Vous êtes sur la page 1sur 12

SENADA 2018 STD BALI

 
 
SENI DAN ESTETIKA KOMODITIFIKASI DI PASAR SENI
SUKAWATI

Wayan Gede Budayana

budayana.wayan.email@gmail.com
Program Studi Desain Komunikasi Visual
Sekolah Tinggi Desain Bali

ABSTRACT
Bali has a long history as an island populated by people who have a communal
lifestyle. The way of life Balinese people becomes a distinct phenomenon from
dynamics of culture and social araund the wordl. From the beginning, Balinise
community was know as an agrarian society that also had artistic intuition. The
Balinese people make artistick avtivities as an expression of piety, gratitude and
entertainment. These are the things that made Bali well know to the word, amagnet
for travelers, artists, culturists and other to come to Bali.
Then Bali became a favorite tourist spot, and is realized by the
government and ist people as an economic opportunity. Contruction and
infrastructure was renewed to support tourism industry thus enhancing the appeal
of Bali. But all those changes come bearing problems; social, enveroment and
economy related. To name a few are culture degradation, change in lifestyle and
the alteration of wellestablished structure of original local Balinese art and culture,
since they were turned into business. In the beginning, tourism spot in Bali marked
the commencement of art and culture, commoditized. There were art galleries,
kiosks selling various souvenir products for tourism needs. One of the very popular
places as shopping destination is Sukawati art market. The art market that
propides a variety of products such as paintings, sculptures and also tekxtiles
complete with jewelry trinkets.
Sukawati art market is one of the cultural phenomena that accurered in
Bali. Aesthetic imagery that is fully explored to produce souvenir products for the
fulfillment of tourism needs, with little attention to the technique or the media. Like a
standardization for quality artwork. This souvenir industry reinforces the image of
Bali as a rapidly growing and popular tourist destination. But this rapid
depelovment is not well managed, due to the lack of understanding between
society and the goverment about the essence of art itself. How art and culture
should be properly managed as art and art only, not as commodity. What happens
now is that there is some sort of confusion about the management of art as culture
assets and artifacts and art as profane business products.
Gives of the vibe as if art in Bai nowadays has no intellectual value as part
of their original culture, just a commodity to explore and sell. Thus why the
understanding between the government and the people concerning art needs to be
balance.
Keyword : Art, aesthetic,market, souvenir

ABSTRAK
Bali memiliki sejarah yang panjang sebagai pulau yang dihuni oleh
masyarakatyang mempunyai satu pola hidup komunal.Cara hidup masyarakat Bali
menjadi satu fenomena tersendiri dari dinamika kebudayaan, dan cerita sosial
yang terjadi di dunia. Dari awal masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat
agraris, yang juga memiliki intuisi seni yang tinggi.Masyarakat Bali menjadikan
kegiatan kesenian sebagai satu ekspresi kesalehan, rasa syukur, serta hiburan.
Hal ini yang kemudian membawa Bali dikenal dunia, dan menjadi magnet untuk
para pelancong, seniman, budayawan dan lain sebagainya untuk datang ke Bali.

268
SENADA 2018 STD BALI
 
 
Kemudian Bali menjadi tempat wisata terfavorit, dan hal ini disadari oleh
pemerintah dan masyarakatnya sebagai peluang ekonomi. Wajah Bali berubah
dengan dibangunnya berbagai infrastruktur penunjang industri wisata. Dan hal itu
juga dibarengi dengan munculnya berbagai persoalan yang membelit
Bali.Persoalan yang menjadi efek dari satu perubahan; baik itu persoalan sosial,
lingkungan dan ekonomi.Degradasi budaya, pola hidup masyarakat yang berubah,
serta fenomena indutri kreatif yang merubah struktur nilaidari seni dan budaya Bali
yang sudah terbangun sebelumnya dengan baik, sebagai wujud lokal jenius.Dunia
pariwisata Bali di awal-awal, banyak melahirkan tempat-tempat yang menjadi
penanda dimulainya seni dan budaya yang dikomudifikasi. Muncul galeri-galeri
seni, kios-kios yang menjual berbagai prodak suvenir untuk kebutuhan pariwisata.
Salah satu tempat yang sangat populer sebagai destinasi wisata belanja, adalah
pasar seni Sukawati. Pasar seni yang menyediakan berbagai macam prodak yang
berbau seni, seperti lukisan ,patung, dan juga tersedia prodak tekstil lengkap
dengan pernak-pernik perhiasan
Pasar seni Sukawati adalah salah satu fenomenadari dinamika kebudayan
yang terjadi di Bali. Citra estetika yang diekplorasi sepenuhnya untuk
menghasilkan prodak suvenir, untuk pemenuhan kebutuhan pariwisata. Kemudian
teknik dan media yang tidak begitu dipikirkan, sebagai standarisasi dari penciptaan
karya seni yang berkualitas. Industri suvenir ini memperkuat citra Bali sebagai
tempat wisata yang berkembang pesat dan populer, namun sangat disayangkan
perkembangn yang pesat ini tidak terkelola dengan baik, akibat dari kurang
seimbangnya pemahaman masyarakat dan pemerintah tentang esensi kesenian.
Bagaimana seharusnyaseni dan budaya dikelola dengan baik sebagai kebutuhan
seni untuk seni, dan seni yang dikomuditifikasi untuk kebutuhan pariwisata.Maka
yang terjadi sekarang adalah ada semacam kerancuan tentang pengelolaan benda
seni sebagai aset dan artifak kebudayan, dengan seni-seni yang memang
diciptakan untuk tujuan profan.Sehingga terkesan seni itu tidak memiliki nilai
intelektualitas sebagai bagian dari kebudayaan, kesannya benda seni hanya
menjadi objek ekplorasi komudifikasi.Dan hal ini perlu diseimbangkan oleh semua
pihak seperti pemerintah dan juga termasuk masyarakat Bali sendiri.
Kata kunci : Seni, estetika, pasar, souvenir

PENDAHULUAN
Seni merupakan suatu ekspresi yang disampaikan oleh manusia dengan
menggunakan media tertentu. Unsur seni tampaknya sudah mulai dikenal sejak
zaman manusia yang masih hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan
makanan tingkat lanjut. Bukti- bukti arkeologis yang berupa lukisan dinding gua (
Rock art) telah ditemukan di berbagai tempat di Nusantara seperti di Kabupaten
Maros Sulawesi Selatan, Pulau Seram Maluku, dan Papua. Lukisan–lukisan pada
dinding gua ini dimaksudkan tidak saja mengandung nilai-nilai estetis semata
tetapi lebih kepada aspek makna religius magis sebagaimana ditunjukkan oleh
adanya lukisan seekor babi yang pada punggungnya tertancap anak panah yang
menurut Van Heekeren merupakan sebuah pengharapan agar dalam berburu
selalu mendapat hasil ( Ardika, Parimartha, Wirawan,2013:71), sejak zaman
prasejarah seni merupakan satu bentuk ekspresi dari manusia untuk
menyampaikan ungkapan-ungkapan doa dan harapan,seperti apa yang terjadi di
Nusantara, seni menjadi bagian integral dari perkembangan kebudayaan
masyarakat yang masih ada sampai saat ini. Apa yang terjadi di berbagai tempat di
Nusantara salah satunya masih ada dan berkembang di Bali.Bali menjadi salah
satu tempat yang memiliki social history yang berkaitan erat dengan seni dan
kesenian yang bersifat komunal, apa yang dilakukan oleh leluhur orang Bali yang
berkenaan dengan Seni dari dulu, adalah bentuk dari rasa spiritualitas yang
tinggi,seni menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keseharian hidup orang
Bali,di berbagai sudut tempat baik bangunan suci, rumah pribadi, kantor-kantor
pemerintahan,atau balai banjar tempat berkumpulnya masyarakat untuk

269
SENADA 2018 STD BALI
 
 
melakukan kegiatan adat, baik itu yang berkenaan dengan upacara-upacara di
pura, maupun upacara di rumah masing-masing anggota masyarakat. Dibanyak
tempat di Bali bahkan memiliki komunitas-komunitas kesenian yang hidup dan
berkembang menjadi identitas dari masyarakat di berbagai desa di Bali, baik itu
berupa seni tari, seni tabuh, seni teater,seni patung dan seni lukis bahkan
termasuk seni kriya. Seni lukis sebagai seni ekpresif terdiri atas penyusunan cita-
cita di dalam pengertian garis dan warni diatas bidang dua dimensi. Demikian
definisi yang diberikan oleh pelukis Prancis, Maturice denis (akhir abad ke-19),
sebagaimana halnya dengan seni tari dan kerawitan maka seni lukis Bali pun tidak
luput dari pengaruh Agama Hindu dan Buddha baik yang asal Bali maupun yang
datang dari jawa setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit,karena seni lukis itu
diabadikan untuk kepentingan agama, maka tema lukisan yang sangat dominan
ialah ada hubungannya dengan mitologi dan hikayat dewa- dewa yang pada
umumnya berwujud wayang. Lukisan- lukisan wayang di atas kain yang kini
menjadi suatu kekhasan di Desa Kamasan (klungkung) mempunyai banyak
kesamaan dengan Wayang Beber yang terdapat di daerah Pacitan Jawa Timur, (
Ardika, Paramartha, Wirawan,2013:339), seni lukis Wayang Kamasan adalah
salah satu gaya seni lukis yang dimiliki Bali, selain itu ada gaya seni lukis Ubud
dan gaya seni lukis Batuan, dan sampai saat ini masih banyak senimana atau
komunitas yang masih menjaga teknik dan karakter dari beberapa jenis seni lukis
Bali ini.
Eksistensi seni di Bali memang sudah terasa ketika kita melihat berbagai sudut
arsitektur yang ada di setiap tempat di pulau ini.Pura dan puri di jaman dulu
menjadi tempat pengembangan segala bentuk kesenian.Bali menjadi tempat
artistik yang penuh dengan benda seni dan artefak seni yang mengandung nilai
filosofis. Setiap sudut mengandung nilai estetika, yang memberi kenyamanan serta
karakter yang kuat sebagai pulau yang dihuni oleh masyarakat, yang memiliki
kesadaran estetis,kebudayaan serta peradaban seni yang tinggi.Sentuhan seni
juga bisa dilihat dan dirasakan melalui pengamatan terhadap kegiatan spiritual
orang Hindu Bali.Aktivitas artistik utama dari para perempuan adalah membuat
sesaji yang indah bagi para dewa. Ini adalah struktur yang rumit dari memotong
daun kelapa,atau membuat piramida dari buah-buahan, bunga-bungaan dan
jajanan, bahkan ayam panggang yang disusun dengan selera yang bagus sekali,
komposisi mahakarya dengan bentuk relatif dari unsur- unsur yang
digunakan,teksturnya dan warnanya diperhatikan. Aku telah menyaksikan
monumen- monumen tujuh kaki tingginya,yang dibuat keseluruhannya dari daging
Babi yang ditusuk sate,dihiasi menjadi bentuk-bentuk yang dipotong dari lemak
Babi dan dihiasi dengan bendera- bendera dan payung- payung kecil dari jaringan
perut seperti tali, seluruhnya dihiasi dengan Lombok berwarna merah”(
Covarrubias:2014: 165)
Dari ungkapan empiris yang diceritakan oleh Covarrubias bisa kita simak bahwa
sejak dulu masyarakat Bali memiliki semacam intuisi seni yang selalu berkembang
di dalam dirinya, yang kemudian diimplementasikan ke dalam
kehidupannya.Bahkan nilai itu di tempatkan pada hal-hal yang bertalian dengan
cara beragama dan selera seni yang mereka miliki,dan inisebagai bentuk
apresiasi terhadap nilai-nilai religiusitas keagamaan. Hal ini pada akhirnya yang
membentuk citra Bali seperti yang bisa kita lihat sampai saat ini.Penggabungan
ekpresi religiusitas dengan intuisi seni tersebut masih sangat terasa di dalam
kehidupan masyarakat Bali sampai saat sekarang , walaupun kadar kemurnian
dari tindakan tersebut tidak sekental di masa terdahulu, dimana di masa lalu dunia
pariwisata belum seramai seperti saat sekarang ini, sehingga pikiran
masyarakatnya belum tertuju pada dinamika meterialisme. Dalam perjalanan waktu
Bali juga mengalami perubahan di berbagai lini, perubahan alam, pola kerja serta
situasi kehidupan masyarakatnya. Dinamika kebudayaan menjadi satu fenomena
yang terus bergerak membentuk kebiasaan-kebiasaan baru, yang akan terus
mewarnai wajah Bali serta tentu saja juga akan memunculkan persoalan-persoalan
baru bagi mereka yang perduli terhadap eksistensi kebudayaan Bali, selama ini

270
SENADA 2018 STD BALI
 
 
dirasakan memang memiliki dampak yang baik secara spiritual, norma dan etika,
serta rasa hormat terhadap keutuhan alam Bali, akan tetapisetiap kebudayan pasti
akan mengalami berbagai perubahan tertentu oleh budaya lain yang hadir sebagai
bentuk eksistensi dari entitas- entitas yang ada tanpa terkecuali.
Seni Bali tidak berada pada kelas seni “Agung” seperti lukisan cina yang agung-
produksi sadar karya seni untuk tujuannya sendiri,dengan nilai seni yang terpisah
dari fungsinya. Sekali lagi hal ini terlalu halus, terlalu kuat untuk dilekatkan pada
seni petani, bukan pula salah satu dari seni primitif,ini tunduk pada hukum- hukum
ritual dan hukum kesukuan , yang kita sebut” primitif” sebab estetikanya tidak
sesuai dengan estetika kita. Para petani Bali mengambil seni yang muluk- muluk
dari jawa kuno yang dirinya sendiri merupakan cabang dari seni aristokratis India
abad ke-17 dan abad-18,dibawa dengan sederhana, dan dibikin menjadi harta
popular (Covarrubias,2014: 170),hal tersebut memberikan citra bahwa
kebudayaan Bali, termasuk seni yang ada dan berkembang di dalamnya memiliki
kepekaan serta sifat yang terbuka, tidak dihegomoni oleh satu kelompok tertentu
dan tidak pula bersifat konservatif absolut, semua budaya dari tempat lain bisa
masuk bersentuhan bahkan terserap menjadi bagian dari budaya Bali itu sendiri.
Sejak masa kolonial (1930-an) wayang dan tema lukisan Bali sedikit mengalami
perubahan dengan adanya unsur dan pengaruh luas yang dibawa oleh pelukis-
pelukis Barat, diantaranya Walter Spies, dan Rudolf Bonnet . Unsur dan pengaruh
luar ini diterima dan diserap oleh pelukis-pelukis Bali dan kemudian disesuaikan
dengan selera dan gaya masing-masing. Ini berarti disamping adanya
pembaharuan teknik dan penambahan tema,dasar-dasar tradisi masih melekat
kuat terutama yang masih berkaitan erat dengan alam mitologi. Dengan lain
perkataan unsur dan pengaruh luar itu bukan mendesak atau mematikan yang
tradisional tetapi justru memperkaya. Aliran seni lukis ini mula-mula berkembang di
Desa Ubud (Gianyar) yang terkenal dengan julukan seni lukis gaya Pita Maha (
Ardika, Parimartha, Wirawan,2013:340)
Hal ini terus berkembang sampai pada titik terbentuknya citra Bali ke
mancanegara, Bali yang memilki alam tropis yang indah, kemudian kehidupan
masyarakat yang unik dan banyaknya artefak seni berupa lukisan, patung serta
ukiran dan bangunan monumental di Pura ataupun puri,kemudian mendapat
predikatsebagai pulau surga,surga terakhir atau pulau yang memiliki kebudayan
yang rumit serta masyarakat yang ramah. Ini menjadi modal utama untuk
dipromosikan dan dijual sebagai destinasi wisata.Maka kemudian keelokan budaya
dan alam Bali dijual sebagai menu utama pariwisata. Secara pasti budaya dan
kesenian Bali yang dulunya dominan digunakan untuk kepentingan agama dan
adat, bergeser menjadi seni dan budaya profan,berbagai infrastruktur dibangun
untuk menyokong keberlangsungan sektor pariwisata di Bali,dan hal ini bisa kita
lihat hingga kini salah satunya di Pasar Seni Sukawati. Pasar Seni yang menjual
berbagai macam ragam benda seni atau lebih tepatnya karya-karya seni terapan
yang difungsikan untuk benda suvenir tanpa mempertimbangkan esensi ataupun
nilai filosofis.
Di Pasar Seni Sukawati banyak sekali bisakita temukan suvenir yang berkiblat
pada seni- seni yng pernah hidup dan berkembang di Bali,seperti seni lukis dan
patung. Tidak sulit menemukan lukisan dengan berbagai corak terpajang di pinggir
trotoar bahkan di tangga tempat memasuki pasar tersebut, mulai dari lukisan
naturalis yang bergaya khas tradisi ubud sampai lukisan wayang gaya batuan, ada
juga berbagai tema pemandangan alam yang dilukis dengan teknik modern
dengan media cat minyak dan akrilik, serta lukisan- lukisan dekoratip yang cocok
untuk dijadikan pajangan di ruang tamu rumah. Jika dilihat dari teknik dan media
yang digunakan, lukisan yang dijual di pasar ini memang tidak begitu
memperhatikan teknik dan media seperti halnya pseniman-seniman professional
yang masih memperjuangkan esensi karya, kualitas teknik dan bahan.Selain itu
Pasar Seni Sukawati juga menyediakan berbagai macam barang pakai seperti
baju dan celana, atau kain- kain yang seringkali dipergunakan oleh masyarakat

271
SENADA 2018 STD BALI
 
 
lokal sebagai busana yang digunakan untuk ibadah ke pura, atau oleh wisatawan
domestikdiberikan kepada tetangga dan kolega sebagai oleh-oleh liburan.
Berkenaan dengan persoalan teknik dan media, kesan yang didapat ketika
melihat benda seni komoditi, seperti lukisan-lukisan memang tidak begitu
semenarik ketika melihat karya-karya lukis yang dibuat dengan proses
perenungan, penghayatan serta pertimbangan media yang berkualitasdan memiliki
narasi di balik visualnya. Karya- karya terpajang bahkan tidak terdisplay dengan
baik. Di sana kita bisa langsung merasakan dan menyentuh langsung karya-karya
tersebut, memperhatikan media yang digunakan, serta mengamati secara detail
teknik yang diterapkan. Bahkan jika ingin memilih satu lukisan untuk di beli,
pengunjung bisa ikut membongkar tumpukan karya- karya lukis yang berjejer di
tembok belakang gedung utama pasar. Dari segi teknik memang karya-karya ini
pada proses pembuatannya menggunakan teknik terapan, dibuat perbanyak dalam
satu waktu. Artinya memang lukisan–lukisan yang dibuat tidak melalui tahap
perenungan serta penghayatan teknis maupun ide, lukisan- lukisan ini dibuat
berulang- ulang hanya untuk memenuhi kuota jumlah, semakin banyak mereka
bisa produksi maka semakin banyak juga barang yang bisa disuguhkan kepada
konsumen atau para wisatawan. Sistem dari pengumpulan lukisan dari pasar seni
ini, seperti halnya proses pengumpulan barang- barang komoditi yang lain, ada
tukang produksinya dan ada pengepulnya. Pelukisnya memang berasal tidak
hanya dari Bali akan tetapi juga berasal dari luar Bali seperti Lombok dan jawa,
memang ada perbedaam yang terlihat dari karya seni ini yang dihasilkan oleh
masing perupanya dari masing-masing daerah tersebut, misalnya dapat dalihat
dari coraknya, pemilihan obyeknya serta goresan-goresan yang dihasilkan.
Pelukis Bali kebanyakan memang cenderung membuat karya- karya yang masih
bercorak seni-seni yang berkembang di Bali sepeerti seni lukis bercorak Ubud,
Batuan dan Kamasan, walaupun memang ada juga yang membuat karya- larya
modern sampai lukisan-lukisan yang bergaya pop seperti halnya yang sedang
berkembang di dunia seni rupa nasional maupun internasional saat ini. Sedangkan
pelukis yang berasal dari daerahdi luar Bali banyak membuat tema-tema alam
seperti komposisi ikan Koi,pemandangan alam, suasana pasar dan lukisan-lukisan
bergaya dekoratip dari seniman- seniman ternama Indonsesia. Tetapi di banyak
ruangan memang saat ini di dominasi oleh penjual pakaian dan pernak-pernik
perhiasan.
Hampir 70% gedung hanya berisi barang- barang tekstil, berbeda dengan masa
terdahulu yang memang berimbang antara benda seni dan prodak
tekstil.Selebihnya hanya sedikit yang diisi oleh lukisan-lukisan dan karya yang
berbau seni lainnya.Kemudian ada juga yang menjual karya- karya kerajinan,
seperti perhiasan yang terbuat dari manik- manik. Harga yang ditawarkan untuk
satu lukisan bisa dikatakan sangat terjangkau, mulai dari harga lima puluh ribu satu
lukisan, sampai harga di atas lima ratus ribu, ada yang langsung menggunakan
bingkai danada juga yang tidak, untuk penggunaan bingkaiakan dikenakan biaya
bingkai, yang juga tidak terlalu mahal, tentu saja dengan kualitas yang sesuai
dengan harga.
Kemudian di deretan kios di luar gedung utama ada juga barisan penjual karya-
karya patung yang juga bernilai suvenir, sedikit berbeda dengan kondisi
penempatan lukisan-lukisan tadi, patung- patung ini tersusun lebih rapi,
ditempatkan khusus dalam satu ruangan dan kita bisi langsung mengaksesnya
dari pinggir jalan. Coraknya juga beraneka ragam ada obyek- obyek yang
menggambarkan manusia ada juga yang mengambarkan binatang,dari segi teknis
juga sepanjang jalan yang terlihat tidak begitu maksimal,masih sebatas seni
kodian yang pengerjaannya cepat tanpa proses perenungan, seperti halnya
seniman-seniman professional berkarya. Suasana di Pasar Seni Sukawati
memang menarik bagi para wisatawan yang ingin melancong, serta yang ingin
memilki benda- benda yang berbau seni, pasar seni ini adalah surganya. Tempat
ini menjadi satu alternatif yang bagus untuk mencari, dan memboyong banyak

272
SENADA 2018 STD BALI
 
 
barang suvenir yang masih mengandung nilaiseni, dengan harga yang terjangkau.
Kondisi ini memang menjadi gambaran, bahwa ada semacam pemanfaatannilai
estetika yang kemudian disesuaikan dengan nilai produksi satu benda seni, benda
seni yanglayak dikonsumsi oleh para wisatawan yang mempertimbangkan harga
yang tidak terlalu tinggi.Wisatawan sebagai komponen terpenting dari industri
pariwisata, menjadi penentu corak serta dinamika karya-karya seni yang muncul,
yang kemudian mengalami sedikit pergeseran, atau bisa juga dikatakan
mengalamiperkembangan ke arah nilai yang berbeda dari tujuan nilai seni yang
dimunculkan sebelumnya.

LANDASAN TEORI
Teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian”Seni dan Estetika
Komudifikasi di Pasar Seni Sukawati “, adalah sebagai berikut:
a. Teori konflik
Teori konflik berasal dari Karl Mark, dengan konsep economic mode of production,
yang emnghasilkan kelas yang mengekploitasi dan kelas yang terekploitasi. Dalam
teori konflik, masalah “dominasi” dan “subordinasi” menjadi pokok bahasan
penting, karena berasumsi bahwa aturan, norma dan nilai yang harus dianut oleh
masyarakat sesungguhnya merupakan nilai, norma atau aturan dari kelompok
dominan, yang memaksakannya kepada kelompok subordinat. Dengan
pemaksaan nilai dan aturan tersebut, kelompok dominan mempertahankan
struktur sosial yang menguntungkan.
Teori konflik ini menolak anggapan bahwa masyarakat ada dalam situasi stabil dan
tidak berubah. Sebaliknya masyarakat selalu dilihat dalam suatu kondisi tidak
seimbang atu tidak adil, dan keadilan/ keseimbangan dapat dicapai dengan
penggunaan kekuatan revolusi terhadao kelompok –kelompok yang memegang
kekuasaan(Pitana,Gayatri,2005:20)
b. Teori industri Budaya
Adorno,(1991:85) Dalam Strinati (1995:71-78) pada semua cabangnya,produksi-
produksi yang dihasilkan untuk konsumsi untuk massa, dan pada suatu takaran
besar menentukan sifat konsumsi itu,yng dibuat kurang lebih sesuai dengan
rencana. Masing-masingcabang itu strukturnya mirip satu sama lain atau
sekurang- kurangnya cocok sama lain, dengan menata dirinya sendiri ke dalam
sebuah sistem nyaris tanpa ada kesenjangan. Hal ini dimungkinkan melalui
kecakapan- kecakapan teknis masa kini maupun konsentrasi ekonomi dan
administratif.Industri budaya secara sengaja memadukan para konsumennya dari
atas.Kerugian dari dari keduanya mendorong sekaligus bidang seni tinggi dan seni
rendah, yang terpisah selama ribuan tahun. Keseriusan seni tinggi dihancurkan
dalam spekulasi tentang keunggulannya; keseriusan seni rendah sirna bersama
kekangan – kekangan peradaban yang dipaksakan pada perlawanan yang
berontak yang inheren di dalamnya sepanjang kontrol sosial belum terjadi
sepenuhnya . Jadi, sekalipun industri budaya tak pelak lagi berspekulasi pada
kondisi sadar maupun tak sadar jutaan orang yang dituju, massa itu tak bersifat
primer tapi skunder. Meraka adalah obyek kalkulasi, bagian dari alat.Konsumen
bukanlah raja, sebagaimana diyakinkan oleh industri budaya kepada kita,bukan
subyek tapi obyek. Komunitas masa yang paradigmanya tertuju pada isdustri akan
mengarahkan seluruh ide dan tenaganya kepada kegiatan produksi sebanyak-
banyaknya,tanpa perlu lagi terlalu memikirkan tentang esensi dan makna,makna
simbolik ditiadakan yang ditonjolkan adalah prodak yang menarik secara tampilan
yang akan bisa menarik perhatian konsumen dan membeli sebnyak-banyaknya.
Industri membawa masyarakat ke arah gaya hidup yang pragmatis, gaya hidup
yang berorientasi pada pencapaian materi yang kemudian menjadi tolak ukur satu
nilai kesuksesan.
c. Teori Compasionate capitalism

273
SENADA 2018 STD BALI
 
 
Piliang (2004:118) Di tengah-tengah hasrat,energi libido serta intensitas kecepatan
yang semakin menguasai ekonomi kapitalisme global dewasa ini; di tengah-
tengah keserakahan,egoisme, monopolisme,nepotisme yang merajalela, Rich de
vos menawarkan satu model kapitalisme yang justru lebih berwajah lemah lembut
dan belas kasih, yang disebutnya compassionate capitalism (kapitalisme dengan
kepedulian sosial). Ia menawarkan kapitalisme berwajah sosial ini sebagai satu
masa depan perekonomian dan sekaligus relasi sosial dunia.
Konsep compassionate capitalismini banyak digali oleh de Vos dari pemikiran
Adam Smith. Ia mengatakan walaupun manusia diatur oleh hasrat- hasrat (dan
energy libido) mereka, namun ia juga memiliki kemampuan penalaran serta rasa
belas kasih. Ia mampu mengontrol hasrat tersebut dengan penalarannya sendiri,
dengan kekuatan moralnya sendiri. Oleh karena itu hasrat setiap orang harus
dibebaskan dari kungkungan masyarakat,khususnya hasrat untuk maju- untuk
bersaing.
d. Teori Hegomoni
Barker (2004: 374), Bagi Gramci, pendapat umum (commom sense) dan budaya
pop, di mana orang- orang mengorganisasi kehidupan dan pengalaman mereka,
telah menjadi arena penting bagi pertarungan idiologis. Ini adalah tempat dimana
hegomoni, yang dipahami sebagai rangkaian aliansi cair dan temporer,perlu
dimenangi lagi dan dinegosiasi ulang. Muncul dan runtuhnya hegomoni kultural
adalah sebuah arena perjuangan terus- menerus dalam memperebutkan makna.

PEMBAHASAN
Seni yang dijadikan benda komoditas kemudian menjadi kelasiman untuk
kepentingan industri pariwisata, seni tidak lagi berada pada tataran yang bertujuan
untuk memberikan citra, makna, cerminan tentang nilai kehidupan atau media
pengontrol kebudayaan, seni mejadi bagain dari cara hidup masyarakat yang
terlanjur membawa paradigmanya ke dunia industry, dimana seni dipahamihanya
sebagai prodak industri dan alat komoditi. Memang tidak ada yang salah dalam hal
ini.Kondisi ini adalahsalah satu bentuk hegomoni yang tercipta berdasarkan
kepentingan, kepentingan untuk menghasilkan uang untuk bertahan
hidup.Komersialisme adalah sebuah keniscayaan bagi masyarakat yang
menggantungkan kehidupannya kepada satu bentuk komunitas pasar.Hal ini
kemudian berdampak kepada pengurangan nilai- nilai sekaligus citra baru yang
disematkan pada kesenian yang hidup di Bali.

Dimana pulau Bali sudah kadung dicap sebagai pulau yang menawarkan
kebudayaan sebagai hiburan, dimana orang-orang bebas berwisata dan
membangun apa saja sesuka hatinya, hotel, galeri kerajinan, tempat hiburan
malam, restoran dan berbagi tempat yang bisa digunakan untuk mesin uang guna

274
SENADA 2018 STD BALI
 
 
merauk keuntungan dari industri pariwisata ini. Bali dikenal sebagai tempat wisata
yang menyediakan berbagai fasilitas berwisata, dari yang mewah sampai yang
menengah,berlimpahnya barang-barang suvenir yang berbau seni untuk
memenuhi kebutuhan wisatawan yang berkunjung ke pulau ini.Di kalangan
wisatawan pasar seni Sukawati menjadi salah satu tempat atau pasar yang
menyediakan barang-barang seni yang sangat terjangkau oleh masyarakat umum,
barang-barang yang bisa digunakan sebagai suvenir untuk saudara atau kolega.

Seni lukis yang dulunya dikembangkan dengan mempertimbangkan nilai artistik,


estetika,filosofi serta idialisme kemudian menjadi barang yang tidak bernilai tinggi
secara esensi.Sangat mudah sekali ditemukan,dengan kualitas yang jauh dibawah
karya-karya yang memang dibuat secara idial.Dalam hal ini semua prodak seperti
tidak memiliki nilai apa-apa terkecuali hanya nilai ekonomis.Secara demografis ini
memang hanya memberi keuntungan pada dunia pariwisata, terutama bagi para
pelaku industrinya, tetapi bagi perkembangan seni yang bersifat konprehensif,
pendidikan ataupun perkembangan seni secara keilmuan, hal ini tidak memberikan
dampak apa- apa. Secara umum karya seni suvenir yang dijual di pasar seni
Sukawati memiliki varian yang cukup banyak, yang didominasi lukisan dan
patung.Pasar seni Sukawati menjadi wadah ekspresi dari perupa-perupa yang
bertujuan untuk memasarkan karyanya hanya untuk kepentiangan ekonomi.Dan di
sekitar pasar seni terdapat juga studio-studio produksi benda- benda, yang dibuat
secara kodian.Secara ekonomi ini menjadi geliat yang baik, artinya bahwa
masyarakat yang menjadi pelaku seni yang seperti ini memiliki tempat interaksi,
penjualan dengan wisatawan atau pembeli yang hadir.

275
SENADA 2018 STD BALI
 
 

Fenomena semacam ini memang menjadi alternatif pemecahan satu masalah di


dalam masyarakat yang sudah terlanjur memiliki paradigma industridan tergantung
pada industri pariwisata. Oleh mereka komponen ini penting untuk dilestarikan dan
dijaga selama-lamanya, hegomoni konsep seni dan ekonomi tentang kesenian
yang idialis dianggaptidak memberikan efek ekonomi yang menguntungkan
terhadap masyarakat, dan pelaku industri pariwisata.Keuntungan diperoleh oleh
desa serta masyarakat dimana pasar itu berdiri,.Estetika yang berusaha
dimunculkan hanya berfungsi sebagai umpan pemikat supaya terjadi transaksi jual
beli. Di lain pihak, di Bali juga masih berkembang seni-seni yang bercitra lebih
eksklusif namun juga bermuara pada pasar seni rupa. Seni-seni yang juga
bertujuan untuk dijual, akan tetapi dengan pangsa pasar yang berbeda, galeri-
galeri kemudian juga memiliki sistem yang memanfaatkan kemampuan
menggambar seorang perupa untuk dijadikan pelukis di galerinya. Ini adalah
fenomena yang menarik, satu hal yang perlu disadari bahwa selama ini kita tidak
berusaha membangun satu nilai edukatif tentang pengetahuan seni, dan
bagaimana keseimbangan antara prodak seni dan seni sebagai artefak
kebudayaan masih bisa terjaga, jangan kemudian karena alasan untuk
keberlangsungan industri priwisata, arti dan makna seni yang diwariskan sebagai
bentuk entelektualitas kemudian terlupakan, dan juga agar masyarakat tidak
terjerumus pada kondisi pemikiran yang tidak kreatif, pragmatis dan tidak peduli
dengan warisan kebudayaannya. Utuk itu kita perlu berusaha meletakkan seni
pada tataran yang lebih bermanfaat dalam usaha membangunkecerdasan
intelektual, kontrol kebudayaan, media kritik serta sebagai hiburan yang betul-
betul menyentuh jiwa sehingga lebih bisa membawa masyarakat ke tingkat
pemikiran yang lebih baik.
Perkembangan pariwisata yang demikian pesat pada akhirnya juga akan
membawa masyarakat pada kondisi pragmatis,akhirnya semua hanya akan
menjadi penyedia barang atau kelompok kreatif yang hanya bermuara pada
industri, kita tidak pernah lagi akan menemukan kreatifitas unyuk satu sikap
mandiri dan berdikari. Hilangnya pekerjaan sebagai petani juga salah satu efek
pariwisata, alih fungsi lahan pertanian juga tidak bisa terhindarkan. Masyarakat
memang membutuhkan satu obyek komoditas untuk diolah sebgai alat perputaran
ekonomi akan tetapi jangan lupa juga bahwa kita perlu menjaga nilai-nilai yang
juga penting untuk keberlangsungan hidup kita, bahwa kita juga perlu menjaga dan
membuatkan menejemen yang baik untuk mengatur itu semua, tentu saja kita tidak

276
SENADA 2018 STD BALI
 
 
ingin kehilangan nilai kebudayaan yang diwariskan dulu oleh leluhur kita dan kita
mewarisi nilai- nilai pragmatis kepada anak cucu kita.
Kita bisa tetap menjadikan dunia pariwisata sebagai komoditas yang kita
kembangkan tanpa mengorbankan semua kebudayaan yang kita miliki, pariwisata
hanya menjadi bagian dari komoditas yang kita miliki, bukan sebagai identitas
budaya yang kita ekpose sedemikin rupa, yang semua kepentingan, energi, ide
hanya tercurahkan untuk dunia kepariwisataan, masih banyak juga kepentingan
yang perlu kita pikirkan, terutama persoalan eksistensi budaya serta
mempertahankan nilai-nilai yang baik sebagai bentuk identitas kepribadian kita
sebagai masyarakat yang berbudaya.

Dalam masyarakat industri modern, karya-karya seni serta kebudayaan pada


umumnya sudah merosot menjadi alat pengikat sosial. Karya seni tidak lagi
menggambarkan dan menunjukkan dimensi hidup “yang lain”, tetapi justru
merupakan pendukung wacana yang mapan.Pemerosotan tersebut nampak dari
kenyataan bahwa karya-karya seni dewasa ini lebih merupakan objek
perdagangan yang lebih mengutamakan nilai tukar daripada nilai seninya. Karya
estetik jatuh menjadi komoditas, seperti halnya produk-produk industri (Shacari,
2002: 30),Meletakkan hakekat seni sebagai komponen pembentukan karakteristik
serta identitas masyarakat memang memerlukan satu rancangan yang baik secara
teknis berdasarkan pertimbangan sosiologisnya, Bali pernah memiliki karakter
sebagai pulau yang dihuni oleh masyarakat yang telah berhasil menyatukan
keseninnya dengan kehidupan keseharian, memasukkan norma- norma agama
tanpa tindakan yang prontal, akan tetapi oleh modernitas melalui konsep
globalisasinayBali juga mengalami gesekan dengan berbagai, seperti kondisi
ekonomi,politik serta kuatnya budaya urban yang mengglobal, kesenian Bali yang
dulunya lebih merakyat, lebih bernuansa perayaan dan rasa syukur,dan sikap
kesalehan, ekpresi seni yang murni kini mejadi komoditi yang diekpose sedemikin
rupa sehingga menjadi beberapa nilai lokal jenius menjadi rancu dan absurd. Nilai

277
SENADA 2018 STD BALI
 
 
yang seharusnya bisa menjadi pedoman hidup kini telah terlupakan dan lambat
laun barangkali akan hilang, masyarakat berada dalam kondisi pemikiran yang
praktis, pragmatis bahkan cenderung ke arah individualistik.

KESIMPULAN
Bahwa seni dan estetika yang dikomodifikasi memang berdampak positip dan
negatip bagi masyarakat dan eksistensi sebuah nilai kebudayaan,dampak
positipnya tentu saja akan ada geliat dalam pertumbuhan perekonomian
masyarakat Bali, dan efek negatip dari itu adalah, pada akhirnya nilai budaya kita
menjadi kabur, kita sudah tidak sempat merawat budaya dan mendapatkan vibrasi
positip dari kegiatan yang kita lakukan. Kegiatan kesenian dan agama yang
dulunya menyatu kini menjadi komponen pariwisata, maka yang terjadi adalah
kaburnya pemaknaan dari kegiatan seni dan agama tersebut, seolah-olah kita
berbudaya dan beragama hanya supaya turis dating ke Bali.Kesibukkan kita
hanya ditujukan untuk kepariwisataan demi memperoleh keuntungan ekonomi.
latar belakang yang dimiliki pulau Bali sebagai tempat, yang pada dasarnya
memiliki lokal jenius yang baik, artinya Bali banyak banyak menyimpan konsep-
konsep lama tentang kebaikan prihal merawat dan menghargai alam, hubungan
manusia yang seimbang dengan manusia lainnya, serta bentuk ekpresi kesalehan
manusia Bali kepada Tuhan,menjadi bagian dari aktifitas budaya yang sangat
menarik, sangat bersahaja serta magis. Hal tersebut yang menjadikan Bali itu
dikenal ke pelosok dunia.Akan tetapi popularitas yang diperoleh dari nilai lokal
jenius tersebut tidak serta merta dibarengi dengan kesadaran, bahwa nilai tersebut
adalah kekayaan Bali yang sesungguhnya, kekayaan intelektual yang sudah
mengatur kehidupan masyarakat Bali selama ini, membawa nama Bali menjadi
museum kebudayaan yang hidup. Dan yang terpenting nilai ini yang seharusnya
kita pertahankan bersama, demi keberlangsungan masa depan kita sebagai
masyarakat Bali. Hal ini memang butuh proses yang panjang, kerja keras untuk
menumbuhkan kesadaran tersebut, dan pada kenyataannya memang masih
banyak kebijakan atau kegiatan yang tidak mengarah pada pelestarian nilai lokal
jenius tersebut, Seolah- olah kita melupakan nilai- nilai yang terkandung di dalam
kebudayaan kita tersebut.Hal ini begitu terlihat ketika alam Bali mulai diekploitasi
sedemikian rupa, dengan alasan untuk mendatangkan banyak turis ke sini.
Melakukan kegiatan berwisata, sehingga akan semakin banyak yang
memblanjakan uangnya. Tanah sawah banyak yang beralih fungsi menjadi
perumahan, hotel, vila dan infrastruktur lainnya dengan alasan untukkemakmuran
masyarakat Bali.
Dunia pariwisata yang kita kembangkan selama ini bukan satu langkah yang salah,
akan tetapi kita hanya perlu menyeimbangkan nilai- nilai kebudayaan yang kita
miliki dengan seni dan kebudayaan yang kita jadikan komoditas. Tidak terkesan
bahwa kita mengorbankan seluruh kebudayaan kita untuk kita suguhkan ke
wisatawan demi keuntungan ekonomi.Kita bisa menjadi masyarakat yang makmur,
bersahaja dan tetap berbudaya tanpa mengorbankan nilai-nilai yang kita miliki.
Tidak kemudian terjerumus menjadi masyarakat yang hanya menjadi penyedia
jasa liburan. Menimbang juga dari latar belakang kebudayaan yang kita miliki.Kita
juga tidak mau menjadi objek ekploitasi dari mereka-meraka yang hanya
berkepentingan untuk memanfaatkan citra Bali dan daya tarik kebudayaannya
untuk dijadikan mesin uang.
kita melestarikan kebudayaan bukan untuk tujuan pariwisata, akan tetapi memang
bertujuan untuk kebutuhan spiritual kita sebagai masyarakat yang dari dulu sudah
berbudaya, dan seharusnya kita memiliki kemampuan untuk mengatur fungsi dan
kegunaan dari tempat-tempat di Bali yang sudah terbangun, fungsi pura yang
seharusnya untuk tempat ibadah tidak kemudian juga difungsikan untuk objek
wisata.

278
SENADA 2018 STD BALI
 
 
Pasar seni Sukawati adalah salah satu feneomena kebudayaan akibat dari
dinamika dunia ekonomi, efek dari berubahnya maindset masyarakat dari
masyarakat agraris menuju masyarakat industri kreatif, dimana pada
kenyataannnya perlu diperhatikan lebih lanjut dan dimenejemen sedemikian rupa,
sehingga terintegrasi dengan pelaku-pelaku wisata lainnya seperti perusahaan
trevel dan penyedia jasa wisata lainnya. Sehingga dari situ bisa diatur pengelolaan
dari tempat yang sesuai dengan konsep dan fungsi pembangunannya,sehingga
kita bisa tetap menjaga budaya dan sekaligus menjalankan usaha ekonomi di
sektor pariwisata.Maka dari itu perlu juga dilakukan kajian- kajian lebih lanjut
terhadap fenomena yang seperti ini, di satu sisi ada kelompok masyarakat yang
memang memahami seni hanya sebagai objek komoditas, akan tetapi ada pula
yang berusaha mempertahankan nilai esensialnya dan mencari satu jalan tengah
untuk bertahan hidup, ini penting untuk dibicarakan karena pada akhirnya apa
yang kita anggap bisa bisa menolong kita, dalam hal ini dunia pariwisata juga pada
akhirnya menambah kerumitan atau kompleksitas dari situasi hidup yang kita
hadapi, kita tidak akan mau kehilangan karakter diri atau mengalami krisis
kebudayaan,kita tidak akan mau mewarisi satu budaya pragmatis yang akan
membuat kita lemah serta ketergantungan pada satu sistem.
Bali yang memiliki sistem sosial komunal memang sudah seharusnya
mengaplikasikan nilai kelokalan kita pada urusan yang lebih besar, seperti halnya
pengaturan terhadap aset kebudayaan.Eksistensi kesenian dan berjalannya
kehidupan ekonomi masyarakat yang wajar,tidak kemudian terintegrasi pada satu
kekuatan kapitalis yang seringkali tidak memperdulikan keberlangsungan
kebudayaan Bali.Supaya Bali tetap menjadi kawasan yang memang memiliki lokal
jenius, yang dirawat memang untuk kepentingan spiritual orang-orang Bali.Supaya
tidak selamanya kita terjebakpada satu sistem yang menghegomoni,yang lmbat
laun akan menghilangkan kemampuan kita dalam berkreatifitas, khususnngnya di
bidang kesenian.Dan supaya masyarakat Bali tidak berakhir menjadi masyarakat
yang kehilangan intuisi seninya dan kehilangan identitasnya, yang merupakan
warisan intelektualitas para leluhur Bali, sebagai bentuk usaha bersama para
leluhur untuk memuliakan kehidupan generasinya.

DAFTAR PUSTAKA
Agus Sachari. 2002, Estetika: Makna , Simbol dan Daya. ITB.
Chris Barker, 2004, Culture Studies, Teori dan Praktik, Kreasi Wacana Offset
I Wayan Ardika, I GDE Paramartha, AA Bagus Wirawan2013 Sejarah Bali: Dari
Prasejarah Hingga Modern, Denpasar Udayana University press.
Miquel Covarrubias.2014 Pulau Bali: Temuan yang Menakjubkan. Denpasar:
Udayana University press.
Prof. Dr. I Gde Pitana, M.Sc., Ir Putu G. Gayatri, M.Si.2005 Sosiologi Pariwisata,
Andi Yogyakarta. Andi Yogyakarta.
Strinati Dominic, 1992, Populer Culture, Pengantar Menuju Budaya Populer.
Bentang Budaya.
.Yasraf Amir Piliang.2004Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas- Batas
Kebudayaan.Yogyakarta:Jalasutra

279

Vous aimerez peut-être aussi