pemakaian katalis NaOH dapat diturunkan


hingga 0.08% w/w, sedangkan untuk KOH rata-rata masih sebanyak 1% w/w.
Oleh karena itu, perlu dibuat suatu sistem yang dapat menurunkan pemakaian
KOH. Untuk menurunkan pemakaian KOH dapat dilakukan dengan
meningkatkan intensitas tumbukan partikel-partikel yang bereaksi. Tumbukan
tumbukan akan menghasilkan reaksi jika partikel-partikel bertumbukan dengan
energi yang cukup untuk memulai suatu reaksi atau yang sering disebut sebagai
energi aktivasi. Peningkatan frekuensi tumbukan dapat dilakukan dengan
meningkatkan temperatur proses, konsentrasi dari pereaksi dan meningkatkan
pengadukan.
Untuk mempercepat reaksi, perlu meningkatkan jumlah dari partikel-
partikel energik (partikel-partikel yang memiliki energi yang sama atau lebih
besar dari energi aktivasi). Hampir sebagian besar reaksi yang terjadi baik di
laboratorium maupun industri akan berlangsung lebih cepat apabila dipanaskan.
Peningkatan temperatur dapat meningkatkan laju reaksi karena bertambahnya
jumlah energi tumbukan aktif (Clark 2004). Sebagian reaksi berlangsung pada
temperatur ruang, laju reaksi akan meningkat dengan meningkatnya temperatur.
11

Peningkatan konsentrasi salah satu reaktan dapat meningkatkan


kemungkinan terjadinya tumbukan. Namun, apabila menggunakan katalis padat
dalam jumlah yang sedikit dalam reaksi, dan direaksikan dengan reaktan yang
memiliki konsentrasi yang cukup tinggi, maka permukaan katalis akan seluruhnya
diliputi oleh partikel yang bereaksi sehingga mengurangi fungsi katalis. Selain itu,
peningkatan konsentrasi larutan terkadang tidak memberikan efek apa-apa karena
katalis telah bekerja pada kapasitas maksimumnya (Clark 2004). Cara lain untuk
meningkatkan frekuensi tumbukan adalah dengan proses pengadukan.

Mekanisme Pengadukan Konvensional Blade Agitator

Sebagian besar proses bergantung pada keberhasilannya dalam mengaduk


dan mencampur fluida. Pengadukan cairan biasanya dilakukan di dalam tangki
atau bejana, biasanya berbentuk silinder dengan sumbu vertikal. Pengaduk yang
digunakan dapat berupa impeler yang dipasang menggantung pada poros yang
digerakkan oleh motor. Impeler menciptakan pola aliran dalam sistem,
menyebabkan cairan beredar pada bejana dan akhirnya kembali ke impeler.
Pola aliran pada sistem pengadukan dengan menggunakan agitator
bergantung pada tipe impeler yang digunakan, karakteristik fluida, dan ukuran
serta bentuk tangki, baffle, dan agitator. Pada aliran berputar, cairan mengalir
dengan arah pergerakan mengikuti sudu impeler, kecepatan relatif antara blade
dan liquid berkurang, dan tenaga yang dapat diserap oleh liquid terbatas.
Prinsip dalam aliran adalah radial dan tangensial. Kompenen tangensial
akan menyebabkan terbentuknya vortex (pusaran) dan putaran, yang harus
dicegah dengan memasang buffle atau cincin diffuser. Dalam bejana yang tidak
memiliki buffle putaran aliran dipengaruhi oleh semua tipe impeler, baik aliran
aksial maupun radial. Apabila putarannya kuat, pola aliran di dalam tangki
sebenarnya sama untuk semua bentuk impeler. Pada impeler yang berkecepatan
tinggi, vortex akan terbentuk hingga mencapai impeler (hal ini tidak diinginkan)
(McCabe et al. 1993), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.
12

Permukaan
cairan
Vortex
n
cairan

Samping Bawah

Gambar 4 Pola aliran di dalam bejana tanpa buffle pada sistem pengadukan
dengan blade agitator (McCabe et al. 1993)

Static Mixer

Selama ini pada produksi biodiesel, peningkatan frekuensi tumbukan


dilakukan dengan menggunakan blade agitator yang memanfaatkan kerja dari
moving part. Pemakaian moving part tersebut perlu dihindari untuk mengurangi
pemakaian energi dan perawatan tambahan. Penambahan komponen mixer yang
bekerja statis dapat dilakukan untuk menghindari hal tersebut.
Pemakaian static mixer dalam produksi biodiesel telah dilakukan
sebelumnya oleh Alamsyah (2010). Dalam hal ini static mixer berfungsi untuk
mempermudah kerja katalis dalam mempercepat terjadinya reaksi antara
trigliserida dan metanol melalui proses pengadukan yang dilakukan oleh elemen
statis. Katalis yang digunakan oleh Alamsyah (2010) sebanyak 1% w/w, dan
menghasilkan metil ester sebesar 98.7% dalam waktu 20 menit. Dari kondisi
tersebut terlihat bahwa pemakaian katalis masih dapat diturunkan di bawah 1%
dengan bantuan pengadukan dari static mixer yang menciptakan pemecahan,
pembagian dan pembalikan aliran dengan tujuan mengurangi variasi bahan dan
menghasilkan campuran yang lebih homogen (Kenics 2007).
Energi kinetik yang tebentuk dari aliran (Nevers 1991) yang disebabkan
oleh geometri static mixer, akan menyebabkan partikel-partikel fluida yang
terbentuk menjadi lebih kecil, luas permukaan menjadi besar, sehingga frekuensi
tumbukan yang terjadi dalam reaktor akan semakin besar pula (Clark 2004) dan
13

pada kondisi temperatur yang sesuai akan mempercepat terjadinya reaksi antar
partikel campuran fluida (trigliserida dan metanol).
Static mixer merupakan suatu alat yang digunakan untuk mencampur dua
bahan fluida, umumnya fluida yang cair. Namun, juga digunakan untuk
mencampur gas, mencampur gas dengan cairan atau cairan dengan cairan yang
tidak terlarut. Perangkat ini terdiri dari elemen-elemen (umumnya berbentuk
heliks) yang berada di dalam tabung silinder. Elemen tersebut terbuat dari logam
atau sejenis plastik. Demikian pula, selubung mixer dapat dibuat dari logam atau
plastik. Jenis bahan konstruksi untuk komponen static mixer antara lain stainless
steel, polypropylene, teflon, kynar dan polyacetal.
Fluida yang mengalir terus-menerus melewati elemen static mixer akan
mengalami pencampuran dan pengadukan seolah-olah telah mengalami
pengadukan secara batch konvensional dalam tangki (Admix 2010a).
Keberhasilan proses pencampuran tergantung pada beberapa variabel antara lain
sifat fluida, diameter dalam tabung, jumlah elemen, dan desain. Desain geometrik
alat yang tepat dapat menghasilkan pola pembagian aliran dan pencampuran radial
sekaligus.

Pembagian aliran

Pencampuran radial

Gambar 5 Pembagian aliran dan pencampuran radial cairan di dalam static mixer
(Bor dan Thomas 1971).
14

Jumlah elemen
1 2 3 4 5

2 4 8 16 32
Jumlah pembagian

Gambar 6 Pembagian aliran di mixer adalah fungsi dari jumlah elemen dalam
static mixer (Bor dan Thomas 1971).

Proses pembagian aliran bahan (fluida) pada elemen mixer terjadi di bagian
tepi setiap elemen. Aliran yang terbagi tersebut akan mengikuti saluran yang
diciptakan oleh bentuk elemen mixer (heliks), kemudian mengalami pembagian
lagi pada bagian tepi elemen berikutnya sehingga mengakibatkan peningkatan
eksponensial dalam stratifikasi (jumlah bagian yang dihasilkan adalah 2 n dimana
'n' adalah jumlah elemen dalam mixer). Selain itu, geometri static mixer juga
menyebabkan terbentuknya aliran turbulen mikro, pencampuran radial (sirkulasi
dan rotasi bahan di sekitar pusat hidrolik) dan transfer momentum di setiap
saluran mixer.

Aliran laminar Aliran turbulen Pencampuran radial dan


Pembagian Pembalikan inersia transfer momentum

Layer = 2e Membentuk aliran Memaksa material berotasi pada


dimana e = jumlah turbulen mikro pusat hidroliknya
elemen

Gambar 7 Aliran fluida dalam static mixing reactor (Admix 2010b).

Proses pencampuran dan pengadukan yang terjadi di saluran static mixer


akan mengurangi atau menghilangkan gradien pada temperatur, kecepatan dan
komposisi bahan (Bor dan Thomas 1971; Admix 2010b).
15

Aliran Fluida dalam Pipa


Ada dua jenis aliran mantap dari fluida yang disebut aliran laminer dan
aliran turbulen. Dalam aliran laminer partikel-partikel fluidanya bergerak di
sepanjang lintasan-lintasan lurus, sejajar dalam lapisan-lapisan atau laminae.
Sedangkan pada aliran turbulen partikel-partikel bergerak secara serampangan ke
semua arah (Giles 1996).
Fluida yang mengalir dalam aliran yang turbulen memiliki energi kinetik
per satuan massa yang lebih besar jika dibandingkan dengan fluida yang mengalir
dengan kecepatan yang sama pada aliran yang tidak turbulen. Dengan demikian,
semakin meningkat intensitas turbulensi, maka “energi kinetik turbulen” akan
semakin besar. Energi kinetik turbulen membentuk aliran dari konversi viskositas
menjadi energi dalam (Nevers 1991).

Kinetika Reaksi Transesterifikasi

Laju Reaksi dan Orde Reaksi Transesterifikasi


Laju reaksi biasanya diukur dengan melihat berapa cepat konsentrasi suatu
reaktan berkurang pada waktu tertentu. Dengan melakukan percobaan yang
melibatkan reaksi antara A dan B, akan diperoleh bahwa laju reaksi berhubungan
dengan konsentrasi A dan B, seperti pada persamaan (1).

r = k[A]a[B]b ........................................................................................ (1)

dimana:
r = laju reaksi (mol s-1)
k = konstanta laju reaksi
A, B = konsentrasi reaktan yang bereaksi (mol)
a, b = orde reaksi terhadap A, B
Persamaan laju menunjukkan pengaruh dari perubahaan konsentrasi reaktan
terhadap laju reaksi. Faktor-faktor lainnya seperti temperatur, katalis (Clark 2004)
serta konstanta laju reaksi juga mempengaruhi laju reaksi. Dari persamaan (1)
terlihat bahwa laju reaksi dipengaruhi oleh pangkat dari konsentrasi A dan B yang
merupakan orde reaksi terhadap A dan B.
Penyelidikan sebuah reaksi bertujuan untuk menentukan model laju dan
konstanta laju reaksi, pada beberapa temperatur. Idealnya, langkah pertama adalah
16

mengidentifikasi semua produk dan menyelidiki apakah terdapat reaksi


intermediate dan reaksi samping yang terlibat. Penentuan laju reaksi
disederhanakan dengan metode isolasi pada konsentrasi seluruh reaktan yang
berlebih. Apabila salah satu reaktan memiliki kelebihan konsentrasi, maka
konsentrasi reaktan tersebut dapat dianggap konstan selama reaksi berlangsung
(Atkins 1990).
Apabila laju reaksi tersebut mengikuti model reaksi orde pertama, maka
menjadi persamaan (2)

= - k[A]1 ...................................................................................... (2)

Kemudian persamaan (2) tersebut diintegrasikan diantara limit waktu = 0 dan


waktu t dengan konsentrasi yang beragam dari konsentrasi awal [A] o pada waktu
nol ke [A] pada waktu setelahnya sehingga menghasilkan persamaan (3)

........................................................................... (3)

Dari hasil integrasi tersebut diperoleh persamaan (4)

atau ............................................................ (4)

(House 2007).
Kinetika reaksi pada sistem produksi biodiesel dalam reaktor dibuat
berdasarkan reaksi transesterifikasi overall, dengan asumsi bahwa reaksi
berlangsung irreversible karena reaktan (alkohol) yang digunakan sangat berlebih
sehingga konsentrasi dari alkohol selama reaksi dapat dianggap tetap. Pada
kondisi ini perubahan jumlah alkohol pada reaksi tidak akan mempengaruhi laju
reaksi (Utami et al. 2007).
Apabila model orde reaksi yang berlaku untuk keseluruhan reaksi adalah
orde kedua, maka persamaan laju reaksi setelah melalui teknik isolasi dengan
konsentrasi B yang berlebih akan memberikan hasil seperti persamaan (5)

= k [A]2 ......................................................................................... (5)

Model tersebut merupakan model pseudo orde kedua (Atkins 1990).


Model laju reaksi tidak selalu mengikuti persamaan kesetimbangan pada
suatu reaksi. Jika persamaan (5) diintegrasikan antara limit konsentrasi [A] o pada t
= 0 dan [A] pada waktu t, maka akan menghasilkan laju reaksi dengan persamaan
17

..................................................................................... (6)

Sama halnya pada suatu reaksi yang mengikuti model reaksi dengan orde
ketiga dan salah satu reaktannya dalam jumlah yang berlebih, maka setelah
melalui teknik isolasi akan memiliki persamaan seperti persamaan (7):

= - k[A]3 ....................................................................................... (7)

Jika persamaan diintegrasikan antara limit konsentrasi [A] o pada t = 0 dan [A]
pada waktu t, maka diperoleh hasil integrasi laju reaksi pada persamaan (8)

................................................................................. (8)

(House 2007).
Dari perhitungan laju reaksi tersebut, maka nilai konstanta laju reaksi
(tetapan laju) dapat ditentukan dengan cara memplotkan ke dalam grafik
hubungan antara perubahan konsentrasi (sesuai dengan model orde reaksi yang
sesuai) terhadap waktu.

Persamaan Arrhenius
Konstanta laju reaksi (tetapan laju) sebenarnya tidak benar-benar konstan.
Konstanta ini berubah, jika temperatur reaksi ataupun katalis yang digunakan
dalam reaksi diubah. Nilai konstanta laju reaksi dapat ditentukan dengan
menggunakan persamaan Arrhenius.

......................................................................................... (9)
Dimana:
- T : temperatur (Kelvin).
- R : konstanta atau tetapan gas (J K-1 mol-1)
- EA : energi aktivasi (kJ mol-1)
- A : Faktor frekuensi (mol-1)
A, merupakan faktor pre-eksponensial atau faktor sterik. A merupakan
istilah yang meliputi faktor seperti frekuensi tumbukan dan orientasinya. A sangat
bervariasi bergantung pada temperatur walau hanya sedikit. A sering dianggap
sebagai konstanta pada jarak perbedaan temperatur yang kecil.
Persamaan Arrhenius dapat dinyatakan dalam bentuk logaritmik seperti
pada persamaan (10)
................................................................................... (10)
18

Persamaan Arrhenius dapat digunakan untuk menggambarkan pengaruh dari


perubahaan temperatur pada tetapan reaksi dan laju reaksi. Jika misalkan tetapan
laju berlipatganda, maka laju reaksi juga akan berlipatganda. Utami et al. (2007)
dan Dasari (2003) telah membuktikan bahwa kenaikan temperatur berpengaruh
terhadap kenaikan konstanta laju reaksi atau dengan kata lain mempercepat
terjadinya reaksi. Faktor frekuensi (A) dalam persamaan ini kurang lebih konstan
untuk perubahaan temperatur yang kecil. Katalis akan menyediakan rute agar
reaksi berlangsung dengan energi aktivasi yang lebih rendah. Katalis adalah suatu
zat yang mempercepat suatu laju reaksi, namun ia sendiri, secara kimiawi, tidak
berubah pada akhir reaksi. Ketika reaksi selesai, akan diperoleh massa katalis
yang sama seperti pada awal ditambahkan (Clark 2004)
Salah satu faktor yang mempengaruhi kinetika reaksi pada proses ini adalah
pencampuran dan intensitas pengadukan. Sudah jelas bahwa kinetika yang
melibatkan reaksi dengan alkohol sangat dipengaruhi oleh intensitas pengadukan
reaktan di dalam campuran, karena proses ini terjadi pada sistem yang heterogen
dari dua fase yang tidak terlarut. Oleh karena itu diperlukan kondisi pengadukan
yang mampu meningkatkan yield biodiesel atau untuk mempersingkat waktu
proses, misalnya high shear mixer, reaktor dengan aliran yang berputar, dan
ultrasound reactor (Reyes et al. 2010).
METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Surya bagian Teknik Energi


Terbarukan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor. Penelitian dilaksanakan
mulai bulan Januari 2011 – Juni 2011. Analisis laboratorium dilakukan di
Laboratorium Pengujian, Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: minyak goreng kelapa
sawit (Refined Bleached Deodorized Palm Olein-RBDPO), metanol teknis dan
KOH PA (pro analysis). Bahan penunjang adalah akuades.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah prototipe static mixing
reactor (SMR) berkapasitas 3000 ml. Skematik static mixing reactor yang
digunakan dalam penelitian ini diperlihatkan oleh Gambar 8.
Tangki pengumpanan bahan 2

Pressure gauge

Gate valve 4 Reaktor


Ball valve 1 Gate valve 2

Heat exchanger
Heater

Tangki pengumpanan bahan 1


Tangki pengumpul 2
Pompa

E-86

Gate valve 1
Tangki pengumpul 1

Tangki air pendingin

Gate valve 3 Keran air

Produk

Gambar 8 Skematik static mixing reactor.


20

SMR terdiri dari beberapa bagian utama dengan fungsi yang berbeda, antara
lain:
1 Tangki pengumpul
Tangki ini berfungsi sebagai tempat untuk mengumpulkan bahan sebelum
bahan dialirkan melewati reaktor yang dilengkapi oleh static mixer dan heater.
Tangki yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 10 cm dan tinggi
40 cm, bahan SS304.
2 Tangki pengumpan
Tangki pengumpan berfungsi sebagai pintu pemasukan bahan dengan ukuran
diameter 10 cm dan tinggi 10 cm. Terbuat dari bahan stainless steel.
3 Pompa
Pompa berfungsi untuk mensirkulasikan bahan dari Tangki pengumpul
melewati Reaktor.
4 Reaktor
Reaktor berfungsi sebagai tempat yang menyediakan kondisi untuk terjadinya
reaksi (tumbukan, temperatur dan aliran). Reaktor yang digunakan berupa
pipa berdiameter 4.09 cm dengan panjang 34 cm, terbuat dari pipa SS304.
Elemen mixer yang terangkai di dalam reaktor berjumlah 6 elemen berbentuk
heliks dengan panjang masing-masing elemen heliks sebesar 4 cm dan terbuat
dari plat SS304.
5 Pemanas (heater)
Pemanas berfungsi untuk menyediakan panas yang dibutuhkan dalam proses
transesterifikasi. Pemanas yang digunakan berupa selimut (band heater) yang
menyelubungi dan dipasang pada dinding reaktor bagian luar.
6 Termostat digital
Termostat berfungsi sebagai pengatur dan pengontrol heater dalam
penyediaan panas untuk reaktor.
7 Termokopel
Termokopel berfungsi sebagai sensor temperatur pada reaktor. Termokopel
yang digunakan adalah tipe C/C dan tipe K.
21

8 Isolator
Isolator berfungsi untuk mengurangi kehilangan panas reaktor ke lingkungan.
Bahan yang digunakan sebagai isolator adalah glass wool dan sumbu kompor.
9 Control panel
Control panel digunakan untuk menempatkan tombol on-off pompa dan
termostat.

Gambar 9 Reaktor

Static mixer yang digunakan terdiri dari 6 elemen mixer berbentuk heliks.
Bentuk heliks tersebut dihasilkan melalui proses puntir dengan sudut puntir 90 o
pada masing-masing ujung plat yang digunakan sebagai bahan pembuat static
mixer dan dipuntir dengan arah yang berlawanan.

Gambar 10 Elemen static mixer


22

Jumlah elemen = 6 1 2 3 4 5 6
Gambar 11 Rangkaian elemen static mixer

Gambar utuh dari alat diperlihatkan pada Gambar 12.

Gambar 12 Alat (Static mixing reactor)

Peralatan penunjang yang digunakan antara lain: gelas ukur 250 ml


(ketelitian ±1 ml), labu reaksi, tabung Erlenmeyer, timbangan digital (merek
ADAM AQT-200 dengan tingkat ketelitian ±0.01 g), corong pemisah 300 ml,
corong, pH meter (merek HORIBA pH-ion meter F-23), evaporator dan botol
sampel 120 ml. Peralatan keamanan berupa masker, sarung tangan, dan kacamata
laboratorium (google).
23

Untuk menentukan kebutuhan daya pada pompa dan heater yang digunakan
pada alat, maka dilakukan perhitungan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1 Menghitung fraksi massa kedua bahan

................................................................................... (11)

................................................................................... (12)

Dimana,
mf1 = fraksi mol metanol
mf2 = fraksi mol minyak
nttl = n1 + n2
n1 dan 2 = mol metanol dan mol minyak (mol)
2 Menghitung nilai viskositas dan densitas campuran.
............................................................ (13)
........................................................... (14)
3 Menghitung kecepatan aliran fluida pada pipa dengan asumsi bahwa aliran
fluida memiliki bilangan Reynold sebesar 3000 (mendekati aliran turbulen).

........................................................................................ (15)

4 Menentukan Head total pompa.


Htotal = hkerugian + hstatis .................................................................... (16)
(Sularso dan Tahara 2000)

a Menghitung Head Kerugian


- Head kerugian gesek

1 Jalur pipa (hfg) (17)

f= ................................................................... (18)

(Streeter 1979)
2 Housing static mixer (hfgsm) = 0.45 m (Admix 1998)

- Head Kerugian pada Jalur Pipa (hfp) ..................... (19)

1 Ujung masuk pipa


f = 0,5 (Sularso dan Tahara 2000)
24

2 Belokan
f = 1.129 (Sularso dan Tahara 2000)
3 Pembesaran penampang secara mendadak
f=1 (Sularso dan Tahara 2000)
4 Pengecilan penampang secara mendadak
f = 0,48 (Sularso dan Tahara 2000)
5 Ujung keluar pipa
f=1 (Sularso dan Tahara 2000)

- Head Kerugian pada Katup (hfk) ......................... (20)

f = 0,09 (Sularso dan Tahara 2000)


- Head Static Mixer (hfm) ............................... (21)
f = 42.72 (menurut perhitungan dalam Admix 1998)
b Head Statis (hfs): perbedaan tinggi muka fluida di sisi isap dan di sisi
keluar.
Dari hasil perhitungan pada masing-masing head, maka head total yang
diperoleh dari alat dapat dihitunng dengan rumus
Ht = hfg + hfgsm + hfp + hfk + hfm + hfs ..................................... (22)
5 Kebutuhan Daya
a. Daya Fluida (Pf) = ρ g Q Ht ................................................... (23)
Q1 = Q2 = Q .......................................................................... (24)
............................................................................ (25)

Q = A.v .............................................................................. (26)

b. Daya Pompa (P) ............................................................ (27)

c. Perhitungan Daya Heater (Ph) = ......................................... (28)

q = m Cp ΔT ........................................................................ (29)

Prosedur Penelitian

Sistem produksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem batch,
dimana bahan (minyak, metanol dan KOH) dimasukkan seluruhnya sebelum
25

proses dijalankan. Minyak dipanaskan terlebih dahulu hingga mencapai


temperatur yang diinginkan. Sedangkan, katalis (KOH) dilarutkan ke dalam
metanol untuk menghasilkan larutan yang lebih homogen sebelum dimasukkan ke
dalam alat yang telah berisi minyak yang telah dipanaskan, kemudian proses
dijalankan.
Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan kajian pengurangan
pemakaian KOH. Dengan demikian perlu dibuat suatu kondisi demi tercapainya
tujuan tersebut. Kondisi-kondisi tersebut meliputi temperatur proses (30, 40 dan
60 oC), mol rasio (1:6 mol minyak:mol metanol), persentase KOH (0.3%, 0.4%,
dan 0.5% massa KOH/massa minyak) dan waktu pemutaran bahan (10, 20, dan 30
menit). Dengan sistem pengambilan sampel seperti pada Tabel 2.
Tabel 2 Pola pengambilan sampel
T (oC)
30 40 60
KOH (%)
0.3 √
0.4 √
0.5 √ √ √

Pengambilan sampel dilakukan pada perlakuan KOH (0.3%, 0.4%, dan


0.5%) untuk temperatur 60 oC dan pada perlakuan temperatur 30, 40, dan 60 oC
untuk KOH 0.5%. Waktu pengambilan sampel untuk masing-masing perlakuan
adalah 10, 20, dan 30 menit. Diagram alir penelitian yang dilakukan ditunjukkan
oleh Gambar 13:
26

Mulai

Input perlakuan:
temperatur,
%KOH, rasio mol

Bahan dimasukkan

Heater dan pompa


dinyalakan

Pengambilan
sampel

Pemisahan
gliserol

Pencucian

Pengeringan

- Analisis laboratorium
(angka asam, angka
penyabunan, dan gliserol
total).
- Menghitung %metil ester

Analisis data

Selesai

Gambar 13 Diagram alir penelitian.

Semua sampel dianalisis di laboratorium pengujian untuk mendapatkan


angka asam, angka penyabunan dan gliserol total. Dimana, angka asam
merupakan miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam bebas
di dalam satu 1 gram contoh biodiesel, angka penyabunan adalah banyak
miligram KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan satu 1 gram contoh
biodiesel, dan gliserol total adalah jumlah gliserol bebas dan terikat di dalam
sampel (gliserol bebas adalah gliserol yang terdapat dalam sampel dan gliserol
terikat adalah gliserol dalam bentuk mono, di, dan trigliserida di dalam sampel).
27

Dari ketiga parameter analisa tersebut, maka nilai metil ester dalam sampel
biodiesel dapat dihitung dengan menggunakan persamaan empiris (30):

................................... (30)

dengan pengertian:
As : angka penyabunan yang ditentukan dengan metoda AOCS Cd 3-25, mg
KOH/g biodiesel
Aa : angka asam yang ditentukan dengan metoda AOCS Cd 3-63, mg KOH/g
biodiesel.
Gttl : kadar gliserol total dalam biodiesel yang ditentukan dengan metoda Ca 14-
56, %-massa. (SNI 2006).

Dari ketiga perlakuan akan dilihat dan dianalisis pengaruhnya terhadap nilai
konversi reaksi, yield dan kinetika reaksi transesterifikasi.
1 Konversi reaksi
Konversi reaksi (α) untuk seluruh reaksi pada proses transesterifikasi
merupakan persentasi (dalam mol) reaktan (uME) yang dikonversikan
terhadap produk akhir (ME) per jumlah total minyak (dalam % mol):

........................................................ (31)

dimana CuME,0 = 100% (mol/mol), CuME,0 dan CuME,t merupakan konsentrasi


dari uME (unmethyl esterified) di dalam total sistem pada kondisi awal reaksi
dan setelah reaksi berlangsung selama waktu t.
2 Yields
Yield merupakan persentase massa ME (methyl esterified) di dalam produk
yang bereaksi per massa awal minyak.
3 Kinetika Reaksi Transesterifikasi
Konstanta laju reaksi merupakan nilai gradien (slope) pada garis linear yang
terbentuk dari hubungan antara perubahan konsentrasi reaktan (sesuai orde reaksi
yang berlaku selama proses transesterifikasi) terhadap waktu reaksi (pengambilan
sampel) untuk tiap temperatur reaksi yang digunakan. Dari nilai konstanta laju
reaksi ini dapat diperoleh nilai frekuensi tumbukan dan energi aktivasi dari reaksi
yang berlangsung. Kedua nilai ini diperoleh dari persamaan regresi yang
terbentuk pada grafik hubungan antara ln k terhadap 1/T, yang membentuk
persamaan (10) .
HASIL DAN PEMBAHASAN

Static Mixing Reactor

Analisis Kebutuhan Daya


Alat penelitian dirancang dan dibangun tanpa perhitungan rancangan
struktural yang rinci. Meskipun demikian, perhitungan lebih rinci untuk pompa
dan pemanas dilakukan agar proses dapat berlangsung dengan baik selama
percobaan. Berikut adalah hasil perhitungan nilai parameter yang dibutuhkan
dalam penentuan kebutuhan daya pompa dan pemanas.

Tabel 3 Nilai parameter hasil perhitungan

Parameter Nilai Satuan


Fraksi Minyak 0.143
massa Metanol 0.857
Minyak 2392 ml
Volume Metanol 608 ml
Total 3000 ml
μmix 9.31E-04 kg m-1 s-1
ρmix 794.23 kg m-3
νmix 6.217E-06 m2 s-1
mminyak 2.117 kg
q 134.95 kj
Ujung masuk pipa 2.1 m s-1
Belokan 1.9 m s-1
Laju Pembesaran penampang secara mendadak 2.1 dan 0.5 m s-1
aliran 4.7 dan 0.5 m s-1
Pengecilan penampang secara mendadak 0.5 dan 2.1 m s-1
Ujung keluar pipa 4.7 m s-1

Hasil perhitungan nilai head yang terjadi selama fluida mengalir terlihat
pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai head terbesar terjadi akibat
keberadaan static mixer pada pipa reaktor yaitu sebesar 19.19 m. Besarnya nilai
head ini disebabkan oleh elemen static mixer yang berbentuk heliks. Fluida yang
pada awalnya bergerak mengikuti jalur pipa mengalami tahanan pada saat
melewati elemen static mixer akibat bentuk elemen tersebut. Tahanan ini
29

menyebabkan terjadinya penurunan tekanan yang sangat besar pada aliran fluida
yang pada awalnya mendapatkan tekanan dari pompa (head pompa).
Tabel 4 Kebutuhan Head pompa

Head Nilai Satuan


Head kerugian gesek dalam pipa (hfg) 1.77 m
Head kerugian gesek housing static mixer 0.45 m
Head kerugian jalur pipa (hfp)
1. Ujung masuk pipa 0.11 m
2. Belokan 1.29 m
3. Pembesaran penampang secara mendadak 0.14 m
4. Pengecilan penampang secara mendadak 1.09 m
5. Ujung keluar pipa 1.14 m
Head kerugian pada katup (hfk) 0.12 m
Head Static mixer (hfm) 19.19 m
Head statis (hfs) 0.35 m
Head Total 25.65 m

Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai head total pada fluida (campuran


minyak dan metanol-KOH) yang mengalir sebesar 25.65 m. Dengan demikian,
maka pompa yang digunakan harus memiliki head tekan lebih besar dari head
total perhitungan. Sehingga pompa dapat bekerja dengan baik untuk menjalankan
fungsinya sebagai pengalir fluida melewati jalur pipa dan static mixer. Daya yang
dibutuhkan untuk mengalirkan fluida dan untuk memanaskan fluida dapat dilihat
pada Tabel 5.

Tabel 5 Kebutuhan daya berdasarkan perhitungan

Daya Nilai Satuan


Daya fluida (Pf) 119.72 W
Daya pompa (P) 171.03 W
Daya heater 856.26 W

Tabel 5 menunjukkan bahwa daya minimum yang dibutuhkan untuk


mengalirkan fluida sebesar 119.72 W dan daya minimum pompa sebesar 171.03
W. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan
pompa dengan daya sebesar 200 W. Sedangkan pemanas reaktor yang dipakai
sebesar 900 W.
30

Proses Produksi Biodiesel secara Katalitik dengan Static Mixing Reactor


Proses produksi biodiesel secara katalitik merupakan proses produksi yang
membutuhkan bantuan katalis untuk mempercepat terjadinya reaksi. Katalis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah katalis basa (KOH) dengan jumlah
pemakaian yang dikurangi dari kondisi biasa (Tabel 1) menjadi sebesar 0.3%,
0.4% dan 0.5% (w/w). Dalam produksi biodiesel, terdapat beberapa variabel yang
dapat mempengaruhi produk yang dihasilkan. Antara lain, temperatur, jumlah
katalis serta mol rasio antara reaktan dan pereaksi. Selain itu, terdapat faktor lain
yang juga sangat berperan dalam proses tersebut, yaitu faktor frekuensi tumbukan.
Tumbukan dapat ditingkatkan dengan peningkatan temperatur. Namun,
peningkatan temperatur akan menambah biaya produksi dan tumbukan yang
terjadi kurang optimal untuk menghasilkan reaksi. Karena, minyak dan metanol
merupakan larutan yang immiscible sehingga sangat sulit untuk bercampur. Oleh
karena itu, jika kedua bahan ini dicampur dan didiamkan, maka akan terbentuk
dua layer (layer minyak pada bagian bawah dan layer metanol di bagian atas).
Sehingga, apabila temperatur terus ditingkatkan untuk menghasilkan tumbukan,
maka metanol akan menguap (metanol merupakan fluida yang mudah menguap
meskipun di temperatur ruang, titik uap metanol berkisar 64.5 oC) dan reaksi akan
sangat sulit terjadi akibat perbedaan fase dari kedua bahan tersebut.
1 Pengaruh Static Mixing Reactor
Proses terjadinya tumbukan dapat dibantu melalui pengadukan. Alat yang
biasa digunakan adalah blade agitator. Proses pencampuran dengan blade
agitator terjadi karena putaran yang diciptakan oleh motor yang disalurkan
menuju blade agitator oleh batang pengaduk. Sistem pengadukan dengan alat ini
memiliki kelemahan yaitu, proses pencampuran sebagian besar terjadi di sekitar
pengaduk (blade) sehingga fluida yang berada jauh dari pengaduk kurang
mengalami pencampuran atau cenderung tidak tercampur (Livenspiel 1972).
Biasanya, untuk mengatasi masalah tersebut dilakukan dengan membuat putaran
yang sangat tinggi (rigorous stirring).
Proses pengadukan dengan putaran tinggi ini akan memudahkan terjadinya
kerusakan pada pengaduk. Karena, pengaduk harus memberikan gaya yang besar
terhadap fluida yang disalurkan oleh blade yang terdapat pada batang pengaduk.
31

Akibat tahanan yang diberikan oleh fluida yang diaduk (terlebih lagi fluida
yang diaduk memiliki viskositas yang tinggi), maka blade yang digunakan akan
mudah mengalami abrasi dan batang pengaduk akan mudah mengalami aus akibat
tahanan gesek pada saat batang pengaduk diputar.
Permasalahan tersebut dapat dikurangi oleh sistem pegadukan statis, karena
pada pengadukan statis proses pencampuran terjadi karena aliran fluida yang
melewati elemen pengaduk. Pengaduk melakukan fungsi pengadukan tanpa
menggerakkan elemen pengaduk dan proses pengadukan yang terjadi akan
menghasilkan produk yang lebih homogen, karena susunan elemen static mixer
membuat aliran mengalami pembelahan, pencampuran dan pembalikan selama
melintasi elemen-elemen tersebut.
Sistem pengadukan statis yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan
oleh elemen-elemen yang berbentuk heliks yang disusun sehingga dapat
menciptakan fungsi pembelahan, pencampuran dan pembalikan fluida. Fluida
yang mengalir melewati elemen ini akan terbagi menjadi beberapa lapisan aliran
yaitu sebesar 2 n aliran (n adalah jumlah elemen). Dalam penelitian ini digunakan
6 buah elemen sehingga ketika fluida keluar dari reaktor, maka seolah-olah fluida
telah mengalami pembelahan aliran sebanyak 32 kali. Apabila aliran dilewatkan
melalui elemen static mixer berulang kali, maka fluida akan mengalami
pencampuran yang lebih homogen dan seolah-olah telah mengalami pencampuran
dengan sistem batch konvensional dalam tangki.

Gambar 14 Pola pencampuran dalam static mixer (Kenics 1998)

2 Pengaruh Jalur Pipa dan Pompa


Bentuk sistem secara keseluruhan juga ikut berpengaruh terhadap proses
reaksi transesterifikasi dalam penelitian ini. Dimana, jalur pipa maupun pompa
32

sentrifugal yang digunakan dalam penelitian juga memungkinkan mempengaruhi


laju reaksi.
Pompa sentrifugal terdiri dari beberapa impeler yang berfungsi untuk
mengangkat fluida dari tempat yang lebih rendah ke tempat yang lebih tinggi.
Daya dari luar diberikan kepada poros pompa untuk memutarkan impeler.
Sehingga, fluida yang ada di dalam impeler ikut berputar karena adanya dorongan
dari sudu-sudu impeler dan mengalir dari tengah impeler ke luar melalui saluran
di antara sudu-sudu (Sularso dan Tahara 2000). Karena putaran tersebut,
campuran fluida (minyak dan metanol-KOH) dapat mengalami pencampuran di
dalam pompa (Alamsyah 2010).
Pada saat fluida mengalir masuk ke dalam tangki sebelum akhirnya dihisap
oleh pompa, juga terjadi reaksi dan pencampuran saat campuran fluida jatuh ke
dasar tangki dan membentur dinding tangki maupun pipa hisap pompa yang
berada di tengah-tengah tangki.
3 Produksi Biodiesel
Berikut adalah langkah-langkah dalam proses produksi biodiesel secara
katalitik: KOH dilarutkan ke dalam metanol terlebih dahulu sebelum dicampur
dengan minyak di dalam tangki pengumpul. Pemanas dan pompa dijalankan
sehingga variabel temperatur dan fungsi pengadukan dapat tercapai. Pengambilan
sampel dilakukan tiap 10 menit waktu pemutaran bahan. Sampel yang diambil
masih mengandung KOH, sisa metanol, dan gliserol. Oleh karena itu, biodiesel
kotor (crude biodiesel) harus dipisahkan terlebih dahulu dari gliserol dengan cara
diendapkan (didiamkan), kemudian biodiesel crude dicuci dengan menggunakan
akuades untuk memisahkan KOH dari biodiesel crude. Setelah dicuci, biodiesel
dikeringkan sehingga metanol yang masih tersisa bisa teruapkan.
33

(a) (b) (c) (d)


Gambar 15 Sampel (a) minyak (RBDPO), (b) biodiesel crude (layer atas) dan
gliserol (layer bawah), (c) biodiesel crude, dan (d) biodiesel

Untuk melihat bagaimana pengaruh static mixer terhadap produk yang


dihasilkan dapat dilihat dari nilai konversi reaksi, produksi metil ester dan yield
biodiesel yang dihasilkan selama reaksi berlangsung.

Konversi Reaksi
Nilai konversi reaksi dalam proses produksi biodiesel menyatakan
banyaknya jumlah trigliserida yang bereaksi membentuk biodiesel (% mol/mol)
(cara perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 8). Jumlah katalis dapat
mempengaruhi nilai konversi reaksi seperti yang terlihat pada Gambar 16.

120

100
Konversi (%mol/mol)

80

60 KOH= 0.3%

40 KOH= 0.4%
20
KOH = 0.5%
0
0 10 20 30
Waktu (menit)

Gambar 16 Konversi reaksi pada temperatur 60 oC dengan KOH 0.3 %, 0.4 %


dan 0.5 % (w/w).
34

Penggunaan KOH 0.3% sebagai katalis menyebabkan konversi reaksi lebih


rendah sejak awal proses jika dibandingkan dengan KOH 0.4% dan 0.5%. Pada
umumnya, penambahan katalis akan memberikan dampak yang besar terhadap
peningkatan konversi reaksi. Namun, konversi reaksi pada penggunaan KOH
0.4% tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan penggunaan KOH
0.5%. Hal ini membuktikan bahwa meskipun dilakukan penambahan katalis (dari
0.4% menjadi 0.5%) untuk perlakuan temperatur 60 oC dalam penelitian ini, maka
pengaruh yang diberikan tidak terlalu besar lagi.

100

80
Konversi reaksi (%mol/mol)

60
T = 30 C

40 T = 40 C
T = 60 C
20

0
0 10 20 30
Waktu (menit)

Gambar 17 Konversi reaksi pada KOH 0.5 % (w/w) dan temperatur 30, 40, 60 oC

Gambar 17 menunjukkan konversi reaksi tiap 10 menit waktu pemutaran


bahan pada temperatur yang berbeda yaitu 30, 40 dan 60 oC dengan perlakuan
jumlah KOH yang sama untuk ketiga perlakuan temperatur yaitu sebesar 0.5%
(w/w). Nilai konversi reaksi meningkat dengan meningkatnya temperatur reaksi.
Hal ini sesuai dengan teori distribusi Maxwell-Boltzmann, yaitu partikel-partikel
hanya dapat bereaksi ketika mereka bertumbukan. Jika suatu benda dipanaskan,
maka partikel-partikelnya akan bergerak lebih cepat sehingga frekuensi tumbukan
akan semakin besar. Hal ini akan mempercepat laju dari reaksi (Clark 2004).
Nilai konversi reaksi juga meningkat dengan bertambahnya waktu
pemutaran bahan (Gambar 17). Dengan menambah waktu pemutaran bahan
berarti campuran minyak dan larutan metanol-KOH mengalami peningkatan
intensitas pengadukan statis yang terjadi di dalam reaktor. Hal ini memberikan
dampak positif terhadap reaksi yaitu dapat meningkatkan frekuensi tumbukan.
35

Menurut Reyes et al. (2010), reaksi yang melibatkan campuran fluida yang
tidak terlarut membutuhkan intensitas pengadukan yang besar agar terjadi reaksi.
Dengan kata lain, jumlah reaktan yang terkonversi menjadi produk akan semakin
bertambah hingga mencapai kinerja maksimumnya. Nilai konversi reaksi tertinggi
terjadi pada temperatur 60 oC dengan waktu pemutaran bahan selama 30 menit,
yaitu sebesar 95.82% (mol/mol).
100
10 menit

95 20 menit
Kadar Produk (%)

30 menit
90

85

80

75
30 40 50 60
Temperatur (oC)
Gambar 18 Hubungan antara temperatur dan produk yang dihasilkan tiap waktu
pemutaran bahan

Peran static mixer dalam meningkatkan persentase produk terlihat melalui


proses pengadukan dan pencampuran dalam reaktor. Persentase produk meningkat
dengan meningkatnya waktu pemutaran bahan. Dengan kata lain, jika sirkulasi
bahan melewati static mixer ditingkatkan, maka pencampuran dan pengadukan
akan menjadi lebih baik.

Produksi Metil Ester dan Yield Biodiesel


Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah mengurangi pemakaian katalis.
Sehingga dengan sedikit jumlah katalis diharapkan akan mampu menghasilkan
metil ester yang masuk ke dalam standard SNI (min. 96.5 %w/w). Keberadaan
static mixer di dalam reaktor, diharapkan dapat membantu tercapainya tujuan di
atas. Dari hasil pengujian diperoleh nilai persentase metil ester tertinggi sebesar
95.82% (w/w) yang terjadi pada perlakuan KOH sebanyak 0.5 % (w/w) dan
temperatur 60 oC dengan waktu pemutaran bahan selama 30 menit.
36

Nilai metil ester yang dihasilkan memang berada sedikit di bawah nilai
standard SNI. Namun, nilai tersebut masih bisa dinaikkan dengan cara
meningkatkan intensitas tumbukan yang terjadi, yaitu dengan menambah waktu
pemutaran bahan ataupun dengan memperpanjang reaktor yang dilengkapi dengan
static mixer. Dengan demikian, kinerja sistem dapat dimaksimalkan dan
diharapkan menghasilkan % metil ester yang masuk standard SNI. Karena, grafik
konversi reaksi (Gambar 16) terlihat masih mengalami peningkatan walaupun
sudah mulai melambat.
Gambar 19 menunjukkan pengaruh konsentrasi katalis terhadap yield yang
dihasilkan. Yield merupakan persentase massa yang menunjukkan banyaknya
metil ester yang dihasilkan per massa minyak awal (cara perhitungan dapat dilihat
pada Lampiran 8). Dari Gambar 19 terlihat bahwa dengan temperatur yang sama
dan pemakaian jumlah katalis yang berbeda, mengahasilkan yield yang berbeda
pula yaitu nilai yield semakin meningkat karena adanya peningkatan jumlah
katalis.
Pengaruh katalis terlihat dari yield yang dihasilkan dalam waktu 10 menit
dengan KOH 0.3 % (88.76%), lebih kecil dari yield yang dihasilkan dengan KOH
0.4 % (94.23%). Katalis akan menyediakan rute agar reaksi berlangsung lebih
cepat. Sehingga, dengan menambah jumlah katalis dapat membantu mempercepat
terjadinya reaksi.
100

95
Biodiesel Yield % (w/w)

90
KOH = 0.3%
85 KOH = 0.4%
KOH = 0.5%
80

75
10 20 30
Waktu (menit)
Gambar 19 Hubungan antara yield biodiesel dan waktu pemutaran bahan
berdasarkan % KOH
37

Tabel 6 Data hasil penelitian

%
Suhu Waktu Konversi Yield
KOH ME (%)
(oC) (menit) (%mol/mol) (%w/w)
(w/w)
0.3 60 10 88.45 88.45 88.76
0.3 60 20 89.66 89.66 89.97
0.3 60 30 92.57 92.57 92.89
0.4 60 10 93.90 93.90 94.23
0.4 60 20 95.27 95.27 95.61
0.4 60 30 95.48 95.48 95.82
0.5 60 10 94.77 94.77 95.10
0.5 60 20 95.54 95.54 95.87
0.5 60 30 95.82 95.82 96.15
0.5 30 10 79.88 79.88 80.16
0.5 30 20 81.68 81.68 81.96
0.5 30 30 84.54 84.54 84.84
0.5 40 10 87.37 87.37 87.67
0.5 40 20 90.17 90.17 90.49
0.5 40 30 92.50 92.50 92.82

Untuk mengetahui lebih jelas mengenai pengaruh pemakaian static mixer


pada reaktor, maka perlu dianalisis mengenai kinetika reaksi transesterifikasi
selama reaksi berlangsung.

Kinetika Reaksi Transesterifikasi

Laju Reaksi
Laju reaksi kimia merupakan perubahan konsentrasi reaktan terhadap
waktu. Laju reaksi transesterifikasi dalam penelitian ini menunjukkan perubahan
nilai konsentrasi metil ester tiap menit pengambilan sampel (Gambar 20). Dari
gambar diketahui bahwa pembentukan metil ester pada 10 menit pertama
berlangsung sangat cepat.
38

100

Kadar metil ester (%mol/mol)


80

60
T = 30 C

40 T = 40 C
T = 60 C
20

0
0 10 20 30
Waktu (menit)

Gambar 20 Kadar metil ester tiap perlakuan suhu dengan KOH 0.5% selama 30
menit pada alat static mixing reactor

Berdasarkan hasil penelitian Alamsyah (2010) pada proses produksi


biodiesel dengan menggunakan blade agitator (Gambar 21), pembentukan metil
ester pada 10 menit pertama berlangsung lambat jika dibandingkan dengan
menggunakan static mixing reactor pada penelitian ini. Hal ini menunjukkan
bahwa esfektifitas proses pengadukan dengan menggunakan static mixing reactor
dalam menciptakan kondisi yang sesuai agar reaksi transesterifikasi dapat
berlangsung dengan cepat, lebih baik jika dibandingkan dengan blade agitator.

100

80
Kadar Metil Ester (% w/w)

60 T 50 C
T 55 C

40 T 60 C
T 65 C

20 T 70 C

0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (menit)

Gambar 21 Kadar metil ester (% w/w) tiap perlakuan suhu dengan KOH 1%
selama 30 menit pada alat blade agitator (Alamsyah 2010)
39

Orde Reaksi dan Konstanta Laju Reaksi


Besarnya laju reaksi dipengaruhi oleh konsentrasi reaktan itu sendiri dan
sebuah tetapan yang sering disebut dengan konstanta laju reaksi. Nilai konstanta
laju reaksi dihitung dengan menggunakan data konsentrasi bahan yang dihasilkan
melalui eksperimen dan orde reaksi yang berlaku selama reaksi transesterifikasi.
Data konsentrasi bahan yang diperoleh dari penelitian (tiap 10 menit pengambilan
sampel) adalah data metil ester (ME). Sehingga, data konsentrasi uME (unmethyl
esterified) dapat dihitung dan digunakan dalam perhitungan orde reaksi.
Penelitian mengenai transesterifikasi minyak kelapa sawit pada sistem
batch, telah dilakukan sebelumnya oleh Darnoko dan Cheryan (2000) yang
menggunakan katalis KOH 1% (w/w) dengan menggunakan reaktor yang
dilengkapi dengan magnetic stirrer. Penentuan nilai konstanta laju reaksi
dilakukan dengan menggunakan asumsi reaksi berlangsung dengan model pseudo-
orde kedua untuk kondisi awal, dan dilanjutkan dengan orde pertama atau orde
nol kinetika reaksi. Hal ini dilakukan karena distribusi pada menit ke 4 waktu
reaksi, konversi TG menjadi ME telah mencapai nilai 73% pada temperatur 50 oC
dan 82% pada temperatur 65 oC. Namun, pada menit selanjutnya kenaikan
nilainya melambat. Hal ini juga terlihat pada Gambar 21, ketiga perlakuan KOH
menunjukkan model yang sama dalam pembentukan metil ester. Dalam hal ini,
laju reaksi terlihat sangat cepat sebelum 10 menit pertama, kemudian melambat
setelah 10 menit. Meskipun konversi reaksi betambah setelah 10 menit, namun
kecepatan reaksinya sudah berkurang. Hal ini dijadikan sebagai dasar untuk
membuat asumsi bahwa kinetika reaksi mengikuti model reaksi orde lebih besar
dari satu.
40

120

100

Metil ester (% w/w)


80

60 KOH= 0.3%
40 KOH= 0.4%

20 KOH = 0.5%

0
0 10 20 30
Waktu (menit)

Gambar 22 Perubahan kadar metil ester tiap 10 menit pemutaran bahan pada
temperatur 60 oC

Dari hasil pengujian pada masing-masing model orde reaksi, diperoleh


bahwa model yang paling sesuai untuk menggambarkan reaksi transesterifikasi
secara keseluruhan (dari awal reaksi hingga 30 menit) dalam penelitian ini adalah
model reaksi pseudo-orde ketiga. Dengan persamaan dasar sebagai berikut:

................................................................................. (32)

Jika persamaan (32) diintegrasikan antara limit konsentrasi [uME] o pada t = 0 dan
[uME] pada waktu t, maka diperoleh hasil integrasi seperti pada persamaan (33)

...................................................................... (33)

uMEo menyatakan kondisi unmethyl esterified (%mol/mol) pada waktu awal (t =


0), uME menyatakan kondisi unmethyl esterified (% mol/mol) pada waktu t, k
adalah konstanta laju reaksi (1/menit) dan t adalah waktu (menit).
Dengan demikian, konstanta laju reaksi merupakan gradien yang terbentuk

dari garis linear hubungan antara dan waktu (t). Sehingga

diperoleh grafik seperti Gambar 23:


41

0.01

1/2(1/uME2-1/uMEo2)
0.008

0.006

0.004 y = 2.85E-04x - 2.02E-05


R² = 9.89E-01
0.002

0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (menit)

Gambar 23 Model reaksi transesterifikasi pseudo-orde ketiga pada perlakuan


temperatur 40 oC

Tabel 7 menunjukkan nilai konstanta laju reaksi (untuk semua perlakuan


dalam penelitian ini) yang diperoleh berdasarkan persamaan linear yang terbentuk
dari grafik.

Tabel 7 Konstanta laju reaksi


o
Suhu ( C) % KOH (w/w) k R2 ln k
30 0.5 0.0000638 0.92 -9.660
40 0.5 0.000285 0.99 -8.163
0.3 0.000279 0.95 -8.184
60 0.4 0.000823 0.91 -7.103
0.5 0.000924 0.88 -6.987

Tabel 7 menunjukkan bahwa penambahan katalis akan mempercepat laju


reaksi yang ditandai dengan meningkatnya nilai konstanta laju reaksi, sama
halnya dengan penambahan temperatur. Dengan menambah temperatur reaksi,
maka molekul-molekul reaktan akan menjadi lebih aktif sehingga memudahkan
terjadinya reaksi. Proses yang melibatkan penambahan temperatur terlihat lebih
cepat dibandingkan hanya melakukan penambahan katalis. Hal ini terlihat pada
nilai konstanta laju reaksi pada perlakuan KOH 0.5% pada temperatur 30 oC lebih
kecil jika dibandingkan dengan perlakuan KOH 0.3% pada temperatur 60 oC.
Sehingga, meskipun energi aktivasi dapat diturunkan malalui penambahan katalis,
namun jika molekul-molekul reaktan tidak memiliki energi kinetik yang sama
atau lebih besar dari nilai energi aktivasi, maka reaksi tidak akan terjadi. Energi
kinetik dapat ditingkatkan melalui pengadukan dan penambahan temperatur.
42

Energi Aktivasi dan Faktor Frekuensi Tumbukan


Reaksi akan terjadi jika semua molekul-molekul yang bertumbukan
memiliki energi yang cukup untuk bereaksi. Tumbukan yang mampu
menghasilkan reaksi adalah tumbukan yang efektif (terkait dengan orientasi
molekul atau faktor sterik). Jika tumbukan yang terjadi tepat atau memiliki
polaritas molekul reaktan yang sama, maka reaksi akan terjadi. Namun, jika
molekul yang bertumbukan memiliki polaritas molekul yang berbeda (salah satu
molekul dalam keadaan non-polar), maka meskipun tumbukan terjadi namun
reaksi tidak akan terjadi.
Sifat minyak yang pada awalnya non-polar dapat diubah secara kimia, yaitu
dengan cara penambahan katalis. Dimana, katalis KOH yang dilarutkan dalam
metanol akan melepaskan ion OH- pada metanol sehingga membentuk larutan
metoksida, kemudian larutan metoksida ini akan mengionisasi ikatan ester pada
minyak sehingga terlepas dari gliserol dan membentuk asam lemak metil ester.
Sedangkan ion K+ bereaksi dengan gliserol dan kemudian akan terpisah
membentuk gliserol dan KOH.
Selain faktor sterik dan tumbukan, syarat lain agar reaksi dapat terjadi
adalah energi kinetik total molekul harus sama atau melampaui energi aktivasi
yang dibutuhkan agar reaksi dapat terjadi. Atau dengan kata lain, molekul-
molekul yang bertumbukan harus memiliki energi yang cukup untuk memutuskan
ikatan-ikatan kemudian bereaksi. Peningkatan laju reaksi dapat dilakukan dengan
penambahan temperatur. Dengan menambah temperatur akan meningkatkan
energi rata-rata molekul sehingga jumlah molekul yang mencapai energi aktivasi
bertambah dan meningkatkan laju reaksi.
Dari nilai konstanta laju reaksi pada Tabel 7, maka nilai energi aktivasi
pembentukan biodiesel dan faktor frekuensi tumbukan yang terjadi selama reaksi
berlangsung dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Arrhenius (34):

ln k = lnA – ..................................................................................... (34)

A merupakan faktor frekuensi tumbukan, Ea adalah energi aktivasi, T adalah


temperatur perlakuan dan R adalah nilai konstanta gas. Nilai ln k dari Tabel 7
diplotkan ke dalam grafik terhadap temperatur (1/T), sehingga diperoleh grafik
43

seperti Gambar 24. Persamaan linear yang terbentuk dari grafik digunakan untuk
menghitung nilai A dan Ea.

0
2.9 3 3.1 3.2 3.3 3.4
-2

-4
ln k = -8.64(1/T) + 19,09
ln k

-6 R² = 0.95
-8

-10

-12
1/T x 103 (1/K)

Gambar 24 Penentuan nilai energi aktivasi dengan model reaksi pseudo-orde


ketiga

Dari grafik diperoleh persamaan Arrhenius sebagai berikut:

ln k = -8.64 (1/T) + 19.09..................................................................... (35)

Dengan menggunakan persamaan (35), maka nilai frekuensi tumbukan


dapat dihitung, yaitu sebanyak 1.95.108/menit. Nilai faktor frekuensi tumbukan
menunjukkan tingginya frekuensi terjadinya tumbukan antar partikel-partikel
fluida selama reaksi transesterifikasi berlangsung (mulai awal hingga akhir
pemutaran bahan), dengan energi aktivasi sebesar 71.83 kJ/mol atau setara dengan
17.17 kkal/mol. Berikut (Tabel 8) adalah beberapa hasil penelitian yang
menghitung energi aktivasi dalam proses produksi biodiesel secara katalitik dan
non-katalitik.
44

Tabel 8 Perbandingan energi aktivasi pada beberapa penelitian lain

Ea A Tahapan Model orde


Metode Sumber
(kJ mol-1) (menit-1) reaksi reaksi
Non-katalitik
Kusdiana dan
69 6.94 x 103 (supercritical
Saka (2001)
MeOH)
Non-katalitik
Pseudo-orde Joelianingsih
31 4.2 (superheated
pertama (2008)
MeOH)
60.77 1.18 x 108 TG  DG Pseudo-orde Darnoko dan
60.29 2.03 x 108 DG  MG kedua dan orde Katalitik Cheryan
27.02 2.78 x 103 MG  GL pertama atau nol (2000)
1.33 6.48 Awal Pseudo-orde Katalitik (static Alamsyah
16.71 8.89 Akhir pertama mixer) (2010)
Pseudo-orde Katalitik (blade Alamsyah
10.49 2.29
pertama agitator) (2010)
Pseudo-orde Katalitik (static
71.83 1.95 x 108 Penelitian ini
ketiga mixer)

Energi aktivasi dalam proses produksi dengan static mixing reactor dalam
penelitian ini cukup besar jika dibandingkan dengan beberapa penelitian lain. Hal
ini dapat disebabkan oleh perbedaan model orde reaksi yang digunakan dalam
perhitungan konstanta laju reaksi. Dalam penelitian ini, konstanta laju reaksi
dihitung dengan menggunakan model pseudo-orde ketiga mulai dari awal hingga
akhir reaksi, karena model inilah yang paling sesuai dengan data hasil penelitian.
Meskipun nilai energi aktivasi tinggi, namun reaksi tetap dapat terjadi
karena faktor frekuensi tumbukan yang besar, sehingga tumbukan yang berhasil
(mengahasilkan reaksi) cukup besar. Keberadaan static mixer dalam membantu
molekul-molekul reaktan untuk bereaksi terlihat dari faktor ini. Dimana, dengan
meningkatkan intensitas tumbukan dan disertai dengan temperatur yang sesuai,
maka molekul-molekul reaktan akan mendapatkan energi kinetik total yang sama
atau melebihi energi aktivasi. Dengan demikian, molekul-molekul reaktan yang
memiliki energi yang cukup untuk bereaksi bertambah sehingga reaksi dapat
berlangsung dengan cepat meskipun jumlah katalis yang digunakan sedikit.
Nilai-nilai tersebut (Tabel 8) dapat dibandingkan jika dilakukan perhitungan
dengan cara yang sama (menggunakan model orde reaksi yang sama). Apabila
perhitungan energi aktivasi dalam penelitian ini menggunakan orde kedua pada
tahap awal dan orde pertama pada tahap akhir, maka karena keterbatasan data,
perubahan konsentrasi reaktan (untuk perhitungan dengan dua tahapan orde
45

reaksi) selama reaksi berlangsung diperoleh dari persamaan dengan model orde
ketiga.

Tabel 9 Energi aktivasi dengan menggunakan dua tahap perhitungan

Ea A Tahapan Model orde


Metode Sumber
(kJ mol-1) (menit-1) reaksi reaksi
Pseudo-orde
37.87 1.14 x 104 Awal Katalitik (static
kedua dan orde Penelitian ini
0.92 3.8 x 10-2 Akhir mixer)
pertama atau nol

Dari Tabel 8 dan Tabel 9 terlihat bahwa, pemakaian model orde reaksi yang
berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pada nilai energi aktivasi dan faktor
frekuensi tumbukan. Sehingga, penentuan secara tepat mengenai model orde
reaksi yang dapat mewakili kondisi selama reaksi berlangsung sangat diperlukan
agar diperoleh data yang lebih baik. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan
dua tahapan orde reaksi diperoleh bahwa energi aktivasi dapat diturunkan menjadi
37.87 kJ mol-1 untuk tahap awal dan 0.92 kJ mol-1 untuk tahap akhir. Dari nilai
tersebut terlihat bahwa pada tahap awal molekul reaktan membutuhkan lebih
banyak energi dan pengadukan agar reaksi dapat berlangsung sedangkan pada
tahap akhir energi yang dibutuhkan sudah mulai menurun.
Kedua tahap reaksi tersebut dianggap sebagai dua tahap reaksi yang benar-
benar terpisah antara tahap awal dan akhir. Sehingga, untuk menggambarkan
model yang paling sesuai untuk keseluruhan reaksi mulai awal hingga akhir reaksi
pada penelitian ini adalah pseudo-orde ketiga.
Berbeda dengan penelitian Alamsyah (2010) yang menggunakan KOH
sebanyak 1% pada alat static mixing reactor. Energi aktivasi dapat diturunkan
hingga mencapai nilai 1.33 kJ mol-1 pada tahap awal dan 16.71 kJ mol-1 pada
tahap akhir. Sedangkan faktor frekuensi tumbukan yang terjadi sebesar 6.48
menit -1 pada tahap awal dan 8.89 menit -1 pada tahap akhir. Dari nilai tersebut
terlihat bahwa katalis memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap reaksi,
sedangkan tumbukan sangat kecil.
Pada alat yang dilengkapi blade agitator pada pemakaian KOH 1%
(Alamsyah 2010), nilai energi aktivasi sebesar 10.49 kJ mol-1 dan frekuenesi
tumbukan sebesar 2.29 menit -1. Kadaan ini juga memperlihatkan bahwa reaksi
yang terjadi sangat dipengaruhi oleh katalis. Dengan demikian, meskipun
46

tumbukan yang terjadi sedikit, namun dengan kaberadaan katalis yang cukup
banyak akan mampu menurunkan energi aktivasi, sehingga reaksi dapat
berlangsung.
Pada penelitian Kusdiana dan Saka (2001), reaksi dapat terjadi karena
kondisi supercritical methanol vapor dapat meningkatkan energi kinetik molekul-
molekul reaktan. Nilai energi aktivasi pada proses ini sebesar 69 kJ mol-1 dengan
faktor tumbukan sebesar 6.94 x 103 menit -1. Reaksi dapat terjadi karena kondisi
temperatur dan tekanan yang sangat tinggi membuat ikatan ester (rantai asam
lemak) pada minyak terlepas dari gliserol dan ikatan alkohol pada metanol juga
terlepas kemudian bereaksi dengan ester membentuk asam lemak metil ester
(biodiesel).
Berbeda dengan penelitian Darnoko dan Cheryan (2000) yang membagi
penentuan nilai energi aktivasi ke dalam tiga tahap yaitu, TG menjadi DG (60.77
kJ mol-1), DG menjadi MG (60.29 kJ mol-1), dan MG menjadi Gliserol (27.09 kJ
mol-1). Dari data tersebut terlihat bahwa energi aktivasi pada reaksi TG menjadi
DG dan DG menjadi MG dapat dikatakan sama, namun perubahan MG menjadi
GL terlihat lebih kecil. Hal ini dapat terjadi karena ketika TG menjadi DG
maupun DG menjadi MG, rantai ester masih kuat sehingga energi yang
dibutuhkan untuk melepaskan rantai tersebut harus besar. Namun pada saat MG
menjadi Gl, rantai ester sudah lebih mudah dilepas karena rantai ester yang
berikatan dengan reaktan sudah tinggal satu rantai.

Simulasi Pendugaan Waktu Proses Transesterifikasi


Sebelum 10 menit pertama, reaksi transesterifikasi berlangsung cepat. Oleh
karena itu, perlu dilakukan analisis reaksi yang berlangsung pada waktu tersebut.
Untuk mengetahui kinetika transesterifikasi yang berlangsung sebelum 10 menit
pertama, maka diperlukan data perubahan konsentrasi reaktan pada waktu
tersebut. Karena keterbatasan data, maka data tersebut disimulasikan dengan
menggunakan data yang ada, dan dengan asumsi yang telah ditentukan
sebelumnya yaitu reaksi yang terjadi mengikuti model reaksi pseudo orde ketiga,
sehingga diperoleh grafik seperti Gambar 25.
47

100

Kadar Metil ester (w/w)


80

60
Simulasi
40
Eksperimen
20

0
0 10 20 30
Waktu (menit)

Gambar 25 Hasil simulasi model reaksi pseudo-orde ketiga pada perlakuan


temperatur 60 oC dan KOH 0.5% w/w

Gambar 25 menunjukkan bahwa reaksi berlangsung sangat cepat kemudian


melambat setelah 10 menit. Hal ini membuktikan bahwa pengaruh katalis dan
pengadukan sangat terlihat sebelum 10 menit waktu pemutaran bahan, kemudian
melambat. Melambatnya laju reaksi ini dapat disebabkan oleh pengaruh katalis,
temperatur ataupun static mixer yang digunakan telah mendekati kinerja
maksimumnya. Untuk membuktikan bahwa hasil simulasi pada Gambar 25 dapat
menggambarkan keadaan sebelum 10 menit pertama, maka pola grafik
berdasarkan simulasi (untuk waktu 6 menit) dicocokkan dengan grafik yang
terbentuk pada 6 menit waktu reaksi hasil penelitian Frascari et al. (2009).
Dalam hal ini, Frascari et al. (2009) menggunakan alat yang dilengkapi
dengan static mixer, dan reaktor yang dilengkapi dengan mechanical agitation
(100 rpm) yang berfungsi untuk menyeragamkan temperatur di dalam reaktor.
Katalis yang digunakan adalah KOH sebanyak 0.8% (w/w) dan temperatur reaksi
sebesar 60 oC, dengan beberapa perlakuan kecepatan aliran bahan melewati static
mixer. Agar mendapatkan perbandingan yang lebih baik untuk masing-masing
perlakuan, maka Frascari et al. (2009) menggunakan nilai fraksi massa biodiesel
yang telah dinormalisasi (ωnorm). Nilai tersebut dihitung dengan persamaan (36):
........................................................................................... (36)

Dimana, ωnorm merupakan fraksi massa biodiesel yang telah dinormalisasi, ω


adalah fraksi massa biodiesel pada waktu t dan ωakhir adalah fraksi massa biodiesel
pada akhir pengambilan sampel (proses selesai). Dari persamaan (36) tersebut,
48

diperoleh nilai fraksi massa yang telah dinormalisasi, kemudian nilainya diplotkan
ke dalam grafik berdasarkan waktu (selama 6 menit). Hasilnya dapat dilihat pada
Gambar 26).

Gambar 26 Nilai fraksi massa biodiesel selama 6 menit waktu reaksi pada
perlakuan temperatur 60 oC (Frascari et al. 2009)

Dari Gambar 26 terlihat pola perubahan fraksi massa selama 6 menit waktu
reaksi. Dengan menerapkan persamaan yang sama dalam menghitung nilai fraksi
massa biodiesel yang dinormalisasikan, maka diperoleh grafik seperti Gambar 27.
1
norm. fraksi massa biodiesel

0.8

0.6

0.4

0.2

0
0 1 2 3 4 5 6
Waktu (menit)
Gambar 27 Hasil simulasi fraksi massa biodiesel selama 6 menit waktu reaksi
pada perlakuan temperatur 60 oC dan KOH 0.5% w//w

Nilai fraksi massa pada Gambar 27 merupakan nilai fraksi massa


berdasarkan simulasi yang telah dinormalisasikan. Dari gambar tersebut terlihat
bahwa pola grafik yang terbentuk dari hasil simulasi transesterifikasi (berdasarkan
fraksi massa) pada Gambar 27 mendekati pola grafik transesterifikasi yang terjadi
49

selama 6 menit waktu reaksi hasil penelitian Frascari et al. (2009). Sehingga,
Gambar 27 dianggap bisa mewakili data reaksi yang berlangsung selama 6 menit
waktu pemutaran bahan dan model reaksi pseudo-orde ketiga dapat digunakan
untuk menggambarkan kondisi sebelum 10 menit pertama.
Dengan menggunakan asumsi bahwa model tersebut juga dapat digunakan
untuk menggambarkan kondisi setelah 30 menit waktu pemutaran bahan. Maka,
waktu pemutaran bahan yang diperlukan agar metil ester yang dihasilkan
memenuhi SNI dapat disimulasikan. Berikut adalah hasil simulasi pendugaan
waktu pemutaran bahan (waktu proses) yang dibutuhkan untuk mendapatkan nilai
metil ester yang sesuai dengan SNI (minimal 96.5% w/w).

100
Kadar Metil ester (w/w)

80 SNI
(96.5 %)
60

40

20

0
0 10 20 30 40 50
Waktu (menit)
Gambar 28 Hasil simulasi nilai metil ester selama 50 menit waktu reaksi pada
perlakuan temperatur 60 oC dan KOH 0.5% w/w

Dari hasil simulasi dengan mengunakan persamaan model reaksi pseudo-


orde ketiga untuk menduga waktu pemutaran bahan (Gambar 28), maka diperoleh
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai nilai metil ester yang sesuai SNI pada
perlakuan temperatur 60 oC dan KOH 0.5% yaitu 44 menit. Dengan demikian,
untuk meningkatkan konversi reaksi, selain dengan cara menambah jumlah
pemakaian katalis atau meningkatkan temperatur, juga dapat dilakukan dengan
menambah waktu pemutaran bahan. Dengan kata lain, menambah intensitas bahan
(campuran) melewati static mixer sehingga mengalami pengadukan yang lebih
baik. Dan apabila seluruh perlakuan disimulasikan, maka akan diperoleh hasil
seperti Tabel 10.
50

Tabel 10 Simulasi waktu proses pencapaian nilai SNI


Suhu (oC) % KOH (w/w) t (menit)
30 0.5 639
40 0.5 143
0.3 146
60 0.4 50
0.5 44

Berdasarkan simulasi, pada perlakuan KOH 0.5%, waktu proses yang


dibutuhkan untuk mencapai metil ester yang sesuai SNI pada temperatur 60 oC
lebih cepat jika dibandingkan dengan temperatur 30 ataupun 40 oC. Hal ini
membuktikan bahwa temperatur memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap reaksi, yaitu kenaikan temperatur akan meningkatkan kecepatan reaksi
yang ditandai dengan waktu reaksi yang semakin cepat. Pada kondisi temparatur
yang sama, juga terlihat bahwa dengan penambahan jumlah katalis (KOH) maka
waktu reaksi juga semakin capat. Dimana, pada temperatur 60 oC, waktu
pencapaian nilai metil ester sesuai SNI pada perlakuan KOH 0.3% lebih lama
(146 menit) jika dibandingkan dengan perlakuan KOH 0.4 dan 0.5% (50 menit
dan 44 menit).
Pengaruh temperatur pada reaksi juga terlihat dari Tabel 10. Dimana,
pemakaian katalis dengan jumlah yang lebih besar (KOH 0.5%) namun
temperatur yang digunakan dalam proses tersebut lebih rendah (30 oC atau tanpa
pemanasan dengan heater), menghasilkan waktu reaksi yang jauh lebih lama (639
menit) jika dibandingkan dengan pemakaian KOH yang lebih rendah (KOH 0.3%
dan 0.4%) akan tetapi temperatur yang digunakan lebih tinggi (60 oC).
Apabila dibandingkan antara perlakuan KOH 0.4% dan 0.5% pada
temperatur yang sama (60 oC), maka waktu yang dibutuhkan hampir sama.
Dengan demikian, penambahan katalis dari 0.4% menjadi 0.5% dalam penelitian
ini, tidak terlalu berpengaruh terhadap waktu pencapaian nilai SNI. Sehingga, jika
dilihat dari segi konsumsi katalis yang tentunya akan menambah biaya produksi
baik dalam hal pencucian maupun pengurangan dampak lingkungan akibat
pemakaian katalis, maka pemakaian KOH dalam jumlah yang lebih rendah akan
sangat bermanfaat.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa:


1 Proses produksi biodiesel dengan menggunakan static mixing reactor dapat
dilakukan dengan baik. Hal ini terlihat dari nilai metil ester yang dihasilkan
pada menit ke 30 dengan dengan jumlah KOH yang dapat diturunkan menjadi
0.4% sudah mendekati nilai SNI.
2 Penambahan jumlah KOH dari 0.4% menjadi 0.5% w/w tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap nilai konversi reaksi, yaitu 95.48%
menjadi 95.82% mol/mol.
3 Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi metil ester dengan menggunakan
static mixing reactor dengan katalis KOH berlangsung mengikuti model
pseudo-orde ketiga.
4 Nilai konstanta laju reaksi transesterifikasi pada kondisi KOH 0.5%
meningkat terhadap temperatur yaitu 0.0000638 mol-1 pada suhu 30 oC
sampai 0.000924 mol-1 pada temperatur 60 oC. Peningkatan konstanta laju
reaksi pada temperatur 60 oC lebih signifikasn pada KOH 0.3% menjadi
0.4%, yaitu 0.000279 mol-1 menjadi 0.000823 mol-1 dibandingkan o,4%
menjadi 0.5%, yaitu 0.000823 mol-1 menjadi 0.000924 mol-1.
5 Nilai energi aktivasi sebesar 71.83 kJ/mol serta nilai faktor frekuensi
tumbukan sebesar 1.95 x 108/menit pada katalis KOH 0.5%.
6 Untuk mencapai nilai metil ester yang sesuai SNI, maka dibutuhkan waktu
proses yang lebih lama pada masing-masing perlakuan, yaitu:
- KOH 0.5% dan temperatur 30 oC selama 639 menit
- KOH 0.5% dan temperatur 40 oC selama 143 menit
- KOH 0.5% dan temperatur 60 oC selama 44 menit
- KOH 0.4% dan temperatur 60 oC selama 50 menit
- KOH 0.3% dan temperatur 60 oC selama 146 menit
52

Saran

Untuk mendapatkan konversi reaksi yang lebih besar, disarankan untuk


menambah waktu pemutaran bahan.
DAFTAR PUSTAKA

Admix. Admixer™ - For Sanitary Static Mixing & Blending.


http://www.admix.com/admixer_general.htm. [8 September 2010]
Admix. How the Admixer Static Mixer and Blender Works.
http://www.admix.com/admixer_how.htm. [8 September 2010].
Admix. 1998. Sizing the admixer TM Static mixer and sanitary static blender.
http://www.admix.com [8 September 2010].
Agarwal AK. 2006. Biofuels (Alcohols and Biodiesel) Applications as Fuels for
Internal Combustion Engines. Progress in Energy and Combustion Science.
33: 233-271
Alamsyah R, Tambunan AH, Purwanto YA, Kusdiana D. 2010. Comparison of
Static-Mixer and Blade Agitator Reactor in Biodiesel Production.
Agricultural Engineering International: the CIGR Ejournal Manuscript 7:
1566
Atkins PW. 1990. Physical Chemistry. Tokyo: Oxford University Press.
Bor, Thomas P. The Static Mixer as a Chemical Reactor, British Chemical
Engineering 16 (7). 1971. http://en.wikipedia.org/wiki/Static_mixer. [8
September 2010].
Clark J. Laju Reaksi. 2004. http://www.chem-is-try.org. [26 Oktober 2010].
Darnoko D and Cheryan M. 2000. Kinetics of Palm Oil Transesterification in a
Batch Reactor. JAOCS. 77: 1263 – 1267.
Dasari MA, Goff MJ, Suppes GJ. 2003. Noncatalytic Alcoholysis Kinetic of
Soybean Oil. JAOCS Press. 80 (2): 189 – 192.
Frascari D, Zuccaro M, Pinelli D, Paglianti A. 2009. Utilization of Static Mixers
in the Oil Transesterification Reaction for Biodiesel Production.
http://www.aicheproceedings.org [17 Juni 2011].
Gerpen JV. 2005. Biodiesel Precessing and Production. Fuel Processing
Technology. 86: 1097 – 1107.
Giles RV. 1993. Mekanika Fluida dan Hidraulika. Soemitro HW, Penerjemah;
Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Theory and Problems of Fluid
Mechanics and Hydraulics (SI-Metric) 2nd Edition.
Hamid T S, R Yusuf. 2002. Preparasi Karakteristik Biodiesel dari Minyak Kelapa
Sawit. Makara, Teknologi, Vol. 6, Jurusan Teknik Gas dan Petrokimia.
Fakultas Teknik. Depok: Universitas Indonesia.
Hong ST et al. 2009. Transesterification of Palm Oil Using Supercritical
Methanol with Co-Solvent HCFC-141 b. Res Chem Intermed. 35: 197 - 207
House JE. 2007. Principles of Chemical Kinetics. London: Elsevier.
Joelianingsih. 2008. Biodiesel Production from Palm Oil in a Bubble Column
Reactor by Non-Catalytic Process [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
54

Juan CJ, Kartika DA, Wu TY, Taufiq, Hing YY. 2011. Biodiesel production from
jatropha oil by catalytic and non-catalytic approaches: An overview .
Bioresource Technology. 102: 452 – 460.
Kenics. 1998. Static Mixing Technology, Chemeneer, Inc, Dayton, OH.
http://www.kenics.com. [8 september 2010]
Kenics. 2007. Kenics Mixing Technology, Chemeneer, Inc, Dayton, OH.
http://www.kenics.com. [8 september 2010]
Kim JW, Hong ST, Lim JS. 2007. Transeseerification of Palm Oil Using
Supercritical Methanol. Theories and Application of Chem. Eng. 13: 834 –
837.
Krisnangkura K, Sansa-ard C, Aryusuk K, Lilitchan S, Kittiratanapiboon K. 2010.
An Empirical Approach for Predicting Kinematic Viscosities of Biodiesel
Blends. Fuel. 89: 2775 – 2780.
Kusdiana D, Saka S. 2001. Development of Biodiesel Fuel Production by
Supercritical Methanol. Tokyo: Kyoto University, Sakyo-ku.
Levenspiel O. 1972. Chemical Reaction Engineering. New York. John Wiley &
Sons, Inc.
Ma F, Hanna MA. 1999. Biodiesel Production: a Review. Bioresource
Technology. 70: 1 – 15.
Marchetti JM, Miguel VU, Errazu AF. 2007. Possible Methods for Biodiesel
Production. Renewable and Sustainable Energy Reviews. 11: 1300 – 1311
Math MC, Kumar SP, Chetty SV. 2010. Technologies for Biodiesel Production
from Used Cooking Oil – A Review. Energy for Sustainable Development.
14: 339 – 345.
McCabe WL, Smith JL, Harriott P. 1993. Unit Operations of Chemical
Engineering. New York. McGraw-Hill,Inc.
Nevers N De. 1991. Fluid Mechanics for Chemical Engineers. New York:
McGraw-Hill.
Petchmala A, Yujaroen D, Shotipruk A, Goto M, Sasaki M. 2008. Production
methyl Esters from Palm Fatty Acids in Supercritical Methanol. Chiang Mai
J. Sci. 35(1): 23 – 28.
Reyes JF, Malverde PE, Melin PS, De Bruijn JP. 2010. Fuel. 89: 1093 – 3098.
SNI. 2006. Biodiesel. SNI 04-7182-2006. Badan Standardisasi Nasional. ICS
75.160
Streeter VL, Wylie EB. 1979. Fluid Mechanics. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha.
Sularso, Tahara H. 2000. Pompa dan Kompresor. Jakarta: Pradnya Paramita.
Tomoki H. 2008. Effects of Operating Conditions in Biodiesel Fuel Production
from Lowvalued Feed. Tokyo: Tokyo Institute of Technology.
55

Triwahyuningsih N, Adiprasetya R. 2009. Pemanfaatan Energi Biomassa sebagai


Biofuel Konsep Sinergi dengan Ketahanan Pangan. Yogyakarta: Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
USAID. 2009. Kebijakan Umum Provinsi Papua untuk Mempromosikan
Penanaman Modal di Bidang Bahan Bakar Nabati (BBN). Papua:
Development Alternatives, inc. USAID/Indonesia.
Utami TS, Arbianti R, Nurhasman D. 2007. Kinetika Reaksi Transesterifikasi
CPO terhadap Produk Metil Palmitat dalam Reaktor Tumpak. Fundamental
dan Aplikasi Teknik Kimia. ISSN 1410-5667.
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi. [11 September 2010].
Valle P, Velez A, Mabe G, Hegel P, Brignole AE. Biodiesel Production Using
Supercritical in Batch and Continuous Reactors. AIChE100.
Yadav PKS, Singh O, Sing RP. 2010. Palm Fatty Acid Biodiesel: Process
Optimization and Study of Reaction Kinetics. Journal of Oleo Science. 59
(11): 575 – 580.
Yoo HY, Simkhada JR, Cho SS, Park DH, Kim SW, Seong CN, Yoo JC. 2011. A
Novel Alkaline Lipase from Ralstonia with Potential Application in
Biodiesel Production. Bioresource Technology. 102: 6104–6111
56

Lampiran 1 Proses pabrikasi alat, komponen alat dan alat utuh

Bahan pembuatan static mixing reactor (pipa ss 304 1 ½ inch untuk pembuatan
reaktor, dan plat ss 304 1 ½ inch untuk pembuatan elemen heliks untuk static
mixer)

Proses pembuatan elemen static mixer

Elemen static mixer

Static mixer
57

Reaktor

Gambar alat secara utuh


58

Lampiran 2 Langkah-langkah penelitian

Berikut adalah langkah-langkah yang digunakan dalam proses pengambilan


sampel:
1 Semua bahan yang diperlukan (minyak, metanol dan KOH) dipersiapkan
sesuai dengan mol rasio dan persentasenya.
Dalam mempersiapkan metanol dan KOH, harus menggunakan peralatan
keamanan berupa masker dan sarung tangan khusus bahan kimia. Karena
metanol merupakan cairan yang dapat menguap pada temperatur ruang dan
berbahaya bagi pernafasan bila terhirup. Dan KOH merupakan jenis basa kuat
yang akan menimbulkan efek panas (kulit akan mengalami iritasi seperti luka
bakar) apabila terkena kulit. Proses penimbangan KOH juga harus dilakukan
dengan cepat dan diusahakan dilakukan dengan menggunakan timbangan
kedap udara, karena sifat KOH yang basa kuat tersebut sangat mudah
menyerap air yang berada di udara.
2 Bahan (minyak) dimasukkan ke dalam tangki pengumpul (khusus untuk
kondisi perlakuan temperatur 60 dan 40 oC, maka minyak harus dipanaskan
terlebih dahulu pada temperatur perlakuan)
Hal ini dilakukan agar proses pencapaian temperatur perlakuan untuk seluruh
bahan dapat berlangsung dengan cepat. Untuk perlakuan temperatur 30 oC
tidak dilakukan pemanasan pada minyak, karena percobaan dilakukan tanpa
menaikkan temperatur proses (tanpa pemanasan bantuan dari heater).
Temperatur 30oC merupakan panas yang timbul akibat reaksi yang terjadi
selama proses, dimana reaksi transesterifikasi tersebut merupakan reaksi
isotherm yang akan menghasilkan panas sebagai efek samping dari reaksi
kimia yang terjadi.
3 KOH dengan persentase yang telah ditentukan dilarutkan ke dalam metanol.
Tujuannya adalah untuk membentuk suatu larutan yang lebih homogen.
Karena KOH yang digunakan berbentuk pellet dan sulit larut di dalam
minyak. Agar katalis dapat bekerja lebih baik, maka KOH dicampur terlebih
dahulu dengan metanol (metanol dapat melarutkan KOH dengan baik).
Dalam melarutkan KOH ke dalam metanol harus menggunakan peralatan
59

4 kemanan tambahan yaitu kacamata khusus (google). Karena, apabila metanol


dicampur dengan KOH, akan menimbulkan panas (reaksi isotherm) oleh
karena itu gas hasil reaksi yang ditimbulkan selain berbahaya bagi
pernafasan, juga sangat berbahaya bagi penglihatan. Oleh karena itu, larutan
tersebut harus dicampur di dalam wadah labu ukur yang memiliki tutup.
5 Larutan KOH dan metanol (larutan metoksida) dimasukkan ke dalam alat
6 Setelah semua bahan masuk, maka katup feedstock ditutup. Temperatur
heater di-setting pada kondisi temperatur yang digunakan kemudian pompa
dijalankan.
7 Pengambilan sampel dilakukan tiap rentang waktu pengambilan sampel (10,
20, dan 30 menit waktu peutaran bahan).
8 Dilakukan pengukuran massa dan volume sampel yang diambil.
9 Sampel dimasukkan ke dalam corong pemisah dan didiamkan, sehingga
gliserol yang masih bercampur dengan biodiesel kotor dapat turun dan
membentuk lapisan sendiri pada bagian bawah.
10 Gliserol dipisahkan dari biodiesel kotor berdasarkan perbedaan berat jenis.
11 Biodiesel kotor dicuci dengan menggunakan air destilasi (akuades), untuk
membuang sisa KOH dan kotoran yang bercampur dengan biodiesel.
Pencucian dilakukan hingga PH air pencucian tidak basa.
12 Biodiesel kemudian dikeringkan dengan cara dievaporasi untuk
mengeringkan sisa air pencuci dan sisa metanol yang tidak bereaksi dari
produk. Pengeringan dilakukan pada temperatur 50 oC.
13 Biodiesel yang telah dikeringkan didiamkan di dalam corong pemisah untuk
mengendapkan air sisa pencucian yang belum kering. Kemudian air tersebut
dibuang melalui bagian bawah corong.
14 Dilakukan pengukuran massa dan volume produk yang dihasilkan.
15 Dilakukan analisis laboratorium untuk angka asam, angka penyabunan dan
gliserol total untuk menentukan kadar metil ester produk yang dihasilkan dari
percobaan.
Angka asam merupakan miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan
asam-asam bebas di dalam satu 1 gram contoh biodiesel. Angka penyabunan
adalah banyak miligram KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan satu 1
60

gram contoh biodiesel. Gliserol total adalah jumlah gliserol bebas dan terikat
di dalam sampel (gliserol bebas adalah gliserol yang terdapat dalam sampel
dan gliserol terikat adalah gliserol dalam bentuk mono, di, dan trigliserida di
dalam sampel)
Dari ketiga parameter analisa tersebut, maka nilai metil ester dalam sampel
biodiesel dapat dihitung dengan menggunakan persamaan empiris berikut:

............................. (37)

dengan pengertian:
- As : angka penyabunan yang ditentukan dengan metoda AOCS Cd 3-25,
mg KOH/g biodiesel
- Aa : angka asam yang ditentukan dengan metoda AOCS Cd 3-63, mg
KOH/g biodiesel.
- Gttl : kadar gliserol total dalam biodiesel yang ditentukan dengan metoda
Ca 14-56, %-massa.
Persentase metil ester yang memenuhi syarat SNI harus lebih besar dari
96.5% w/w (SNI 2006).
16 Menganalisis data yang diperoleh.
Dari ketiga perlakuan akan dilihat dan dianalisis pengaruhnya terhadap nilai
konversi reaksi, yield dan kinetika reaksi transesterifikasi.
1 Konversi reaksi
Konversi reaksi (α) untuk seluruh reaksi pada proses transesterifikasi
merupakan persentasi (dalam mol) reaktan (uME) yang dikonversikan
terhadap produk akhir (ME) per jumlah total minyak (dalam % mol):

........................................................ (38)

dimana CuME,0 = 100% (mol/mol), CuME,0 dan CuME,t merupakan konsentrasi


dari uME (unmethyl esterified) di dalam total sistem pada kondisi awal reaksi
dan setelah reaksi berlangsung selama waktu t.
2 Yields
Yield merupakan persentase massa ME (methyl esterified) di dalam produk
yang bereaksi per massa awal minyak.
61

3 Kinetika Reaksi Transesterifikasi


Konstanta laju reaksi merupakan nilai gradien (slope) pada garis linear yang
terbentuk dari hubungan antara perubahan konsentrasi reaktan (sesuai orde reaksi
yang berlaku selama proses transesterifikasi) terhadap waktu reaksi (pengambilan
sampel) untuk tiap temperatur reaksi yang digunakan. Dari nilai konstanta laju
reaksi ini dapat diperoleh nilai frekuensi tumbukan dan energi aktivasi dari reaksi
yang berlangsung. Kedua nilai ini diperoleh dari persamaan regresi yang terbentuk
pada grafik hubungan antara ln k terhadap 1/T, yang membentuk persamaan ln k =
lnA .
62

Lampiran 3 Persiapan bahan

KOH PA (85% KOH)

Penimbangan KOH

Melarutkan KOH di dalam metanol


63

Peralatan pengambilan sampel

Alat ukur sampel


64

Lampiran 4 Proses sampling

Sampel didiamkan hingga layer gliserol terbentuk

Gliserol

Produk dalam bentuk Crude Biodisel yang akan dicuci


65

Pencucian produk dengan akuades

Pengukuran PH air pencuci (PH air yang tidak basa menunjukkan pencucian telah
selesai)

Pengendapan sisa air pencuci

Biodiesel siap dianalisis di laboratorium pengujian


66

Lampiran 5 Metode pengujian menurut SNI 04-7182-2006

Parameter Metoda Uji


Massa jenis pada 40 °C ASTM D 1298
Viskositas kinematik pd 40 °C ASTM D 44
Angka setana ASTM D 613
Titik nyala (mangkok tertutup) ASTM D 93
Titik kabut ASTM D 2500
Korosi lempeng tembaga (3 jam pada ASTM D 130
50 °C)
Residu karbon (mikro) ASTM D 4530
- dalam contoh asli
- dalam 10 % ampas distilasi
Air dan sedimen ASTM D 2709 atau
ASTM D-1796
Temperatur distilasi 90 % ASTM D 1160
Abu tersulfatkan ASTM D 874
Belerang ASTM D 5453 atau
ASTM D-1266
Fosfor AOCS Ca 12-55
Angka asam AOCS Cd 3d-63 atau
ASTM D-664
Gliserol bebas AOCS Ca 14-56 atau
ASTM D-6584
Gliserol total AOCS Ca 14-56 atau
ASTM D-6584
Kadar ester alkil Dihitung*
Angka iodium AOCS Cd 1-25
Uji Halphen AOCS Cb 1-25

Catatan:

Dengan pengertian:
- As adalah angka penyabunan yang ditentukan dengan metoda AOCS
Cd 3-25, mg KOH/g biodiesel
- Aa adalah angka asam yang ditentukan dengan metoda AOCS Cd 3-63
atau ASTM D-664, mg KOH/g biodiesel.
- Gttl adalah kadar gliserol total dalam biodiesel yang ditentukan dengan
metoda Ca 14-56, %-massa.
67

Lampiran 6 Syarat mutu biodiesel ester alkil berdasarkan SNI 04-7182-2006

No Parameter Satuan Nilai


1 Massa jenis pada 40 °C Kg/m3 850 – 890
2 Viskositas kinematik pd 40 °C mm2/s (cSt) 2.3 – 6.0
o
3 Angka setana C min. 51
o
4 Titik nyala (mangkok tertutup) C min. 100
o
5 Titik kabut C maks. 18
6 Korosi lempeng tembaga (3 jam maks. no 3
pada
50 °C)
7 Residu karbon (mikro) %-massa
- dalam contoh asli, atau maks 0.05
- dalam 10 % ampas distilasi maks. 0.30
8 Air dan sedimen %-vol maks. 0.05*
o
9 Temperatur distilasi 90 % C maks. 360
10 Abu tersulfatkan %-massa maks. 0.02
11 Belerang ppm-m (mg/kg) maks. 100

12 Fosfor ppm-m (mg/kg) maks. 10


13 Angka asam mg-KOH/g maks. 0.8

14 Gliserol bebas %-massa maks. 0.02

15 Gliserol total %-massa maks. 0.24

16 Kadar ester alkil %-massa min. 96,5


17 Angka iodium %-massa (g-I2/100 g) maks. 115
18 Uji Halphen Negatif
Catatan dapat diuji terpisah dengan kandungan sedimen maksimum 0.01%-vol
68

Lampiran 7 Hasil analisis laboratorium

Angka Angka
% Gliserol
Suhu Waktu Penyabunan Asam
KOH Total ME (%)
(oC) (menit) (mg (mg
(w/w) (%)
KOH/g) KOH/g)
0.3 60 10 189 0.25 4.72 88.45
0.3 60 20 193 0.17 4.33 89.66
0.3 60 30 192 0.15 3.09 92.57
0.4 60 10 195 0.20 2.56 93.90
0.4 60 20 184 0.24 1.85 95.27
0.4 60 30 197 0.17 1.91 95.48
0.5 60 10 195 0.14 2.20 94.77
0.5 60 20 190 0.25 1.80 95.54
0.5 60 30 195 0.16 1.75 95.82
0.5 26 10 190 0.25 8.31 79.88
0.5 26 20 191 0.31 7.59 81.68
0.5 26 30 193 0.27 6.47 84.54
0.5 40 10 190 0.28 5.19 87.37
0.5 40 20 190 0.30 4.02 90.17
0.5 40 30 191 0.30 3.07 92.50
69

Lampiran 8 Penghitungan konversi reaksi dan Yield biodiesel

Temperatur = 60 oC
Waktu = 10 menit
Volume minyak = 2392 mL
MR minyak = 858 g/gmol
Massa minyak = 2143 g
= 0.250 gmol/menit
KOH (Kemurnian 85%) = 0.5% (w/w minyak)
= 2143 g x 0.5% / 85%
= 12.61 g
MR MeOH = 32 g/gmol
Karapatan MeOH = 0.79 g/cm3
Konsumsi MeOH = 640 mL
= 50.62 g/menit : 32 g/gmol
= 1.58 gmol/menit
Reaksi: (untuk 1 menit)
TG + 3MeOH → GL + 3ME
0.250
Kadar ME dalam produk = 94.77% w/w
Produksi biodiesel (MR ME sebesar 287) = 3 x 0.250
= 0.75 gmol/menit = 215.05 g/menit
ME dalam produk = 0.9477 x 215.05
= 203.81 g/menit = 0.71 gmol/menit
Minyak (TG) yang bereaksi = 1/3 x 0.71 gmol/menit
= 0.24 gmol/menit
= 203.10 g/menit
Konversion TG = (0.24/0.25) x 100%
= 94.77% mol/mol
Yield FAME = (massa FAME/ massa minyak) x 100%
= (203.81/214.3) x 100%
= 95.10% w/w
70

Lampiran 9 Penentuan konstanta laju reaksi

0.0025

0.002
1/2(1/TG2-1/Tgo2)

0.0015

0.001
y = 6.38E-05x + 2.10E-04
R² = 9.24E-01
0.0005

0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (menit)

Perlakuan temperatur 30 oC dan KOH 0.5% w/w

0.01

0.008
1/2(1/TG2-1/Tgo2)

0.006

0.004
y = 2.85E-04x - 2.02E-05
R² = 9.89E-01
0.002

0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (menit)

Perlakuan temperatur 40 oC dan KOH 0,5% w/w


71

0.01

0.008
1/2(1/TG2-1/Tgo2)

0.006

0.004
y = 2.79E-04x + 1.43E-04
0.002 R² = 9.50E-01

0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (menit)

Perlakuan temperatur 60 oC dan KOH 0.3% w/w

0.03

0.025
1/2(1/TG2-1/Tgo2)

0.02

0.015

0.01 y = 8.23E-04x + 2.69E-03


R² = 9.14E-01
0.005

0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (menit)

Perlakuan temperatur 60 oC dan KOH 0.4% w/w

0.035
0.03
1/2(1/TG2-1/Tgo2)

0.025
0.02
0.015
y = 9.24E-04x + 4.10E-03
0.01 R² = 8.80E-01
0.005
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (menit)

Perlakuan temperatur 60 oC dan KOH 0.5% w/w


72

Lampiran 10 Perbandingan antara hasil simulasi dan eksperimen untuk seluruh


perlakuan

100

80
% Metil ester (w/w)

60

40 Simulasi
Eksperimen
20

0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (menit)

Perlakuan temperatur 30 oC dan KOH 0.5% w/w

100

80
% Metil ester (w/w)

60

40 Simulasi
Eksperimen
20

0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (menit)

Perlakuan temperatur 40 oC dan KOH 0.5% w/w


73

100

80
% Metil ester (w/w)

60

40 Simulasi
Eksperimen
20

0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (menit)

Perlakuan temperatur 60 oC dan KOH 0.3% w/w


120

100
% Metil ester (w/w)

80

60
Simulasi
40 Eksperimen

20

0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (menit)

Perlakuan temperatur 60 oC dan KOH 0.4% w/w


74

120

100
% Metil ester (w/w)
80

60
Simulasi
40 Eksperimen

20

0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (menit)

Perlakuan temperatur 60 oC dan KOH 0.5% w/w

Vous aimerez peut-être aussi