Vous êtes sur la page 1sur 6

Panic disorder (PD) being one of the most intensively investigated anxiety disorders is considered a

heterogeneous psychiatric disease which has difficulties with early diagnosis. The disorder is recurrent and
usually associated with low remission rates and high rates of relapse which may exacerbated social and quality
of life, causes unnecessary cost and increased risk for complication and suicide. Current pharmacotherapy for
PD are available but these drugs have slow therapeutic onset, several side effects and most patients do not
fully respond to these standard pharmacological treatments. Ongoing investigations indicate the need for new
and promising agents for the treatment of PD. This article will cover the importance of immediate and proper
treatment, the gap in the current management of PD with special emphasis on pharmacotherapy, and evidence
regarding the novel anti-panic drugs including the drugs in developments such as metabotropic glutamate
(mGlu 2/3) agonist and levetiracetam. Preliminary results suggest the anti-panic properties and the efficacy of
duloxetine, reboxetine, mirtazapine, nefazodone, risperidone and inositol as a monotherapy drug. Apart for
their effectiveness, the aforementioned compounds were generally well tolerated compared to the standard
available pharmacotherapy drugs, indicating their potential therapeutic usefulness for ambivalent and
hypervigilance patient. Further strong clinical trials will provide an ample support to these novel compounds as
an alternative monotherapy for PD treatment-resistant patient.

KEY WORDS: Antipsychotic agents; Antidepressive agents; Panic attack; Treatment-resistant; Clinical trial.

Gangguan panik (PD) menjadi salah satu gangguan kecemasan yang paling intensif untuk diteliti dan dianggap
penyakit kejiwaan heterogen yang memiliki kesulitan pada awal diagnosis. Gangguan ini berulang dan
biasanya dikaitkan dengan tingkat remisi yang rendah dan tingkat kekambuhan yang tinggi yang dapat
memperburuk sosial dan kualitas hidup sehingga menyebabkan biaya yang tidak perlu dan meningkatan risiko
komplikasi dan bunuh diri. Farmakoterapi saat ini untuk gangguan panik tersedia tetapi obat ini memiliki onset
terapi yang lambat, memiliki beberapa efek samping dan sebagian besar pasien tidak berespon terhadap
pengobatan farmakologis standar ini. Investigasi yang sekarang sedanmg dilakukan menunjukkan perlunya
agen baru dan diharapkan menjadi pengobatan gangguan panik. Artikel ini akan membahas pentingnya
perawatan segera mungkin dan tepat, perselisihan dalam manajemen gangguan panik saat ini dengan
penekanan khusus pada farmakoterapi, dan bukti mengenai obat anti-panik baru masih dalam pengembangan
seperti metabotropic glutamat (mGlu 2/3) agonis dan levetiracetam. Hasil awal menunjukkan sifat anti-panik
dan keefektifan duloxetine, reboxetine, mirtazapine, nefazodone, risperidone dan inositol sebagai obat
monoterapi. Terlepas dari keefektifannya, senyawa-senyawa tersebut pada umumnya dapat ditoleransi dengan
baik dibandingkan dengan obat-obatan farmakoterapi standar yang tersedia, yang menunjukkan kegunaan
terapeutik potensial mereka untuk pasien ambivalen dan hiper-navigasi. Uji klinis lebih lanjut yang kuat akan
memberikan dukungan yang cukup untuk senyawa baru ini sebagai monoterapi alternatif untuk pasien yang
resisten terhadap pengobatan gangguan panik.

KATA KUNCI: Agen antipsikotik; Agen antidepresif; Serangan panik; Tahan pengobatan; Uji klinis.

Introduction
Panic disorder (PD) being one of the most intensively investigated anxiety disorders, is among the most
common mental disorders affecting 2.7% of the population per year with a lifetime prevalence rate of up to 5%
in the general population and as high as 10% in the medical setting. PD is twice more often to occur in women
than in men and usually develop in late adolescence or early adulthood, with an average age onset of 28 year
old. Approximately 10% of children and adolescents are diagnosed with PD.

Gangguan panik (PD) menjadi salah satu gangguan kecemasan yang paling intensif diteliti karena salah satu
gangguan mental yang paling umum yang mempengaruhi 2,7% dari populasi per tahun dengan tingkat
prevalensi seumur hidup hingga 5% pada populasi umum dan setinggi 10% dalam dunia medis.Gannguan
panic dua kali lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dan biasanya berkembang pada usia remaja akhir
atau dewasa awal, dengan onset usia rata-rata 28 tahun. Sekitar 10% anak-anak dan remaja didiagnosis
menderita gangguan panik.

Conforming to the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 4th edition, text revision (DSM-IV-TR),
PD is defined as the presence of recurrent unexpected panic attack followed by at least one month of
persistent concern about having additional attacks, worry about the implications of the attack or its
consequences and a significant change in behavior related to the panic attacks. Moreover, the conditions of the
panic attacks should not due to the direct effect of a substance or medical condition and are not better
accounted for by another mental disorder. The panic attack itself according to DSM-IV-TR is interpreted by a
discrete period of intense fear or discomfort in which at least four of the following symptoms develop abruptly
and builds to a peak rapidly within 10 minutes. For ease of interpretation, the symptoms can be classified to
two systems; first, the somatic systems such as palpitations, pounding heart or accelerated heart rate, weating,
trembling or shaking, sensation of breathlessness or smothering, choking sensation, chest pain or discomfort,
nausea or abdominal distress, faintness or dizziness and chills or hot flushes. Second, cognitive system such
as derealization (feeling of unreality) or depersonalization (being detached from oneself), going mad or loss of
control, fear of dying and paresthesia (numbness or tingling sensation). About one-fourth of people suffering
from PD also have agoraphobia. In PD, patients are known to suffer from agoraphobia when they are extremely
anxious about being in places or other situations from which escape might be difficult or in which help would
not be available if they have panic attack or panic-like symptoms. The anxiety typically develops to a pervasive
avoidance of a range of situation that may include scared of being outside the home unaccompanied or in
crowd or home alone, travelling by car, bus or airplane or on a bridge or in an elevator.

Sesuai dengan Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental edisi ke-4, revisi teks (DSM-IV-TR),
gangguann panic didefinisikan sebagai adanya serangan panik berulang yang tak terduga diikuti oleh
setidaknya satu bulan terjadi kekhawatiran terus-menerus akan memiliki serangan tambahan, khawatir tentang
implikasi dari serangan atau konsekuensinya dan perubahan signifikan dalam perilaku yang terkait dengan
serangan panik. Selain itu, kondisi serangan panik tidak boleh karena efek langsung dari suatu zat atau kondisi
medis dan tidak lebih baik menyebabkan oleh gangguan mental lain. Serangan panik itu sendiri menurut DSM-
IV-TR ditafsirkan oleh periode yang berbeda dari ketakutan yang intens atau ketidaknyamanan di mana
setidaknya empat dari gejala berikut berkembang secara tiba-tiba dan meningkat dengan cepat dalam waktu
10 menit. Untuk memudahkan interpretasi, gejalanya dapat diklasifikasikan ke dua sistem; pertama, sistem
somatik seperti jantung berdebar-debar, detak jantung atau detak jantung yang dipercepat, keringetan,
gemetar atau tremor, sensasi sesak napas atau tercekik, sensasi tersedak, nyeri atau dada yang tidak
nyaman, mual atau sakit perut, pingsan atau pusing dan panas dingin atau menjadi memerah. Kedua, sistem
kognitif seperti derealization (perasaan tidak realistis) atau depersonalisasi (terlepas dari diri sendiri), menjadi
gila atau kehilangan kendali, takut mati dan paresthesia (sensasi mati rasa atau kesemutan). Sekitar
seperempat dari orang yang menderita gangguan panik juga menderita agorafobia. Pada gangguan panik,
pasien diketahui menderita agorafobia ketika mereka sangat cemas berada di tempat atau situasi lain yang
sulit melarikan diri atau di mana bantuan tidak akan tersedia jika mereka memiliki serangan panik atau gejala
seperti panik. Kecemasan biasanya berkembang menjadi kondisi yang pervasif ke berbagai situasi termasuk
takut berada di luar rumah tanpa ditemani atau di keramaian atau di rumah sendirian, bepergian dengan mobil,
bus atau pesawat terbang atau di jembatan atau lift.

Understanding the cause of PD might open the possibility of early detection and new treatment era. However,
the exact pathophysiology of PD is very much a grey area but psychobiological causation is the current
suggested mechanism. The proposed neuroanatomic model suggest that panic attacks occur in subjects with
dysfunctional fear network, including amygdala and its connection with the hypothalamus, hippocampus,
thalamus, periaqueductal grey region, locus coeruleus and prefrontal cortex. The inappropriate activation of
amygdala then stimulates neuroendocrine, autonomic and behavioral responses to fear or stress. Different
neurotransmitter such as serotonin, norepinephrine, and -aminobutyric acid (GABA) acting in different brain
areas and influencing each other may be involved in modulating these processes. To date, the mechanisms of
existing anti-panic drugs are not fully understood but these drugs probably act in the amygdala and its
projection via reducing the fear network sensitivity and subsequently lowering the severity and frequency of
panic attacks. Others postulate that PD represents a state of instability of respiratory regulation and
hypersensitivity of central neural network of carbon dioxide/hydrogen ions (CO2/H+) chemoreception, which
has been implicated both in experimentally evoked panic attacks via carbon dioxide inhalation, sodium lactate
infusion and in spontaneous panic attack.

Memahami penyebab Gangguan panik dapat membuka kemungkinan deteksi dini dan era pengobatan baru.
Namun, patofisiologi yang tepat dari gangguan panik adalah sangat abu-abu, tetapi penyebab psikobiologis
adalah mekanisme yang disarankan saat ini. Model neuroanatomik yang diusulkan menunjukkan bahwa
serangan panik terjadi pada subjek dengan jaringan ketakutan disfungsional, termasuk amigdala dan
hubungannya dengan hipotalamus, hippocampus, thalamus, wilayah abu-abu periaqueductal, locus coeruleus
dan prefrontal cortex. Aktivasi amigdala yang tidak tepat kemudian merangsang respons neuroendokrin,
otonom, dan perilaku terhadap rasa takut atau stres. Neurotransmitter yang berbeda seperti serotonin,
norepinefrin, dan gama-aminobutyric acid (GABA) yang bekerja di area otak yang berbeda dan saling
memengaruhi dapat terlibat dalam memodulasi proses ini. Sampai saat ini, mekanisme obat anti-panik yang
ada tidak sepenuhnya dipahami tetapi obat ini mungkin bertindak dalam amigdala dan proyeksi melalui
pengurangan sensitivitas jaringan rasa takut dan kemudian menurunkan keparahan dan frekuensi serangan
panik. Yang lain mendalilkan bahwa gangguan panik mewakili keadaan ketidakstabilan regulasi pernapasan
dan hipersensitivitas jaringan saraf pusat ion karbon dioksida / hidrogen (CO2 / H H) chemoreception, yang
telah terlibat baik dalam serangan panik yang ditimbulkan secara eksperimental melalui inhalasi karbon
dioksida, infus natrium laktat dan dalam serangan panik spontan.

In addition to the unknown etiology, PD is considered a heterogeneous psychiatric disease which has
difficulties with early diagnosis. PD usually comorbid with other medical conditions such as respiratory or
cardiac diseases, other mental disorders such as psychoactive substance abuse including alcohol, caffeine,
cannabis and cocaine, affective disorder, anxiety disorder including post-traumatic stress disorder (PTSD),
obsessive-compulsive disorder and social phobia. Panic attack can also occur in other psychiatric disorder.
However, panic attacks in other disorders are predictable and related to the avoidance of specific situation that
can trigger stimuli to the subjects such as being in a crowd in patients suffering from social phobia and
situations that refer to a traumatic event in patients suffering from PTSD.

Selain etiologi yang tidak diketahui, gangguan panik dianggap sebagai penyakit kejiwaan heterogen yang
memiliki kesulitan dengan diagnosis dini. gangguan panik biasanya komorbid dengan kondisi medis lainnya
seperti penyakit pernapasan atau jantung, gangguan mental lainnya seperti penyalahgunaan zat psikoaktif
termasuk alkohol, kafein, ganja dan kokain, gangguan afektif, gangguan kecemasan termasuk gangguan stres
pasca-trauma (PTSD), gangguan obsesif-kompulsif dan fobia sosial. Serangan panik juga dapat terjadi pada
gangguan kejiwaan lainnya. Namun, serangan panik pada gangguan lain dapat diprediksi dan terkait dengan
penghindaran situasi tertentu yang dapat memicu rangsangan pada subjek seperti berada dalam kerumunan
pada pasien yang menderita fobia sosial dan situasi yang merujuk pada peristiwa traumatis pada pasien yang
menderita PTSD.

The course of PD is variable, and in many cases PD may be chronic or recurrent and when severe can be a
debilitating disease associated with low remission rates and high rates of rebound. Since PD is associated with
medical comorbidity or psychiatric complication, most PD patients require continuous or intermittent treatment
to achieve remission or prevent relapse. In view of all that has been mentioned thus far, PD is associated with
significant impairment in quality of life and social functioning and has high suicide tendencies. PD as compared
to healthy individuals and to other psychiatric disorders causes enormous economic burden for the health care
system as well as to the society. People with panic attacks often show high unemployment rates, have
significant work impairment and typically present to general practitioners or to a range of medical specialists
seeking treatment for their medically unexplained symptoms. The overuse of medical services among PD
patients are probably because PD mimics many medical conditions or is often associated with cognitive
misinterpretation of physical sensations. Due to the severity and serious characteristics of this disorder, early
identification (albeit it is not simple) is essential and having a proper treatment is a top priority so that
functioning and quality of life can be improved and unnecessary medical costs and risk of complications can be
avoided.

Perjalanan gangguan panik bervariasi, dan dalam banyak kasus gangguan panik mungkin kronis atau berulang
dan ketika parah dapat menjadi penyakit yang melemahkan terkait dengan tingkat remisi yang rendah dan
tingkat rebound yang tinggi. Karena gangguan panik dikaitkan dengan komorbiditas medis atau komplikasi
kejiwaan, sebagian besar pasien gangguan panik memerlukan perawatan terus menerus atau intermiten untuk
mencapai remisi atau mencegah kekambuhan. Mengingat semua yang telah disebutkan sejauh ini, gangguan
panik dikaitkan dengan penurunan signifikan dalam kualitas hidup dan fungsi sosial dan memiliki
kecenderungan bunuh diri yang tinggi. gangguan panik dibandingkan dengan orang sehat dan gangguan
kejiwaan lainnya menyebabkan beban ekonomi yang sangat besar untuk sistem perawatan kesehatan serta
masyarakat. Orang-orang dengan serangan panik sering menunjukkan tingkat pengangguran yang tinggi,
memiliki penurunan pekerjaan yang signifikan dan biasanya datang ke dokter umum atau ke berbagai spesialis
medis yang mencari pengobatan untuk gejala medis mereka yang tidak dapat dijelaskan. Terlalu sering
menggunakan layanan medis di antara pasien gangguan panik mungkin karena gangguan panik meniru
banyak kondisi medis atau sering dikaitkan dengan salah tafsir kognitif sensasi fisik. Karena keparahan dan
karakteristik serius dari gangguan ini, identifikasi dini (walaupun tidak sederhana) sangat penting dan memiliki
perawatan yang tepat adalah prioritas utama sehingga fungsi dan kualitas hidup dapat ditingkatkan dan biaya
medis yang tidak perlu dan risiko komplikasi dapat dihindari.
Clinical guidelines
According to the National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) guidelines, the best treatment
options for PD were cognitive behavioral therapy (CBT), pharmacological interventions with antidepressants,
and self-help. The recommendation is in agreement with one meta-analysis comparing the efficacy of CBT,
pharmacotherapy and placebo in PD. Both pharmacotherapy and CBT were found to be superior to placebo
and neither treatment showed superior efficacy compared to each other.In addition to the meta-analysis
mentioned above, a recent meta-analysis also found similar efficacy between the pharmacotherapy and CBT.

Menurut pedoman National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE), pilihan pengobatan terbaik
untuk PD adalah terapi perilaku kognitif (CBT), intervensi farmakologis dengan antidepresan, dan swadaya.
Rekomendasi ini sesuai dengan satu meta-analisis yang membandingkan kemanjuran CBT, farmakoterapi dan
plasebo pada PD. Baik farmakoterapi dan CBT ditemukan lebih unggul daripada plasebo dan tidak ada
pengobatan yang menunjukkan kemanjuran yang lebih baik dibandingkan satu sama lain. Selain meta-analisis
yang disebutkan di atas, meta-analisis baru-baru ini juga menemukan kemanjuran yang serupa antara
farmakoterapi dan CBT.

Concerning the pharmacological interventions, licensed selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) are
considered as first choice pharmacological treatment, but tricyclic antidepressants (TCAs) could also be
prescribed. According to the NICE guidelines, benzodiazepines should not be prescribed because they are
associated with less favorable outcome in the long term plus the effectiveness of serotonin and norepinephrine
reuptake inhibitors (SNRIs) venlaflaxine was not acknowledged. However, a number of meta-analysis have
demonstrated similar efficacy between antidepressants and benzodiazepines, between SSRIs and TCAs,
between benzodiazepines, SSRIs and TCAs, though benzodiazepines have better tolerability than
antidepressants while SSRIs have better tolerability than TCAs. Several recent studies also demonstrated
evidence that SNRI venlaflaxine is an effective treatment for PD, and should perhaps warrant an appraisal of
the current NICE guideline to include SNRIs and benzodiazepines as standard treatment for PD.

Mengenai intervensi farmakologis, inhibitor reuptake serotonin selektif berlisensi (SSRI) dianggap sebagai
pengobatan farmakologis pilihan pertama, tetapi antidepresan trisiklik (TCA) juga dapat ditentukan. Menurut
pedoman NICE, benzodiazepine tidak boleh diresepkan karena mereka dikaitkan dengan hasil yang kurang
menguntungkan dalam jangka panjang ditambah efektivitas serotonin dan norepinefrin reuptake inhibitor
(SNRI) venlaflaxine tidak diakui. Namun, sejumlah meta-analisis telah menunjukkan kemanjuran yang serupa
antara antidepresan dan benzodiazepin, antara SSRI dan TCA, antara benzodiazepin, SSRI, dan TCA,
meskipun benzodiazepin memiliki tolerabilitas yang lebih baik daripada antidepresan sementara SSRI memiliki
tolerabilitas yang lebih baik daripada TCA. Beberapa penelitian terbaru juga menunjukkan bukti bahwa SNRI
venlaflaxine adalah pengobatan yang efektif untuk PD, dan mungkin harus menjamin penilaian pedoman NICE
saat ini untuk memasukkan SNRI dan benzodiazepine sebagai pengobatan standar untuk PD.

The American Psychiatric Association (APA) guidelines recommended pharmacotherapy or CBT and SSRIs,
SNRIs, TCAs, and benzodiazepines because current evidence is not enough to ascertain which of these
treatment modalities is superior for all patients. On the other hand, the World Federation of Societies of
Biological Psychiatry (WFSBP) guidelines recommended the SSRIs (citalopram, escitalopram, fluoxetine,
sertraline, fluvoxamine, paroxetine) and the SNRI venlafaxine as the first-line treatment for PD, while the TCAs
(imipramine and clomipramine), the benzodiazepines (alprazolam, clonazepam, lorazepam and diazepam) and
the monoamine oxidase inhibitors (MAOI) phenelzine were considered as a second-line treatment owing to
their associated side effects profile.

Pedoman American Psychiatric Association (APA) merekomendasikan farmakoterapi atau CBT dan SSRI,
SNRI, TCA, dan benzodiazepin karena bukti saat ini tidak cukup untuk memastikan modalitas pengobatan
mana yang lebih unggul untuk semua pasien. Di sisi lain, panduan Federasi Dunia Perhimpunan Biologis
Psikiatri (WFSBP) merekomendasikan SSRI (citalopram, escitalopram, fluoxetine, sertraline, fluvoxamine,
paroxetine) dan SNRI venlafaxine sebagai pengobatan lini pertama untuk PD, sedangkan TCA ( imipramine
dan clomipramine), benzodiazepin (alprazolam, clonazepam, lorazepam dan diazepam) dan inhibitor
monoamine oksidase (MAOI) fenelzin dianggap sebagai pengobatan lini kedua karena profil efek samping
yang terkait.
To date, the available pharmacological treatments for PD with strong evidence from clinical trials to support
their efficiency are antidepressants (SSRIs [citalopram, escitalopram, fluoxetine, sertraline, fluvoxamine,
paroxetine], SNRIs [venlaflaxine], TCAs [imipramine and clomipramine], MAOI [phenelzine]) and
benzodiazepines (alprazolam, clonazepam, lorazepam and diazepam). A recent systematic review concluded
that, antidepressants as a whole, SSRIs, TCAs and benzodiazepines have similar efficacies and
benzodiazepines have best tolerability, followed by SSRIs. Based on the mechanism of action, SNRIs, some
TCAs and MAOI modulate both the serotonergic and noradrenergic systems, whereas SSRIs and
norepinephrine reuptake inhibitor (NRI) regulate only the serotonergic or noradrenergic activities respectively.
Benzodiazepines on the other hand may have act via the inhibition of the GABA receptors.

Sampai saat ini, perawatan farmakologis yang tersedia untuk PD dengan bukti kuat dari uji klinis untuk mendukung
efisiensi mereka adalah antidepresan (SSRI [citalopram, escitalopram, fluoxetine, sertraline, fluvoxamine,
paroxetine], SNRI [venlaflaxine], TCA [imipramine dan clomipramine], MA [fenelzin]) dan benzodiazepin (alprazolam,
clonazepam, lorazepam dan diazepam). Sebuah tinjauan sistematis baru-baru ini menyimpulkan bahwa,
antidepresan secara keseluruhan, SSRI, TCA dan benzodiazepin memiliki khasiat yang serupa dan benzodiazepin
memiliki tolerabilitas terbaik, diikuti oleh SSRI. Berdasarkan mekanisme aksi, SNRI, beberapa TCA dan MAOI
memodulasi sistem serotonergik dan noradrenergik, sedangkan SSRI dan norepinefrin reuptake inhibitor (NRI) hanya
mengatur aktivitas serotonergik atau noradrenergik. Benzodiazepin di sisi lain mungkin bertindak melalui
penghambatan reseptor GABA.

During initial treatment, the standard available pharmacotherapy (SSRIs, SNRIs and TCAs) has a slow onset of
therapeutic action (4-10 weeks) and often require combination therapy with benzodiazepines. Albeit
benzodiazepines have fast anxiolytic effects property, yet it is associated with potential side effects profile
including sedation, cognitive impairment, risk of tolerance and dependence.

Selama perawatan awal, farmakoterapi standar yang tersedia (SSRI, SNRI dan TCA) memiliki onset lambat
tindakan terapeutik (4-10 minggu) dan sering membutuhkan terapi kombinasi dengan benzodiazepin. Meskipun
benzodiazepin memiliki sifat efek ansiolitik yang cepat, namun hal ini terkait dengan profil efek samping yang
potensial termasuk sedasi, gangguan kognitif, risiko toleransi dan ketergantungan.

Furthermore, patients treated with SSRIs, SNRIs and TCAs often have an initial increase in anxiety (jittering
syndrome). Patients with this body hypervigilance (misinterpreting physical side-effects as panic attack
symptoms) may cause significant tolerability issues before experiencing the significant benefits of
pharmacotherapy and possibly may cease the medication. Among these three drugs, the second generation
antidepressant SSRIs and SNRI are better tolerated than the first generation antidepressant TCAs. However,
SSRIs and SNRI treatments can cause unwanted side effects including sexual dysfunctions and weight gain.

Selain itu, pasien yang diobati dengan SSRI, SNRI, dan TCA sering mengalami peningkatan kecemasan awal
(sindrom jittering). Pasien-pasien dengan hypervigilance tubuh ini (salah mengartikan efek samping fisik
sebagai gejala serangan panik) dapat menyebabkan masalah tolerabilitas yang signifikan sebelum mengalami
manfaat signifikan dari farmakoterapi dan mungkin dapat menghentikan pengobatan. Di antara ketiga obat ini,
SSRI antidepresan generasi kedua dan SNRI dapat ditoleransi dengan lebih baik daripada TCA antidepresan
generasi pertama. Namun, perawatan SSRI dan SNRI dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan
termasuk disfungsi seksual dan penambahan berat badan.

As large as 45% of patients do not fully respond to standard first-line therapy or failed to achieve a full and
stable remission4, although recommended medications are used and the doses and the length of treatment
are adequate. On top of that, between 25% and 50% of patients relapse within 6 months after medical drug
taper and up to 50% still experience residual PD symptoms and up to 30% of patients still suffer from a full-
blown PD after 3 to 6 years.

Sebanyak 45% pasien tidak sepenuhnya menanggapi terapi lini pertama standar atau gagal mencapai remisi
penuh dan stabil4, walaupun obat yang direkomendasikan digunakan dan dosis serta lamanya pengobatan
memadai. Selain itu, antara 25% dan 50% pasien kambuh dalam waktu 6 bulan setelah pengurangan obat
medis dan hingga 50% masih mengalami gejala sisa PD dan hingga 30% pasien masih menderita PD full-
blown setelah 3 sampai 6 tahun.

In practice, those PD patients who do not fully respond to an adequate treatment of two SSRI, venlaflaxine ex
tended release, one of TCAs, benzodiazepines, or combination of any antidepressants with benzodiazepines
can be considered as treatment-resistant to pharmacotherapy. A possible explanation for this could be due to
low efficacy of standard pharmacological treatments, unable to tolerate some of these drugs or if some
medications could not be prescribed to them.

Dalam praktiknya, pasien-pasien PD yang tidak sepenuhnya menanggapi pengobatan yang memadai dari dua SSRI,
venlaflaxine yang dikeluarkan, salah satu TCA, benzodiazepin, atau kombinasi antidepresan dengan benzodiazepin
dapat dianggap resisten terhadap pengobatan terhadap farmakoterapi. Penjelasan yang mungkin untuk hal ini dapat
disebabkan oleh rendahnya efektivitas pengobatan farmakologis standar, tidak dapat mentolerir beberapa obat ini
atau jika beberapa obat tidak dapat diresepkan untuk mereka.
Despite all these established pharmacological options, there is still a demand for more effective, less side
effect/better tolerance, faster onset of therapeutic action and acute anxiolytic activity with the outcome of the
therapy should include a full and sustained remission of all PD symptoms including its comorbid disease.
Accordingly, this article aims to review promising monotherapies of novel pharmacological agents including two
novel compounds in development with clinical potential for the treatment of PD.

Terlepas dari semua pilihan farmakologis yang ditetapkan ini, masih ada permintaan untuk lebih efektif, efek
samping yang lebih sedikit / toleransi yang lebih baik, lebih cepatnya tindakan terapeutik dan aktivitas ansiolitik
akut dengan hasil terapi harus mencakup remisi penuh dan berkelanjutan dari semua gejala PD termasuk
penyakit penyerta nya. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk meninjau monoterapi yang menjanjikan dari
agen farmakologis baru termasuk dua senyawa baru dalam pengembangan dengan potensi klinis untuk
pengobatan PD.

Vous aimerez peut-être aussi