Vous êtes sur la page 1sur 14

IMPLEMENTASI AKAD MUZARAAH PADA TANAH WAKAF

DI DKM BAITURROHIM, DUSUN BOJONGGENTENG, DESA


KERTAJAYA, KECAMATAN MANGUNJAYA, KABUPATEN
PANGANDARAN

Pipit Rahmawati
Universitas Siliwangi, Indonesia
Email: pipitrahmawati140@gmail.com

Yusep Rafiqi S.Ag., M.M.


Universitas Siliwangi, Indonesia
Email: yusefrafiqi@gmail.com
ABSTRACT

The practice of cooperating akad muzaraah on waqf land in DKM


Baiturohim began when there was one of its citizens who granted the paddy field
to DKM of 50 bricks. To avoid that the waqf land did not die, the DKM
administators took the initiative to surrender the land to be cultivated and
managed by akad muzaraah with the poor resident in the area. The practice of the
cooperating akad muzaraah in DKM Baiturrohim were carried out based on
customary practices, with provisionsfor profit sharing ½ for cultivator and ½ for
DKM, then the cultivator will add 15 Kg by DKM. Profit sharing from the
cooperation was taken from gross results, while based on Act No. 2 of 1960 on
profit sharing agreement, that profit sharing was divided based on net results.
This research has the formulation of the problem that will be studied,
namely how the implementation of akad muzaraah on waqf land in the DKM
Baiturrohim, bojonggenteng hamlet, kertajaya village, mangunjaya sub-district,
pagandaran district. The research used descriptive qualitative approach. In
collecting the data, there were two data: primary and secondary data that
collected by observation, interview, and documentation techniques. Then, the data
had been edited, checked, and collected carefully and arranged in a simple
manner which was then analyzed descriptively that aims to describe the practice
of implementing akad muzaraaha of waqf land in the DKM Baiturrohim.
In this study, it was concluded that the cooperaring of akad muzaraah was
carried out verbally and the profit sharring was taken from gross results, with
portion of profit sharring ½ for cultivator and ½ for DKM, and then the caltivator
will add 15 kg by DKM. So that the implementation of akad muzaraah on waqf
land in DKM Baiturrohim was carried out based on customary practices. But

1
2

there were gaps which were supposed to profit sharing is taken from the net
result, but in practice it is taken from gross result, even though there is an
addition of 15 kg for the cultivator, causing injustice for both parties both for
cultivators and for DKM.

Key words: Akad Muzaraah, Waqf Land

ABSTRAK
Praktek kerja sama akad muzaraah pada tanah wakaf di DKM Baiturrohim
berawal ketika ada salah satu warganya yang mewakafkan tanah sawah kepada
DKM seluas 50 bata. Untuk menghindari agar tanah wakaf tersebut tidak mati,
sehingga para pengurus DKM berinisiatif untuk menyerahkan tanah tersebut
untuk digarap dan dikelola dengan akad kerja sama muzaraah bersama penduduk
kurang mampu yang berada di lingkungan tersebut. Praktek kerja sama akad
muzaraah di DKM Baiturrohim dilakukan berdasarkan adat kebiasaan, dengan
ketentuan bagi hasil ½ untuk penggarap dan ½ untuk DKM, kemudian penggarap
akan ditambah sebanyak 15 Kg oleh DKM. Bagi hasil dalam kerja sama tersebut
diambil dari hasil kotor, sedangkan berdasarkan Undang Undang nomor 2 tahun
1960 tentang perjanjian bagi hasil, bahwa bagi hasil dibagi berdasarkan hasil
bersih.
Penelitian ini memiliki rumusan masalah yang akan dikaji yaitu bagaimana
implementasi akad muzaraah pada tanah wakaf di DKM Baiturrohim, Dusun
Bojonggenteng, Desa Kertajaya, Kecamatan Mangunjaya, Kabupaten
Pangandaran. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.
Sedangkan data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder yang
dilakukan dengan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi, yang kemudian
data tersebut diedit, diperiksa dan disusun secara cermat serta diatur sedemikian
rupa yang kemudian dianalisis secara deskriptif yang bertujuan untuk
mendeskripsikan praktek implementasi akad muzaraah pada tanah wakaf di DKM
Baiturrohim, Dusun Bojonggenteng, Desa Kertajaya, Kecamatan Mangunjaya,
Kabupaten Pangandaran.
Dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa akad akad kerja sama
muzaraah dilakukan secara lisan dan bagi hasil diambil dari hasil kotor, dengan
porsi bagi hasil ½ untuk penggarap dan ½ untuk DKM, yang kemudian penggarap
akan ditambah sebanyak 15 Kg oleh DKM. Sehingga implementasi akad
muzaraah pada tanah wakaf di DKM Baiturrohim dilakukan berdasarkan adat
kebiasaan, namun terdapat kesenjangan yaitu yang seharusnya bagi hasil diambil
dari hasil bersih, tetapi pada prakteknya diambil dari hasil kotor, walaupun ada
penambahan sebanyak 15 Kg untuk penggarap. Sehingga menyebabkan adanya
ketidak adilan untuk kedua belah pihak baik untuk penggarap maupun untuk
DKM.

Kata Kunci : Akad Muzaraah, Tanah Wakaf


3

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama


Islam, sehingga memiliki kesadaran beragama yang tinggi, salah satunya adalah
kesadaran untuk berwakaf. Ajaran wakaf berpeluang besar dalam peningkatan
ekonomi, karena wakaf memiliki peranan penting sebagai salah satu instrumen
dalam pemberdayaan ekonomi umat, terlebih lagi potensi wakaf yang ada di
Indonesia begitu besar. Berdasarkan data dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),
pada bulan Maret 2016 Indonesia memiliki tanah wakaf seluas 4.359.443.170 m2.1
Tanah wakaf yang sangat luas tersebut merupakan aset potensial yang dapat
memberikan keuntungan yang sangat besar apabila dikelola secara produktif.
Keuntungan dari hasil wakaf tanah tersebut dapat digunakan untuk program
kesejahteraan masyarakat, seperti pengentasan kemiskinan, bantuan pendidikan,
bantuan kesehatan, dan lain-lain. Dengan demikian, wakaf yang dikelola secara
produktif tersebut akan menjadi salah satu solusi dalam megatasi keterpurukan
ekonomi masyarakat dan menjadi salah satu alternatif pengentasan kemiskinan.

Pengelolaan wakaf tanah secara produktif dapat dilakukan melalui


beberapa model investasi, salah satunya adalah investasi dengan akad muzaraah
(kerja sama lahan pertanian). Muzaraah adalah suatu akad kerja sama antara dua
orang, dimana pihak pertama sebagai pemilik tanah menyerahkan tanahnya
kepada pihak kedua sebagai penggarap, untuk diolah sebagai tanah pertanian dan
hasilnya dibagi diantara mereka sesuai kesepakatan bersama pada saat akad.2
Menurut Mustafa Ahmad Salafi sebagaimana yang dikutip Rozalinda,
mengemukakan bahwa kerja sama akad muzaraah pada tanah wakaf dapat
dilakukan dengan cara menanami tanah wakaf untuk pertanian atau perkebunan,
baik dengan cara menyewakan maupun dengan cara kerja sama bagi hasil3,
dimana nazhir berperan sebagai pemilik lahan dan pihak lain sebagai petani
penggarap, dengan pembagian hasil menurut kesepakatan, namun demikian harus

1
Bwi.or.id
2
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (cet. 3; Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 394.
3
Rozalinda, Manajemen Wakaf Produktif (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015), hlm. 179-180.
4

didasarkan kepada nilai keadilan dan pertimbangan yang ma’ruf dalam


masyarakat4.

Setelah melakukan studi pendahuluan di DKM Baiturrohim, Dusun


Bojonggenteng, Desa Kertajaya, Kecamatan Mangunjaya, Kabupaten
Pangandaran, terdapat seluas 299 bata tanah wakaf, dimana 46 bata digunakan
untuk mesjid, 30 bata digunakan untuk madrasah dan 223 bata diinvestasikan
dengan akad muzaraah dengan penduduk setempat. Pada tahun ini, tanah tersebut
digarap oleh 5 orang penduduk dengan luas tanah wakaf yang berbeda-beda. Porsi
bagi hasil pada kerja sama tersebut adalah sebesar ½ untuk mauquf ‘alaih (DKM)
dan ½ untuk penggarap, kemudian akan ditambah sebanyak 15 Kg untuk
penggarap.

Bagi hasil dalam kerja sama di atas diambil dari penghasilan kotor, yang
dalam hal ini belum dikurangi oleh biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses
bercocok tanam hingga panen, baik itu biaya untuk benih, pupuk, peralatan, dan
lain-lain5. Sedangkan berdasarkan Undang-undang nomor 2 tahun 1960 tentang
perjanjian bagi hasil pasal 1 huruf d, bahwa yang dimaksud dengan hasil tanah
“ialah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap termaksud
dalam huruf e pasal ini, setelah dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta
biaya untuk menanam dan panen”.6 Lebih lanjut dikemukakan dalam penjelasan
undang-undang tersebut, bahwa “hasil tanah ialah hasil bersih, yaitu hasil kotor
setelah dikurangi biaya untuk bibit pupuk, ternak, dan biaya untuk tandur dan
panen”.7

Dari permasalahan yang penulis uraikan di atas, terdapat permasalahan


yang bisa diidentifikasi yaitu bagi hasil dari kerja sama akad muzaraah di atas

4
Dahwan, “Pengelolaan Benda Wakaf Produktif”. Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. IX, No.
1, Juni 2008, hlm.79-80.

6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, Bab 1,
Pasal 1, hlm. 1.
7
Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian
Bagi Hasil, hlm., 3.
5

diambil dari penghasilan kotor yang belum dikurangi oleh biaya-biaya yang
dikeluarkan selama proses bercocok tanam hingga panen.

Dari permasalahan yang bisa diidentifikasi tersebut, maka penulis tertarik


untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengenai permasalahan tersebut.
Oleh karena itu, peneliti mengangkat sebuah judul “Implementasi Akad Muzaraah
pada Tanah Wakaf di DKM Baiturrohim, Dusun Bojonggenteng, Desa
Kertajaya, Kecamatan Mangunjaya, Kabupaten Pangandaran”.

KERANGKA TEORITIS

Akad Muzaraah

1. Pengertian akad muzaraah


Muzaraah secara bahasa memiliki dua arti, yaitu tharh al-zur’ah yang
berarti melemparkan tanaman dan al-hadzar yang berarti modal.8 Sedangkan
menurut istilah muzaraah adalah suatu cara untuk menjadikan tanah pertanian
menjadi produktif dengan bekerja sama antara pemilik dan penggarap dalam
memproduktifkannya, dan hasilnya dibagi diantara mereka berdua dengan
perbandingan (nisbah) yang dinyatakan dalam perjanjian atau berdasarkan urf
(adat kebiasaan).9
2. Bagi hasil dalam akad muzaraah menurut Undang-undang nomor 2 tahun
1960 tentang perjanjian bagi hasil
Menurut Undang Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi
hasil, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian bagi hasil ialah “perjanjian
dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada suatu pihak dan
seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam undang-undang ini
disebut “penggarap” berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan
oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah
pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak”. Sedangkan
yang dimaksud dengan hasil tanah pada undang-undang ini adalah “hasil

8
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011), hlm. 153.
9
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (cet. 3; Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 392.
6

usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap termaksud dalam huruf


e pasal ini, setelah dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk
menanam dan panen”.10 Lebih lanjut dikemukakan dalam penjelasan undang-
undang tersebut, bahwa “hasil tanah ialah hasil bersih, yaitu hasil kotor setelah
dikurangi biaya untuk bibit pupuk, ternak, dan biaya untuk tandur dan
panen”.11

Wakaf

1. Pengertian wakaf
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf
dirumuskan, bahwa wakaf adalah perbuatan hukum waqif untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariat.12
2. Macam-macam wakaf berdasarkan penggunaannya, dibagi menjadi dua:
a. Wakaf langsung, yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk
mencapai tujuannya13 atau wakaf yang pelayanannya diberikan kepada
orang-orang yang berhak secara langsung, seperti wakaf masjid sebagai
tempat shalat, sekolah untuk tempat belajar dan rumah sakit untuk
mengobati orang sakit. Pelayanan langsung ini benar-benar dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat secara langsung.14
b. Wakaf produktif, yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk
kepentingan produksi baik dibidang pertanian, perindustrian, perdagangan
dan jasa yang manfaatnya bukan pada benda wakaf secara langsung tetapi

10
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, Bab
1, Pasal 1, hlm., 1.
11
Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian
Bagi Hasil, hlm., 3.
12
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Bab 1, Pasal 1, hlm.
1.
13
M. Athoillah, Hukum Wakaf (Wakaf Benda Bergerak dan Tidak Bergerak dalam Fikih dan
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia) (Bandung: Penerbit Yrama Widya, 2014),hlm.
31.
14
Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas Rida
(Jakarta: Khalifa, 2005), hlm. 22-23.
7

dari keuntungan bersih yang merupakan hasil pengembangan harta wakaf


tersebut yang kemudian diberikan kepada orang-orang yang berhak sesuai
dengan tujuan wakaf.15
3. Model pengelolaan wakaf pada sektor riil dengan investasi muzaraah16
Menurut Mustafa Ahmad Salabi sebagaimana yang dikutip oleh
Rozalinda bahwa investasi harta wakaf dalam bentuk tanah pertanian dapat
dilakukan dengan cara menanami tanah wakaf untuk pertanian atau
perkebunan baik dengan cara menyewakan maupun dengan cara kerja sama
bagi hasil, seperti muzaraah dan musaqah, ataupun nazhir sendiri yang
mengelola tanah tersebut.

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif.


Dalam hal ini penulis melakukan penelitian dengan menggambarkan atau
memaparkan keadaan suatu objek (fenomena) yang alamiah secara sistematis
sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat penelitian dilakukan.

Sumber Data

Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer adalah nazhir
wakaf serta para petani penggarap yang melakukan kerja sama muzaraah dengan
nazhir di DKM Baiturrohim, Dusun Bojonggenteng, Desa Kertajaya, Kecamatan
Mangunjaya, Kabupaten Pangandaran. Adapun yang menjadi sumber data
sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen lain yang mendukung
dalam penelitian untuk memperkuat informasi mengenai implementasi akad
muzaraah di DKM Baiturrohim, Dusun Bojonggenteng, Desa Kertajaya,
Kecamatan Mangunjaya, Kabupaten Pangandaran.

15
Ibid., hlm. 23
16
Rozalinda, Manajemen Wakaf Produktif (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015), hlm. 177-
184.
8

Teknik dan Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam


penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.17
Adapun Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis, yaitu dengan
pengamatan langsung (observasi), interview (wawancara) dan dokumentasi.

Uji Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis berperan sebagai alat utama dalam


menetapkan fokus penelitian hingga membuat kesimpulan atas penelitian yang
telah dilakukan. Adapun instrumen lainnya yang digunakan penulis yaitu berupa
pedoman wawancara, alat wawancara dan alat pengambilan gambar (kamera foto
dan video).

Uji Kredibilitas Data

Dalam penelitian ini, uji kredibilitas data yang digunakan oleh penulis
yaitu uji kredibilitas data triangulasi sumber dan triangulasi teknik.

Nazhir Petani Penggarap

Warga
Masyarakat

Bagan Triangulasi Sumber

17
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Penerbit Alfabeta,
2017), hlm. 224.
9

Wawancara Observasi

Dokumentasi

Bagan Triangulasi Teknik

Teknik Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan penulis yaitu menurut Miles dan


Huberman yang dikutip oleh Sugiyono, yakni: data reduction (reduksi data), data
display (penyajian data) dan conclusion drawing/verification.18

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan yaitu telah dilaksanakan dari dari bulan
Desember 2018 sampai dengan bulan Juli 2019. Sedangkan tempat yang dijadikan
penulis dalam melakukan penelitian ini yaitu di DKM Baiturrohim, Dusun
Bojonggenteng, Desa Kertajaya, Kecamatan Mangunjaya, Kabupaten
Pangandaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Implementasi Akad Muzaraah pada Tanah Wakaf di DKM Baiturrohim


Dusun Bojonggenteng, Desa Kertajaya, Kabupaten Pangandaran

1. Latar Belakang Kerja Sama Akad Muzaraah


Praktek kerja sama akad muzaraah pada tanah wakaf di DKM
Baiturrohim sudah berlangsung sejak lama yaitu sekitar tahun 1980, hal

18
Sugiyono, Metode Penelitian dan Pengembangan (Research and Development)/ R&D,
(Bandung: Alfabeta CV, 2017), hlm. 369.
10

tersebut bermula ketika ada salah satu warga setempat yang bernama bah
japawira mewakafkan tanah sawah kepada DKM seluas 50 bata.
Latar belakang adanya kerja sama ini adalah untuk menghindari agar
tanah wakaf yang ada tidak mati, sehingga para pengurus DKM berinisiatif
untuk menyerahkan tanah tersebut untuk digarap dan dikelola dengan akad
kerja sama muzaraah bersama penduduk kurang mampu yang berada di
lingkungan tersebut dengan kurun waktu 1 tahun. Adanya akad kerja sama
tersebut bertujuan untuk membantu penduduk yang kurang mampu dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, meskipun penduduk tersebut tidak bisa
menggarap pada setiap tahunnya dikarenakan pada saat itu jumlah tanah
wakaf yang ada masih sangat sedikit dan tanah wakaf tersebut digarap secara
bergiliran dengan penduduk lainnya.
2. Proses Terjadinya Kerja Sama Akad Muzaraah
Proses terjadinya kerja sama akad muzaraah pada tanah wakaf di DKM
Baiturrohim, berjalan ketika ada yang mewakafkan berupa tanah sawah atau
tanah perkebunan kepada DKM, yang kemudian oleh DKM (nazhir) wakaf
akan dikerjasamakan bersama warga setempat yang kurang mampu dengan
tujuan untuk membantu mereka, walaupun kerja sama tersebut dilaksanakan
secara bergiliran antara warga yang satu dengan warga yang lainnya.
a. Perjanjian Kerja Sama
Dalam hal penunjukkan penggarap, nazhir wakaf menyerahkan
sepenuhnya kepada ketua rt untuk menunjuk warganya yang kurang
mampu agar dapat menggarap tanah wakaf tersebut. Oleh karena itu,
perjanjian kerja sama ini dilakukan antara ketua RT dengan warganya
(penggarap) secara langsung bertatap muka dengan menggunakan
perjanjian lisan dengan ketentuan:
1) Waktu kerja sama selama 2 kali panen (1 tahun)
2) Benih dan biaya ditanggung penggarap
3) Hasil dibagi 2, kemudian akan ditambah 15 Kg untuk penggarap
Sedangkan untuk tanah wakaf yang luasnya sedikit seperti tanah
wakaf dengan luas 10 bata dan 8 bata, perjanjian kerja samanya dilakukan
11

antara nazhir dan penggarap. Berbeda halnya dengan tanah wakaf yang
penunjukkan penggarapnya diserahkan kepada ketua rt dimana ketua rt
akan menyerahkan tanah wakaf tersebut kepada warga yang kurang
mampu, sedangkan tanah wakaf yang jumlahnya sedikit ini diserahkan
kepada warga yang memiliki tanah garapan dekat dengan tanah wakaf
tersebut, karena jumlah luasnya yang sedikit itu sehingga akan tanggung
apabila digarap oleh orang lain.
Perjanjian kerja sama antara nazhir dengan warga (penggarap)
sama halnya dengan perjanjian kerja sama yang dilakukan antara ketua rt
dengan warga (penggarap), hanya saja tidak disebutkan batasan waktu
berakhirnya kerja sama tersebut.
b. Pembagian Hasil, Biaya dan Kerugian
Bagi hasil dari kerja sama akad muzaraah di DKM Baiturrohim ini
dilakukan dengan sistem maro yaitu ½ untuk penggarap dan ½ untuk
DKM, bagi hasil tersebut diambil dari hasil kotor. yang hasilnya langsung
diserahkan kepada pihak DKM, kemudian nantinya penggarap akan
ditambah oleh DKM sebanyak 15 Kg. Tujuan DKM menambah penggarap
sebanyak 15 Kg yaitu untuk mengganti biaya-biaya yang telah dikeluarkan
oleh dirinya. Penambahan 15 Kg tersebut tidak berpengaruh kepada
seberapa banyak hasil yang didapatkan oleh penggarap, dalam artian
berapa pun hasil yang didapatkan oleh penggarap, penambahannya tetap
15 Kg. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan penggarap,
penambahan 15 Kg dari pihak DKM, sebenarnya tidak mampu menutupi
biaya yang dikeluarkan oleh dirinya, terlebih lagi ketika dirinya
mengalami kerugian yang disebabkan oleh hama.
Terkait dengan biaya yang dikeluarkan selama proses bercocok
tanam, baik itu untuk benih, pupuk, tandur dan mesin (traktor) hanya
ditanggung oleh penggarap saja, pihak DKM sendiri tidak tahu menahu
mengenai hal itu.
Adapun ketika terjadi kerugian/gagal panen yang disebabkan oleh
hama, biaya tetap ditanggung oleh penggarap saja, karena itu sudah
12

menjadi resiko penggarap dan merupakan bencana bagi para petani, karena
sejatinya tidak ada yang menginginkan bencana tersebut.
Walaupun mengalami kerugian dan mendapatkan hasil yang
sedikit, para penggarap tetap memberikan hasilnya kepada DKM
meskipun biaya yang telah mereka keluarkan tidak tertutupi. Sedangkan
penggarap yang mengalami gagal panen total, sehingga belum bisa
memberikan bagi hasil kepada DKM.
Meskipun begitu, para penggarap hanya bisa menerima dengan
ikhlas kebijakan itu, dan para penggarap menganggap hal itu sebagai
bentuk shadaqah dirinya kepada DKM.
c. Manfaat dan penggunaan hasil pengelolaan harta wakaf
Adanya kerja sama akad muzaraah ini memiliki manfaat, baik itu
untuk masyarakat (penggarap) maupun untuk DKM. Dengan adanya kerja
sama tersebut masyarakat yang kurang mampu merasa terbantu dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, meskipun kerja sama ini dilakukan secara
bergilir antar warga yang kurang mampu. Sedangkan manfaat yang
diperoleh DKM yaitu adanya tambahan pemasukan untuk kas DKM yang
dapat digunakan untuk:
1) 30% dari bagi hasil kerja sama tersebut digunakan untuk guru ngaji
dan imam-imam mushola yang berada di bawah naungan DKM ini
yaitu muhsola Al-Hidayah, mushola Baiturrohman, dan mushola Al-
Furqon.
2) Rp. 250.000 pertahun disalurkan untuk kesejahteraan mushola yang
ada dibawah naungan DKM Baiturrohim
3) Kemudian sisanya digunakan untuk pembangunan DKM Baiturrohim,
termasuk di dalamnya sarana dan prasarana masjid.
13

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan dengan metode


observasi, wawancara dan dokumentasi yang diperoleh dari nazhir, penggarap,
aparat desa dan masyarakat DKM Baiturrohim, Dusun Bojonggenteng, Desa
Kertajaya, Kecamatan Mangunjaya, Kabupaten Pangandaran, dapat penulis
simpulkan bahwasanya akad kerja sama muzaraah dilakukan secara lisan dan bagi
hasil diambil dari hasil kotor, dengan porsi bagi hasil ½ untuk penggarap dan ½
untuk DKM, yang kemudian penggarap akan ditambah sebanyak 15 Kg oleh
DKM. Sehingga implementasi akad muzaraah pada tanah wakaf di DKM
Baiturrohim dilakukan berdasarkan adat kebiasaan, namun terdapat kesenjangan
yaitu yang seharusnya bagi hasil diambil dari hasil bersih, tetapi pada prakteknya
diambil dari hasil kotor, walaupun ada penambahan sebanyak 15 Kg untuk
penggarap. Sehingga menyebabkan adanya ketidak adilan untuk kedua belah
pihak baik untuk penggarap maupun untuk DKM.
Saran

Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan lebih memperdalam teori mengenai


pengelolaan wakaf secara produktif melalui akad muzaraah.

DAFTAR PUSTAKA

Muslich, Ahmad Wardi. 2015. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.


Bwi.or.id
Dahwan, Pengelolaan Benda Wakaf Produktif. Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama,
Vol. IX, No. 1, Juni 2008.
M. Athoillah. 2014. Hukum Wakaf (Wakaf Benda Bergerak dan Tidak Bergerak
dalam Fikih dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia). Bandung:
Penerbit Yrama Widya.
Rozalinda. 2015. Manajemen Wakaf Produktif. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Suhendi, Hendi. 2011. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
14

Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1960


tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian
Bagi Hasil.
Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Penerbit Alfabeta.
. 2017. Metode Penelitian dan Pengembangan (Research and
Development). Bandung: Alfabeta CV.
Mundzir Qahaf. 2005. Manajemen Wakaf Produktif. Terj. Muhyiddin Mas Rida
Jakarta: Khalifa.

Vous aimerez peut-être aussi