Vous êtes sur la page 1sur 17

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/259577592

”Penerapan Metode Six Sigma untuk Menurunkan Jumlah Cacat pada Divisi
Painting PT Roda Prima Lancar Tangerang”

Article · January 2010

CITATIONS READS

0 1,274

1 author:

Meriastuti Ginting
Universitas Kristen Krida Wacana
22 PUBLICATIONS   4 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

PKM Peningkatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Industri Tahu Semanan View project

All content following this page was uploaded by Meriastuti Ginting on 01 November 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENERAPAN METODE SIX SIGMA UNTUK MENURUNKAN
JUMLAH CACAT PADA DIVISI PAINTING DI PT RODA
PRIMA LANCAR – TANGERANG

Meriastuti Ginting1, Elisa Chandra

Fakultas Teknik Jurusan Industri


Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Tanjung Duren Raya No. 4
1
mery92ginting@yahoo.com

Abstract
PT Roda Prima Lancar is an automotive company which is facing with sum of defect
problem in producing part so that need an improvement quality control system. The suggestion of
quality control method is Six Sigma method, which is quality control system with define, measure,
analyze, improve, and control the process. First step is choosing the research object, division with
the lowest sigma level, in research found that Painting division with rough defect as the dominant
defect with sigma level is 5.095, capability process is 0.99929, and COPQ (Cost of Poor Quality)
is Rp 617,600,-. Based on Fishbone analysis, informed that machine and equipment factor become
the potential cause of rough defect, so the improvement is by replacing mixing Thinner with pure
Thinner when cleaned the hole of nozzle. After doing some of improvements, sigma level increase
become 5.29, capability process increase become 0.999544, dan COPQ (Cost of Poor Quality)
decrease become Rp 518,784,-.

Keywords: six sigma, quality, COPQ, DMAIC

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Setiap perusahaan yang kompetitif akan terus mempertahankan kualitas dengan
tidak memberikan produk cacat kepada pelanggan. PT Roda Prima Lancar (PT RPL)
adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi spare part otomotif, dengan
bisnis utama metal manufacture beserta semua produk yang berbasiskan metal. Saat ini,
PT RPL masih menghasilkan produk yang tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan
dan masih menghasilkan spare part cacat sehingga nilai penjualan dan kepuasan
pelanggan menurun. Hal ini berpengaruh terhadap nama baik perusahaan. Konsep yang
berkembang saat ini, untuk mencapai kepuasan pelanggan dengan perbaikan yang terus-
menerus, khususnya dalam hal pengurangan jumlah produk cacat, adalah metode Six
Sigma. Implementasi dari konsep ini dilakukan melalui lima tahapan, yaitu tahap define,
measure, analyze, improve, dan control.

1.2 Identifikasi Masalah


Masalah yang ditemukan adalah masih adanya produk cacat atau produk yang
tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan, sehingga harus dibuang atau
diperbaiki. Hal ini mengakibatkan biaya yang cukup besar.

1.3 Perumusan Masalah


Permasalahan di atas dirumuskan sebagai berikut:

65
Vol. 9 No. 17, Mei – Agustus 2010

1. Divisi apakah yang memiliki level sigma terendah dan bagaimana kondisinya?
2. Apakah akar masalah penyebab jenis cacat dominan pada divisi tersebut?
3. Apakah solusi perbaikan yang dapat dilakukan untuk mengurangi cacat produk?
4. Bagaimana perbandingan level sigma, kemampuan proses, COPQ antara sebelum
perbaikan dengan setelah perbaikan?

1.4 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menentukan divisi dengan level sigma terendah dan menjelaskan kondisinya.
2. Menentukan akar penyebab terjadinya jenis cacat dominan pada divisi tersebut.
3. Implementasi solusi perbaikan yang dilakukan untuk mengurangi cacat produk.
4. Menentukan level sigma, kemampuan proses, COPQ setelah dilakukan perbaikan.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kualitas
Ada berbagai jenis pengertian untuk mendefinisikan kata “kualitas”, salah
satunya yaitu “customer satisfaction and loyality” (kepuasan dan loyalitas pelanggan).
Kualitas berarti sifat menonjol dari produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan dan
sesuai dengan kepuasan pelanggan, benar, dan tepat pada waktunya. Kualitas berbicara
erat mengenai kesesuaian dengan kebutuhan pelanggan, standar yang ditetapkan,
sehingga mencapai kepuasan konsumen [1].

2.2 Six Sigma


2.2.1 Sejarah Six Sigma
Six Sigma merupakan teknik pengendalian dan peningkatan kualitas yang
diterapkan oleh perusahaan Motorola sejak 1986 di Amerika Serikat. Aplikasi Six Sigma
ini bertujuan melakukan peningkatan kualitas menuju tingkat kegagalan nol (zero defect).
Sebagian besar sistem manajemen kualitas hanya menekankan pada upaya peningkatan
terus – menerus berdasarkan kesadaran manajemen mandiri, tanpa memberikan solusi
dalam hal terobosan yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas menuju
kegagalan nol [1]. Namun, prinsip – prinsip Six Sigma Motorola mampu menjawab
tantangan ini selama kurang lebih 10 tahun setelah implementasi dan mencapai 3,4
DPMO (defects per million opportunities).

2.2.2 Definisi Six Sigma


Istilah Six Sigma berasal dari kata Six artinya 6 (enam), dan Sigma (σ) artinya
standar deviasi. Six Sigma merupakan sebuah metodologi terstruktur dengan
menggunakan konsep statistik untuk perbaikan proses yang berfokus untuk mengurangi
variasi sekaligus jumlah cacat pada produk.
Secara statistik, Six Sigma ditandai dengan nilai 3,4 DPMO. Apabila produk
(barang/jasa) diproses pada tingkat kualitas Six Sigma, perusahaan mengharapkan hanya
akan ada 3, 4 kegagalan dalam sejuta kesempatan (DPMO). Dengan demikian, Six Sigma
dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri tentang bagaimana baiknya suatu
proses transaksi produk antara pemasok dan pelanggan. Semakin tinggi nilai sigma maka
kinerja sistem industri semakin baik.

66
Penerapan Metode Six Sigma...

2.2.3 Proses Langkah Six Sigma


Untuk menerapkan Six Sigma diperlukan langkah – langkah yang sudah
ditetapkan, yaitu DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, and Control). DMAIC
merupakan proses untuk peningkatan terus menerus menuju target Six Sigma. DMAIC
dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta.
a. Define
Tahap ini mendefinisikan beberapa hal yang terkait dengan dilakukannya
pemilihan proyek dan identifikasi terhadap permasalahan yang berkaitan dengan kualitas
dalam suatu perusahaan. Fase ini berfokus pada pembentukan tim implementasi,
identifikasi diagram SIPOC, dan biaya akibat kualitas buruk (Cost Of Poor Quality).
b. Measure
Terdapat dua hal pokok yang harus dilakukan dalam tahap Measure, yaitu
menentukan karakteristik kualitas/Critical To Quality, dan mengukur kinerja sekarang
pada awal proyek Six Sigma. Pengukuran ini penting untuk mengetahui apakah proses
masih berada di dalam batas pengendalian serta untuk mengetahui kapabilitas dari proses.
Control Chart
Control Chart disebut juga peta kendali merupakan suatu grafik yang menunjukkan
apakah suatu proses kerja pada kondisi stabil atau tidak, atau suatu proses terpelihara
pada kondisi tertentu atau stabil. Pertama kali diperkenalkan oleh W.A Shewhart pada
tahun 1924 dengan tujuan mengurangi variasi yang tidak normal yang disebabkan oleh
assignable cause [2].
Level Sigma
Sigma dapat dihitung dengan langkah-langkah berikut:
1. Hitung Defects per Unit (DPU), DPU= D/U,
2. Hitung Total Opportunities, TOP  U  OP , dimana Opportunities (OP),
merupakan karakteristik yang diperiksa atau diukur, dalam hal ini yang digunakan
adalah Critical To Quality.
3. Hitung DPO = D/TOP, dimana
Defects per Opportunities, menunjukkan proporsi defect atas jumlah total peluang
dalam sebuah kelompok.
4. Hitung DPMO = DPO X 1000000
DPMO merupakan Ukuran-ukuran peluang defect, yang mengidentifikasikan berapa
banyak defect akan muncul jika terdapat satu juta peluang.
5. Tentukan Nilai Sigma, menggunakan tabel konversi nilai DPMO
Critical To Quality
CTQ menggambarkan karakteristik produk atau jasa yang ditetapkan oleh konsumen baik
internal maupun eksternal. CTQ Tree menggambarkan sebuah pohon yang menjelaskan
mengenai karakteristik apa yang dibutuhkan agar perusahaan dikatakan menghasilkan
produk yang berkualitas baik dan sesuai dengan keinginan pelanggan.
c. Analyze
Pada tahap ini, proses analisis berfokus pada pertanyaan mengapa cacat,
kesalahan, atau variasi terjadi. Analisis dilakukan dengan menggunakan Fishbone
diagram dan FMEA. Hal pokok yang dilakukan pada tahap ini adalah wawancara
(brainstorming) untuk penentuan akar penyebab masalah dan penaksiran untuk menyoroti
akibat – akibat dari kegagalan komponen, proses, atau sistem.
Fishbone
Diagram Fishbone ini juga biasa dikenal sebagai Cause Effect Diagram atau Diagram
Sebab akibat, atau Ishikawa Diagram [2]. Diagram ini terdiri dari permasalahan utama
dan penyebab utama, yang dihubungkan dengan cabang utama. Tiap cabang memiliki
cabang–cabang penyebab yang lebih kecil yang berhubungan dengan penyebab utama
memiliki rangkaian penyebab yang lebih spesifik. Tata cara pembuatan diagram Fishbone
yang baik adalah mengawalinya dengan mengumpulkan sebanyak – banyaknya ide

67
Vol. 9 No. 17, Mei – Agustus 2010

penyebab, kemudian memilah–milah penyebab tersebut untuk menggali penyebab hingga


ke akar yang paling kecil [3].
FMEA
FMEA adalah prosedur dan alat yang membantu untuk mendefinisikan kemungkinkan
setiap cara kegagalan dari produk atau proses, untuk menentukan pengaruh kegagalan di
sub-item lain dan fungsi yang diminta dari produk atau proses. FMEA juga digunakan
untuk memberikan ranking dan prioritas kemungkinan penyebab dari kegagalan sebagai
pengembangan dan pelaksanaan tindakan pencegahan, dengan tanggungjawab seseorang
yang diberikan untuk melaksanakan tindakan ini.
Langkah – langkah pembuatan FMEA:
1. Efek Kegagalan Potensial adalah apa yang akan menjadi akibat dari kegagalan
elemen atas komponen, produk, proses, atau sistem.
2. Modus Kegagalan Potensial adalah bagaimana elemen dari komponen, produk,
proses, atau sistem tidak berhasil memenuhi masing–masing aspek dari spesifikasi
yang diinginkan.
3. Penyebab Potensial adalah apa yang membuat komponen, produk, proses, atau sistem
gagal dalam memenuhi apa yang diharapkan sehingga modus kegagalan potensial.
4. Occurrance (O), yaitu suatu perkiraan tentang probabilitas atau peluang bahwa
penyebab itu akan terjadi dan akan menghasilkan mode kegagalan yang memberikan
akibat tertentu.
5. Severity (S), yaitu suatu perkiraan subjektif atau estimasi tentang bagaimana
buruknya pengguna akhir akan merasakan akibat dari kegagalan itu. Detectability
(D), yaitu suatu perkiraan subjektif tentang bagaimana efektifitas dari metode
pencegahan atau pendeteksian.
7. Risk Priority Number (RPN) merupakan hasil perkalian antara rating severity, rating
detectability, dan rating occurrence. Melalui penyusunan RPN dari yang terbesar
hingga terkecil dapat ditentukan mode kegagalan yang paling kritis sehingga kita
perlu memprioritaskan tindakan korektif atas kegagalan tersebut.
8. Rekomendasi merupakan usulan perbaikan yang disediakan untuk dikerjakan setelah
melihat berbagai penyebab kecacatan produk. Diharapkan bahwa rekomendasi yang
akan dijalankan tersebut akan membawa perubahan seperti penurunan jumlah cacat
[4].
d. Improve
Setelah sumber – sumber dan akar penyebab dari masalah kualitas teridentifikasi,
maka perlu dilakukan penetapan rencana tindakan (action plan) untuk melaksanakan
peningkatan kualitas Six Sigma. Pengembangan rencana tindakan merupakan salah satu
aktivitas yang penting dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang berarti bahwa
dalam tahap ini harus diputuskan apa yang harus dicapai melalui 5W-1H serta manfaat
positif yang diterima dari implementasi rencana tindakan itu. Tahap ini merupakan
tahapan untuk menyempurnakan kinerja proses yang ada saat ini, dengan melakukan
perbaikan secara terus – menerus.
5W-1H
Metode 5W-1H adalah what (apa), why (mengapa), where (di mana), when
(kapan), who (siapa), dan how (bagaimana).
e. Control
Control merupakan tahap operasional terakhir dalam proyek peningkatan kualitas
Six Sigma. Pada tahap ini, hasil – hasil peningkatan kualitas didokumentasikan dan
disebarluaskan, praktik – praktik terbaik yang sukses distandarisasikan dan
disosialisasikan, prosedur – prosedur didokumentasikan dan dijadikan pedoman kerja
standar, serta kepemilikan atau tanggung jawab di transfer dari tim Six Sigma kepada
pemilik atau penanggung jawab proses, yang berarti proyek Six Sigma berakhir pada
tahap ini. Melalui cara ini, maka akan terjadi peningkatan integrasi, pembelajaran, dan
sharing atau transfer pengetahuan – pengetahuan baru [5].

68
Penerapan Metode Six Sigma...

f. Uji Selisih dua Proporsi


Uji selisih dua proporsi yaitu uji Statistik yang digunakan untuk mengetahui
apakah proporsi cacat sebelum implementasi dan sesudah implementasi berbeda secara
signifikan, atau untuk mengetahui apakah usulan perbaikan pada tahap improve berhasil
menurunkan proporsi cacat [6], [7]. Uji ini dihitung dengan langkah – langkah sebagai
berikut:
1. Nyatakan Ho : Ho : p1 = p2.
2. Nyatakan Hipotesa alternatif : H1 : p1 > p2,
3. Tentukan taraf nyata (α).
4. Tentukan ukuran sampel (n1 dan n2).
5. Tentukan uji statistik yang sesuai, Z   ps1  ps 2    p1  p 2 
   1 1 
 
p1  p   
  n1 n 2 
6. Mencari daerah penolakan: Zhitung > Ztabel
7. Kumpulkan data dan hitung uji statistik sampel, dengan perhitungan seperti berikut:
 x1  x 2 x1 x2
Z
 ps1  ps 2    p1  p2 
p , ps1  , ps 2  ,
n1  n2 n1 n2 
  
 1 1 
p1  p   
  n1 n 2 
8. Bandingkan uji statistik dengan nilai kritis.
9. Buat keputusan statistik. Tolak Ho jika uji statistik berada di daerah penolakan.
10. Nyatakan keputusan dalam konteks permasalahan dengan kesimpulan.

3. METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian dilakukan dengan mengikuti tahap-tahap six sigma, yaitu:

3.1 Define
Pada tahap ini dilakukan pendefinisian terhadap hal–hal yang terkait dengan
pembentukan tim implementasi, identifikasi diagram SIPOC (Supplier–Input–Process–
Output–Customer), biaya akibat kualitas buruk (Cost of Poor Quality).

3.2 Measure
Pada tahap ini dilakukan pengukuran terhadap atribut yang berhubungan dengan
kebutuhan pelanggan, yaitu CTQ (Critical To Quality), dan Pareto Chart. Setelah itu,
dilakukan pembuatan peta kendali atribut, yaitu peta p, mengukur kapabilitas proses (Cp),
dan menentukan level sigma yang saat ini dicapai perusahaan dari DPMO (Deffect per
Million Opportunities).

3.3 Analyze
Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap sumber–sumber dan akar penyebab
terjadinya kecacatan, menggunakan diagram Fishbone. Kemudian akar – akar penyebab
tersebut dicantumkan dalam NGT (Nominal Group Technique) untuk menentukan faktor
penyebab apa yang paling dominan untuk diselesaikan. Setelah itu dibuat FMEA (Failure
Mode Effect Analysis) untuk membantu menghilangkan kegagalan yang terjadi pada
proses produksi.

69
Vol. 9 No. 17, Mei – Agustus 2010

3.4 Improve
Pada tahap ini dilakukan perbaikan terhadap permasalahan yang potensial dengan
melaksanakan usulan perbaikan dari hasil analisis, pembuatan tabel 5W–1H, dan
pelaksanaan implementasi.

3.5 Control
Pada tahap ini dilakukan perbandingan antara sebelum dan sesudah perbaikan,
perhitungan uji selisih dua proporsi.

4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN


4.1 Pengumpulan dan Pengolahan Data
Jumlah produksi, cacat, dan level sigma Januari – Juli 2009 per divisi dapat
dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Perhitungan nilai Sigma setiap divisi

Divisi U D DPU TOP DOP DPMO Sigma


Press 11352363 4067 0,00035825 56761815 7,165E-05 71,650281 5.396
Sproket 1171492 478 0,00040803 5857460 8,161E-05 81,605337 5.246
Heading 10684082 170 1,5912E-05 53420410 3,18E-06 3,1823043 6
Welding-1 4187698 1430 0,00034148 29313886 4,878E-05 48,782342 5.453
Welding-2 1529523 215 0,00014057 10706661 2,01E-05 20,080957 5.686
Paint 2949683 2262 0,00076686 11798732 0,000192 191,71552 5.095
Zink 9745773 196 2,01113E-05 77966184 2,51391E-06 2,51391039 6
Chrome 932059 695 0,000745661 7456472 9,32076E-05 93,20761883 5.342

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa divisi painting merupakan divisi yang
memiliki nilai sigma terendah, sehingga penelitian akan difokuskan pada divisi Painting.

4.2 Analisis dan Pembahasan


Analisis dan pembahasan dilakukan dengan metode Six Sigma, yaitu Define –
Measure – Analyze – Improve – Control.

4.2.1 Define
a. Pembentukan Tim Implementasi
1. Pernyataan Masalah: Besarnya persen cacat pada periode Januari - Juli 2009
menyebabkan perusahaan kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan lebih
besar karena pengerjaan ulang.
2. Pernyataan Tujuan: Menurunkan jumlah cacat periode Agustus 2009.

b. Identifikasi SIPOC
Diagram SIPOC divisi painting dapat dilihat pada tabel 2.

70
Penerapan Metode Six Sigma...

Tabel 2. Diagram SIPOC divisi painting

Process
Supplier Input Output Customer
Line Toso Line D
• Degreasing • Hanging
• Water Rinse • Pre Degreasing PT
Sebagian Material dari
• Surface TOSO
besar Divisi Welding
Conditioning • Degreasing Berupa
berasal dari seperti Swing
Divisi Arm, Pipe • Phospating • Water Rinse barang
Welding. Comp Frame, • Surface setengah
Kick Starter, • Water Rinse Conditioning jadi
Holder Comp yang
• DI Water Rinse • Phospating dihasilkan
Handle, Pipe Divisi
• Oven 1 • Water Rinse proses.
Comp Swing. Assem
Sebagian • Penyusunan 1 • DI Water Rinse
lagi berasal bling
dari PT • Oven • C.E.D Epoxy
TOSO. Material dari • Painting 1 • DI Water Rinse
PT TOSO • Oven • Dry Oven
seperti New
• Penyusunan 2 • Setting 1
Jespa, NSB,
Sebagian G18 C Body, • Oven • Painting 1
lagi berasal G16 N Top, • Painting 2 • Setting 2
dari pabrik Lifty SBOMB. • Oven • Painting 2
cat,
thinner, • Checking FG • Setting 3
neorever Bahan baku
• Packing • Bake Oven
dan bahan - dari perusahaan
• Check Random
bahan luar seperti cat,
QC
lainnya. thinner,
neorever. • Checking FG
• Packing

c. Cost Of Poor Quality (Biaya Akibat Kualitas Buruk)


Perhitungan biaya akibat kualitas buruk (COPQ/Cost Of Poor Quality) dari cacat
kasar diproses produksi divisi painting dapat dilihat sebagai berikut:
1. Biaya Upah Pekerja
Upah pekerja / bulan = Rp 1.069.865,-
Jumlah jam kerja / bulan = 7 jam × 2 shift × 25 = 350 jam
Rp 1,069,865,
Upah pekerja per jam  Rp 3.057,
350
Waktu Siklus = 30 detik per unit
30 det ik
Waktu Siklus per jam = = 0.0083 jam per unit
3600
Sehingga, upah pekerja per unit = Rp 3.057 × 0.0083 = Rp 25,47,-
2. Biaya Proses:
Kaleng Cat 20 liter = Rp 400.000,- (untuk 400 produk)
Thinner Mixing 10 liter = Rp 50.800,- (untuk 400 produk)
Energi = Rp 250,- (per unit)

71
Vol. 9 No. 17, Mei – Agustus 2010

3. Biaya Bahan Penolong :


Amplas = Rp 2.450,- (untuk 8 unit)
4. Biaya Rework per unit, di estimasi memakan 10% dari total pekerjaan pekerja.
Biaya upah pekerja per unit + Biaya proses per unit + Biaya bahan penolong/unit
 Rp 400.000,   Rp 50.800,  
(Rp 25,47 × 10%) +       Rp 250,  +
 400 produk   400 produk  
 Rp 2.450, 
  = Rp 1.686,-
 8 produk 
Total COP = Biaya upah per unit + Biaya proses per unit + Biaya Rework per unit
 Rp 400.000,   Rp 50.800,  
(Rp 25,47)+       Rp 250, +(Rp 1.686) = Rp 3.088/unit
 400 produk   400 produk 

4.2.2 Measure (Mengukur)


Pada tahap ini dilakukan beberapa hal seperti perhitungan peta kendali dengan
kemampuan prosesnya, level sigma pada divisi painting, dan pembuatan CTQ Tree.

a. Control Chart
Setelah dilakukan perhitungan dan plot data proporsi ke dalam peta kendali
terlihat bahwa data belum berada dalam batas kendali. Dilanjutkan dengan perhitungan
kapabilitas proses (Cp) untuk mengetahui kemampuan dalam menghasilkan produk yang
tidak cacat.

Cp = 1 - p =1 - 0,000709562 = 0.99929

b. DPMO dan Level Sigma


Perhitungan dilanjutkan dengan menghitung DPMO, dilanjutkan level sigma
untuk mengetahui posisi dimana divisi painting berada. Dari perhitungan diperoleh level
sigma pada divisi Painting adalah 5.095. Ini berarti bahwa peluang terjadinya cacat
adalah 191,7155 per satu juta kesempatan.
c. Critical To Quality
Setiap perusahaan membutuhkan untuk mengidentifikasi karakteristik produk
yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Berikut jenis cacat produksi
painting dan definisinya yang mungkin terjadi pada setiap proses produksinya:

Tabel 3. Jenis cacat dan definisinya

No Jenis Catat Keterangan


Merupakan jenis cacat yang menyebabkan permukaan produk
1 Cacat Kasar
menjadi kasar
Merupakan jenis cacat yang diakibatkan menggumpalnya cat
2 Cacat Meleleh
karena over cat pada proses spray
Merupakan jenis cacat yang menyebabkan permukaan produk
3 Cacat Minyak
membentuk seperti kawah kecil
Merupakan jenis cacat yang menyebabkan produk tidak
4 Cacat Tipis
tertutup merata oleh cat

72
Penerapan Metode Six Sigma...

Berikut ini diberikan gambar CTQ Tree pada divisi painting:

Gambar 1. CTQ Tree

Dari data jumlah produksi dan cacat pada divisi painting selama 7 (tujuh) bulan
(Januari 2009 – Juli 2009) pada Tabel 4, berikut ini diberikan data jumlah produksi dan
cacat menurut jenisnya pada divisi painting:

Tabel 4. Jumlah produksi dan cacat menurut jenisnya

Jumlah Jumlah Cacat Cacat Cacat Cacat


Kriteria
Produksi Cacat Kasar Tipis Minyak Meleleh
Januari 504205 487 404 0 83 0
Februari 529844 455 360 0 0 95
Maret 565352 409 405 0 0 4
April 438930 268 186 27 30 25
Mei 209929 260 112 45 45 58
Juni 393199 183 183 0 0 0
Juli 308224 200 102 50 38 10
Total 2949683 2262 1752 122 196 192

Melalui tabel di atas, dapat dilihat bahwa jenis cacat kasar merupakan jenis cacat
dominan yang terjadi dalam proses produksi, yaitu sebesar 77,5 %. Sedangkan cacat
minyak sebesar 8,7 %, cacat meleleh sebesar 8,5 %, dan cacat tipis sebesar 5,4 %.
Berdasarkan hasil tersebut, maka dalam penelitian difokuskan pada cacat kasar.

73
Vol. 9 No. 17, Mei – Agustus 2010

4.2.3 Analyze (Menganalisis)


Tahap menganalisis adalah tahap ketiga dalam Six Sigma. Pengidentifikasian
menggunakan diagram Fishbone, dilanjutkan dengan FMEA. Kemudian dikemukakan
solusi–solusi dalam melakukan perbaikan untuk meningkatkan kinerja dari karakteristik
kualitas.
a. Fishbone
Diagram Fishbone digunakan untuk menggali lebih dalam apa saja yang menjajdi
akar penyebab terjadinya cacat kasar dari faktor–faktor hasil wawancara brainstorming
dengan Kepala Produksi, QC, Kepala Shift Produksi, dan Operator Produksi. Diagram
Fishbone dapat dilihat pada gambar 2.
Melalui Nominal Group Technique, dapat dilihat bahwa mengeringnya gumpalan
cat merupakan akar penyebab cacat kasar yang paling dominan yang terjadi, menempati
posisi ranking 1. Berikutnya frekuensi pembersihan yang terlalu lama, berdekatan dengan
jalur forklift, serat sarung tangan yang menempel, sekat kurang menutupi ruangan spray,
sisa amplas yang masih menempel, kurang tegasnya instruksi kerja, QC Welding yang
kurang teliti, Job Description terlalu banyak, dan lainnya (rambut operator).

Gambar 2. Diagram Fishbone

74
Penerapan Metode Six Sigma...

b. FMEA (Failure Mode Effect Analisys)


FMEA dari cacat kasar dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini:

Tabel 5. Tabel FMEA

Failure Efek Modus Kegagalan Penyebab


O S D RPN Rekomendasi
Mode Kegagalan Potensial Kegagalan
Sisa amplas yang Ceroboh dalam
Perlu dicek ulang setiap
masih menempel membersihkan 4 2 5 40
produk
pada part sisa amplas
Kurang Disiplin 6 2 5 60 Briefing lebih tegas
Kotoran yang
menjalankan Memberikan SPkepada
menempel pada part 6 2 3 36
 Produk tidak Instruksi Kerja operator yang melanggar
sesuai Operator tidak segera
keinginan Mengingatkan operator untuk
menangani part yang
pelanggan Job Description mengerjakan yang lebih
tercelup lama dalam 2 2 5 20
terlalu banyak penting pada kondisi mati
bak C.E.D ketika
listrik
mesin mati
Cacat  Produk akan Memberikan sekat (papan)
dikembalikan Sekat kurang
Kasar lebih tinggi lagi untuk
ke menutupi 5 2 5 50
mencegah debu yang ringan
perusahaan ruangan Spray
masuk dari area terbuka
Masuknya debu Mengubah layout dan pintu
masuk fork lift agar tidak
 Produk harus 4 2 7 56
Berdekatan membawa kotoran masuk
dikerjakan dengan jalur ruangan
ulang Forklift Mendidik driver agar tidak
4 2 5 40 membawa forklift dengan
kecepatan tinggi
 Menyebabkan Rambut operator Memberikan topi serentak
kerugian Rambut operator
tidak 2 2 2 8 kepada semua operator agar
biaya dan yang menempel
berpelindung dipakai bersama
waktu
Permukaan part yang QC Welding QC Painting melakukan
6 2 5 60
tidak halus kurang teliti pemeriksaan ulang
Serat sarung
 Citra Serat sarung tangan Mengganti dengan sarung
tangan yang 7 2 3 42
perusahaan yang menempel tangan berbahan katun
menempel
menjadi
buruk Gumpalan bahan Menggunakan thinner murni
Lubang noozle spray
cat yang 8 2 4 64 untuk melarutkan gumpalan
booth tersumbat
mengering cat
Preventive Maintenance
Frekuensi
Ruangan dan lorong secara efektif pada setiap
pembersihan 8 2 4 64
yang masih kotor bagian produksi sesuai
terlalu lama
kebutuhan

75
76

Dari nilai RPN (Risk Priority Number), terlihat bahwa faktor penyebab cacat
kasar yang memiliki bobot terbesar adalah gumpalan bahan cat yang mengering dan
frekuensi pembersihan yang terlalu lama. Kemudian faktor yang berada di urutan
berikutnya yaitu kurangnya disiplin dalam menjalankan instruksi kerja, ketidaktelitian
QC Welding dalam memeriksa material, ruangan spray berdekatan dengan jalur forklift,
sekat kurang menutupi ruangan spray, serat sarung tangan yang menempel pada part,
kecerobohan operator dalam membersihkan sisa amplas, job description yang banyak,
dan rambut operator yang tidak berpelindung.

c. Improve (Memperbaiki)
Tahap ini merupakan tahapan untuk menyempurnakan kinerja proses yang ada
saat ini, dengan melakukan perbaikan terus–menerus (continuous improvement). Pada
tahap ini diberikan usulan rancangan perbaikan dan 5W – 1H.
Metode 5W – 1H adalah what (apa), why (mengapa), where (di mana), when
(kapan), who (siapa), how (bagaimana). Pengembangan rencana tindakan perbaikan atau
peningkatan kualitas Six Sigma dapat menggunakan metode ini. Tabel metode 5W – 1H
dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 6. Metode 5W – 1H

No. What Why When Who Where How


1 membersihkan Bulan Penanggung Lantai
Melarutkan Menggunakan
selang spray Agustus jawab: Produksi
gumpalan cat thinner murni
lebih baik 2009 Kepala Divisi
2 Karena Produksi painting
Preventive
perawatan lebih Sesuai jadwal
Maintenance
efektif
3 Mengemudikan Kertas
Training driver
forklift dengan peringatan di
forklift
benar forklift
4 Memakai serat katun tidak Mengganti
sarung tangan mudah rontok dengan yang
katun baru
5 mencegah debu Memberikan
Sekat daerah
berterbangan dari sekat di area
terbuka
luar ruang spray yang terbuka
6 Cek ulang menghemat Periksa
produk ongkos produksi kembali
7 Supaya ada Mengingatkan
Briefing kesadaran hal-hal
penting
8 SP Melatih disiplin Keluarkan SP
9 Menjaga kualitas Periksa
Cek ulang QC dan menekan sebelum
Painting cost masuk
produksi

Dari sepuluh rekomendasi tindakan perbaikan yang disarankan, terdapat hal yang
tidak dapat dijalankan, seperti mengubah layout pabrik untuk meminimalkan debu yang
berpotensi menimbulkan cacat kasar.

76
4.2.4 Implementasi
Kegiatan implementasi dilakukan pada Agustus 2009 selama empat minggu.
Seluruh usulan dilakukan secara bersamaan, dengan tidak mengganggu jalannya proses
produksi. Berdasarkan hasil implementasi, dapat dilihat perubahan yang terjadi seperti
berikut:

Tabel 7. Jumlah produksi dan cacat Agustus 2009

Bulan Minggu ke- Produksi Cacat


1 84269 23
2 90399 80
AGUSTUS
3 88551 25
4 105683 40
Total 368902 168

Selain data jumlah produksi dan cacat, kinerja kerja pada divisi painting pun
mengalami perubahan yang semakin baik dibandingkan dengan sebelum dilakukan
perbaikan. Berikut ini diberikan tabel perbandingan kinerja yang terjadi antara sebelum
perbaikan dengan setelah perbaikan:

Tabel 8. Perbandingan kinerja

Implementasi
No. Kegiatan
Sebelum Sesudah
Menggunakan thinner Selang spray tidak bersih Selang spray lebih
1 murni melarutkan seutuhnya, masih tersisa bersih, tidak ada lagi
gumpalan cat gumpalan cat kering gumpalan cat kering
Preventive Jadwal pembersihan Mesin, peralatan, dan
Maintenance secara kurang efektif, kurang lingkungan menjadi
2 efektif pada setiap tepat waktu sehingga lebih bersih,
bagian produksi sesuai mesin, peralatan, dan mengurangi jumlah
kebutuhan lingkungan sangat kotor produk cacat
Mendidik driver agar Driver membawa forklift Driver membawa
tidak membawa forklift dengan kecepatan tinggi, forklift lebih pelan
3
dengan kecepatan asap menerbangkan sehingga debu ringan
tinggi kotoran sekitar tidak mudah terbang
Mengganti dengan Serat sarung tangan non Serat sarung tangan
4 sarung tangan berbahan katun sering rontok dan tidak mudah lepas,
katun menempel produk lebih bersih
Memberikan sekat
Debu yang berterbangan
lebih tinggi untuk
sering masuk ke dalam Ruang spray lebih
5 mencegah debu ringan
ruang spray dan terjaga dan bersih
masuk dari area
mengotorinya
terbuka
Perlu dilakukan Sisa amplas masih Sisa-sisa tersebut
6 pengecekan ulang banyak yang menempel dibersihkan sebelum
setiap produk pada produk di cat

77
78

Tabel 8. Perbandingan kinerja (lanjutan)

Implementasi
No. Kegiatan
Sebelum Sesudah
Briefing harus Tidak semua operator Briefing awal
7 disampaikan atasan mengikuti briefing dijalankan dengan
dengan lebih tegas dengan baik lebih baik

Memberikan Surat Operator melanggar


Operator disiplin dan
8 Peringatan bagi Instruksi Kerja, tidak ada
komitmen bekerja
operator melanggar disiplin

4.2.5 Control (Mengendalikan)


Merupakan tahap terakhir dalam Six Sigma untuk memastikan agar perbaikan
kualitas tetap terjaga. Hasil proses perbaikan perlu disosialisasikan agar pengendalian
kualitas berjalan dengan baik.
a. Pengendalian Proses setelah Perbaikan
Data yang dikumpulkan merupakan data primer selama 4 (empat) minggu di
bulan Agustus 2009. Terlihat bahwa data belum berada dalam batas kendali, maka
dilanjutkan dengan perhitungan kapabilitas proses (Cp) untuk mengetahui kemampuan
dalam menghasilkan produk yang tidak cacat.

Cp = 1- p = 1 – 0,000455406= 0,999544
Hal ini menunjukkan bahwa nilai Cp (kemampuan proses) sebelum dan sesudah
perbaikan mengalami peningkatan.

b. DPMO dan Level Sigma setelah perbaikan


Dari perhitungan dapat disimpulkan bahwa level sigma pada divisi Painting
adalah 5,29. Ini berarti bahwa peluang terjadinya cacat adalah 113,85 per satu juta
kesempatan. Hal ini menunjukkan bahwa level sigma sebelum dan sesudah perbaikan
mengalami peningkatan.

c. COPQ setelah perbaikan


Biaya akibat kualitas buruk (COPQ) pada periode selama dan sesudah
dilakukannya perbaikan diharapkan akan menurun agar tidak lagi merugikan perusahaan.
Pada tahap perhitungan COPQ telah diperoleh bahwa biaya COPQ adalah Rp 3.088,-
/unit.
Untuk menghitung besarnya perbandingan COPQ yang dikeluarkan perusahaan
sebelum dan sesudah perbaikan, terlebih dahulu diberikan data jumlah produksi dan cacat
periode Juli 2009 dan Agustus 2009 seperti berikut:

78
Tabel 9. Jumlah produksi dan cacat Juli 2009 dan Agustus 2009

Bulan Minggu ke- Produksi Cacat


1 59264 59
2 61035 23
Juli
3 80935 73
4 106990 45
Total 308224 200
1 84269 23
2 90399 80
Agustus
3 88551 25
4 105683 40
Total 368902 168

Periode Juli menghasilkan jumlah cacat = 200, maka


COPQ = 200 unit × Rp 3.088,- = Rp 617.600,-
Periode Agustus menghasilkan jumlah cacat = 168, maka
COPQ = 168 unit × Rp 3.088,- = Rp 518.784,-

Hal ini menunjukkan bahwa biaya COPQ sebelum dan sesudah perbaikan
mengalami penurunan. Hal ini berarti bahwa setelah dilakukannya perbaikan, biaya yang
dikeluarkan untuk kualitas buruk menurun, tindakan perbaikan yang dilakukan berhasil
meminimalkan biaya akibat kualitas buruk.

d. Uji Selisih Dua Proporsi


Perbandingan jumlah produksi dan cacat proses sebelum dan sesudah dilakukan
implementasi adalah sebagai berikut:

Tabel 10. Tabel Perbandingan Jumlah Produksi dan Cacat

Implementasi
Kriteria
Sebelum Sesudah
Jumlah Produksi 2949683 368902
Jumlah Cacat 2262 168

Setelah dilakukan uji proporsi diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang


signifikan antara sebelum perbaikan dengan sesudah perbaikan berarti proporsi cacat
sebelum perbaikan lebih besar dari pada proporsi cacat setelah perbaikan.

e. Target cacat yang diharapkan setelah perbaikan


Target cacat yang diharapkan tidak melebihi 0,05 % dari jumlah produksi yang
dihasilkan. Berdasarkan hasil perhitungan proporsi jumlah cacat dan produksi setiap
bulan (Januari – Agustus 2009) diperoleh proporsi jumlah cacat adalah 0,000455. Hal ini
berarti bahwa setelah dilakukannya perbaikan, target cacat tercapai pada bulan Agustus
2009.

79
80

5. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil pengolahan dan analisis serta implementasi
yang telah dilakukan pada perusahaan adalah:
1. Dari nilai – nilai sigma yang telah diperhitungkan, diperoleh bahwa divisi yang
memiliki nilai sigma terendah adalah divisi painting, yaitu 5,095.
2. Dengan melakukan perhitungan menggunakan peta kendali p, terlihat bahwa kondisi
belum berada dalam keadaan terkendali. Dari hasil tersebut juga didapatkan nilai Cp
sebesar 0,99929.
3. Jenis cacat terdominan yang terdapat di divisi painting adalah jenis cacat kasar.
4. Menurut hasil Fishbone, didapatkan bahwa akar penyebab dominan yang menyebabkan
cacat kasar pada divisi painting adalah gumpalan cat yang mengering.
5. Usulan yang diberikan untuk mengurangi cacat produk dapat meningkatkan level sigma
dari 5,095 menjadi 5,29. Kemampuan proses (Cp) meningkat dari 0,99929 menjadi
0,999544. COPQ menurun dari Rp Rp 617.600,- menjadi Rp 518.784,-. Target cacat
yang diharapkan sebesar 0,05 % pun tercapai setelah dilakukan perbaikan.

REFERENSI
[1]. Gyna, Frank M., “Quality Planning and Analysis”, McGraw-Hill International
Edition, New York, 2001.
[2]. Perhimpunan Manajemen Mutu Indonesia, “Total Quality Management”,
IQMA, 1996.
[3]. Tjiptono, Fandy, Anastasia Diana, “Total Quality Management”, Andi, Yogyakarta,
1995.
[4]. Dale H. Besterfield, “Quality Control fifth edition”, Prentice Hall, New Jersey, 1995.
[5]. Gaspersz, Vincent, “Total Quality Management”, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2002.
[6]. Walpole, Myers, “Ilmu Peluang dan Statistika untuk Insinyur dan Ilmuwan”, ITB,
Bandung, 1995.
[7]. Gasperz, Vincent, “Statistical Process Control”, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2006.

80

View publication stats

Vous aimerez peut-être aussi