Vous êtes sur la page 1sur 8

Senin, 11 Mei 2009

ASUHAN KEPERAWATAN SEPSIS NEONATORUM


ASKEP SEPSIS NEONATORUM
1. Definisi
Sepsis neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah pada bayi selama empat minggu
pertama kehidupan. Insiden sepsis bervariasi yaitu antara 1 dalam 500 atau 1 dalam 600
kelahiran hidup (Bobak, 2005).
Sepsis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan respons sistemik terhadap
infeksi pada bayi baru lahir (Behrman, 2000). Sepsis adalah sindrom yang dikarekteristikkan
oleh tanda-tanda klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah yang dapat berkembang kearah
septikemia dan syok septik (Dongoes, 2000)
Sepsis neonatorum adalah semua infeksi pada bayi pada 28 hari pertama sejak dilahirkan.
Infeksi dapat menyebar secara nenyeluruh atau terlokasi hanya pada satu orga saja (seperti
paru-paru dengan pneumonia). Infeksi pada sepsis bisa didapatkan pada saat sebelum persalinan
(intrauterine sepsis) atau setelah persalinan (extrauterine sepsis) dan dapat disebabkan karena
virus (herpes, rubella), bakteri (streptococcus B), dan fungi atau jamur (candida) meskipun
jarang ditemui. (John Mersch, MD, FAAP, 2009). Sepsis dapat dibagi menjadi dua yaitu,
1. Sepsis dini :terjadi 7 hari pertama kehidupan. Karakteristik : sumber organisme pada saluran
genital ibu dan atau cairan amnion, biasanya fulminan dengan angka mortalitas tinggi.
2. Sepsis lanjutan/nosokomial : terjadi setelah minggu pertama kehidupan dan didapat dari
lingkungan pasca lahir. Karakteristik : Didapat dari kontak langsung atau tak langsung
dengan organisme yang ditemukan dari lingkungan tempat perawatan bayi, sering mengalami
komplikasi. (Vietha, 2008)

2. Epidemiologi
Sepsis terjadi pada kurang dari 1% bayi baru lahir tetapi merupakan penyebab daro 30%
kematian pada bayi baru lahir. Infeksi bakteri 5 kali lebih sering terjadi pada bayi baru lahir
yang berat badannya kurang dari 2,75 kg dan 2 kali lebih sering menyerang bayi laki-laki.
2.3 Etiologi
Bakteria seperti Escherichia coli, Listeria monocytogenes, Neisseria meningitidis,
Sterptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae tipe B, Salmonella, dan Streptococcus grup B
merupakan penyebab paling sering terjadinya sepsis pada bayi berusia sampai dengan 3 bulan.
Streptococcus grup B merupakan penyebab sepsis paling sering pada neonatus.
Pada berbagai kasus sepsis neonatorum, organisme memasuki tubuh bayi melalui ibu selama
kehamilan atau proses kelahiran. Beberapa komplikasi kehamilan yang dapat meningkatkan
resiko terjadinya sepsis pada neonatus, antara lain:
a. Perdarahan
b. Demam yang terjadi pada ibu
c. Infeksi pada uterus atau plasenta
d. Ketuban pecah dini (sebelum 37 minggu kehamilan)
e. Ketuban pecah terlalu cepat saat melahirkan (18 jam atau lebih sebelum melahirkan)
f. Proses kelahiran yang lama dan sulit.
g. Streptococcus grup B dapat masuk ke dalam tubuh bayi selama proses kelahiran. Menurut
Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) Amerika, paling tidak terdapat
bakteria pada vagina atau rektum pada satu dari setiap lima wanita hamil, yang dapat
mengkontaminasi bayi selama melahirkan. Bayi prematur yang menjalani perawatan
intensif rentan terhadap sepsis karena sistem imun mereka yang belum berkembang dan
mereka biasanya menjalani prosedur-prosedur invasif seperti infus jangka panjang,
pemasangan sejumlah kateter, dan bernafas melalui selang yang dihubungkan dengan
ventilator. Organisme yang normalnya hidup di permukaan kulit dapat masuk ke dalam
tubuh kemudian ke dalam aliran darah melalui alat-alat seperti yang telah disebut di atas.
Bayi berusia 3 bulan sampai 3 tahun beresiko mengalami bakteriemia tersamar, yang bila
tidak segera dirawat, kadang-kadang dapat megarah ke sepsis. Bakteriemia tersamar
artinya bahwa bakteria telah memasuki aliran darah, tapi tidak ada sumber infeksi yang
jelas. Tanda paling umum terjadinya bakteriemia tersamar adalah demam. Hampir satu
per tiga dari semua bayi pada rentang usia ini mengalami demam tanpa adanya alasan
yang jelas - dan penelitian menunjukkan bahwa 4% dari mereka akhirnya akan
mengalami infeksi bakterial di dalam darah. Streptococcus pneumoniae (pneumococcus)
menyebabkan sekitar 85% dari semua kasus bakteriemia tersamar pada bayi berusia 3
bulan sampai 3 tahun.
4. Patofisiologi
Sepsis dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik. Pelepasan endotoksin
oleh bakteri menyebabkan perubahan fungsi miokardium, perubahan ambilan dan
penggunaan oksigen, terhambatnya fungsi mitokondria, dan kekacauan metabolik yang
progresif. Pada sepsis yang tiba-tiba dan berat, complment cascade menimbulkan banyak
kematian dan kerusakan sel. Akibatnya adalah penurunan perfusi jaringan, asidosis
metabolik, dan syok, yang mengakibatkan disseminated intravaskuler coagulation (DIC)
dan kematian (Bobak, 2005).Bayi baru lahir mendapat infeksi melalui beberapa jalan,
dapat terjadi infeksi transplasental seperti pada infeksi konginetal virus rubella, protozoa
Toxoplasma, atau basilus Listeria monocytogenesis. Yang lebih umum, infeksi didapatkan
melalui jalur vertikel, dari ibu selam proses persalinan ( infeksi Streptokokus group B atau
infeksi kuman gram negatif ) atau secara horizontal dari lingkungan atau perawatan
setelah persalinan ( infeksi Stafilokokus koagulase positif atau negatif).
Faktor- factor yang mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum berasal dari
tiga kelompok, yaitu :
1. Faktor Maternal
a. Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar belakang. Mempengaruhi kecenderungan
terjadinya infeksi dengan alasan yang tidak diketahui sepenuhnya. Ibu yang berstatus
sosio- ekonomi rendah mungkin nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya padat dan
tidak higienis. Bayi kulit hitam lebih banyak mengalami infeksi dari pada bayi
berkulit putih.
b. Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3) dan umur ibu (kurang dari
20 tahun atua lebih dari 30 tahun
c. Kurangnya perawatan prenatal.
d. Ketuban pecah dini (KPD)
e. Prosedur selama persalinan.
2. Faktor Neonatatal
a. Prematurius ( berat badan bayi kurang dari 1500 gram), merupakan faktor resiko
utama untuk sepsis neonatal. Umumnya imunitas bayi kurang bulan lebih rendah dari
pada bayi cukup bulan. Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi
pada paruh terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin serum
terus menurun, menyebabkan hipigamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit juga
melemahkan pertahanan kulit.
b. Defisiensi imun. Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG spesifik, khususnya
terhadap streptokokus atau Haemophilus influenza. IgG dan IgA tidak melewati
plasenta dan hampir tidak terdeteksi dalam darah tali pusat. Dengan adanya hal
tersebut, aktifitas lintasan komplemen terlambat, dan C3 serta faktor B tidak
diproduksi sebagai respon terhadap lipopolisakarida. Kombinasi antara defisiensi
imun dan penurunan antibodi total dan spesifik, bersama dengan penurunan
fibronektin, menyebabkan sebagian besar penurunan aktivitas opsonisasi.
c. Laki-laki dan kehamilan kembar. Insidens sepsis pada bayi laki- laki empat kali lebih
besar dari pada bayi perempuan.
3. Faktor Lingkungan
a. Pada defisiensi imun bayi cenderung mudah sakit sehingga sering memerlukan
prosedur invasif, dan memerlukan waktu perawatan di rumah sakit lebih lama.
Penggunaan kateter vena/ arteri maupun kateter nutrisi parenteral merupakan
tempat masuk bagi mikroorganisme pada kulit yang luka. Bayi juga mungkin
terinfeksi akibat alat yang terkontaminasi.
b. Paparan terhadap obat-obat tertentu, seperti steroid, bis menimbulkan resiko pada
neonatus yang melebihi resiko penggunaan antibiotik spektrum luas, sehingga
menyebabkan kolonisasi spektrum luas, sehingga menyebabkan resisten berlipat
ganda.
c. Kadang- kadang di ruang perawatan terhadap epidemi penyebaran mikroorganisme
yang berasal dari petugas ( infeksi nosokomial), paling sering akibat kontak tangan.
d. Pada bayi yang minum ASI, spesies Lactbacillus dan E.colli ditemukan dalam
tinjanya, sedangkan bayi yang minum susu formula hanya didominasi oleh E.colli.
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus melalui
beberapa cara, yaitu :
1. Pada masa antenatal atau sebelum lahir. Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah
melewati plasenta dan umbilikus masuk dalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin.
Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat menembus plasenta antara lain
virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis. Bakteri yang
dapat melalui jalur ini, antara lain malaria, sipilis, dan toksoplasma.
2. Pada masa intranatal atau saat persalinan. Infeksi saat persalinan terjadi karena yang
ada pada vagina dan serviks naik mencapai korion dan amnion. Akibatnya, terjadi
amniotis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilikus masuk dalam tubuh bayi.
Cara lain, yaitu saat persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi akan terinhalasi
oleh bayi dan masuk dan masuk ke traktus digestivus dan traktus respiratorius,
kemudian menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain cara tersebut di atas infeksi
pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau port de entre lain saat bayi melewati
jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman. Beberapa kuman yang melalui jalan lahir
ini adalah Herpes genetalis, Candida albican,dan N.gonorrea.
3. Infeksi paska atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya
terjadi akibat infeksi nosokomial dari lingkungan di luar rahim (misal melalui alat-
alat : penghisap lendir, selang endotrakhea, infus, selang nasogastrik, botol minuman
atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi dapat menyebabkan
terjadinya infeksi nosokomil. Infeksi juga dapat terjadi melalui luka umbilikus
(AsriningS.,2003)

5. Manifestasi Klinik
Menurut Arief, 2008, manifestasi klinis dari sepsis neonatorum adalah sebagai berikut,
1. Umum : panas (hipertermi), malas minum, letargi, sklerema
2. Saluran cerna: distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare, hepatomegali
3. Saluran nafas: apnoe, dispnue, takipnu, retraksi, nafas cuping hidung, merintih, sianosis
4. Sistem kardiovaskuler: pucat, sianosis, kulit lembab, hipotensi, takikardi, bradikardi
5. Sistem syaraf pusat: iritabilitas, tremor, kejang, hiporefleksi, malas minum, pernapasan
tidak teratur, ubun-ubun membonjol
6. Hematologi: Ikterus, splenomegali, pucat, petekie, purpura, perdarahan.
Gejala sepsis yang terjadi pada neonatus antara lain bayi tampak lesu, tidak kuat menghisap,
denyut jantungnya lambat dan suhu tubuhnya turun-naik. Gejala-gejala lainnya dapat berupa
gangguan pernafasan, kejang, jaundice, muntah, diare, dan perut kembung
Gejala dari sepsis neonatorum juga tergantung kepada sumber infeksi dan penyebarannya:
a. Infeksi pada tali pusar (omfalitis) menyebabkan keluarnya nanah atau darah dari pusar
b. Infeksi pada selaput otak (meningitis) atau abses otak menyebabkan koma, kejang,
opistotonus (posisi tubuh melengkung ke depan) atau penonjolan pada ubun-ubun
c. Infeksi pada tulang (osteomielitis) menyebabkan terbatasnya pergerakan pada lengan atau
tungkai yang terkena
d. Infeksi pada persendian menyebabkan pembengkakan, kemerahan, nyeri tekan dan sendi
yang terkena teraba hangat
e. Infeksi pada selaput perut (peritonitis) menyebabkan pembengkakan perut dan diare
berdarah.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pertanda diagnostik yang ideal memiliki kriteria yaitu nilai cut off tepat yang optimal, nilai
diagnostik yang baik yaitu sesitivitas mendekati 100%, spesifisitas lebih dari 85%, Positive
Probable Value (PPV) lebih dari 85%, Negative Probable Value (NPV) mendekati 100%, dan dapat
mendeteksi infeksi pada tahap awal. Kegunaan klinis dari pertanda diagnostik yang ideal adalah
untuk membedakan antara infeksi bakteri dan virus, petunjuk untuk penggunaan antibiotik,
memantau kemajuan pengobatan, dan untuk menentukan prognosis.
Pertanda hematologik yang digunakan adalah hitung sel darah putih total, hitung neutrofil,
neutrofil imatur, rasio neutrofil imatur dengan neutrofil total (I:T), mikro Erytrocyte
Sedimentation Rate (ESR), dan hitung trombosit. Tes laboratorium yang dikerjakan adalah CRP,
prokalsitonin, sitokin IL-6, GCSF, tes cepat (rapid test) untuk deteksi antigen, dan panel skrining
sepsis.
Saat ini, kombinasi petanda terbaik untuk mendiagnosis sepsis adalah sebagai berikut: IL6,
dan IL1-ra untuk 1-2 hari setelah munculnya gejala; IL6 (atau IL1-ra 0, IL8, G-CSF, TNF, CRP,
dan hematological indices pada hari ke-0); CRP, IL6 (atau GCSF dan hematological indices pada
hari ke-1); dan CRP pada hari-hari berikutnya untuk memonitor respons terhadap terapi. Tabel
3 menjelaskan sensitivitas dan spesifisitas dari berbagai uji laboratorium.
7. Penatalaksanaan
1. Diberikan kombinasi antibiotika golongan Ampisilin dosis 200 mg/kg BB/24 jam i.v (dibagi 2
dosis untuk neonatus umur <> 7 hari dibagi 3 dosis), dan Netylmycin (Amino glikosida) dosis 7
1/2 mg/kg BB/per hari i.m/i.v dibagi 2 dosis (hati-hati penggunaan Netylmycin dan
Aminoglikosida yang lain bila diberikan i.v harus diencerkan dan waktu pemberian ½ sampai
1 jam pelan-pelan).
2. Dilakukan septic work up sebelum antibiotika diberikan (darah lengkap, urine, lengkap, feses
lengkap, kultur darah, cairan serebrospinal, urine dan feses (atas indikasi), pungsi lumbal
dengan analisa cairan serebrospinal (jumlah sel, kimia, pengecatan Gram), foto polos dada,
pemeriksaan CRP kuantitatif).
3. Pemeriksaan lain tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah, analisa gas
darah, foto abdomen, USG kepala dan lain-lain.
4. Apabila gejala klinik dan pemeriksaan ulang tidak menunjukkan infeksi, pemeriksaan darah
dan CRP normal, dan kultur darah negatif maka antibiotika diberhentikan pada hari ke-7.
5. Apabila gejala klinik memburuk dan atau hasil laboratorium menyokong infeksi, CRP tetap
abnormal, maka diberikan Cefepim 100 mg/kg/hari diberikan 2 dosis atau Meropenem dengan
dosis 30-40 mg/kg BB/per hari i.v dan Amikasin dengan dosis 15 mg/kg BB/per hari i.v i.m
(atas indikasi khusus).
6. Pemberian antibiotika diteruskan sesuai dengan tes kepekaannya. Lama pemberian antibiotika
10-14 hari. Pada kasus meningitis pemberian antibiotika minimal 21 hari.Pengobatan suportif
meliputi : Termoregulasi, terapi oksigen/ventilasi mekanik, terapi syok, koreksi metabolik
asidosis, terapi hipoglikemi/hiperglikemi, transfusi darah, plasma, trombosit, terapi kejang,
transfusi tukar

8. Askep sepsis neonatorum


1. Hipertermia berhubungan dengan kerusakan control suhu sekunder akibat infeksi atau
inflamasi
a. Kriteria Hasil
1. Suhu tubuh berada dalam batas normal (Suhu normal 36,5o-37o C)
2. Nadi dan frekwensi napas dalam batas normal (Nadi neonatus normal 100-180 x/menit,
frekwensi napas neonatus normal 30-60x/menit)
b. Intervensi dan Rasional

INTERVENSI RASIONAL

1. Monitoring tanda-tanda vital setiap dua Perubahan tanda-tanda vital yang


jam dan pantau warna kulit signifikan akan mempengaruhi proses
regulasi ataupun metabolisme dalam tubuh.

2. Observasi adanya kejang dan dehidrasi Hipertermi sangat potensial untuk


menyebabkan kejang yang akan semakin
memperburuk kondisi pasien serta dapat
menyebabkan pasien kehilangan banyak
cairan secara evaporasi yang tidak
diketahui jumlahnya dan dapat
menyebabkan pasien masuk ke dalam
kondisi dehidrasi.

3. Berikan kompres denga air hangat pada Kompres pada aksila, leher dan lipatan
aksila, leher dan lipatan paha, hindari paha terdapat pembuluh-pembuluh dasar
penggunaan alcohol untuk kompres. besar yang akan membantu menurunkan
demam. Penggunaan alcohol tidak
dilakukan karena akan menyebabkan
penurunan dan peningkatan panas secara
drastis.

Kolaborasi Pemberian antipiretik juga diperlukan


untuk menurunkan panas dengan segera.
4. Berikan antipiretik sesuai kebutuhan
jika panas tidak turun.

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan sekunder akibat demam


a. Kriteria Hasil
1. Suhu tubuh berada dalam batas normal (Suhu normal 36,5o-37o C)
2. Nadi dan frekwensi napas dalam batas normal (Nadi neonatus normal 100-180 x/menit,
frekwensi napas neonatus normal 30-60x/menit)
3. Bayi mau menghabiskan ASI/PASI 25 ml/6 jam
b. Intervensi dan Rasional

INTERVENSI RASIONAL

1. Monitoring tanda-tanda vital setiap dua Perubahan tanda-tanda vital yang


jam dan pantau warna kulit signifikan akan mempengaruhi proses
regulasi ataupun metabolisme dalam tubuh.

2. Observasi adanya hipertermi, kejang Hipertermi sangat potensial untuk


dan dehidrasi. menyebabkan kejang yang akan semakin
memperburuk kondisi pasien serta dapat
menyebabkan pasien kehilangan banyak
cairan secara evaporasi yang tidak
diketahui jumlahnya dan dapat
menyebabkan pasien masuk ke dalam
kondisi dehidrasi.

3. Berikan kompres hangat jika terjadi Kompres air hangat lebih cocok digunakan
hipertermi, dan pertimbangkan untuk pada anak dibawah usia 1 tahun, untuk
langkah kolaborasi dengan menjaga tubuh agar tidak terjadi hipotermi
memberikan antipiretik. secara tiba-tiba. Hipertermi yang terlalu
lama tidak baik untuk tubuh bayi oleh
karena itu pemberian antipiretik diperlukan
untuk segera menurunkan panas, misal
dengan asetaminofen.

4. Berikan ASI/PASI sesuai jadwal dengan Pemberian ASI/PASI sesuai jadwal


jumlah pemberian yang telah diperlukan untuk mencegah bayi dari
ditentukan kondisi lapar dan haus yang berlebih.

3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan volume


bersirkulasi akibat dehidrasi
a. Kriteria Hasil
1. Tercapai keseimbangan ai dalam suang interselular dan ekstraselular
2. Keadekuatan kontraksi otot untuk pergerakan
3. Tingkat pengaliran darah melalui pembuluh kecil ekstermitas dan memelihara fungsi
jaringan
b. Intervensi dan Rasional

INTERVENSI RASIONAL

1. perawatan sirkulasi (misalnya periksa 1. meningkatkan sirkulasi arteri dan vena


nadi perifer,edema, pengisian perifer,
warna, dan suhu ekstremitas)

2. pantau perbedaan ketajaman/tumpul 2. mengetahui sensasi perifer, kemungkinan


dan panas/dingin parestesia

3. pantau status cairan 3. mengetahui keseimbangan antara asupan


dan haluaran

4. PK: Trombositopenia
a. Tujuan
Perawat akan menangandi dan mengurangi komplikasi penurunan trombosit.
b. Intervensi dan Rasional

INTERVENSI RASIONAL

1. Pantau JDL, hemoglobin, tes koagulasi Nilai ini membantu mengevaluasi respon
dan jumlah trombosit klien terhadap pengobatan dan resiko
terhadap pendarahan akibat dari sepsis.

2. Pantau tanda tau gejala pendarahan Pemantauan secara konstan sangat


spontan atau perdarahan hebat : ptekie, dibutuhkan untuk menjamin deteksi dini
ekimosis, hematoma spontan, adanya episode perdarahan
perubahan tanda-tanda vital.

3. Pantau tanda perdarahan sisemik atau Perubahan pada oksigen sirkulasi akan
hipovolemia, seperti peningkatan mempengaruhi fungsi jantung, vascular dan
frekuensi nadi, napas dan tekanan fungsi neurologis
darah, perubahan status neurologis

Daftar pustaka
Anonim. 2007. Sepsis. Akses internet di http://www.pediatrik.com/ilmiah_popular/20060220-
1uyr3qilmiahpopular.doc
Berkow & Beers. 1997. Neonatal Problems : Sepsis Neonatorum. Akses internet di
http://debussy.hon.ch/cgi-bin/find?1+submit+sepsis_neonatorum
Carpenito, LJ. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktek Klinis, Edisi 6. Jakarta : EGC.
Doengoes, dkk. 1999 .Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta :EGC
Harianto, Agus. 2008. Sepsis Neonatorum. Akses internet di http://www.pediatrik.com/artikel/sepsis-
neonatorium
Novriani, Erni. 2008. Sepsis Neonatorum. Akses Internet di http://cemolgadis-
melayu.blogspot.com/2008/12/kepanak-sepsis.html
Nurcahyo. 2000. Sepsis Neonatorum. Akses internet di
http://www.indonesiaindonesia.com/images_greenish/misc/navbits_finallink.gif
disusun oleh Indri Diyah bersama kelompok 5A keperawatan maternitas FKP UNAIR
Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Bina Pustaka
Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal.
Jakarta : Bina Pustaka
Vietha. 2008. Askep pada Sepsi Neonatorum. Akses internet di
http://viethanurse.wordpress.com/2008/12/01/askep-pada-sepsis-neonatorum/
Diposkan oleh Nursing Student on Blog di 05.33

1 komentar:
Anonim mengatakan...

1. mksh ya d bantu smua org

27 November 2009 02.56

http://indri-dpl.blogspot.com/2009/05/asuhan-keperawatan-sepsis-neonatorum.html

Vous aimerez peut-être aussi