Vous êtes sur la page 1sur 100

Politik Militer

Dalam
Transisi Demokrasi Indonesia

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan


KontraS
2003
Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia
Catatan KontraS Paska Perubahan Rezim 1998

Penulis & Editor : Tim KontraS

Cetakan Pertama, 2005


Desain Sampul : Republik Design

Penerbit :
KontraS
Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia
Phone: 62-21-3926983, 62-213928564 F: 62-21-3926821
Email: beritakontras@yahoo.com
Website: www.kontras.org

ISBN 979-98225-3-X

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang


Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi
Indonesia

Sekapur Sirih
Tulisan dalam buku ini merupakan laporan yang diteliti dan
ditulis oleh Haris Azhar, Koordinator Divisi Kajian KontraS.
Laporan ini merupakan hasil kajian bersama di KontraS,
yang selanjutnya disusun berdasarkan bahan-bahan laporan
hak asasi manusia hasil investigasi kontraS, laporan/
pengaduan korban atau jaringan di daerah-daerah dan
dokumentasi media sejak 1998 sampai dengan 2003 dan
studi literatur penulis sejak September hingga Oktober
2003. Laporan ini selanjutnya diedit oleh Amirudin,
Koordinator Program Elsam dan Usman Hamid, Koordinator
Badan Pekerja KontraS.

Penulisan laporan ini ditujukan kepada para pengambil


kebijakan di badan legislatif dan eksekutif negara, baik
periode saat ini maupun yang akan datang. Dengan harapan,
menjadi bahan masukan dalam proses pengambilan
kebijakan politik, terutama berkenaan dengan reformasi
kelembagaan di tubuh TNI. Dalam hal ini, KontraS
bermaksud menggarisbawahi pentingnya prinsip-prinsip
demokrasi dalam mendorong perbaikan kelembagaan
tersebut. Lebih jauh, juga diharapkan agar para pembuat
kebijakan dapat melanjutkan perbaikan militer sebagai
prioritas dari Agenda demokratisasi untuk mewujudkan
sistem dan tatanan ketatanegaraan yang lebih demokratis.
Laporan ini juga ditujukan kepada masyarakat

3
secara luas agar terus aktif dalam mengamati jalannya
reformasi militer paska mundurnya Presiden Soeharto.
Partisipasi aktif ini dibutuhkan sebagai prasyarat
berkembangnya kembali sendi-sendi demokrasi dalam
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat akibat
penyimpangan peran dan fungsi TNI dan POLRI selama
Orde Baru.

KontraS menyampaikan terima kasih khusus kepada A.


Patra M. Zen dan kepada teman-teman lain seperti M. Islah,
Mustawalad dan Mr. Jenggot, yang banyak membantu dalam
penyusunan laporan ini. KontraS juga menyampaikan
penghargaan kepada semua organisasi masyarakat sipil yang
selama ini memberi perhatian pada usaha-usaha mendorong
perubahan kelembagaan militer dalam kerangka demokrasi.

Semoga upaya kita bersama memperjuangkan hak asasi


manusia dan demokrasi di negeri ini dapat terus berlanjut
hingga tercipta tatanan masyarakat yang bebas dari
ketakutan, penindasan, kekerasan dan berbagai bentuk
pelanggaran hak asasi manusia atas alasan apapun, termasuk
yang berbasis gender.

4
Daftar Isi

Sekapur sirih ____________________________ 3


Daftar Isi _______________________________ 5
A. Pengantar ___________________________ 7
B. Posisi Militer Dalam Sistem dan
Masyarakat Demokratis ______________ 16
C. Reformasi dan Paradigma Baru TNI ___ 25
I. Konstitusi 1945 dan Ketetapan MPR_ 31
II. Sistem Peradilan HAM dan Akuntabilitas
Militer ______________ 42
III. Buku Putih Pertahanan dan Undang-
undang Pertahanan Negara________ 52
D. Penutup ____________________________ 75
Rekomendasi __________________________ 78
Daftar Pustaka _________________________ 80
Hal Yang Bisa Kita Lakukan ______________ 84
Lampiran-Lampiran :
1. Deskripsi Beberapa kasus Pengadilan
Militer/Koneksitas yang menghindar dari
Pengadilan HAM di Indonesia __ 87
2. Data Komando Teritorial Angkatan Darat
di Indonesia (2002) ________ 90

5
A. Pengantar

Setelah lima tahun reformasi berjalan, kita masih melihat


besarnya animo militer (setidaknya para petinggi militer aktif
maupun purnawirawan) untuk berkecimpung dalam dunia
politik. Padahal sedari awal politik reformasi telah
mengariskan kehidupan sosial politik Indonesia paska
mundurnya Soeharto, harus bebas dari segala bentuk
cengkeraman militerisme. Makna yang terkandung dalam
semangat itu adalah konsolidasi demokrasi har us
memungkinkan terjadinya pembenahan-pembenahan
institusi kenegaraan demi mengupayakan pewujudan tatanan
politik yang demokratis.

Prasyarat utama untuk mewujudkan konsolidasi demokrasi


itu adalah menghapus seluruh pranata militer yang dikenal
sebagai dwifungsi ABRI dan struktur teritorial militer. Secara
resmi, alasan untuk menghapus kedua hal itu tertuang dalam
TAP MPR Nomor VI tahun 2000 tentang Pemisahan
Institusi TNI dan Polri yang menyatakan bahwa:
“peran sosial politik dalam Dwi-fungsi
ABRI menyebabkan ter jadinya
penyimpangan peran dan fungsi TNI dan

7
POLRI yang berakibat tidak
berkembangnya sendi-sendi demokrasi
dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat.”

Kristalisasi gagasan reformasi militer, sebagaimana tertuang


dalam TAP MPR diatas, yang menjadi agenda utama dari
gerakan demokratisasi di tahun 1998, dan kemudian
disuarakan oleh masyarakat luas terutama kalangan
mahasiswa, akademisi dan kelompok pro-demokrasi seperti
lembaga swadaya masyarakat.

Alasan kuat untuk sesegera mungkin menghapus peranan


sosial politik militer yang disebut sebagai dwi-fungsi ABRI
itu adalah ABRI telah menjadikan perannya berdwifungsi
itu sebagai senjata utama untuk mematikan segala bentuk
kehidupan yang demokratis. Dalam posisi seperti itu, ABRI
(TNI AD) menjadi satu-satunya institusi politik yang
berkuasa dan dapat mengatur sendiri seluruh kehidupan
masyarakat. Lebih jauh, Daniel S. Lev menuliskan bahwa
dwi-fungsi ABRI bukan saja memonopoli politik dan makna
politik tetapi juga menyumbang secara luar biasa bagi
kerusakan kelembagaan kenegaraan, karena seluruh lembaga
negara diposisikan berada dibawah kekuasaan institusi
militer. Bibit dari perluasan penguasaan muncul sejak masa
paska kemerdekaan. Misalnya penolakan

8
Jenderal Sudirman terhadap rencana pembentukan staf
pendidikan untuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat)
dibawah kementerian Pertahanan, pada januari 1946.
Alasannya kekuatan militer adalah kekuatan politik, dan
militer pecaya bahwa mereka harus menjadi pemimpin
Indonesia1.

Sementara Perluasaan penguasaan militer terhadap seluruh


lembaga kenegaraan sejak 1965 paska G30S, Soeharto
mengembangkan apa yang saat ini dikenal sebagai komando
teritorial.2 Disamping pengembangan kekuasaan teritorial
juga dibangun jaringan intelijen secara ekstra yaitu melalui
Kopkamtib dan BAKIN.

Kekuasaan teritorial dan peranan dwifungsi itu membentang


mulai dari pusat sampai ke-jajaran desa. Boleh dikatakan
bahwa kekuasaan teritorial itu menandingi kekuasaan
birokrasi sipil dan dalam beberapa kasus bisa mengatasinya.
Hal itu terjadi karena seluruh jajaran birokrasi sipil itu tak
luput pula dikuasai oleh para perwira militer, baik yang aktif
maupun purnawirawan. Akibatnya otonomi lembaga
pemerintahan menjadi kerdil, termasuk Mahkamah Agung
dan Kejaksaan Agung,3
1
Baca Peter Britton, Profesionalisme Dan Ideologi Militer Indonesia,
(Jakarta:LP3ES, 1996) hal 53-56
2
Lihat Daniel S. Lev, “ ABRI dan Politik: Politik dan ABRI,” dalam
Diponegaro 74, Jurnal HAM dan Demokrasi, No.7/III/April 1999, YLBHI,
hlm.10-11.
3
Ibid, 11.

9
Peter Britton dalam bukunya Profesionalisme Dan Ideologi
Militer Indonesia lebih tegas mengungkapkan;
“...bagian teritorial dari Angkatan Darat
memastikan kehadirannya disetiap kota
dan di sementara daerah, di setiap daerah,
di setiap desa dengan tugas memelihara
keamanan, mengawasi kegiatan-kegiatan
aparat pemerintahan sipil dan bertindak
sebagai pengawas-pengawas politik. Para
perwira militer, baik yang masih aktif
maupun yang sudah pensiun, semakin
banyak yang beralih kepada kedudukan-
kedudukan penting sebagai pejabat-pejabat
pemerintah. Pemerintah daerah,
pemerintah pusat dan industri, semuanya
menjadi berada dibawah pengendalian
AD”4.
Setelah lima tahun reformasi berjalan, sudahkah Indonesia
meninggalkan praktek dwifungsi itu secara signifikan?
Dibalik pertanyaan utama ini membayang pertanyaan
penting kedua yaitu; mengapa para perwira tinggi TNI aktif
dan purnawirawan tetap bernafsu naik ke panggung politik
yang bukan porsi militer?

4
Peter Britton, Profesionalisme Dan Ideologi Militer Indonesia, LP3ES,
Jakarta, 1996. hal 126.

10
Untuk menjawab dua pertanyaan itu, tulisan ini berupaya
untuk melihat dan menganalisis beberapa kebijakan penting
(Pasal 30 UUD 1945 – hasil amandemennya, Tap MPR RI,
terutama Tap MPR Nomor VI dan VII tahun 2000, Undang-
undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU
No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia) yang
berhubungan dengan peran militer di Indonesia saat
reformasi ini berjalan. Disamping itu juga, tulisan ini
mencoba melihat bagaimana perubahan paradigma TNI
(Buku Putih Departemen Pertahanan) yang dicetuskan diawal
reformasi mampu mendorong agenda demokratisasi di
Indonesia.

Namun sebelum menjawab pertanyaan itu, dengan bertolak


dari kenyataan-kenyataan yang ada saat ini, ada baiknya kita
melihat sejumlah alasan yang mendorong para perwira
militer terjun ke panggung politik. Gambaran dibawah ini
tidak akan menjadi kerangka analisis tetapi sekedar poin-
poin kesimpulan untuk memberi nuansa politik militer bagi
para pembaca.

Beberapa literatur mendeskripsikan intervensi angkatan


bersenjata dalam politik suatu negara diakibatkan situasi-
situasi seperti ini:5
1. Jatuhnya prestise pemerintah atau partai politik
yang memegang pemerintahan, menyebabkan

11
rezim yang bersangkutan semakin banyak
menggunakan paksaan untuk memelihara
ketertiban dan untuk menekankan perlunya
persatuan nasional dalam menghadapi krisis,
yang selanjutnya menyebabkan penindasan
terhadap perbedaan pendapat;
2. Perpecahan antara atau diantara pemimpin-
pemimpin politik, menimbulkan keragu-raguan
pada komandan-komandan militer apakah
rezim sipil masih mampu untuk memerintah
secara kolektif;

3. Kecilnya kemungkinan terjadinya intervensi dari


luar oleh negara yang besar atau oleh negara-
negara tetangga dalam hal perebutan kekuasaan;

4. Pengaruh buruk dari perebutan kekuasaan oleh


militer di negara-negara tetangga;

5
Calude E.Welch, Jr., “Cincinnatus in Africa: The Possibility of Military
Withdrawl From Politics,” dan Robert P. Clarck, Devolopment and
Instabillity: Political change in the Non-Western World (Chicago: Dryden,
1974), hal 185-186. Dalam Robert P Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik
Di Dunia Ketiga, (Jakarta: Penerbit Erlangga,1989) hal 155-156.

12
5. Permusuhan sosial dalam negeri, yang paling
jelas terjadi di negara-negara yang diperintah
oleh suatu kelompok minoritas;

6. Krisis ekonomi, yang menyebabkan dicabutnya


kebijakan penghematan yang mempengaruhi
sektor-sektor masyarakat kota yang terorganisir;

7. Korupsi, pejabat-pejabat pemerintahan dan


partai yang tidak efesien, atau anggapan bahwa
pejabat-pejabat sipil berniat menjual bangsanya
kepada suatu kelompok asing;

8. Struktur kelas yang sangat ketat, yang


menyebabkan dinas militer menjadi satu-satunya
saluran yang terbuka untuk anak miskin untuk
status dari bawah ke atas;

9. Kepercayaan yang semakin meningkat tebal


pada anggota-anggota militer bahwa merekalah
satu-satunya kelas sosial yang mempunyai cukup
disiplin dan cukup setia kepada modernisasi
untuk menarik negara keluar dari tata-caranya
yang tradisional;

13
10. Pengaruh asing, dapat melibatkan perwakilan
militer negara asing, pengalaman yang diperoleh
dalam perang di negara asing, atau dalam pusat-
pusat latihan di luar negeri, atau bantuan asing
dalam bentuk peralatan dan senjata;

11. Kekalahan militer dalam perang dengan negara


lain, khususnya kalau para pemimpin militer
yakin bahwa pemerintahan sipil telah
mengkhianati mereka dengan merundingkan
ketentuan-ketentuan perdamaian yang tidak
menguntungkan atau karena salah menjalankan
kegiatan perang di belakang garis pertempuran.

Disamping beberapa alasan yang terpapar diatas, perlu pula


kita lihat alasan-alasan militer merambah ke dunia politik
dalam sejarah Indonesia sendiri. Kusnanto Anggoro
melihat ada beberapa faktor yang mendorong militer maju
kepanggung politik, yaitu tidak dewasanya para politisi sipil
dalam mengelola negara, adanya ancaman terhadap
keamanan nasional, ambisi mempertahankan privillege
seperti otonomi dalam merumuskan kebijakan pertahanan,
memperoleh dan mengunakan anggaran pertahanan serta
melindungi aset dan akses ekonomi dan tugas sejarah.6
Daniel S. Lev sendiri mengemukakan dalam

14
sejarah militer Indonesia ada alasan yang sifatnya sangat
subjektif dari kalangan perwira TNI itu sendiri untuk masuk
ke ranah politik, yaitu dipersulitnya reorganiasi kekuatan
militer oleh politik pemerintah, dicampurinya urusan
internal TNI oleh pimpinan politik, terjadinya pertentangan
dikalangan perwira TNI sendiri, serta tidak disukainya
kondisi politik dan kemimpinan pemerintahan oleh TNI.7

Setelah melihat beberapa alasan yang bisa dimanfaatkan


militer merebut dan mempertahankan kekuasaan di
panggung politik, tentu perlu pula diperhatikan bahwa dalam
menjalankan fungsi-fungsinya TNI tidak boleh berinisiatif
sendiri, melainkan atas persetujuan otoritas politik yang lebih
tinggi yaitu Presiden dan Parlemen. Hal itu untuk
menghindarkan militer menjadi lembaga superbody dalam
sebuah negara.

6
Apa yang disampaikan oleh Kusnanto ini tentu sangat erat kaitannya dengan
menjadi utamamnya militer dalam politik Indonesia setelah tahun 1966. Sedangkan
tugas sejarah seringkali disurakan oleh para petinggi TNI sampai hari ini. Lihat
Kusnanto Anggoro, “ Gagasan Militer Mengenai Demokrasi, Masyrakat Madani
dan Transisi di Indonesia,” dalam Rizal Sukma dan J. Kristiadi (penyuting)
Hubungan Sipil Militer dan Tanrsisi Demokrasi di Indonesia (Jakarta: CSIS, 1999).
hal. 10.
7
Alsan-alasan yang dikemukakan oleh Daniel S. Lev ini terlihat dalam penggulingan
Soekarno dan beberapa kali pemberontakan daerah yang melibatkan sejumlah
perwira TNI. Lihat Daniel S. Lev, Op cit, hal 7-8.

15
B. Posisi Militer dalam Sistem dan Masyarakat
Demokratis

Sistem demokrasi adalah keniscayaan bagi negara modern.


Huntington, seorang realis yang fokus pada isu-isu
peradaban, demokrasi dan hubungan sipil-militer,
mendefinisikan demokrasi, sebagai suatu bentuk
pemerintahan, berdasarkan sumber wewenang bagi
pemerintah, tujuan yang dilayani oleh pemerintah, dan
prosedur untuk membentuk pemerintahan.8 Sementara
Joseph Schumpeter mengemukakan apa yang dinamakan
sebagai teori lain mengenai demokrasi, yaitu prosedur
kelembagaan untuk memperoleh keputusan politik yang di
dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat
keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka
memperoleh suara rakyat9.

Guillermo O’Donell sempat menyatakan arti penting


demokrasi adalah;
“...bukan saja karena ia mengandung
unsur-unsur yang maha penting dari sistem
(birokrasi-otoriter) dominasi ini, melainkan
juga dalam usaha jangka panjang untuk
menegakkan suatu masyarakat yang lebih
sesuai dengan nilai-nilai fundamental
tertentu.” 10

16
Karena itu, demokrasi juga dapat digunakan sebagai alat
untuk melihat tingkat pencapaian masyarakat yang ideal.
Selanjutnya O’Donell mengatakan:
“(d)emokrasi ibarat suatu kunci untuk
memahami kelemahan dan ketegangan
intens sistem dominasi sekarang ini. Ia juga
merupakan suatu petunjuk tentang sangat
pentingnya apa yang masih tetap implisit
di belakang penampilan dangkal
masyarakat yang, dipihak lain, adalah
fokus setiap harapan untuk mencapai
legitimasi dan kendatipun demikian,
dipihak lain, merupakan suatu kotak
pandora yang tidak boleh dianggap enteng.”
11

Demokrasi merupakan cara yang menjamin prinsip


kesetaraan berada dan berjalan dalam organisasi negara.
8
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga (terjemahan oleh Asril
Marjohan), (Judul asli; democratization in the late twentieth century
, 1989) (Grafiti, Jakarta, 2001), hal 4.
9
Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism, and Democracy, edisi ke-2 (New
York: Harper, 1947), bab 21 dan hal.269 dalam ibid, hal 5.
10
Guillermo O’Donnell, Tensions in the Bureaucratic-Authoritarian State and The
Question of Democracy, dalam Louis Irving Horowitz, Revolusi, Militerisasi dan
Konsolidasi Pembangunan (Jakarta, Bina Aksara, 1985), hal 389.
11
O’Donnell, Ibid. Pandora : seorang gadis cantik yang menyimpan dalam kotaknya
semua malapetaka manusia, karena ingin mengetahui isi kotak ia lantas
membukanya yang segera menyebarkan berbagai malapetaka di dunia, sedangkan
yang tertinggal dalam kotak tersebut tinggal harapan belaka.

17
Sementara Negara sebagai suatu organisasi sosial terbesar
dalam masyarakat mempunyai fungsi—sebagai kewajibannya;
melindungi masyarakat dari ancaman atau gangguan serta
menjamin hak-hak masyarakat. Oleh karena itu negara
sebagai organisasi yang besar diberikan wewenang oleh
masyarakatnya untuk menjalankan kewajiban tersebut.
Tujuan negara adalah berupaya mengkonsolidasikan tujuan
dan kepentingan bersama dikalangan masyarakat secara
umum.

Jadi segala sesuatu yang diberikan oleh masyarakat (seperti


membayar pajak, kerelaan untuk tunduk/menurut) kepada
negara dapat diukur. Ukurannya adalah sejauhmana
masyarakat dapat merasakan atau mendapatkan kembali
hak-haknya atau hak-haknya tidak terlanggar dan terpenuhi.
Russell Hardin mengatakan: “(w)e need goverment in order to
maintain the order that enables us to invest effort in our own well-
being and to deal with others in the expectations that we will not be
violated”12.

Dalam suatu sistem demokrasi dimana negara berperan


sebagai pelindung masyarakat dari ancaman dan gangguan,
maka posisi militer di dalam sebuah negara sudah
semestinya berfungsi agar ancaman dan gangguan itu
12
Russell Hardin, “Do We Want Trust In Government?” Dalam Democracy and
Trust, edited by Mark E. Warren (Cambrigde University press 1999), hal 22.

18
menjadi minimal. Fungsi itu bisa dikatakan sebagai kewajiban
pokok dari sebuah institusi militer. Dengan demikian posisi
militer atau angkatan bersenjata merupakan sebuah institusi
yang sah atau lazim —jika memang disepakati— dalam
sebuah organisasi yang bernama negara, yang mempunyai
kewajiban berkaitan dengan perlindungan negara demi
memproteksi masyarakat dari ancaman fisik. Edward
Luttwak dalam hal ini mengatakan bahwa:
The goverment will not only be protected
by the professional defenses of the state—
the armed forces, the police, and the security
agencies—but it will also be supported by
a whole range of political forces. In a
sophisticated and democratic society these
will include political parties, sectional
interest, regional, ethnic, and religious
groupings. Their interaction—and mutual
opposition—results in a particular balance
of forces which the goverment in some way
represents.13

(Pemerintah tidak hanya dilindungi oleh


apparatus pertahanan profesional yang
dimiliki Negara – angkatan perang, polisi
dan badan-badan keamanan – tetapi juga
13
Edward Luttwak, Coup d’Etat, A Practical Handbook—A Brilliant Guide To Taking
Over A Nation. (Greenwich: Fawcett Premier book, 1969) hal 47.

19
ditopang oleh kekuatan-kekuatan politik
secara luas. Dalam masyarakat demokratis
dan kompleks, kekuatan ini mencakup
partai politik, kelompok-kelompok
kepentingan, regional, etnis dan kelompok-
kelompok agama. Interaksi dari kekuatan
ini – dan oposisi yang berjalan –
menghasilkan sebuah perimbangan
kekuatan terhadap pemerintah)

Lebih jauh mengenai fungsi militer dalam negara demokratis


bisa kita pelajari dari prinsip-prinsp yang ditawarkan Mayor
Jenderal (Purnawirawan) Dr. Dietrich Genschel. Prinsip-
prinsip dimaksud, adalah sebagai berikut:14

1. Militer merupakan bagian dari kekuasaan


eksekutif suatu tatakelola pemerintahan.
Dengan demikian, militer merupakan elemen
pemisahan kekuasaan dalam sistem politik yang
demokratis, yang ditandai dengan pemisahan
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

1
14 Mayor Jenderal (Purnawirawan) Dr. Dietrich Genschel, Makalah berjudul “Tempat
dan Peran Militer Dalam Masyarakat Sipil Yang Demokratis. Pengalaman Reformasi
Militer Jerman” (Jakarta: Freidrich-Ebert-Stiftung, 2002).

20
2. Militer berada di bawah kepemimpinan politik
yang telah disahkan secara demokratis, dengan
jabatan menteri pertahanan dipegang oleh sipil.

3. Militer mengikuti pedoman politik yang


digariskan.

4. Militer patuh dan tunduk pada hukum.

5. Militer dibatasi oleh tugas-tugas yang telah


ditetapkan oleh konstitusi; secara reguler
menjaga keamanan eksternal negara (dari
serangan atau ancaman dari luar) dan menjaga
pertahanan negara. Dalam kasus-kasus tertentu
dengan situasi dan batas-batas tertentu yang
digariskan secara jelas. (Militer dapat dilibatkan)
dalam upaya-upaya untuk menjaga keamanan
internal negara dibawah komando polisi.

6. Militer bersifat netral dalam politik.

7. Militer tidak dibenarkan memiliki akses untuk


memperoleh dukungan-dukungan keuangan
diluar anggaran pendapatan dan belanja negara.

21
8. Militer dikendalikan oleh parlemen,
kepemimpinan politik, kekuasaan kehakiman,
dan masyarakat sipil secara umum.

9. Militer memiliki tanggung jawab yang jelas


berdasarkan keahlian profesional yang
dimilikinya dan dengan itu, memiliki harkat dan
martabatnya.

Untuk menunjang prinsip-prinsip sebagaimana diutarakan


di atas diperlukan prasyarat:

1. Kerangka konstitusi; menetapkan nilai-nilai sosial


(martabat manusia dan hak asasi manusia) dan
pemerintah yang berdasarkan pada hukum,
menetapkan pemisahan kekuasaan (kekuasaan
legislatif, eksekutif, yudikatif), mendefinisikan peran
dan tugas militer;

2. Parlemen yang berfungsi; (dipilih melalui) pemilihan


secara bebas, (bersifat) multi partai, (dan memiliki)
substruktur-substruktur yang perlu (seperti panitia
ang garan, panitia pertahanan, ombudsman
parlemen);

22
3. Pemerintahan sipil; dengan rantai komando (politik)
yang jelas. Presiden, Menteri Pertahanan dan
dengan menempatkan Kepala Pertahanan dibawah
Menteri Pertahanan – di Jerman mata rantai
Komando ini mulai dari Presiden ke Perdana
Menteri, dan seterusnya;

4. Kekuasan kehakiman yang mandiri; tanpa pengadilan-


pengadilan khusus yang berada di luar
tanggungjawabnya (seperti pengadilan militer);

5. Organisasi militer; yang terstruktur, terdidik, dan


terpimpin sedemikian rupa sehingga tidak
mencampuri atau membahayakan masyarakat sipil,
tetapi dengan tetap mempertahankan efektivitas
militer yang tinggi;

6. Masyarakat sipil yang matang; yang bersatu di bawah


ketentuan-ketentuan dasar konstitusi dan
mengambil sikap pluralistik tetapi toleran dalam
kehidupan bermasyarakat, yang pada gilirannya
memerlukan;

7. Publik terdidik; yang bersedia berpartisipasi dalam


kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat,
mampu menyeimbangkan kebebasan individual

23
dan kemandirian dengan komitmen terhadap kebaikan
bersama (termasuk pertahanan), serta media yang
bebas dan beragam;

8. Elit militer dan elite politik yang kompeten

9. Pemegang jabatan pada kantor-kantor publik (baik sipil


maupun militer) yang memiliki kepercayaan diri, bersedia
memenuhi kewajiban, memikul tanggung jawab, dan
menerima pembatasan-pembatasan (maksudnya; pegawai
negeri tidak perlu takut pada militer. Sebaliknya,
personil militer hendaknya memenuhi kewajiban-
kewajiban mereka dengan bangga dalam batasan-
batasan hukum yang diberikan).

Sementara beberapa hal pokok yang perlu ditempatkan


dibawah kendali politik/parlemen adalah:
1. Hubungan sipil dan militer—integrasi militer ke
dalam masyarakat;
2. Kerangka hukum, kesejahteraan sosial dan
keamanan;
3. Gaya kepemimpinan, pelatihan dan pendidikan;
4. Kesiapan tempur.

24
C. Reformasi dan Paradigma Baru TNI

Adakah semangat demokrasi dan fungsi militer atau TNI


di Indonesia dalam praktek dan kebijakan yang tersedia
kini senafas dengan agenda reformasi dan prinsip-prinsp
militer di negara demokrasi yang terpapar di atas.
Paradigma Baru TNI pasca 1998 adalah:
Paradigma yang dilandasi cara berpikir
yang bersifat analitik dan prospektif ke
masa depan berdasarkan pendekatan
komprehensif yang memandang TNI
sebagai bagian dari sistem nasional.
Paradigma baru ini dalam fungsi sosial
politik mengambil bentuk implementasi
sebagai berikut; Merubah posisi dan metode
tidak selalu harus di depan. Hal ini
mengandung arti bahwa kepeloporan dan
keteladanan TNI dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
yang dulu amat mengemuka dan secara
kondisi obyektif memang diperlukan pada
masa itu, kini dapat berubah untuk
memberi jalan guna dilaksanakan oleh
institusi fungsional. 15
15
TNI Abad XXI, Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran TNI Dalam
Kehidupan Bangsa, (Markas Besar TNI, 1999) hal 23

25
Dalam ungkapan singkat, paradigma baru itu dirumuskan
dalam jargon , “tidak selalu harus di depan, tidak lagi menduduki
tapi mempengaruhi, tidak lagi mempengaruhi secara langsung, tetapi
tidak langsung, siap membagi peran dengan pihak sipil dalam
pengambilan keputusan penting dengan komponen bangsa yang lain.”
Jargon baru ini mengantikan jargon lama yang full-power
yaitu “TNI sebagai stabilisator dan dinamisator”.

Jika disimak lebih dalam Paradigma Bar u TNI


mengisyaratkan beberapa hal penting, pertama TNI dalam
perpolitikan Indonesia tidak seluruhnya mundur melainkan
bersyarat yaitu sejauh tidak melucuti hak privillege
(keistimewaan) yang telah dan sedang dinikmati. Jika privillege
itu terganggu maka TNI akan memberanikan diri maju
kedepan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Artinya TNI tidak akan surut dari panggung politik begitu
saja. Contoh dari tidak surutnya TNI dari panggung politik
secara langsung itu bisa dilihat dari banyaknya para
purnawirawan TNI yang menjadi pimpinan paratai politik
peserta Pemilu 2004 dan menjadi calon anggota DPD dan
Caleg DPR-RI.16 Perlu diingat bahwa sepanjang Orba TNI
itu adalah organisasi kekuatan politik yang sesungguhnya.17

16
Lihat “Ada Strategi Besar Pihak TNI untuk Menguasai Parlemen “.
Kompas 6 Januari 2004.
17
Mengenai TNI sebagai organisasi politik, lihat Amiruddin, “Dwifungsi ABRI:
Perspektif Sejarah dan Masa Depannya.” Dalam Diponegoro 74: Jurnal HAM dan
Demokrasi, YLBHI, III/07/1999. hal. 21-28.

26
Kedua, Jargon itu mengisyaratkan bahwa dalam merumuskan
paradigma barunya, TNI tetap sebagai kekuatan politik
utama. Hal itu terlihat pada kalimat “dalam mengambil
keputusan penting TNI siap berbagi peran dengan komponen bangsa
yang lain”. Dimasa Orba, TNI adalah institusi yang berperan
secara tunggal dalam mengambil dan membuat keputusan
penting. Dalam masa reformasi ini TNI siap berbagi dengan
pihak kedua yaitu komponen bangsa lain, yakni
pemerintahan sipil.

Ketiga, dalam berbagi peran dengan pihak sipil ini, dalam


paradigma barunya TNI tidak sama sekali menyadari bahwa
peranannya dimasa lalu adalah peranan yang telah
menciptakan ‘kekacauan’. Disamping itu juga, TNI tidak
menyadari bahwa dalam masa demokratisasi ini, sebagai
norma-norma yang terpapar di depan, TNI hanyalah
pelaksana dari pemerintahan sipil.

Dengan kata lain TNI dengan paradigma barunya tidak


mengubah secara signifikan budaya dan postur dari TNI
dalam ruang sosial-politik. Dengan paradigma barunya TNI
tetap berada dalam r uang konser vatisme dengan
kepercayaan pada supremasi sipil dalam pengelolaan
negara.18

18
Kecendrungan konservatisme dalam paradigma baru TNI itu lihat Kusnanto,
dalam Rizal Sukma (Edit.), Op Cit, 13-17.

27
Sehingga paradigma baru itu terasa gamang dalam
mengambil sikap untuk berjarak dengan aktifitas politik
praktis. Hal ini terlihat dari kian diperkuatnya kekuasaan
teritorial saat ini, yang semula 10 Kodam setelah 1998
bertambah menjadi 12 Kodam.19 Semestinya kekuasaan
teritorial itu sudah dihilangkan sedari awal, sehingga
pembinaan wilayah menjadi tugas pemerintahan dalam
negeri dengan jajarannya. Disamping itu, terjadi pula
perluasan kewenangan eksesif militer kewilayah diluar
kewenangan utamanya seperti memasuki wilayah judicial
dengan ikut sertanya intelijen TNI dalam penanggulangan
dan pengungkapan terorisme, perluasan kekuasaan untuk
mengunakan kekuatan militer secara langsung dalam kondisi
darurat dan pemberian kewenangan menahan orang oleh
insitusi intelijen.

Dari paradigma baru itu juga terasa suatu sikap historistik


yang memonopoli pemaknaan akan sejarah. Sikap ini terlihat
dari kecenderungan menonjolkan kepeloporan dan
keteladanan TNI yang merentang jauh kebelakang ke masa
1945 tanpa melihat konteks dan pembaruan interpretasi.
Sikap ini terlihat dari idiom yang dipakai yaitu “Prajurit
Pejuang” dan “Pejuang Prajurit”. Sikap historisistik yang egois
itu menempatkan TNI sebagai satu-satunya institusi di RI
yang paling peduli pada nilai-nilai nasional seperti
19
Lihat Lampiran 2 : Tabel Kekuatan KODAM Diseluruh Indonesia.

28
kemerdekaan, kedaulatan, integritas wilayah, serta segala apa
yang dipandang sebagai nilai-nilai nasional (national heritage).
Hal itu dinyatakan sebagai upaya mempertahankan
konstitusi.20

Disamping itu semangat dari paradigma baru itu juga tidak


memperlihatkan adanya koreksi terhadap peran dan sepak
terjang TNI di tengah masyarakat. Artinya kesalahan yang
terjadi dimasa lalu dinyatakan sebagai kesalahan yang
dianggap bisa ditolerir karena itu adalah berdasarkan
keputusan seluruh komponen bangsa berdasarkan kondisi
faktual21 pada masa itu. Dalam semangat seperti itu menjadi
tidak heran saat ini jika para petinggi TNI menolak atau
merasa dinistakan kehormatannya jika diminta
pertanggungjawaban hukum atas kesalah-kesalahan masa
lalu. (Lihat tabel 1; Pola Impunitas)

Paradigma baru TNI menjadi seperti itu tak lepas dari


pengaruh Parlemen dan Presiden yang membiarkan TNI
merumuskan paradigmanya sendiri. Disamping itu,
perumusan paradigma itu juga tidak bertolak atas realitas
historis dan evaluasi menyeluruh dari pengalaman TNI
dimasa ORBA. Dengan sendirinya, apa yang telah
dirumuskan oleh MPR secara jitu dalam TAP MPR No.VI/
20
Op cit, TNI abad XXI, hal 6.
21
Ibid.

29
2000 yang menyatakan bahwa “peran sosial politik dalam
Dwi-fungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan
peran dan fungsi TNI dan POLRI yang berakibat tidak
berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat” diabaikan oleh institusi TNI
dalam merumuskan paradigma baru itu.

30
I. Konstitusi 1945 dan Ketetapan MPR

Hans Nawiasky, mengatakan bahwa selain norma itu


berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari
suatu negara itu juga berkelompok-kelompok. Hans
Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam
suatu negara itu menjadi empat kelompok besar, yang terdiri
atas: norma fundamental, aturan dasar/pokok negara,
undang-undang formal, aturan pelaksana dan aturan
otonom22. Norma fundamental merupakan norma tertinggi
yang tidak diperdebatkan dan menjadi dasar rujukan bagi
pembentukan Grundnorm23 atau Norma dasar24. Dalam
pembentukannya Grundnorm tersebut dibentuk oleh
lembaga-lembaga negara atau disebut juga suprastruktur.
Dalam istilah Carl Schmitt, dasar bagi pembentukan
konstitusi adalah keputusan atau konsensus bersama tentang
sifat dan bentuk suatu kesatuan politik yang disepakati oleh
suatu bangsa.

Norma fundamental diambil dari masyarakat/infrastruktur


dengan pertimbangan agar dapat memenuhi kehendak serta
22
Hans Nawiasky, Aligemeine Rechtslehre als System lichen Grundbegegriffe,
cet.2, (Einsledenln/Zurich/Koln, Benziger, 1948), hal. 31, Dalam Maria Farida Indrati
Soeparto, SH, MH, Ilmu Perundang-Undangan, dasar-dasar dan pembentukannya,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998).
23
Ibid.
24
Baca Maria Farida Indrati Soeprapto, SH, MH, Ilmu Perundang-Undangan, dasar-
dasar dan pembentukannya, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998) Bab III hal
25.

31
keinginan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, MPR-lah
yang menjadi wakil dari masyarakat itu dalam menciptakan
norma fundamental tersebut. Dalam pembenahan dan
koreksi atas sepak terjang politik militer dimasa lalu, MPR
telah melakukan amandemen terhadap peran dan fungsi
TNI. Disamping itu juga MPR telah mengeluarkan beberapa
ketetapan (TAP) untuk pembenahan itu.

Dalam Sidang Tahunan Kedua tahun 2000, Majelis


Permusyawaratan Rakyat (MPR) berhasil mengubah judul
BAB Pertahanan Negara dalam UUD 1945, menjadi BAB
Pertahanan Dan Keamanan Negara. Disamping itu juga
mengubah isi Pasal 3025. Bunyi pasal tersebut adalah:

1. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut


serta dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara.
2. Usaha pertahanan dan keamanan negara
dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta oleh Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia sebagai kekuatan Utama,
dan Rakyat sebagai kekuatan pendukung.

25
Pasal 30 ini sebelum diamandement bunyinya adalah ayat 1, Tiap-tiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
Ayat 2. Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang.

32
3. Tentara Nasional Indonesia terdiri atas
Angkatan Darat, Angkatan Laut dan
Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas
mempertahankan, melindungi dan
memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
4. Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai alat negara yang menjaga keamanan
dan ketertiban masyarakat bertugas
melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum.
5. Susunan dan kedudukan Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, hubungan kewenangan Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia, syarat-syarat
keikutsertaan warganegara dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara, serta hal-
hal yang terkait dengan pertahanan dan
keamanan diatur dengan Undang-undang.

Secara tegas Pasal 30 UUD 1945 hasil amandemen ini


mengariskan bahwa TNI dan Polri adalah dua institusi
terpisah dengan kompetensi masing-masing yang berbeda.
TNI menjadi alat pertahanan yang bertugas
mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan

33
dan kedaulatan negara. Sedangkan POLRI adalah alat negara
yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat,
serta menegakkan hukum.

Sungguh disayangkan norma fundamental dari konstitusi


diatas ketika dijabarkan ke dalam undang-undang
pelaksanaan teknis menjadi berantakan. Banyak sekali UU
teknis yang bertentangan dengan norma fundamental yang
terkandung dalam Pasal 30 itu. Sebagai contoh bisa dilihat
UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Undang-
undang Pertahanan ini secara tegas dalam Pasal 14 ayat 2
menyatakan bahwa pengunaan kekuatan TNI dalam
menghadapi ancaman bersenjata oleh Presiden harus
mendapat persetujuan dari DPR. Hal ini ditujukan agar
setiap penggunaan kekuatan militer harus melalui keputusan
politik tertingi, bukan sekedar atas analisis atau kehendak
para perwira TNI semata. Namun dalam kenyataannya hal
itu tidak sejalan dengan norma fundamentalnya, karena TNI
seringkali bertindak sendiri dalam mengunakan kekuatan.26
Bahkan, sempat TNI meminta kewenangan yang lebih besar
untuk menggunakan kekuatan tanpa persetujuan Presiden.
Hal ini terlihat dalam

26
Pengunaan kekuatan militer dalam Darurat Militer di Aceh tidak pernah dengan
persetujuan DPR, melainkan atas inisiatif TNI sendiri. Begitu juga operasi-operasi
bersenjata lainnya di Papua. Begitu juga dengan pembentukan KODAM baru di
Aceh dan Maluku.

34
Pasal 19 RUU TNI yang hendak disampaikan pada DPR
pada tahun 2003.

Bahkan belakangan ini muncul pula wacana dari kalangan


TNI untuk menggabungkan kembali POLRI dengan TNI.
Permintaan itu muncul sebagai reaksi atas seringnya
bentrokan TNI dan Polri di sejumlah daerah, terutama
setelah peristiwa bentrokan di Binjai, Sumut. Wacana
pengabungan kembali ini memperlihatkan adanya upaya
menyabot ketentuan konstitusi dari dalam TNI.

Sedangkan disisi lain, kebijakan-kebijakan hukum rejim masa


lalu yang masih mengukuhkan penggunaan represif tetap
dibiarkan bercokol tanpa dicabut oleh DPR. Beberapa
ketentuan yang represif itu pada kenyataannya tetap
membiarkan dominasi represif dari institusi militer
bertahan.

Dengan melihat semua itu, bisa dikatakan hasil yang dicapai


oleh MPR untuk melikuidasi kebijakan represif yang
menopang dominasi militer dalam kehidupan sosial-politik,
seperti pengubahan Pasal 30 UUD’45 tidak mencapai hasil
maksimal. Hal itu bisa terjadi oleh beberapa faktor, pertama
ketika merumuskan hal itu MPR tidak bertolak dari realitas
historis yang ada, yaitu pengalaman kekerasan masa lalu yang
dialami rakyat akibat dominasi

35
militer dalam politik Indonesia. Kedua, ketidakmampuan
para anggota MPR untuk memaknai perubahan secara
substantif sehingga perubahan dalam teks tidak mampu
dijelmakan kedalam praktek politiknya. Ketiga, adanya
penolakan secara terus-menerus dalam rangka negosiasi
politik dengan kekuatan politik lama (ingat TNI memiliki
anggota di DPR) dalam memformulasikan struktur dan
kultur politik dimasa mendatang. Selama negosiasi ini
berlangsung, kepatuhan elit militer terhadap keputusan
politik yang dibuat oleh otoritas politik sipil akan selalu
menjadi masalah. Kepatuhan elit militer itu juga memerlukan
prasyarat adanya posisi yang jelas dari para elit politik sipil
dalam menempatkan militer dimasa datang dalam politik.27
Dalam konteks negosiasi ini, kita dapat merasakan seakan-
akan norma fundamental yang ada dalam konsitusi itu
terabaikan begitu saja.
Dalam konteks negosiasi yang terus-menerus itulah MPR
kemudian mengeluarkan pula TAP MPR Nomor VI/2000
tentang pemisahan institusi TNI dan Polri dan Tap MPR
Nomor VII/2003 tentang Peran TNI dan Polri. Bagaimana
negosiasi itu berlangsung bisa disimak dari isi Tap-tap
tersebut.

27
Mengenai negosiasi politik ini demi tatanan politik yang lebih demokratis peranan
militer menjadi sangat penting sebagai penguasa masa lalu lihat “
Negosiasi Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto “ dalam Op cit, Rizal Sukma
(peny), hlm.56.

36
Pada TAP MPR Nomor VI/2000, pada konsideran
Menimbang dinyatakan; “Bahwa salah satu tuntutan reformasi
dan tantangan masa depan adalah dilakukannya demokratisasi, maka
diperlukan reposisi dan restrukturisasi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia.”. Reposisi yang dimaksud adalah
pemisahan secara menyeluruh antara kewenangan TNI dan
POLRI sehingga secara kelembagaan terpisah sesuai dengan
peran dan fungsi masing-masing (Pasal 1). Bergabungnya
TNI dan POLRI dalam hemat MPR telah menciptakan;
“kerancuan dan tumpang tindih antara peran dan fungsi
Tentara Nasional Indonesia sebagai kekuatan pertahanan
negara dengan peran dan tugas kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai kekuatan keamanan ketertiban
masyarakat. Bahwa peran sosial politik dalam Dwi-fungsi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyebabkaan
terjadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi
dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat.”

Negosiasi pemisahan itu akhirnya berujung pada kompromi


dimana TNI dan POLRI berada pada posisi sejajar. Hal ini
ditegaskan dalam TAP MPR Nomor VII/2000, pada
konsideran menimbang huruf g dikatakan bahwa; “Telah
dilakukan pemisahan secara kelembagaan yang setara antara

37
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia.”

Namun demikian, pemisahan itu tidak semutlak yang


dibayangkan. Hal ini dikarenakan masih dimungkinkannya
kerjasama secara utuh sebagaimana tertuang dalam
ketentuan Pasal 2, Tap MPR itu yang menyatakan “.. Dalam
hal terdapat keterkaitan kegiatan pertahanan dan kegiatan keamanan,
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia harus bekerjasama dan saling membantu.”

Jika saat ini kita merasakan kembali masuknya TNI kedalam


politik, terutama dalam pengendalian ketertiban umum
seperti penanganan terorisme, masalah Aceh dan Papua
atau dalam soal persiapan Pemilu 2004, hal itu merupakan
cerminan dari negosiasi yang tak kunjung selesai. Pernyataan
Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, pada 5 Agustus
2003 yang hendak merevisi Undang-undang Anti Terorisme
agar TNI dapat berperan dalam penanggulangan terorisme
paska peledakan bom di Hotel Marriot adalah bentuk nyata
dari negosiasi yang tak kunjung selesai itu.

Menurut Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono,


peranan TNI yang dibatasi pada pertahanan terhadap
ancaman dari luar dan POLRI urusan keamanan dalam

38
negeri dianggap tidak klop dengan UUD 1945. Maka dari
itu diperlukan pengubahan terhadap UU Anti Terorisme
itu karena kepolisian juga memiliki kemampuan terbatas.
Yudhoyono menegaskan:
“...aparat kepolisian terbatas dan harus
menghadapi masalah yang tersebar di
seluruh Indonesia. Pemisahan TNI dan
Polri dilakukan pada tahun 2000 melalui
Ketetapan MPR Nomor VI. Menurut
aturan itu, TNI adalah alat negara yang
berperan dalam pertahanan negara dan
Kepolisian RI adalah alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan.
Ketetapan itu juga mengatur, dalam hal
terdapat keterkaitan kegiatan keamanan
dan pertahanan, TNI dan Kepolisian RI
harus beker jasama dan saling
membantu”.28

Menyimak pernyataan Yudhoyono diatas, bisa dikatakan


TNI merasa peranannya yang dibatasi itu sangat
mengganggu perkembangan postur TNI. Gangguan itu
disebabkan begitu rigitnya TAP MPR Nomor VII/2000
dalam menentukan posisi TNI. Selanjutnya, dalam

28
lihat “Hadapi Terorisme, Pemerintah Ingin Peran TNI Diperbesar”, Koran Tempo,
15 Agustus 2003.

39
konsideran menimbang huruf d dinyatakan bahwa
“Diperlukan alat negara yang berperan utama menyelenggarakan
pertahanan negara berupa Tentara Nasional Indonesia. Dari
konsideran ini jelas bahwa yang sangat dibutuhkan itu adalah
militer profesional, seperti yang telah digariskan oleh MPR
dalam ketetapannya, TAP MPR Nomor VII/2000.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 1 ayat 3 menyatakan; Tentara
Nasional Indonesia wajib memiliki kemampuan dan keterampilan
secara profesional sesuai dengan peran dan fungsinya, akan tetapi
profesional yang tak terjabarkan secara baik oleh MPR
akhirnya dirasakan kesempitan bagi TNI, terutama AD.

Masalah lain yang tidak tuntas dari TAP MPR VI/2000 dan
TAP VII/2000 adalah bagaimana kontrol terhadap TNI
itu. Tap ini hanya menggariskan pada Pasal 3, ayat 4 huruf
a dengan menyatakan
Prajurit Tentara Nasional Indonesia
tunduk kepada kekuasaan peradilan
militer dalam hal pelanggaran hukum
militer dan tunduk kepada kekuasaan
peradilan umum dalam hal pelanggaran
hukum pidana umum. Ayat 4 huruf b.
Apabila kekuasaan peradilan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat 4.a.
diatas tidak berfungsi maka prajurit

40
Tentara Nasional Indonesia tunduk di
bawah kekuasaan peradilan yang diatur
dengan Undang-undang.

Norma fundamental yang terkandung dalam TAP MPR itu


mengalami keterlambatan luar bisa penjabarannya. Sehingga
batasan antara pelanggaran hukum pidana umum dan pidana
militer itu menjadi kabur. Dalam hukum pidana militer
semua tindakan anggota militer dalam hal apa pun adalah
kewenangan militer. Dengan demikian kita kesulitan untuk
mempraktekkan norma ini. Sebagai contoh adalah jalannya
proses peradilan terhadap terdakwa pembunuh Theys Hiyo
Eluay, tokoh masyarakat Papua. Seluruh terdakwa diadili di
pengadilan militer Surabaya, begitu juga keterlibatan anggota
militer dalam pembunuhan Boss ASABA Group yang juga
diperiksa melalui mekanisme peradilan militer. Dengan
demikian, norma dalam TAP MPR itu menjadi tak berarti
dalam praktek, karena militer tetap pada ketentuan lamanya,
yaitu mahkamah militer bagi anggota militer dan proses
hukum lain tak mudah menjangkaunya.

41
II. Sistim Peradilan HAM dan Akuntabilitas Militer

Aspek pertanggungjawaban hukum yang merupakan bagian


dari perbaikan sistim lama dalam pertanggungjawaban
hukum militer, telah digariskan dalam TAP VII/2000, yang
menyatakan “Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada
kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer
dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal
pelanggaran hukum pidana umum”. Namun demikian, ketiadaan
tindak lanjut yang dilakukan oleh penyelenggara negara,
baik Pemerintah maupun DPR, memberi implikasi negatif
pada penerapan batasan jurisdiksi peradilan umum dan
peradilan militer. Hal ini terlihat jelas dari praktik penerapan
Undang Undang No.26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia dalam kaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia
yang melibatkan anggota militer sebagai pelaku kejahatan
tersebut.

Undang-undang ini secara garis besar memiliki jurisdiksi


(kompetensi absolut) untuk memeriksa perkara kejahatan yang
diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang berat, yaitu
kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.29 UU ini juga
menyatakan bahwa kedua jenis kejahatan serius itu
mensyaratkan bahwa tindakan berupa

29
Uraian mengenai bentuk tindakan dari jenis pidana ini lihat Pasal 7 sampai
9, UU No.26/2000.

42
pembunuhan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa,
perampasan kemerdekaan, dan seterusnya mesti memenuhi
unsur utama kejahatannya (elements of crimes) yaitu sistematis
atau meluas berupa serangan yang ditujukan langsung kepada
masyarakat sipil. Serangan terhadap masyarakat sipil disini
dijelaskan sebagai suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan
terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan
penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan
organisasi.30 Melihat penjelasan itu maka bisa dikatakan
tindak pidana yang menjadi jurisdiksi pengadilan HAM ini
sangat berkaitan erat dengan penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power) oleh lembaga negara atau sebuah organisasi.

Dengan demikian tindak pidana yang menjadi jurisdiksi UU


No.26/2000 ini kerap kali dilakukan oleh aparatus negara.
Bagaimana tindakan itu dilakukan oleh apratus negara bisa
kita simak dari rangkaian kekerasan yang dilakukan oleh
militer Indonesia dimasa lalu, seperti operasi militer di Aceh
yang banyak menelan korban jiwa penduduk sipil, operasi
militer di Papua dengan jumlah korban penduduk sipil yang
sulit dihitung, operasi militer dan perang di Timor Timur
yang berujung pada pembumi hangusan Timtim setelah jajak
pendapat penentuan nasib sendiri ditahun 1999. Begitu juga
dengan peristiwa Tanjung

30
Lebih jauh lihat penjelasan Pasal 9, ibid.

43
Priok 1984, Lampung 1989 dan yang paling luar bisa adalah
pembunuhan dan penangkapan massal yang dilaksanakan
oleh aparatus negara baik sipil dan militer setelah peristiwa
G30S, 1965.31

Undang Undang No.26/2000 yang memerintahkan


pendirian Pengadilan HAM adalah upaya untuk meminta
pertanggungjawaban atas seluruh kekerasan yang telah
terjadi sebagaimana terpapar di atas, selain itu juga sebagai
upaya hukum untuk mencegah keterulangan dan sekaligus
koreksi terhadap prilaku aparatus negara dan
penyelenggaraan kekuasaan politik. Ann Seidman
menyatakan UU seperti ini sebagai
“Suatu Undang-undang yang efektif pada
keadaan khusus disuatu negara harus
mampu mendorong suatu perilaku yang
dituju atau diaturnya. Sebuah per-UU-
an yang membawa perubahan harus
mengubah perilaku lembaga-lembaga yang
ada yang selama ini menghambat
tercapainya pemerintahan yang bersih dan
pembangunan yang berkesinambungan”32.

31
mengenai peristiwa yang disebut dalam alinea ini Komnas HAM telah membentuk
Tim pengakjian dan penyelidikan projustisia. Dari semua tim itu telah dapat disimpulkan
bahwa pelangaran HAM dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan dimana TNI
dan atau Polri terlibat didalammnya.
32
Ann Seidman, Robert B. Seidman, Nalin Abeyeskere, Penyusunan Rancangan
Undang-undang Dalam Masyarakat Yang Demokratis : Sebuah Panduan Untuk
Pembuat Rancangan Undang-undang, edisi kedua, (Jakarta: Elips, 2002), hal 3.

44
Disamping itu, kehadiran UU tentang Pengadilan HAM ini
juga merupakan upaya untuk memutus mata rantai
impunitas (kejahatan tanpa hukuman). Bisa dikatakan
demikian karena sepanjang ORBA berkuasa seluruh
tindakan brutal yang menelan banyak korban jiwa, mental
maupun fisik itu dianggap suatu tindakan yang sah atas nama
“keamanan nasional”. Pembiaran dan menganggap seluruh
tindakan itu adalah sah tanpa perlu dimintakan
pertanggungjawaban itulah yang disebut sebagai pratek
impunitas. Ketidakmungkinan untuk menjalankan proses
penghukuman ini telah dirumuskan secara jelas oleh Louis
Joinet, Pelapor khusus PBB untuk urusan Impunity/
impunitas. Dalam laporan akhirnya ke Sub Commission on the
Prevention of discrimination and protection of Minorities,
Perserikatan Bangsa Bangsa, tahun 1997, ia menyatakan
impunitas sebagai
“the impossibillity, de jure or de facto, of
bringing the prepetrators of human rights
violations to account—whether in criminal,
civil, administrative or disciplinary
proceedings—since they are not subject to
any inquiry that might lead to their being
accused, arrested, tried and, if found guilty,
convicted, and to reparations being made
to their victims.”33
33
Louis Joinet dalam Usman Hamid, “The Great Wall Of Impunity”, fact sheet
untuk Konferensi Internasional INFID di Yogyakarta.

45
Senada dengan itu juga diyatakan oleh Victor Conde,
seorang pengacara hak asasi manusia di Amerika dalam
ungkapan,
“...the factual or legal exemption or freedom
any punishment, loss, or harm to those who
have committed human rights violations,
usually resulting from a goverments refusal
or failure to take legal or other enforcement
action against the violators—or by an state
officially forgives such offenses. Impunity is
highly disfavored in international human
rights law...”34

Sementara Brussels Principles Against Impunity And For


International Justice, menjelaskan bahwa
“Impunity is understood as failing it
investigate, prosecute and try natural and
legal persons guilty of serious violations of
human rights and internasional
humanitarian law. For the purpose of these
principles, serious violations of human
rights and international humanitarians law
mean in perticular war crimes, crimes
against Humanity, genoside, torture, extra
judicial executions
34
Victor Conde, A Handbook Of International Human Rights Terminology, USA,
University of Nebraska Press, 1999.

46
and forced disappearences (here and after
“serious Crime).35

Dalam kontek Indonesia kini, kita merasa impunitas itu terus


berjalan meskipun UU No.26 telah ada dan pengadilan
HAM dalam lingkungan peradilan umum telah pula berjalan.
Namun disayangkan dalam praktek pengadilan HAM itu
terjadi sekian banyak kendala. Baik kendala adanya
“pembangkangan” dari perwira militer dan sipil, maupun
oleh ketidaksiapan suprastruktur dan infrastruktur.

“Pembangkangan” dari kalangan militer itu bisa kita lihat


dari, pertama adanya penolakan dari para perwira TNI ketika
dipang gil oleh penyelidik (Komnas HAM) untuk
memberikan keterangan atau kesaksian. Hal ini terjadi dalam
penyelidikan terhadap Trisakti, Semanggi I dan Semanggi
II dan penyelidikan atas kasus kerusuhan Mei ’98. Dalam
penolakan itu TNI mengunakan argumentasi bahwa
penyelidikan yang dilakukan oleh KPP-HAM yang dibentuk
oleh Komnas HAM tidak sah dan tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap
perwira TNI dalam peristiwa-peristiwa tersebut.

35
Brussels Group for International Justice, Following on From the the Colloquium
“the fight Against Impunity: Stakes and Perspectives” (Brussels, March 11-13
2002)”, Brussels Principles Against Impunity and for Internasional Justice”.

47
Penolakan itu kemudian diperkukuh pula oleh adanya
pernyataan DPR-RI bahwa tidak terjadi pelanggaran berat
HAM dalam peristiwa tersebut.

Dalam perkembangan politik Indonesia, pelaksanaan UU


No.26 itu kemudian kian menjadi sulit, ketika para perwira
tingi militer yang diduga bertanggungjawab dalam suatu
peristiwa pelanggaran HAM berat dipromosikan dalam
kedudukan strategis termasuk dalam komando operasional
TNI dan badan eksekutif lainnya. Sebagai contoh bisa
disebutkan Sjafrie Sjamsoedin yang sebelumnya Pandam Jaya
ketika terjadi peristiwa Trisakti dan Mei 1998 malah
dipromosikan menjadi Kapuspen TNI di Mabes TNI.
Begitu pula AM. Hendropriyono sebagai Kepala Badan
Intelijen Negara (BIN), pada tahun 1989 Hendro memimpin
operasi militer terhadap masyarakat Talangsari-Lampung
yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban sipil.

Lebih jauh dari itu, hambatan juga datang dari institusi


legislatif karena kuatnya pengaruh fraksi TNI/Polri
dilembaga parlemen, diperparah dengan rendahnya
kapasitas dan perhatian anggota DPR dari kalangan partai
politik terhadap pertanggungjawaban atas kejahatan masa
lalu.

48
Dalam situasi seperti itu akhirnya UU 26/2000 yang
ditujukan sebagai upaya pencegahan keberulangan ternyata
tidak mampu berjalan secara signifikan. Alhasil bentuk dan
pola pelanggaran berat HAM itu terjadi terus setelah UU
itu diberlakukan.36 Keberulangan itu terus terjadi disebabkan
oleh masih digunakannya mekanisme Peradilan Militer
sebagaimana yang diatur dalam UU 31/1997 tentang
Peradilan Militer yang memiliki jurisdiksi sangat luas
terhadap seluruh tindakan aparat militer. Undang-undang
ini menggunakan cara identifikasi subyek. Jika yang
melakukan adalah anggota TNI maka akan diproses melalui
mahkamah militer tanpa memperhatikan delik-nya. Dengan
sendirinya peristiwa pelanggaran HAM yang semestinya
diperiksa oleh penyelidik dan penyidik secara khusus
akhirnya tetap ditangani secara internal oleh TNI. Dalam
kondisi inilah mekanisme pertanggungjawaban yang
termaktub dalam UU N0.26/2000 tentang Pengadilan
HAM menjadi ‘macet’.

Contoh yang paling menarik mengenai praktek


pemungkiran pengadilan HAM itu bisa dilihat dalam
pemeriksaan anggota Kopassus yang terlibat dalam
pembunuhan Theys Eluay, di Papua, pada tahun 2001
akhirnya dihukum ringan. Lebih parah lagi mereka yang

36
Lihat lampiran 1.

49
dinyatakan terbukti secara sah melakukan kejahatan
pembunuhan itu dinyatakan sebagai pahlawan oleh KSAD,
Ryamizard Ryacudu, yang hadir dalam pembacaan putusan
oleh Majelis Hakim di Mahkamah Militer Surabaya.37 Begitu
juga yang terjadi dengan peristiwa penculikan terhadap
penduduk Desa Toyado, Poso, Sulawesi Tengah. Meskipun
Komnas HAM telah mendapat laporannya dan datang
langsung ke Poso beberapa saat setelah peristiwa itu, akan
tetapi mekanisme peradilan militer-lah yang ditempuh untuk
mereka yang menjadi tersangka di Makamah Militer di
Manado.38

Tentu yang lebih membuat UU No.26/2000 tentang


Pengadilan HAM tidak bisa jalan adalah dipraktekkannya
satu bentuk pengadilan lain, yaitu pengadilan koneksitas.
Dalam pengadilan koneksitas, terdakwanya adalah sipil dan
militer yang bertindak secara bekerjasama, dibentuk majelis
gabungan sipil dan militer. Namun dalam prakteknya jenis
peradilan ini lebih banyak menguntungkan para terdakwa
dari kalangan militer dan sekaligus juga memutus peluang
adanya tanggungjawab komando untuk menjangkau
komandan militer yang lebih tinggi atas sebuah tindak
pidana, apalagi kejahatan terhadap
37
Lihat “KSAD Anggap Pembunuh Theys Pahlawan,” Republika, 24 April 2003.
38
Lihat, Berkas 14 Anggota TNI Tersangka Penculikan Dikembalikan, Koran Tempo,
5 Agustus 2003.

50
kemanusiaan. Contoh terbaik dari kekurangan koneksitas
itu bisa dilihat pada proses peradilan atas penyerbuan dan
pembunuhan Teungku Bantaqiyah beserta para santrinya,
di Beutong Ateuh oleh pasukan Kostrad yang di BKO-kan
ke Kodam I Bukit Barisan. Pengadilan koneksitas dalam
peristiwa Bantaqiah ini juga gagal secara signifikan
menghadirkan terdakwa utama, yaitu Letkol Soejono yang
kala itu menjabat sebagai Kasi intel Kodam I Bukit Barisan,
yang memimpin dan memerintahkan peryerbuan itu.39

39
Baca Dyah Rahmany P, Matinya Bantaqiah, Menguak Tragedi Beutong Ateuh,
Cordova, Banda Aceh, 2001.

51
III. Buku Putih Pertahanan dan UU Pertahanan
Negara

Reformasi pertahanan Indonesia dalam Buku Putih


Pertahanan mencakup perubahan struktur organisasi
pertahanan, tataran kewenangan, fungsi dan tugas
Departemen Pertahanan, fungsi dan tugas TNI. Upaya
penataan itu ditujukan agar penyelenggaraan pertahanan
negara dapat lebih efektif sesuai dengan perkembangan
konteks strategis serta dalam bingkai masyarakat demokratis.
Pada aspek kultur dan tata nilai, perubahan diarahkan pada
sikap dan prilaku penyelenggara pertahanan negara untuk
mampu memposisikan diri sesuai dengan peran dan
tugasnya. Perubahan itu berlaku bagi segenap jajaran TNI
dan Departemen.40
Buku Putih Pertahanan bertujuan untuk menciptakan saling
percaya dan meniadakan potensi konflik, dan
memperlihatkan kepada negara lain bahwa sistem
pertahanan Indonesia tidak mengancam negara lain, tidak
juga mengancam masyarakat Indonesia sendiri. Dengan
melihat tujuan yang demikian tentu yang paling penting
dari sebuah buku putih pertahanan adalah rumusan
ancaman terhadap pertahanan sebuah negara.

40
Lihat Dephan, Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21, Dephan, Jakarta,
2003.

52
Bentuk-bentuk ancaman terhadap pertahanan Indonesia
dalam buku putih disebutkan sebagai berikut; terorisme
internasional, gerakan separatisme bersenjata, aksi radikalisme
berlatar primodialisme seperti agama, suku dan etnis serta ideologi
selain Pancasila baik berdiri sendiri maupun yang berkaitan
dengan pihak luar, konflik komunal yang dapat berkembang
jadi konflik berdasarkan agama, suku dan etnis, kejahatan
lintas negara seperti narkoba, penyelundupan bahan peledak
dan perdagangan manusia, pencucian uang serta bentuk
kejahatan terorganisir lainnya seperti migran gelap,
gangguan udara dan pembajakan pesawat, gangguan
keamanan laut seperti pembajakan dan perompakan,
pengrusakan lingkungan dan pembuangan limbah
berbahaya serta bencana alam dan dampaknya.
Jika dibandingkan ancaman yang ada dalam Buku
Pertahanan ini dengan ancaman yang dirumuskan oleh
Menteri Hankam LB Moerdani pada tahun 1991, maka
terlihat jelas tidak adanya perubahan yang signifikan dalam
melihat perkembangan. Tahun 1991 Dephankam
menumuskan ancaman terhadap Indonesia itu ada dua yaitu
ancaman agresi bersenjata dari luar yang tak dapat diabaikan dan
kedua, ancaman dari dalam negeri. Ancaman dari dalam negeri
itu diantaranya kerusuhan sebagai akibat dari kesenjangan
sosial-ekonomi, kerusuhan akibat adanya konflik politik yang
ditimbulkan oleh golongan tertentu karena aspirasinya tidak
mendapat saluran, separatisme

53
bersenjata dan pemberontakan bersenjata yang berkehendak
mengubah ideologi negara.41
Dalam buku putih pertahanan, TNI disebut sebagai tentara
rakyat, maka harus selalu dekat dengan rakyat. TNI harus
mengenal dan hidup bersama rakyat. Oleh karena itu
memisahkan TNI dari rakyat merupakan pengingkaran akan
kodrat TNI sebagai tentara yang berasal dari rakyat, berjuang
bersama rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Dan dalam
kalimat terakhir tertulis bahwa fungsi teritorial yang
dilakukan TNI untuk tetap memelihara kedekatan dengan
rakyat dan teritorialnya.

Singkat kata, antara buku putih 2003 dan doktrin pertahanan


1991 sama-sama melihat ancaman terbesar berada di dalam
negeri. Sedangkan ancaman dari luar berupa agresi
bersenjata dilihat sama-sama kecil kemungkinannya. Jikapun
ada perbedaan, perbedaan itu hanya dalam merumuskannya
saja misalnya dalam buku putih dispesifikasikan isu terorisme
dan kejahatan transnasional.

Tidak berubahnya bentuk ancaman terhadap Indonesia


memperlihatkan adanya kebekuan dalam perkembangan
masyarakat Indonesia. Sehingga dinamika sosial politik

41
Lihat Dephankam, Doktrin Pertahanan Keamanan Negara, Jakarta, 5 Oktober 1991.

54
yang semestinya dikelola dalam sisitem sosial politik yang
demokratik, malah diupayakan untuk ditekan sedemikian
rupa, dan jika perlu mengunakan kekuatan bersenjata.
Disamping itu ideologi masih tetap dianggap sebagai
ancaman bukan sebagai tantangan dalam mencari perbaikan
dan perubahan secara signifikan pada tata kehidupan
berbangsa dan bernegara, serta pengelolaan politik yang
demokratis. Arti kata masyarakat Indonesia dalam memasuki
abad 21 masih ditabukan untuk mengerti dan memiliki
ideologi, kecuali ideologi tunggal negara. Dengan sendirinya
rumusan ancaman itu akan melibatkan Tentara Nasional
Indonesia untuk terlibat dalam mengur us dan
menyelesaikannya.

Jadi, tidak mengherankan jika saat ini sistem pertahanan


yang dianut adalah sistem pertahanan semesta yang
mengedepankan angkatan darat sebagai ujung tombaknya,
karena ancaman itu dianggap laten dan sekaligus manifes
di dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, kerja-kerja
TNI untuk mengatasi ancaman itu akan lebih mudah jika ia
bersama dengan masyarakat. Cara pandang ini pulalah yang
sampai saat ini membuat Mabes TNI keberatan atas
penghapusan terhadap kekuasaan teritorial yang ada pada
Angkatan Darat.

Dengan demikian semangat reformasi yang hendak


mendemokratiskan struktur politik masyarakat di daerah

55
dan melepaskannya dari cengkeraman politik militer menjadi
tersendat, bahkan cenderung tak bergeming. Sehingga
semangat yang dibawa oleh proses demokratisasi yang
hendak menjadikan TNI sebagai miiter profesional yang
tidak mencampuri politik dan tunduk pada keputusan politik
parlemen menjadi sia-sia, karena kultur dan watak Mabes
TNI tidak mengalami perubahan dalam melihat seluruh
dinamika masyarakat Indonesia. TNI tetap pada posisi
lamanya yang selalu merasa sebagai pihak yang paling benar
dan paling utama dalam mengelola masyarakat.

Dengan watak yang seperti TNI, maka implementasi


Undang-undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara juga mengalami kendala. Pertama, TNI tidak serta
merta berada dibawah kendali Menteri Pertahanan yang
berfungsi sebagai perencana pertahanan. Apalagi, posisi
Panglimanya sejajar dengan menteri dan juga ikut dalam
sidang kabinet, bahkan juga bisa langsung kepada Presiden.
Soal ini acapkali memunculkan persoalan dalam hubungan
militer dengan pemerintah.

Sementara itu, pengawasan juga menjadi soal karena DPR


sebagaimana yang diatur oleh Pasal 24 ayat 1 UU Nomor
3/2002 tentang Pertahanan Negara juga tidak mampu
berfungsi secara baik akibat kentalnya rivalitas antar fraksi
di dalam DPR. Walhasil, sepak terjang TNI sulit dikontrol

56
dan malah pengawasan terhadap TNI justru dijadikan
bancakan politik untuk memperoleh dukungan politik dari
kalangan TNI. Kelangsungan kekuasaan politik dari partai
politik tidak diukur pada seberapa jauh konstituen dan
masyarakat memberi dukungan kepada partai politik, akan
tetapi justru yang menjadi faktor utama yang
dipertimbangkan adalah seberapa jauh dukungan politik
militer kepada partai politik itu.

Kelemahan pengawasan itu bisa kita lihat dari bagaimana


DPR bersikap terhadap ancaman terorisme. Pasal 7 ayat 2,
UU Nomor 3 tahun 2002 dan Buku Putih Pertahanan
menyatakan TNI memiliki kewenangan untuk mengatasi
terorisme dan kekuatan TNI bisa dikerahkan untuk
menghadapinya. Namun dalam UU Nomor 15 tahun 2003
tentang Penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, kewenangan itu
ada pada polisi. Kekacauan pemberian kewenangan atau
pembangunan kompetensi lembaga yang dilibatkan,
memperlihatkan rendahnya kapasitas DPR untuk
menjalankan fungsi-fungsi pengawasan di bidang
pertahanan, terutama mengenai ancaman dan cara
menghadapi ancaman pertahanan. Pada gilirannya, TNI-
lah yang akan menjadi faktor penentu (determinant factor),
hal itu terlihat dari kuatnya permintaan kalangan perwira
tinggi TNI untuk meminta kewenangan yang lebih besar

57
dalam menghadapi terorisme. Seolah-olah persoalan
terorisme hanyalah masalah ancaman bersenjata semata dan
TNI bisa mengatasinya secara menyeluruh. Dalam konteks
ini TNI akan menjelma menjadi kekuatan yang sama dengan
kekuasan projusticia yang lain yang diemban oleh kejaksaaan
dan kepolisian. Rendahnya kapasitas DPR kembali memberi
ruang bagi TNI untuk bertindak seperti masa lalu, yaitu
membiarkan TNI menjadi kekuatan bersenjata, kekuatan
politik pada dirinya dan sekaligus penegak hukum.

Dengan melihat perkembangan di atas maka, Pasal 3 UU


Pertahanan Negara yang menyatakan pertahanan negara
disusun berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi
manusia, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan
hukum nasional, hukum internasional dan kebiasaan
internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara
damai menjadi tak bermakna bagi demokratisasi Indonesia.
Disamping itu, Undang-undang pertahanan negara yang
konon disusun dengan memperhatikan kondisi geografis
Indonesia sebagai negara kepulauan sebagaimana diatur
Pasal 3 ayat 2, juga menjadi tak bermakna apa-apa ketika
ternyata konsentrasi pertahanan masih ditumpukan pada
kekuasaan teritorial yang berbasiskan Angkatan Darat. Hal
itu bisa dikatakan demikian, karena Indonesia yang secara
geografis lebih

58
besar laut dengan garis pantai yang begitu panjang sudah saatnya
pertahanan dengan kekuatan angkatan laut yang diperbesar.
Melihat itu, struktur teritorial mulai dari Kodam hingga Babinsa
menjadi tidak relevan lagi, kecuali pada saat ini musuh atau
ancaman tetap dipahami ada dari dalam sebagaimana buku putih
merumuskannya.

Menguatnya paham teritorial darat sebagaimana yang dirumuskan


dalam pertahanan Indonesia saat ini berasal dari cara pikir tahun
50-an. Tentang hal ini, Atmadji Soemarkidjo mengatakan42;
Antara tahun 1957 konsep Teritorial diubah
namanya menjadi Komando daerah militer
(Kodam, dan dipertahankan hing ga
sekarang), tetapi fungsinya tetap merupakan
komando-komando dengan kewenangan
pembinaan teritorial yang luas. Kemudian
pada 1958, Nasution membentuk Komite
doktrin Militer yang dipimpin oleh Kolonel
AJ Mokoginta dan wakilnya Letkol
Soewarto. Dalam kajiannya, komite

42
Lihat Atmadji Soemarkidjo dalam Rifqie Muna (Peny) Komando Teritorial TNI: latar
Belakang Sejarah, dalam Likuidasi Komando Teritorial dan Pertahanan Nasional, (Jakarta:
The Ridep Institute, 2002).

59
tersebut berkesimpulan bahwa tentara
tidak mungkin memenangkan suatu
peperangan modern tanpa dukungan
dari rakyat. Ini yang menjadi dasar dari
dipakainya doktrin Perang Teritorial
pada tahun 1960 yang kemudian tidak
saja menjadi doktrin TNI AD tetapi
juga menjadi doktrin peperangan
semesta berkat usaha meyakinkan
semua pihak bahwa ini adalah satu-
satunya cara Indonesia untuk
mempertahankan diri dari ancaman
luar negeri. (Guy J. Paulker, 1963).

Sebagai pengembangan dari Doktrin perang Teritorial


pada tahun 1962, Kol. Soewarto di Seskoad
menghasilkan Doktrin Perang wilayah, yang
sebetulnya masih satu napas dengan pemikiran
Nasution tahun 1948 terdahulu. Tetapi harus diakui
bahwa TNI tidak semata-mata memikirkan
bagaimana menghadapi musuh dari luar, tetapi sudah
mempertimbangkan situasi politik di dalam negeri.
Pemilu tahun 1955, berbagai pemberontakan di
dalam negeri dan sikap presiden Soekarno yang
semakin mengambil jarak

60
dengan TNI, menyebabkan pihak TNI bertindak lebih
cepat. Sejalan dengan pengembangan doktrin-doktrin
tersebut, aparat teritorial disempurnakan lagi, dan
disesuaikan dengan organisasi pemerintahan sipil terbaru.
Jadi, dibawah Kodim, Korem, dan Kodim dibentuk
Komando Rayon Militer yang berada di tingkat kecamatan.
Sementara aparat militer terbawah adalah Bintara pembina
Desa atau Babinsa. Bintara ini yang berada pada tingkat
Kelurahan memang tidak mempunyai aparat, dia bekerja
sendiri di tengah rakyat dengan tugas utamanya justru
melakukan pembinaan masyarakat secara terus-menerus
dan melaporkan setiap perkembangan ke Koramil sebagai
organisasi teritorial tentara yang paling bawah.

Jadi pertahanan berbasiskan kekuasaan teritorial itu sangat sarat


dengan agenda politik. Agenda politik itu dilandasi oleh upaya
perebutan kekuasaan paska tahun 65. Dalam seminar Angkatan
Darat tahun 1966 di Seskoad dan seminar Pertahanan dan
Keamanan pada November 1966 disusun kekuasaan teritorial
itu sebagai langkah untuk menguasai semua sektor kehidupan
masyarakat. Semuanya itu dirumuskan kedalam doktrin
perjuangan ABRI yang disebut Catur Dharma Eka Karma atau
populer dengan

61
singkatan CADEK. Dalam CADEK (Mabes ABRI, 1988)
dikatakan
“hakekat sospol ABRI adalah jiwa,
tekad dan semangat pengabdian ABRI
sebagai kekuatan sospol untuk secara
aktif berperan serta bersama-sama
dengan segenap kekuatan sosial lainnya,
memikul tugas dan tanggung jawab
perjuangan bangsa Indonesia dalam
mengisi kemerdekaan dan
kedaulatan...” .
43

Dengan bersikap demikian TNI sepertinya melupakan


realitas perkembangan global, geostrategis, keilmuan dan
teknologi dalam melakukan pertahanan negara. Sehingga
jabaran strategi dan kebijakan pertahanan nasional tetap pada
posisi defensif. Tujuan politik yang hendak dicapai dari
doktrin ini adalah
...kelangsungan hidup (survivability),
oleh karena itu bertumpu pada strategi
defensif. Tujuan lainnya, terutama
pengembangan sistem (System
advancement), tampaknya bukan
menjadi prioritas pokok dari sitem ini.

43
Dephankam, Doktrin Pertahanan Keamanan Negara, Op.Cit, hal 25.

62
Secara kultural, oleh karenanya, sistem
hanrata cenderung konservatif dan
menutup diri terhadap kemungkinan
perubahan.44

Andi Widjojanto melalui tulisan Destrukturisasi Teritorial


menjelaskan beberapa kelemahan yang terkait dengan
keberadaan komando teritorial, pertama, soal pola pembagian
Zona pertahanan I (Penyangga), II (Pertahanan Negara) dan
III (Perlawanan) 45. Kedua, struktur komando teritorial
berkaitan dengan masalah efisiensi sumber daya46. Ketiga
adalah struktur koter yang tersebar diseluruh wilayah
kepulauan Indonesia disertai dengan kemampuan mobilisasi
pasukan yang memadai47. Keempat,
44
Kusnanto Anggoro, Organisasi Dan Postur Pertahanan Indonesia Masa Depan, dalam
Komando Teritorial TNI: Latar Belakang Sejarah, dalam Likuidasi Komando Teritorial
dan Pertahanan Nasional, The Ridep Institute, Jakarta, 2002. hal 72
45
Menurut Andi Widjojanto TNI tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menggelar
operasi militer di Zona I (Diluar ZEE hingga wilayah musuh) dan Zona II (diperairan
teritorial Indonesia)...Indonesia membutuhkan kemampuan militer modern seperti long
and middle range strike bombers, aircraft carriers, large-scale and long range
amphibious assault dan medium range attack submarines yang dibutuhkan untuk
menggelar operasi militer gabungan di Zona I. Kemampuan-kemampuan yang menjadi
kunci modernisasi pertahanan negara-negara di Asia Timur untuk dekade 2000-2010
saat ini tidak dimiliki dan belum dirancang dimiliki oleh Koopsau I-II maupun Armada
Barat dan Timur.
46
Kekuatan terbesar TNI saat ini terletak di 12 Kodam yang tersebar diberbagai wilayah
Indonesia. Jumlah pasukan TNI-AD yang digelar di 12 Kodam tersebut hampir
mendekati angka 150.000 pasukan (69,8% dari seluruh pasukan TNI-AD atau 51, 7%
dari seluruh pasukan TNI). Dari angka 150.000 tersebut, 76.000 pasukan TNI bertugas
di Bataliyon Infanteri, Kavaleri, Artileri, Pertahanan udara dan zeni tempur. Hal ini
berarti hanya 50,6% dari pasukan teritorial AD yang bertugas di satuan tempur. Masalah
efisiensi lainnya adalah masalah finansial. Keberadaan struktur komando teritorial
menghabiskan hampir 45% dari total belanja Pertahanan Negara.
47
koter pada dasarnya memang merupakan proses institusionalisasi dari strategi militer
yang menempatkan perang gerilya sebagai strategi utamanya. Strategi perang gerilya
ini sebenarnya tidak dapat di institusionalisasi karena strategi ini merupakan bagian
dari grand strategy in war yang tidak bisa digelar dalam struktur permanen dimasa
damai...

63
pengembangan struktur Koter tidak mencerminkan
kebutuhan pertahanan negara kepulauan yang harus
ditopang oleh suatu integrated armed-forces 48. Kelima,
pengembangan struktur Koter mengharuskan TNI untuk
menjadi aktor tunggal pertahanan-keamanan yang harus
dapat menangkal semua jenis ancaman49.

Karena Strategi teritorial lebih banyak mempunyai konotasi


“Perang politik” daripada perang yang sesungguhnya yang
menjadi tanggungjawab profesi kemiliteran, maka TNI
dengan konsep teritorialnya menjelma menjadi kekuatan
politik yang sesungguhnya mengatasi kekuatan partai politik
manapun. Oleh karena dalam melakukan mobilisasi massa
baik untuk mendukung program-program TNI maupun
untuk membentuk opini dalam menghadapi pihak-pihak
yang tak disukai TNI di daerah-daerah, menjadi lebih mudah.
Dengan posisinya sebagai kekuatan politik riil itu

48
Penyebaran Kodam di 13 propinsi hanya ditopang oleh 2 komando AL dan AU yang
terpusat di segitiga Jakarta-Surabaya-Makassar. Masalahnya adalah
pertama, dua komando terpusat AL dan AU tidak memiliki kemampuan mobilitas tinggi
sehingga akan menyulitkan penerapan strategi rapid deployment yang menjadi strategi
andalan pasukan khusus. Kedua, rendahnya dukungan AL dan AU ini juga menyulitkan
operasionalisasi sistem integrated logistic support yang diperlukan dalam operasi
militer gabungan. Ketiga pola pertahanan koter hanya akan relevan jika musuh memiliki
niat untuk melakukan operasi invasi darat. Jika musuh hanya “numpang lewat” dan
bertujuan untuk menguasai jalur laut, seluruh strategi Koter menjadi sia-sia.
49
Kajian-kajian terbaru dalam bidang strategi keamanan nasional dan internasional
memang menunjukkan adanya perluasan konsep keamanaan (security) yang diletakkan
sebagai konsep multidimensional. Sifat multidimensional konsep keamanan ini
mengharuskan negara untuk mengembangkan strategi keamanan komprehensif untuk
menangkal berbagai bentuk ancaman seperti ancaman militer-nonmiliter, eksternal-
internal, maritime-based atau land-based, technological-based atau human-based,
serta konvensional non-konvensional.

64
konservatisme dan nasionalisme sempit menjadi wacana yang
paling tepat dikembangkan oleh TNI untuk
mempertahankan kedudukannya.

Karena lebih banyak berpolitik maka TNI mengalami


kemerosotan dalam hal teknologi. Undang Undang
Pertahanan dan Buku Putih Pertahanan juga luput dalam
memperhatikan kebutuhan teknologi pertahanan ke masa
depan. Padahal teknologi itu sangat penting dalam
pertahanan, sebagaimana yang dikatakan Ninok Leksono,
sebagai berikut;
Dalam hal tersebut ada perhitungan
minimun masa depan yang harus
diupayakan perwujudan seperti pernah
disampaikan Laksda. (Pur n)
Wahyono bahwa luas perairan
Indonesia yang 3.000.0000 km perlu
diawasi. Sebuah frigat 2000 ton yang
dibuat PT PAL dapat menjangkau
100 ribu km persegi sehing ga
dibutuhkan sedikitnya 30 frigat. ...
Jika kebutuhan minimun tersebut tidak
terpenuhi jangan salahkan cita-cita
yang tidak terwujud untuk
mengeksploitasi ZEE dan
mendayagunakan kekayaan laut 50.

65
Undang-undang Nomor 3/2003 juga tidak mengatur
penarikan diri TNI dari tengah masyarakat (penghapusan
teritorialisme). Perhatikan Pasal 1 dari ayat 7-11,
Komponen pendukung adalah sumber
daya nasional yang dapat digunakan
untuk meningkatkan kekuatan dan
kemampuan komponen utama dan
komponen cadangan. Sumber daya
nasional adalah sumber daya manusia,
sumber daya alam, dan sumber daya
buatan. sumber daya alam adalah
potensi yang terkandung dalam bumi,
air dan dirgantara yang dalam wujud
asalnya dapat didayagunakan untuk
kepentingan pertahanan negara.
Sumber daya buatan adalah sumber
daya alam yang telah ditingkatkan daya
gunanya untuk kepentingan pertahanan
negara. Sarana dan prasarana nasional
adalah hasil budi daya, manusia yang
dapat digunakan sebagai alat penunjang
untuk

Dr. Ninok Laksono, Permasalahan Teknologi Pertahanan Relevan, dalam Sistem Pertahanan-Keamanan
50

Negara, Analisis Potensi dan Problem, The Habibie Center, Jakarta, 2001. hal 264.

66
kepentingan pertahanan negara dalam
rangka mendukung kepentingan
nasional.. Pasal 7, sistem pertahanan
negara dalam menghadapi ancaman
militer menempatkan TNI sebagai
komponen utama dengan didukung oleh
komponen cadangan dan komponen
pendukung.

Menurut DR. Budiono:


“... pada hakikatnya fungsi pertahanan
dan keamanan negara adalah fungsi
penyediaan barang Publik (Public
Goods) berupa terpeliharanya integritas
bangsa serta terwujudnya rasa aman,
rasa tentram, dan suasana tertib bagi
rakyat untuk melakukan kehidupan
normal sehari-hari. Oleh karena itu
pelaksanaannya—termasuk aspek
pembiayaannya—harus tunduk pada
prinsip-prinsip yang berlaku bagi
penyediaan barang publik pada
umumnya”.51

67
Karena barang publik tersebut mempunyai kekhasan yaitu
sebagai alat kekerasan, maka dalam penggunaannya, harus
dihindari atau dijaga jangan sampai ada penggunaan
kekerasan, termasuk pembatasan hak-hak masyarakat sipil.
Oleh karena itu perlu adanya suatu sistem pengawasan dan
pengendalian yang efektif agar penggunaan kekuatan
tersebut tidak menimbulkan penyalahgunaan dan ekses-
ekses yang mengakibatkan Public goods menjadi public bads.

Lebih jauh menurut DR Budiono:


Sumber inefisiensi dalam penyediaan
public goods, salah satunya, disebabkan
karena dalam negara dunia ketiga, ada
kecenderungan penerima manfaat atau
konsumen menghindar dari kewajiban
menyumbang untuk penyediaan barang
tersebut. Sehingga alokasi dana menjadi
kurang. Akan tetapi dalam
masyarakat otoriter hal ini menjadi
mudah. Karena proses pengambilan
keputusan kolektif dapat dengan cepat
diambil oleh pemegang kekuasaan.
Tetapi hal ini mengandung
keberbahayaan. Yaitu barang publik
yang disediakan tidak

68
sesuai dengan yang dibutuhkan atau
yang dihendaki masyarakat banyak.
Misalnya lebih mendahulukan program
peluru kendali dari program
peningkatan produksi pangan. Atau
program polisi rahasia yang efisien dari
pada polisi penegakkan hukum.52

Ditambahkan, Sementara pembiayaan


Off Budget (badan usaha khusus atau
pungutan-pungutan ad hoc) tidak
efesien karena cenderung tidak
transparan. Pada gilirannya hanya
akan menimbulkan distorsi pada
penentuan skala prioritas program dan
pemborosan. Jika kita memang ingin
membangun suatu sistem pembiayaan
modern bagi penyediaan barang publik,
termasuk pertahanan dan keamanan,
sumber-sumber off budget harus
secepatnya dimasukkan ke dalam satu
pot

51
DR. Budiono, Aspek Pembiayaan dari Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara
dalam Sistem Pertahanan-Keamanan Negara, Analisis Potensi dan Problem, The
Habibie Center, Jakarta, 2001. hal 301
52
Ibid, hal. 302

69
kolektif, yaitu APBN, yang transparan
dan terbuka bagi semua program yang
menyangkut penyediaan barang
publik.53

Selain itu persoalan profesionalitas juga akan terganggu


dengan alokasi Sumber daya Manusia yang kerap dan
cenderung berbisnis. Mengenai hal ini, Direktur The Ridep
Institute S. Yunanto mengemukakan:
bisnis militer di Indonesia, terutama
pada masa lalu, memang terbukti
banyak mengganggu peningkatan
profesionalitas prajurit. “Bisnis TNI,
baik yang dijalankan oleh orang-orang
TNI secara struktural maupun oleh
purnawirawan TNI, memang sangat
mengganggu profesionalitas. Konsentrasi
para pimpinan di TNI lebih banyak
pada fungsi-fungsi di luar pertahanan,”
juga karena keterlibatan dalam politik.
Kondisinya semakin parah karena
peran politik dan peran ekonomi itu
punya interkoneksi yang jelas, sehingga
mengurangi konsentrasi para

53
ibid, hal 305.

70
pimpinan TNI kepada fungsi
pertahanan54.
Laksamana Madya (Purn) I Gede Artjana dari
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
menyebutkan :

“Sejumlah yayasan yang membiayai


aktivitas militer yang telah diaudit
BPK; Di Departemen Pertahanan ada
Yayasan Kejuangan Panglima Besar
Sudirman (YKPBS) dengan empat unit
usaha dan Yayasan Satya Bhakti
Pertiwi (YSBP) dengan lima unit
usaha. Di bawah Markas Besar TNI
ada Yayasan Markas Besar ABRI
(Yamabri) yang mengelola lima unit
usaha. Juga terdapat yayasan yang
berada di bawah setiap markas
angkatan. TNI AD mempunyai
YKEP dengan 27 unit usaha dan 18
perusahaan patungan, Yayasan
Dharma Putra Kostrad (YDPK) dan
Yayasan Kesejahteraan Korps Baret
Merah (Yakobame) Kopassus, masing-
54
S. Yunanto, Militer Berbisnis Pengaruhi Profesionalitas Prajurit, Kompas,
(12 September 2003).

71
masing dengan satu unit usaha. TNI
AL memiliki Yayasan Bhumiyamca
(Yasbum) yang menjalankan 32 unit
usaha. Dan, TNI AU menjalankan
Yayasan Adhi Upaya (Yasau) dengan
10 unit usaha.” 55

Keresahan dan dampak yang buruk bagi profesionalitas TNI


dan demokrasi di Indonesia pada awalnya dilarang oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 197456. Tetapi
melalui Undang-undang baru mengenai yayasan, justru
diizinkan militer berbisnis melalui yayasan dengan ketentuan
maksimal penyertaan 25 persen dari total kekayaan yayasan.
Ukuran-ukuran milliter yang berbisnis seperti dikemukakan
pengamat militer AS, Louis W. Goodman (1995),
diperbolehkan asal tidak menerabas tiga pantangan. Pertama,
keterlibatan militer (dalam bisnis) menghalangi kelompok
lain untuk mengambil peran dalam persoalan tersebut
sehingga menghambat organisasi sipil untuk
mengembangkan kemampuan kritisnya dan menghambat
perluasan peran sipil dalam masyarakat. Kedua, pihak militer
mendapat privilese tambahan

55
Ibid
56
Danang Widoyoko, dkk, Bisnis Militer Mencari Legitimasi, (Jakarta: ICW, November
2002).

72
sehubungan peran nontempur (bisnis) tersebut sehingga
membuat enggan mereka untuk melepaskannya. Ketiga,
angkatan bersenjata terlibat terlampau jauh (deep) dalam misi
nontempur itu sehingga mengabaikan misi utamanya, yakni
pertahanan.57

Sejauh ini, merujuk track record militer dalam bisnis,


khususnya di era Orba, tiga pantangan itu tidak dihiraukan
TNI. Bahkan, ada kesan kuat, muncul resistensi dari
kalangan militer, terutama yang menikmati manisnya
bermain bisnis dengan di-back-up kekuasaan (power) warisan
Orba. Seharusnya saat ini institusi-institusi demokrasi dan
sipil mengambil peran dan kerja yang lebih konkrit untuk
tidak menempatkan TNI seperti dalam masa Orba.
Bisa dikatakan hadirnya UU N0.3/2000 tentang Pertahanan
dan Buku Putih Pertahanan tidak membawa perubahan yang
berarti bagi peranan TNI untuk mendorong proses
demokratisasi di Indonesia. Hal itu terjadi karena tidak
adanya koreksi terhadap watak dan peran TNI dalam politik
di Indonesia. Oleh karena acap kali tindakan militer
Indonesia bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang
ada dalam Undang Undang. Pembelian Pesawat Sukoi adalah
salah satu contohnya.

57
Dalam Mohammad Samsul Arifin, Akhir Keemasan Bisnis Militer, Pikiran Rakyat, 4
Januari 2003.

73
Sedangkan contoh lain tidak diindahkanya UU secara baik
itu adalah pemberlakuan darurat militer di Aceh yang
berkepanjangan dan operasi militer di Aceh yang tak
berdasarkan pertimbangan keperluan dan kebutuhan yang
pasti oleh DPR.

74
D. PENUTUP

Dari seluruh paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa


lemahnya institusi negara yang dikelola oleh para politisi
sipil menjadikan militer mudah kembali masuk kedalam
arena politik. Apalagi dalam rentang negosiasi transisi politik,
politisi sipil tidak memiliki posisi tawar yang kuat dengan
militer. Pada gilirannya otoritas politik yang ada, parlemen
dan kekuatan partai politik yang semestinya mampu
mengkoreksi seluruh watak dan sepak terjang militer justru
malah bersekutu dengan militer.

Selain itu juga, dapat disimpulkan bahwa militer saat ini tidak
menyumbang secara signifikan terhadap konsolidasi
demokrasi di Indonesia. Hal ini terjadi karena militer tidak
mau dikoreksi disatu sisi dan lemahnya posisi politik elit
sipil yang berkuasa, baik di parlemen maupun eksekutif, di
hadapan TNI. Oleh karena itu sebagai kekuatan politik dari
rezim lama, TNI tetap menjalankan watak otoriteriannya
dengan pola terror, intimidasi, kekerasan atau pengintaian
untuk menundukkan kekuatan politik lain atau massa rakyat.

Ditingkatan konstitusi telah terjadi perubahan pada Pasal


30 UUD 1945 saat proses amandemen I tahun 1999.
Sedangkan dalam tahun 2000, MPR membuat dua buah

75
ketetapan, yakni TAP MPR Nomor VI tahun 2000 tentang
Pemisahan Institusi TNI dan Polri, dan TAP MPR Nomor
VII tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri. Pada tahun
2002 pemerintah mengeluarkan UU Nomor 3 tahun 2002
tentang Pertahanan Negara serta turunannya berupa Buku
Putih Pertahanan Indonesia, yang dikeluarkan Departemen
Pertahanan pada tahun 2003. Namun perubahan ditingkat
Undang Undang itu tidak membawa dampak pada
perubahan prilaku. Hal itu terlihat dari masih menguatnya
kekuasaan teritorial TNI dengan penambahan Kodam dan
Korem. Termasuk juga, masih ikutsertanya TNI dalam
mengontrol gerakan politik massa rakyat, penggunaan dana
off budget tanpa mekanisme transparansi dan akuntabilitas
publik melalui sumber-sumber bisnis militer, serta masih
kentalnya intervensi politik militer terhadap kehidupan
peradilan dalam proses penegakan hukum.

Setelah lima tahun reformasi berjalan serta telah dibuatnya


sejumlah perangkat hukum berkenaan dengan perbaikan
institusional militer paska mundurnya Soeharto, cita-cita
ideal akan terciptanya masyarakat sipil yang demokratis,
masih menjadi tanda tanya bagi masa depan Indonesia. Hal
ini dikarenakan sejumlah peraturan dan kebijakan tersebut
tidak mendapat dukungan politik dalam penegakannya.
Peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan TNI gagal
menempatkan peran dan posisi militer

76
dalam negara demokratis. Misalnya dalam UU Nomor 3
tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, posisi Panglima
TNI berada langsung dibawah Presiden. Berarti sejajar
dengan Menteri Pertahanan. Padahal idealnya, TNI
berkewajiban menjalankan sejumlah perencanaan yang
diprogramkan oleh Departemen Pertahanan.

77
Rekomendasi:

1. Perlu dilakukan tindakan eksaminasi berupa judicial review


melalui Mahkamah Konsitusi terhadap sejumlah Undang-
Undang yang memberi peluang TNI mengingkari
prinsip-prinsip Negara demokrasi, antara lain yaitu
Undang Undang Pengadilan Militer dan Undang Undang
Pertahanan Negara;

2. DPR perlu melakukan tindakan-tindakan pengawasan


maupun kontrol yang jauh lebih serius dan lebih ketat
terhadap TNI, berdasarkan kewenangan yang ada, serta
tidak menjadikan sebuah produk hukum berupa Undang
Undang sebagai dagangan politik jangka pendek. Oleh
karena itu, para anggota DPR juga perlu mempertajam
kemampuan dan kapasitas dirinya secara paradigmatik,
minimal memiliki pengetahuan yang memadai tentang
militer dalam masyarakat yang demokratis serta
memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas.

3. Perlu memformulasikan tempat dan posisi TNI dalam


politik saat ini secara lebih jelas dalam kendali otoritas
sipil. Sehingga TNI tidak mudah memanipulasi masa
lalunya yang menjadi alat

78
kekuasaan untuk kembali berpolitik, menindas dan
korup. Dalam hal ini sangat diperlukan adanya
pembongkaran sejarah secara resmi terhadap segala
bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan
kekuasaan terhadap institusi militer di masa lalu.

4. TNI sendiri juga harus merubah paradigma, doktrin


dan tindakannya agar mampu menjadi bagian yang
integral bagi bangsa Indonesia yang demokratis.
Sebaliknya, jika TNI masih terus mengedepankan
penguasaan, apalagi menggunakan kekerasan, maka
TNI hanya akan kembali menjadi “negara dalam
negara”.

5. TNI harus tunduk pada otoritas sipil yang


demokratis. TNI harus tunduk pada penegakkan
hukum, termasuk proses peradilan hak asasi
manusia. TNI harus dipimpin oleh seseorang yang
cerdas, yang mampu menempatkan diri dalam
perwujudan masyarakat yang demokratis,
menjunjung supremasi sipil, dan konstitusional.
TNI selayaknya dipimpin oleh Jenderal yang berasal
dari kalangan Angkatan Laut, sesuai dengan
kapasitas geo-politik negara Indonesia.

79
Daftar Pustaka

Buku

Ann Seidman, Robert B. Seidman, Nalin Abeyeskere, Penyusunan


Rancangan Undang-undang Dalam Masyarakat Yang Demokratis : Sebuah
Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undang-undang, edisi kedua,
(Jakarta, Elips, 2002),

Dephan, Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21,


(Jakarta,Dephan, 2003).

Dephankam, Doktrin Pertahanan Keamanan Negara, (Jakarta, 5


Oktober 1991)

Dyah Rahmany P, Matinya Bantaqiah, Menguak Tragedi Beutong


Ateuh, (Banda Aceh: Cordova,2001)

Edward Luttwak, Coup d’Etat, A Practical Handbook—A Brilliant


Guide To Taking Over A Nation. (Greenwich, Fawcett Premier
book, 1969).

Indria Samego (Peny) Sistem Pertahanan-Keamanan Negara, Analisis


Potensi dan Problem, (Jakarta: The Habibie Center, 2001).

Louis Irving Horowitz, Revolusi, Militerisasi dan Konsolidasi


Pembangunan, (Jakarta: Bina Aksara, 1985).

80
Maria Farida Indrati Soeprapto, SH, MH, Ilmu Perundang-
Undangan, dasar-dasar dan pembentukannya, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1998)

Mark E. Warren (edit) Democracy and Trust, (Cambrigde


University press 1999).

Markas Besar TNI, TNI Abad XXI, Redefinisi, Reposisi dan


Reaktualisasi Peran TNI Dalam Kehidupan Bangsa, (Jakarta:
Markas Besar TNI, 1999).

Peter Britton, Profesionalisme Dan Ideologi Militer Indonesia,


(Jakarta:LP3ES, 1996)

Rifqie Muna (Peny) Komando Teritorial TNI: Latar Belakang


Sejarah, dalam Likuidasi Komando Teritorial dan Pertahanan
Nasional, (Jakarta: The Ridep Institute, 2002)

Rizal Sukma dan J. Kristiadi (penyuting) Hubungan Sipil


Militer dan Tanrsisi Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: CSIS,
1999)

Robert P Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik Di Dunia


Ketiga, (Jakarta: Penerbit Erlangga,1989)

Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga


(terjemahan oleh Asril Marjohan), (Judul asli; democratization
in the late twentieth century, 1989) (Jakarta: Grafiti, 2001).

81
Victor Conde, A Handbook Of International Human Rights
Terminology, (USA: University of Nebraska Press, 1999).

Makalah/Jurnal

Amiruddin, “Dwifungsi ABRI: Perspektif Sejarah dan Masa


Depannya.” Dalam Diponegoro 74: Jurnal HAM dan Demokrasi,
YLBHI, III/07/1999..

Brussels Group for International Justice, Following on From


the the Colloquium “The fight Against Impunity: Stakes and
Perspectives” (Brussels, March 11-13 2002)”, Brussels Principles
Against Impunity and for Internasional Justice”.

Danang Widoyoko, dkk, Bisnis Militer Mencari Legitimasi, (Jakarta:


ICW, November 2002).

Daniel S. Lev, “ABRI dan Politik: Politik dan ABRI,” dalam


Diponegaro 74, Jurnal HAM dan Demokrasi, No.7/III/April
1999, YLBHI,.

Karlina Supelli, dalam Orasi Kemanusiaan pada Ulang


tahun IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang
Indonesia), Jakarta, 26 Desember 2002.

Mayor Jenderal (Purnawirawan) Dr. Dietrich Genschel, Makalah


berjudul “Tempat dan Peran Militer Dalam Masyarakat Sipil Yang
Demokratis. Pengalaman Reformasi Militer Jerma,” Jakarta: Freidrich-
Ebert-Stiftung, 2002.
Mohammad Samsul Arifin, Akhir Keemasan Bisnis Militer, Pikiran
Rakyat, 4 Januari 2003

Usman Hamid, “The Great Wall Of Impunity”, fact sheet untuk


Konferensi Internasional INFID di Yogyakarta.

S. Yunanto, Militer Berbisnis Pengaruhi Profesionalitas Prajurit,


Kompas, 12 September 2003.

Berita Media
Kompas, 6 Januari 2004.Ada Strategi Besar Pihak TNI untuk
Menguasai Parlemen.
Republika, 24 April 2003,KSAD Anggap Pembunuh Theys Pahlawan.
Koran Tempo, 5 Agustus 2003, Berkas 14 Anggota TNI Tersangka
Penculikan Dikembalikan.
Koran Tempo, 15 Agustus 2003, Hadapi Terorisme, Pemerintah Ingin
Peran TNI Diperbesar.
.
Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemen I-IV


Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan
Institusi TNI dan Polri
Ketetapan MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI
dan Polri
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara
Hal-hal Yang Bisa Kita LAKUKAN

1. Berbagilah dengan teman-teman, sahabat dan keluarga


tentang pandangan maupun sikap kita tentang peran militer
di Indonesia. Adakanlah dan hadirilah setiap acara atau forum
dalam bentuk apapun seperti pelatihan maupun pendidikan
di sekitar kita, bantulah warga masyarakat memahami apa
yang harus diketahui dan dimengerti.

2. Datanglah saat diadakan pawai damai di wilayah kita. Akan


lebih baik lagi, jika kita yang berinisiatif dan mengajak teman-
teman, keluarga dan warga sekitar kita. Bangunlah komunikasi
dengan organisasi-organisasi yang menurut kita penting, baik
organisasi masyarakat maupun mahasiswa.

3. Pakailah pin, bendera, kaos, stiker, atau apapun yang bisa


menunjukan sikap kita terhadap permasalahan ini. Jangan
ragu-ragu untuk menyampaikan posisi maupun
mendiskusikan sikap kita kepada siapapun yang bertanya
tentang permasalahan ini.

4. Tulislah surat kepada anggota perwakilan kita di DPD, DPRD


maupun DPR, begitupula Presiden, Menteri-Menteri serta
pejabat terkait, tentang sikap kita atas
peran militer di Indonesia yang profesional dan ideal dalam proses
demokratisasi. Jangan lupa, ketahuilah juga bagaimana
ang gota perwakilan kita mengambil sikap dalam
permasalahan ini.

5. Tulislah surat kepada editor ataupun pemimpin redaksi media


cetak maupun elektronik, baik nasional maupun yang ada di
tempat kita, apabila terdapat hal-hal yang ingin kita sampaikan
menyangkut pemberitaan di medianya. Jika diperlukan,
mintalah kesediaan waktu untuk berdiskusi dari pihak editor
maupun pemimpin redaksi media tersebut.

6. Lakukanlah kontribusi materil maupun non materil, kepada


organisasi atau kelompok-kelompok masyarakat, pemuda dan
mahasiswa yang kita dukung karena ide maupun
pandangannya, terutama saat mereka mengadakan
pertemuan untuk memperoleh dukungan.

7. Sampaikanlah posisi kita kepada pejabat maupun perwakilan


kita. Caranya mudah, yaitu dengan berkelompok, bersama
dengan anggota masyarakat lainnya, mintalah kesediaan waktu
dari pejabat maupun perwakilan kita yang duduk di lembaga
perwakilan seperti DPD, DPRD dan DPR; lembaga
pemerintah
seperti Camat, Bupati, Gubernur ataupun Presiden; serta
lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan
Kehakiman.

8. Teruslah mengikuti perkembangan informasi aktual serta


beritahukanlah terus sahabat maupun keluarga kita tentang
informasi yang ketahui. Pengetahuan kita sangat penting agar
mereka peduli terhadap permasalahan ini.

9. Gunakanlah kemampuan yang kita miliki; jika kita pengacara,


bantulah mereka yang ditangkap/ditahan karena politik; jika
kita seniman, jelaskanlah sikap kita lewat lagu, puisi/sajak,
maupun drama teater; jika kita pebisnis janganlah berbisnis
dengan militer, seperti menggunakan backing dari militer.
Kesemua hal ini bisa kita lakukan, dimanapun agar warga di
sekitar kita memahami permasalahan dan selanjutnya
mengambil sikap.
Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi
Indonesia

Lampiran 1

Deskripsi beberapa kasus Pengadilan Militer/Koneksitas


yang menghindar dari Pengadilan HAM di Indonesia
Kasus Pelanggaran hukum Locus/ Tempus Progress
Penculikan Penculikan dan penghila-ngan 1997-1998, Ja- Kasus ini dibawa ke Mahmil II-
aktifis orang secara paksa serta penyiksaan karta dan be- 08 Jakarta. Para terdakwa yang
1998 oleh Pasuka Mawar Kopassus TNI berapa daerah diadili terdiri dari prajurit tingkat
(saat itu ABRI) lainnya di pulau lapangan berikut juga
Jawa komandan pasukan mawar.
Sementara ko-mandan
Kopassus—Prabowo
Soebiakto, yang juga telah
mengakui perbuatan/
perintahnya—hanya di hukum
berupa pemecatan, melalui
Dewan Kehormatan Perwira
(DKP).
Kasus Penembakan dan penyerangan 12 Mei 1998, di Kasus ini hanya diproses
Trisakti serta tindakan kejam lainnya depan kantor melalui mahkamah militer
terhadap ribuan mahasiswa Triskati walikota jakarta terhadap beberapa anggota
dan beberapa mahasiswa lain-nya. Barat, g rogol, bawahan Kepolisian. Mahka-
Dari tindakan ini berakibat Jakarta mah militeri tidak mampu
meninggalnya 4 mahasiswa Trisakti, membongkar keterlibatan
ratusan mahasiswa dan masyarakat atasan-atasan ABRI yang
luka, puluhan orang mengalami memberikan kebijakan
penangkapan secara sewenang- pengamanan pada masa 1996-
wenang. 1998.
Penembakan terhadap seorang
Semanggi II mahasiswa FT UI; Yun Hap. Sejak 9/6/03, setelah 3,5 tahun,
Proyektil yg bersarang di Yun Hap Oktober 1999, kasus ini disidangkan di Mahmil
identik dengan senjata FNC no seri disekitar jembatan II-08 Jakarta.
046743, yang menjadi senjata Semanggi—Uni- Terdakwa adalah tamtama
inventaris terdakwa Prajurit I versitas Atmajaya, penembak mahir dari batalion
Buhari Sastro Tua Putty. Putty di Jakarta. Artileri Medan 10/Kostrad,
dakwa, pertama, ps 338 KUHP Cilua Bogor. Saat kejadian
tentang pembunuhan, sub ps 351 terdakwa melaksanakan tugas
(1) jo (3) KUHP ttg penganiayaan sebagai anggota PPRM
yang mengakibatkan kematian. dibawah kendali operasikan
Kedua, ps 359 KUHP ttg kealpaan kepada Kapolda Metro Jaya
yg menyebab-kan org lain mati. sejak tgl 9/9/99.

87
Tengku Pembantaian seorang Ulama; 23 Juli 1999 di Kasus ini dibawah ke Pengadilan
Bantaqiyah Tengku Bantaqiyah dan puluhan Beutong Ateuh, Koneksitas. Di PN Aceh. Karena
(Koneksitas) murid laki-laki di pondok Aceh. menyedot perhatian masyarakat,
pesantrennya. PN selama 12 kali persidangan
“tuduhan” terhadap Bantaqiyah; dijaga oleh 1000 personil militer.
berdasarkan laporan Intellijen Juni Terdakwa dalam kasus ini sebanyak
1999: orang2 bantaqiyah telah 25 orang, termasuk 1 org sipil.
membunuh 9 serdadu RI (2 Polri dan Tetapi dari 25 org ini tidak
7 TNI) menjelang Pemilu 1999, 6 termasuk org yg paling
hari kemudian membunuh 14 bertanggung jawab yaitu Kolonel
serdadu TNI-AD. Bantaqiyah Sudjono (Pengawas operasi
terlibat aliran sesat. Menanam dan lapangan), padahal ia merupakan
memper-dagangkan Ganja. tersangka utama. Putusan yg
Bantaqiyah pernah di hukum 20 diberikan PN Aceh; 8 tahun
tahun penjara. Dalam aksi penjara terhadap 11 org. 9 tahun
pembantaian tersebut diawali terhadap 13 org dan 1 org dihukum
dengan kontak senjata selama 10 selama 10 tahun.
menit.kemudian setelah itu serdadu
Penculikan RI menemukan sejumlah senjata dan Peristiwa ini Kasus ini pernah dila-porkan
dan alat komunikasi. terjadi saat sahur ke Komnas HAM saat angg.
penghilangan pada bulan puasa Komnas HAM ke Poso, tapi
orang di Penculikan terhadap warga/ tahun 2001, di tidak mendapat tanggapan.
Toyado, pengungsi di desa Toyado, Poso oleh Poso Sulteng. Saat ini kasus penculikan ini
Poso, aparat TNI 711 yang datang dengan sedang ditangani oleh
Sulteng Truk. Persitiwa ini terjadi saat makan Detasemen Polmil Wirabuana
sahur bulan puasa tahun 2001. 8 orang VII/2 Palu, setelah sempat
korban dibawa oleh aparat TNI saat dikembalikan oleh Odmil III-
itu juga dengan Truk. Belakangan 7 Manado karean berkas 14
diketahui bahwa 2 org berhasil angg. TNI tersebut dinilai
menyelamatkan diri. Mereka juga kurang lengkap. Sanksi yang
sempat diserahkan ke komunitas yang diberikan hanya sanksi
beda agama lainnya yg sedang konflik administratif ber upa
dengan mereka. 3 orang meninggal pemecatan
dunia. Sisanya masih hilang sampai
saat ini. Karena ketahui kemudian
27 Juli 27 Juli 1996 di bahwa banyak kalangan sipil
(Koneksitas) jalan Dipone- yg jug a terlibat, maka di
Penyerangan sejumlah aparat militer goro Jkt. Tepat (di pilihan pengadilan Konek-
yg di “Sipil”kan dan mengatas Depan) Kan-tor sitas sbg cara “penyele-
namakan massa PDI pro Soerjadi, ke DPP PDI. saiannya”. Saat ini yg sudah
massa PDI pro Mega yg menguasai masuk Pengadilan 3 berkas. 2
kantor DPP PDI di jalan diponegoro berkas dgn tsangka sipil
jkt. sebanyak 3 org. 1 berkas
Perseteruan terjadi karena Pro Mega dengan tersangka militer. Di
merupakan pihak yg tidak direstui tingkat sipil tertinggi soerjadi
oleh pemerintah Orde Baru. (Ketum PDI versi Orba) dan
Terpilihnya Mega menjadi Ketum ditingkat militer tertinggi
PDI tentu mengkha-watirkan posisi Sutiyoso (saat itu sebagai
Orde Baru. Sejumlah petinggi militer Pangdam Jaya) saat ini sbg
terlibat dalam penggulingan dan Gubernur.
perebutan PDI melalui penyerangan
fisik pd 27/7/96.

88
Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi
Indonesia

Pembunhan Theys Eluay disiksa hingga Tewas, Dilakuakn pada 10 Oleh Mahmil III/12 Sby, pada
Theys sebelumnya sempat hilang November 2001, 21/4 empat diantaranya
Eluay, beberapa hari. Diketahui setelah Theys (Letkol Hartomo, Mayor
Papua. kemudian sejumlah tindakan Eluay selesai Donny Hutabarat, Lettu Agus
tersebut dilakukan oleh 7 orang mengha-diri acara Supriyanto, Praka Achmad
ang gota Kopassus terhadap peri-ngatan hari Zulfahmi) divonis 3,6 tahun
Theys. Pah-lawan di dan dipecat dari kesatuannya.
Markas Satgas Mereka, oleh majelis hakim,
Tribuana X di dinyatakan terbukti melaku-kan
Gunung Hamadi penganiayaan yg menyebabkan
Jayapura. kematian thdp Theys. Yg
menarik setelah putusan
tersebut, KSAD sdr Ryamizard
Ryacudu, menya-takan para
prajurit tersebut sbg pahlawan
karena yg dibunuh adalah
PEMBE-RONTAK.
Ketiganya disidangkan secara
Kasus Pemerkosaan terhadap 4 Peristiwa ini terpisah di Mahmil I-01
pemerkosaan perempuan, warga desa Alue dilakukan saat Banda Aceh. Pengadilan ini di
DI Aceh Lhok, Aceh oleh tiga orang pemberlakuan gelar di kota Lhokseumawe.
anggota TNI dari Yonif 411/ Darurat Militer Atas ketiga anggota tersebut
Pandawa Salatiga, AD. Pada antara di Aceh berda- telah diputuskan bersalah
waktu 20-22 Juni 2003. keberadaan sarkan Keppres pada 19/7 oleh Mahmil I-01.
anggota TNI tersebut saat sedang 28 tahun 2003. majelis hakim memutuskan
menjalankan operasi pengenda- bagi Praka Seprianus Lau
pan di desa tempat korban tinggal. Webang diganjar 3 th 6 bulan
penjara dan dipecat. Pratu
Husni Dwila 3 th penjara dan
dipecat. Pratu Awaludin 2 th
6 bulan dan dipecat.

89
Lampiran 2
Data Komando Teritorial Angkatan Darat di Indonesia (2002)
Diambil dari Andi Widjojanto dalam Destrukturisasi Komando
Teritorial, dalam buku Komando Teritorial TNI: Latar Belakang
Sejarah, dalam Likuidasi Komando Teritorial dan Pertahanan Nasional,
(Jakarta: The Ridep Institute, 2002)
B. B.
KODAM KOREM KODIM B. B. B.
Pertahanan Zeni
Infanteri Kaveleri Artileri
Udara Tempur
I
Bukit 6 35 12 1 1 2* 1
Barisan
II
Sriwijaya 4 21 5 1 1 1 1
III
Siliwangi 4 21 6 1 1 2 1
IV
Diponegoro 4 36 7 1 1 1 1
V
Brawijiaya 4 33 6 1 1 1 1
VI
Tanjungpura 4 30 9 - 1 2* 1
VII
Wirabuana 5 35 7 1 1 1 1
VIII
Trikora 4 14 6 - - - 1
IX 4 39 5 - - - 1
Udayana
X n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a
Pattimura
XI
Iskandar n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a
Muda

Jaya 2 7 3 2 1 2* 1

Total 41 271 66 8 8 8 10
Keterangan :
n.a : tidak ada data
*: memiliki detasemen pertahanan anti rudal
90
Lampiran 3

Data Populasi Indonesia per Provinsi Tahun 2000


Provinsi Jumlah Penduduk
Nanggroe Aceh 3,930,905
Darussalam 11,649,655
Sumatera Utara 4,248,931
Sumatera Barat 4,957,627
Riau 2,413,846
Jambi 6,899,675
Sumatera Selatan 1,567,432
Bengkulu 6,741,439
Lampung 900,197
Kep. Bangka Belitung 8,389,443
DKI Jakarta 35,729,537
Jawa Barat 31,228,940
Jawa Tengah 3,122,268
DI Yogyakarta 34,783,640
Jawa Timur 8,098,780
Banten 3,151,162
Bali 4,009,261
Nusa Tenggara Barat 3,952,279
Nusa Tenggara Timur 4,034,198
Kalimantan Barat 1,857,000
Kalimantan Tengah 2,985,240
Kalimantan Selatan 2,455,120
Kalimantan Timur 2,012,098
Sulawesi Utara 2,218,435
Sulawesi Tengah 8,059,627
Sulawesi Selatan 1,821,284
Sulawesi Tenggara 835,044
Gorontalo 1,205,539
Maluku 785,059
Maluku Utara 2,220,934
Papua 206,264,595
INDONESIA

Sumber : http://www.bps.go.id/sector/population/
91
Lampiran 4
Data Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI
diwilayah (KODAM) seluruh Indonesia
1998-2003

A. 1998

KODAM Penghilangan Pembunuhan Penyiksaan


Orang
Kodam 5 - -
VIII/
Trikora 14 21 -
Kodam Jaya - - 1
Kodam VII/
Wirabuana - 148 -
Kodam V/
Brawijaya
B. 1999

KODAM Penahanan Penyiksaan Penghilangan Pembunuhan

Iskandar 19
533 353 256
Muda
Kodam II/ -
- 49 4
Sriwijaya
KodamIII/ -
- - 57
Siliwangi
Kodam VI/ -
- 31 1
Tanjung Pura
Kodam VIII/ -
- 63 14
Trikora
Kodam Jaya -
- 123 5

92
Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi
Indonesia

C. 2000

KODAM Penahanan Penyiksaan Penghilangan Pembunuhan

Iskandar 22
38 88 61
Muda
Kodam II/ -
11 - -
Sriwijaya
Kodam VII/ 1
4 5
Wirabuana
Kodam VIII/ 1
47 88 50
Trikora
Kodam Jaya -
1 - -

D. 2001

KODAM Penahanan Penyiksaan Penghilangan Pembunuhan

Iskandar 32
206 151 167
Muda
-
Kodam VII/ 1
- - -
Wirabuana
Kodam VIII/ 4
- - -
Trikora

93
E. 2002
KODAM Penahanan Penyiksaan Penghilangan Pembunuhan

Iskandar 69
429 846 502
Muda
Kodam VII/ -
2 14 5
Wirabuana
Kodam VIII/ -
3 53 22
Trikora

F. 2003
KODAM Penahanan Penyiksaan Penghilangan Pembunuhan

Iskandar 16
49 74 112
Muda

94
Profil KONTRAS

KontraS, yang lahir pada 20 Maret 1998 merupakan gugus


tugas yang dibentuk oleh sejumlah organisasi civil society dan
tokoh masyarakat. Gugus tugas ini semula bernama KIP-
HAM yang telah terbentuk pada tahun 1996. Sebagai sebuah
komisi yang bekerja memantau persoalan HAM, KIP-HAM
banyak mendapat pengaduan dan masukan dari masyarakat,
baik masyarakat korban maupun masyarakat yang berani
menyampaikan aspirasinya tentang problem HAM yang
terjadi di daerah. Pada awalnya KIP-HAM hanya menerima
beberapa pengaduan melalui surat dan kontak telefon dari
masyarakat. Namun lama kelamaan sebagian masyarakat
korban menjadi berani untuk menyampaikan pengaduan
langsung ke sekretariat KIP-HAM.

Dalam beberapa pertemuan dengan masyarakat korban,


tercetuslah ide untuk membentuk sebuah lembaga yang
khusus menangani kasus-kasus orang hilang sebagai respon
praktik kekerasan yang terus terjadi dan menelan banyak
korban. Pada saat itu seorang ibu yang bernama Ibu Tuti
Koto mengusulkan dibentuknya badan khusus tersebut.
Selanjutnya, disepakatilah pembentukan sebuah komisi yang
menangani kasus orang hilang dan korban tindak kekerasan
dengan nama KontraS.

96
Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani
masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa
tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani
berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal
di Aceh, Papua dan Timot-Timur maupun secara horizontal
seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya,
ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan
banyak berpartisipasi dalam membongkar praktik kekerasan
dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari
penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam perumusan kembali peran dan posisinya, KontraS


mengukuhkan kembali visi dan misinya untuk turut
memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia bersama
dengan entitas gerakan civil society lainnya. Secara lebih
khusus, seluruh potensi dan energi yang dimiliki KontraS
diarahkan guna mendorong berkembangnya ciri-ciri sebuah
sistim dan kehidupan bernegara yang bersifat sipil serta
jauhnya politik dari pendekatan kekerasan. Baik pendekatan
kekerasan yang lahir dari prinsip-prinsip militerisme sebagai
sebuah sistem, perilaku maupun budaya politik. Artinya,
kekerasan disini bukan semata-mata persoalan intervensi
militer ke dalam kehidupan politik. Akan tetapi, lebih jauh
menyangkut kondisi struktural, kultural dan hubungan antar
komunitas sosial,

97
kelompok-kelompok sosial serta antar strata sosial yang
mengedepankan kekerasan dan simbol-simbolnya.

Visi
Terwujudnya demokrasi yang berbasis pada keutuhan
kedaulatan rakyat melalui landasan dan prinsip rakyat yang
bebas dari ketakutan, penindasan, kekerasan dan berbagai
bentuk pelanggaran hak asasi manusia atas alasan apapun,
termasuk yang berbasis gender.

Misi
a. Memajukan kesadaran rakyat akan pentingnya
penghargaan hak asasi manusia, khususnya kepekaan
terhadap berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran
berat hak asasi manusia sebagai akibat dari
penyalahgunaan kekuasaan negara.
b. Memperjuangkan keadilan dan pertanggungjawaban
negara atas berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran
berat hak asasi manusia melalui berbagai upaya advokasi
menuntut pertanggungjawaban negara.
c. Mendorong secara konsisten perubahan pada sistem
hukum dan politik, yang berdimensi penguatan dan
perlindungan rakyat dari bentuk-bentuk kekerasan dan
pelanggaran hak asasi manusia.

98
Nilai-nilai Dasar
Sebagai organisasi, KontraS berusaha memegang prinsip-
prinsip non-partisan dan non-profit, demokrasi, anti
kekerasan dan diskriminasi, keadilan dan kesetaraan gender,
dan keadilan sosial.

Dasar Perumusan Program Kerja


1. Prevensi Viktimisasi dalam Politik Kekerasan
Upaya bersifat preventif untuk melindungi kepentingan
masyarakat dari adanya kecender ungan yang
menempatkan bagian-bagian dalam masyarakat sebagai
sasaran dan korban politik kekerasan yang dilakukan
oleh negara dan atau kekuatan-kekuatan besar lain yang
potensial melakukan hal itu.

2. Due Process of Law


Menuntut adanya pertanggungjawaban hukum terhadap
para pelaku pelanggaran HAM, melalui mekanisme dan
prosedur hukum yang fair. Dalam kategori ini, KontraS
melihat dalam bentuknya yang lebih luas, yakni segala
upaya yang harus dilakukan untuk turut
memperjuangkan terbentuknya sebuah pranata hukum
yang menjamin penghormatan yang tinggi terhadap hak
dan martabat manusia.

99
3. Rehabilitasi
Rehabilitasi korban meliputi upaya pemulihan secara
fisik maupun psikis dari akibat-akibat yang ditimbulkan
oleh tindak kekerasan negara dan bentuk-bentuk
pelanggaran hak asasi manusia lainnya, mutlak
diperlukan dalam melakukan advokasi yang lebih luas.
Dalam kerangka ini, pengikutsertaan korban dan
keluarga korban sebanyak mungkin dalam proses
advokasi adalah konsekuensinya. Sehingga metode
pengorganisasian korban dan keluarga korban untuk
turut serta dalam upaya advokasi juga ditujukan untuk
melakukan usaha penyadaran dan penguatan elemen
masyarakat secara lebih luas.

4. Rekonsiliasi dan Perdamaian


Rekonsiliasi adalah tuntutan yang tidak terhindarkan dari
fakta terdapatnya banyak kasus besar menyangkut
tindakan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu yang
sulit terungkap dan dimintakan pertanggungjawaban.
Rekonsiliasi juga merupakan langkah alternatif yang
mungkin diambil dalam menghadapi banyaknya
fenomena pertikaian massal yang bersifat horisontal dan
melibatkan sentimen-sentimen suku, agama, etnis dan
ras yang terjadi di tanah air. Langkah ke arah itu tentu
saja harus didahului oleh sebuah pengungkapan fakta-
fakta dan kebenaran

100
yang sejelas-jelasnya sebagai syarat mutlak adanya
rekonsiliasi. Oleh karena itu KontraS dituntut untuk
tur ut serta melakukan upaya-upaya nyata dan
mendorong segala usaha yang mengusahakan
terciptanya sebuah rekonsiliasi dan perdamaian yang
lebih nyata sebagai langkah penyelesaian berbagai
persoalan HAM di masa lalu dan pertikaian massal
secara horisontal di berbagai daerah.

5. Mobilisasi Sikap dan Opini


a. Anti politik kekerasan
Secara intensif dikembangkan wacana tentang anti
politik kekerasan dan gerakan anti kekerasan secara
lebih luas. Misi dari proses ini adalah membangun
sensitifitas masyarakat atas adanya berbagai bentuk
kekerasan, secara khusus terhadap praktik
penghilangan orang secara paksa, perkosaan,
penganiayaan, penangkapan dan penahanan orang
secara sewenang-wenang, pembunuhan diluar
proses hukum, oleh unsur-unsur negara. Dalam
jangka panjang diharapkan terjadi sebuah koreksi
mendasar atas politik kekerasan yang selama ini
berlangsung.
b. Pelanggaran HAM
Dalam jangkauan lebih luas, KontraS harus
menempatkan porsi yang sangat penting bagi

101
segala bentuk pelanggaran HAM yang pernah
terjadi dan mengedepankannya di dalam wacana
publik untuk dipersoalkan sebagai upaya
membangun kesadaran akan pentingnya
pengormatan terhadap HAM. Secara prinsip,
problem HAM juga harus dipersoalkan sebagai hal
mendasar yang harus dipertimbangkan pada setiap
pengambilan kebijakan oleh negara maupun setiap
usaha yang dilakukan demi membangun kehidupan
bermasyarakat dalam dimensinya yang luas. Untuk
itu, KontraS melakukan pemantauan dan pengkajian
yang serius terhadap segala hal menyangkut
penegakan HAM di Indonesia.

Badan Pekerja
Usman Hamid, Koordinator, Edwin Partogi, Ka. Bidang
Operasional, Sri Suparyati, Ka. Bidang Internal,
Bidang Operasional; Indria Fernida Alpha Sonny, Nining
Nurhaya, Abusaid Pelu, Victor da Costa, Sinung
Karto, Haris Azhar, Muhammad Harits, Papang
Hidayat, Helmi Apti, Muhammad Islah.
Bidang Internal;, Nur’ain, Bobby, Hardini, Guan Lee,
Agus Suparman, Rohman dan Heri.

102

Vous aimerez peut-être aussi