Vous êtes sur la page 1sur 17

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN

STUNTING PADA BALITA DI PUSKESMAS PAMANUKAN


KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT TAHUN 2019.

Rian Agustiawan1, Aspri Sulanto2, Dita Fitriani3

1Mahasiswa FK Universitas Malahayati


2Departemen Ilmu Anak FK Universitas Malahayati
3 Dosen FK Universitas Malahayati

Abstract

Background: Stunting is a problem chronic nutrition caused by lack of nutritional status in a long time.
Basically the nutritional status of children can be influenced by direct and indirect factors, and the root of the
problem, the direct factors related to stunting are food intake and health status. Research Objective: to find out
the Factors Associated with Stunting Events in Toddlers in Pamanukan Health Center, Subang, West Java, Year
2019. Method: This type of research is a quantitative study with analytical design andapproach cross-sectional.
Sampling is done by purposive sampling. Bivariate data analysis with Chi-Square. Research Results: There were
138 respondents from the study population, 76 (55.1%)toddlers stunting, 62 (44.9%) normal toddlers.Toddlers
Stunting ages 24-36 months 49 (48.5%) and 37-60 months of age 27 (55.1%) with a p-value of 0.011. Toddler
stunting males 51 (48.1%) and 25 women (51.9%) with a p-value of 0.03. Toddlers stunting LBW 40 (81.6%)
and normal 36 (18.4%) with a p-value of 0.00. Toddlers stunt exclusive breastfeeding 34 (42.4%) and not 42
(57.5%) with p-value 0.00. Toddler stunting nutritionapproximately 40 (81.6%) and either 36 (18.4%) with a p-
value of 0.00. Toddlers stunt exclusive breastfeeding 34 (42.4%) and not 42 (57.5%) with p-value 0.00.
Conclusion: There is a significant correlation between the factors associated with the incidence of stunting
among children under five in the clinic Pamanukan earring district of western Java in 2019.

Keywords: Toddler, Malnutrition, Factors Stunting.

Abstrak

Latar belakang : Stunting adalah masalah gizi kronik yang disebabkan oleh kurangnya status gizi
dalam waktu yang cukup lama. Pada dasarnya status gizi anak dapat dipengaruhi oleh faktor langsung
dan tidak langsung, dan akar masalah, faktor langsung yang berhubungan dengan stunting yaitu
berupa asupan makanan dan status kesehatan. Tujuan Penelitian : mengetahui Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Di Puskesmas Pamanukan Kabupaten Subang
Jawa Barat Tahun 2019. Metode : Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
rancangan analitik dan pendekatan Cross-sectional. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive
sampling. Analisis data bivariat dengan Chi-Square. Hasil Penelitian: Didapatkan responden penelitian
berjumlah 138 balita, 76 (55,1%) balita stunting, 62 (44,9%) balita normal. Balita stunting usia 24-36 bulan
49 (48,5%) dan usia 37-60 bulan 27 (55,1%) dengan p-value 0,011. Balita stunting laki-laki 51 (48,1%) dan
perempuan 25 (51,9%) dengan p-value 0,03. Balita stunting BBLR 40 (81,6%) dan normal 36 (18,4%)
dengan p-value 0,00. Balita stunting ASI ekslusif 34 (42,4%) dan tidak 42 (57,5%) dengan p-value 0,00.
Balita stunting status gizi kurang 40 (81,6%) dan baik 36 (18,4%) dengan p-value 0,00. Balita stunting ASI
ekslusif 34 (42,4%) dan tidak 42 (57,5%) dengan p-value 0,00. Kesimpulan: Terdapat hubungan yang
bermakna antara faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di Puskesmas
Pamanukan Kabupaten Subang Jawa Barat Tahun 2019.

Kata Kunci : Balita, Malnutrisi, Faktor Stunting


PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun
berkembang yang memiliki permasalahan 2017. Hasil Riset Kesehatan Dasar
yang kompleks terutama dalam masalah (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan
gizi. Permasalahan gizi di Indonesia prevalensi balita pendek di Indonesia
berbeda dengan negara maju, yaitu sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi
Indonesia memiliki masalah gizi ganda sedikit penurunan menjadi 35,6%. Namun
yang artinya status gizi yang pada tahun 2013 prevalensi balita pendek
menunjukkan keadaan di satu sisi daerah kembali meningkat menjadi 37,2%
terdapat gizi kurang dan di sisi lain (Kemeskes RI, 2018).
terdapat gizi lebih. Gizi kurang atau Prevalensi stunting di Jawa Barat
malnutrisi adalah kondisi kekurangan gizi tahun 2007 adalah sebesar 35,4% (balita
akibat jumlah kandungan mikronutrien pendek 19,7% dan sangat pendek 15,7%)
dan makronutrien tidak memadai. lalu pada tahun 2010 menunjukkan
Kondisi ini dapat disebabkan oleh perubahan menjadi 33,7% (balita pendek
malabsorbsi yaitu ketidakmampuan 17,1% dan sangat pendek 16.6%) (Depkes,
mengonsumsi nutrient. (Kemenkes, 2018). 2008; Kemenkes, 2016). Pada tahun 2017
Stunting adalah masalah gizi tingkat prevalensi stunting (gangguan
kronis yang disebabkan oleh status gizi pertumbuhan linear) di Jawa Barat berada
yang kurang dalam waktu cukup lama pada tingkatan medium to high. Saat ini
akibat pemberian makanan yang tidak tingkat prevalensi stunting di Jawa Barat
sesuai dengan kebutuhan gizi. WHO berada di angka 29,2%. Angka tersebut
(World Health Organization) mengartikan berada pada deretan menengah.
stunting adalah keadaan tubuh yang Prevalensi stunting di kabupaten Subang
pendek hingga melampaui defisit 2 SD adalah sebesar 40.4% di tahun 2017
dibawah median panjang atau tinggi (Kemeskes RI, 2018), maka penulis tertarik
badan populasi yang menjadi referensi untuk melakukan penelitian mengenai
internasional. Keadaan ini terjadi akibat Faktor-Faktor Yang Berhubungan
dari faktor lingkungan dan faktor Dengan Kejadian Stunting Pada Balita
manusia yang didukung oleh kekurangan Di Puskesmas Pamanukan Kabupaten
asupan zat-zat gizi (Rudert C, 2014) Subang Jawa Barat Tahun 2019.
Prevalensi balita stunting pada
tahun 2017 di seluruh dunia adalah 22,2% METODE PENELITIAN
atau sekitar 150,8 juta balita. Di benua Penelitian ini bertujuan untuk
Asia prevalensi balita stunting sebesar Untuk mengetahui faktor-faktor yang
55% sedangkan lebih dari sepertiganya berhubungan dengan kejadian stunting
(39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta pada balita di Puskesmas Pamanukan
balita stunting di Asia, proporsi terbanyak Kabupaten Subang Jawa Barat Tahun
berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan 2019. Jenis penelitian ini menggunakan
proporsi paling sedikit di Asia Tengah pendekatan Cross-sectional. Teknik
(0,9%) (Kemeskes RI, 2018). pengambilan sampel adalah
Menurut WHO, Indonesia menggunakan purposive sampling. Jumlah
termasuk ke dalam negara ketiga dengan sampel yang diteliti sebanyak 138 balita.
prevalensi tertinggi di regional Asia Variabel penelitian ini terdiri dari :
Tenggara/South-East Asia Regional variabel dependen, kejadian Stunting
(SEAR). Rata-rata prevalensi balita pada balita usia 24 – 60 bulan, variabel
stunting di Indonesia tahun 2005-2017 independennya adalah usia balita, jenis
adalah 36,4%. Prevalensi balita stunting kelamin, berat lahir balita, pendidikan
mengalami peningkatan dari tahun 2016 orang tua, pemberian asi ekslusif, status
gizi, penyakit infeksi, status imunisasi,
pekerjaan orang tua dan status ekonomi HASIL PENELITIAN
keluarga yang tercatat di Puskesmas Terdapat 76 balita yang stunting
Pamanukan Kabupaten Subang Jawa dan 62 balita yang normal.
Barat. Berdasarkan Tabel 1 hasil
karakteristik dari 138 responden

Tabel.1 Karakteristik Responden

Variabel Frekuensi Persentase (%)


Usia
101 73,2
24-36 bulan
37-60 bulan 37 26,8
Jenis kelamin
Laki- laki 106 76,8
Perempuan 32 23,2
Berat lahir balita
BBLR (BBL < 2500 gram) 49 35,5
Normal (BBL ≥ 2500 89 64,5
gram)
Pendidikan orang tua
Rendah ( TS, SD, SMP) 49 35,5
Tinggi ( SMA, PT) 89 64,5
Pemberian ASI eksklusif
Tidak ASI eksklusif 58 42
ASI eksklusif 80 58
Status gizi
Gizi kurang 49 35,5
Gizi baik 89 64,5
Penyakit Infeksi
Sering(3-4x datang ke 77 55,8
RS/Bulan)
Jarang (datang ke RS 1-2 61 44,2
kali/Bulan)
Status Imunisasi
Tidak lengkap 77 55,8
Lengkap 61 44,2
Pekerjaan Orang tua
Penghasilan tidak tetap 79 57,2
Penghasilan tetap 59 42,8
Status Ekonomi Keluarga
Rendah 70 50,7
Tinggi 68 49,3
Total 138 100
Tabel 1 Menunjukkan distribusi berat badan lahir normal, pendidikan
frekuensi dari faktor-faktor yang orang tua dengan jenjang pendidikan
berhubungan dengan kejadian stunting yang tinggi, pemberian asi ekslusif, status
pada balita di Puskesmas Pamanukan gizi baik, sering mengalami penyakit
Kabupaten Subang Jawa Barat tahun 2019. infeksi, status imunisasi tidak lengkap,
Tampak diatas hasil didapatkan lebih pekerjaan orang tua yang bekerja dengan
banyak usia balita 24-36 bulan, jenis penghasilan tidak tetap dan status
kelamin laki-laki, berat lahir balita dengan ekonomi keluarga rendah.

Tabel 2 Analisis Bivariat antara Usia Balita dengan kejadian stunting

Variabel Stunting Normal Jumlah OR P


N % N %
Usia balita
- Usia 24-36 bulan 49 48,5 52 51,5 101 100% 0,34 0,011
(0,15-0,79)
- Usia 37-60 bulan 27 73 10 27 37 100%

Berdasarkan tabel 2 diketahui terdapat hubungan yang bermakna antara


bahwa responden dengan kategori usia usia balita dengan kejadian stunting pada
balita 24-36 bulan yang mengalami balita di Puskesmas Pamanukan
stunting sebanyak 49 responden (48,5%) Kabupaten Subang Jawa Barat tahun 2019.
dan yang normal sebanyak 52 responden Hasil analisis diperoleh OR=0,34 artinya
(51,5%). Sedangkan responden dengan responden dengan usia balita 24-36 bulan
usia balita 37-60 bulan yang mengalami beresiko sebesar 0,34 kali mengalami
stunting sebanyak 27 responden (73%) dan stunting dibandingkan responden dengan
yang normal 10 responden (27%). Hasil uji usia balita 37-60 bulan.
statistik p value=0,011 yang berarti

Tabel 3 Analisis Bivariat antara Jenis Kelamin Balita dengan kejadian stunting

Variabel Stunting Normal Jumlah OR P


N % N %
Jenis Kelamin Balita
- Laki-laki 51 48,1 55 51,9 106 100% 0,26 0,03
(0,1-0,65)
- Perempuan 25 78,1 7 21,9 32 100%

Berdasarkan tabel 3 diketahui terdapat hubungan yang bermakna antara


bahwa responden dengan kategori jenis jenis kelamin dengan kejadian stunting
kelamin laki-laki yang mengalami stunting pada balita di Puskesmas Pamanukan
sebanyak 51 responden (48,1%) dan yang Kabupaten Subang Jawa Barat tahun 2019.
normal sebanyak 55 responden (51,9%). Hasil analisis diperoleh OR=0,26 artinya
Sedangkan responden dengan jenis responden dengan jenis kelamin laki-laki
kelamin perempuan yang mengalami beresiko sebesar 0,26 kali mengalami
stunting sebanyak 25 responden (78,1%) stunting dibandingkan responden dengan
dan yang normal 7 responden (21,9%). jenis kelamin perempuan.
Hasil uji statistik p value=0,03 yang berarti
Tabel 4 Analisis Bivariat antara Jenis Kelamin Balita dengan kejadian stunting

Variabel Stunting Normal Jumlah OR P


N % N %
Berat lahir balita
- BBLR 40 81,6 9 18,4 49 100% 6,54 0,00
(2,83-15,12)
- Normal 36 40,4 53 59,6 89 100%

Berdasarkan tabel 4 diketahui terdapat hubungan yang bermakna antara


bahwa responden dengan kategori berat berat badan lahir dengan kejadian stunting
badan lahir rendah yang mengalami pada balita di Puskesmas Pamanukan
stunting sebanyak 40 responden (81,6%) Kabupaten Subang Jawa Barat tahun 2019.
dan yang normal sebanyak 9 responden Hasil analisis diperoleh OR=6,54, artinya
(18,4%). Sedangkan responden dengan responden dengan berat badan lahir
berat badan lahir normal yang mengalami rendah beresiko sebesar 6,54 kali
stunting sebanyak 36 responden (40,4%) mengalami stunting dibandingkan
dan yang normal 53 responden (59,6%). responden dengan berat badan lahir
Hasil uji statistik p value=0,00 yang berarti normal.

Tabel 5 Analisis Bivariat antara Pendidikan Orang Tua dengan kejadian stunting

Variabel Stunting Normal Jumlah OR P


N % N %
Pendidikan orang tua
- Rendah 40 81,6 9 18,4 49 100% 6,54 0,00
(2,83-15,12)
- Tinggi 36 40,4 53 59,6 89 100%

Berdasarkan tabel 5 diketahui hubungan yang bermakna antara


bahwa responden dengan kategori pendidikan orang tua dengan kejadian
pendidikan orang tua rendah yang stunting pada balita di Puskesmas
mengalami stunting sebanyak 40 Pamanukan Kabupaten Subang Jawa
responden (81,6%) dan yang normal Barat tahun 2019. Hasil analisis diperoleh
sebanyak 9 responden (18,4%). Sedangkan OR=6,54, artinya responden dengan
responden dengan pendidikan orang tua pendidikan orang tua yang rendah
tinggi yang mengalami stunting sebanyak beresiko sebesar 6,54 kali mengalami
36 responden (40,4%) dan yang normal 53 stunting dibandingkan responden dengan
responden (59,6%). Hasil uji statistik p pendidikan orang tua tinggi.
value=0,00 yang berarti terdapat
Tabel 6 Analisis Bivariat antara Pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian stunting

Variabel Stunting Normal Jumlah OR P


N % N %
ASI ekslusif
- Tidak ASI 42 72,4 16 27,6 58 100% 3,55 0,00
Ekslusif (1,71-7,34)
- ASI Ekslusif 34 42,4 46 57,5 80 100%

Berdasarkan tabel 6 diketahui hubungan yang bermakna antara


bahwa responden dengan kategori tidak pemberian asi ekslusif dengan kejadian
asi ekslusif yang mengalami stunting stunting pada balita di Puskesmas
sebanyak 42 responden (72,4%) dan yang Pamanukan Kabupaten Subang Jawa
normal sebanyak 16 responden (27,6%). Barat tahun 2019. Hasil analisis diperoleh
Sedangkan responden dengan asi ekslusif OR=3,55, artinya responden yang tidak
yang mengalami stunting sebanyak 34 diberi asi ekslusif beresiko sebesar 3,55
responden (42,4%) dan yang normal 46 kali mengalami stunting dibandingkan
responden (57,5%). Hasil uji statistik p responden dengan asi ekslusif.
value=0,00 yang berarti terdapat

Tabel 7 Analisis Bivariat antara Status gizi dengan kejadian stunting

Variabel Stunting Normal Jumlah OR P


N % N %
Status gizi
- Kurang 40 81,6 9 18,4 49 100% 6,54 0,00
(2,83-15,12)
- Baik 36 40,4 53 59,6 89 100%

Berdasarkan tabel 4.7 diketahui hubungan yang bermakna antara status


bahwa responden dengan kategori status gizi dengan kejadian stunting pada balita
gizi kurang yang mengalami stunting di Puskesmas Pamanukan Kabupaten
sebanyak 40 responden (81,6%) dan yang Subang Jawa Barat tahun 2019. Hasil
normal sebanyak 9 responden (18,4%). analisis diperoleh OR=6,54, artinya
Sedangkan responden dengan status gizi responden dengan status gizi yang
baik yang mengalami stunting sebanyak kurang beresiko sebesar 6,54 kali
36 responden (40,4%) dan yang normal 53 mengalami stunting dibandingkan
responden (59,6%). Hasil uji statistik p responden dengan status gizi baik.
value=0,00 yang berarti terdapat

Tabel 8 Analisis Bivariat antara Penyakit Infeksi dengan kejadian stunting

Variabel Stunting Normal Jumlah OR P


N % N %
Penyakit Infeksi
- Sering 61 79,2 16 20,8 77 100% 11,69 0,00
(5,24-26,06)
- Jarang 15 24,6 46 75,4 61 100%
Berdasarkan tabel 4.8 diketahui yang berarti terdapat hubungan yang
bahwa responden dengan kategori sering bermakna antara penyakit infeksi dengan
mengalami penyakit infeksi dan kejadian stunting pada balita di
mengalami stunting sebanyak 61 Puskesmas Pamanukan Kabupaten
responden (79,2%) dan yang normal Subang Jawa Barat tahun 2019. Hasil
sebanyak 16 responden (20,8%). analisis diperoleh OR=11,69, artinya
Sedangkan responden yang jarang responden dengan penyakit infeksi yang
mengalami penyakit infeksi yang sering beresiko sebesar 11,69 kali untuk
mengalami stunting sebanyak 15 mengalami stunting dibandingkan
responden (24,6%) dan yang normal 46 responden yang jarang mengalami
responden (75,4%). Hasil uji statistik p penyakit infeksi.
value=0,00 lebih kecil dari alfa (α=0,05),

Tabel 9 Analisis Bivariat antara Status Imunisasi dengan kejadian stunting

Variabel Stunting Normal Jumlah OR P


N % N %
Status imunisasi
- Tidak lengkap 61 79,2 16 20,8 77 100% 11,69 0,00
(5,24-26,06)
- Lengkap 15 24,6 46 75,4 61 100%

Berdasarkan tabel 9 diketahui terdapat hubungan yang bermakna antara


bahwa responden dengan kategori status status imunisasi dengan kejadian stunting
imunisasi tidak lengkap yang mengalami pada balita di Puskesmas Pamanukan
stunting sebanyak 61 responden (79,2%) Kabupaten Subang Jawa Barat tahun 2019.
dan yang normal sebanyak 16 responden Hasil analisis diperoleh OR=11,69, artinya
(20,8%). Sedangkan responden dengan responden dengan status imunisasi yang
status imunisasi lengkap yang mengalami tidak lengkap beresiko sebesar 11,69 kali
stunting sebanyak 15 responden (24,6%) mengalami stunting dibandingkan
dan yang normal 46 responden (75,4%). responden dengan status imunisasi
Hasil uji statistik p value=0,00 yang berarti lengkap.

Tabel 10 Analisis Bivariat antara Pekerjaan Orang Tua dengan kejadian stunting

Variabel Stunting Normal Jumlah OR P


N % N %
Pekerjaan orang tua
- Penghasilan 54 68,4 25 31,6 79 100% 3,63 0,00
Tidak tetap (1,78-7,38)
- Penghasilan tetap 22 37,3 37 62,7 59 100%

Berdasarkan tabel 10 diketahui bahwa Sedangkan responden dengan orang tua


responden dengan kategori orang tua berpenghasilan tetap yang mengalami
berpenghasilan tidak tetap yang stunting sebanyak 22 responden (37,3%)
mengalami stunting sebanyak 54 dan yang normal 37 responden (62,7%).
responden (68,4%) dan yang normal Hasil uji statistik p value=0,00 yang berarti
sebanyak 25 responden (31,6%). terdapat hubungan yang bermakna antara
pekerjaan orang tua dengan kejadian tua yang berpenghasilan tidak tetap
stunting pada balita di Puskesmas beresiko sebesar 3,36 kali mengalami
Pamanukan Kabupaten Subang Jawa stunting dibandingkan responden dengan
Barat tahun 2019. Hasil analisis diperoleh orang tua berpenghasilan tetap.
OR=3,63 artinya responden dengan orang

Tabel 9 Analisis Bivariat antara Status Ekonomi Keluarga dengan kejadian stunting

Variabel Stunting Normal Jumlah OR P


N % N %
Status ekonomi keluarga
- Rendah 55 78,6 15 21,4 70 100% 8,2 0,00
(3,8-17,69)
- Tinggi 21 30,9 47 69,1 68 100%

Berdasarkan tabel 4.11 diketahui terdapat hubungan yang bermakna antara


bahwa responden dengan kategori status status ekonomi keluarga dengan kejadian
ekonomi keluarga rendah yang stunting pada balita di Puskesmas
mengalami stunting sebanyak 55 Pamanukan Kabupaten Subang Jawa
responden (78,6%) dan yang normal Barat tahun 2019. Hasil analisis diperoleh
sebanyak 15 responden (21,4%). OR=8,2, artinya responden dengan status
Sedangkan responden dengan status ekonomi keluarga yang rendah beresiko
ekonomi keluarga tinggi yang mengalami sebesar 8,2 kali mengalami stunting
stunting sebanyak 21 responden (30,9%) dibandingkan responden dengan status
dan yang normal 47 responden (69,1%). ekonomi keluarga tingg
Hasil uji statistik p value=0,00 yang berarti

PEMBAHASAN
1. Usia Balita pertumbuhannya stabil. Lambatnya
Berdasarkan hasil analisis data kecepatan pertumbuhan ini tercermin
menggunakan uji chi square diketahui dalam penurunan nafsu makan, padahal
bahwa usia balita berhubungan dengan dalam masa ini anak-anak membutuhkan
kejadian stunting dengan p value 0,011, kalori dan zat gizi yang adekuat untuk
artinya usia balita merupakan salah satu memenuhi kebutuhan akan zat gizi
faktor yang berhubungan dengan mereka (Almatsier, 2010).
kejadian stunting di Puskesmas Penelitian Ramli et al. (2009) di
Pamanukan Kabupaten Subang Jawa Maluku Utara prevalensi stunting dan
Barat. Masa balita merupakan usia severe stunting lebih tinggi pada anak usia
paling rawan, karena pada masa ini 24-59 bulan, yaitu sebesar 50% dan 24%,
balita sering terkena penyakit infeksi dibandingkan anak-anak berusia 0-23
sehingga menjadikan balita berisiko tinggi bulan.
menjadi kurang gizi hingga menyebabkan Berdasarkan data yang
stunting (Almatsier, 2010). Anak-anak didapatkan, ada hubungan antara usia
yang berusia lebih dari 2 tahun lebih kecil balita dengan kejadian stunting pada
kemungkinannya untuk pulih dari balita, karena balita yang berusia 24-36
stunting (Sedgh et al., 2000). bulan dari 101 responden, sebanyak 49
Pertumbuhan pada usia balita responden (48,5%) yang mengalami
dan prasekolah lebih lambat stunting dan yang tidak stunting (normal)
dibandingkan pada masa bayi namun sebanyak 52 responden (51,5%),
dibandingkan dengan balita yang berusia
37-60, dari 37 responden sebanyak 27 bahwa berat lahir balita berhubungan
responden (73%) yang mengalami stunting dengan kejadian stunting dengan p value
dan yang tidak stunting (normal) 10 0,00, artinya berat badan lahir rendah
responden (27%). Nilai OR yang didapat (BBLR) merupakan salah satu faktor yang
sebesar 0,34 artinya kejadian stunting berhubungan dengan kejadian stunting di
berpeluang besar terjadi pada subyek Puskesmas Pamanukan Kabupaten
dengan usia 24-35 bulan dibandingkan Subang Jawa Barat.
subyek dengan usia 37-60 bulan. Pada hubungan antara berat lahir
2.Jenis Kelamin Balita balita dengan kejadian stunting, nilai
Berdasarkan hasil analisis data OR=6,54, artinya responden dengan berat
menggunakan uji chi square diketahui badan lahir rendah (BBLR) berisiko
bahwa jenis kelamin balita berhubungan sebesar 6,54 kali mengalami stunting
dengan kejadian stunting dengan p value dibandingkan responden dengan berat
0,03, artinya jenis kelamin balita badan lahir normal.
merupakan salah satu faktor yang Hasil ini sejalan dengan peneltian
berhubungan dengan kejadian stunting di sebelumnya di Indramayu yang
Puskesmas Pamanukan Kabupaten menunjukkan bahwa bayi stunting
Subang Jawa Barat. terbanyak pada balita dengan berat badan
Selama masa bayi dan kanak- lahir rendah (Kusharisupeni, 2002).
kanak, anak perempuan cenderung lebih Bayi dengan riwayat berat badan
rendah kemungkinannya menjadi stunting lahir rendah menunjukkan terjadinya
dan severe stunting daripada anak laki- retardasi pertumbuhan di dalam uterus
laki, selain itu bayi perempuan dapat baik akut maupun kronis dan lebih
bertahan hidup dalam jumlah lebih besar berisiko mengalami gangguan
daripada bayi laki-laki di kebanyakan pertumbuhan di masa anak-anak karena
negara berkembang termasuk Indonesia lebih rentan terhadap penyakit infeksi,
(Ramli et al., 2009). seperti diare (Kusharisupeni, 2002).
Anak laki-laki lebih berisiko Berdasarkan data yang
stunting dibandingkan anak perempuan. didapatkan, ada hubungan antara berat
Beberapa penelitian di sub- Sahara Afrika lahir balita dengan kejadian stunting pada
menunjukkan bahwa anak laki-laki balita, karena balita dengan berat badan
prasekolah lebih berisiko stunting lahir rendah (BBLR) dari 49 responden,
daripada rekan perempuannya. Dalam hal sebanyak 40 responden (81,6%) yang
ini, tidak diketahui apa alasannya mengalami stunting dan yang tidak
(Lesiapeto et al., 2010). stunting (normal) sebanyak 9 responden
Berdasarkan data yang (18,4%), dibandingkan dengan balita yang
didapatkan, ada hubungan antara jenis memiliki berat badan lahir normal, dari 89
kelamin dengan kejadian stunting pada responden sebanyak 36 responden (40,4%)
balita, karena balita yang berjenis kelamin yang mengalami stunting dan yang tidak
laki-laki dari 106 responden, sebanyak 51 stunting (normal) 53 responden (59,6%).
responden (48,1%) yang mengalami Secara statistik hasil penelitian ini
stunting dan yang tidak stunting (normal) menyebutkan bahwa berat badan lahir
sebanyak 55 responden (51,9%). Nilai OR rendah cukup mempengaruhi kejadian
yang didapat sebesar 0,26 artinya kejadian stunting dan merupakan faktor risiko
stunting berpeluang besar terjadi pada stunting. Oleh karena itu, orang tua yang
subyek laki-laki dibandingkan dengan memiliki anak dengan berat badan lahir
subyek perempuan. rendah harus lebih sadar dan waspada
3. Berat lahir balita akan kejadian stunting.
Berdasarkan hasil analisis data
menggunakan uji chi square diketahui
4.Pendidikan orang tua responden (81,6%) yang mengalami
Hasil analisis bivariat stunting dan yang tidak stunting (normal)
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan sebanyak 9 responden (18,4%),
orang tua adalah faktor risiko kejadian dibandingkan responden dengan
stunting yang bermakna (p=0,00). pendidikan orang tua yang tinggi, dari 89
Pendidikan orang tua salah satu faktor responden sebanyak 36 responden (40,4%)
penting dalam tumbuh kembang anak, yang mengalami stunting dan yang tidak
dengan pendidikan yang baik orang tua stunting (normal) 53 responden (59,6%).
dapat menerima segala informasi tentang 5. Pemberian ASI Ekslusif
cara pengasuhan anak yang baik Berdasarkan hasil analisis data
(Soetjiningsih, 1995). menggunakan uji chi square diketahui
Pada hubungan antara bahwa pemberian asi ekslusif
pendidikan orang tua dengan stunting, berhubungan dengan kejadian stunting
nilai OR=6,54, artinya responden dengan dengan p value 0,00, artinya pemberian
pendidikan orang tua yang rendah ( asi ekslusif merupakan salah satu faktor
TS,SD,SMP) berisiko sebesar 6,54 kali yang berhubungan dengan kejadian
mengalami stunting dibandingkan stunting di Puskesmas Pamanukan
responden dengan pendidikan orang tua Kabupaten Subang Jawa Barat. Selain nilai
yan tinggi ( SMA, PT). gizi asi yang tinggi, zat pada asi juga
Hasil penelitian ini sejalan dengan melindungi bayi terhadap berbagai
penelitian di Padang yang menunjukkan macam infeksi sehingga asi ekslusif
bahwa bayi stunting lebih banyak terjadi berhubungan dengan kejadian stunting
pada ibu yang berpendidikan rendah (Soetjiningsih, 1995). Pada hubungan
(Sulastri d, 2012). antara pemberian asi ekslusif dengan
Mekanisme hubungan stunting, nilai OR yang didapat sebesar
pendidikan orang tua dengan kesehatan 3,55 artinya kejadian stunting berpeluang
anak terdiri dari tiga yaitu pengetahuan besar terjadi pada subyek yang tidak
tentang kesehatan, pendidikan formal diberi asi ekslusif dibandingkan dengan
yang diperoleh orang tua dapat subyek yang diberi asi ekslusif.
memberikan pengetahuan tentang Rekomendasi dari The America
kesehatan, pendidikan formal yang Dietic Association (ADA) dan The American
diperoleh oleh orang tua dapat Academy of Pediatric (AAP) adalah agar asi
memberikan pengetahuan atau informasi diberikan ekslusif kepada bayi selama 6
yang berhubungan dengan kesehatan, bulan pertama (American Academy of
kemampuan melek huruf dan angka, Pediatrics, 2012). Manfaat utama dari asi
kemampuan melek huruf dan angka yang ekslusif dalam 6 bulan pertama
diperoleh dari pendidikan formal dibandingkan dengan asi ekslusif di 3
memberikan kemampuan untuk membaca bulan pertama adalah berkurangnya
masalah kesehatan yang dialami oleh risiko kejadian infeksi gastrointestinal
anak dan melakukan perawatan dan yang signifikan. Berbagai penyakit
pajanan terhadap kehidupan modern, berbahaya di saat bayi dan usia dewasa
pendidikan formal menjadikan orang tua juga dapat dihindari jika bayi
lebuh paham dalam menerima mendapatkan asi ekslusif, seperti diare,
pengobatan modern (Glewwe et al., 1999). pneumonia, meningitis, diabetes dan
Berdasarkan data yang kanker (Kramer et al., 2002).
didapatkan, ada hubungan antara Gangguan pertumbuhan linier
pendidikan orang tua dengan kejadian postnatal terjadi mulai usia 3 bulan
stunting pada balita, karena responden pertama kehidupan, suatu periode
dengan pendidikan orang tua yang dimana terjadi penurunan pemberian asi,
rendah dari 49 responden, sebanyak 40 makanan tambahan mulai diberikan dan
mulai mengalami kepekaan terhadap pengaruh independen dari asupan
infeksi (Martorell et al., 1995). Kurangnya makanan, menunjukkan rendahnya
pemberian asi dan memberi makanan konsumsi lemak memberikan kontribusi
formula yang terlalu dini juga bisa signifikan terhadap stunting (Trihono et
menimgkatkan risiko stunting ada periode al., 2015).
postnatal awal (Adair et al., 1997). Pada hubungan antara status gizi
Hal ini sejalan dengan penelitian dengan stunting, nilai OR yang didapat
di Yogyakarta yang menunjukkan bahwa sebesar 6,54 artinya kejadian stunting
ada hubungan bermakna antara asi berpeluang besar terjadi pada subyek
ekslusif dengan kejadian stunting pada dengan status gizi kurang dibandingkan
anak usia 6-24 bulan (p=0,03) (Fariani, dengan subyek yang diberi status gizi
2010). baik.
Berdasarkan dari data yang Gizi yang baik dan kesehatan
didapatkan, ada hubungan antara adalah bagian penting dari kualitas hidup
pemberian ASI ekslusif dengan kejadian yang baik. Gizi yang cukup diperlukan
stunting pada balita, karena responden untuk menjamin pertumbuhan optimal
dengan kategori tidak diberi ASI ekslusif dan pengembangan bayi dan anak.
dari 58 responden, sebanyak 42 responden Kebutuhan gizi sehari-hari digunakan
(72,4%) yang mengalami stunting dan untuk menjalankan dan menjaga fungsi
yang tidak stunting (normal) sebanyak 16 normal tubuh dapat dilakukan dengan
responden (27,6%), dibandingkan dengan memilih dan mengasup makanan yang
responden yang diberi ASI ekslusif, dari baik (kualitas dan kuantitasnya)
80 responden sebanyak 34 responden (Almatsier. 2010).
(42,4%) yang mengalami stunting dan Protein merupakan zat pengatur dalam
yang tidak stunting (normal) 46 responden tubuh manusia. Pada balita protein
(57,5%).. Hal ini menunjukkan bahwa asi dibutuhkan untuk pemeliharaan jaringan,
ekslusif pada penelitian ini perubahan komposisi tubuh, dan untuk
mempengaruhi kejadian stunting. Hasil sintesis jaringan baru. Selain itu, protein
wawancara yang mendalam dengan ibu juga dapat membentuk antibodi untuk
balita, kebanyakan dari balita yang tidak menjaga daya tahan tubuh terhadap
mendapatkan asi ekslusif selama 6 bulan infeksi dan bahan-bahan asing yang
diberi asi yang dikombinasikan dengan masuk ke dalam tubuh (Almatsier, 2010).
susu formula. Alasan yang dikemukakan Menurut hasil penelitian di Kabupaten
ibu balita tersebut adalah asi tidak lancar Bogor menunjukkan bahwa tingkat
dan ibu juga memiliki pekerjaan sehingga asupan energi kelompok anak normal
pemberian asi tidak maksimal. hampir sebagian tercukupi, sementara
6. Status gizi pada kelompok anak stunting masih
Berdasarkan hasil analisis data rendah (Astari et al., 2006).
menggunakan uji chi square diketahui Berdasarkan data yang
bahwa status gizi berhubungan dengan didapatkan dari status gizi yang kurang
kejadian stunting dengan p value 0,00, mengalami stunting sebanyak 40
artinya status gizi merupakan salah satu responden (81,6%) sedangkan responden
faktor yang berhubungan dengan dengan status gizi baik yang mengalami
kejadian stunting di Puskesmas stunting sebanyak 36 responden (40,4%).
Pamanukan Kabupaten Subang Jawa Hal ini menunjukkan bahwa status gizi
Barat. Stunting bisa disebabkan dari pada penelitian ini berperan dalam
beberapa faktor baik individu maupun mempengaruhi kejadian stunting.
lingkungan terutama infeksi parasit. 7. Penyakit Infeksi
Dalam analisis regresi multivariabel Berdasarkan hasil analisis data
logistik yang digunakan untuk menilai menggunakan uji chi square diketahui
bahwa penyakit infeksi berhubungan dengan kejadian stunting di Puskesmas
dengan kejadian stunting dengan p value Pamanukan Kabupaten Subang Jawa
0,00, artinya penyakit infeksi merupakan Barat.
salah satu faktor yang berhubungan Pada hubungan antara status
dengan kejadian stunting di Puskesmas imunisasi dengan stunting, nilai OR yang
Pamanukan Kabupaten Subang Jawa didapat sebesar 11,69 artinya kejadian
Barat. Berdasarkan penelitian Masithah et stunting berpeluang besar terjadi pada
al. (2005), anak balita yang menderita subyek dengan status imunisasi tidak
diare memiliki hubungan positif dengan lengkap dibandingkan subyek dengan
indeks status gizi tinggi badan menurut status imuisasi lengkap.
umur (TB/U). Pemberian imunisasi pada anak
Pada hubungan antara penyakit memiliki tujuan penting yaitu untuk
infeksi dengan stunting, nilai OR yang mengurangi risiko mordibitas (kesakitan)
didapat sebesar 11,69 artinya kejadian dan mortalitas (kematian) anak akibat
stunting berpeluang besar terjadi pada penyakit-penyakit yang dapat dicegah
subyek dengan penyakit infeksi sering (3- dengan imunisasi. Penyakit-penyakit
4x) dibandingkan subyek dengan tersebut antara lain: TBC, difteri, tetanus,
penyakit infeksi jarang(1-2x). pertusis, polio, campak, hepatitis B, dan
Penyakit infeksi seperti diare dan sebagainya (Trihono et al., 2015).
ISPA yang disebabkan oleh sanitasi Penelitian lain juga menunjukkan
pangan dan lingkungan yang buruk, bahwa status imunisasi yang tidak
berhubungan dengan kejadian stunting lengkap memiliki hubungan yang
pada bayi usia 6 – 12 bulan (Almatsier, signifikan dalam kejadian stunting pada
2010). anak usia < 5 tahun (Taguri et al., 2007).
Penelitian lain di Libya juga menyatakan Berdasarkan data yang
bahwa penyakit diare menjadi faktor didapatkan dari status imunisasi yang
kejadian stunting pada anak dibawah 5 tidak lengkap mengalami stunting
tahun (Taguri et al., 2008). sebanyak 61 responden (79,2%)
Berdasarkan dari data yang sedangkan responden dengan status
didapatkan, ada hubungan antara imunisasi lengkap yang mengalami
penyakit infeksi dengan kejadian stunting stunting sebanyak 15 responden (24,6%.
pada balita, karena responden dengan Hal ini menunjukkan bahwa
kategori sering mengalami penyakit status imunisasi pada penelitian ini
infeksi dari 77 responden, sebanyak 61 berperan dalam mempengaruhi kejadian
responden (79,2%) yang mengalami stunting.
stunting dan yang tidak stunting (normal) 9. Pekerjaan Orang Tua
sebanyak 16 responden (20,8%), Berdasarkan hasil analisis data
dibandingkan dengan responden yang menggunakan uji chi square diketahui
jarang mengalami penyakit infeksi, dari bahwa pekerjaan orang tua berhubungan
61 responden sebanyak 15 responden dengan kejadian stunting dengan p value
(24,6%) yang mengalami stunting dan 0,00, artinya pekerjaan orang tua
yang tidak stunting (normal) 46 responden merupakan salah satu faktor yang
(75,4%). berhubungan dengan kejadian stunting di
8. Status Imunisasi Puskesmas Pamanukan Kabupaten
Berdasarkan hasil analisis data Subang Jawa Barat.
menggunakan uji chi square diketahui Pada hubungan antara pekerjaan
bahwa status imunisasi berhubungan orang tua dengan stunting, nilai OR yang
dengan kejadian stunting dengan p value didapat sebesar 3,63 artinya kejadian
0,00, artinya status imunisasi merupakan stunting berpeluang besar terjadi pada
salah satu faktor yang berhubungan subyek dengan pekerjaan orang tua
berpenghasilan tidak tetap (tidak Pada hubungan antara status
bekerja,wiraswasta,buruh, lainnya) ekonomi keluarga dengan stunting, nilai
dibandingkan subyek dengan pekerjaan OR yang didapat sebesar 8,2 artinya
orang tua berpenghasilan tetap kejadian stunting berpeluang besar terjadi
(POLRI/TNI/PNS). pada subyek dengan status ekonomi
Pekerjaan merupakan faktor penting keluarga rendah(Rp.<2.700.000,00)
dalam menentukan kualitas dan kuantitas dibandingkan subyek dengan status
pangan, karena pekerjaan berhubungan ekonomi keluarga tinggi
dengan pendapatan. Dengan demikian, (Rp.>2.700.000,00).
terdapat asosiasi antara pendapatan Dengan adanya pertumbuhan
dengan dengan gizi, apabila pendapatan ekonomi dan adanya peningkatan
meningkat maka bukan tidak mungkin penghasilan yang berkaitan dengan itu,
kesehatan dan masalah keluarga yang maka perbaikan gizi akan tercapai dengan
berkaitan dengan gizi mengalami sendirinya. Tingkat penghasilan juga
perbaikan (Trihono et al., 2015). menentukan jenis pangan yang akan
Penelitian cross sectional yang dilakukan dikonsumsi. Biasanya di negara yang
oleh Ramli et al. (2009) menunjukkan ayah berpendapatan rendah mayoritas
yang tidak bekerja memiliki hubungan pengeluaran pangannya untuk membeli
yang signifikan terhadap kejadian severe serealia, sedangkan di negara yang
stunting pada anak usia 0 – 59 bulan di memiliki pendapatan per-kapita tinggi,
Maluku Utara. pengeluaran bahan pangan protein akan
Berdasarkan data yang meningkat (Trihono et al., 2015).
didapatkan dari pekerjaan orang tua Menurut penelitian Semba et al.
berpenghasilan tidak tetap mengalami (2008) di Indonesia dan Bangladesh
stunting sebanyak 54 responden (68,4%) menunjukkan bahwa anak dari keluarga
sedangkan responden dengan pekerjaan dengan tingkat ekonomi rendah memiliki
orang tua berpenghasilan tetap yang resiko stunting lebih tinggi dibandingkan
mengalami stunting sebanyak 22 anak dari keluarga sosial ekonomi yang
responden (37,3%). Hal ini menunjukkan lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
bahwa pekerjaan orang tua pada keadaan ekonomi keluarga
penelitian ini berperan dalam mempengaruhi kejadian stunting pada
mempengaruhi kejadian stunting. balita.
10. Status Ekonomi Keluarga Berdasarkan data yang
Berdasarkan hasil analisis data didapatkan dari status ekonomi keluarga
menggunakan uji chi square diketahui yang rendah mengalami stunting
bahwa status ekonomi keluarga sebanyak 55 responden (78,6%)
berhubungan dengan kejadian stunting sedangkan responden dengan status
dengan p value 0,00, artinya status ekonomi keluarga tinggi yang mengalami
ekonomi keluarga merupakan salah satu stunting sebanyak 21 responden (30,9%).
faktor yang berhubungan dengan Hal ini menunjukkan bahwa status
kejadian stunting di Puskesmas ekonomi keluarga pada penelitian ini
Pamanukan Kabupaten Subang Jawa berperan dalam mempengaruhi kejadian
Barat. terhadap probabilitas seorang anak stunting.
menjadi pendek dan kurus. Dalam hal ini,
WHO merekomendasikan stunting KESIMPULAN
sebagai alat ukur atas tingkat sosial- Berdasarkan penelitian ini dapat
ekonomi yang rendah dan sebagai salah disimpulkan bahwa terdapat hubungan
satu indikator untuk memantau ekuitas yang bermakna pada faktor-faktor yang
dalam kesehatan (Zere et al., 2003). berhubungan dengan kejadian stunting
pada balita di Puskesmas Pamanukan
Kabupaten Subang Jawa Barat Tahun ASI Serta Kejadian
2019. Stunting Anak Usia 6-12 Bulan
Di Kabupaten Bogor. Media
DAFTAR PUSTAKA Gizi dan Keluarga 30 (1) 15.23.
Diakses pada 25 Januari 2019 dari
Adair LS, Guilkey DK. 1997. Age specific www.repository.ipb.ac.id
determinants of stunting in Filipino Astuti, L. 2017. Masalah kependekan
children. The journal of Nutrition (stunting) pada Balita : Analisis
127(2). Prospek Penanggulangannya di
Administrative Committee on Indonesia. Bogor. IPB Press. 122 hal
Coordination/SubCommittee on Damanik, MR, Ekayanti, I, & Hariyadi, D.
Nutrition & International 2010. Analisis Pengaruh Pendidikan
Food Policy Research Institute Ibu Terhadap Status Gizi
(IFPRI). 2000. 4th Report on the Balita di Provinsi Kalimantan Barat.
World Nutrition Situation. Geneva: Jurnal Gizi dan Pangan, vol. 5 no.
Nutrition Throughout the Life Cycle. 2. Diakses pada 19 Februari 2019
Administrative Committee on dari www.journal.ipc.ac.id
Coordination. 2000. 3rd Report on
The World Nutrition Diana, F. M. 2006. Hubungan Pola Asuh
Situation. Geneva: Nutrition dengan Status Gizi Anak Batita di
Throughout the Life Cycle. Diakses Kecamatan Kuranji Kelurahan
pada 10 Februari 2019 dari Pasar Ambacang Kota Padang.
www.unscn.org Jurnal Kesehatan Masyarakat.
American Academy of Pediatrics. 2012. Fariani, H. 2010. ASI Ekslusif Sebagai
Committee on nutrition: Faktor Risiko Kejadian Stunting
breastfeeding and the use of human Pada Anak Usia 6-24 bulan di
milk. Pediatrics 129. Kota Yogyakarta. Yogyakarta:UMY.
Almatsier, S.2010. Prinsip Dasar Ilmu Fitri. 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor
Gizi. Jakarta: PT Gramedia. Dominan Terjadinya Stunting pada
Arisman. 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi. Gizi Balita (12 – 59 bulan) di
dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Sumatera (Analisis Data Riskesdas
EGC. 2010) (Thesis). Depok: FKM UI.
Assis, AMO, et al. 2004. Childhood Glewwe, P. 1999. Why Does Mother’s
Stunting in Northeast Brazil: The Schooling Raise Child Health in
Role Of Schistosoma Mansoni Developing Countries.
Infection and Inadequate Dietary Marocco: J. Human Res 34 (1); 124-
Intake. European Journal of Clinical 159.
Nutrition (2004) 58, 1022–1029. Henningham & McGregor. 2008. Public
Diakses pada 11 Februari 2019 dari Health Nutrition editor M.J.
www.nature.com/ejcn Gibney, et al (alih bahasa:
Astari, L. D., A. Nasoetion, dan C. M. Andry Hartono). Jakarta: EGC.
Dwiriani. 2005. Hubungan Karakteristik Hien, N. N., S.Kam. 2008. Nutritional
Keluarga, Pola Pengasuhan, dan Status and the Characteristics
Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Related to Malnutrition in
Bulan. Bogor: Media Gizi dan Children Under Five Years of
Keluarga 29 (2): 40-46. Diakses pada Age in Nghean, Vietnam. J
25 Januari 2019 dari Prev Med Public Health, 41(4): 232-
www.repository.ipb.ac.id 240. Diakses pada 10 Februari
Astari, L. D., A. Nasoetion 2006. 2019 dari www.ncbi.nlm.nih.gov
Hubungan Konsumsi ASI Dan MP-
Istiftiani, Nourmatania. 2011. Hubungan aged years: a population-based
Pemberian Makanan Pendamping follow-up study in urban
ASI dan Faktor Lain dengan Status Amazonian children. BMC public
Gizi Naduta di Kelurahan Depok health, 12:265. Diakses pada 10
Kecamatan Pancoran Mas Februari 2019 dari.
Kota Depok Tahun 2011 (Skripsi). www.biomedcentral.com
Depok: FKM UI. Martorell, R, N.S. Scrimshaw. 1995. The
Khanna, S. B., Kiranabala, D., Swasti., et al. effects of improved nutritions in
2007. Fetal Origin of Adult Disease. early childhood. The institute of
JK Science Vol. 9 No.4. Nutrition of Central America and
Diakses pada 10 Februari 2019 dari Panama (INCAP)
www.jkscience.org Masithah, T., Soekirman, D., Martianto.
Kumar, D., Goel, N.K., Mittal, P.C., et al. 2005. Hubungan Pola Asuh
2006. Influence of Infant-feeding Makan Dan Kesehatan
Practices on Nutritional Status of Dengan Status Gizi Anak Batita Di
Under-five Children. Indian J Desa Mulya Harja. Media
Pediatr, 73 (5): 417-421. Gizi Keluarga, 29 (2): 29-39.
Diakses pada 10 Februari 2019 dari Diakses dari
www.ncbi.nlm.nih.gov www.repository.ipb.ac.id
Kramer MS, Guo T, Platt RW, Maxwell, S. 2011. Module 5: Cause of
Sevkovskaya Z, Idzikovich I, Collet Malnutrition. Oxford: Emergency
JP, Shapiro S, Chalmers B, Nutrition Diakses pada 10
Hodnett E, Vanilovich I, Mezen I, Februari 2019 dari
Ducruet T, Shishko G, www.unscn.org
Bogdanovich N. 2002. Infant Medhin, Girma et al. 2010. Prevalence and
growth and health outcomes Predictors Of Undernutrition
associated with 3 compared with 6 Among Infants Aged Six and
mo of exclusive breastfeeding. Twelve Months In Butajira,
AJCN 78: 291-5. Ethiopia: The P-MaMiE Birth
Kusharisupeni. 2002. Growth Faltering Cohort. Medhin et al. BMC Public
pada bayi di Kabupaten Indramayu Health, 10:27. Diakses pada 10
Jawa Barat. Makara Kesehatan Februari 2019 dari
6:1-5 www.biomedcentral.com
Kemenkes RI. 2018. Situasi balita pendek Milman, A., Frongillo, E. A., de Onis, M.,
(Stunting) di Indonesia. Jakarta: et al. 2005. Differential
Pusat data dan informasi Improvement among Countries
Kementrian Kesehatan RI. in Child Stunting Is Associated
Kemenkes RI. 2011. Standar Antropometri with Long-Term
Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta: Development and Specific
Kementrian Kesehatan RI. Intervention. The Journal of
Lesiapeto, M. et al., 2010. Risk factors of Nutrition, 135: 1415- 1422.
poor anthropometric status in Diakses pada 10 Februari 2019
childrenunder five years of age dari www.ncbi.nlm.nih.gov
living in rural districts of the Nadiyah., Briawan. D., Martianto, D.2014.
Eastern Cape and KwaZulu- Faktor Risiko Stunting Pada Anak
Natal provinces, South Africa. South Usia 0—23 Bulan Di Provinsi
African Journal of Clinical Nutrition. Bali, Jawa Barat, Dan Nusa
Lourenço, Eduardo., Rosângela.m., et al. Tenggara Timur, Jurnal Gizi dan
2012. Determinants of linear Pangan,9(2). 125-132.
growth from infancy to school-
Neldawati. 2006. Hubungan Pola Semba.,Richard., Bloem, et al. 2010.
Pemberian Makan pada Anak dan Nutrition and Health in
Karakteristik Lain dengan DevelopingCountries. New
Status Gizi Balita 6-59 Bulan di Jersey: Humana Press.
Laboratorium Gizi Masyarakat Semba, Richard., Martin., et al. 2009. Effect
Puslitbang Gizi dan Makanan of Parental Formal Education on
(P3GM) (Analisis Data Sekunder Risk of Child Stunting in
Data Balita Gizi Buruk Tahun Indonesia and Bangladesh: A
2005) (Skripsi). Depok: FKM UI. Cross Sectional Study. The Lancet
Notoadmojo, S. 2012. Metodelogi Article, 371: 322–328. Diakses pada
penelitian kesehatan. Jakarta: 10 Februari 2019dari
Rineka cipta. www.lancet.com
Oktavia, Rita. 2011. Hubungan Senbanjo., Oshikoya., Odusanya., et al.
Pengetahuan Sikap dan Perilaku 2011. Prevalence of and Risk
Ibu dalam Pemberian ASI factors for Stunting mong
Eksklusif dengan Status Gizi School Children and Adolescents
Baduta di Puskesmas Biaro in Abeokuta, Southwest
Kecamatan Ampek Nigeria. J Health Popul Nutr, 29(4):
Angkek Kabupaten Agam 364-370. Diakses pada 10 Februari
Tahun 2011 (Skripsi). Depok: 2019 dari www.bioline.org
FKM UI. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh kembang
Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah. 2017. anak. Jakarta: Buku Kedokteran
Cegah stunting dengan EGC.
pemberian ASI. Jakarta: Nasyiatul Stephenson, K., Amthor, R., Mallowa., et
Aisyiyah. al. 2010. Consuming Cassava As A
Ramayulis., Triyani., Iwaningsih., et al. Staple Food Places Children 2-5
2015 .Stop Stunting dengan Years Old at Risk For Inadequate
Konseling Gizi. Persatuan Ahli Protein Intake, an Observational
Gizi Indonesia (PERSAGI). Jakarta Study In Kenya and Nigeria.
ISBN : 9786021279748 Nutrition Journal, 9:9. Diakses
Ramli., Kingsley., Kerry., et al. 2009. pada 10 Februari 2019 dari
Prevalence and Risk Factors For www.nutritionj.com
Stunting and Severe Suhardjo. 2003. Perencanaan Pangan dan
Stunting Among Under-Fives in Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
North Maluku Province of Sulastri, D. 2012. Faktor Determinan
Indonesia. BMC Pediatrics 9: 64. Kejadian Stunting Pada Anak
Diakses pada 10 Februari 2019 Usia Sekolah di Kecamatan
dari www.biomedcentral.com Lubuk Kilangan Kota Padang.
Riskesdas. 2018. Hasil Utama Riskesdas Bagian Ilmu Gizi Fakultas
2018. Jakarta: Kemenkes Republik Kedokteran Universitas Andalas
Indonesia. Padang: Majalah Kedokteran
Rudert C. 2014. Malnutrition In Asia. Andalas.
Vientiane: UNICEF East Asia Pacific Taguri, A.E., Mahmud, S.M., Monem, A.,
Sedgh, Gilda, et al. 2000. Dietary Vitamin et al. 2008. Risk Factor For
A Intake and Nondietary Factors Stunting Among Under
Are Associated with Reversal Five in Libya. Public Health
of Stunting in Children. The Journal Nutrition, 12 (8), 1141- 1149.
of Nutrition, 130: 2520-2525. Diakses pada 10 Februari 2019
Diakses pada 10 Februari 2019 dari dari www.ncbi.nlm.nih.gov
www.jn.nutrition.org
Tehsome, Beka, et al. 2008. Risk Factor For
Stunting Among Under Five in
Libya. Public Health Nutrition.
The Lancet. 2008. The Lancet’s Series on
Maternal and Child Undernutrition
Executive Summary. Diakses
pada 10 Februari 2019 dari
www.thelancet.com
Trihono, Atmarita, Tjandrarini D., et al.
2015. Pendek (stunting) di
Indonesia, masalah dan
solusinya. Jakarta: Lembaga penerbit
Balitbangkes.
UNICEF. 2012. Ringkasan Kajian Gizi.
Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan -
Kementerian Kesehatan RI.
Yimer, G. 2000. Malnutrition Among
Children in Southern Ethiopia:
Levels and Risk Factors.
Ethiop. J. Health Dev, 14(3): 283-292.
Zere, Eyob., Diane McIntyre. 2003.
Inequities In Under-five Child
Malnutrition In South Africa.
International Journal for Equity in
Health, 2:7. Diakses pada 10
Februari 2019 dari
www.ncbi.nlm.nih.gov

Vous aimerez peut-être aussi