Vous êtes sur la page 1sur 10

Teori Sastra Berdasarkan Perspektif Konsep Roland Barthes

Arina Haque
Bahasa dan Sastra Arab-UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Indonesia
Email: 17310017@student.uin-malang.ac.id

Ni’ma Rofidah
Bahasa dan Sastra Arab-UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Indonesia
Email: 17310137@student.uin-malang.ac.id

ABSTRACT
Literature theory is branch of literature knowledge which is very influence with
the other. It has appeared as contradiction as structuralism theory after
realizing erroneous thing and finding that purposing the text wasn’t stable in
essence. Roland Barthes as prominent figure of naratology postructuralism think
that text has much meanings and the author wasn’t the only and principal
source of the literature labor. This article describes various important things
and objects ranging from the definition of literary theory itself to the meaningof
text throught narrative and mythological theory especially after getting to know
the short biography.In summary, in Barthes’s concept of mythology there are
two understandings. First, what is called a myth does not only lead to the story of
the past and its formation, but all forms of messages that can be trusted even
thought they are not conclusive evidence. Second, the meaning of a message or
text is not only limited to what is denoted by a sign, it even needs to be at the
level of connotation of meaning. Regarding narrative, Barthes description can be
understood in five proposition, namely: first, stories or narratives everywhere;
second, not only humans tell stories, but humans themselves are present and can
be subjected to in stories; third, the delivery of storiy is always related to power,
ownwership and domination; fourth, the story is plural, not singular; fifth, every
story has a massage about the story itself which is to be conveyed, which is
known by the principle self-reflexive and metafictional dimensions.

Keyword: Mythology, naratology, postructuralism, Roland Barthes, theory


literature.

ABSTRAK
Teori sastra merupakan disiplin ilmu sastra yang sangat mempengaruhi
bidang ilmu sastra lainnya. Kemunculan teori pascastrukturalis merupakan
bantahan atas teori strukturalis setelah menyadari kekeliruan dan
menemukan bahwa pemaknaan teks tidak stabil secara esensial. Roland
Barthes sebagai tokoh pascastrukturalis berpendapat bahwa teks memiliki
banyak arti dan penulis bukanlah sumber utama sebuah karya. Artikel ini
menjabarkan berbagai hal dan objek penting mulai dari definisi teori sastra itu
sendiri hingga pemaknaan teks yang terfokus pada teori naratologi dan
mitologi menurut Roland Bhartes terlebih setelah mengenal biografi
singkatnya. Secara ringkas, dalam konsep Barthes mengenai mitologi terdapat
dua pemahaman, pertama bahwa yang disebut mitos bukan hanya mengarah
pada orientasi cerita masa lalu dan bentukannya, tapi segala bentuk pesan
yang dapat dipercaya meski tanpa ada bukti nyata. Kedua, pemaknaan sebuah
pesan atau teks tidak hanya berbatas pada apa yang didenotasikan tanda,
bahkan butuh pada tingkat konotasi makna. Mengenainaratif, uraian Barthes
dapat dipahami dalam lima proposisi, yakni: pertama, cerita atau narasi ada di
mana-mana, tidak ada ada satu hal di dunia yang luput dari cerita; kedua,

1
bukan hanya manusia yang bercerita, melainkan manusia itu sendiri terdapat
dan dapat dikenai di dalam cerita; ketiga, penyampaian suatu cerita selalu
terkait dengan kekuasaan, kepemilikan, dan dominasi; keempat, cerita
bersifat jamak atau plural, tidak tunggal; kelima, setiap cerita selalu memiliki
suatu pesan tentang cerita itu sendiri yang ingin disampaikan, yang dikenal
dengan prinsip self-reflexive dan metafictional dimensions.

Kata kunci: Mitologi, naratologi, pascastrukturalis, Roland Barthes, teori


sastra.

Pendahuluan

Sebagai langkah awal pembelajaran mengenai ilmu sastra, artikel ini akan
membahas tentang teori sastra. Sesuai dengan namanya, kajian teori sastra tentu
menjurus pada bidang teori. Teori sastra, menurut Lye (1988) merupakan cabang ilmu
yang menjelaskan apa itu sastra, hubungan antara teks dengan pengarang dan pembaca,
bahasa, masyarakat dan sejarah. Secara umum, teori sastra adalah mengenai interaksi
yang luas antara teks sastra dengan dunia luar yang menjadi latar belakang kemunculan
sebuah teks karya. Dalam menganalisis sebuah karya, akan muncul pertanyaan-
pertanyaan dasar yang berhubungan dengan karakteristik, psikologis, fungsi dan
deskriptif sebuah teks. Ini merupakan praktik dari teori sastra yang sama-sama timbul
dari interaksi antara kritikus dengan sebuah teks karya (Endraswara, 2011:168).
Pada umumnya, teori dan praktik memang merupakan dua hal yang saling
bertentangan. Setelah suatu ilmu pengetahuan berhasil dikonsep dalam suatu rumusan
ilmiah yang dapat dibuktikan kebenarannya, yaitu dengan teori itu sendiri, maka teori
tersebut harus dioperasikan secara praktis. Jika belum bisa diujikan dalam praktiknya,
maka belum bisa dikatakan teori yang valid dan gagal mencapai tujuannya yakni untuk
membantu proses penelitian. Maka pada dasarnya, teori dan praktik itu bersifat saling
membantu dan saling melengkapi. Oleh karena itu, untuk dapat melakukan kritik sastra,
perlu kiranya kita ketahui lebih dahulu tentang teori-teori sastra (Ratna, 2004: 2).
Sebagai latar belakang penulisan artikel, kami melihat bahwa pada saat ini sastra
semakin dianggap bebas dan mulai melupakan teori-teori terdahulu yang dikemukakan
beberapa tokoh sastra. Selanjutnya, kami fokus pada salah satu tokoh pencetus teori
sastra berparadigma postrukturalis yaitu Roland Basthes dengan konsep-konsep teori
sastranya. Kajian teori ini telah banyak dibahas oleh beberapa pengamat sastra dalam
beberapa penelitiannya. Beberapa jurnal yang kami dapatkan membahas perspektif
Roland Barthes dalam berbagai aspek dan menghasilkan beberapa konsep sastra.
Diantaranya yaitu Struktural dan Semantik: Teropong Strukturalisme dan Aplikasi Teori
Naratif A. J. Greimas karya Kukuh Yudha Karnanta, Perbandingan Narasi Novel dan Film
karya Haryati Sulistyorini dan Budi Santoso, Antitesis Aktif dari Roland Barthes karya
Sawirman, Analisis Semiotika Roland Barthes pada Jurnalisme Online karya Dudi Sabil
Iskandar dan Rini Lestari, serta Roland Barthes dan Mithologi karya Sri Iswidayati.
Namun, dari sekian banyak konsep yang ia kemukakan, kami mengkaji dua teori yang
kini kami rasa berpengaruh dan berdampak luas pada kultural masyarakat, yaitu teori
naratologi dan mitologi. Harapan penyusun setelah dipublikasikannya artikel ini adalah
menambah wawasan pemaknaan teori sastra dan tujuan dari pencetusan
pascastrukturalis sebagai teori bantahan strukturalisme terutama gagasan-gagasan
Roland Barthes sebagai pandangan lain mengenai ragam teori sastra.

2
Teori Sastra

Salah satu manifestasi teori adalah apa yang dikatakan Nealon dan Giroux(2003),
“Teori sebagai lensa pandang yang memungkinkan kita memperoleh perspektif yang
berbeda terhadap suatu hal”. Dalam dunia sastra, penemuan teori resepsi atau respons
pembaca, misalnya, bagi peminat dan penikmat sastra, pendapat tentang makna sebuah
karya sastra seperti novel atau puisi yang bergantung pada otoritas teks sebagaimana
yang dituturkan oleh teori kritik baru, pendapat tersebut akan mengalami pergeseran.
Berpijak pada teori respons pembaca, pembaca terlibat dalam proses transaksi
pemaknaan dalam sebuah teks karya. Dalam pandangan yang ekstrim, pembacalah yang
menentukan makna, dan ia memiliki otoritas tertinggi dalam pemaknaan sebab otoritas
pengarang telah mati (the death of the author) ketika karya berada ditangan pembaca.
Teori adalah suatu alat yang berfungsi untuk mengarahkan suatu penelitian yang tujuan
utamanya adalah mempermudah pemahaman terhadap suatu objek, sekaligus
memberikan keluaran yang maksimal. Secara khusus, teori sastra dapat didefinisikan
sebagai seperangkat konsep yang saling berkaitan secara ilmiah, yang disajikan secara
sistematis yang berfungsi untuk menjelaskan gejala-gejala sastra (Musthafa, 2008: 6).
Teori sastra mulai berkembang di dunia kesusastraan dan retorika pada zaman
Yunani klasik. Sejak abad ke-18, teori sastra sudah masuk dalam ruang lingkup bidang
estetika dan hermeneutika. Dalam perkembangannya ia menjadi sebuah disiplin ilmu
yang mandiri dengan dipengaruhi oleh bidang filsafat di abad 20. Meskipun demikian,
praktik penggunaannya sudah dimulai sejak zaman Yunani kuno, seperti “poetic-nya
Aristoteles, dan Romawi kuno, seperti On the Sublime-nya Longinus. Di Barat, dalam
dunia akademik, teori sastra memperoleh popularitasnya sejak tahun 1960-an. Sampai
pada tahun 1980-an, ia menjadi mata kuliah wajib yang diajarkan untuk program studi
sastra hampir di seluruh perguruan tinggi (Musthafa, 2008: 11).
Berkembang mekarnya teori sastra sejak awal abad ke-20, dengan sendirinya
sejajar dengan terjadinya kompleksitas kehidupan manusia yang kemudian memicu
perkembangan genre sastra. Kemajuan dalam bidang teknologi informasi yang
menopang sarana dan prasarana sebuah penelitian memudahkan proses pelaksanaan
penelitian tersebut. Fungsi utama karya sastra adalah untuk melukiskan kehidupan
manusia, sedangkan kehidupan manusia itu sendiri mengalami perubahan dan
perkembangan di setiap waktunya. Dalam hubungan inilah diperlukan adanya
perbedaan genre, dan diperlukan pula teori yang berbeda untuk memahaminya (Ratna,
2004: 75).
Teori strukturalisme, yang berhasil memasuki hampir seluruh bidang kehidupan
manusia, dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia
pada pemahaman dengan baik. Dalam sejarahnya, perkembangan teori ini terjadi
melalui dua tahap, yaitu: formalisme dan strukturalisme dinamik. Disamping itu, dalam
perkembangannya juga terkandung beberapa ciri khas dan tradisi intelektual yang
secara langsung ia menjadi akibat dari perkembangan strukturalisme. Teori ini lahir
dari ketidakpuasan dan berbagai kritik terhadap teori formalisme, teori yang muncul
akibat penolakan terhadap paradigma positivme abad ke-19 yang memegang teguh
prinsip-prinsip kausalitas. Kemudian dalam perkembangan keilmuan sastra, teori ini
pada akhirnya juga terbantahkan oleh teori pascastrukturalisme yang dalam
penelitiannya menemukan banyak kelemahan yang perlu diperbaiki hingga
memunculkan teori baru dari evaluasi dan sebagai revisi dari strukturalisme, yaitu teori
postrukturalisme, atau yang sering disebut juga pascastrukturalisme (Ratna, 2004: 88-
89).

3
Roland Barthes

Lahir pada 12 November 1915 di Kota Cherbourg, Normandia, Roland Barthes


berasal dari golongan keluarga menengah Protestan yang ditinggal mati ayahnya saat ia
berusia satu tahun. Ayahnya, Louis Barthes, seorang perwira angkatan laut terbunuh
dalam pertempuran di Laut Utara. Ibunya, Henriette Barthes, beserta bibi dan neneknya
membesarkannya di Bayonne, sebuah kota kecil di dekat Pantai Atlantik, sebelah barat
daya Perancis. Di sana ia pertama kali mendapat pelajaran soal kebudayaan
melaluipengajaran musik, terutama piano dari bibinya. Ketika berumur sembilan tahun,
ia pindah ke kota Paris mengikuti ibunya yang bekerja sebagai penjilid buku dengan gaji
kecil. Sebagai pelajar, Barthes memang cemerlang dan melewatkan periode 1935 hingga
1939 di Sorbonne hingga mendapat ijazah dalam kesusastraan klasik. Sayangnya,
kesehatannya terganggu sepanjang periode ini. Ia menderita TBC sehingga
mengharuskannya berobat ke Pyrenees. Dalam proses penyembuhan itulah Barthes
banyak menghabiskan waktu dengan membaca. Pada tahun 1962, Barthes telah
memperoleh posisi di Ecole Pratique de Hautes Etudes sebagai dosen reguler. Di bulan
Februari 1980, saat ia menyeberang jalan setelah keluar dari pertemuan makan siang
dengan para politisi dan intelektual sosialis, Barthes ditabrak truk binatu di depan
College de France. Empat minggu kemudian, di masa penyembuhannya, ia meninggal
dunia (Barthes, 2010: i).
Barthes adalah sosok ilmuwan yang produktif menulis. Karya-karya Barthes
mencakup banyak bidang, di antaranya teori-teori semiotik, esai-esai tentang kritik
sastra, sejarah, catatan perjalanan, hingga psikobiografi. Berbagai buku dan kumpulan
tulisan Barthes di antaranya: A Barthes Reader, Camera Lucida, Critical Essays, The Eiffel
Tower and other Mythologies, Elements of Semiology, The Empire of the Signs, The
Fashion System, The Grain of the Voice, Image-Music-Text, Incidents, A Lover’s Discourse,
Mythologies, New Critical Essays, The Pleasure of the Text,The Responsibility of Forms, The
Rustle of Language, Sade/Fourier/Loyola, The Semiotic Challenge, S/Z, Writing Degree
Zero, Michelet par Lui-Meme (1952),The Photogrphic Message in Barthes (1971), The
Rethoric of the Image in Barthes (1975), The Third Meaning in Barthes (1977), Roland
Barthes par Roland Barthes (1975), Plaisir du Texte (1973), de I’Ecriture (1952), dan
yang paling kontroversial hingga melambungkan namanya; Suracine (1963). Pada buku
yang disebutkan terakhir inilah Barthes menggagas sebuah pendekatan baru yang
diberi nama nouvelle critique (kritik sastra baru) (Budiman, 2011: 134).
Tokoh naratologi postruktural atau bisa juga disebut pascastruktural Perancis,
Roland Barthes ini dikenal sebagai semiolog yang sangat aktif dalam memanfaatkan
teori struktural Saussurean sekitar tahun 1960-an sejajar dengan Levi-Strauss, Michel
Fouchault, dan Jacques Lacan. Pada akhirnya Barthes mengakui bahwa proses
pemaknaan tidak terbatas pada bahasa seperti yang banyak dikemukankan oleh para
tokoh strukturalisme. Pemaknaan juga meliputi seluruh kehidupan ini tetapi tetap atas
dasar konsep-konsep linguistik, sebagaimana dilakukan Barthes dalam analisis berbagai
gejala masyarakat dalam bukunya yang berjudul Mythologies. Sesuatu yang menandai
fase pascastrukturalis dalam karya–karya Barthes adalah usahanya melepaskan aspirasi
ilmiah. Dapat dikatakan bahwa periode pasca– strukturalis Barthes yang paling baik
digambarkan oleh esai pendeknya “Kematian Penulis”. Ia menolak pandangan
tradisional yang menyatakan bahwa pengarang adalah asal–usul teks, sumber artinya,
dan satu–satunya otoritas penafsiran (Ratna, 2004: 259).
Dalam kaitannya dengan teks, Barthes juga tidak membedakan antara teks
sastra, filsafat, dan agama. Karyanya yang terkenal dan menjadi karya pendobrak adalah

4
S/Z (1970), analisis terhadap novel pendek karya Balzac yang berjudul Sarrasine. Secara
khas Barthes membagi novel menjadi satuan-satuan bacaan, yang disebut leksia, dan
harus dipahami melalui sistem kode. Leksia mungkin terdiri atas satu kata, beberapa
kata, kalimat, alinea, atau beberapa alinea. Menurut Barthes, karya sastra bukanlah
pelaksanaan sistem kode, melainkan ‘dilalui’ oleh berbagai sistem kode. Dalam S/Z
Barthes (Selden, 1986: 76-77 dalam Ratna, 2004: 259) menawarkan lima kode, sistem
yang memungkinkan untuk memahami teks, yaitu: 1. Kode hermeneutik, yang
berhubungan dengan penafsiran di mana teka-teki dan kebingungan harus dipecahkan,
dalam rangka memperoleh kebenaran . 2. Kode semes (semantic), yang berhubungan
dengan hakikat konotasi yang dikaitkan dengan peristiwa dan tokoh-tokoh. 3. Kode
simbolik, yang berhubungan dengan polarisasi dan antithesis, dalam rangka
menemukan multivalensi, bahkan perlawanan. 4. Kode proairetic (aksi), yang
berhubungan dengan aksi naratif yang dapat terjadi dalam beragam sekuen. 5. Kode
kultural yang berhubungan dengan semua referensi yang dihasilkan oleh masyarakat.
(Budiman, 2011: 164)
Menurut Roland Barthes, teks merupakan objek baru yang diperoleh dengan
pemindahan atau pembalikan kategori-kategori yang telah dipergunakan sebelumnya.
Kata teks dipandang lebih sesuai dengan mode perkembangan dan lebih menunjukkan
aspek-aspek tertentu. Dunia teks amat luas, teks tidak hanya di peruntukkan buat sastra
yang baik. Teks tidak dapat dikuasai sebagai bagian dari suatu jenjang atau pembagian
sederhana suatu aliran-aliran dalam sastra. Teks merupakan hal-hal yang berada dalam
lingkup aturan pengucapan yang bersifat rasional dan mempunyai kemampuan untuk
dibaca. Teks bersifat imajiner karena itu ia berada pada lingkup aturan pengucapan
yang kemudian mempraktekkan suatu penundaan yang tidak terbatas terhadap hal
yang penting (Ratna, 2004: 260).
Dari hasil pemikiran teks jamak tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian
membaca dalam arti mengkonsumsi tidak berarti bermain dengan teks. Teks bermain
dengan sendirinya. Pembaca kemudian mempermainkan suatu teks dengan suatu
permainan, dia mengamati untuk melakukan suatu praktek yang akan dapat
menghasilkan kembali suatu teks. Teks menuntut kerja sama secara aktif. Pengulangan
dan peniruan dalam membaca untuk konsumsi menjadi penyebab terjadinya kebosanan
yang mungkin dirasakan orang ketika sedang menghadapi teks, terutama ketika
menghadapi teks yang tidak dapat dipahami. Apabila terjadi demikian berarti, bahwa
orang tersebut tidak dapat menghasilkan teks, memainkannya, membukanya, dan
kemudian membiarkannya pergi. Teks dapat memberi suatu kenyamanan dan
kenikmatan. Kenikmatan umum sebuah teks ialah sesuatu yang melampaui makna yang
jelas. Pada waktu membaca terlihat hubungan, gema, atau rujukan, Gangguan
kebenaran, kejajaran dan aliran teks ini memberikan nikmat (Selden, 1986; terjemahan
Umar Junus, 1989: 78).

Teori Mitologi

Secara etimologis, mythology (Yunani) menunjukkan arti ilmu atau pengetahuan


tentang mitos (mhytos) dan mite (myth).Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata
mitos diartikan pada cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu
yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa
tersebut dengan arti mendalam yang diungkapkan secara gaib.Sedangkan mite, berarti
cerita yang memiliki latar belakang sejarah yang dipercayai oleh masyarakat sebagai

5
cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci dan mengandung hal-hal ajaib yang pada
umumnya juga tentang dewa. Kedua pengertian ini pada intinya sama, yaitu mengarah
pada cerita tentang hal-hal gaib yang dianggap suci. Kedua ilmu pengetahuan ini masuk
dalam bidang mitologi. (Sehandi, 2014: 198).
Mitologi, dalam KBBI (2001: 749) diartikan sebagai suatu ilmu tentang bentuk
sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan
makhluk halus di suatu kebudayaan.Jadi, mitologi merupakan teori sastra yang
mengkaji atau menganalisis tentang mitos-mitos yang ada pada kebudayaan dan
masyarakat tertentu. Menurut Ratna, (2009: 67) karya sastra memang bukan mitos,
tetapi sebagai bentuk estetika karya sastra adalah manifestasi dari mitos itu sendiri
(Sehandi, 2014: 200).
Dalam sejarahnya, mitos dilawankan dengan “logos” yaitu laporan yang dapat
dipercaya yang sesuai dengan kenyataan. Istilah yang jelas berseberangan dengan mitos
yang berupa kepercayaan atau keyakinan terhadap cerita yang umumnya berhubungan
dengan penciptaan yang mengisahkan bagaimana sesuatu di dunia ini bisa terjadi tanpa
adanya bukti secara nyata. Namun demikian, pada zaman kuno mitos dibedakan dalam
dua lapisan yaitu ide yang melatarbelakangi cerita, dan perwujudan naratif yang tidak
perlu ditafsirkan secara harfiah. Cerita tentang dewa-dewa, pahlawan sejak zaman
dahulu, lewat tradisi lisan yang beruuntun akhirnya mengendap dalam berbagai jenis
macam sastra (epos, tragedi, dan sebagainya). Jung dengan psiokologi-dalam serta Levi-
strauss dengan antropologi strukturalis menjelaskan bahwa mitos memiliki arti yang
sangat dalam. Secara luas dapat disamakan dengan sage, cerita legendaris mengenai
seseorang yang menjadi cikal bakal atau pahlawan pada zaman dahulu (Hasanuddin,
2009: 212)
Pandangan Roland Barthes mengenai mitologi tidak sebagaimana pengertian
konteks mitologi-mitologi lama yang mengarah pada orientasi masa lalu dan bentukan
sejarah yang bersifat statis. Menurut Roland Barthes, ungkapan mitologis tidak hanya
berbentuk ungkapan oral, akan tetapi ungkapan itu bisa berbentuk tulisan, fotografi,
film, laporan ilmiah, olahraga, pertunjukan, iklan dan lukisan. Dalam konteks mitologi
lama, mitos berhubungan dengan sejarah dan bentukan masyarakat atau budaya.
Berbeda dengan pandangan Barthes, ia menganggap mitos sebagai bentuk pesan atau
ungkapan yang harus diyakini kebenarannya meskipun bukti secara nyata tidak dapat
dipastikan. Maka, mitos bukanlah suatu konsep atau ide melainkan sebuah cara untuk
memberikan makna (Iswidayati, 2006: 5).
Mhytologies karya pertama Barthes merupakan kumpulan esai pendek yang
ditulisnya setiap bulan. Di dalamnya mencakup banyak objek, peristiwa,dan praktik
kebudayaan, dari foto makanan dalam majalah hingga cara penjualan mobil, dari liputan
media tentang skandal tingkat tinggi hingga retorika politikus. Mhytologies bukanlah
teks tunggal tapi plural, memuat lebih dari enam puluh artikel singkat tentang banyak
macam subjek yang menggambarkan periode jurnalistik Barthes. Di dalam buku
tersebut Barthes banyak menuangkan gagasan mengenai alam dan budaya yang menjdi
manifestasi perbedaan antara universal dan historis. Sebuah mitologi bisa
menampakkan wajah ideologis yang berkesan natural (universalitas) padahal
kenyataannya mereka sedang mempromosikan gagasan yang partikular (historis)
(Barthes, 2010: xxvi-xxvii)
Contoh analisis Barthes pada mitologi Perancis adalah dalam artikel wine atau
anggur (1972:58). Dalam budaya Perancis, anggur merupakan simbol status sosial yang
tinggi “keperancisan” dan virtilitas. Pesan yang disampaikan oleh anggur Perancis
adalah “kualitas yang baik”. Tetapi mitos ini harus dipertanyakan melihat bahwa anggur

6
juga merupakan suatu barang komoditas seperti barang lain yang diproduksi oleh rejim
kapitalis. Di sisi lain, di daerah bagian utara Afrika dijadikan sebagai tempat penanaman
anggur (vineyard) yang sebenarnya, lahan tersebut dikenal dengan tempat produksi
makanan. Mereka yang bekerja di lahan anggur adalah mayoritas populasi muslim.
Maka, dalam hal ini, Perancis yang dimitoskan sebagai Negara Anggur yang berkualitas
telah merusak dan mengalienasikan lingkungan dan kultur orang-orang Afrika Utara.
Dari contoh diatas terdapat dua lapisan logika mitologi. Pertama, pesan dibaca sebagai
isi tentang sikap dan budaya. Kedua, adanya suatu keinginan untuk menyembunyikan
yang sangat eksploitatif dengan mengugkapkan kerja struktur ekonomi yang terpendam
(Iswidayati, 2006: 3).
Hubungan mitos dan semiologi berkaitan dengan dua istilah, yaitu penanda
(signifier) dan petanda (signified), yang kemudian berkaitan lagi dengan istilah tanda
(sign). Misal, satu karangan bunga menandakan cinta. Pernyataan ini tidak hanya
berurusan dengan penanda (signifier) dan petanda (signified), bunga dan cinta, karena
pada tahap analisis terdapat tiga istilah, yaitu bunga yang menandakan cinta adalah
sebagai tanda (sign). Dalam hal ini penanda (bunga) adalah suatu konsep bahasa.
Sedangkan petanda adalah gambaran dari mental bunga, dan tanda merupakan
hubungan antara konsep dan gambaran mental yang menumbuhkan satu arti, cinta
(Iswidayati, 2006: 6).
Dari hubungan yang dijelaskan diatas, Barthes membuat sebuah gagasan
sistematis dalam menganalisis makna dan tanda-tanda. Jika Saussure hanya
memberikan gagasan tentang signifikasi antara penanda dan petanda, maka Barthes
lebih dari itu, ia membuat gagasan tentang signifikasi dua tahap. Signifikasi pada tahap
pertama berhubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) yang disebut
oleh Barthes dengan denotasi atau makna yang nyata dari sebuah tanda. Kemudian naik
pada tingkat kedua, terdapat istilah konotasi, yakni interaksi saat sebuah tanda bertemu
dengan emosi atau perasaan pembaca. Konotasi ini memiliki makna yang subjektif atau
intersubjektif. Semua ini menunjukkan bahwa hubungan mitos dan semiotik yang
diungkapkan Barthes telah melebihi dari apa yang diungkapkan oleh Saussure.
Perkataan Saussure mengenai makna hanya berbatas pada apa yang didenotasikan oleh
tanda. Lebih dari itu, Barthes menambah pengertian tersebut menjadi makna pada
tingkat konotasi, yang masuk pada wilayah pertandaan tingkat kedua. Bagi Barthes,
konotasi ini lah yang mendenotasikan suatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos. Dari ini
tampaklah tujuan dari adanya mitologi yakni sebagai cara pemberian makna sebuah
ungkapan (Iskandar dan Lestari, 2015: 71).

Teori Naratologi

Teori naratologi yang berasal dari narration (Latin) yang berarti perkataan,
kisah, hikayat, dan cerita, sedangkan logi dari logos (Latin) berarti ilmu. Teori naratologi
sering kali juga disebut sebagai teori wacana (pada analisis bahasa, linguistik), teori
narasi (pada analisis sastra, naratologi), dan teori tekstual (teks sebagai objek
otonom).Secara definitif teori naratologi adalah seperangkat konsep mengenai cerita
(narasi) dan struktur penceritaan (plot atau alur) yang terdapat dalam karya sastra.
(Sehandi, 2014: 113).
Secara etimologis, naratologi bisa diartikan sebagai ilmu tentang
narasi.Sebagaimana Roland Barthes (1991: 166) pernah menggunakan naratologi
struktural dengan membaginya ke dalam sekuen-sekuen dan unsur sintaksis naratif

7
yang berupa aktan. Kemudia ia membagi aktan-aktan menjadi dua bagian, yakni nuclei
dan catalyzers. Nuclei adalah sebuah aktan yang harus hadir, sedangkan catalyzer
adalah sebuah aktan yang bisa dihilangkan tanpa harus merusak alur cerita.Di samping
itu, Jonathan Culler (1975: 139) mendukung upaya ini. Sebagai alasannya yakni karena
bisa melihat garis besar, juga melakukan verifikasi fakta dan bisa dijadikan upaya untuk
meringkas plot atau cerita pada saat yang sama. Kegiatan memverifikasi fakta ini bisa
dilakukan oleh para pembaca ahli (mature readers) sebagai eksplisitasi atas pembacaan
yang mendalam untuk memuaskan pembacanya (Sulistyorini dan Santoso, 2012: 56).
Roland Barthes (1977:79) menjelaskan bahwa naratologi bersifat inheren atau
berhubungan erat dan melekat di seluruh peradaban manusia, meskipun makna dari
setiap narasi bisa jadi dipahami secara berbeda, bahkan kadang saling bertentangan,
karena latar budaya yang berbeda. Secara ringkas, uraian Barthes terkait naratif dapat
dipahami dalam lima proposisi, yakni: pertama, cerita atau narasi ada di mana-mana,
tidak ada ada satu hal di dunia yang luput dari cerita; kedua, bukan hanya manusia
yang bercerita, melainkan manusia itu sendiri terdapat dan dapat dikenai di dalam
cerita; ketiga, penyampaian suatu cerita selalu terkait dengan kekuasaan, kepemilikan,
dan dominasi; keempat, cerita bersifat jamak atau plural, tidak tunggal; kelima, setiap
cerita selalu memiliki suatu pesan tentang cerita itu sendiri yang ingin disampaikan,
yang dikenal dengan prinsip self-reflexive dan metafictional dimensions (Karnanta,
2015: 176)
Tujuan teori naratologi adalah untuk menganalisis atau mengkaji karya sastra
dalam bentuk narasi atau wacana. Secara umum teori naratologi tidak bisa dipisahkan
dengan teori-teori sastra yang lain. Karena teori-teori sastra lainnya, baik yang
termasuk dalam kelompok strukturalisme maupun postrukturalisme, pada dasarnya
berada dalam bentuk narasi atau wacana cerita.Objek yang dianalisis dalam teori ini
juga konsep-konsep yang digunakan dan diambil melalui dan disesuaikan dengan
konteks dan kompetensi wacana. Dalam analisis prosa (novel dan cerpen) dan drama,
misalnya, bagaimana tokoh dan penokohan terbentuk, demikian juga tema dan
pandangan dunia, gaya dan gaya bahasa, plot atau alur, dan lain-lain, adalah dalam
bentuk analisis wacana atau analisis penceritaan itu sendiri (Sehandi, 2014: 114).
Karya sastra menjadi rumit dan kompleks sehingga berbeda dengan deskripsi-
deskripsi yang lain adalah akibat peranan strutur naratif. Dengan demikian,
memerlukan pengetahuan tambahan untuk memahaminya. Komplikasi antara fibula
dan sjuzet (formalis pada umumnya), histoire dan recite (Genette), story dan text (Mieke
Bal dan Rimmon-Kennan), menampilkan problematika ruang-ruang kosong yang harus
dipecahkan oleh pembaca. Tanpa adanya komplikasi dan penyusunan kembali, maka
karya sastra akan sama dengan jenis-jenis narasi yang lain. Dengan pertimbangan
perbedaan dalam khazanah perbendaharaan bahasa, yaitu antara bahasa sumber dan
bahasa Indonesia di satu pihak, penelitian sastra bertujuan utama untuk memahami
objek karya di pihak yang lain. Maka untuk menghindarkan perbedaan pendapat
tersebut disarankan menggunakan istilah cerita dan penceritaan.Cerita adalah fakta-
fakta kultural sebagai bahan kasar, sedangkan penceritaan adalah aktivitas penyusunan
kembali ke dalam alur, yaitu plot itu sendiri (Ratna, 2007: 240).
Ada sebuah catatan tentang kata naratif. Dikaitkan dengan fiksi, kata ini
menyiratkan perbedaan dengan fiksi yang dimainkan, yakni drama. Sebuah cerita atau
fabel, memang dapat disajikan oleh beberapa orang mime, atau diceritakan oleh seorang
pendongeng. Penyair epik memakai sudut pandang orang pertama dan-seperti Militon-
dapat menjadikannya sudut pandang aku-lirik atau aku-pencerita. Meskipun novelis
abad ke-19 tidak menggunakan sudut pandang orang pertama, ia memiliki kesempatan

8
untuk langsung membuat komentar dan membuat generalisasi-seperti dalam epik. Di
sini yang berbicara bukan aku-lirik, tetapi aku “eseis”. Singkatnya, pola utama fiksi
naratif adalah sifatnya yang mencakup semua unsur penceritaan: fiksi naratif menyela
adegan dialog (yang dapat dimainkan) dengan uraian yang meringkas kejadian dalam
cerita. Dalam bahasa Inggris, dua ragam fiksi naratif yang utama disebut romansa dan
novel (Wellek & Warren, 1995: 282).
Pada zaman modern teori naratologi dibedakan menjadi dua macam, yakni (1)
naratologi strukturalis, yang memberikan intensitas pada oposisi biner, dengan
sejumlah tokoh yang berpengaruh, antara lain Claude Levi-Straus, Tzvetan Todorv, A.J.
Greimas, dan lain-lain. (2) Naratologi postrukturalis yang melakukan dikotomi tersebut,
dengan tokohnya antara lain Roland Barthes, Gerard Genette, Jonathan Culler, Umberto
Eco, dan lain-lain. Setiap tokoh naratologi ini menawarkan seumlah varian teori
naratologi. Sementara Barthes sendiri mengemukakan teori narasi dengan lima kode,
yakni kode hermeneutik, semantik (semes), simbolik, aksi (proairetik), dan kode
kultural (Sehandi, 2014: 114).
Sebagai sebuah kajian mengenai struktur naratif (recit), naratologi bertujuan
untuk menetapkan hakikat naratif itu sendiri. Secaranaratologis, sebuah naratif niscaya
memiliki dua komponen atau bagian, yakni cerita (histoire), yaitu peristiwa-peristiwa
yang terangkai secara temporal dan kasual, serta wacana (discours), yaitu ekspresi atau
sarana untuk mengomunikasikan cerita kepada pembaca atau audience. Sehingga bisa
disimpulkan bahwa cerita adalah unsur apa dari naratif, sedangkan wacana adalah
unsur bagaimananya (Budiman, 2011: 264).

Kesimpulan

Teori sastra yang berparadigma postrukturalisme adalah cara-cara mutakhir,


baik dalam bentuk teori, maupun metode dan teknik yang digunakan dalam mengkaji
objek. Postrukturalisme sendiri adalah bentuk perlawanan pada strukturalisme. Roland
Barthes berpendapat bahwa setiap teks sastra memiliki banyak arti,dan bahwa penulis
bukanlah sumber utama atau simantik karya tersebut. Singkatnya, postrukturalisme ini
menolak ide tentang pemberian makna secara stabil, karena makna merupakan sesuatu
yang tidak stabil yang selalu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada
kata, kalimat, atau teks tertentu yang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks.
Teori mitologi merupakan teori sastra yang mengkaji atau menganalisis tentang
mitos-mitos yang ada pada kebudayaan dan masyarakat tertentu. Lebih dari itu,
mitologi dalam konsep Barthes adalah segala bentuk pesan atau penuturan yang harus
diyakini kebenarannya walaupun tidak ada bukti nyata. Teori ini dinilai paling pluralis
dan multidisiplin karena memasukkan hampir semua unsur kebudayaan lain, seperti
sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, agama, filsafat, dan kesenian. Teori ini juga
memberikan sumbangsih yang besar bagi perkembangan semiotika di dunia sastra
dengan adanya konsep Barthes yang melebihi dari saussure dalam pengertian sebuah
makna, bahwa makna sebuah teks atau pesan tidak berbatas pada apa yang
didenotasikan oleh tanda, bahkan butuh pada tingkat konotasi makna itu sendiri.
Teori Naratologi adalah seperangkat konsep mengenai cerita (narasi) dan
struktur penceritaan (plot atau alur) yang terdapat dalam karya sastra. Teori inibersifat
inheren atau berhubungan erat dan melekat di seluruh peradaban manusia, meskipun
maknanya dipahami secara berbeda, bahkan kadang saling bertentangan, karena latar
budaya yang berbeda. Secara ringkas, uraian Barthes terkait naratif dapat dipahami

9
dalam lima proposisi, yakni: pertama, cerita atau narasi ada di mana-mana, tidak ada
ada satu hal di dunia yang luput dari cerita; kedua, bukan hanya manusia yang
bercerita, melainkan manusia itu sendiri terdapat dan dapat dikenai di dalam cerita;
ketiga, penyampaian suatu cerita selalu terkait dengan kekuasaan, kepemilikan, dan
dominasi; keempat, cerita bersifat jamak atau plural, tidak tunggal; kelima, setiap
cerita selalu memiliki suatu pesan tentang cerita itu sendiri yang ingin disampaikan,
yang dikenal dengan prinsip self-reflexive dan metafictional dimensions.

Daftar Pustaka

Barthes, Roland. 2010. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika atau Sosiologi
Tanda, Simbol, dan Representasi. Terjemahan oleh Ikramullah Mahyuddin.
Yogyakarta: Jalasutera.
Budiman, Kris. 2011. Semiotika visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonitas. Yogyakarta:
Jalasutra.
Eagleton, Terry. 2010. Teori Sastra Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta:
Jalasutra.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Iskandar, Dudi Sabil & Rini Lestari. 2015. Analisis Semiotika Roland Barthes pada
Jurnalisme Online dalam jurnal Komunikasi, Vol. 4, No. 2, Hal. 61-87, November
2015.
Iswidayati, Sri. 2006. Roland Barthes dan Mithologidalam jurnal Imajinasi, Vol. 02, No.
02, Hal. 3-6, 2006.
Karnanta, Kukuh Yudha. 2015. Struktural dan Semantik: Teropong Strukturalisme dan
Aplikasi Teori Naratif A. J. Greimas dalam jurnal Atavisme, Vol. 8, No. 2, Hal. 176,
Desember 2015.
Musthafa, Bachrudin. 2018. Teori dan Praktik Sastra dalam Penelitian dan Pengajaran.
Jakarta: Cahaya Insan Sejahtera.
Ratna, Nyoman Kutha. 2015. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Selden, Raman. 1989. Teori Kesusasteraan Sezaman. Terjemahan Umar Yunus dari A
Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.
Suroso, Santosa Puji & Suratno Pardi. 2009. Kritik Sastra, Teori, Metodologi dan Aplikasi.
Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Sulistyorini, Haryati & Budi Santoso. 2012. Perbandingan Narasi dan Filmdalam jurnal
Lite, Vol. 8, No. 1, Hal. 56, Maret 2012.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1995. Teori Kesusasteraan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
WS, Hasanuddin. 2009. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu.

10

Vous aimerez peut-être aussi