Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Dalam
Transisi Demokrasi Indonesia
Penerbit :
KontraS
Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia
Phone: 62-21-3926983, 62-213928564 F: 62-21-3926821
Email: beritakontras@yahoo.com
Website: www.kontras.org
ISBN 979-98225-3-X
Sekapur Sirih
Tulisan dalam buku ini merupakan laporan yang diteliti dan
ditulis oleh Haris Azhar, Koordinator Divisi Kajian KontraS.
Laporan ini merupakan hasil kajian bersama di KontraS,
yang selanjutnya disusun berdasarkan bahan-bahan laporan
hak asasi manusia hasil investigasi kontraS, laporan/
pengaduan korban atau jaringan di daerah-daerah dan
dokumentasi media sejak 1998 sampai dengan 2003 dan
studi literatur penulis sejak September hingga Oktober
2003. Laporan ini selanjutnya diedit oleh Amirudin,
Koordinator Program Elsam dan Usman Hamid, Koordinator
Badan Pekerja KontraS.
3
secara luas agar terus aktif dalam mengamati jalannya
reformasi militer paska mundurnya Presiden Soeharto.
Partisipasi aktif ini dibutuhkan sebagai prasyarat
berkembangnya kembali sendi-sendi demokrasi dalam
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat akibat
penyimpangan peran dan fungsi TNI dan POLRI selama
Orde Baru.
4
Daftar Isi
5
A. Pengantar
7
POLRI yang berakibat tidak
berkembangnya sendi-sendi demokrasi
dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat.”
8
Jenderal Sudirman terhadap rencana pembentukan staf
pendidikan untuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat)
dibawah kementerian Pertahanan, pada januari 1946.
Alasannya kekuatan militer adalah kekuatan politik, dan
militer pecaya bahwa mereka harus menjadi pemimpin
Indonesia1.
9
Peter Britton dalam bukunya Profesionalisme Dan Ideologi
Militer Indonesia lebih tegas mengungkapkan;
“...bagian teritorial dari Angkatan Darat
memastikan kehadirannya disetiap kota
dan di sementara daerah, di setiap daerah,
di setiap desa dengan tugas memelihara
keamanan, mengawasi kegiatan-kegiatan
aparat pemerintahan sipil dan bertindak
sebagai pengawas-pengawas politik. Para
perwira militer, baik yang masih aktif
maupun yang sudah pensiun, semakin
banyak yang beralih kepada kedudukan-
kedudukan penting sebagai pejabat-pejabat
pemerintah. Pemerintah daerah,
pemerintah pusat dan industri, semuanya
menjadi berada dibawah pengendalian
AD”4.
Setelah lima tahun reformasi berjalan, sudahkah Indonesia
meninggalkan praktek dwifungsi itu secara signifikan?
Dibalik pertanyaan utama ini membayang pertanyaan
penting kedua yaitu; mengapa para perwira tinggi TNI aktif
dan purnawirawan tetap bernafsu naik ke panggung politik
yang bukan porsi militer?
4
Peter Britton, Profesionalisme Dan Ideologi Militer Indonesia, LP3ES,
Jakarta, 1996. hal 126.
10
Untuk menjawab dua pertanyaan itu, tulisan ini berupaya
untuk melihat dan menganalisis beberapa kebijakan penting
(Pasal 30 UUD 1945 – hasil amandemennya, Tap MPR RI,
terutama Tap MPR Nomor VI dan VII tahun 2000, Undang-
undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU
No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia) yang
berhubungan dengan peran militer di Indonesia saat
reformasi ini berjalan. Disamping itu juga, tulisan ini
mencoba melihat bagaimana perubahan paradigma TNI
(Buku Putih Departemen Pertahanan) yang dicetuskan diawal
reformasi mampu mendorong agenda demokratisasi di
Indonesia.
11
rezim yang bersangkutan semakin banyak
menggunakan paksaan untuk memelihara
ketertiban dan untuk menekankan perlunya
persatuan nasional dalam menghadapi krisis,
yang selanjutnya menyebabkan penindasan
terhadap perbedaan pendapat;
2. Perpecahan antara atau diantara pemimpin-
pemimpin politik, menimbulkan keragu-raguan
pada komandan-komandan militer apakah
rezim sipil masih mampu untuk memerintah
secara kolektif;
5
Calude E.Welch, Jr., “Cincinnatus in Africa: The Possibility of Military
Withdrawl From Politics,” dan Robert P. Clarck, Devolopment and
Instabillity: Political change in the Non-Western World (Chicago: Dryden,
1974), hal 185-186. Dalam Robert P Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik
Di Dunia Ketiga, (Jakarta: Penerbit Erlangga,1989) hal 155-156.
12
5. Permusuhan sosial dalam negeri, yang paling
jelas terjadi di negara-negara yang diperintah
oleh suatu kelompok minoritas;
13
10. Pengaruh asing, dapat melibatkan perwakilan
militer negara asing, pengalaman yang diperoleh
dalam perang di negara asing, atau dalam pusat-
pusat latihan di luar negeri, atau bantuan asing
dalam bentuk peralatan dan senjata;
14
sejarah militer Indonesia ada alasan yang sifatnya sangat
subjektif dari kalangan perwira TNI itu sendiri untuk masuk
ke ranah politik, yaitu dipersulitnya reorganiasi kekuatan
militer oleh politik pemerintah, dicampurinya urusan
internal TNI oleh pimpinan politik, terjadinya pertentangan
dikalangan perwira TNI sendiri, serta tidak disukainya
kondisi politik dan kemimpinan pemerintahan oleh TNI.7
6
Apa yang disampaikan oleh Kusnanto ini tentu sangat erat kaitannya dengan
menjadi utamamnya militer dalam politik Indonesia setelah tahun 1966. Sedangkan
tugas sejarah seringkali disurakan oleh para petinggi TNI sampai hari ini. Lihat
Kusnanto Anggoro, “ Gagasan Militer Mengenai Demokrasi, Masyrakat Madani
dan Transisi di Indonesia,” dalam Rizal Sukma dan J. Kristiadi (penyuting)
Hubungan Sipil Militer dan Tanrsisi Demokrasi di Indonesia (Jakarta: CSIS, 1999).
hal. 10.
7
Alsan-alasan yang dikemukakan oleh Daniel S. Lev ini terlihat dalam penggulingan
Soekarno dan beberapa kali pemberontakan daerah yang melibatkan sejumlah
perwira TNI. Lihat Daniel S. Lev, Op cit, hal 7-8.
15
B. Posisi Militer dalam Sistem dan Masyarakat
Demokratis
16
Karena itu, demokrasi juga dapat digunakan sebagai alat
untuk melihat tingkat pencapaian masyarakat yang ideal.
Selanjutnya O’Donell mengatakan:
“(d)emokrasi ibarat suatu kunci untuk
memahami kelemahan dan ketegangan
intens sistem dominasi sekarang ini. Ia juga
merupakan suatu petunjuk tentang sangat
pentingnya apa yang masih tetap implisit
di belakang penampilan dangkal
masyarakat yang, dipihak lain, adalah
fokus setiap harapan untuk mencapai
legitimasi dan kendatipun demikian,
dipihak lain, merupakan suatu kotak
pandora yang tidak boleh dianggap enteng.”
11
17
Sementara Negara sebagai suatu organisasi sosial terbesar
dalam masyarakat mempunyai fungsi—sebagai kewajibannya;
melindungi masyarakat dari ancaman atau gangguan serta
menjamin hak-hak masyarakat. Oleh karena itu negara
sebagai organisasi yang besar diberikan wewenang oleh
masyarakatnya untuk menjalankan kewajiban tersebut.
Tujuan negara adalah berupaya mengkonsolidasikan tujuan
dan kepentingan bersama dikalangan masyarakat secara
umum.
18
menjadi minimal. Fungsi itu bisa dikatakan sebagai kewajiban
pokok dari sebuah institusi militer. Dengan demikian posisi
militer atau angkatan bersenjata merupakan sebuah institusi
yang sah atau lazim —jika memang disepakati— dalam
sebuah organisasi yang bernama negara, yang mempunyai
kewajiban berkaitan dengan perlindungan negara demi
memproteksi masyarakat dari ancaman fisik. Edward
Luttwak dalam hal ini mengatakan bahwa:
The goverment will not only be protected
by the professional defenses of the state—
the armed forces, the police, and the security
agencies—but it will also be supported by
a whole range of political forces. In a
sophisticated and democratic society these
will include political parties, sectional
interest, regional, ethnic, and religious
groupings. Their interaction—and mutual
opposition—results in a particular balance
of forces which the goverment in some way
represents.13
19
ditopang oleh kekuatan-kekuatan politik
secara luas. Dalam masyarakat demokratis
dan kompleks, kekuatan ini mencakup
partai politik, kelompok-kelompok
kepentingan, regional, etnis dan kelompok-
kelompok agama. Interaksi dari kekuatan
ini – dan oposisi yang berjalan –
menghasilkan sebuah perimbangan
kekuatan terhadap pemerintah)
1
14 Mayor Jenderal (Purnawirawan) Dr. Dietrich Genschel, Makalah berjudul “Tempat
dan Peran Militer Dalam Masyarakat Sipil Yang Demokratis. Pengalaman Reformasi
Militer Jerman” (Jakarta: Freidrich-Ebert-Stiftung, 2002).
20
2. Militer berada di bawah kepemimpinan politik
yang telah disahkan secara demokratis, dengan
jabatan menteri pertahanan dipegang oleh sipil.
21
8. Militer dikendalikan oleh parlemen,
kepemimpinan politik, kekuasaan kehakiman,
dan masyarakat sipil secara umum.
22
3. Pemerintahan sipil; dengan rantai komando (politik)
yang jelas. Presiden, Menteri Pertahanan dan
dengan menempatkan Kepala Pertahanan dibawah
Menteri Pertahanan – di Jerman mata rantai
Komando ini mulai dari Presiden ke Perdana
Menteri, dan seterusnya;
23
dan kemandirian dengan komitmen terhadap kebaikan
bersama (termasuk pertahanan), serta media yang
bebas dan beragam;
24
C. Reformasi dan Paradigma Baru TNI
25
Dalam ungkapan singkat, paradigma baru itu dirumuskan
dalam jargon , “tidak selalu harus di depan, tidak lagi menduduki
tapi mempengaruhi, tidak lagi mempengaruhi secara langsung, tetapi
tidak langsung, siap membagi peran dengan pihak sipil dalam
pengambilan keputusan penting dengan komponen bangsa yang lain.”
Jargon baru ini mengantikan jargon lama yang full-power
yaitu “TNI sebagai stabilisator dan dinamisator”.
16
Lihat “Ada Strategi Besar Pihak TNI untuk Menguasai Parlemen “.
Kompas 6 Januari 2004.
17
Mengenai TNI sebagai organisasi politik, lihat Amiruddin, “Dwifungsi ABRI:
Perspektif Sejarah dan Masa Depannya.” Dalam Diponegoro 74: Jurnal HAM dan
Demokrasi, YLBHI, III/07/1999. hal. 21-28.
26
Kedua, Jargon itu mengisyaratkan bahwa dalam merumuskan
paradigma barunya, TNI tetap sebagai kekuatan politik
utama. Hal itu terlihat pada kalimat “dalam mengambil
keputusan penting TNI siap berbagi peran dengan komponen bangsa
yang lain”. Dimasa Orba, TNI adalah institusi yang berperan
secara tunggal dalam mengambil dan membuat keputusan
penting. Dalam masa reformasi ini TNI siap berbagi dengan
pihak kedua yaitu komponen bangsa lain, yakni
pemerintahan sipil.
18
Kecendrungan konservatisme dalam paradigma baru TNI itu lihat Kusnanto,
dalam Rizal Sukma (Edit.), Op Cit, 13-17.
27
Sehingga paradigma baru itu terasa gamang dalam
mengambil sikap untuk berjarak dengan aktifitas politik
praktis. Hal ini terlihat dari kian diperkuatnya kekuasaan
teritorial saat ini, yang semula 10 Kodam setelah 1998
bertambah menjadi 12 Kodam.19 Semestinya kekuasaan
teritorial itu sudah dihilangkan sedari awal, sehingga
pembinaan wilayah menjadi tugas pemerintahan dalam
negeri dengan jajarannya. Disamping itu, terjadi pula
perluasan kewenangan eksesif militer kewilayah diluar
kewenangan utamanya seperti memasuki wilayah judicial
dengan ikut sertanya intelijen TNI dalam penanggulangan
dan pengungkapan terorisme, perluasan kekuasaan untuk
mengunakan kekuatan militer secara langsung dalam kondisi
darurat dan pemberian kewenangan menahan orang oleh
insitusi intelijen.
28
kemerdekaan, kedaulatan, integritas wilayah, serta segala apa
yang dipandang sebagai nilai-nilai nasional (national heritage).
Hal itu dinyatakan sebagai upaya mempertahankan
konstitusi.20
29
2000 yang menyatakan bahwa “peran sosial politik dalam
Dwi-fungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan
peran dan fungsi TNI dan POLRI yang berakibat tidak
berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat” diabaikan oleh institusi TNI
dalam merumuskan paradigma baru itu.
30
I. Konstitusi 1945 dan Ketetapan MPR
31
keinginan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, MPR-lah
yang menjadi wakil dari masyarakat itu dalam menciptakan
norma fundamental tersebut. Dalam pembenahan dan
koreksi atas sepak terjang politik militer dimasa lalu, MPR
telah melakukan amandemen terhadap peran dan fungsi
TNI. Disamping itu juga MPR telah mengeluarkan beberapa
ketetapan (TAP) untuk pembenahan itu.
25
Pasal 30 ini sebelum diamandement bunyinya adalah ayat 1, Tiap-tiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
Ayat 2. Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang.
32
3. Tentara Nasional Indonesia terdiri atas
Angkatan Darat, Angkatan Laut dan
Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas
mempertahankan, melindungi dan
memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
4. Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai alat negara yang menjaga keamanan
dan ketertiban masyarakat bertugas
melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum.
5. Susunan dan kedudukan Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, hubungan kewenangan Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia, syarat-syarat
keikutsertaan warganegara dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara, serta hal-
hal yang terkait dengan pertahanan dan
keamanan diatur dengan Undang-undang.
33
dan kedaulatan negara. Sedangkan POLRI adalah alat negara
yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat,
serta menegakkan hukum.
26
Pengunaan kekuatan militer dalam Darurat Militer di Aceh tidak pernah dengan
persetujuan DPR, melainkan atas inisiatif TNI sendiri. Begitu juga operasi-operasi
bersenjata lainnya di Papua. Begitu juga dengan pembentukan KODAM baru di
Aceh dan Maluku.
34
Pasal 19 RUU TNI yang hendak disampaikan pada DPR
pada tahun 2003.
35
militer dalam politik Indonesia. Kedua, ketidakmampuan
para anggota MPR untuk memaknai perubahan secara
substantif sehingga perubahan dalam teks tidak mampu
dijelmakan kedalam praktek politiknya. Ketiga, adanya
penolakan secara terus-menerus dalam rangka negosiasi
politik dengan kekuatan politik lama (ingat TNI memiliki
anggota di DPR) dalam memformulasikan struktur dan
kultur politik dimasa mendatang. Selama negosiasi ini
berlangsung, kepatuhan elit militer terhadap keputusan
politik yang dibuat oleh otoritas politik sipil akan selalu
menjadi masalah. Kepatuhan elit militer itu juga memerlukan
prasyarat adanya posisi yang jelas dari para elit politik sipil
dalam menempatkan militer dimasa datang dalam politik.27
Dalam konteks negosiasi ini, kita dapat merasakan seakan-
akan norma fundamental yang ada dalam konsitusi itu
terabaikan begitu saja.
Dalam konteks negosiasi yang terus-menerus itulah MPR
kemudian mengeluarkan pula TAP MPR Nomor VI/2000
tentang pemisahan institusi TNI dan Polri dan Tap MPR
Nomor VII/2003 tentang Peran TNI dan Polri. Bagaimana
negosiasi itu berlangsung bisa disimak dari isi Tap-tap
tersebut.
27
Mengenai negosiasi politik ini demi tatanan politik yang lebih demokratis peranan
militer menjadi sangat penting sebagai penguasa masa lalu lihat “
Negosiasi Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto “ dalam Op cit, Rizal Sukma
(peny), hlm.56.
36
Pada TAP MPR Nomor VI/2000, pada konsideran
Menimbang dinyatakan; “Bahwa salah satu tuntutan reformasi
dan tantangan masa depan adalah dilakukannya demokratisasi, maka
diperlukan reposisi dan restrukturisasi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia.”. Reposisi yang dimaksud adalah
pemisahan secara menyeluruh antara kewenangan TNI dan
POLRI sehingga secara kelembagaan terpisah sesuai dengan
peran dan fungsi masing-masing (Pasal 1). Bergabungnya
TNI dan POLRI dalam hemat MPR telah menciptakan;
“kerancuan dan tumpang tindih antara peran dan fungsi
Tentara Nasional Indonesia sebagai kekuatan pertahanan
negara dengan peran dan tugas kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai kekuatan keamanan ketertiban
masyarakat. Bahwa peran sosial politik dalam Dwi-fungsi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyebabkaan
terjadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi
dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat.”
37
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia.”
38
negeri dianggap tidak klop dengan UUD 1945. Maka dari
itu diperlukan pengubahan terhadap UU Anti Terorisme
itu karena kepolisian juga memiliki kemampuan terbatas.
Yudhoyono menegaskan:
“...aparat kepolisian terbatas dan harus
menghadapi masalah yang tersebar di
seluruh Indonesia. Pemisahan TNI dan
Polri dilakukan pada tahun 2000 melalui
Ketetapan MPR Nomor VI. Menurut
aturan itu, TNI adalah alat negara yang
berperan dalam pertahanan negara dan
Kepolisian RI adalah alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan.
Ketetapan itu juga mengatur, dalam hal
terdapat keterkaitan kegiatan keamanan
dan pertahanan, TNI dan Kepolisian RI
harus beker jasama dan saling
membantu”.28
28
lihat “Hadapi Terorisme, Pemerintah Ingin Peran TNI Diperbesar”, Koran Tempo,
15 Agustus 2003.
39
konsideran menimbang huruf d dinyatakan bahwa
“Diperlukan alat negara yang berperan utama menyelenggarakan
pertahanan negara berupa Tentara Nasional Indonesia. Dari
konsideran ini jelas bahwa yang sangat dibutuhkan itu adalah
militer profesional, seperti yang telah digariskan oleh MPR
dalam ketetapannya, TAP MPR Nomor VII/2000.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 1 ayat 3 menyatakan; Tentara
Nasional Indonesia wajib memiliki kemampuan dan keterampilan
secara profesional sesuai dengan peran dan fungsinya, akan tetapi
profesional yang tak terjabarkan secara baik oleh MPR
akhirnya dirasakan kesempitan bagi TNI, terutama AD.
Masalah lain yang tidak tuntas dari TAP MPR VI/2000 dan
TAP VII/2000 adalah bagaimana kontrol terhadap TNI
itu. Tap ini hanya menggariskan pada Pasal 3, ayat 4 huruf
a dengan menyatakan
Prajurit Tentara Nasional Indonesia
tunduk kepada kekuasaan peradilan
militer dalam hal pelanggaran hukum
militer dan tunduk kepada kekuasaan
peradilan umum dalam hal pelanggaran
hukum pidana umum. Ayat 4 huruf b.
Apabila kekuasaan peradilan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat 4.a.
diatas tidak berfungsi maka prajurit
40
Tentara Nasional Indonesia tunduk di
bawah kekuasaan peradilan yang diatur
dengan Undang-undang.
41
II. Sistim Peradilan HAM dan Akuntabilitas Militer
29
Uraian mengenai bentuk tindakan dari jenis pidana ini lihat Pasal 7 sampai
9, UU No.26/2000.
42
pembunuhan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa,
perampasan kemerdekaan, dan seterusnya mesti memenuhi
unsur utama kejahatannya (elements of crimes) yaitu sistematis
atau meluas berupa serangan yang ditujukan langsung kepada
masyarakat sipil. Serangan terhadap masyarakat sipil disini
dijelaskan sebagai suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan
terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan
penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan
organisasi.30 Melihat penjelasan itu maka bisa dikatakan
tindak pidana yang menjadi jurisdiksi pengadilan HAM ini
sangat berkaitan erat dengan penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power) oleh lembaga negara atau sebuah organisasi.
30
Lebih jauh lihat penjelasan Pasal 9, ibid.
43
Priok 1984, Lampung 1989 dan yang paling luar bisa adalah
pembunuhan dan penangkapan massal yang dilaksanakan
oleh aparatus negara baik sipil dan militer setelah peristiwa
G30S, 1965.31
31
mengenai peristiwa yang disebut dalam alinea ini Komnas HAM telah membentuk
Tim pengakjian dan penyelidikan projustisia. Dari semua tim itu telah dapat disimpulkan
bahwa pelangaran HAM dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan dimana TNI
dan atau Polri terlibat didalammnya.
32
Ann Seidman, Robert B. Seidman, Nalin Abeyeskere, Penyusunan Rancangan
Undang-undang Dalam Masyarakat Yang Demokratis : Sebuah Panduan Untuk
Pembuat Rancangan Undang-undang, edisi kedua, (Jakarta: Elips, 2002), hal 3.
44
Disamping itu, kehadiran UU tentang Pengadilan HAM ini
juga merupakan upaya untuk memutus mata rantai
impunitas (kejahatan tanpa hukuman). Bisa dikatakan
demikian karena sepanjang ORBA berkuasa seluruh
tindakan brutal yang menelan banyak korban jiwa, mental
maupun fisik itu dianggap suatu tindakan yang sah atas nama
“keamanan nasional”. Pembiaran dan menganggap seluruh
tindakan itu adalah sah tanpa perlu dimintakan
pertanggungjawaban itulah yang disebut sebagai pratek
impunitas. Ketidakmungkinan untuk menjalankan proses
penghukuman ini telah dirumuskan secara jelas oleh Louis
Joinet, Pelapor khusus PBB untuk urusan Impunity/
impunitas. Dalam laporan akhirnya ke Sub Commission on the
Prevention of discrimination and protection of Minorities,
Perserikatan Bangsa Bangsa, tahun 1997, ia menyatakan
impunitas sebagai
“the impossibillity, de jure or de facto, of
bringing the prepetrators of human rights
violations to account—whether in criminal,
civil, administrative or disciplinary
proceedings—since they are not subject to
any inquiry that might lead to their being
accused, arrested, tried and, if found guilty,
convicted, and to reparations being made
to their victims.”33
33
Louis Joinet dalam Usman Hamid, “The Great Wall Of Impunity”, fact sheet
untuk Konferensi Internasional INFID di Yogyakarta.
45
Senada dengan itu juga diyatakan oleh Victor Conde,
seorang pengacara hak asasi manusia di Amerika dalam
ungkapan,
“...the factual or legal exemption or freedom
any punishment, loss, or harm to those who
have committed human rights violations,
usually resulting from a goverments refusal
or failure to take legal or other enforcement
action against the violators—or by an state
officially forgives such offenses. Impunity is
highly disfavored in international human
rights law...”34
46
and forced disappearences (here and after
“serious Crime).35
35
Brussels Group for International Justice, Following on From the the Colloquium
“the fight Against Impunity: Stakes and Perspectives” (Brussels, March 11-13
2002)”, Brussels Principles Against Impunity and for Internasional Justice”.
47
Penolakan itu kemudian diperkukuh pula oleh adanya
pernyataan DPR-RI bahwa tidak terjadi pelanggaran berat
HAM dalam peristiwa tersebut.
48
Dalam situasi seperti itu akhirnya UU 26/2000 yang
ditujukan sebagai upaya pencegahan keberulangan ternyata
tidak mampu berjalan secara signifikan. Alhasil bentuk dan
pola pelanggaran berat HAM itu terjadi terus setelah UU
itu diberlakukan.36 Keberulangan itu terus terjadi disebabkan
oleh masih digunakannya mekanisme Peradilan Militer
sebagaimana yang diatur dalam UU 31/1997 tentang
Peradilan Militer yang memiliki jurisdiksi sangat luas
terhadap seluruh tindakan aparat militer. Undang-undang
ini menggunakan cara identifikasi subyek. Jika yang
melakukan adalah anggota TNI maka akan diproses melalui
mahkamah militer tanpa memperhatikan delik-nya. Dengan
sendirinya peristiwa pelanggaran HAM yang semestinya
diperiksa oleh penyelidik dan penyidik secara khusus
akhirnya tetap ditangani secara internal oleh TNI. Dalam
kondisi inilah mekanisme pertanggungjawaban yang
termaktub dalam UU N0.26/2000 tentang Pengadilan
HAM menjadi ‘macet’.
36
Lihat lampiran 1.
49
dinyatakan terbukti secara sah melakukan kejahatan
pembunuhan itu dinyatakan sebagai pahlawan oleh KSAD,
Ryamizard Ryacudu, yang hadir dalam pembacaan putusan
oleh Majelis Hakim di Mahkamah Militer Surabaya.37 Begitu
juga yang terjadi dengan peristiwa penculikan terhadap
penduduk Desa Toyado, Poso, Sulawesi Tengah. Meskipun
Komnas HAM telah mendapat laporannya dan datang
langsung ke Poso beberapa saat setelah peristiwa itu, akan
tetapi mekanisme peradilan militer-lah yang ditempuh untuk
mereka yang menjadi tersangka di Makamah Militer di
Manado.38
50
kemanusiaan. Contoh terbaik dari kekurangan koneksitas
itu bisa dilihat pada proses peradilan atas penyerbuan dan
pembunuhan Teungku Bantaqiyah beserta para santrinya,
di Beutong Ateuh oleh pasukan Kostrad yang di BKO-kan
ke Kodam I Bukit Barisan. Pengadilan koneksitas dalam
peristiwa Bantaqiah ini juga gagal secara signifikan
menghadirkan terdakwa utama, yaitu Letkol Soejono yang
kala itu menjabat sebagai Kasi intel Kodam I Bukit Barisan,
yang memimpin dan memerintahkan peryerbuan itu.39
39
Baca Dyah Rahmany P, Matinya Bantaqiah, Menguak Tragedi Beutong Ateuh,
Cordova, Banda Aceh, 2001.
51
III. Buku Putih Pertahanan dan UU Pertahanan
Negara
40
Lihat Dephan, Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21, Dephan, Jakarta,
2003.
52
Bentuk-bentuk ancaman terhadap pertahanan Indonesia
dalam buku putih disebutkan sebagai berikut; terorisme
internasional, gerakan separatisme bersenjata, aksi radikalisme
berlatar primodialisme seperti agama, suku dan etnis serta ideologi
selain Pancasila baik berdiri sendiri maupun yang berkaitan
dengan pihak luar, konflik komunal yang dapat berkembang
jadi konflik berdasarkan agama, suku dan etnis, kejahatan
lintas negara seperti narkoba, penyelundupan bahan peledak
dan perdagangan manusia, pencucian uang serta bentuk
kejahatan terorganisir lainnya seperti migran gelap,
gangguan udara dan pembajakan pesawat, gangguan
keamanan laut seperti pembajakan dan perompakan,
pengrusakan lingkungan dan pembuangan limbah
berbahaya serta bencana alam dan dampaknya.
Jika dibandingkan ancaman yang ada dalam Buku
Pertahanan ini dengan ancaman yang dirumuskan oleh
Menteri Hankam LB Moerdani pada tahun 1991, maka
terlihat jelas tidak adanya perubahan yang signifikan dalam
melihat perkembangan. Tahun 1991 Dephankam
menumuskan ancaman terhadap Indonesia itu ada dua yaitu
ancaman agresi bersenjata dari luar yang tak dapat diabaikan dan
kedua, ancaman dari dalam negeri. Ancaman dari dalam negeri
itu diantaranya kerusuhan sebagai akibat dari kesenjangan
sosial-ekonomi, kerusuhan akibat adanya konflik politik yang
ditimbulkan oleh golongan tertentu karena aspirasinya tidak
mendapat saluran, separatisme
53
bersenjata dan pemberontakan bersenjata yang berkehendak
mengubah ideologi negara.41
Dalam buku putih pertahanan, TNI disebut sebagai tentara
rakyat, maka harus selalu dekat dengan rakyat. TNI harus
mengenal dan hidup bersama rakyat. Oleh karena itu
memisahkan TNI dari rakyat merupakan pengingkaran akan
kodrat TNI sebagai tentara yang berasal dari rakyat, berjuang
bersama rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Dan dalam
kalimat terakhir tertulis bahwa fungsi teritorial yang
dilakukan TNI untuk tetap memelihara kedekatan dengan
rakyat dan teritorialnya.
41
Lihat Dephankam, Doktrin Pertahanan Keamanan Negara, Jakarta, 5 Oktober 1991.
54
yang semestinya dikelola dalam sisitem sosial politik yang
demokratik, malah diupayakan untuk ditekan sedemikian
rupa, dan jika perlu mengunakan kekuatan bersenjata.
Disamping itu ideologi masih tetap dianggap sebagai
ancaman bukan sebagai tantangan dalam mencari perbaikan
dan perubahan secara signifikan pada tata kehidupan
berbangsa dan bernegara, serta pengelolaan politik yang
demokratis. Arti kata masyarakat Indonesia dalam memasuki
abad 21 masih ditabukan untuk mengerti dan memiliki
ideologi, kecuali ideologi tunggal negara. Dengan sendirinya
rumusan ancaman itu akan melibatkan Tentara Nasional
Indonesia untuk terlibat dalam mengur us dan
menyelesaikannya.
55
dan melepaskannya dari cengkeraman politik militer menjadi
tersendat, bahkan cenderung tak bergeming. Sehingga
semangat yang dibawa oleh proses demokratisasi yang
hendak menjadikan TNI sebagai miiter profesional yang
tidak mencampuri politik dan tunduk pada keputusan politik
parlemen menjadi sia-sia, karena kultur dan watak Mabes
TNI tidak mengalami perubahan dalam melihat seluruh
dinamika masyarakat Indonesia. TNI tetap pada posisi
lamanya yang selalu merasa sebagai pihak yang paling benar
dan paling utama dalam mengelola masyarakat.
56
dan malah pengawasan terhadap TNI justru dijadikan
bancakan politik untuk memperoleh dukungan politik dari
kalangan TNI. Kelangsungan kekuasaan politik dari partai
politik tidak diukur pada seberapa jauh konstituen dan
masyarakat memberi dukungan kepada partai politik, akan
tetapi justru yang menjadi faktor utama yang
dipertimbangkan adalah seberapa jauh dukungan politik
militer kepada partai politik itu.
57
dalam menghadapi terorisme. Seolah-olah persoalan
terorisme hanyalah masalah ancaman bersenjata semata dan
TNI bisa mengatasinya secara menyeluruh. Dalam konteks
ini TNI akan menjelma menjadi kekuatan yang sama dengan
kekuasan projusticia yang lain yang diemban oleh kejaksaaan
dan kepolisian. Rendahnya kapasitas DPR kembali memberi
ruang bagi TNI untuk bertindak seperti masa lalu, yaitu
membiarkan TNI menjadi kekuatan bersenjata, kekuatan
politik pada dirinya dan sekaligus penegak hukum.
58
besar laut dengan garis pantai yang begitu panjang sudah saatnya
pertahanan dengan kekuatan angkatan laut yang diperbesar.
Melihat itu, struktur teritorial mulai dari Kodam hingga Babinsa
menjadi tidak relevan lagi, kecuali pada saat ini musuh atau
ancaman tetap dipahami ada dari dalam sebagaimana buku putih
merumuskannya.
42
Lihat Atmadji Soemarkidjo dalam Rifqie Muna (Peny) Komando Teritorial TNI: latar
Belakang Sejarah, dalam Likuidasi Komando Teritorial dan Pertahanan Nasional, (Jakarta:
The Ridep Institute, 2002).
59
tersebut berkesimpulan bahwa tentara
tidak mungkin memenangkan suatu
peperangan modern tanpa dukungan
dari rakyat. Ini yang menjadi dasar dari
dipakainya doktrin Perang Teritorial
pada tahun 1960 yang kemudian tidak
saja menjadi doktrin TNI AD tetapi
juga menjadi doktrin peperangan
semesta berkat usaha meyakinkan
semua pihak bahwa ini adalah satu-
satunya cara Indonesia untuk
mempertahankan diri dari ancaman
luar negeri. (Guy J. Paulker, 1963).
60
dengan TNI, menyebabkan pihak TNI bertindak lebih
cepat. Sejalan dengan pengembangan doktrin-doktrin
tersebut, aparat teritorial disempurnakan lagi, dan
disesuaikan dengan organisasi pemerintahan sipil terbaru.
Jadi, dibawah Kodim, Korem, dan Kodim dibentuk
Komando Rayon Militer yang berada di tingkat kecamatan.
Sementara aparat militer terbawah adalah Bintara pembina
Desa atau Babinsa. Bintara ini yang berada pada tingkat
Kelurahan memang tidak mempunyai aparat, dia bekerja
sendiri di tengah rakyat dengan tugas utamanya justru
melakukan pembinaan masyarakat secara terus-menerus
dan melaporkan setiap perkembangan ke Koramil sebagai
organisasi teritorial tentara yang paling bawah.
61
singkatan CADEK. Dalam CADEK (Mabes ABRI, 1988)
dikatakan
“hakekat sospol ABRI adalah jiwa,
tekad dan semangat pengabdian ABRI
sebagai kekuatan sospol untuk secara
aktif berperan serta bersama-sama
dengan segenap kekuatan sosial lainnya,
memikul tugas dan tanggung jawab
perjuangan bangsa Indonesia dalam
mengisi kemerdekaan dan
kedaulatan...” .
43
43
Dephankam, Doktrin Pertahanan Keamanan Negara, Op.Cit, hal 25.
62
Secara kultural, oleh karenanya, sistem
hanrata cenderung konservatif dan
menutup diri terhadap kemungkinan
perubahan.44
63
pengembangan struktur Koter tidak mencerminkan
kebutuhan pertahanan negara kepulauan yang harus
ditopang oleh suatu integrated armed-forces 48. Kelima,
pengembangan struktur Koter mengharuskan TNI untuk
menjadi aktor tunggal pertahanan-keamanan yang harus
dapat menangkal semua jenis ancaman49.
48
Penyebaran Kodam di 13 propinsi hanya ditopang oleh 2 komando AL dan AU yang
terpusat di segitiga Jakarta-Surabaya-Makassar. Masalahnya adalah
pertama, dua komando terpusat AL dan AU tidak memiliki kemampuan mobilitas tinggi
sehingga akan menyulitkan penerapan strategi rapid deployment yang menjadi strategi
andalan pasukan khusus. Kedua, rendahnya dukungan AL dan AU ini juga menyulitkan
operasionalisasi sistem integrated logistic support yang diperlukan dalam operasi
militer gabungan. Ketiga pola pertahanan koter hanya akan relevan jika musuh memiliki
niat untuk melakukan operasi invasi darat. Jika musuh hanya “numpang lewat” dan
bertujuan untuk menguasai jalur laut, seluruh strategi Koter menjadi sia-sia.
49
Kajian-kajian terbaru dalam bidang strategi keamanan nasional dan internasional
memang menunjukkan adanya perluasan konsep keamanaan (security) yang diletakkan
sebagai konsep multidimensional. Sifat multidimensional konsep keamanan ini
mengharuskan negara untuk mengembangkan strategi keamanan komprehensif untuk
menangkal berbagai bentuk ancaman seperti ancaman militer-nonmiliter, eksternal-
internal, maritime-based atau land-based, technological-based atau human-based,
serta konvensional non-konvensional.
64
konservatisme dan nasionalisme sempit menjadi wacana yang
paling tepat dikembangkan oleh TNI untuk
mempertahankan kedudukannya.
65
Undang-undang Nomor 3/2003 juga tidak mengatur
penarikan diri TNI dari tengah masyarakat (penghapusan
teritorialisme). Perhatikan Pasal 1 dari ayat 7-11,
Komponen pendukung adalah sumber
daya nasional yang dapat digunakan
untuk meningkatkan kekuatan dan
kemampuan komponen utama dan
komponen cadangan. Sumber daya
nasional adalah sumber daya manusia,
sumber daya alam, dan sumber daya
buatan. sumber daya alam adalah
potensi yang terkandung dalam bumi,
air dan dirgantara yang dalam wujud
asalnya dapat didayagunakan untuk
kepentingan pertahanan negara.
Sumber daya buatan adalah sumber
daya alam yang telah ditingkatkan daya
gunanya untuk kepentingan pertahanan
negara. Sarana dan prasarana nasional
adalah hasil budi daya, manusia yang
dapat digunakan sebagai alat penunjang
untuk
Dr. Ninok Laksono, Permasalahan Teknologi Pertahanan Relevan, dalam Sistem Pertahanan-Keamanan
50
Negara, Analisis Potensi dan Problem, The Habibie Center, Jakarta, 2001. hal 264.
66
kepentingan pertahanan negara dalam
rangka mendukung kepentingan
nasional.. Pasal 7, sistem pertahanan
negara dalam menghadapi ancaman
militer menempatkan TNI sebagai
komponen utama dengan didukung oleh
komponen cadangan dan komponen
pendukung.
67
Karena barang publik tersebut mempunyai kekhasan yaitu
sebagai alat kekerasan, maka dalam penggunaannya, harus
dihindari atau dijaga jangan sampai ada penggunaan
kekerasan, termasuk pembatasan hak-hak masyarakat sipil.
Oleh karena itu perlu adanya suatu sistem pengawasan dan
pengendalian yang efektif agar penggunaan kekuatan
tersebut tidak menimbulkan penyalahgunaan dan ekses-
ekses yang mengakibatkan Public goods menjadi public bads.
68
sesuai dengan yang dibutuhkan atau
yang dihendaki masyarakat banyak.
Misalnya lebih mendahulukan program
peluru kendali dari program
peningkatan produksi pangan. Atau
program polisi rahasia yang efisien dari
pada polisi penegakkan hukum.52
51
DR. Budiono, Aspek Pembiayaan dari Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara
dalam Sistem Pertahanan-Keamanan Negara, Analisis Potensi dan Problem, The
Habibie Center, Jakarta, 2001. hal 301
52
Ibid, hal. 302
69
kolektif, yaitu APBN, yang transparan
dan terbuka bagi semua program yang
menyangkut penyediaan barang
publik.53
53
ibid, hal 305.
70
pimpinan TNI kepada fungsi
pertahanan54.
Laksamana Madya (Purn) I Gede Artjana dari
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
menyebutkan :
71
masing dengan satu unit usaha. TNI
AL memiliki Yayasan Bhumiyamca
(Yasbum) yang menjalankan 32 unit
usaha. Dan, TNI AU menjalankan
Yayasan Adhi Upaya (Yasau) dengan
10 unit usaha.” 55
55
Ibid
56
Danang Widoyoko, dkk, Bisnis Militer Mencari Legitimasi, (Jakarta: ICW, November
2002).
72
sehubungan peran nontempur (bisnis) tersebut sehingga
membuat enggan mereka untuk melepaskannya. Ketiga,
angkatan bersenjata terlibat terlampau jauh (deep) dalam misi
nontempur itu sehingga mengabaikan misi utamanya, yakni
pertahanan.57
57
Dalam Mohammad Samsul Arifin, Akhir Keemasan Bisnis Militer, Pikiran Rakyat, 4
Januari 2003.
73
Sedangkan contoh lain tidak diindahkanya UU secara baik
itu adalah pemberlakuan darurat militer di Aceh yang
berkepanjangan dan operasi militer di Aceh yang tak
berdasarkan pertimbangan keperluan dan kebutuhan yang
pasti oleh DPR.
74
D. PENUTUP
Selain itu juga, dapat disimpulkan bahwa militer saat ini tidak
menyumbang secara signifikan terhadap konsolidasi
demokrasi di Indonesia. Hal ini terjadi karena militer tidak
mau dikoreksi disatu sisi dan lemahnya posisi politik elit
sipil yang berkuasa, baik di parlemen maupun eksekutif, di
hadapan TNI. Oleh karena itu sebagai kekuatan politik dari
rezim lama, TNI tetap menjalankan watak otoriteriannya
dengan pola terror, intimidasi, kekerasan atau pengintaian
untuk menundukkan kekuatan politik lain atau massa rakyat.
75
ketetapan, yakni TAP MPR Nomor VI tahun 2000 tentang
Pemisahan Institusi TNI dan Polri, dan TAP MPR Nomor
VII tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri. Pada tahun
2002 pemerintah mengeluarkan UU Nomor 3 tahun 2002
tentang Pertahanan Negara serta turunannya berupa Buku
Putih Pertahanan Indonesia, yang dikeluarkan Departemen
Pertahanan pada tahun 2003. Namun perubahan ditingkat
Undang Undang itu tidak membawa dampak pada
perubahan prilaku. Hal itu terlihat dari masih menguatnya
kekuasaan teritorial TNI dengan penambahan Kodam dan
Korem. Termasuk juga, masih ikutsertanya TNI dalam
mengontrol gerakan politik massa rakyat, penggunaan dana
off budget tanpa mekanisme transparansi dan akuntabilitas
publik melalui sumber-sumber bisnis militer, serta masih
kentalnya intervensi politik militer terhadap kehidupan
peradilan dalam proses penegakan hukum.
76
dalam negara demokratis. Misalnya dalam UU Nomor 3
tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, posisi Panglima
TNI berada langsung dibawah Presiden. Berarti sejajar
dengan Menteri Pertahanan. Padahal idealnya, TNI
berkewajiban menjalankan sejumlah perencanaan yang
diprogramkan oleh Departemen Pertahanan.
77
Rekomendasi:
78
kekuasaan untuk kembali berpolitik, menindas dan
korup. Dalam hal ini sangat diperlukan adanya
pembongkaran sejarah secara resmi terhadap segala
bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan
kekuasaan terhadap institusi militer di masa lalu.
79
Daftar Pustaka
Buku
80
Maria Farida Indrati Soeprapto, SH, MH, Ilmu Perundang-
Undangan, dasar-dasar dan pembentukannya, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1998)
81
Victor Conde, A Handbook Of International Human Rights
Terminology, (USA: University of Nebraska Press, 1999).
Makalah/Jurnal
Berita Media
Kompas, 6 Januari 2004.Ada Strategi Besar Pihak TNI untuk
Menguasai Parlemen.
Republika, 24 April 2003,KSAD Anggap Pembunuh Theys Pahlawan.
Koran Tempo, 5 Agustus 2003, Berkas 14 Anggota TNI Tersangka
Penculikan Dikembalikan.
Koran Tempo, 15 Agustus 2003, Hadapi Terorisme, Pemerintah Ingin
Peran TNI Diperbesar.
.
Peraturan Perundang-undangan
Lampiran 1
87
Tengku Pembantaian seorang Ulama; 23 Juli 1999 di Kasus ini dibawah ke Pengadilan
Bantaqiyah Tengku Bantaqiyah dan puluhan Beutong Ateuh, Koneksitas. Di PN Aceh. Karena
(Koneksitas) murid laki-laki di pondok Aceh. menyedot perhatian masyarakat,
pesantrennya. PN selama 12 kali persidangan
“tuduhan” terhadap Bantaqiyah; dijaga oleh 1000 personil militer.
berdasarkan laporan Intellijen Juni Terdakwa dalam kasus ini sebanyak
1999: orang2 bantaqiyah telah 25 orang, termasuk 1 org sipil.
membunuh 9 serdadu RI (2 Polri dan Tetapi dari 25 org ini tidak
7 TNI) menjelang Pemilu 1999, 6 termasuk org yg paling
hari kemudian membunuh 14 bertanggung jawab yaitu Kolonel
serdadu TNI-AD. Bantaqiyah Sudjono (Pengawas operasi
terlibat aliran sesat. Menanam dan lapangan), padahal ia merupakan
memper-dagangkan Ganja. tersangka utama. Putusan yg
Bantaqiyah pernah di hukum 20 diberikan PN Aceh; 8 tahun
tahun penjara. Dalam aksi penjara terhadap 11 org. 9 tahun
pembantaian tersebut diawali terhadap 13 org dan 1 org dihukum
dengan kontak senjata selama 10 selama 10 tahun.
menit.kemudian setelah itu serdadu
Penculikan RI menemukan sejumlah senjata dan Peristiwa ini Kasus ini pernah dila-porkan
dan alat komunikasi. terjadi saat sahur ke Komnas HAM saat angg.
penghilangan pada bulan puasa Komnas HAM ke Poso, tapi
orang di Penculikan terhadap warga/ tahun 2001, di tidak mendapat tanggapan.
Toyado, pengungsi di desa Toyado, Poso oleh Poso Sulteng. Saat ini kasus penculikan ini
Poso, aparat TNI 711 yang datang dengan sedang ditangani oleh
Sulteng Truk. Persitiwa ini terjadi saat makan Detasemen Polmil Wirabuana
sahur bulan puasa tahun 2001. 8 orang VII/2 Palu, setelah sempat
korban dibawa oleh aparat TNI saat dikembalikan oleh Odmil III-
itu juga dengan Truk. Belakangan 7 Manado karean berkas 14
diketahui bahwa 2 org berhasil angg. TNI tersebut dinilai
menyelamatkan diri. Mereka juga kurang lengkap. Sanksi yang
sempat diserahkan ke komunitas yang diberikan hanya sanksi
beda agama lainnya yg sedang konflik administratif ber upa
dengan mereka. 3 orang meninggal pemecatan
dunia. Sisanya masih hilang sampai
saat ini. Karena ketahui kemudian
27 Juli 27 Juli 1996 di bahwa banyak kalangan sipil
(Koneksitas) jalan Dipone- yg jug a terlibat, maka di
Penyerangan sejumlah aparat militer goro Jkt. Tepat (di pilihan pengadilan Konek-
yg di “Sipil”kan dan mengatas Depan) Kan-tor sitas sbg cara “penyele-
namakan massa PDI pro Soerjadi, ke DPP PDI. saiannya”. Saat ini yg sudah
massa PDI pro Mega yg menguasai masuk Pengadilan 3 berkas. 2
kantor DPP PDI di jalan diponegoro berkas dgn tsangka sipil
jkt. sebanyak 3 org. 1 berkas
Perseteruan terjadi karena Pro Mega dengan tersangka militer. Di
merupakan pihak yg tidak direstui tingkat sipil tertinggi soerjadi
oleh pemerintah Orde Baru. (Ketum PDI versi Orba) dan
Terpilihnya Mega menjadi Ketum ditingkat militer tertinggi
PDI tentu mengkha-watirkan posisi Sutiyoso (saat itu sebagai
Orde Baru. Sejumlah petinggi militer Pangdam Jaya) saat ini sbg
terlibat dalam penggulingan dan Gubernur.
perebutan PDI melalui penyerangan
fisik pd 27/7/96.
88
Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi
Indonesia
Pembunhan Theys Eluay disiksa hingga Tewas, Dilakuakn pada 10 Oleh Mahmil III/12 Sby, pada
Theys sebelumnya sempat hilang November 2001, 21/4 empat diantaranya
Eluay, beberapa hari. Diketahui setelah Theys (Letkol Hartomo, Mayor
Papua. kemudian sejumlah tindakan Eluay selesai Donny Hutabarat, Lettu Agus
tersebut dilakukan oleh 7 orang mengha-diri acara Supriyanto, Praka Achmad
ang gota Kopassus terhadap peri-ngatan hari Zulfahmi) divonis 3,6 tahun
Theys. Pah-lawan di dan dipecat dari kesatuannya.
Markas Satgas Mereka, oleh majelis hakim,
Tribuana X di dinyatakan terbukti melaku-kan
Gunung Hamadi penganiayaan yg menyebabkan
Jayapura. kematian thdp Theys. Yg
menarik setelah putusan
tersebut, KSAD sdr Ryamizard
Ryacudu, menya-takan para
prajurit tersebut sbg pahlawan
karena yg dibunuh adalah
PEMBE-RONTAK.
Ketiganya disidangkan secara
Kasus Pemerkosaan terhadap 4 Peristiwa ini terpisah di Mahmil I-01
pemerkosaan perempuan, warga desa Alue dilakukan saat Banda Aceh. Pengadilan ini di
DI Aceh Lhok, Aceh oleh tiga orang pemberlakuan gelar di kota Lhokseumawe.
anggota TNI dari Yonif 411/ Darurat Militer Atas ketiga anggota tersebut
Pandawa Salatiga, AD. Pada antara di Aceh berda- telah diputuskan bersalah
waktu 20-22 Juni 2003. keberadaan sarkan Keppres pada 19/7 oleh Mahmil I-01.
anggota TNI tersebut saat sedang 28 tahun 2003. majelis hakim memutuskan
menjalankan operasi pengenda- bagi Praka Seprianus Lau
pan di desa tempat korban tinggal. Webang diganjar 3 th 6 bulan
penjara dan dipecat. Pratu
Husni Dwila 3 th penjara dan
dipecat. Pratu Awaludin 2 th
6 bulan dan dipecat.
89
Lampiran 2
Data Komando Teritorial Angkatan Darat di Indonesia (2002)
Diambil dari Andi Widjojanto dalam Destrukturisasi Komando
Teritorial, dalam buku Komando Teritorial TNI: Latar Belakang
Sejarah, dalam Likuidasi Komando Teritorial dan Pertahanan Nasional,
(Jakarta: The Ridep Institute, 2002)
B. B.
KODAM KOREM KODIM B. B. B.
Pertahanan Zeni
Infanteri Kaveleri Artileri
Udara Tempur
I
Bukit 6 35 12 1 1 2* 1
Barisan
II
Sriwijaya 4 21 5 1 1 1 1
III
Siliwangi 4 21 6 1 1 2 1
IV
Diponegoro 4 36 7 1 1 1 1
V
Brawijiaya 4 33 6 1 1 1 1
VI
Tanjungpura 4 30 9 - 1 2* 1
VII
Wirabuana 5 35 7 1 1 1 1
VIII
Trikora 4 14 6 - - - 1
IX 4 39 5 - - - 1
Udayana
X n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a
Pattimura
XI
Iskandar n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a
Muda
Jaya 2 7 3 2 1 2* 1
Total 41 271 66 8 8 8 10
Keterangan :
n.a : tidak ada data
*: memiliki detasemen pertahanan anti rudal
90
Lampiran 3
Sumber : http://www.bps.go.id/sector/population/
91
Lampiran 4
Data Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI
diwilayah (KODAM) seluruh Indonesia
1998-2003
A. 1998
Iskandar 19
533 353 256
Muda
Kodam II/ -
- 49 4
Sriwijaya
KodamIII/ -
- - 57
Siliwangi
Kodam VI/ -
- 31 1
Tanjung Pura
Kodam VIII/ -
- 63 14
Trikora
Kodam Jaya -
- 123 5
92
Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi
Indonesia
C. 2000
Iskandar 22
38 88 61
Muda
Kodam II/ -
11 - -
Sriwijaya
Kodam VII/ 1
4 5
Wirabuana
Kodam VIII/ 1
47 88 50
Trikora
Kodam Jaya -
1 - -
D. 2001
Iskandar 32
206 151 167
Muda
-
Kodam VII/ 1
- - -
Wirabuana
Kodam VIII/ 4
- - -
Trikora
93
E. 2002
KODAM Penahanan Penyiksaan Penghilangan Pembunuhan
Iskandar 69
429 846 502
Muda
Kodam VII/ -
2 14 5
Wirabuana
Kodam VIII/ -
3 53 22
Trikora
F. 2003
KODAM Penahanan Penyiksaan Penghilangan Pembunuhan
Iskandar 16
49 74 112
Muda
94
Profil KONTRAS
96
Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani
masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa
tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani
berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal
di Aceh, Papua dan Timot-Timur maupun secara horizontal
seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya,
ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan
banyak berpartisipasi dalam membongkar praktik kekerasan
dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari
penyalahgunaan kekuasaan.
97
kelompok-kelompok sosial serta antar strata sosial yang
mengedepankan kekerasan dan simbol-simbolnya.
Visi
Terwujudnya demokrasi yang berbasis pada keutuhan
kedaulatan rakyat melalui landasan dan prinsip rakyat yang
bebas dari ketakutan, penindasan, kekerasan dan berbagai
bentuk pelanggaran hak asasi manusia atas alasan apapun,
termasuk yang berbasis gender.
Misi
a. Memajukan kesadaran rakyat akan pentingnya
penghargaan hak asasi manusia, khususnya kepekaan
terhadap berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran
berat hak asasi manusia sebagai akibat dari
penyalahgunaan kekuasaan negara.
b. Memperjuangkan keadilan dan pertanggungjawaban
negara atas berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran
berat hak asasi manusia melalui berbagai upaya advokasi
menuntut pertanggungjawaban negara.
c. Mendorong secara konsisten perubahan pada sistem
hukum dan politik, yang berdimensi penguatan dan
perlindungan rakyat dari bentuk-bentuk kekerasan dan
pelanggaran hak asasi manusia.
98
Nilai-nilai Dasar
Sebagai organisasi, KontraS berusaha memegang prinsip-
prinsip non-partisan dan non-profit, demokrasi, anti
kekerasan dan diskriminasi, keadilan dan kesetaraan gender,
dan keadilan sosial.
99
3. Rehabilitasi
Rehabilitasi korban meliputi upaya pemulihan secara
fisik maupun psikis dari akibat-akibat yang ditimbulkan
oleh tindak kekerasan negara dan bentuk-bentuk
pelanggaran hak asasi manusia lainnya, mutlak
diperlukan dalam melakukan advokasi yang lebih luas.
Dalam kerangka ini, pengikutsertaan korban dan
keluarga korban sebanyak mungkin dalam proses
advokasi adalah konsekuensinya. Sehingga metode
pengorganisasian korban dan keluarga korban untuk
turut serta dalam upaya advokasi juga ditujukan untuk
melakukan usaha penyadaran dan penguatan elemen
masyarakat secara lebih luas.
100
yang sejelas-jelasnya sebagai syarat mutlak adanya
rekonsiliasi. Oleh karena itu KontraS dituntut untuk
tur ut serta melakukan upaya-upaya nyata dan
mendorong segala usaha yang mengusahakan
terciptanya sebuah rekonsiliasi dan perdamaian yang
lebih nyata sebagai langkah penyelesaian berbagai
persoalan HAM di masa lalu dan pertikaian massal
secara horisontal di berbagai daerah.
101
segala bentuk pelanggaran HAM yang pernah
terjadi dan mengedepankannya di dalam wacana
publik untuk dipersoalkan sebagai upaya
membangun kesadaran akan pentingnya
pengormatan terhadap HAM. Secara prinsip,
problem HAM juga harus dipersoalkan sebagai hal
mendasar yang harus dipertimbangkan pada setiap
pengambilan kebijakan oleh negara maupun setiap
usaha yang dilakukan demi membangun kehidupan
bermasyarakat dalam dimensinya yang luas. Untuk
itu, KontraS melakukan pemantauan dan pengkajian
yang serius terhadap segala hal menyangkut
penegakan HAM di Indonesia.
Badan Pekerja
Usman Hamid, Koordinator, Edwin Partogi, Ka. Bidang
Operasional, Sri Suparyati, Ka. Bidang Internal,
Bidang Operasional; Indria Fernida Alpha Sonny, Nining
Nurhaya, Abusaid Pelu, Victor da Costa, Sinung
Karto, Haris Azhar, Muhammad Harits, Papang
Hidayat, Helmi Apti, Muhammad Islah.
Bidang Internal;, Nur’ain, Bobby, Hardini, Guan Lee,
Agus Suparman, Rohman dan Heri.
102