Vous êtes sur la page 1sur 59

Acknowledge Local Wisdom in

Indonesia

Theme: to identify local wisdom heritage throughout Indonesia

Abstract
There is an urgency to identify local wisdom particularly which is extracted from cultural in
society. Superior local cultural values should be viewed as a social heritage. The culture is
believed has valuable value for pride and greatness of nation dignity, then it is a necessary to
develop a database about local wisdom to disseminate the cultural values ​to the next
generation as well as to preserve the value that will be available for national scale and
high-quality educational research(Dian Eka Indriani)

Of meaningful values and philosophy in this local wisdom can certainly benefit the survival
of the community of the inheritors. Not only for the people who exist at this time alone, but
also to the heir to come. Starting from the beliefs, languages, livelihoods, heritage, literature,
and attitudes and behavior of its people make the local wisdom become a very complex
cultural proponents (Wahyudi Rahmat)

Local wisdom means harmonious relationship between man, nature and the built environment
in an area that is also influenced by its culture. (Dahliani, Ispurwono Soermarno, Purwanita
Setijanti,” Local Wisdom in Built Environment in Globakization Era”. International Journal
of Education and Research. Vol. 3 No 6, 2015, 157-158). ( MARTINA NAPRATILORA,
STAI AULIYA URASYIDDIN TEMBILAHAN INHIL)

Local wisdom that is taught and preserved through education basically reflects how
the culture is maintained, what they care about, and how they try to maintain their
tradmark. (Taufiqurrahman). Local wisdom holds a great deal of empirical knowledge
and experience for the development of individual and collective life wisdom. The
existence of local wisdom from the past until now shows the identity of a high culture
and fun ( Maryelliwati)

local is characteristic of or associated with a particular locality or area of, concerned


with, or relating to a particular place or point in space (med) of, affecting, or confined
to a limited area or part Compare general (sense 10), systemic (sense 2)
(Dictionary,2014). (Khoiriyatun Nahdiyah). Norms also exist in local wisdom. these
norms are essential rules in human life in order to obtain a safe, orderly and peaceful
life. These rules, among others, regulate the relationship between women and men,
the rules of the wealth that became the foundation of human life, and the norms
about the etiquette of association and kinship system. so unique a local wisdom (Hari
Adi Rahmad).

Lokal merupakan ruang yang luas, di satu tempat, tidak merata, di suatu tempata
(tentang pembuatan, produksi, tumbuh, hidup, dan sebagainya) (KBBI, 2017). (Wiwin
Fidiana)

The quality of having experience, knowledge, and good judgement; the quality of
being wise. ( Oxford Dictionary, 2017). ( Ayu Munjidah )

Wisdom is the quality or state of being wise, knowledge of what is true or right
coupled with just judgment as to action, sagacity, discernment, or insight (Dictionary,
2014). (Nur Asitah)

According to Sartini (2009), one of the most widely known forms of local wisdom is
the proverb. Proverbs are words or statements that are widely known and often used.
Proverbs illustrate truths based on common sense and practical human experience.

One form of local wisdom submission is to examine and understand phrases such as
proverbs, ways of speaking, and literature contained in various regional languages ​in
Indonesia. Thus, language is one method for understanding culture, in the past, in
the present and in the future. Transforming local wisdom, values, and thoughts in the
past to use and develop in the present is difficult. Especially to be inherited to future
generations, more difficult. Therefore, local wisdom should receive support and
attention from all elements of society and nation. (Taufiqurrahman).

Bangsa Indonesia terdiri dari masyarakat yang multi suku, ras, agama, dan budaya
(multikultural). Sebagaimana menurut Suparlan (2002) akar multikulturalisme adalah
kebudayaan. Kebudayaan adalah hal yang berkaitan dengan seluruh sistem gagasan, tindakan,
dan hasil karya, karsa dan cipta manusia dalam kehidupan masyarakat yang bersumber dari
budi dan kekuatan dari akal manusia. (Koentjaraningrat, 1993:9). Rustanto mengatakan
multikulturalisme adalah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada
kesederajatan perbedaan budaya (2015:27). Lebih Lanjut Nugroho yang dikutip Andre dkk
(2011:15) menyatakan bahwa multikulturalisme bukan merupakan cara pandang yang
menyamakan kebenaran-kebenaran lokal, melainkan ia justru mencoba membantu
pihak-pihak yang saling berbeda untuk membangun sikap saling menghormati antar yang satu
dengan yang lain dalam perbedaan dan kemajemukan budaya, dengan tujuan terciptanya
perdamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Kaitannya multikulturalisme
dengan kearifan lokal merupakan sebuah pengakuan dan penghargaaan terhadap adanya
perbedaan budaya yang berdasarkan pada sosio kultural. Misalnya seperti budaya atau tradisi
“keleman” yang dilakukan di daerah Pasuruan. Istilah keleman merupakan budaya yang
dilaksanakan oleh penduduk Pandaan Pasuruan dalam bentuk upacara atau selametan yang
dilakukan pada setiap selesai tanam padi. Hal ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa
tasyakur atas terselesainya tanam padi, dan sebagai selametan agar diberi keselamatan sampai
panen. (Achmad Yusuf, Universitas Yudharta Pasuruan. achysf@yudharta.ac.id)

Introduction
Kearifan lokal adalah bagian dari kebudayaan masyarakat yang dirawat dan
diproduksi ulang oleh generasi selanjutnya oleh karena berfungsi mendukung
kehidupan. Masyarakat pemangkunya melibatkan diri dalam kebudayaan yang
dihasilkan sendiri itu oleh karena dianggap telah menyatu dengan dirinya, atau
dengan kata lain, telah menjadi karakter diri masyarakat itu. Kearifan lokal itu
mempengaruhi bahkan menentukan keberadaan masyarakat itu.
Di dalam kearifan lokal itu terkandung intelektual masyarakat, baik kognitif, spiritual
maupun relasi sosial. Bagaimana cara mereka memahami materi-materi,
memandang dunia, memahami dirinya sendiri dan relasi-relasi sosial, sampai pada
relasi dengan yang dianggap transenden (Tuhan, nenek moyang, dll). Pemahaman
itu ditempatkan dalam struktur yang jelas dan teratur sehingga satu hal bertalian
dengan hal yang lainnya. Contohnya: sasi = mempertalikan usaha konservasi
lingkungan dengan etika hidup masyarakat (mencegah pencurian, mengatur
pembagian hasil, dll.), juga pemahaman spritualitas manusia dengan Tuhan yang
mengajar manusia untuk menjaga alam, dll.
Jadi bukan hanya fungsi melainkan juga terdapat struktur berpikir, struktur sosial dan
struktur alam. Ukuran kearifan lokal bukanlah benar atau salah, menurut pandangan
masyarakat penghasil atau masyarakat lainnya, melainkan apakah itu bermakna
ataukah tidak. Cara masyarakat lain, yang bukan penghasil melihat kearifan lokal
adalah dengan cara memahahaminya (understanding). Seringkali ukuran dari
masyarakat lain tidak cocok dikenakan untuk yang lainnya karena konteks yang
berbeda. Oleh karena “local wisdom” bersifat kontekstual atau “local/setempat”.
Sebenarnya semua yang dihasilkan dan dianggap global atau universal adalah
“local” pada tempatnya, namun oleh karena penerimaan, baik secara sukarela
maupun terpaksa, barulah itu dianggal tidak lagi local. Padahal tidak ada hasil
budaya yang tidak local, karena tetap terdapat spesifikasi tertentu sesuai dengan
lokasi kebudayaan itu dihasilkan (Fabian Souisa, Politeknik Perikanan Negeri Tual,
souisafnj@gmail.com​).
Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang muncul melalui periode panjang
dan berevolusi bersama dengan masyarakat dan lingkungan di daerah
masing-masing dan disesuaikan berdasarkan apa yang sudah dialaminya, sehingga
kearifan lokal di setiap daerah berbeda-beda. Kearifan lokal itu mengandung
kebaikan bagi kehidupan, sehingga prinsip ini melekat kuat pada kehidupan
masyarakat setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan
sosial budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan visi
dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Seiring
perkembangan teknologi komunikasi dan transformasi budaya ke arah kehidupan
modern, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat eksistensinya
menghadapi tantangan yang signifikan. Hal ini perlu diantisipasi karena warisan
budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang
masih relevan dengan kondisi saat ini yang seharusnya dilestarikan dan diadaptasi
dengan baik. Namun kenyataannya kearifan lokal itu mulai meredup, memudar, dan
kehilangan makna substantifnya. Upaya-upaya pelestarian hanya nampak sekedar
pernyataan simbolik tanpa arti, penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan
sehari-hari, bahkan seringkali lembaga-lembaga budaya pada umumnya
dimanfaatkan untuk komersialisasi dan kepentingan kekuasaan. (Yanti Dwi Astuti,
yantidiazti@gmail.com).

Local wisdom that exist in Indonesia not only serves as the identity of each region,
but as an asset of Indonesia's wealth. Assets that can not be traded but can be a
particular attraction in the field of tourism and technology to advance welfare (Rusda
Wajhillah, STMIK Nusa Mandiri Sukabumi).

Today, our young generation is in a very difficult situation, they seem not ready with
the development of information technology. Most of them still using technology as
entertainment and they become consumptive (Wilska, 2003). Colonialism is no
longer in the physical form that requires us to take up arms and fight against
invaders, the problem today is more to the morale, ethics, attitude and character of
the nation. It is one of the Indonesian problems. Developing Indonesian local wisdom
database to revive cultural awareness among the younger generation is our
responsibility (Eka Zuliana, Universitas Muria Kudus)

Human interaction with the natural environment allows for the internalization of
cultures and institutions which then spawns a worldview or system of beliefs that is
used as a guide for life. This worldview is a natural view of how humans behave
towards each other and the natural world. The worldview is a cognitive, affective, and
perceptual reference that continues to be used by society in achieving a goal (Hart,
2010). The system of beliefs (worldview) will be differentiated according to the place
and environment of a community group. These different worldview, places, and
environments affect the way humans adapt and create a local wisdom that is passed
down and developed for generations. Local wisdom is the understanding of an
individual as a cultured social being and governs the ethical and individual ethics
(Schwarz, 2014). Local wisdom developed by indigenous peoples will also develop
indigenous knowledge in various areas of life, such as management, equipment,
medicine, environmental conservation, economics, social, political, cultural, and
spiritual. (Muhamad Arif Mahdiannur, Universitas Kaltara)

In general, local wisdom is paralleled with local genious, local knowledge as a result
of the work of a particular society that is preserved for generations, passing a
relatively long experience. There are five main elements of local wisdom: human,
place, activity, product, and time. Human element is not a single person but more
emphasized on the community who agree on the work of the jointly owned in a
certain environment. The element of time is distinguished from the present (modern)
and the past (traditional). So that the meaning of local wisdom is the work of
traditional society that is still maintained until today. The work of modern society is
called innovation work. Local wisdom has a complete meaning if it is translated
theoretically or practically or accompanied by an existing example. In Indonesia so
many local wisdom that can be introduced to the community both in and outside the
country. Academically it can be done comprehensively as a research work of quality
in the middle of the innovation era today. As one example is local wisdom Bulungan
Kalimantan Utara. Historically can be traced the existence of the community with the
work of both physical and non-physical buildings such as dances and other cultures
(Kurniadi, Universitas Kaltara).

New media encourages participation among young people, in order to appear


more transparent and willing to act in the face of the problems around him. The
birth of young leaders increasingly prevalent at the local level. In Yogyakarta for
example there is Fitriani Kembar who developed Dreamdellion Community
Empowerement in Sumberarum area, Rexy from Hoshizora who developed the
environmental educational Center in Pajangan, Osiris who developed the business
of dragon fruit by involving difable communities in the village of Sidomulyo Bantul and
many others. Currently among the generation of millennials there is a trend of DIY
(Do It Yourself). A variety of videos uploaded on youtube making the younger
generation learn about anything that could be adopted in accordance with the
respective characters including local wisdom can show their area. Results Focussed
Group Discussion Community of young social entrepreneurs like the social media like
youtube because there are a wide variety of digital interactions such as live
streaming, video content and more. They exemplify Metube conducted by the MNC
Group focus on content rather than on serving visitors. Metube itself brings local
flavor video so that focus on research, talent competition, the container for the
community and live event. This shows the real-world business practices based on
local wisdom, ​Think Global Act Locally. ​(Diah Ajeng Purwani-UIN Sunan Kalijaga.
ajeng.purwani@gmail.com​)

Versi bahasa indonesia :


Media baru mendorong munculnya partisipasi di kalangan anak muda, untuk
tampil lebih transparan, dan mau bertindak menghadapi persoalan yang ada di
sekelilingnya. Kelahiran tokoh-tokoh muda semakin marak di tingkat daerah. Di
Yogyakarta misalnya ada Fitriani Kembar yang mengembangkan ​Dreamdellion
Community Empowerement di daerah Sumberarum, Rexy dari Hoshizora yang
mengembangkan ​environmental educational Center di Pajangan, Osiris yang
mengembangkan bisnis buah naga dengan melibatkan komunitas difabel di desa
Sidomulyo Bantul dan masih banyak yang lainnya. Saat ini dikalangan generasi
millennials sedang ada tren DIY (Do It Yourself). Berbagai video yang diunggah di
youtube membuat para generasi muda belajar mengenai apa saja yang bisa diadopsi
sesuai dengan karakter masing-masing termasuk bisa menunjukkan ​local wisdom
daerah mereka. Hasil Focussed Group Discussion komunitas ​young social
entrepreneurs menyukai media sosial seperti youtube karena ada berbagai macam
interaksi digital seperti ​live streaming,​ konten video dan lain-lain. Mereka
mencontohkan Metube yang dilakukan oleh grup MNC yang fokus pada penyajian
konten bukan pada pengunjung. Metube sendiri mengusung video rasa lokal
sehingga fokus pada ​talent research,​ kompetisi, wadah untuk komunitas serta live
event. Hal ini menunjukkan praktek nyata dunia bisnis yangberbasis budaya lokal,
Think Global Act Locally.​ (Diah Ajeng Purwani-UIN Sunan Kalijaga.
ajeng.purwani@gmail.com)

Multiculturalism is a term used to describe a view of the variety of life in the world or
even the cultural policy that emphasizes about acceptance of diversity and the many
cultures that exist in society about values, system, culture, customs, and politics
espoused. Etymologically multiculturalism is formed from the multi (many), culture
(culture), and ism (flow / understand).
True multiculturalism words contained in the recognition o1f the dignity of human
coexistence in the community with the culture of each unique and varied. In addition,
Multiculturalism emphasizes the diversity of cultural and ethnic diversity. In the
concept of multiculturalism, there is a close connection to the establishment of a
society based culturally diverse as well as the realization of a national culture that
serves to unifying for the nation of Indonesia. How ever, in practise there are still
many obstacles that prevent the information of multiculturalism in society. (Resy
Nirawati).

Indonesia is a pluralistic and multicultural nation-state that is settled by different ethnic,


linguistic, religious and ideological backgrounds and geographical locations among its
regions as it is separated into thousands of islands which is a​ccording to Asian Brain, 2010 in
Ernawi (2010): 'Indonesia has approximately 389 ethnic groups with different customs,
languages, and cultures values one with another'. O​n one hand, it is important to preserve the
culture, on the other hand, because of the diversity of the culture in Indonesia, the risk of
conflict between the people is quite enormous. A number of these conflicts each have their
genealogy and anatomy. Some are triggered due to differences and ethnic, religious, political,
and other racist issues. Some traditions of the local people are actually the roots of violence
example, the tradition of hard “pela” or “pela” drinking of blood in Maluku has the potential
to sharpen the conflict. The tradition is due to the unity between the two parties that. For are
bound “pela” alliance based on the opposition against the third party, where some of the
native population used to garner solidarity by building a spirit of resistance against outsiders.
Similar local traditions are also found in ethnic Malays who have a tradition of “Amok,”
which implies that they are ready to sacrifice their souls when their patience is reciprocated
by persecution. Some ethnic Madurese are also known by the tradition of “carok,” who are
ready to bet life for honor. All traditions are directly or indirectly rooted and perpetuate
communal conflicts in Indonesia. (Dian Eka Indriani). The conflicts that occurred in
Indonesia generally arise as a result of the diversity of ethnicity, religion, race and tradition.
(Resy Nirawati). Local wisdom is an integral part of local people's lives. With the local
wisdom of the community they are able to survive through life by finding the right solution
for the problem. People use the dimensions of the local wisdom to solve conflicts or problems
encountered during community life such as religious or racial conflicts (Nian Afrian Nuari,
STIKES Karya Husada Kediri). Dimensions of local wisdom used by the community include
local knowledge, values, skills, local resources, decision-making mechanisms and solidarity
of local groups. This dimension is the underlying community for strengthening to resolve the
conflict (Sony Susanto, ITS). Local wisdom is part of the culture of a society that cannot be
separated from the language of society itself. Local wisdom is usually passed down from
generation to generation through word-of-mouth (Febri Liantoni). ​Strengthening the local
wisdom can be used in the settlement of social conflicts that occur in the community. Local
wisdom is regarded as one of the alternative solutions to problem solving in conflict
resolution. Local policies that are rooted and considered sacred, cause their implementation
can be more efficient and effective because it is easily accepted by the community. Local
wisdom has the potential to encourage people's desire to live harmoniously and peacefully.
Local wisdom is also the most powerful medium for finding solutions within conflict
resolution. Conditions are made by inviting conflicting communities to discuss and negotiate
the wishes of each to the other party. This will give effect to the form of settlement that is
considered possible and appropriate, and can be used as a warning to the conflict (conflict
early warning system) (Soeharto). ​Indonesian ​community local wisdom is often described as a
way to find the solution of various problems that arise in society. Therefore, local wisdom
generally interpreted as a way to solve environmental problems in society in their own way.
(Muslimin Machmud,”heritage Media and Local Wisdom of Indonesian Society”.Global
Journal of Human Social Sience Arts & Humanities.Vol. 13 No 6, 2013, 57 (MARTINA
NAPRATILORA, STAI Auliya Urasyiddin Tembilahn Kab. INHIL)
Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan yang kaya akan budaya, masing-masing
pulau yang terdiri dari beberapa wilayah memiliki kebudayaan tersendiri sesuai dengan
lingkungan dan kondisi alam yang ditinggali. Koentjaraningrat (1981: 180), menyatakan
bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Jadi budaya adalah
sesuatu hal yang pernah dilakukan masyarakat secara turun temurun dan sangat bersangkutan
dengan adat istiadat masyarakat (Evi Fitriana Universitas PGRI Palangkaraya
+Lusy ™ (UWKS). Indonesia as a country crossed by the equator, not only has its beautiful
nature but also has its cultural diversity from Sabang to Merauke. Indonesia is one of the
richest culturally diverse in the world.. (Irwan Sugiarto, Sekolah Tinggi Hukum Bandung).
Language can not be separated from culture. Language learners will be learning foreign
language best when they are provided opportunities to practice the language in the cultural
context of the language such as how to the culture responds courtesy, greeting, or small talk
in the introduction of a conversation. For example, it not common in a English conversation if
we are asking about someone else’s direction to go, marital status, or how many children we
have when we have not been familiar with our conversational partners. Sometimes, cultural
distance could be a determining variable in the intercultural communication in a foreign
language conversation. Cultural distance could be too abstract for learners, while the absence
of cultural content could not be effective. This article tries to discuss the cultural content and
aspects in language learning. Some issues discussed in in this article include the instructional
strategy in language learning, neutral aspect in language learning, and the importance of
culture in language learning. Beside, this article also highlights issues about integrating
character building into foreign language learning, particularly politeness as a part of good
characters.(Sugeng SA-Unibraw and Lusy ™-UWKS)

Indonesia has a variety of tribal characters, where each tribe has different customs and
cultures. The customs and cultures possessed by each tribe are referred to as local wisdom.
Local wisdom is descended down from several generations with various obstacles in the
process of its adoption of the challenges of the times. Local wisdom develops on the basis of
the environment and the needs of people's lives in a very long process and evolves with the
community. Often local wisdom at a site begins to degrade due to the emergence of a new
culture that is so fast that it causes today's generation to prefer cultures that they think fit, the
local wisdom in which they grow and are born. The local wisdom that develops in an area is
expected to become a stronghold to resist the influence of outside culture. In its development,
local wisdom is expected to have the ability to provide a direction of cultural development
and integrate indigenous culture with the development of culture in society. (Citra Kurniawan
, Sekolah Tinggi Teknik Malang)

kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi
dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama
pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh
tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang
berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia,
kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu,
tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat. (Sonny
kristianto,Universitas Wijaya Kusuma Surabaya)
Dalam sudut pandang ilmu psikologi, kearifan lokal dapat dipahami melalui studi lintas
budaya. Studi ini membahas tentang pengenalan, ruang lingkup, metode, teori dan pendekatan
kajian psikologi lintas budaya serta perspektif psikologi lintas budaya di Indonesia.
Pemahaman mengenai tata nilai yang dianut suatu masyarakat dapat dilakukan dengan
mendalami keragaman budaya sebagai suatu kekayaan bangsa Indonesia. Kearifan lokal dari
tiap-tiap budaya memiliki muatan emosi tersendiri dalam setiap ritual dan kebiasaan yang
dilakukan oleh masyarakatnya. Dengan demikian memahami hal ini dapat mengurangi
stereotip terhadap suatu budaya dan meningkatkan kesatuan dalam berbangsa dan bertanah air
(Endang Fourianalistyawati, Universitas YARSI).
Kearifan lokal tumbuh dan berkembang secara alamiah di bumi Nusantara yang menjadi salah
satu ciri bangsa ini dengan bangsa lain. (Rahmad Hidayat, Sekolah Tinggi Teknologi
Mandala, Bandung)

Local wisdom is closely related to the system of cultural value that is a sequence of
abstract conceptions that exist in most people’s mind of a society. Cultural value deals with
what is regarded as something important and worthy, as well as something unimportant and
worthless. In certain society’s life, this system of value closely concerns to the attitude and
behavior of human. System of value is a solid part of morale ethic which is, in its
manifestation, elaborated through social norm, law system, and customs functioning as ethic
code to rule certain society (Koentjaraningrat 2009: 214).
Local wisdom can be seen as traditional culture that is ethnic culture of national tribes.
Wisdom is not only in a form of norm and cultural value but also involves all elements of
notions including those that have implications on technology, health, and aesthetic. Local
wisdom also deals with language expression. In general, local wisdom is divided into two, the
tangible and intangible ones. Local wisdoms involves diversity of; language, religion,
knowledge system, kinship, society, economy, and local politics. Local wisdom is an entity
which significantly determines the human’s dignity in the community. Local wisdom contains
elements of intelligence, creativity, and local knowledge which can be determinant in the
development of civilized society. Local wisdom usually reflects on the long-standing life
custom of the people. The sustainability of local wisdom will be reflected in the values which
are applied in certain group of people. These values become the guidance of the group of
people and an inseparable part of life and can be observed through daily attitude and behavior
(Greertz 1989; Abdullah 2007: 63-65; Sedyawati 2007: 382; Liliweri 2014). [Teguh Trianton,
Universitas Muhammadiyah Purwokerto]
Sedangkan jika dilihat dari sisi kesehatan, terkadang kearifan lokal yang diyakini, dipahami
dan diamalkan masyarakatnya tidak semua memenuhi standar kesehatan dan terkadang dapat
membahayakan status kesehatan masyarakat. Seperti penyebab gangguan akibat kekurangan
iodium (GAKI) pada msayarakat Jember adalah faktor goitrogenik tiosianat yang berasal dari
kebiasaan mengkonsumsi makanan sumber goitrogenik (daun singkong, daun pepaya, rebung,
sawi pahit, kubis dan selada air) (Ningtyas, 2014). Jika hal ini terjadi, maka perlu adanya
penetrasi ilmu kesehatan dalam kearifan lokal tersebut (dalam hal ini edukasi bagaimana cara
meminimalisasi kandungan zat goitrogenik dalam makanan yang biasa dikonsumsi
masyarakat Jembe), sehingga terbentuk kesempurnaan kearifan yang dapat meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat. Namun ada pula kearifan lokal yang sangat berguna bagi
kesehatan, sehingga perlu pengembangan secara teknologi agar dapat menghasilkan inovasi di
bidang kesehatan yang diangkat dari kebudayaan lokal. (Fathimah, Universitas Darussalam
Gontor)

Taraf berpikir manusia Indonesia khusunya manusia Jawa amat berbeda dengan taraf berpikir
masyarakat Barat, jika di barat berfilsafat merupakan upaya mempelajari ilmu itu sendiri
tetapi di Jawa berfilsafat berarti mencari kesempurnaan hidup, yang ditekankan pada ​laku
untuk mencapai tujuan hidup yang sempurna. Alam rasa di Indonesia berbeda dengan emosi
atau ​feeling ​di Amerika, nenek moyang Indonesia terkhusus di Jawa sudah mengenal alam
rasa yang diwarnai berbagai kearifan dalam memandang dunia, salah satunya adalah konsep
hidup (​laku) menuju keselamatan dan kebahagian hidup (​hamemayu hayuning bawono)
(Habsy.,dkk, 2017) (Bakhrudin All Habsy, Universitas Darul Ulum Jombang)
Kondisi geografis, demografi, ekonomi dan kondisi-kondisi lainnya menyebabkan
keberagaman yang berkait langsung dengan perilaku masyarakat dalam menanggapi
permasalahan yang muncul dalam kehidupan mereka. Era perkembangan teknologi dan
interaksi yang luas antar budaya membuka kemungkinan munculnya friksi antar lapisan dan
golongan. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat dapat menjadi filter dan penyeimbang
untuk meminimalisi hal-hal tersebut. Dimana kearifan lokal merupakan nilai-nilai hidup bail
dalam bermasyarakat, bersikap dan nilai-nilai lain yang diperoleh secara turun temurun dan
biasa diperoleh secara lisan (cerita), lagu, Bahasa, adat, perilaku budaya dan metode-metode
lain yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai baik. “Kearifan lokal adalah pengetahuan
yang diperoleh oleh masyarakat lokal tertentu melalui kumpulan pengalaman dalam mencoba
dan diintegrasikan dengan pemahaman budaya keadaan alam suatu tempat (Ahmad baedowi,
2015, dan A.S. Padmanugraha, 2010). Dalam konteks kekinian dengan berbagai kompleksitas
permasalahan yang muncul, kearifan lokal memiliki peranan penting dalam menyelesaikan
permasalahan yang muncul. Kearifan lokal juga diperlukan dalam perencanaan kebijakan
publik agar pelaksanaannya dapat diterima dengan baik, perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan fisik serta bidang yang lain perlu memperhatikan kearifan lokal yang ada.
Kepemimpinan dalam bermasyarakat dalam realitanya memerlukan kearifan lokal dalam
implementasinya. Hal ini nampak karena secara riil kemimpinan lokal yang muncul sebagai
satu bentuk dari kearifan lokal yang ada menjadi pendamping (dalam beberapa kasus
“nampak” dualisme kepemimpinan) pemimpin secara formal kenegaraan berdasarkan aturan
formal dan pemimpin non formal yang “dimunculkan” dari kearifan lokal yang ada. Dalam
dunia pendidikan mulai muncul kembali kebutuhan kearifan lokal yang merupakan
manifestasi dari nilai-nilai budaya, keluhuran, religius, sosial dan nilai-nilai luhur lainnya
yang dimaksudkan untuk menanamkan dan membentuk nilai-nilai (karakter) hidup luhur guna
mengimbangi pergeseran nilai sosial akibat keterbukaan pasar, derasnya arus informasi, dan
keanekaragaman yang ada. Hal ini nampak ketika mulai diajarkan kembali
budaya-budaya/nilai-nilai lokal yang terintegrasi dalam mata pelajaran yang ada. Kearifan
lokal juga banyak digali dan diteliti oleh peneliti sebagai bentuk identifikasi dan pengakuan
akan adanya kearifan lokal yang ada ditengah masyarakat (Fauzi Farchan, Universitas
Wiralodra).
Masyarakat Indonesia sudah lama dikenal dengan perilaku dan kesopanannya baik kehidupan
dalam keluarga ataupun bermasyarakat. Citra positif tersebut merupakan hasil pembentukan
karakter dari pendidikan budi pekerti yang terus menerus diajarkan sejak dini baik melalui
pendidikan formal di sekolah ataupun pendidikan non-formal di dalam keluarga. Budi pekerti
yang diajarkan mulai dari anak-anak terus bertumbuh kembang sehingga menjadi manusia
dewasa yang memiliki etiket yang baik. Budi pekerti dapat dimaknai sebagai ajaran
pendidikan yang melekat pada kearifan lokal tidak terkecuali pada etnis Jawa. Kebiasaan
yang diajarkan masyarakat Jawa terhadap anak-anak atau kerabat atau pada masyarakat Jawa
pada umumnya berkembang melalui lantunan tembang-tembang seperti macapat yang berisi
ajaran Budi pekerti (Putut.S:2012).Suatu pengajaran yang mudah diingat karena dilantunkan
dalam sebuah tembang. (Sarono Widodo, Politeknik Negeri Semarang) Peran para Walisongo
di wilayah nusantara dan pulau jawa khususnya cukup melekat dalam memberikan tuntunan
cara hidup masyarakat secara islami, seperti lahirnya kesenian wayang kulit dll. dimana
sebelumnya masyarakat jawa sangat terpengaruh oleh budaya hindu selama beberapa abad
lamanya (Bayu Adhi Prakosa).

Kearifan lokal di Indonesia lebih banyak ditemukkan pada masyarakat pedesaan yang
memiliki mata pencaharian sebagai petani maupun nelayan. Di Maluku, khususnya pada
negeri (desa) Booi, kabupaten Maluku Tengah menunjukkan keunikan tersendiri dalam proses
pemanfaatan tanaman pala. Masyarakat desa tersebut masih mempraktekkan ritual-ritual
budaya, berupa kearifan lokal. Pemanfaatan tanaman pala di komunitas masyarakat negeri
Booi dilakukan berdasarkan pengetahuan lokal (kearifan lokal) yang diwariskan secara
turun-temurun dan dijadikan sebagai arah (norma) berperilaku guna memenuhi kebutuhan
hidup mereka. Aktifitas pemenuhan kebutuhan hidup di dalam dusun (kebun) milik
komunitas masyarakat negeri Booi bukan hanya dilakukan oleh pemilik dusun namun juga
oleh orang lain atau bukan pemilik dusun. Pola pemanfaatan dusun yang didasari kearifan
lokal “memungut biji pala” ini lebih ditujukan bagi masyarakat yang tidak memiliki aset
(dusun/kebun) sehingga pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga mereka dapat terpenuhi.
Dapat dikatakan bahwa, kearifan lokal memungut biji pala di negeri Booi merupakan jaminan
penghidupan bagi rumah tangga miskin. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa interaksi
antar masyarakat (pemilik dusun dan orang lain) maupun masyarakat dan alam tidak tercipta
pada ruang dan waktu yang singkat namun proses tersebut telah melalui adaptasi dalam kurun
waktu yang lama. (Hendri D. Hahury, Universitas Pattimura).

Local wisdom is not only found in rural communities, farmers livelihood but if you look
at the island of Sumatra area of ​the southern hill area we find also the local wisdom
of the community around the forest area even in the interior of the forest. As
indigenous communities in which terintegrasi with forest ecosystems, we can see
community community "Jurukalang" which has a principle of upholding the efforts of
conservation area managed based on the principle of democratization and
sustainability. There are some interesting ones, for example: "Keduruai" is one of the
traditions that is believed to be a medium of communication between people with
supernatural powers, there are several types of deceit that are often done by people
in Jurukalang, the decree to open plantation land in the forest in a particular area is a
demand process permits and salvation for those who manage it, "Agung Dignity" is
usually done when there is reprimand by the occult in the form of "Bumai Panes", this
process of Destruction is done by a dukun called Pawang, other means to be also
included in this process is woven bamboo to be made random, ie container for
offerings. The offerings for the ritual include chicken blood (monok bae) stored in a
bowl, cooking oil, sweet oil, cooked betel, raw betel, 99 limes, 99 cigarettes, and
three kinds of flowers (roses, cempaka ivory and cepiring). Other materials that are
also used for the ritual include 198 turmeric rice grains, rice flour (sabai),
three-colored yarns (white, red, and black). Local wisdom shows the Indonesian
culture is very widespread and diverse. (Eko Sumartono, University of Bengkulu)

Salah satu bentuk tradisi adat yang hidup di dalam masyarakat Kabupaten Maluku
Tengah dikenal dengan istilah Sasi. Sasi adalah suatu aturan yang disepakati bersama
oleh anggota masyarakat adat untuk ditaati bersama. Apabila Sasi ini dilanggar maka
anggota masyarakat yang bersangkutan akan dikenai sanksi atau hukuman sesuai dengan
peraturan-peraturan Sasi yang telah disepakati [1] (Suwari Akhmaddhian, Universitas
Kuningan).

[1]Reimon Supusesa, Eksistensi Hukum Delik Adat Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum
Pidana Di Maluku Tengah, Jurnal Mimbar Hukum Volume 24, Nomor 1, Februari 2012,Fh
Ugm, Halaman 41 – 54.

Bagi masyarakat Maluku, kearifan lokal sasi diberlakukan terhadap jenis tanaman tertentu
dengan tujuan untuk melestarikan dan menjamin ketersediaan tanaman tersebut sebagai
sumber pendapatan masyarakat desa. Sasi juga dilakukan oleh masyarakat negeri Booi,
kecamatan Saparua, Maluku Tengah, namun yang menariknya adalah sasi tidak diberlakukan
terhadap tanaman pala. Hal ini berbeda dengan negeri adat lainnya di Maluku yang
memberlakukan sasi terhadap pala juga. Tanaman pala bagi mereka memiliki nilai ekonomis
sekaligus merupakan sumber utama pendapatan masyarakat yang dimanfaatkan setiap waktu,
sehingga jika sasi diberlakukan, maka sama artinya dengan membunuh masyarakat negeri
Booi.
Bentuk kearifan lokal lainnya yang ada di negeri Booi adalah ​Paruru. Paruru ​terdiri atas 2
(dua) bagian kata, yaitu ​par ​dan uru.​ ​Par memiliki arti menuju atau ke, sedangkan ​uru
memiliki arti kepala. Dengan demikian, ​paruru dapat diartikan sebagai mengambil buah pala
yang berada pada bagian terbawah pohon pala kemudian terus menuju ke atas. Setelah itu
kembali menuju ke bawah pohon untuk memastikan tidak terlewatinya buah pala yang sudah
masak pada saat proses awal tadi. ​Paruru ​sendiri dilakukan di luar waktu panen pala. Pola
pemanfaatan pala di luar waktu panen ini, sangat bermanfaat dalam menjamin kelangsungan
hidup masyarakat setempat. Dalam bidang industri, khususnya industri rumah tangga
(agroindustri pala), pola pemanfaatan pala di luar waktu panen akan menjamin kontiunitas
ketersediaan bahan baku daging buah pala dan proses produksi. Dengan demikian kearifan
lokal tersebut dinilai dapat mendukung keberlanjutan industri rumah tangga di pedesaan.
(Ariviana L. Kakerissa, Universitas Pattimura)

Selain kearifan budaya lokal Maluku yang disebutkan di atas, tidak kalah menariknya adalah
dalam konteks budaya lokal khususnya di Maluku Tengah yang terkenal dengan nama “Pela
Gandong” . Menurut Lakollo dkk, (1997) adalah persatuan antar satu desa dan beberapa desa
di pulau Ambon yang dituangkan dalam satu perjanjian baik secara lisan maupun tertulis yang
harus dipatuhi dan dilaksanakan dari waktu ke waktu. Sedangkan menurut Aponno, E.H, dkk,
(2017) dalam penelitiannya yang meneliti budaya lokal ‘Pela Gandong’ dari aspek Perilaku
Organisasi dengan menggunakan pendekatan kuantitatif analisis SEM. Temuannya adalah
bahwa budaya lokal “Pela Gandong” memiliki pengaruh yang baik terhadap perilaku
organisasi pada tingkat individu, namun pada tingkat kelompok tidak ada pengaruh terhadap
perilaku organisasi. (Andi Reni, FEB UNHAS).

English Version:
In addition to local Maluku culture wisdom mentioned above, in respective interesting is in
the context of local culture, especially in Central of Maluku known as “Pela Gandong”.
According to Lakollo et al, (1997) is a unity between one village or several others villages on
the island of Ambon which is the content by the agreements both oral and written which must
be obey and implementation from time to time. As according to Aponno, E.H. et al, (2017) in
his research which examined the local culture ‘Pela Gandong’ from the Organizational
Behavior aspect by using quantitative approach by SEM analysis. His finding is that the local
culture ‘Pela Gandong’ has a good influence on organizational behavior at the individual
level, but at the group level there is no influence. (Andi Reni FEB UNHAS).

Globalisasi merupakan gambaran tentang penciutan dan penyeragaman dunia. Dengan adanya
perkembangan teknologi informasi saat ini telah mengubah kebudayaan sebagian besar
masyarakat dunia, baik yang tinggal di perkotaan maupun di pedesaan. Masyarakat di seluruh
dunia saat ini telah melakukan transaksi ekonomi dan memperoleh informasi dalam waktu
singkat berkat teknologi satelit dan komputer. Kebudayaan dalam era globalisasi tidak
sekadar disikapi sebagai keseluruhan pola perilaku, pengetahuan, dan pola pikir kelompok
sosial masyarakat secara mapan. Kebudayaan bukan dipandang sebagai suatu realitas
kebendaan yang selalu tetap, tetapi kebudayaan di era globalisasi ekonomi telah membentuk
realitas yang selalu diproduksi dan direproduksi secara terus menerus, yang kemudian
melahirkan identitas-identitas baru (Irianto, 2013). (Agus Supriyanto, STIE Atma Bhakti
Surakarta).
Class classification in Indonesia also began undefined when the New Order under Soeharto
government provides many facilities and places them it is to sustain the wheels of
development of the country. The middle group consists of young executives who work
downtown or the graduate who has a metropolitan lifestyle (Robison and Goodman, 1996). In
the era of the Old Orde this group may not be much discussed since at that time turbulent
political ideology whereas the Suharto era they were given the ease of positioning has become
a team of advisors in his government and support facilities that support for these groups, such
as construction town complete with infrastructure characterized by metropolitan and global.
As noted Prananta (2015) Latitude granted New Order is also the provision of greater
employment opportunities to the young graduates in order to put forward urban growth and
could be a barometer for the region in Indonesia. The development concept of the centralized
in this big city that fosters the growth of the urban middle class especially when Indonesia
benefited from rising oil prices world famous period oil boom in 1978. This middle group
moving forces getting stronger and was able to gain support quickly and large with the
support by increasing the telecommunications and information technology. One characteristic
of the urban middle class that is often gathered in the international branded cafes, often go to
the mall, as well as public spaces that seem exclusively in urban areas, they prefer the
lifestyle that tends to impress urban communities. But in 1998 this middle group became one
of the pillars for change in Indonesia when they simultaneously reject Suharto for the
government that is not democratic, and promoting cronies and their families in the use of state
facilities (Prananta, 2015). (Rama Kertamukti, UIN Sunan Kalijaga. ​kawanrama@gmail.com​)

Kebudayaan daerah di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dari budaya
yang dimiliki oleh negara lain. Ciri khas kebudayaan daerah yang ada di Indonesia terdiri atas
bahasa, adat istiadat, sistem kekerabatan, kesenian daerah dan ciri badaniah (fisik). (Andi
Riyanto, AMIK BSI Sukabumi)

Kearifan lokal seperti yang dijelaskan paragraf terdahulu juga ditemukan di beberapa Negeri
lainnya di Maluku. Penting dikembangkan kearifan lokal ini, khususnya yang berhubungan
dengan pengelolaan sumberdaya alam. Komoditi atau jenis tanaman tertentu diberlakukan
larangan untuk dipanen sampai periode masa tertentu sampai sesuai masa panennya. Hasilnya
adalah sumbedaya alam akan lestari. Hal ini dapat dikembangkan pada dua hal, pertama
adalah efektifitas kelembagaan (salah satunya adalah struktur organisasi) yang mengatur
kearifan lokal tersebut dan yang kedua adalah mekanisme aturannya. (Tekat Dwi Cahyono,
Universitas Darussalam Ambon).
Lain maluku lain pula dengan wilayah sumbar. Sumbar saja memiliki lebih dari 19 kota dan
kabupaten. Beda wilayah beda pula cara menginterprestasikan kearifan lokal. Satu saja
diambil contoh, yaitu daerah maninjau kecamatan tanjung raya, kabupaten Agam. Di wilayah
ini memiliki lebih dari 5 kenagarian atau kelurahan dan dimasing-masingnya memiliki
minimal 7 desa. Bisa dipastikan setiap kenagarian memiliki banyak perbedaan kearifan lokal,
baik dari bahasa, adat istiadat, dan seni budaya. Pembuktiannya dapat kita lihat, dengar, dan
rasakan dengan cara mengunjungi wilayah tersebut. Meskipun banyak perbedaan, namun
dalam hal penyambutan tamu penting seperti gubernur, bupati, camat, dan lainnya, baik cara,
gaya, maupun model penyambutan hampir semuanya sama, yaitu sebelum tamu masuk ke
dalam rumah, disambut terlebih dahulu dengan tari "Pasambahan" (persembahan). setelah
masuk ke dalam rumah, tamu dipersilakan duduk. sebelum menjamu makanan, para alim
ulama "cadiak pandai" melakukan ritual dengan cara berpepatah petitih. Makna dari ritual ini
adalah menghormati tamu, menunjukkan kesopansantunan, rasa syukur kepada Tuhan Yang
Maha Pengasih dan Penyayang, dan banyak pesan-pesan baik yang tersirat dalam ritual
tersebut. Untuk satu contoh kearifan lokal ini bisa menghabiskan waktu lebih dari 1 jam
dalam praktek kegiatannya (Rizaldi, STMIK Royal).

Bentuk kearifan lokal yang juga dapat kita temui pada masyarakat Minagkabau
Sumatera Barat adalah falsafah kehidupan yang dipraktekkan dalam sendi-sendi kehidupan
masyarakat. “​Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah”​ yang berarti ​adat bersendikan 
kepada  syara’  dan  syara’  bersendikan  kepada  Alqur’an  ​merupakan akar dari setiap tindakan
yang diambil oleh setiap eleman masyarakat Minangkabau.  Falsafah  ini  mengandung  arti 
bahwa adat dan syara’ (agama) saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan.  
 
Filosofi  “​adat  basandi  syarak,  syarak basandi kitabullah​” banyak menampilkan pepatah 
yang  mengandung  ajaran  akhlaq.  Misalnya  pepatah  yang  mengatakan  :  “Nan  kuriak  kundi,  nan 
sirah  sago,  nan  baiak  budi,  nan  indah  baso”,  atau  “Bahaso  manunjuakkan  bangso”  artinya 
bahasa menunjukkan akhlaq bangsa. “  
Pepatah  lainnya  yang  mengajarkan  tentang  sikap  hidup  rajin,  disiplin  dan  tidak  mubadzir 
adalah:  “tentang  Handak  kayo  badikik-dikik,  Handak mulie tapek i janji, Handak tuah ba tabue 
urai,  Handak  namo  tinggakan  jaso,  Handak  luruih  rantangkan  tali,  Handak pandai rajin baraja, 
Handak  bulieh  kuek  mancari,  Nan  lorong  tanami  tabu, Nan tunggang tanami bambu, Nan gurun 
buek  ka  parak,  Nan  munggu  ka  pandam  pakuburan,  Nan  rawang  ranangan  itiek,  Nan  padang 
kubangan  kabau,  Nan  bancah  jadikan  sawah,  Nan  gauang  ka  tabek  ikan.”  Pepatah  ini  juga 
mengajarkan  bahwa untuk mencapai sukses manusia harus arif dan Nagari/ daerah harus Nagari 
lahir  dan  tumbuh  sesuai  tata  ruang  yang  jelas.  (​Mas’oed Abidin, 2004). Falsafah ini
ditanamkan turun temurun kepada generasi muda Minangkabau baik melalui pendidikan
formal maupun pendidikan non formal di “Surau” (langgar, tempat belajar membaca Alqur’an
dan pendidikan non formal lainnya). (Rhini Fatmasari, Universitas Terbuka,
riens@ecampus.ut.ac.id)
Pada budaya masyarakat jawa sangat beragam sekali kearifan lokal yang masih
dilestarikan oleh masyarakatnya dan ada beberapa yang hilang akibat dari adanya globalisasi.
budaya jawa contohnya jawa tengah sangat beragam kearifan yang masih dapat dijumpai
khususnya di lereng Gunung Merapi, Gunung Merbabu sampai Gunung Sindoro dan Gunung
Sumbing. berbicara dalam melestarikan kearifan lokal setidaknya dapat disisipkan dalam
mata pelajaran muatan lokal atau pelajaran budaya di sekolah dasar sampai sekolat tingkat
atas dengan didukung oleh kebijakan Pemerintah melalui kurikulum pendidikan (Anggoro
Putranto, Institut Agama Islam Negeri Tulungagung.
Salah satu budaya masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah yang telah memeluk
Islam adalah budaya Oloh Salam yang merupakan sebutan internal orang-orang Dayak yang
masih memeluk agama helo atau agama leluhur untuk menyebut saudara sesukunya yang
telah masuk Islam. Proses konversi agama suku Dayak dari agama helo (kaharingan) ke Islam
merupakan sebuah imbas dari terbukanya jalur-jalur sungai yang panjang dari pahuluan
sampai hilir. Terdapat kecendrungan pembentukan pola prilaku kehidupan sosial budaya
Dayak Islam yang bersifat khas. Sebagaimana yang terlihat di berbagai dimensi kehidupan
seperti dalam gawi belum berupa upacara kelahiran, pengobatan, perkawinan, sedekah laut;
gawi matei berupa upacara kematian. Untuk itu perlu diketahui pola keruangan persebaran
budaya Oloh Salam yang ada di Kalimantan Tengah. (Lusy TM-+Heni Sukrisno-Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya)
Salah satu penelitian yang menjelaskan kearifan lokal terhadap pengelolaan sumberdaya
hutan disajikan oleh Ohorella et al (2011). Penelitian ini menjelaskan tentang kearifan budaya
lokal yang disebut “sasi” dalam mengelola “dusun”. Istilah Dusun digunakan untuk lahan
yang memiliki komposisi tanaman umur pendek dan umur panjang. Penelitian dilakukan di
Negeri Rumahkay, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Hasilnya menunjukkan bahwa
Masyarakat Negeri Rumahkay telah mengatur alokasi dan penggunaan sumber daya alam
berupa dusun kepada seluruh warganya sehingga keberlanjutan keberadaan dan fungsinya
dapat terjamin.

Salah satu kearifan lokal yang banyak menarik minat wisatawan untuk datang ke Indonesia
menyaksikannya secara langsung berlokasi di pulau sulawesi. Di bagian pegunungan utara
provinsi sulawesi selatan terdapat suku toraja. Kata toraja berasal dari kata “To Riaja” Yang
berarti orang yang berdiam di pegunungan. (Julius Buyang - Politeknik Negeri Ambon)
Wisatawan mancanegara selalu datang ke toraja untuk menyaksikan upacara adat pemakaman
disana atau lebih dikenal dengan nama ​Rambu Solo. P ​ rosesi pemakaman ini melibatkan
seluruh keluarga yang berduka untuk turut serta dalam upacara adat. Bahkan setiap anggota
keluarga yang berduka diwajibkan mengorbankan hewan untuk disembelih pada saat upacara
adat. Hewan-hewan yang akan disembelih ini biasanya akan diarak keliling dan diadu satu
sama lain sebagai tanda penghormatan bagi orang yang meninggal. (Christy Gery Buyang -
Universitas Pattimura Ambon).
Pada salah satu acara upacara pemakaman hewan yang akan disembelih ditebas sekali
dibagian leher di depan peti jenazah sebagai bentuk penghormatan. Biasanya hewan yang
dikorbankan berkisar puluhan juta sampai ratusan juta rupiah. (Ambarwati Soetiksno -
Politeknik Negeri Ambon)

Selain itu, penelitian yang terkait kearifan lokal juga dilakukan oleh Ulfah Fajarini (2014).
Penelitian ini bertujuan menelaah tentang kekayaan kearifan lokal di Indonesia yang berperan
dalam membentuk pendidikan karakter. Kearifan lokal harus terimplementasikan dalam
kebijakan negara, misalnya dengan menerapkan kebijakan ekonomi yang berasaskan gotong
royong dan kekeluargaan sebagai salah satu wujud kearifan lokal kita. Untuk mencapai itu,
perlu implementasi ideologi negara (Pancasila) dalam berbagai kebijakan negara. Dengan
demikian, kearifan lokal akan efektif berfungsi sebagai senjata tidak sekadar pusaka yang
membekali masyarakatnya dalam merespons dan menjawab arus zaman. Menggali dan
melestarikan berbagai unsur kearifan lokal, tradisi dan pranata lokal, termasuk norma dan
adat istiadat yang bermanfaat, dapat berfungsi secara efektif dalam pendidikan karakter.
(Mustika Fitri Larasati Sibuea, STMIK Royal)

Kearifan lokal juga berhubungan dengan tingkat peningkatan kesejahteraan masyarakat.


Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini sangat berdampak pada perubahan budaya kearifan
lokal disebabkan karena masuknya budaya-budaya luar melalui sistem pendidikan, hal ini
terlihat seperti pola pandang, pola pikir dan tindakan sehingga senantiasa cenderung
mempunyai sifat dan sikap yang pragmatis (syifa saputra,universitas almuslim)
Perubahan pola pikir dan tindakan yang cenderung pragmatis dapat dijumpai pada pernikahan
adat/budaya yang ada di Asahan, Sumatera Utara. Budaya “uang hangus” menjadi
pembicaraan yang paling penting ketika seorang laki-laki ingin mempersunting pujaan
hatinya. Pada awalnya uang hangus merupakan sejumlah uang yang diberikan oleh keluarga
pihak laki-laki kepada pihak keluarga wanita selain dari mahar pernikahan yang bertujuan
untuk membantu pihak wanita dalam menggelar resepsi pernikahan. Akan tetapi kini mulai
berubah menjadi simbol kebanggaan dan harga diri bahkan keuntungan khususnya bagi
keluarga wanita ketika mendapatkan “uang hangus” yang besar. (Muhammad Ardiansyah
Sembiring, STMIK Royal). Fenomena yang terjadi saat ini saat acara lamaran yang menjadi
lebih penting adalah pembahasan seberapa besar uang harus yang diberikan pihak keluarga
laki-laki dari pada membahas mahar apa yang akan diberikan kepada pihak perempuan.
(Andy Sapta, STMIK Royal)

Suku batak sangat kental dengan kearifan lokal, hal ini disebabkan karena budaya batak telah
menjadi perekat dalam bermasyarakat. Manusia dari lahir sampai meninggal menjadi urusan
keluarga dan masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan setiap kegiatan atau acara tidak bisa
diputuskan oleh individual tetapi harus dibawakan ke diskusi masyarakat. Batak sangat kental
dengan falsafah dalihan natolu. Dimana prinsip ini yang dipakai didalam segala aspek
berkehidupan sosial di masyarakat (Hengki Mangiring Parulian Simarmata,
hengkisimarmata.mm@gmail.com)
Selain itu dalam budaya bugis makassar juga dikenal dengan budaya siri napacce (siri yang
berarti malu/ harga diri keluarga dan pantang untuk di langgar karena taruhannya adalah
nyawa sedangkan pacce yang berarti perih/prihatin terhadap penderitaan orang lain (akbar
iskandar, STMIK AKBA).
Setiap kebudayaan yang ada di Indonesia memiliki nilai-nilai filosofis yang jika kita gali
secara mendalam maka akan memunculkan sebuah identitas karakter dan ciri khas yang
membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia (Didi Susanto,
Universitas Islam Kalimantan MAB Banjarmasin)
Suku Banjar misalnya memiliki bermacam macam kebudayaan, yang merupakan ciri khas
corak budaya hasil karya cipta masyarakat Banjar yang di dalamnya terdapat pesan- pesan
nilai, baik nilai teologis, estetis, etis, logis, fisiologis dan teleologis. Dari nilai nilai tersebut
menyatu dalam suatu sistem kehidupan masyarakat Banjar (role life sistem) antara satu nilai
dengan nilai lainnya saling keterkaiatan yang merupakan suatu local wisdom.
Teologis (keyakinan ) meyakini ada nya tuhan yang maha esaa dan kuasa, Estetis (keindahan)
merasakan akan nilai kejiwaan yang membuat ketangan dan kedamaian, Etis (Moral)
memiliki moral yang tinggi baik kejujuran keterbukaan penghargaan dan persaudaraan, Logis
(nalar) kemampuan berpikir secara rasional tentang fenomena alam ataua fakta emferis
dengan pengkatagorian, pengelompokkan dan menganailisisnya dan mepridiksi/ berhipotesis,
Fisiologis (ketrampilan fisik) menguji ketangkasan dan ketrampilan dalam mengatasi
persoalan kehidupan dengan fisik yang kuat dan sehat, Teleologis (kebermanfaatan) hasil
karya membawa kepada kebermamfaatan kehidupan pribadi komonitas dan masyarakat dan
bangsa bahkan umat manusia dunia dan akhirat (Jarkawi, Universitas Islam Kalimantan MAB
Banjarmasin)
Ciri khas masyarakat Indonesia merupakan identitas bangsa Indonesia yang harus dilestarikan
agar tidak hilang atau dicuri bangsa lain. Pendidikan yang berbudaya adalah sarana terbaik
dalam melestarikan budaya Indonesia di tengah dahsyatnya pengaruh budaya asing.
Pengenalan budaya bangsa sejak dini juga diyakini mampu membangun rasa nasionalisme
dan nilai-nilai luhur yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia ( Hamdan Husein
Batubara, Universitas Islam Kalimantan MAB Banjarmasin.)

Adat istiadat, budaya, agama dan bahasa merupakan lambang atau ciri khas sebuah daerah.
hal ini tercemin dari perilaku masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari. para orang tua
mengajarkan anak-anaknya untuk mengenal adat istiadat, budaya, agama dan bahasa sedari
dini, sehingga diharapkan dapat melestarikan dan tidak termakan oleh modernisasi. (Dwi Vita
Lestari Soehardi, STAI Miftahul 'Ulum Tanjungpinang). Pengenalan adat istiadat, agama dan
bahasa kepada anak-anak menjadi salah satu cara atau modal untuk masuk dalam lingkungan
yang mensyaratkan penguasaan adat istiadat, agama dan bahasa agar dapat diterima
dilingkungan organisasi atau perkumpulan-perkumpulan daerah,sehingga secara tidak
langsung proses pelestarian adat istiadat, agama dan bahasa tercapai dan disisi lain anak
menjadi percaya diri karena diterima dilingkungannya. (Yulia, Universitas Bosowa)
Rasa bangga akan nilai-nilai budaya daerah dan kearifan lokal harus mulai dipupuk sejak
dini untuk menghindari krisis identitas dan jati diri generasi muda Indonesia. Nilai-nilai
tradisonal tidak selalu berarti bersikap eksklusif dan memandang segala hal secara konservatif
tanpa menerima nilai budaya lain. Berideologi lokal berarti menjadikan nilai-nilai lokal
sebagai filter dalam menerima nilai budaya asing. Berkearifan lokal juga berarti bersikap
terbuka dan terus menerima masukan dari budaya manapun dalam rangka memperkaya dan
mengaktualisasikan nilai-nilai budaya lokal. Generasi muda memiliki peranan yang sangat
penting dalam pelestarian kearifan lokal (Yolla Ramadani, STIE Sakti Alam Kerinci)

Kearifan lokal juga berpengaruh dalam mengembalikan sumber daya sebuah daerah yang
telah mengalami degradasi atau penurunan kualitas, manakala pengaruh luar/budaya lain
mempengaruhi tata hidup di daerah tersebut. Pernyataan ini dapat dicontohkan pada Pulau
Timor di Nusa Tenggara Timur yang dulunya pernah dikenal sebagai “lumbung ternak sapi”,
namun telah mengalami penurunan, bahkan hampir punah ketika memasuki tahun 2000an.
Apalagi perkembangan Teknologi Informasi yang sangat cepat, ikut mempengaruhi perilaku
masyarakat muda sehingga perlahan-lahan meninggalkan usaha-usaha peternakan sapi yang
telah dilakukan oleh orang tua. Pendekatan yang tepat dan efektif dengan kondisi tersebut,
salah satunya dapat dilakukan dengan pendekatan kearifan lokal, melalui pengembangan
kurikulum yang berbasis Muatan Lokal. Muatan lokal yang dimaksud adalah muatan lokal
peternakan sapi yang dikolaborasi dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Masyarakat muda (dimulai dari Pendidikan Dasar) di Pulau Timur perlu dibimbing sejak awal
melalui materi muatan lokal peternakan berbasis kearifan lokal, sehingga mereka tertarik
kembali meneruskan dan meningkatkan pengelolaan ternak sapi dan mengembalikan slogan
Timor sebagai “Lumbung Ternak Sapi” (Folkes E. Laumal/Politeknik Negeri
Kupang/​folkeslaumal76@gmail.com​)

Undang-undang No. 5 Tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan mengakui bahwa


kebudayaan daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang harus tetap dilestarikan
demi kemajuan Pembangunan Kebudayaan Nasional sebagaimana juga tertuang dalam Pasal
23 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. (Abdul Atsar, Universitas
Singaperbangsa Karawang).
Kearifan lokal yang menjadi ciri khas atau identitas karakter dari suku tertentu, kadang
tercermin dari kehidupan sehari-hari mereka, sistem sosial, atau dari permainan
tradisionalnya. Suku Samawa misalnya, berdasarkan sistem sosial mereka ada sepuluh konsep
kearifan lokal yang didasari oleh rasa-saleng dalam masyarakat Samawa. Aris Zulkarnaen
(2011, 36-38) menyebutkan bahwa Rasa-saleng dalam masyarakat Samawa tersebut antara
lain “Saleng-sakiki (saling berbagi rasa), Saleng-pedi (saling mengasihi), Saleng-satingi
(saling menghormati), Saleng-satotang (saling mengingatkan), Saleng-sadu (saling percaya),
Saleng-sayang (saling menyayangi), Saleng-tulung (saling bantu), Saleng-beme (saling
bimbing), Saleng-jango (saling jenguk), dan Saleng-saturet (saling seia sekata). (Muhammad
Erfan, Universitas Samawa). Seperti halnya Suku Samawa, Suku Buton juga memiliki
falsafah hidup “​bhinci-bhinciki kuli (saling cubit-mencubit kulit)” yang merupakan landasan
hukum adat. Adapun makna yang terkandung didalam falsafah hidup tersebut dijabarkan
dalam empat konsep perilaku dasar (​sara pataanguna)​, ​yaitu pomaa-maasiaka (saling saying
menyanyangi sesama), poangka-angkataka (saling utama mengutamakan), popia-piara (saling
memelihara atau mengabdi), pamae-maeka (saling takut menakuti/tidak saling melanggar).
(Rudi Abdullah, Universitas Muhammadiyah Buton)

The local wisdom in one region can be settled as a national tourism destinations. Developing
cultural heritage as a local wisdom for economic interest has positive impact in increasing the
public welfare (Ni Komang Ayu Astiti,2015). Such as the local wisdom called Erau Pelas
Benua Etam of the Kutai tribe in Tenggarong,East Kalimantan. It is one of the cultural event
of the local wisdom that become the tourist attraction both national and international. Erau as
a local wisdom usually held in September as the month of the anniversary of Tenggarong
(Rini Apriyani, FH Universitas Mulawarman)

Identitas menurut Foucault (1990) adalah bagian dari ekspresi atas belenggu kuasa ataupun
penguasaan. Identitas tidak hanya dimaknai sebagai pembeda antara satu dengan yang lain,
namun lebih dari itu dapat dikatakan sebagai bentuk dari manifestasi atas kuasa. (Daniel
susilo, Universitas dr. Soetomo)

Tantangan kolektif yang dihadapi bagi bangsa ini adalah bagaimana menyusun sebuah
formulasi kebijakan publik yang berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal, disisi lain memaknai
dan memposisikan identitas secara rasional dan objektif menjadi persoalan yang tidak mudah
untuk dipecahkan. Bahwa identitas sebagai suatu yang tidak pernah sempurna, selalu dalam
proses dan selalu dibangun dari dalam (Stuart Hall, 1996), oleh sebab itu perdebatan tentang
bagaimana problem pencarian identitas akan tetap terjadi sepanjang perbedaan persepsi dan
perdebatan definisi masih menjadi hal yang dominan.
Bentuk identitas kearifan lokal sebagai pendekatan dalam memformulasikan karakter,
sikap dan perilaku manusia Indonesia hampir selalu menemukan jalan buntu ditengah arus
globalisasi kapitalis dan ketidakberdayaan melepaskan nilai-nilai peninggalan imperialisme
dan feodalisme yang berdampak pada terdegradasinya nilai-nilai etika sosial seperti sifat
konsumerisme, gaya hidup bebas, perilaku sex bebas, hedonisme dan perilaku individualis
pada sebagian besar masyarakat sedangkan disisi lain warisan nilai-nilai imperialisme dan
feodalisme menjadi trend negatif birokrasi dengan berbagai perilaku penyimpangan seperti
korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang, buruknya pelayanan publik serta
ketidakdisiplinan aparatur sebagai abdi negara. Sejatinya identitas kearifan lokal dapat
menjadi instrumen penguat kohesi sosial ditengah heterogennya sosiokultural masyarakat
Indonesia sekaligus menjadi preferensi dalam menentukan batas-batas yang wajar dalam
merespon globalisasi. Identitas kearifan lokal sebagai penciptaan gagasan, konsep dan nilai
ditengah sejarah kolonialisme, tantangan globalisasi dan arus budaya barat serta kebutuhan
untuk mempertahankan tradisi dan nilai-nilai tradisional (Dirlik, 1987) masyarakat
dibutuhkan dalam rekonstruksi Indonesia masa depan. Dengan demikian upaya
mempertahankan identitas kearifan lokal sejatinya harus diikuti dengan transformasi
nilai-nilai etika sosial dan moralitas kebijakan publik.(ahmad sururi, universitas serang raya)
Bhineka tunggal Ika merupakan muara dari keragaman nilai,norma, etika, hukum adat, adat
istiadat, bahasa, dan unsur budaya lainnya. Keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia ini
seharusnya menjadi kekuatan utama untuk menjadi negara yang lebih unggul dibandingkan
negara lain (Didit Darmawan)
Nilai yang dimiliki oleh seseorang dapat diperoleh dan berkembang karena pengaruh
kebudayaan, masyarakat dan kepribadiannya (Suseno, 1996). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa faktor internal yang mempengaruhinya adalah kepribadian (Baron & Byrne, 2005;
Taylor, dkk., 2006), empati (Bar & D’Alessandro, 2007), religiusitas (Sargiou, dkk., 2005),
emosi dan pengalaman (Baron & Byrne, 2005), sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh
adalah situasi (Baron & Byrne, 2005), keluarga (Bar & D’Alessandro, 2007), kebudayaan
(Byson & Taylor, 2011, Trommsdorff, dkk, 2007), praktek pengasuhan (Hastings, dkk.,
2007), teman (Mau, dkk., 2007), guru (Wentzel, dkk., 2007), kondisi sosial ekonomi (Piff,
dkk., 2010), dan media elektronik spt tv, hp, games, dll (Greitmeyer, 2008; Abraham, dkk.,
2009; Gentiletti, dkk., 2009). (Siti Nurina Hakim, Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Keberagaman budaya di Indonesia menjadi kekayaan yang tak ternilai dari leluhur. Rumpun
melayu seperti Indonesia, malaysia, singapore memiliki kemiripan dalam kulturnya. Seperti di
negara kita di Indonesia, tiap daerah memiliki beragam kebiasaan yang menjadi adat di
daerahnya. Kudus merupakan salah satu kota kecil yang ada di pulau Jawa. Banyak tradisi
yang perlu dilestarikan dan dibudayakan. “Buka luwur” merupakan tradisi yang masih
dibudayakan di Kudus. Buka luwur diadakan setahun sekali pada saat 10 muharram atau 10
syuro di Sunan Kudus dan Sunan Muria. Selain buka luwur, beberapa tradisi yang dapat
menjadi daya tarik promosi adalah tradisi dandhangan. Dibeberapa daerah di Indonesia
mengenal tradisi ini. “Dandhangan” adalah tradisi menjelang puasa (bagi muslim), yang
dikemas memamerkan aneka khas dari kota Kudus. Lain daerah beda nama, misalnya di
Semarang menggunakan nama “dugderan”. (Tri Listyorini, Universitas Muria Kudus)

Kudus City is a city in Central Java province which is famous as the town of kretek (cigarette)
producers or santri city (Islamic displice city). There are many relics of Islamic historic
buildings. One of them is Kudus Minaret. Kudus Minaret is a legacy of Sunan Kudus who
showed the greatness of Islam. According to Said (2013) Kudus Minaret-shaped Temple
Hindu Majapahit. The form of the building will not be found in the minaret of a mosque
around the world. This minaret had a height of 18 meters and about 100 sq m. At the base,
strongly shows the system, the form, and the Hindu-Java building elements. It can be seen
from the base and body of the tower which was constructed and engraved with
Hindu-Javanese traditions, including the motive. Another feature can be seen in the use of
brick material that is arranged without cement adhesive, but according to folklore (oral
history) bricks are rubbed up to sticky. According to Said (2013) at that time, Kudus Minaret
is one of the symbolic struggle media representation in the negotiation process (dialogue)
between cultures. Elements of Javanese culture-Gujarat-Persian-Chinese and colonial are
reflected in the various ornaments in Kudus Minaret with various symbolic backgrounds.
Various symbols and signs that exist in Kudus Minaret reflecting the diversity of culture,
beliefs, customs and is a manifestation of the spirit of multiculturalism.
(Savitri wanabuliandari,universitas muria ​kudus,savitri.wanabuliandari@umk.ac.id​)

The problems faced by this nation one of them is the lack of love behavior of the homeland.
Indonesian society tends to accept and imitate foreign culture without selecting properly.
Travel abroad much chosen by some people than domestic tours. It is because the
understanding and knowledge of the community on local wisdom in the region is minimal.
The community should be able to recognize and be proud of the culture that exists in their
respective regions.
(Sekar Dwi Ardianti, Universitas Muria Kudus) ​sekar.dwi.ardianti@umk.ac.id

tradisi unik yang ada di Sumatera Barat adalah “tabuik”. Perayaan ini merupakan tradisi dari
masyarakat Pariaman untuk memperingati meninggalnya cucu Nabi Muhammad yaitu Hasan
dan Husein. perayaan ini dilaksanakan setiap tahun pada tanggal 10 Muharram. Selain itu
juga ada “pacu jawi” “pacu itiak” dan pacu kudo ( Yetti Universitas Lancang Kuning) yang
ada di Sumatera Barat yang masih dilakukan sampai sekarang (Muthia Anggraini, Universitas
Lancang Kuning).
Tantangan lainnya adalah berkembang pesatnya teknologi dan sistem informasi dalam unsur
kearifan lokal (A.A Gde Satia Utama,Universitas Airlangga).
Bentuk kearifan lokal ranah minang lainnya yang termasuk unik adalah sistem matrilineal,
yaitu sistem pewarisan harta pusaka menurut garis keturunan ibu. Harta pusaka ini adalah
harta turun temurun dari ninik mamak ke kemenakan yang disebut dengan “pusako tinggi".
Pusako tinggi adalah harta pusaka tertinggi sebagi bukti keberadaan sebuah garis keturunan di
kampung halaman, sebagai simbol pemersatu garis keturunan bukan merupakan kepemilikan
pribadi karena harus diwariskan kepada generasi selanjutnya menurut garis keturunan ibu.
(Lusi Dwi Putri, Universitas Lancang Kuning).
Berbeda daerah maka berbeda pula adat istiadat, salah satu bentuk kearifan lokal lain yang
berasal dari daerah Bangkinang adalah “Nasi Bajambao”. merupakan suatu kegiatan
bertemunya para masyarakat yang berada di Bangkinang maupun yang berasal dari
perantauan. sehingga terjalinnya komunikasi dan silaturahmi. kegiatan ini di laksanakan pada
hari ke 7 di bulan syawal, kegiatan ini dimulai dengan ziarah kekuburan leluhu dan di akhiri
dengan makan “Nasi Bajambao” secara bersama-sama.( Fitridawati Soehardi, Universitas
Lancang Kuning)
Keberagaman budaya lokal Indonesia tidak ada duanya di dunia ini, namun demikian,
dengan masuknya era globalisasi dengan beragam sisi positif dan negatifnya dimungkinkan
akan menggeser budaya asli daerah di Indonesia. Bahkan tak jarang generasi milenial kini tak
sebegitu memahami budaya yang ada di daerahnya, misalnya saja terkait penggunaan bahasa
daerah, kesenian daerah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu perlunya membudayakan budaya
lokal daerah dalam sistem pendidikan, baik melalui pengembangan kurikulum, strategi
mengajar guru maupun kegiatan ekstra yang relevan dalam upaya melestarikan budaya
tersebut. Misalnya saja memasukkan budaya daerah dalam pelajaran muatan lokal di sekolah
yang memiliki bobot tidak jauh berebeda dengan pelajaran umum lainnya, atau menggunakan
Bahasa daerah pada hari tertentu sekolah, atau bisa juga mendesain kegiatan ekstra kulikuler
yang memberikan ruang untuk siswa maupun guru melestarikan budaya lokal. Beragam
upaya tersebut dibuat dalam kebijakan yang sistematis agar bisa berjalan lebih maksimal.
(Abd. Ghofur, STKIP PGRI Lamongan)

Pencarian identitas adalah sebuah proses yang


According to sibarani (2012) as cited in Zein et al. (2017), local wisdom is defined as
community’s wisdom or local genius deriving from the lofty value of cultural tradition
which can be seen through product of culture. Additionally, cultural dimension of it is
divided into 5 types i.e. local knowledge, culture, skill, human resources, and social
process (Ife, 2002). (Muhammad Yusuf, STKIP Pelita Bangsa Binjai). According to
Padmanugraha ( 2010), Local wisdom is in folklore, proverbs, songs, and people's
games. Local wisdom as a knowledge found by a particular local community through
a collection of experiences in trying and integrated with an understanding of the
culture and nature of a place. (Febri Liantoni, Institut Teknologi Adhi Tama
Surabaya).

Most conflicts are born of different cultural values; a resolution of the conflict sought and
extracted from local values should have to exist, karena setiap suku bangsa yang memelihara
nilai-nilai kulturalnya akan menghormati perjuangan para pendahulunya dan menjadikan nilai
budaya yang telah diwariskan sebagai dorongan untuk membangun bangsanya setara dengan
bangsa-bangsa maju lainnya (Qamar, N, 2017). Local wisdom can contribute greatly to peace,
teknologi penyelesaian konflik moderen yang banyak digunakan negara-negara maju belum
mampu mewujudkan penyelesaian sengketa sesuai prinsip sederhana, cepat, dan biaya ringan,
sedangkan pola musyawarah mufakat lebih sering mewujudkan keadilan yang hakiki.
Moreover, peace and prevention of conflict would be more felt when local wisdom is then
supported, facilitated, and aided by the role of state and government. ​According to John Haba
in Amirrachman (2007), local wisdom is a culture that refers to the various richness of culture
itself, which grows and develops in society, is recognized, trusted, and recognized as
important elements capable of reinforcing social cohesion among citizens. ​When the culture is
believed has valuable value for pride and greatness of nation dignity, then the transmission of
cultural values ​to the next generation is an inevitability (Basyari, 2014).
According to a research who conducted by Mardikantoro, 2013 one of the local wisdom in
Indonesia is the teachings of the Samin community. The teachings of the Samin community
are expressed in Javanese. The forms of lingual units used to express the local wisdom are
words, sentences, and discourses. Local wisdom about the teachings revealed in the Javanese
language includes the teachings about the prohibition of indulgence, the doctrine of not doing
evil, the teachings about the prohibition of hurting others, the teachings of the lifestyle, the
doctrine of firm trades, the teachings of the law of karma, the doctrine of honesty, doctrine of
the impossible, the doctrine of property and of wife, the doctrine of filial piety, the doctrine of
preserving the environment, and the doctrine of work ethics. (Sitaresmi Wahyu Handani,
STMIK Amikom Purwokerto)

Wisdom is the quality of having experience, knowledge, and good judgement; the quality of
being. Wisdom is the fact of being based on sensible or wise thinking. Wisdom is the body of
knowledge and experience that develops within a specified society or period (Oxford
Dictionaries, 2016). (Elsa Rosyidah)

Wisdom is the ability to use your knowledge and experience to make good decisions and
judgments (Cambridge Dictionary, 2015). (Agung Purnomo)

In rural communities, the communication between humans mostly done by using symbols
such as sounds, gestures, visual and performing arts of the people. Heritage media is a
communication tool used by people from outside in an attempt to convey some messages that
contain various elements values, norms, rules, also include development message from the
kingdom, therefore this heritage media purposes beside in addition to entertainment is also
used as a tool to solve community problems in their own way, in this context local wisdom,
especially issues related to community efforts to meet their needs for information. Heritage
media as one aspect of communication systems, cultural systems and social systems, have
also caused tidal because of historical factors and socio-cultural changes in society. In use, the
community also experienced a reduction as a result of the growth, development and
sociocultural changes in society. Heritage media that should be a local wisdom marginalized
communities into the political factors and power. This causal pattern may occur because of
some mechanism depends on various factors such as ecological, economic, social, cultural
and society itself. For example, in the reign of "New Era" that apply the concept of
centralization, heritage media is directed and used for political purposes and the name of
national development. heritage media messages directed towards the creation of public
awareness to support government programs, by showing the existence of uniformity and
ignoring the existence of diversity. (Prayogi Sunu. Universitas Boyolali)

Local wisdom is composed of two words: wisdom (wisdom) and local (local). Local wisdom
(wisdom) can be understood as the ideas of the local (local) which is full of wisdom,
discernment, good value, embedded and followed by the member society (Sartini, 2013).
Keraf (2010:369) also addressed that Local wisdom is every knowledge, belief,
understanding, and customs or ethics that guide human behaviour in an ecological
community. Local wisdom is not only related to the tribal knowledge and understanding
about humanity and how to build peaceful relations with each other, but also to knowledge,
understanding, and customs regarding human, nature, and how every relation between the
inhabitants of this ecological community is built. All of these traditional wisdoms are learnt,
practiced, taught, and passed down through generations and shaped human behaviour in their
daily lives. Kuntoro (2012, p.6) argued that Local wisdom is used to indicate that there are
some components in local wisdom such as nobleness, high values, truth, goodness, and
beauty. They become the guidance of making the pattern of relationship among the people as
the base of the vision of life. According to Muslimin Machmud (2013), Indonesia is a country
with diversity custom, both from the ideology aspect, religion, cultural, political and social
life. This resulted in Indonesian society into a plural society with a population of multi-ethnic,
multicultural print culture, and religious behavior of syncretism. This case became a record of
cultural history in Indonesia, making Indonesia have a diversity of customs and some forms
of local wisdom that more traditional forms of media including delivery messages is too much
tradition. As a multicultural country, Indonesia has abundant traditions and local wisdom
values which are needed to be preserved as the negative influences come from outside. The
local values can protect the good life of Indonesian people in today’s globalization and
information era. Indonesia is a country with a diverse display of ethnicity, race, and religion,
Indonesia comes into play as a place with numerous traditions where tribes turned into local
communities and live in the same region. Local wisdom-based culture transformation, it
becomes a common commitment as a form of social cohesiveness of harmonic complexity of
the society. Local wisdom as a cultural principle of Indonesian society that may be traditions,
languages, customary law, the heritage media and others, there still remain and be maintained,
but also not a few that can not be maintained (lost or abandoned). Local wisdom can be
defined as local cultural wealth, which contains the policies of life; view of life (way of life)
that accommodate policy (wisdom) and the wisdom of life. In Indonesia, local wisdom that
does not apply only locally on a particular ethnic or cultural, but it can be said to be
cross-cultural or ethnic traffic forming the nonprofit national cultural values. For example,
almost every local culture in the archipelago knows local wisdom that teaches mutual
tolerance, work ethic, and so on. In general ethics and moral values contained in the local
wisdom that is taught from generation to generation, passed down from generation to
generation through oral literature (among others in the form of maxims and proverbs,
folklore), and manuscripts (Suyatno, 2014). Despite the efforts of local wisdom inheritance
from generation to generation, there is no guarantee that the local wisdom will remain
staunchly to face the globalization that offers a lifestyle that is the more pragmatic and
consumerist. Factually we can see how the local wisdom is loaded by the policies and
philosophy of living is barely implemented in practice of life that is more pragmatic (Suyatno,
2014) ​(Dina Chamidah, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya)

Local wisdom is the legacy of the past that come from the ancestors, which are not
only found in traditional literature (oral literature or literature) as a reflection of the community
of speakers, but there are real life in various fields, such as philosophy and outlook on life,
health, and architecture. In the dialectic take life (something that is alive will die), without
preservation and revitalization, local wisdom someday will die. It could be, the fate of the
local wisdom is similar to inheritance of ancestral heritage, which after so many generations
will be rotted eaten by times. Now any sign of burgeoning of local wisdom weathering
unreadable. Local wisdom frequently undefeated by more pragmatic attitudes, which
ultimately sided with the more pressure and economic needs (Suyatno, 2014). The
attractiveness of cultural elements and local wisdom as the basis for the development of
culture in this global era can be based on more detailed reasons as follows: (a) from the
perspective of the strategy of culture, the rising influence of globalization has been the
reduction of national cultural values. Local culture has the potential and the role of cultural
counterpoint (counter culture) for global cultural dominance reputed as something inevitable
(Fakih, 2003:5). The search for various cultural richness related to food as an effort to
preserve the culture of the Indonesian Nation that can support food security and sovereignty,
it is successfully proved from the results of research that has been done at the University of
Wijaya Kusuma Surabaya since 2009 until now shows that sorghum as an ancient crop in
Indonesia can be used as an alternative food, which from sorghum seeds can be used as
rice, flour, bran, and various dairy products, as well as sorghum stems as a natural
sweetener. It also supports University of Wijaya Kusuma as a cultural campus as a form of
local wisdom implementation. (Ir. Endang Noerhartati, MP, Agroindustrial Technology Study
Program, Faculty of Engineering, University of Wijaya Kusuma Surabaya).

As a country with a diverse display of ethnicity, race, and religion, Indonesia


comes into play as a place with numerous traditions where tribes turned into local
communities and live in the same region. Boonpanya (2006) explained that local
society in this case is traditional society with its own culture, and they create a
self-sufficient miniature with a production system, resource management, healthcare,
knowledge and learning, justice, government, and economic system between
individuals and families within the community. These people in the local community
are related to one another and continue the legacies of their families. Values become
an important aspect and strong foundation for a community to take action. Values
that are held in a local community are collectively called local wisdom. The existence
of local wisdom in a local community can be viewed as a sign that local culture has a
force that instills a unique character into that community. From an etymological
standpoint, wisdom in “local wisdom” means a person’s ability to use their thought to
take action or behave as a result of assessments on many things, objects, and
events (Ridwan, 2007: 27). If compared with local aspect which in this case is a set
of values, the concept of local wisdom becomes a way to create a pattern of relations
inside a social environment and makes a traditional society’s local cultural values
much more important. ​(Dr. Ir. Hary Sastrya Wanto, MS., Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya)

The life of rural communities in different regions in Indonesia is still strong and mutual
that is ​guyub culture with high sublime values and spirit of independent living. This is to prove
that their lives are still always coupled with a variety of efforts that can produce ​sangune urip
(supply) for life continuity, and stay resilient and responsive to guard against environmental
and local wisdom values for rural society (Farhan, 2013). Local wisdom developed in rural
communities is not just simply a culture considered primitive by the wider community. Local
wisdom also has the power to keep the balance of nature and to manage natural resources
and the environment wisely. Digging and understanding the local wisdom are in order to be
able to figure out how to manage and conserve the natural resources and the environment.
This understanding is important to be a cornerstone of managing natural resources and the
environment wisely. Excavations on wealth of sublime nation's culture is needed to be done
to criticize its existence related to the inevitability of the existence of cultural change. Space
exploration and study of local wisdom become its own demands for institutional development
and exploration of cultural treasures for the nation in general (Sartini: 2013). Quote from
Mohammad Noah; "If there is no culture, there will be no future” (Nuh: 2013). ​(Lusy Tunik
Muharlisiani, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya)

A good local culture can be a source of local wisdom, as one source of the critical
attitude towards globalization. This is the case that in a society that increasingly homogeny
lifestyle of a society due to globalization and modernity, the more solidly against the
community's reliance upon the values that more deeply as religion, art and literature while the
outside world is growing increasingly similar (homogeneous). Due to globalization, people
increasingly appreciate the traditions that come from within. The emergence of a new lifestyle
trend is rooted in the tradition of art is an indication of positive rise of local values in public
life. The art traditions that still survive till now and are still maintained by the society in Java
have a high philosophy value. For example, shadow play can survive up to now even
recognized as world cultural wealth because at most it as the value of beauty (aesthetically)
their (ethical) who gave birth to the wisdom of the public, especially Javanese. Even the
puppet story is a reflection of the life of Javanese people so it's not strange when the puppet is
referred to as the religion of Java. From the Javanese shadow play, people are looking for
solution to their problems. In shadow play it joins the beauty of art literature, art music, art,
sound art and mystical teachings of the Javanese leather sourced from major religions existed
in Javanese (Sutarso, 2014). The longing of Western society towards substantial in Javanese
culture can be seen from the growing number of Westerners who had studied Javanese culture
that is known aesthetically and remarkably (Sutarso, 2014). ​(Heni Sukrisno, Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya)
According to Utomo (2017) Implementation of local wisdom is not easy, because so many
values from outside that currently many diadospi by the people of Indonesia. Nevertheless,
opportunities to promote local wisdom as a conflict resolution are still present. This is in
accordance with the opinion Viviene (1996) said that the element of potential regional culture
as local wisdom because it has been tested its ability to survive until now. The four
characteristics of local wisdom exemplified by him is a potential force for conflict resolution.
Burton (1990)
​ argues that local wisdom has the following advantages. Application
​ of local
wisdom is not easy, because so many of the foreign values currently being adopted by
Indonesian. However, opportunities to promote local wisdom as conflict resolution are also
still there. This is in accordance with the opinion of Viviene (1996) say that the cultural
element as a potential area of local wisdom as it has proven its ability to survive. The fourth
characteristic is exemplified by her local knowledge is a potential force for conflict
resolution. Burton (1990) argues that local knowledge has the following advantages:
a. Survives from outer cultural influence;

Typical local knowledge resistances to foreign cultures. Besides not easy to be influenced
by foreign culture, local wisdom tends to preserve and maintain the group members to
remain subject to the rules applicable. Various local rules that bind are not regarded as
something that is restrictive, but be a form of respect for the values of noble ancestors.
b. Accommodate Cultural Affairs Local knowledge does not reject foreign cultures, but
sought to accommodate it to be in harmony with the local culture. The goal is to maintain
local values in order to continue to grow, especially for strengthening the next local
generation. I enriches the values of local wisdom.
c.​ I​ ntegrate Cultural Elements;
Foreign cultures, more and more into the
​ territory of Indonesia, it should be adapted to
the local culture that is not destructive to the life of Indonesia. The trend is occured a lot
of groups of people who adopted it, but it would be better to be adapted so as not to
conflict with the local culture itself. For adopt can be interpreted as an act of receiving
the full arrival of foreign culture, not customize and integrate it into their own culture.
d. Ability to Control;
Local wisdom in addition to maintaining the members of the group can also be used to
control the intention to commit destructive acts. The patterns formed in the local wisdom
points to the value of togetherness, family, cooperativeness and willingness to resolve
the problems with the deliberations. The pattern is very potential to pre-vent, reduce and
even overcome social conflicts that occur at this time. Back on the local knowledge
means indica-tes the strength of our own nation in solving the problems faced.
e.​ D
​ irects Cultural Development;

Gradually people are getting lost their identity, lead to the strengthening of local
knowledge needs to be done. Because local knowledge is able to redirect the identity of
Indonesia in accordance with its cultural diversity. The existence of local knowledge can
not only be used to resolve the conflict, but also provide enrichment to the cultural values
of the sublime.
(Dra.ec. Pratiwi Dwi Karyati, MM. , Universitas Wijaya Kusuma Surabaya)

Proses penyampaian informasi budaya meliputi nilai, pengetahuan dan praktik yang lazim
dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi, disebut dengan transmisi budaya,
sedangkan transmisi nilai merupakan penularan nilai dari generasi ke generasi berikutnya
(Lestari, 2012). Transmisi nilai dapat melalui mekanisme mengajar dan belajar dan dengan
cara sosialisasi, enkulturasi dan akulturasi (Berry, dkk., 1992) (Siti Nurina Hakim,
Universitas Muhammadiyah Surakarta).

Oleh karena itu, supaya nilai-nilai kearifan lokal Indonesia tidak punah oleh kemajuan
zaman, maka semua warga negara Indonesia harus mempraktikannya dalam kehidupan
sehari-hari. Nilai kearifan lokal akan tetap lestari jika semua elemen masyarakat
mempraktikkan dalam kehidupan, walaupun arus perubahan zaman terus berganti (Fajarini,
2014). Selain itu, sebagai warga negara yang memiliki berbagai nilai kearifan lokal tidak
malu mempraktikkannya, walaupun mereka bersama orang-orang yang memiliki nilai-nilai
yang berbeda. Seperti masyarakat Bali yang setiap hari mereka berkumpul dengan
orang-orang dari berbagai negera. Mereka tetap melesatrikan nilai-nilai kearifan lokal dengan
cara menyaring segala yang dari luar tetapi tetap menunjukan peran sebagai masyarakat
global (Suwardani, 2015) (Slamet Widodo, STKIP Al Hikmah Surabaya)

Konteks kearifan lokal berhubungan dengan aspek pengelolaan lingkungan. Hal ini
dikarenakan kearifan lokal tercipta melalui serangkaian pengalaman individu atau
sekelompok masyarakat tertentu selama bersinggungan dengan alam dan lingkungan
sekitarnya dalam kurun waktu tertentu. Berdasarkan hal ini, kearifan lokal berpotensi sebagai
sebuah landasan bagi sekelompok masyarakat dalam usaha menjaga kelestarian sumber daya
alam dan keseimbangan lingkungan. Selain itu, gerakan pengelolaan lingkungan oleh
masyarakat setempat dengan berbasis kearifan lokal menjadi sebuah sumber pembelajaran
bagi masyarakat yang berkaitan dan tidak menutup kemungkinan untuk melakukan
pertukaran pengetahuan dengan masyarakat di luar kawasan tersebut (Chaiphar, Sakolnakorn
& Naipinit, 2013) (Aynin Mashfufah, IKIP PGRI Jember).

Kearifan lokal atau budaya juga erat berkaitan dengan kualitas lingkungan. Kearifan lokal
Indonesia dalam memahami alam dan lingkungan banyak berpengaruh terhadap kualitas
lingkungan. Penelitian kualitas air sungai dan pemanfaatannya menunjukkan hal yang sangat
berbeda antara etnis jawa dan madura (AD Moelyaningrum et al). hal ini membuktikan bahwa
kearifan lokal perlu menjadi pertimbangan tersendiri dalam melakukan intervensi terhadap
perubahan perilaku di masyarakat. (AD Moelyaningrum/ FKM UNIV Jember)

Kalau kita pandang dari segi sosial masyarakat, kearifan lokal itu merupakan media
pembelajaran bagi masyarakat untuk belajar saling menghormati dan saling menyayangi. Baik
sesama manusia maupun terhadap lingkungan (Susilo, Unv. Muhammadiyah Prof. Dr.
Hamka). Maka dari itu, perlu untuk diperhatikan agar tetap terjaga dan lestari dalam
kebinekaan yang menjunjung persatuan dan kesatuan sehingga semua kearifian lokal dari
sabang sampai merauke dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang (Sumitro, AMIK
Labuhan Batu).

In an international conference (World Bank, 1993) entitled Traditional Knowledge and


Sustaianable Development, there was an understanding that traditional knowledge plays an
important role in the conservation of land, environment, sustainable agriculture, medicines for
health, and institution development and participation at local level. Some research on the role
of local wisdom in supporting sustainable development has been done in North Sumatra
Province. Situmorang and Simanjuntak (2015) found that local wisdom in the Sicike-Cike
Nature Park (TWA), North Sumatra plays an important role in forest conservation and natural
tourism in accordance with the visit purpose. The conservation of natural tourism parks and
water sources is supported by the existence of customs that still survive today and the
confidence in the sanctity of the forest area. Lubis (2005) concluded that local wisdom needs
to be re-grown in the management of natural resources in the region. The rapidly growing ban
management in almost 70 villages in Mandailing Natal and (partly) South Tapanuli districts
since the 1980s. The concept of "rarangan" is adopted by the village community along the
catchment area of river Batang Gadis and Batang Natal. The successful management of the
ban is the ability of local community to build and utilize social capital among them. (Jef
Rudiantho Saragih, Simalungun University)

Method
In Indonesia there are various regions with diverse ethnicities and languages ​which have each
local wisdom in the life of society, but with the progress of the era, slowly but surely, the
local wisdom began to slowly disappear even vanished. This is a phenomenon because it
occurs almost throughout the territory of Indonesia. The impact is clear that it will threaten
the order of life of Indonesian people in each region if not preserved local wisdom. Since this
has become a phenomenon, it can also be proposed to use the phenomenological method for
this research. (Daniel S. Bataona, Politeknik Negeri Kupang)

In my humble opinion, this research can use qualitative research with Interpretative
Phenomenology Analysis (IPA) approach method, (Smith, J.A, et al., 2009). The proposed
use of qualitative methods in this research through the concept of thinking that this research
has a tendency associated with the opinion or perception of each researcher generated through
the process of thinking, experience, events, emotions and feelings also study of facts and
concepts are done in depth. (Daniel S. Bataona, Politeknik Negeri Kupang)

The stages of Phenomenology method using Interpretative Phenomenology Analysis (IPA)


approach method (Smith, J.A, et al., 2009) are as follows:
1. Reading and re-Reading;
2. Initial Noting;
3. Developing Emergent Themes;
4. Searching for Connections Across Emergent Themes;
5. Moving the Next Cases;
6. Looking for Patterns Across Cases.
(Daniel S. Bataona, Politeknik Negeri Kupang)

Penelitian dilakukan melalui kuesioner yang disebar kepada masyarakat. Data primer yang
didapat dari kuesioner diolah melalui regresi linier sederhana, mengingat kajian fokus untuk
mengkaji hubungan antar variabel melalui uji hipotesis (Irma Setyawati, Universitas
Bhayangkara Jakarta Raya).
Variabel utama dalam penelitian adalah kearifan lokal dan gagasan kolektif​, ​namun demikian
ditambahkan beberapa variabel demografi masyarakat, yaitu usia, pendidikan, sistem religi,
ekonomi, lokasi, organisasi sosial dan pengetahuan tentang sejarah bangsa (Irma Setyawati,
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya).
Hipotesis penelitian:
H1. Kearifan lokal mampu mempengaruhi gagasan kolektif
H2. Demografi mampu mendukung hubungan kearifan lokal dan gagasan kolektif.
(Irma Setyawati, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya).

(Dian Eka Indriani)


O

Results and Discussions

One of the local wisdom in Indonesia is kissing hand culture, where the younger
people kiss the hand of the older or more respected people (Nuning Kurniasih,
Universitas Padjadjaran).
Next, call older people with ‘mbak, mas, teteh, akang, aa, puang, usi, bung, etc
(appreciation call). And ‘mudik’ or going back to hometown when iedulfitri or
christmas (celebration day of religion in Indonesia’s culture)(Dian Utami Sutiksno).
One of the most common in communication style is starting with longger introduction
or joke,called “basa basi”. People will not tell the purpose of speaking in the
beginning,but they will do “basa basi” first as a politeness then they will tell the
purposes after all (Arjulayana Thohir)
Another local wisdom in Indonesia is to not tell other people about your baby's good
health, because Indonesians, especially those who live in South Tambun, Bekasi
Regency, believe Satan will overhear that and will make the baby sick. (Listian
Indriyani Achmad, STAI Pelita Bangsa).

Banyaknya suku bangsa di indonesia berdampak terhadap perbedaan bahasa dan


logat berbicara, sehingga banyak kata yang mempunyai perbedaan makna untuk
setiap daerahnya. hal ini juga membuat sering terjadinya kesalahan dalam
berkomunikasi. namun perbedaan ini pulalah yang membuat kita untuk dapat
bertoleransi dan belajar memahami bahasa dari daerah yang berbeda, karena kita
Bineka Tunggal Ika (Fitridawati Soehardi, Universitas lancang kuning).
Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai ejaan yang diakui belum
dapat dijadikan dasar sebuah bentuk penghormatan kepada lawan berkomunikasi,
bagi suku bugis misalnya, kata “iya” adalah ejaan yang benar namun belum
menunjukkan sikap lebih hormat dibandingkan menggunakan kata “iye’”, dan
sebaliknya kata “iyo” lebih terasa sedikit mengurangi rasa penghormatan kepada
lawan berbicara (Aan Aswari, UMI Makassar). Selain itu kata “kita” lebih santun
digunakan dibandingkan dengan kata”kamu”.Meskipun makna kata “kita” dalam
bahasa Indonesia adalah jamak, sedangkan dalam bahasa bugis menunjukkan
kesopanan pada seseorang yang merupakan lawan bicara. (Yulia, Universitas
Bosowa). Berdasarkan contoh tersebut diketahui bahwa setiap daerah memiliki
kearifan lokal tersendiri yang mungkin akan berbeda dengan kearifan di daerah lain.
Setiap daerah memiliki ciri khas akan kearifan lokal masing-masing. (Febri Liantoni,
Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya).

Bahasa merupakan suatu sistem, yaitu sistem tanda-tanda yang mengandung suatu
makna yang dapat dipahami oleh komunitas manusia. Oleh karena itu, maka bahasa
merupakan produk budaya manusia.(Qamar & Djanggih, 2017).
Kekayaan bahasa daerah juga memiliki berbagai makna yang beranekaragam arti.
Penggunaan kata “mari” di daerah jawa timur memiliki makna “selesai", namun
berbeda arti di daerah jawa tengah memiliki makna “sembuh dari sakit". Kita juga
harus mempelajari dan memahami beranekaragam bahasa daerah tersebut,
terkadang di daerah 1 memiliki makna baik, namun di daerah lain bisa jadi menjadi
makna yang buruk. Itulah kekayaan dari negara Indonesia yang tidak dimiliki oleh
bangsa lain. (Tri listyorini, Universitas Muria Kudus) Keberagaman makna dalam
kosakata bernuansa lokal yang tidak bertentangan dengan kesopanan, kesusilaan,
dan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia akan mereduksi potensi
konflik, karena secara implisit terdapat itikad baik (Aan Aswari, UMI Makassar),
Melalui komunikasi bahasa tertentu misal ketemu dengan seseorang yang suku toba
dan saat komunikasi dengan temannya menggunakan bahasa daerah (suku toba)
dan tinggal di daerah yang bukan tempat kelahiran (suku toba) dapat menjalin
komunikasi yang lebih erat dan merasa seperti saudara di daerah perantauan
(Pomarida Simbolon, STIKes Santa Elisabeth Medan)

There is a good culture from one of the tribes in Indonesia, that is Batak ethnic. They
always adhere to the principle of "Anakkon hi do hamoraon in au", which makes
Batak tribe mothers struggle in looking for fortune as long as they can send their
children go to school as high as possible. Mothers in the tribe have a vision "my
children must be great and clever". (Posma Sariguna Johnson Kennedy, Universitas
Kristen Indonesia, UKI Jakarta)

By educating children as high as possible, the child is expected to be successful and


can raise the dignity of the family. In ethnic Batak, success can mean Hagabeon,
Hasangapon, Hamoraon. Hagabeon means having male and female descent.
Hasangapon means reaching honor, glory, and glorious in society. Hamoraon means
having a wealth of material abundance. (Santi Lina Siregar, Universitas Kristen
Maranatha, Bandung). According to the Batak tribe, the child is the most precious
treasure. Therefore the Batak tribe trying hard work to send their children to get a
good education (Andy Sapta, STMIK Royal)

Today in Batak community, who live in city, especially teenagers can learn
Bataknese language from song. Today Batak’s song is cobain lyric with modern
music make teenager love their culture. They learn how to spell the word and then
know the meaning. Slowly but sure finally they can speak in Bataknese language
(Rani Gartika Holivia Silalahi, STIKes Santa Elisabeth Medan)

One of the local wisdom that can be found in Baduy community is “geuleubeug”,
“geuleubeug” is the anti-rat technology that placed on leuit (the place to keep their
harvest) legs. Although Baduy people do not get formal education (e.g: school) like
most people their anti-rat technology is logically correct based on mathematics and
physic theory [00x].

Pada suku Sunda jika sesama jenis bertemu maka sapaan akan dilakukan dengan
tempel pipi kiri dan pipi kanan sebagai bentuk keakraban. Kemudian tata cara
bersalaman dengan kedua tangan dikatupkan dan setelah itu kedua tangan
memegang dada. Berbeda dengan cara bersalaman yang menggunakan satu
tangan.
Dari kekayaan bahasa Sunda dapat dilihat dari penggunaan kosa kata yang berbeda
untuk setiap kegiatan. (Ratnadewi, Universitas Kristen Maranatha)

Masyarakat Buton dan Muna yang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara


menggunakan kata “La” dan “Wa” pada awal nama sesorang untuk
membedakan jenis kelamin. Kata “La” ditambahan pada awal nama orang
yang berjenis kelamin laki-laki dan kata “Wa” pada awal nama orang yang
berjenis kelamin perempuan. Penggunaan kata La dan Wa hanya
digunakan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda atau kepada
teman sebaya. Penggunaan kata La dan Wa kepada yang lebih tua
dianggap tidak sopan. Kata “la” dan “wa” berasal dari huruf arab, La
adalah singkatan kata simbol dari “​laa ilaa Ha Illallah” s
​ edangkan Wa
yaitu simbol dari ​“Wa asyhadu anna muhammadarrasulullah” (​ Wa Ante,
2016). (Asrianti Dja’wa, Universitas Halu Oleo)

Local is from, exsisting in, serving, or responsible for a small area,


especially of a country (Cambridge Dictionary, 2015).(Diana Yuniarti)
Kearifan adalah kebijaksanaan; kepandaian menggunakan akal budinya
(pengalaman dan pengetahuannya); kecakapan bertindak apabila
menghadapi kesulitan dan sebagainya. (KBBI, 2017).(Inayatul Maula)

Local is relating or restricted to a particular area or one’s neighbourhood.


(Oxforddictionaries, 2016). (Siti Qori’ah)

Wisdom is the ability to use your knowledge and experience to make good
decisions and judgments. (Cambridge, 2017). (Siti Aminatus Sholichah)

Masyarakat Kupang (Nusa Tenggara Timur) merupakan masyarakat yang


majemuk karena berasal dari pulau Dan suku yang berbeda seperti suku
Sabu, Rote, Alor, Flores,dll. Salah satu Cara mempertahankan kearifan
lokal yang Ada adalah melalui nama serta panggilan. Melalui Marga akan
mudah Bagi kami orang NTT untuk mengidentifikasi suku orang tersebut.
Suku Sabu biasanya mempertahankan kearifan lokal mereka melalui
pemberian Nama. Bagi yang bersuku Sabu mereka akan memiliki
setidaknya 3 Nama yaitu 1, nama kampung sebagai identitas turunan
seperti nama Pila Mata, ayah dari Pila Mata yaitu Mata Manu. Tetapi nama
kampung tersebut akan sangat tidak sopan jika dipanggil dalam
kesehariannya maka mereka punya nama kedua yang disebut panggilan
kesayangan. 2 nama kesayangan sebagai panggilan sehari-hari oleh
orang terdekat mereka yang masih berkerabat. Contoh Ma Ga’di, Na Kore
(Ma diperuntukkan untuk Laki-laki sedangkan “Na” untuk perempuan. Pila
Mata nama kesayangannya adalah Ma Junu. 3, Nama Baptis- nasional.
Nama ini yang akan dipakai sebagai identitas umum Dan formal seperti Di
Ijazah Dan KTP. Contoh Hanna Ropa (Rosdiana Mata, POLITEKNIK
NEGERI KUPANG)

Beberapa bentuk keanekaragaman kearifan lokal setiap daerah yang dijelaskan


sebelumnya merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra
budaya tersendiri pada setiap daerahnya, serta menjadi bagian penting bagi
pembentukan identitas budaya dan citra suatu daerah. Setiap daerah akan bangga
dengan budaya leluhur yang masih bertahan dan dilestarikan hingga saat ini. Dalam
usaha pelestarian inilah dituntut peranan generasi muda. Kearifan lokal yang
diwariskan antar generasi melalui lisan atupun tulisan. Pewarisan budaya secara
lisan akan dipengaruhi oleh bahasa (Yolla Ramadani, STIE Sakti Alam Kerinci)

Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai media komunikasi, tetapi juga sebagai
kendaraan yang memuat bermacam-macam ide/gsgasan. Cara-cara menyatakan
“arah” pada kelompok subetnik Tountemboan di Minahasa adalah cermin kearifan
lokal masyarakat setempat, yang membedakan kelompok ini dari
kelompok-kelompok etnik lainnya di Indonesia. Minahasa adalah satu kelompok etnik
yang terdiri dari beberapa kelompok subetnik, diantaranya kelompok subetnik
Tountemboan. Minahasa dikenal juga sebagai suatu nama daerah yang terletak di
wilayah propinsi Sulawesi Utara. Kelompok-kelompok subetnik yang ada di
Minahasa memiliki bahasanya sendiri dan nama bahasanya mengikuti nama
kelompok subetniknya. Minahasa dikenal juga sebagai nama beberapa kabupaten,
yaitu kabupaten Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Utara, dan Minahasa
Tenggara. BERSAMBUNG…..
annekejohanna60@gmail.com

Akulturasi budaya tradisional dan budaya asing melalui kemasan agama (​ T.


Rokhmawan ; M. Zaini)

Islam dan Kearifan Lokal

Islam membawa misi ketuhanan (ilahiyah) dan kemanusiaan (Insaniyah). Nilai-nilai universal
dalam Islam sangat penting untuk ditanamkan sebagai pandangan hidup guna
menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan sosial. Sudut pandang seperti ini
sangat relevan dengan konteks kehidupan ”manusia modern” sebagaimana Deklarasi
Human Right PBB yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, persamaan hak
dan politik. Karena itu, dalam memahami Islam sebagai hakikat kehidupan yang bisa
menerima dan menghargai adanya keberagaman dan kesamaan.

Kehadiran Rasulullah dengan pendekatan penyempurnaan akhlak umat manusia, tanpa


menghilangkan tradisi dan bahkan mampu mengakomodasi budaya setempat, nilai inilah
yang kembangkan dalam ajaran kemanusiaan dan keumatan.

Ajaran akhlak adalah nilai sosial yang telah mengajarkan pola hubungan antar manusia
(Insaniyah) yang sesungguhnya. Karena itu, Nabi membawa ajaran keislaman ke muka bumi
ini bukan untuk menafikan ajaran sebelumnya, akan tetapi melengkapi ajaran dan tradisi
yang telah ada sebelumnya.

Universalisme Islam dalam hal menghargai dan bersikap arif terhadap tradisi lokal tersebut
didasarkan kepada Maqashid Syariah yg mempunyai lima pondasi, yaitu: hifdz al-nafs, hifdz
al-din, hifdz al-aql, hifdz al-maal dan hifdz al-nasl.

Oleh karena itu, pondasi diatas harus menjadi pijakan Islam dalam kearifannya terhadap
tradisi dan nilai-nilai lokal. Karena itu, nilai-nilai universal dalam Islam sebagai corong
kebudayaan harus betul-betul menghargai local wisdom sebagai bentuk penghargaan
terhadap hak kebudayaannya. Misalnya, dalam aspek kemajemukan atau keberagaman dan
apek religiositas.

Oleh karena itu, apresiasi terhadap budaya lokal sebagai wujud akulturasi agama dan
budaya, bahwa keberagamaan tidak hanya dibentuk oleh wahyu dan teks, melainkan
dibentuk oleh budaya lokal. Ini dalam rangka mewujudkan keberagaman dalam
keberagamaan, khususnya menjamin hak-hak dasar masayakat lokal. (Dwi Santosa
Pambudi, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta).

Beberapa daerah di Indonesia mengembangkan budaya dengan mengakulturasikan


budaya tradisional lokal dan yang berlandaskan keagamaan. Sebut saja yang paling
banyak kita temui adalah munculnya masyarakat kota santri. Faridatin (2016)
menyebut sebutan kota santri sebagai city banding yang dilakukan untuk
menegaskan karakteristik sebuah kota dengan aspek struktur, budaya, dan interaksi
sosial yang khas dengan masyarakat beragama Islam. Singkatnya, kota santri
adalah sebuah komunitas sosial yang mengakulturasikan karakteristik budaya
tradisional lokal dengan corak budaya masyarakat islam (mengangkat kearifan
masyarakat muslim, seringkali dihubungkan dengan corak budaya masyarakat Timur
Tengah).

Masyarakat kota santri di Indonesia mengakulturasikan unsur budaya tradisional,


budaya Timur Tengah, dan Islam; dan direpresentasikan dalam setiap sudut
dinamika kehidupan mereka. Jauh sebelum agama asing (salah satunya islam)
masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia telah memiliki kepercayaan akan adanya
penguasa tunggal semesta alam. Dalam masyarakat Jawa misalnya, mengenal
agama Kapitayan (Indarwati, 2015). Dalam agama Kapitayan inilah masyarakat jawa
menunjukkan bahwa mereka memahami adanya bentuk Realitas Mutlak berupa
eksistensi Tuhan. Oleh Karenanya, masuknya ajaran agama seperti agama Islam
sangat mudah dan dengan cepat berakulturasi dengan kepercayaan tradisional yang
sudah terlebih dahulu ada. Akulturasi terjadi mulai dari pandangan dunia kolektif,
pranata sosial, literasi, perilaku berkehidupan, hingga benda-benda.

Dalam hal pandangan dunia kolektif, masyarakat kota santri di Indonesia


mereproduksi pandangan2 tentang ketuhanan dan falsafah hidup, eksistensi
kemanusiaan dan semesta alam, yang mereka serap dari ajaran nenek moyang
bangsa Indonesia. Masyarakat memadukan pandangan dunia kolektif yang
diturunkan dari ajaran nenek moyangnya dengan unsur-unsur keagamaan, dalam hal
ini budaya agama Islam. Dari nenek moyangnya, masyarakat Indonesia pun telah
mengenal monotheisme, keesaan Tuhan. Dari nenek moyangnya, masyarakat
Indonesia berpandangan bahwa manusia dan bumi adalah kehidupan fana sebelum
kehidupan yang lebih kekal setelahnya. Pandangan-pandangan dunia ini kemudian
turut membentuk cara pandang ketuhanan dan eksistensi manusia di dunia,
dipadukan dengan ajaran agama Islam, membentuk pandangan dunia yang lebih
baru milik masyarakat santri; bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah SWT dan
manusia adalah makhluk yang diperintahkan untuk menjalani kehidupan di bumi
sebelum nantinya akan berkumpul di alam akhirat sebagaimana ajaran Islam.

Dalam pranata sosial, literasi, dan perilaku berkehidupan, masyarakat kota santri
mempertahankan budayanya sebagai masyarakat nusantara dan mengakulturasikan
nya dengan pola-pola berkehidupan khas masyarakat Islam. Dalam hal pranata
sosial, tentu banyak kita lihat bahwa masyarakat Indonesia sudah banyak
memadukan tatanan norma dan aturan adat mereka dengan dasar landasan ajaran
agama Islam. Selain itu akulturasi juga tampak dalam hal pranata dalam menjalani
kehidupan. Salah satu yang paling dapat dicontohkan adalah budaya selamatan.
Hampir di seluruh penjuru nusantara atau hampir pada setiap suku dan adat di
Indonesia, masyarakat memiliki budaya selamatan. Berpikir dari masyarakat Jawa
tidak terlepas dari pelaksanaan kehidupannya sehari-hari. Kehidupan Jawa bersifat
seremonial (Mulder, 1973:58). Sifat serimonial ini terlihat pada pandangan hidup
orang Jawa yang selalu meresmikan segala sesuatu dengan upacara. Segala
sesuatu harus diformalkan, serba sah dan nyata, entah isinya sudah ada atau belum.
Budaya ini diturunkan dari nenek moyang, bahwa manusia harus melakukan
ritual-ritual tertentu demi menghormati arwah nenek moyang dan Sang Pencipta
Alam, terlebih dalam urusan mengungkapkan rasa syukur dan mengharap
keselamatan. Ritual-ritual Ini pun berkembang dan disesuaikan dengan ajaran
agama Islam. Jika dahulu ritual dilakukan dengan merapalkan mantra, maka
sekarang dirapalkan dengan pembacaan ayat suci Al Qur'an. Jika dahulu ritual
dilakukan dengan menyediakan sesajen untuk arwah nenek moyang dan makhluk
halus, maka sekarang makanan disajikan untuk dinikmati bersama sebagai
ungkapan rasa bahagia dan berbagi kepada orang lain.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang masih berpegang pada adat
tradisional meski mereka banyak terpengaruh budaya asing, terkhusus pada
bentuk-bentuk budaya yang dengan sarana agama. Salah satunya dapat
dicontohkan dengan apa yang terjadi pada falsafah masyarakat Jawa. Meski
mengaku sebagai masyarakat santri misalnya, dalam kenyataannya mereka masih
saja dalam lubuk hatinya menganggap mistik dan kebatinan sebagai bagian dari
hidupnya. Menurut Niels Mulder sekurang-kurangnya 80 % orang-orang Jawa terlibat
dalam masalah mistik (Mulder, 1973: 15). Niels Mulder lebih lanjut mengatakan,
bahwa kebatinan seringkali dianggap sebagai inti-pati Javanisme; gaya hidup
orang-orang Jawa ialah kebatinan: gaya hidup manusia yang memupuk "batinnya”.
Kebatinan sebagai pernyataan pandangan hidup orang Jawa; kebatinan sebagai
gaya atau sikap hidup orang-orang Jawa merupakan salah satu perceminan atau
pernyataan pandangan hidup.

Dalam hal literasi tradisional, masyarakat tradisional Indonesia banyak


mengembangkan folklore lisan. Pada mulanya folklore berupa mitos dan legenda
tentang setan, makhluk halus yang menguasai suatu tempat mistis mendominasi
tema-tema folklore di Indonesia. Maka dengan masuknya budaya Islam, tema-tema
folklore tentang keberadaan orang orang alim bermunculan. Banyaknya cerita
legenda ulama menjadi bukti bahwa budaya Islam juga memengaruhi budaya literasi
tradisional dalam masyarakat Indonesia.
Jan Harold Brunyand (dalam Dananjaja, 2002 : 67—75) menggolongkan legenda menjadi
empat kelompok yaitu : 1) Legenda keagamaan, yang termasuk dalam legenda ini antara lain
adalah legenda orang-orang suci nasrani dan legenda orang-orang saleh. 2) Legenda alam
gaib, legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan
pernah dialami seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran
takhayul a​ tau kepercayaan rakyat. 3) Legenda perseorangan adalah cerita mengenai
tokoh-tokoh tertentu yang dianggap oleh yang empunya cerita benar-benar pernah terjadi. 4)
Legenda setempat yang termasuk ke dalam golongan legenda ini adalah cerita yang
berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yakni bentuk
permukaan suatu daerah, apakah berbukit-bukit, berjurang, dan sebagainya.
Rokhmawan (2015) menemukan bahwa masyarakat santri memiliki sebuah budaya literasi
lisan yang khas berupa cerita-cerita tentang orang salih, ulama. Legenda ulama adalah jenis
cerita prosa naratif lisan dengan unsur tokoh seorang kiai pimpinan pesantren, sejarah budaya,
masyarakat, dan benda-benda peninggalan, dan unsur magis, kekeramatan dan kepercayaan
irasional. Dalam penggolongan legenda oleh Brunyand, legenda ini tergolong legenda
keagamaan, perseorangan, dan setempat. Hal ini dikarenakan legenda ini memuat sekaligus
kisah orang-orang suci / saleh, kisah tokoh-tokoh tertentu yang dianggap oleh yang empunya
cerita benar-benar pernah terjadi, dan kisah tentang keberadaan tempat-tempat dan bangunan.
Legenda ulama tidak hanya berisi kisah hidup kiai sebagai tokoh agama yang suci dan saleh,
melainkan pula sejarah-sejarah di balik perjalanan hidup Kiai Sepuh, sejarah bangunan di
sekitarnya, dan kisah keajaiban yang dimiliki tokoh ulama melalui ​karomah y​ ang dimilikinya.
Dalam cerita yang berkembang di masyarakat, selama hidupnya kiai ini diceritakan banyak
memiliki atau mendatangkan keajaiban bagi masyarakat baik dalam kehidupan sehari-hari
maupun dalam tujuan dakwah agama.
Melalui literasi tradisional berupa legenda ulama, masyarakat santri menunjukkan ciri
kepercayaan irasional (Rokhmawan, 2015). Kepercayaan irasional ini berfungsi untuk
mewujudkan: 1) pandangan klasik yang diyakini secara umum, 2) pandangan fenomena
umum yang sering terjadi, 3) rasa atas identitas personal, 4) rasa komunitas, 5) dukungan nilai
moral yang berlaku kolektif, 6) kesepakatan dengan mistery dari sebuah ciptaan, 7) kontrol
atas stabilitas perubahan waktu dan ruang pada kecemasan akan kematian, 8) pengalihan
konsep kognitif, 9) kesadaran pada kekuatan gaib di luar manusia, 10) perintah kolektif, dan
11) larangan yang berlaku secara umum.

Bentuk upaya dalam pelestarian dan mengenalkan budaya Indonesia kepada masyarakat
sangatlah beragam, salah satunya dalam media game dan animasi. Melalui game dalam
penerapannya untuk mengenalkan kebudayaan di Banyumas yaitu melalui Game Bawor
Adventure. Game ini menceritakan seorang tokoh pewayangan yaitu Bawor yang memiliki
misi untuk mengenalkan seni tradisional Banyumasan, seperti Ebeg, Cowongan, Jemblung,
Lengger-Calung, Gandalia, Begalan, Hadroh dan Sintren. (Dhanar Intan Surya Saputra,
STMIK Amikom Purwokerto)

Gambar …. Game Bawor Adventure, Karya AMPU Studio

Melalui animasi, pengenalan kebudayaan bisa disajikan dalam bentuk cerita maupun
penggambaran karakter dalam animasi tersebut. Seperti pada animasi serial siMbah yang
disajikan dalam Channel YouTube Ampu Kreatif Studio, menyajikan penggambaran karakter
3D dengan penokohan layaknya penggunaan Beskap atau baju adat di Banyumas, Jawa
Tengah. (Dhanar Intan Surya Saputra, STMIK Amikom Purwokerto)

Gambar …. Animasi 3D Serial siMbah, Karya Channel YouTube Ampu Kreatif Studio
Beragamnya budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, membuat bangsa menjadi lebih
majemuk. Pada dasarnya budaya-budaya di indonesia dilandasi oleh pengaruh
kerajaan-kerajaan zaman dahulu.seperti dalam sejarah bahwa bangsa indonesia banyak
kerajaan-kerajaan baik yg besar atau yg kecil (Ali Ibrahim, ​aliibrahimok@gmail.com​,
Universitas Sriwijaya)

Budaya dan adat istiadat sangat erat hubungannya dengan kearifan lokal, Hal ini
dapat dilihat dari proses-proses adat yang dilakukan masyarakat batak di Sumatera
Utara. Masyarakat akat saling tolong-menolong jika ada kegiatan yang terjadi
ditengah-tengah masyarakat seperti acara atas kelahiran anak disuatu keluarga,
pemberian nama, acara perkawinan dan acara kematian. Semua anggota
masyarakat akan ikut berpartisipasi dalam mempersiapkan acara mulai dari
persiapan makanan, pakaian dan perlengkapan yang akan digunakan. Tugas dan
tanggung jawab setiap individu berdasarkan posisi marga yang dimikili oleh
masyarakat.
Masyarakat Batak Toba yang merupakan salah satu suku di Indonesia yang masih
sangat erat memengang adat istiadat didalam bermasyarakat. Kekayaan budaya
yang menjadi dasar dalam bertindak di masyarakat. Hubungan Sosial yang diatur
didalam prinsip Dalihan Na Tolu yang sering diterjemahkan sebagai tungku nan tiga
yang berfungsi sebagai pedoman yang mengatur, mengendalikan dan memberikan
arah dan tata laku dalam bermasyarakat (Armawi, 2008:158).
Dalihan natolu berperan didalam mengatur hubungan sosial diantara tiga kerabat
secara fungsional yaitu kerabat semarga (dongan tubu), kerabat penerima istri atau
istilah boru dan kerabat pemberi istri yang disebut dengan hula-hula. Didalam
bermasyarakat setiap orang batak toba harus menjunjung tinggi nilai budaya yang
tersirat didalam Dalihan Na Tolu dan merupakan inti aturan didalam acara adat
istiadat baik mulai dari acara kelahiran, pernikahan dan kematian.Nilai yang
terkadung didalam adat merupakan sutu ekpatuhan dan ketaatan kepada leluhur
bahwa adat yang diwariskan tidak dapat diubah (Armawi, 2008:160)
Sistem kearifan lokal didalam dalihan na tolu mengikat masyarakat batak toba dalam
bermasyarakat. Sistem ini akan digunakan didalam peranan seseorang didalam adat
berdasarkan hubungan kekerabatan. Seseorang akan menjalankan fungsinya
masing-masing berdasarkan marga dan hubungan kekerabatannya dengan pihak
yang sedang melangsungkan acara, peranan sebagai pihak yang harus melayani
tamu, peranan sebagai pihak yang harus dihormati dan peranan sebagai
penanggungjawab kegiatan acara. Menurut Armawi (2008:163) yang dikutip dari
Parasibu (2004) yang menjadi point penting didalam kearifan lokal didalam prinsip
dalihan natolu adalah (1) hubungan sosial yang bersifat pribadi, (2) Penilaian
berdasarkan hubungan kekerabatan, (3) Pelayanan atas dasar kedudukan dalam
dalihan na tolu, (4) Perilaku yang dihadapka adalah manat mardongan tubu, somba
marhula-hula, elek marboru yang artinya sopan kepada orang yang satu marga,
hormat kepada keluarga laki-laki dari pihak ibu dan baik terhadap saudara
perempuan (5) menggunakan prinsip dang ti mahon halak adong do iba, yang artinya
jangan orang lain dulu kalau masih ada orang kita dan (6) rezeki adalah buah
perbuatan menolong kerabat
Hengki Simarmata (Politeknik Bisnis Indonesia, hengkisimarmata.mm@gmail.com)

Dalam hal bertingkah laku pun masyarakat Indonesia banyak mengakulturasikan


budaya tradisionalnya dengan budaya Islam. Salah satu contohnya, sudah menjadi
ciri khas bahwa masyarakat tradisional Indonesia adalah masyarakat dengan
karakter komunikasi dan hubungan sosial yang erat. Kedekatan sosial antarwarga
terjalin melalui komunikasi dan perkumpulan. Dalam masyarakat kota santri, budaya
ini direproduksi dalam bentuk majelis atau pertemuan atau perkumpulan yang salah
satu tujuan utamanya adalah untuk mempererat tali silaturahmi antar ummat Islam.
Majelis juga berfungsi sebagai salah satu strategi sosial penyebaran ajaran dan
tuntutan agama Islam; untuk menegaskan dan menyampaikan syariatnya kepada
masyarakat. Sesuai dengan adat tradisional masyarakat Indonesia,
penyelenggaraan majelis menjadi lebih longgar dalam hal ruang dan waktu, bahkan
dapat dilakukan di luar ruangan dengan hidangan kecil dan minuman layaknya
komunitas komunikasi yang biasa kita temui pada masyarakat pedesaan /
tradisional.
Terakhir dalam hal benda-benda budaya, salah satu yang menarik untuk menjadi
pembahasan sekaligus contoh bagi penulis adalah perihal bentuk bangunan tempat
peribadatan dan pakaian. Dalam hal bangunan tempat peribadatan, akan banyak kita
temui wujud bangunan masjid (tempat beribadah bagi muslim) yang dibangun
dengan arsitektur tradisional. Atapnya berbentuk limas tumpang ; atap bersusun
semakin ke atas semakin kecil dari tingkatan paling atas berbentuk limas. Jumlah
atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya ditambah dengan kemuncak untuk memberi
tekanan akan keruncingannya yang disebut dengan Mustaka. Selain bentuk atap ini,
menyesuaikan dengan gaya Timur Tengah, beberapa masjid mengaplikasikan
kombinasi limas dan kubah (menyerupai bawang). Beberapa masjid dengan bentuk
ini adalah Masjid Agung Demak, Masjid Jami' Banjarmasin, Masjid Sultan
Suriansyah Kalimantan Selatan, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin disebut
semuanya dalam artikel ini. Serupa dengan proses akulturasi bentuk bangunan,
masyarakat kota santri di Indonesia juga mengembangkan kombinasi dalam hal
pakaian. Sudah menjadi pemandangan yang wajar bagi masyarakat Indonesia saat
ini bahwa wanita dianjurkan berkerudung, berpakaian yang menutupi aurat, dan tidak
memperlihatkan bentuk lek ikan tubuhnya. Hal ini adalah salah satu indikator bahwa
ajaran Islam mewarnai pula cara berpakaian. Disamping itu, unsur pakaian yg masih
mempertahankan nuansa tradisional adalah bahan kain, corak warna, dan hiasan
kain baik yang dalam bentuk lukis, cetak, maupun bordir. Maka oleh karena itu saat
ini sering kita temui pakaian-pakaian wanita muslim yang berbahan kain khas
tradisional (mis: songket), bercorak warna terang, dan berhias batik atau bordir khas,
dipadu sedemikian rupa dengan menerapkan penggunaan kerudung dan kain
panjang dan lebar yang menutupi tubuh wanita terkecuali telapak tangan dan wajah.
Ditinjau dari perspektif bahasa daerah sebagai bagian dari budaya lokal, pemakaian
bahasa daerah antargenerasi masih tetap harus ada dan harus hadir. Dengan
demikian, fungsi praktis, fungsi sosial, dan fungsi kultural masih teregister jika
bahasa daerah tetap eksis. Akan tetapi, pascaelektrifikasi, tidak dapat dimungkiri
bahwa kemajuan teknologi semakin menjauhkan generasi muda dari akar sejarah,
budaya lokal, dan lingkungannya. Demikianlah, gejala serius rapuhnya ketahanan
bahasa dan budaya bangsa di tengah era global telah berimplikasi pada munculnya
gejala perubahan tanda jati diri pada sebagian warga masyarakat, yang mengacu
kepada generasi tanpa akar lokal. Pemakaian bahasa daerah perlu dipertahankan
dan diperkukuh agar karakter dan mentalitas manusia dan bangsa Indonesia dapat
mencerminkan nilai-nilai luhur kearifan lokal.

Kearifan Lokal Sebagai Representasi Budaya

Penelitian kami sebelumnya (Sudirgayasa, dkk, 2017) menemukan bahwa kearifan


lokal khususnya kearifan lokal Bali memiliki potensi yang sangat besar dijadikan
sebagai media pembelajaran. Kami memfokuskan pada kegiatan upacara
keagamaan Hindu Bali yang selama ini berlandaskan upacara yang disebut Panca
Yadnya sebagai media pembelajaran biologi. Sebagai contoh kearifan lokal upacara
keagamaan yang tergolong DewaYadnya yaitu korban suci yang tulus iklhas kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kegiatan ini, salah satu sarana yang dibuat adalah
Pajegan​ atau ​Gebogan s​ eperti yang tampak pada gambar di bawah
Gambar . Kearifan lokal sarana upacara keagamaan Dewa Yadnya

Dalam kegiatan keagamaan Dewa yadnya sarana di atas selalu dibuat. Terkait
dengan media pembelajaran biologi, dari sarana tersebut sangat banyak sekali
potensi media yang kita dapat terkait dengan materi pelajaran yang ingin kita
sampaikan. di antaranya adalah sebagai berikut. 1. sarana upacara tersebut dapat
dijadikan media pembelajaran dalam identifikasi buah. kaum ibu ibu yang membuat
gebogan tersebut sangat hafal dengan nama jenis buah tersebut dan mungkin saja
merekalah yang pertama kali mengetahui nama dari setiap buah asli bali atau buah
baru yang masuk Bali. siswa dapat diajak dalam pembuatan pajegan tersebut yang
artinya kita memberikan media asli secara langsung terkait dengan karakteristik buah
lokal dan internasional. 2. terkait materi infeksi bakteri. sarana tersebut dapat
dijadikan media yang baik intuk memahami infeksi bakteri pada buah. sarana A
pemasangannya tanpa ditusuk (hasil kreatifitas rangkanya-lagi tren belakangan ini
karena kepraktisannya) sedangkan sarana B pemasangan buahnya dengan cara
ditusuk yang masih konvensional. jika buah hasil upacara ini kemudian
dibandingkan maka yang cepat busuk adalah buah yang ditusuk. di sini kita dapat
menanamkan konsep bahwa kulit buah merupakan pintu gerbang pertahanan buah
terhadap bakteri. 3. melalui sarana tersebut juga dapat dijadikan media konsep
organik dan anorganik. dapat busuk organik dan tidak dapat busuk adalah anorganik.
dan masih banyak lagi. jadi begitu banyak potensi media pembelajaran yang dapat
diberikan dari kearifan lokal yang kita miliki.
kelebihan media ini adalah mampu memberikan media asli secara langsung
sehingga lebih cepat dipahami dan diingat serta turut berperan serta dalam
mengamalkan ajaran agama dan melestarikan kearifan lokal yang bernilai luhur.
(I Gede Sudirgayasa, IKIP Saraswati ) email: igedesudirgayasa@gmail.com

Indonesia as a plural country, has a cultural diversity as a result of the work, taste and
creation of its people (Koentjaraningrat, 1981) requires the existence of a local wisdom in
understanding every thing that exists and occurs. In the era of globalization and technology
that gave birth more easily, cheap and fast modern human life, the process of human
interaction changes. Not a bit of social shock happened to members of the community
because of the cultural shock that was born by the ability of IT so as to make a person or a
handful of people become social sick becouse change. Given the responsiveness of each
person is different because of the background of differences such as education, religion,
customs, customs, tribes, family, etc. so that in social life in society is not impossible to create
conflicts, where the conflict occurs more because of differences in perceptions and
experience. Certainly in resolving conflicts required policies. Local wisdom in this case is not
only very helpful in resolving conflicts arising from these differences, but it is very likely to
be used to answer the challenges of the times. Especially on the values that are still accepted
by local people because it is entrenched, grow and live in society as a unified unity in a long
time.
Through this local wisdom, Indonesia can become the world's qibla in resolving
conflicts in the world and in building a good understanding of tolerance to live peacefully
without offending and harming each other. Indonesia as a diverse world miniature, through its
local wisdom has given birth to noble values that can unify these differences beautifully and
harmoniously.
In the era of globalization of the modern world this local wisdom can still play an
important role in maintaining the roots of peaceful living together and full of tolerance. The
diversity of Indonesia into a world miniature through noble values that are still well preserved
in each region, can be a place to learn countries in the world in maintaining the integrity of a
peaceful world. (Titien Agustina, STIMI Banjarmasin, ​titienagustina9@gmail.com​).
Papua barat merupakan salah satu provinsi di indonesia yang memiliki berbagai
macam kearifan lokal. Suku Sebyar adalah satu dari tujuh suku yang berada di Kabupaten
Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat. Suku ini mendiami wilayah pesisir pantai, sehingga
berpengaruh pakaian adat dan aksesoris yang digunakan dan salah satu yang paling berbeda
dari enam suku lainnya. Suku sebyar memiliki tradisi yang selalu dilakukan yaitu bila ada
kedatangan tamu ke daerah mereka, maka tamu akan disambut dengan tarian yang bernama
“Selamat Datang”. Tarian ini dilakukan sebagai simbol persaudaraan.
Dalam menyambut tamu, laki-laki menggunakan pakaian yang disebut “Cawat” yang
diberi gambar berbagai macam motif dan menggunakan mahkota yang terbuat dari bulu burun
kasuari. Mahkota melambangkan sebagai seorang raja atau pemimpin yang hidup pada
pinggiran pantai. Sementara wanita mengenakan sebuah pakaian yang disebut “Kain
Rumput”. Kain rumput berbahan dasar daun sagu muda yang dirajut menjadi sebuah pakaian
buat wanita. Wanita yang ikut menari melambangkan sebagai seorang putri atau istri dari
seorang pemimpin. (Insar Damopolii, Universitas Papua)

Conclusion

Local wisdom ..
Kearifan lokal masyarakat Indonesia sudah berkembang sedemikian rupa dengan
memadukan unsur-unsur budaya lokal dari setiap daerah yang tersebar di seluruh
penjuru nusantara, memasukkan unsur-unsur budaya asing tanpa menggeser
budaya asli dan tradisional, dan mereproduksi bentuk budaya nasional-nusantara
yang baru; yang lebih dinamis dan lebih “membumi nusantara”. ​Budaya lokal yang
dimiliki setiap suku, merupakan hasil peradapan manusia dengan lingkungan dimana
manusia itu berada. Beberapa karaktek manusia yang dijumpai di nusantara, seperti
keraktek keras yang diwujudkan dalam cara menutur, cara bersikap, dapat jumpai
pada kelompok manusia (masyarakat), yang mendiami daerah kepulauan,
khususnya pesisir, yang setiap harinya menghadapi kondisi alami, seperti angin yang
keras, ombak yang besar yang membentuk sikap-sikapnya tersebut diatas, dan
sebaliknya bagi yang mendiami daerah pedalam yang jauh dari pesisir pantai
(Yohanes B. Yokasing, Politeknik Negeri Kupang)

Dalam kajian sosial, kearifan lokal merupakan salah satu perspektif yang berlawanan
dengan paradigma besar yang berlaku secara global, yaitu kapitalisme. JIka
globalisme selalu menonjolkan keseragaman dalam segala aspek apa pun di dunia
ini, sebaliknya local wisdom sangat mengakomodir keberagaman. Bahwa setiap
manusia sangat unik yang berbeda dengan manusia yang lain. Keberbedaan itu
menjadi salah satu kunci saling menghargai dalam masyarakat pluralistik di
Indonesia (Muryanti, UIN Sunan Kalijaga, ​newsyant1@gmail.com​)

Kearifan lokal yang ada di indonesia tidak terlepas dari kebhinekaan bangsa
Indonesia yang multikultur. Budaya yang multikultur tersebut memberi warna
tersendiri bagi bangsa Indonesia dan mencerminkan kepribadian setiap suku yang
ada di indonesia. Kearifan lokal dijadikan sebagai strategi dalam kehidupan oleh
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kearifan lokal juga dapat dijadikan
sebagai pembentuk karakter bangsa pada masyarakat (Nur Fithria W, STKIP PGRI
Lamongan, ​nurwijiastutik@yahoo.com​ )

References

Amirrachman, A. (2007). ​Revitalisasi Kearifan lokal.​ Jakarta: ICIP.

Aponno, E.H., Brasit, N., Taba, M.I., and Amar, M.Y. (2017). Factors that Influence
Organizational Citizenship Behavior and Employees Performances with Local
Culture Moderation “Pela Gandong”. Scientific Research Journal (SCIRJ),
V(VI):10-26

Aris Zulkarnaen. (2011). ​Tradisi dan Adat Istiadat Samawa.​ Yogyakarta: Ombak

Armawi. A. (2008). Kearifan Lokal Batak Toba Dalihan Na Tolu dan Good
Governacne Dalam Birokrasi Publik. Jurnal. Filsafat. 18 (2), Vol. 18. No.2,
157-166

A.S.Padmanugraha, ‘Common Sense Outlook on Local Wisdom and Identity: A


Contemporary Javanese Natives’ Experience’ Paper Presented in
International Conference on “Local Wisdom for Character Building”,
(Yogyakarta: 2010), h. 12

Said, Nur. 2013. Urgensitas Cultural Sphere Dalam pendidikan Multikultural:


Rekonstruksi Semangat Multikulturalisme Sunan Kudus bagi Pendidikan
Multikultural di STAIN Kudus. ADDIN. Vol. 7, No. 1, Februari 2013.
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Addin/article/view/568/581 [diakses 15
Juni 2016].

Bar, J.J. & D’Alessandro, A.H. (2007). Adolescent Empathy and Prosocial Behavior
ini the Multi Dimensional Content of School Culture. Jurnal of Genetic
Psychology, 168(3), 231-250
Baron, r.A. & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial Jilid 2 ( tetjemahan Ratna Djuwita,
dkk.) Jakarta : Penerbit Erlangga
Basyari, H. I. (2014). NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) TRADISI
MEMITU PADA MASYARAKAT CIREBON. ​Edunomic,​ 48-56.
Berry, J.W., Poortinga, Y.H., Segall, M.H., Dassen, P.R. (1992). Cross-cultural
Psychology : Research and Application. Cambridge University Press. Psikologi
Lintas Budaya : Riset dan Aplikasi, 1999. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Carlo, G., McGinley, M., Hayes, R., Batenhorst, C & Wilkinson, J. (2007). Parenting
Style or Practices? Parenting Styles, Parental Practices, Sympathy and
Prosocial Behavioral Aming Adolescent. Jurnal of Genetic Psychology, 168 (2),
147-176
Chaiphar, W., Sakolnakorn, T.P.N., & Naipinit, A. (2013). Local Wisdom in the
Environmental Management of a Community: Analysis of Local Knowledge in
Tha Pong Village, Thailand. ​Journal of Sustainable Development;​ Vol. 6, No.
8;, p.16-25.
Davis, S. H., and Ebbe, K. (1993). ​Traditional Knowledge and Sustainable Development,​
Environmentally Sustainable Development Proceedings Series No. 4, The World Bank,
Washinton, D.C.

Ernawi, S. (2010). ​Harmonisasi Kearifan Lokal dalam Regulasi Penataan Ruang.​


Retrieved December 26, 2013, from penataanruang.net:
http://www.penataanruang.net
Fajarini, U. (2014). Peranan kearifan lokal dalam pendidikan karakter. ​SOSIO-DIDAKTIKA:
Social Science Education Journal​, ​1​(2), 123-130.
Foucault, M. (1990). The history of sexuality: An introduction, volume I. Trans. Robert
Hurley. New York: Vintage.

Gentile, D.A., Anderson, C.A., Yukawa, S., Ihori, N., Saleem, M., Ming, L.K., Khoo, A.
(2009). Effects of Prosocial video games on Prosocial Behavioral : Internasional
Evidence from Correlational, Longitudinal, and Experiental Studios. Personaliti and
Social Psychology Bulletin, 35 (6), 753-763
Greitmeyer, T. (2008). Effects of Song with Prosocial thought. Affect and Behavior. Journal
of experimental social psychology, 45(1), 186-205
Hart, M. A. (2010). Indigenous Worldviews, Knowledge, and Research: The Development
of an Indigenous Research Paradigm. ​Journal of Indigenous Voices in Social Wor​k,
1​(1), 16 pages. Retrieved from
http://scholarspace.manoa.hawaii.edu/bitstream/handle/10125/15117/v1i1_04hart.pdf?s
equence=1
Hastings, P.D., McShane, K.E., Parker, R. & Lasdha, F. (2007). Ready Make to Nice.
Parental Socialization of young Sons’ and Daughters’ Prosocial behavior with Peers.
Journal of Genetic Psychogy, 168 (20), 177-200
Hyson, M. & Taylor, J.L. (2011). Caring about caring. What adults can do to promote young
children’s pria.ocial skills. Research on review, 74-83.
Http://www.naeys.org/​permissions.
Habsy, B.A, Hidayah, Lasan, Muslihati. 2017. A ​Literature Review of Indonesian Life
Concept Linuwih based on the Teachings of Adiluhung Raden Mas Panji
Sosrokartono.​ In International Conference on Education and Training.
Irianto. A.M. (2013) “Mass Media Reality In Indonesia: The Local Wisdom That Were
Marginalized By The TV Broadcast”. Dipresentasikan dalam ​The International
Seminar on Education as Media of Socialization and Enculturation of Local Culture.
Held by the Graduate School of Education and Human Developoment, N ​ agoya
University, Juni 25th.

Lakollo, J.E., Pattiruhu, C.M., Lestaluhu, M., Timisela, L.Z., Limahelu, D., Limahelu, L.,
Leatemia, J., Leasa, G. (1997). Sei Budaya Pela Gandong dari Pulau Ambon. Ambon:
Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku.
Lubis, Z. B. (2005). Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam di Tapanuli Selatan, ​Antropologi Indonesia,​ 29(3), 239-254

Qamar, N., Mustamin, H., & Aswari, A. (2017). Local Wisdom Culture of
Bugis-Makassar in Legal Perspective. ​ADRI International Journal Of Law and
Social Science​, ​1(​ 1), 35-41.
Mardikantoro, H. B. (2013). Bahasa Jawa Sebagai Pengungkap Kearifan Lokal
Masyarakat Samin Di Kabupaten Blora. Komunitas: International Journal Of
Indonesian Society And Culture, 5(2).
Mau, H.K., cheon, P.C. & Shek, DTL (2007). The relation of prosocial orientation to
peer interactions, Family social environment and personaliti of chinese
adolescents. International journal of behavior development, 32 (1), 12-18
Ningtyas F.W., Asdie A.H., Julia M,(2014) ​Eksplorasi Kearifan Lokal Masyarakat
dalam Mengonsumsi Pangan Sumber Zat Goitrogenik terhadap Gangguan
Akibat Kekurangan Yodium. Kesmas National Public Health Journal,Vol 8 no.7.
Piff, P.K., kraus, m.e., cote, S., Cheng, B.H., & Keltner, D. (2010). Having less,
giving more : the influence of social class on prosocial. Journal of personality
and Social Psychology, 99 (5), 771-781
Sartini, Ni Wayan. 2009. Menggali nilai kearifan lokal budaya Jawa lewat ungkapan
(Bebasan, saloka, dan paribasa). Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, Vol. V No.
1. 2009.
Schwarz, S. (2014). The Life Conduct Dimension of Coping: Local Wisdom
Discourses and Related Life Orientations. In M. Zaumseil, S. Schwarz, M. von
Vacano, G. B. Sullivan, & J. E. Prawitasari-Hadiyono (Eds.), ​Cultural
Psychology of Coping with Disasters: The Case of an Earthquake in Java,
Indonesia​ (pp. 225–244). New York, NY: Springer New York.
https://doi.org/10.1007/978-1-4614-9354-9_11
Situmorang, R. O. P., dan Simanjuntak, E. R. (2015). Kearifan Lokal Pengelolaan Hutan
oleh Masyarakat Sekitar Kawasan Taman Wisata Alam Sicike-cike, Sumatera Utara,
Widyariset 18(1), 1​ 45–154
Suseno, F.M. (1996). Etika Jawa: Sebuah Analisa Tentang Kebijaksanaan Hidup
Jawa. Jakarta : PT Gramedia.
Sudirgayasa, I Gede, Surata I Ketut, SudianaI Made, Maduriana, I Made, Gata, I
Wayan. (2017). Potensi Upacara Keagamaan Hindu Bali Sebagai Media
Pembelajaran Biologi. Prosiding seminar nasional riset inovatif ke 5.
https://lppm.undiksha.ac.id/senari2017/PROSIDING_SENARI_5_2017.pdf
Trommsdorff, G., Friedlmeier, W., & Mayer, B. (2007). Sympathy, distress, and
Prosocial behavior of preschool children ini four cultures. Internasional journal
of behavior development. 31, 284-293
Wentzel, K.R., Filisetti, L., Looey, L. (2007). Adolescent Prosocial behavior : the
rope of self-processes and contextual cues. Child Development, 78, 895-910
Lestari, S. 2012. Konsep dan transmisi nilai-nilai jujur, rukun, dan hormat. Disertasi.
Yogyakarta : Program Doktor Psikologi UGM
Qamar, N. & Djanggih, H, (2017). Peranan Bahasa Hukum dalam Perumusan
Norma Perundang-Undangan. ​Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, ​11 (3),
337-347.
Dictionary. (2014, Dec 31). Wisdom. Retrieved December 26, 2017, from
https://www.dictionary.com/browser/wisdom

Dictionary.(2014,Desember 31).
Local Retrieved December 31,2017,from
http://www.dictionary.com/browse/local?s=t

Oxford Dictionary. (2016, September 28). Wisdom. Retrieved December 31, 2017,
from ​https://en.oxforddictionaries.com/definition/wisdom

KBBI . (2017, June 15), Kearifan. Retrived December 31, 2017, from
https://kbbi.web.id/bijaksana

KBBI. (2017, June 15). Lokal. Retrived December 31, 2017, from
https://kbbi.web.id/lokal
Cambridge. (2017). Wisdom. Retrieved December 31, 2017, from
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/wisdom

Putut Setiyadi.(2012) Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam


tembang macapat dan pemanfaatannya sebagai media pendidikan Budi pekerti
bangsa.Magistra No.79 Th.XXIV Maret 2012.pp.71-86

Wa Ante (2016), Makna Simbolik Identitas Terhadap Penamaan La Ode


Dan Wa Ode (Studi Kecamatan Katobu, Duruka Dan Lohia Kab.Muna),
ojs.uho.ac.id/index.php/KOMUNIKASI/article/view/1458

Zein, T.T., Sinar, T.S., & Nurlela. (2017). Linguistic Features and Local Wisdom
Content in EFL Students’ Narrative Texts. Proceedings of the International
Conference on Teacher Training and Education 2017 (ICTTE 2017), 7 October, Solo,
ISSN 2352-5398.

Abdullah, I. 2007. ​Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Y ​ ogyakarta: Pustaka Pelajar.


Koentjaraningrat. 2009. ​Pengantar Ilmu Antropologi. J​ akarta: Rineka Cipta.
Sedyawati, E. 2007. ​Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi Seni dan Sejarah. ​Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
​ andung: Nusa Media.
Liliweri, A. 2014. ​Pengantar Studi Kebudayaan. B
Geertz, C. 1989. ​Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa.​ Jakarta: Pustaka Jaya.

Arisetyawan, A. et.al (2014) Study of Ethnomathematics: A lesson from the Baduy


Culture. International Journal of Education and Research Vol: 2 No: 10.

Cambridge Dictionary.(2015, August 15). Local


Retrieved December 26, 2017, from
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/local?q=local

Faridatin, Nora. (2016). Kota Gresik sebagai Kota Santri "Implikasi sebagai City
Branding". Jurnal Thaqafiyyat Vol 17 No 1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Indarwati. (2015). Dualisme Keberagamaan dalam Agama Jawa. Skripsi tidak


diterbitkan. Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

Mulder, N. (1973). Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta :


Gadjah Mada University Press.
Pattinama MJ. 2009. Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal (Studi Kasus
Di Pulau Buru-Maluku dan Surade-Jawa Barat). Jurnal Makara Sosial Humaniora.
13(1):1-12.

Moniaga S. 2002. Hak-hak Masyarakat Adat dan Masalah serta kelestarian


lingkungan hidup di Indonesia. Artikel utama dalam WACANA HAM, Media
Pemajuan Hak Asasi Manusia. 10.

Ohorella S, Suharjito D, Ichwandi I. 2011. Efektivitas kelembagaan lokal dalam


pengelolaan sumber daya hutan pada masyarakat Rumahkay di Seram Bagian
Barat, Maluku. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 17(2):49-55.

Ahmad Baedowi (2015). Esai-esai Pendidikan 2012-2014. Pustaka Alpabhet.

A.S. Padmanugraha. (2010). “Common Sense an Local Wisdom and Identity a


Contemporary Javanese Native ‘experience’ Paper presented International
Conference on “ Local Wisdom for Character Building”, Yogyakarta 2010.

Oxford Dictionaries. (2016). Wisdom. Retrieved December 19, 2017, from


https://en.oxforddictionaries.com/definition/wisdom

Cambridge Dictionary. (2015). Wisdom. Retrieved December 19, 2017, from


https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/wisdom

Oxford Dictionaries. (2016). Local. Retrieved December 31, 2017, from


https://en.oxforddictionaries.com/definition/local
Wilska, T. A. (2003). Mobile phone use as part of young people's consumption styles.
Journal of consumer policy​, ​26​(4), 441-463.

Rokhmawan, T & M.B. Firmansyah. (2015). Bangunan “Kerajaan Surgawi”: Kepercayaan


Irasional dan Fungsi Sosial dalam Legenda Kiai Sepuh. Jurnal Litrasi Volume 1, No.1,
Pg.16—38.
Reimon Supusesa, Eksistensi Hukum Delik Adat Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum
Pidana Di Maluku Tengah, Jurnal Mimbar Hukum Volume 24, Nomor 1, Februari 2012,Fh
Ugm, Halaman 41 – 54.

Fajarini, Ulfah. “Peranan kearifan lokal dalam pendidikan karakter”, Jurnal Sosio Didaktika
Volume 1, Nomor 2, Desember 2014.
Suwardani, Ni Putu. “​Pewarisan Nilai-nilai Kearifan Lokal untuk Memproteksi Masyarakat
Bali dari Dampak Negatif Globalisasi”, ​Jurnal Kajian Bali Volume 5, Nomor 2,
Oktober 2015.

J.A. Smith, P. Flower and M. Larkin (2009), ​Interpretative Phenomenological Analysis:


Theory, Method and Research.​ ​London: Sage
Suparlan, Parsudi. ​Menuju Masyarakat Multikultural dalam Simposium
International Bali Ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia,​ Denpasar Bali,
16-21 Juli 2002.
Rustanto, Bambang. ​Masyarakat Multikultur di Indonesia​. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2015.
Koentjaraningrat. ​Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan​. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 1993.
Andre Ata Ujan, et.all., ​Multikulturalisme; Belajar Hidup Bersama dalam
Perbedaan​, Jakarta, PT. Indeks, cet. III, 2011.
Prananta, A. W. (2015). Sebuah Kontestasi Stratifikasi Dominasi Dalam Kapitalisme dan
Konsumerisme. ​Jurnal Sosiologi: Dimensi,​ ​8 No.2.​ Retrieved from
http://journal.trunojoyo.ac.id/dimensi/article/view/1283

Sartini. (2013). ​Menggali Kearifan Lokal Nusantara sebuah Kajian Filsafati.​ Dalam:
Jurnal Filsafat. Retrieved from
http://www.search-document.com/pdf/1/1/Menggali-Kearifan-Lokal-Nusantara-Sebua
h-Kajian-Filsafati.ht ml
Kuntoro, S. A. (2012). Konsep pendidikan berbasis kearifan lokal sebagai dasar
pembentukan karakter bangsa (The concept of education based on local wisdom as the
basis of character formation of the nation). ​Prosiding Seminar Nasional Ilmu
Pendidikan (​ Proceedings of the National Seminar on Education). Program Studi Ilmu
Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar.
Keraf, A.S. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Muslimin Machmud, (2013). Heritage Media and Local Wisdom of Indonesian Society.
Global Journal of Human Social Science Art and Humanities, Vol. 13, Issue 6, 2013,
USA.
Suyatno, S. (2014). ​Revitalisasi Kearifan Lokal sebagai Upaya Penguatan Identitas
Keindonesiaan. Retrieved from http://badanbahasa. kemdikbud.go.id/ lamanbahasa
/artikel/1366.
Fakih, M. (2003). ​Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.​ Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Dalam Joko Sutarso “Menggagas Parawisata Berbasis Budaya dan Kearifan
Lokal”. Retrieved February 22, 2014, from http://www.google.co.id
/komunikasi.unsoed.ac.id
Boonpanya, B. (2006). Concepts of Local Culture. Bangkok: Duean Tula Printing.
Ridwan, N.A. (2007). “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”. Jurnal Studi Islam dan
Budaya. Vol.5, (1), 27-38.
Farhan H. (2013). Model Pengembangan Pariwisata Berbasis Budaya Lokal-Budaya
Religi Sebagai Upaya Pendukung Peningkatan Industri Pariwisata Daerah Gresik. An
unpublished research report in University of Muhammadiyah Gresik.
Sartini. (2013). ​Menggali Kearifan Lokal Nusantara sebuah Kajian Filsafati.​ Dalam:
Jurnal Filsafat. Retrieved from
http://www.search-document.com/pdf/1/1/Menggali-Kearifan-Lokal-Nusantara-Sebua
h-Kajian-Filsafati.ht ml
Nuh, M. (2013). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI yang sekarang mantan, dalam
running tex TVRI.
Sutarso, J. (2014). ​Menggagas Parawisata Berbasis Budaya dan Kearifan Lokal.​
Retrieved from http://www.google.co.id/komunikasi.unsoed.ac.id

Moelyaningrum Anita Dewi; Gani, Husni Abdul; Kurniawati, Harum. "Kualitas Air Sungai Irigasi dan
Persepsi Pemanfaatannya pada Etnis Jawa dan Madura
​ ttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/76736
URI: h

H. Mas’oed Abidin, Silabus Surau: Panduan Pembelajaran Budaya Minangkabau, Adat


Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Padang: Pusat Pengkajian islam dan
Minangkabau, 2004).

Utomo, Laksanto. 2017. ​Conflict resolution based on local wisdom in Indonesia.


https://appthi.or.id/wp-content/uploads/2017/08/CONFLICT-RESOLUTION-BASED
-ON-LOCAL-WISDOM-IN-INDONESIA.pdf
Burton, John. 1990. ​Conflict: Resolution and Provention​. London: MacMillan Press.
Jabri, Viviene. 1996. ​Discourse on violence: ​Conflict analysis reconsidered.​ Manchester:
Manchester University Press.

Authors
1. Dian Eka Indriani (STKIP PGRI Bangkalan);
2. Aan Aswari (UMI, Makassar);
3. Leon Abdillah (Univ. Bina Darma);
4. Nuning Kurniasih (Universitas Padjadjaran);
5. Dian Utami Sutiksno (Politeknik Negeri Ambon);
6. Janner Simarmata (Universitas Negeri Medan);
7. Harisa Mardiana (Universitas Buddhi Dharma, Tangerang);
8. Akbar Iskandar (STMIK AKBA);
9. Mohd. Yunus (Universitas Riau),
10. Sarono Widodo (Politeknik Negeri Semarang),
11. Taufiqurrahman (Universitas Darussalam Gontor),
12. Tri Listyorini (Universitas Muria Kudus),
13. Hendrati Dwi Mulyaningsih ( Universitas Telkom),
14. Muhammad Yusuf (STKIP Pelita Bangsa Binjai) ,
15. Sitaresmi Wahyu Handani (STMIK Amikom Purwokerto),
16. Muthia Anggraini (Universitas Lancang Kuning),
17. Arjulayana Thohir (Universitas Muhammadiyah Tangerang),
18. Resy Nirawati (STKIP Singkawang),
19. Kustanto (UNISBA BLITAR),
20. Soeharto (STKIP SIngkawang),
21. Posma Sariguna Johnson Kennedy (Universitas Kristen Indonesia, Jakarta),
22. Rini Apriyani (Universitas Mulawarman),
23. Didi Susanto (Universitas Islam Kalimantan MAB Banjarmasin),
24. Muhammad Erfan (Universitas Samawa),
25. Yetti ( universitas lancang kuning Pekanbaru)
26. Emrizal ( Sekolah Tinggi Farmasi Pekanbau)
27. Ardiansah (Universitas Lancang Kuning Pekanbaru)
28. Siti Nurina Hakim (Universitas Muhammadiyah Surakarta.
ayya_inna@yahoo.co.id​; ​snh147@ums.ac.id​ )
29. Bayu Adhi Prakosa (Universitas Ibn Khaldun Bogor)
30. Hardianto Djanggih (Universitas Tompotika Luwuk Banggai)
31. Nurul Qamar (Universitas Muslim Indonesia).
32. Jarkawi, (Universitas Islam Kalimantan MAB Banjarmasin)
33. Ahmad Sururi (Universitas Serang Raya).
34. Bakhrudin All Habsy (Universitas Darul Ulum Jombang)
35. Aji Raditya (Universitas Muhammadiyah Tangerang).
36. Pomarida Simbolon (STIKes Santa Elisabeth Medan).
37. Yulia (Universitas Bosowa),
38. Ratnadewi (Universitas Kristen Maranatha)
39. Hamdan Husein Batubara (Universitas Islam Kalimantan MAB Banjarmasin.),
40. Didit Darmawan (Universitas Mayjen Sungkono),
41. Lucky Nugroho (Universitas Mercu Buana),
42. Hendri D. Hahury (Universitas Pattimura-Ambon),
hendri.hahury@feb.unpatti.ac.id
43. Ariviana L. Kakerissa (Universitas Pattimura-Ambon),
ariviana.kakerissa@fatek.unpatti.ac.id
44. Rani Gartika Holivia Silalahi (STIKes Santa Elisabeth Medan),
45. Muhammad Yahya Matdoan (Universitas Pattimura-Ambon),
46. Eka Zuliana (Universitas Muria Kudus), ​eka.zuliana@umk.ac.id
47. Daniel Susilo (Universitas dr. Soetomo) ,
48. Suprayitno - Universitas Purnomo
49. Asrianti Dja’wa (Universitas Halu Oleo), ​asriantidjawa2015@gmail.com
50. Rosdiana Mata (Politeknik Negeri KUPANG), Ody.smart@gmail.com
51. Ripto Mukti Wibowo (Akademi Komunitas Negeri Blitar,
52. Tristan Rokhmawan (​tristanrokhmawan19890821@gmail.com​ ,STKIP PGRI
Pasuruan),
53. M Zaini (STKIP PGRI Pasuruan)
54. Fauzi Farchan (Universitas Wiralodra Indramayu, farchani@gmail.com),
55. Santi Lina Siregar (Universitas Kristen Maranatha, Bandung),
56. Tekat Dwi Cahyono (Universitas Darussalam Ambon),
57. Muhammad Hanif (Universitas PGRI Madiun),
58. Andista Candra Yusro (Universitas PGRI Madiun),
59. Syarif Ohorella (Universitas Darussalam Ambon),
60. Agung Purnomo - BINUS Institute of Creative Technology -
agung.purnomo@binus.ac.id
61. Elsa Rosyidah - Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo - ​elsarosyidah@gmail.com
62. Diana Yuniarti - Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo - ​dianaelf06@gmail.com
63. Khoiriyatun Nahdiyah - Universitas Nahdlatul Ulama' - Sidoarjo -
khoiriyatun.nahdiyah161016@gmail.com
64. Wiwin Fidiana - Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo - ​wiwincewek00@gmail.com
65. Ayu Munjidah - Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo - ​ayumunjidah36@gmail.com
66. Siti Qori’ah - Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo - ​qoriahsiti9@gmail.com
67. Johanna Rimbing - Universitas Negeri Manado - ​annekejohanna60@gmail.com
68. Syifa saputra - universitas almuslim - ​syifa.mpbiounsyiah@gmail.com
69. Rosida Tiurma Manurung - Universitas Kristen Maranatha - ​rosidatm@gmail.com
70. Lusi Dwi Putri (Universitas Lancang Kuning)
71. Erwin Putera Permana - (Universitas Nusantara PGRI Kediri) -
erwinp@unpkediri.ac.id
72. Febri Liantoni (Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya) ​febri.liantoni@itats.ac.id
73. Rudi Abdullah, (Universitas Muhammadiyah Buton) ​rudiazra9140@gmail.com
74. Irma Setyawati (Universitas Bhayangkara Jakarta Raya -
setyawati.setyawati.irma@gmail.com​)
75. Agus Supriyanto (STIE Atma Bhakti Surakarta) ​aguswiryorejo@gmail.com
76. Irwan Sugiarto (Sekolah Tinggi Hukum Bandung) ​irwansugiarto8@gmail.com
77. Anggoro Putranto (Institut Agama Islam Ngeri Tulungagung)
anggoro43@gmail.com
78. Hikmawati Mustamin (Universitas Muslim Indonesia)
hikmawati.mustamin@umi.ac.id
79. Muchamad Indung Hikmawan - Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka
80. Suwari Akhmaddhian (Universitas Kuningan,
suwariakhmaddhian@gmail.com​)
81. Kaysan Azfar Purnomo - Purnomo Foundation
82. Prayogi Sunu (Universitas Boyolali) prayogisunuspt@yahoo.co.id
83. (Slamet Widodo, STKIP Al Hikmah Surabaya) ​slamet.10050@gmail.com
84. Hengki Mangiring Parulian Simarmata, (Politeknik Bisnis Indonesia,
hengkisimarmata.mm@gmail.com​)
85. Andy Sapta (STMIK Royal) ​sapta@royal.ac.id
86. Hadi Ismanto - ​Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo
87. Yolla Ramadani (STIE Sakti Alam Kerinci) ​yolla_ramadani@yahoo.com
88. Andi Riyanto (AMIK BSI Sukabumi, ​andi.iio@bsi.ac.id​)
89. Fitridawati Soehardi (Universitas Lancang Kuning, ​fitridawati@unilak.ac.id​)
90. Burhanudin Karim - Universitas Negeri Surabaya
91. Rizaldi (STMIK Royal) ​rizaldipiliang.rp@gmail.com
92. Heru Purwanto - Universitas Purnomo
93. Dhanar Intan Surya Saputra (STMIK Amikom Purwokerto)
dhanarsaputra@amikompurwokerto.ac.id
94. Zahra Tazkia Nurul Hikmah - Universitas Islam Malang
95. Siti Aminatus Sholichah - Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo –
sitiaminatus82@gmail.com
96. Dewi Anggraeni (STMIK Royal) ​anggraeni1987@gmail.com
97. Endang Fourianalistyawati (Universitas YARSI) ​endangfouriana@gmail.com
98. Dina Chamidah (Universitas Wijaya Kusuma Surabaya)
dina.chamidah@yahoo.co.id
99. Nur Asitah - Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo - nurasitah@gmail.com
100. Daniel Silli Bataona (Politeknik Negeri Kupang), ​danielbataona@pnk.ac.id
101. Dwi Vita Lestari Soehardi (STAI Miftahul 'Ulum Tanjungpinang)​,
dwivitalestari@gmail.com
102. Inayatul Maula - Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo –
inaya.maula41@gmail.com
103. Anita Dewi Moelyaningrum (Universitas Jember, Jawa timur)
104. Fathimah (Universitas Darussalam Gontor) ​fathimah@unida.gontor.ac.id
105. Mustika Fitri Larasati Sibuea (STMIK Royal)
106. Muhammad Ardiansyah Sembiring (STMIK Royal)
107. Susilo - Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka - ​susilo@uhamka.ac.id
108. Julius Buyang (Politeknik Negeri Ambon)
109. Christy Gery Buyang (Universitas Pattimura Ambon)
110. Ambarwati Soetiksno (Politeknik Negeri Ambon)
111. Ali Ibrahim (Universitas Sriwijaya) ​aliibrahimok@gmail.com
112. I Gede Sudirgayasa (IKIP Saraswati ) ​igedesudirgayasa@gmail.com
113. Sumitro (AMIK Labuhan Batu) ​sumitro.ulb@gmail.com
114. Dwi Santosa Pambudi (Universitas Ahmad Dahlan) ​dwi.pambudi@pbs.uad.ac.id
115. Andi Reni (Universitas Hasanuddin) ​andirenireni@yahoo.co.id
116. Abd. Ghofur (STKIP PGRI Lamongan) ​ghofurkita@yahoo.com
117. Muryanti (UIN Sunan Kalijaga), ​newsyant1@gmail.com
118. Yoris Adi Maretta (Universitas Negeri Semarang), ​yoris@mail.unnes.ac.id
119. Achmad Yusuf (Universitas Yudharta Pasuruan), ​achysf@yudharta.ac.id
120. Teguh Trianton [Univeristas Muhammadiyah Purwokerto]
teguhtrianton@gmail.com​, ​teguhtrianton@ump.ac.id
121. Titien Agustina (STIMI Banjarmasin) ​titienagustina9@gmail.com
122. Rama Kertamukti (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ​kawanrama@gmail.com
123. Nur Fithria W (STKIP PGRI Lamongan) ​nurwijiastutik@yahoo.com
124. Rahmad Hidayat (Sekolah Tinggi Teknologi Mandala, Bandung)
rhidayat4000@gmail.com
125. Endang Noerhartati (Universitas Wijaya Kusuma Surabaya)
endang.noerhartati@gmail.com
126. Hary Sastrya Wanto (Universitas Wijaya Kusuma Surabaya)
sas_hary@yahoo.co.id
127. Lusy Tunik Muharlisiani (Universitas Wijaya Kusuma Surabaya)
yahdilla@yahoo.com
128. Heni Sukrisno (Universitas Wijaya Kusuma Surabaya) ​henyuwks@yahoo.co.id
129. Rhini Fatmasari, Universitas Terbuka, ​riens@ecampus.ut.ac.id
130. Nian Afrian Nuari (STIKES Karya Husada Kediri, ​nian.afrian@yahoo.co.id​ )
131. Sony Susanto, (ITS , ​susantosony5@gmail.com​ )
132. Fabian Souisa (Politeknik Perikanan Negeri Tual, ​souisafnj@gmail.com​)
133. Wahyudi Rahmat (STKIP PGRI Sumatera Barat, ​wahyudirahmat24@gmail.com​ )
134. Maryelliwati (ISI Padangpanjang, ​maryelliwati@gmail.com​ )
135. Hari Adi Rahmad (STKIP Meranti, ​hariadirahmad31@gmail.com​ )
136. Insar Damopolii (Universitas Papua, ​i.damopoli@unipa.ac.id​)
137. Savitri wanabuliandari (universitas muria
kudus,savitri.wanabuliandari@umk.ac.id​)
138. Listian Indriyani Achmad (STAI Pelita Bangsa,
listian.achmad@pelitabangsa.co.id​). (​listian.achmad@pelitabangsa.ac.id​).
139. Diah Ajeng Purwani (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
ajeng.purwani@gmail.com​)
140. Yanti Dwi Astuti (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,(​yanti_diazti@gmail.com​)
141. Sekar Dwi Ardianti (Universitas Muria Kudus, ​sekar.dwi.ardianti@umk.ac.id​ )
142. Dra. ec. Pratiwi Dwi Karyati, MM. (Universitas Wijaya Kusuma Surabaya,
Pdwikaryati64@gmail.com​)
143. Hengki Mangiring Parulian Simarmata, (Politeknik Bisnis Indonesia,
hengkisimarmata.mm@gmail.com​)
144. Harry Dhika (Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta. ​dhikatr@yahoo.com​)
145. Fitriana Destiawati (Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta,
honeyzone86@gmail.com​)
146. Kurniadi (Universitas Kaltara, ​galih.kur354@gmail.com​)
147. Rusda Wajhillah (STMIK Nusa Mandiri Sukabumi,
rusda.rwh@nusamandiri.ac.id​)
148. Muhamad Arif Mahdiannur (Universitas Kaltara, ​mahdiannur1@gmail.com​)
149. Sutarum (STKIP PGRI Lamongan) ​msutarum@ymail.com
150. Andri Nugraha ( STIKes Karsa Husada Garut ) ​andrinugraha@outlook.com
151. Erwinsyah Satria (Universitas Bung Hatta) ​erwinsyah.satria@bunghatta.ac.id
152. Irfan Yusuf (Universitas Papua) ​i.yusuf@unipa.ac.id
153. Sri Wahyu Widyaningsih (Universitas Papua) ​s.widyaningsih@unipa.ac.id
154. Mujasam (Universitas Papua), ​m.mujasam@unipa.ac.id
155.

Vous aimerez peut-être aussi