Vous êtes sur la page 1sur 12
EOE ESTETIKA JEAN FRANCOIS LYOTARD SEBAGAI “ESTETIKA RUANG KETIDAKSADARAN FREUDIAN” Abstract The term postmodern was born in the world of art. Now, though, the term has found a widespread use in other field. Francois Loytard was a philosoper who helped popularise the term among the academic community. He wrote an interesting, yet relatively unknown theory about postmodern aesthetics. At a glance, Lyotard seemed to ignore aesthetics theories in froour of merely enjoying ‘works of art, for to him, art has to be able to mesmerize and make someone enjoy it. However, such enjoyment can’t be attained without understanding theories of art and the hidden meaning behind every particular art piece. Such understanding must already be ingrained into the sub consciousness of the person enjoying the art piece Keywords: aesthetics, theory, art Abstrak Istilah posmodern lahir dari dunia seni dan penggunaan istilah itu sekarang telah merambah keberbagai bidang ilmu pengetahuan. Francois Lyotard, termasuk pemikir yang mempopulerkan istilah posmodern di lingkungan dunia akademis. Francois Lyotard juga menulis tentang teori estetika posmodern yang sangat menarik, namun relatif belum dikenal, Jika dibaca sekilas seakan Lyotard mengabaikan teori estetika untuk menikmati karya seni, karena yang terpenting baginya, karya seni dapat membuat seseorang menikmati, kagum, terpesona ketika berhadapan dengan karya seni, bukan dengan ‘mengajukan teori yang berat dan canggih. Akan tetapi, kenikmatan tentu tidak mungkin diperoleh tanpa memahami teoridan maknakarya seni, makna dan kenikmatan hanya mungkin dengan bantuan teori ‘yang sudah menjadi bagian dari" bawah sadar” penikmatseniitu. Kata kunci: estetika, teori dan seni. *) Dosen/Staf Pengajar F.LB, Universitas Indonesia ESTETIKA JEAN FRANCOIS LYOTARD SEBAGAI “ESTETIKA RUANG KETIDAKSADARAN FREUDIAN (Abbgar Yusuf Luis) Seni Sakral dan Seni Garda Depan Postmodern bisa dikatakan lahir dari rahim seni dan berkembang dibidang seni: arsitektur, seni rupa, literatur, teater, tari, yang melakukan kkritik dekonstruktif pada pemikiran, kebudayaan, dan pada ekspresi seni modem (Ritzer, 1996). Charles Jenks salah seorang tokoh arsitektur postmodern menyatakan bahwa konsep postmodern lahir dari tulisan Frederico de Onis seorang ahli Spanyol melalui tulisannya yang berjudul, Antologia de la Poesia Espanola e Hispanoamericana (1934). Charles Jenks disebut sebagai tokoh Arsitektur postmodern terkemuka menulis essai dan buku: “The rise of Postmodern Architecture” (1975), dan The Language of Postmodern Architecture, Jenks, 1977). De Onis memperkenalkan istilah postmoderen sebagai kritik atas eksperesi seni dan kebudayaan modem (Grenz,2001). Pemikiran tentang postmodem sebelum tahun 1960-an baru sebagai riak- riak kecil dan belum memberikan pengaruh besar pada intelektualitas sampai muncul pemikir seperti Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michel Foucault yang disebut sebagai nabi-nabi postmodern yang berjasa menaburkan bibit postmodern itu merambah keberbagai bidang ilmu pengetahuan. Istilah “postmodern” sebagai konsep populer, sekarang maknanya cenderung sebagai perlawanan terhadap kebudayaan dan paradigma berpikir modern (Fiedler, 1971). Hans Bertens dalam buku, The Idea of Postmodern (1975), dan Andreas Huysen melalui essai, "Mapping the Postmodern”, dan buku, Feminism /Postmodernism yang diedit L Nicholson (1990) mengemukakan pengaruh seni postmodern pada kehidupan. Bertens mengemukakan bahwa awal manifestasi postmodem terdapat pada musik John Cage, dalam karya seni Robert Rauschenmberg dan Novel Alain Robbe-Grillet, John Barth, dan Thomas Pynchon dengan ketidakberdayaannya pada etika postmodernis (Lihat Ritzer). Leslie Fiedler (1960/1975) mengemukakan memudamya modernisme dengan rasionalisme dan humanisme liberal, ini dikatakan sebagai bentuk matinya modernitas dan kelahiran postmodemitas yang membuka ruang bagi irasionalitas, romantisme, dan sentimentalisme. Ide yang muncul pada dunia seni ini menjadi pemicu meledaknya pemikiran postmodemis pada bidang-bidang lain setelah tahun 1960-an/1970-an. Robert Venturi melalui buku, Complexity and Contradiction in Architecture (1988), dan Learning From Las Vegas, adalah ilmuan/arsitek yang membelokkan mainstream arsitektur modern ke postmodem (Bertens, 1995; 53), dengan mengemukakan lahirnya keanekaragaman model, dan bahasa pada dunia arsitektur. Arsitektur modern adalah arsitektur yang seragam dengan bentuk kotak-kotak tinggi yang mengabaikan ornamen, keindahan, keberagaman dan menekankan pada fungsi. Charles Jenks mengemukakan istilah “double coding” (kode ganda) yang sepertinya mempertahankan adanya elitisme dalam arsitektur modern. Lalu ia mengajukan istilah “vernakuler” atau seni kedaerahan/lokal sebagai pelengkap “double coding” itu. Jadi ada perpaduan (hibridisasi, Collage) dua unsur seni dalam arsitektur postmodern (Bandingkan dengan kapus UI yang memadukan bangunan Klasik, modern dan postmodem). Seperti pemikir postrukturalis dan postmodernis umumnya Jekns menggunakan istilah “permainan bahasa” dan "keanekaragaman bahas ", kode ganda dan pluralisme makna, serta konsep arsitektur sebagai signifier. Terlihat jelas konsep perbedaan, keragaman mulai digunakan pada seni arsitektur postmodern. Jurgen Habermas berpendapat bahwa perubahan lebih lanjut dari struktur kapitalisme industri (setelah paroh kedua abad XX) telah mentransformasiestetika modernisme ke bentuk post- modernisme yang tidak lagi memiliki orientasi kritis (Habermas, 1973). Habermas mengemukakan mulai berkembangnya estetika "post-auratik” pada seni postmodern sebagai perlawanan terhadap kebudayaan modern. Sayangnya Habermas tidak mengelaborasi tentang pengertian estetisme “post-auratik” itu, Pada era modem pendekatan seni lebih menekankan pada aspek formal dan fungsional, sementara pendekatan seni postmodern lebih menekankan aspek permainan tanda dan kode. Seni postmodern dilihat sebagai sebuah mosaik tanda-tanda budaya (teks) dalam pengertian luas. Seni sebagai “permasinan bahasa’, "tanda budaya" mengkaitkan seni dengan pemikir semiotika seperti Roland Barthes (Barthes, 1973), Umberto Eco, (1973; 1976), dan Jean Baudrillard (1983). Melihat obyek seni sebagai tanda budaya berarti seni sebagai perwujudan dari budaya. Seni dengan demikian [ESTETIKA JEAN FRANCOIS LYOTARD SEBAGAI “ESTETIKA RUANG KETIDAKSADARAN FREUDIAN” (AbdyarYesuf Libis) dapat kita bedakan antara seni modern dengan postmodern, berdasarkan perubahan paradigmabudayanya. Mengaitkan kelahiran postmodern dengan persoalan estetika tidak salah, karena selalu ada keterkaitan seni dengan perkembangan pemikiran dan kebudayaan. Hal ini dapat difahami karena pada dunia seni, ada kebebasan berpikit, kebebasan berimajinasi dan kreativitas. seniman bisa bergerak tanpa batas, dan dampaknya terkadang justru di luar perkiraan sebelumnya. Misalnya, seni lukis pada masa Mesir kuno berfungsi sebagai penyampai gagasan, lukisan (hiroglif) pada masa lalu berfungsi sebagai wacana (teks) pada masa kini. Seni di berkaitan erat dengan perkembangan kebudayaan, demikian juga pada konteks kelahiran postmodem. Perdebatan tentang seni modern dengan seni postmodern, Khususnya berkaitan dengan perdebatan antar seni pada masyarakat bourjuis dengan munculnya kritik seni avant-garda terhadap seni bourjuis. Peter Burger dalam buku, Theory of the Avant-Garde, membedakan seni atas: seni sakral, seni adiluhung, seni boujuis, dan seni avant-garde (seni garada depan). Burger memberikan contoh, seni sakral seperti seni pada masa Abad Pertengahan di Eropa, di mana seni bertujuan sebagai obyek pemujaan. Seni sakral adalah seni yang diintegrasikan ke dalam lembaga "keagamaan’. Seni sebagai pemujaan pada Tuhan (seni Adiluhung). Seni Adiluhung adalah seni yang banyak digunakan para raja-raja masa lalu yang, berfungsi sebagai pengungkapan kebesaran tokoh kerajaan. Seni adi luhung menjadi media bagi Raja dan keluarganya sebagai penyampai pesan bahwa mereka adalah titisan yang mendapat kekuasaan dari dewa-dewa. Misainya seni pada masa Louis XIV di Eropa, digunakan sebagai seni adi luhung. Seni menjadi bagian praksis kehidupan istana, Seni adi luhung dan seni sakral menjadikan seni sebagai pemujaan pada Tuhan, akan tetapi memiliki sedikit perberdaan. Perbedaannya seni adiluhung menggunakan kesetiaan pada raja dan keluarganya sebagai bagian dari kepercayaan dan pengabdian pada Dewa. Perbedaan lain adalah, seni adiluhung dihasilkan sebagai kesadaran dan kreativitas yang khas individual, sehingga menghasilkan karya yang unik, sementara seni sakral merupakan seni yang berkembang sebagai praksis keagamaan (seni komunal). Seni Sakral dan adiluhung menyatu dengan dunia kehidupan pemakainya. Sag eae Sementara seni borjuis adalah seni yang berkembang di luar praksis, kehidupan, seni yang menonjolkan isi. Karya seni menuntut adanya bentuk estetika. Di sini Estetika dilihat dalam hubungannya dengan pembagian kerja di dalam masyarakat borjuis. Perkembangan yang berarti dalam tradisi estetika borjuis ini mulai terlihat dengan menculnya para seniman yang memiliki spesialisasi (musik, seni rupa, seni tari) dan lain-lain. Kemudian seni menjadi subsistem sosial yang mendefinisikan diri sebagai ranah yang, terpisah dari bagian lain. Seni kemudian memiliki dua aspek, yaitu aspek positif dan negatif. Aspek positif adalah munculnya tuntutan pengalaman estetika. Sedangkan dampak negatifnya adalah hilangnya fungsi sosial seniman (Madan Sarup, 2008) Akan tetapi pada saat yang sama juga mempertahankan jastifikasi bentuk eksistensi yang ada. Karena seni dipisahkan dari kehidupan nyata, maka aspek nilai kemanusiaan, kebahagiaan, kebenaran, serta solidaritas dihidupkan dalam dunia seni, namun disingkirkan dari kehidupan sehari- hari. Menurut Marcuse kebudayaan borjuis menyingkirkan_nilai kemanusiaan ke dunia imaji ssi dengan demikian menghambat realisasi potensinya. Kemudian istilah “otonomi seni” digunakan untuk menggambarkan penjarakan seni sebagai ranah khusus aktivitas manusia dari praksis kehidupan. Gagasan pemisahan seni dari praksis kehidupan masyarakat borjuis, sesungguhnya menyesatkan, dan menjadikan karya seni independen dari masyarakat. Seni garda-depan menolak gagasan “otonomi dunia seni”. Pernyataan dan tuntutan agar produksi karya seni otonom, pada umumnya dipandang hanya sebagai tindakan individu yang jenius. Seni otonom dalam pandangan seni garda-depan adalah, bentuk penolakan kategori penciptaan seni sebagai penciptaan individual yang terlepas dari konteks sosial-budaya tempat seniman hidup. Marcel Duchamp, misalnya mencibir masyarakat seniman yang menganggap tanda tangan pencipta seni lebih berharga/bernilai daripada kualitas karya seni. Seni Garda-depan tidak mengembangkan style (gaya) tidak surrealis atau dadais. Salah satu ciri dan keunggulan seni garda depan adalah keterbukaannya pada penguasaan teknik-teknik artistik masa lalu. Tenik seni masa depan adalah keserempakan teknik dan gaya yang berbeda secara radikal. Pada seni garda- 1A ESTETIKA JEAN FRANCOIS LYOTARD SEBAGAI “ESTETIKA RUANG KETIDAKSADARAN FREUDIAN™ depan tujuan dan prinsip seni yang utama adalah "mengejutkan penikmat seni’. Pada pemikir postmodem seperti Susan Sontag dan Francois Lyotard *kenikmatan, kesenangan, keterpesonaan ‘adalah tujuan seni yang utama. Seni dan Postmodernisme Susan Sontag melalui essai “Against Interpretation” (1967), mengemukakan bahwa interpretasi (teori) sebagai satu bentuk tindakan yang melumpuhkan dan menindas. Interpretasi menurutnya, masih memberikan arahan yang ketat (seperti interpretasi obyektif model Dilthey dan Schleiermacher), sementara interpretasi kritis membuka ruang bagi kritik, namun kritik pun tetap tunduk pada tuntutan teoritis. Karena itu interpretasi kritis tetap saja mengalahkan dimensi "menikmati" karya seni, Dalam kajian teks, penghargaan pada dimensi "kenikmatan” dikemukakan Roland Barthes melalui buku, The Pleasure of the Text (Barthes, 1975). Barthes mengemukakan istilah “estetika kenikmatan tekstual", Kenikmatan membaca teks menekankan wilayah pengalaman si pembaca teks dalam menghasilkan kenikmatan (desire). Kenikmatan tekstual itu dapat diraih, ketika teks dan pembaca teks melepaskan diri dari berbagai ikatan-ikatan. Kenikmatan tekstual tercapai ketika seseorang dapat menemukan dan merasakan pesan teks (Barthes, 1975). Pesan teks tercapai ketika si pembaca (tubuhnya) merasakan kenikmatan sewaktu atau setelah membaca teks itu. Bagi Barthes Teks yang bernilai adalah teks yang merangsang orang untuk menulis (menghasilkan karya seni) kembali, Karena ketika membaca teks, pembaca merasa teks belum selesai, teks membuka ruang imajinasi baru yang mendorong untuk melahirkan teks baru kembali, sehingga menghasilkan teks baru sebagai hasil intertektualitas. Susan Sontag (1966), juga berbicara tentang kenikmatan dalam menghadapi karya seni. Seperti Barthes, yang paling penting bagi Sontag adalah, bagaimana seseorang dapat merasakan kenikmatan dalam menghadapi karya seni. Ia menekankan perlunya sensasi langsung dan bukan memahami “makna seni” melalui penjelasan teoritis. Gagasan Sontag ini, berkaitan dengan teori seni ketidaksadaran Lyotard. Esai Sontag dianggap sebagai penolakannya terhadap pembedaan antara budaya tinggi El a ENS “hight culture’ seni tinggi dengan budaya rendah “low-culture” dan seni populer, sebagaimana juga dilakukan oleh postmodernis dan tokoh Cultural Studies Di dalam dunia seni, aspek sentral yang diasosiasikan sebagai ciri postmodern adalah hilangnya batas antara seni tinggi dengan kehidupan sehari-hari, antara seni/kebudayaan elit dengan seni/kebudayaan populer, serta munculnya eklektisime stilistik serta pencampuran kode. Dalam seni berkembang parodi, pastiche, bricolage, iron, dan semangat bermain-main. Perkembangan ini menunjukkan runtuhnya orisinalitas serta pandangan seniman sebagai orang yang memiliki kecerdasan yang istimewa, lalu seni dilihat tidak lebih dari daur ulang. Loytard mengemukakan tentang perkembangan baru di dunia seni daurulang ini berkembang tahun 1980-an, karya seni sebagai percampuran dari berbagai style (gaya) yang disebutnya dengan “kitch” sebagai bentuk tantangan terhadap seni modern yang menekankan pada kesatuan, keselarasan dan konsensus dalam masyarakat sosialis dan kapitalis (neokapitalisme) yang sebenamnya penuh dengan paradoks, Estetika "Hasrat” dan Ruang Ketidaksadaran Jean Francois Lyotard adalah tokoh postmodern terkemuka yang pemikirannya tentang estetika kurang dikenal. Lyotard pemikir postmodern yang mengembangkan konsep “libido” Freud ke dalam teorinya tentang metafisika dan estetika. Ia mengemukakan istilah “libidinal econimics” dan “estetika ruang ketidaksadaran” yang bisa disebut sebagai "estetika hasrat (enstetics of desire). Pada Freud dibedakan antara "hasrat’ (libido) dengan “kesadaran’ atau “rasionalitas”. Pemikir postmodern mengemukakan bahwa ada kesulitan untuk memisahkan ini secara tegas. Postmodernisme menolak model berpikir oposisi biner atau model berpikir hitam-putih. Postmoderis mengemukakan kesulitan dan ketidakmungkinan untuk memisahkan secara tegas antara "ilmu pengetahuan” dengan "kuasa’, ilmu pengetahuan dengan "kepentingan’ dan "kebenaran’, antara rasionalitas dengan "hasrat” (Michel Foucault). Karena penekanan dan pengutamaan pada rasionalitas pada pemikiran modern, justru dapat dilihat sebagai bentuk hasrat untuk berkuasa (lubis, 2012). _ESTETIKA JEAN FRANCOIS LYOTARD SEBAGAI “ESTETIKA RUANG KETIDAKSADARAN FREUDIAN' (Abia Yusuf Labs) Pada psikoanalisa postmodem, hasrat tidak lagi dianggap berada di (kedalaman) permukaan bagian psikis manusia yang terdiferensiasi. Pada seni “hasrat” dihadirkan pada permukan kanvas, menggantikan rasionalitas Baconian. Rasionalitas modern dianggap tidak memadai untuk memahami seni postmodern, "Semiotika Postmodern" adalah metode untuk menganalisis penandaan pada seni postmodern. Kultur postmodern yang dilatarbelakangi “hasrat” memberi syarat penolakan terhadap penandaan ini, ada semacam naturalisme yang menandai "metode” pada era modern. Menurut Francois Lyotard, penanda pada semiotika modern bersifat "diskursif’ sedangkan panda pada postmodem bersifat “figural” (Postmodern condition). Estetika hasrat yang dikemukakan Lyotard sangat mempengaruhi teoriestetika postmodern. Oleh Lyotard, kepekaan estetika “diskursif’ pada era modem dihadapkan dengan kepekaan "figrural” dari postmodern. Dalam konteks ini yang bersifat diskursif ditandai oleh: 1. Memberikan prioritas padakata-kata daripada cinta 2. Menghargai kualitas-kualitas formal obyek-obyek kultural . Mengemukakan pandangan rasionalistis mengenai kultur |. Menganggap makna teks kultural menjadihal yang penting 3. Mengutamakan kepekaan ego, bukan identitas . Bekerja dengan mengambil jarak antara si pengamat dengan obyek cultural dalam upaya menemukan obyektivitas (Lash, 179). Sebaliknyaestetika “figural” ditandai oleh: 1. Bentuk kepekaan visual bukan literer 2. Kurang menghargai formaisme da mensejajarkan penanda-penanda yang mucul dari kehidupan sehari-hari yang bersifatbiasa 3. Menantang pandangan kultur yang mengandalkan “rasionalitas” dan tidak “diktatis” 4. Tidak tertarik mempertanyakan arti “teks” cultural, akan tetapi apa yang dilakukannya. 5. Mengembangkan proses primer (hasrat) pada tataran (lingkup) kultural 6. Menghargai dan mengutamakan “para penikmat” serta dukungan hasrat pada dunia (obyek-obyek) cultural yang relative tidak memerlukan perantara (Lash, 180). onae ee Adalah satu keanehan pada seni avant-garde yang, berkembang. tahun 1920-an, yang telah menunjukkan ciri postmodern dengan melihat surealisme melalui perbedaan kultur. Ketika kia _menghargai keanekaragaman kultur, keragaman nilai-nilai, keragaman kriteria, maka pada seni garda depan metanarasi menjadi tidak penting (diabaikan). Paling, tidak metanarasi, hanya ada ditengah keragaman narasi- narasi yang lain. Meskipun argumen ini terasa kontradiktif dengan prinsip metanarasi itu Seni avat-garde menerima keberagaman serta berpusat pada citra (simulacra) dan ketidaksadaran. Sedangkan seni realisme mengutamakan “kata” yang dikaitkan dengan "rasionalitas” atau kesadaran. Dalam pemikiran seperti inilah seni postmodern (film, drama, arsitektur, novel, lukisan) difahami dan dinikmati. Dalam paradigma berpikir seperti ini pulalah film postmodern tidak begitu mementingkan narasi, tidak memiliki tema umum dan kritis, Film menjadi sistem penandaan baru yang mementingkan citra dengan mengutamakan “penikmat" dengan menyampingkan rasionalitas, diskursifitas, dan intelektualitas yang diutamakan pada seni modern. Dalam konteksini Susan Sontag mengunakan istilah "sentuhan indrawi" yang maksudnya mengakui keterlibatan subyek dalam pengindraan dan ini berbeda dengan observasi atau pengindraan dalam dunia ilmiah, Susan Sontag salah seorang teoritikus seni postmodern terkemuka. Dalam, Against interpretation, mengajukan istilah “estetika pengindraan" yang disebutnya juga sebagai “estetika interpretasi". Estetika pengindraan identik dengan observasi pada duna ilmiah, di sini metode interpretasi (model Dilthey) digunakan untuk memahaminya (Sontag 1967, 7). Metode interpretasi yang dapat menemukan obyektivitas dan rasionalitas seni menjadi andalannya. Namun harus disadari bahwa intepretasi yang mengutamakan obyektivitas akan memiskinkan seni, karena melepaskan. ‘emosi, hasrat, penghayatan (appreseasi) dan imajinasi pada makna estetis dari dunia seni itu (Sontag, 1967, 165-7). Selanjutnya Sontag membedakan lagi antara “erotica seni" dengan “hermeneutika seni" yang melihat seni sebagai pengindraan. Erotika seni Iebih melihat karya seni sebagai "teks" yang sarat atau kaya simbol dan makna yang memungkinkan seseorang untuk menikmatinya. Sontang ESTETIKA JEAN FRANCOIS LYOTARD SEBAGAI “ESTETIKA RUANG KETIDAKSADARAN FREUDIAN” (Abbyar Yusuf Lubis) mengemukakan munculnya kepekaan baru dalam teori seni yang terkadang dianggap sebagai dasar bagi "seni yang lebih dingin" sebagai konsep pembeda dari "seni literer" atau "hermeneutika seni". Dari tulisannya, sontag kelihata bahwa ia tidak begitu menyukai seni literer dan teater dialog yang mengandalkan kata-kata. la lebih menyukai “teater indra” yang minim kata- kata (dialog). Ia mambahas drama (teater Arthudian) sebagai contoh teater yang daya geraknya pada sutradara dan bukan pada teater literature, Teater literatur bersifat "didaktik" dan mengutamakan rasionalitas yang disebut juga "teater inteligensi", Berbeda dengan teater Brechtian yang "magis, citra, danisyarat" (Sonta, 173), Estetika postmodern sebagai kritik atas hermeneutika modern memasukkan interpretasi marxian dan freudian pada pemaknaan karya sastra (seni). Sontag dikritik oleh pendukung konservativisme Cultural New York (Amerika) yang tokohaliran ini seperti: Daniel Bell, Irving Howe, Lionel Trilling dan Clement Greenberg. Pemikir cultural konservatif lebih menyukai seni auratis, baik realis maupun moderitas tinggi. Baik berdasarkan pentingnya makna atau pun kualitas formalnya yang bersifat seni Apollonian dan bukan Dionisian, Sontag sebagai tokoh seni postmodern, mempertanyakan pemisahan antara dunia kehidupan dengan dunia teks. Pendapatnya seni Apolonian sebagai “kritik terhadap hidup" dan mengemukakan bahwa sesungguhnya gagasan. Ide pun dapat berfungsi sebagai perangsang indra, sebagaimana dikemukakan Nietsche. Sontag menggunakan teori Lyotard tentang pembedaan antara hermeneutika modernis dengan estetika pengindraan postmodern, fuga menggunakan konsep Lyotard tentang" diskusus" dan Figure" atau gambar citraan, (Lubis, 2012) Bagi Lyotard suatu yang bersifat “diskursus" merupakan proses sekunder Freudian yaitu "ego" yang bertindak sesuai dengan prinsip realitas. Sedangkan yang “figural” merupakan proses primer dari ketidaksadaran yang bertindak berdasarkan "hasrat’ atau “prinsip kepuasan’ (Lyotard, 1971; 1973; 1984). Dari yang figural kita dapat memahami dengan baik sifat ketidaksadaran dengan cara meneliti bagaimana persisnya ketidaksadaran yang tidak tertata seperti bahasa (ingat Jacques Lacan menyatakan kesadaran : Saat Getic tertata seperti bahasa). Pada Lyotard ketidaksadaran tidak melakukan penandaan sebagaimana dilakukan bahasa. Pemahaman Lyotard tentang “diskursus’ berakar dari pemahaman tentang bahasa, seperti ego yang melepaskan energinya sesuai dengan prinsip kepuasan. Dalam proses sekunder energi dilepaskan melalui kegiatan transformasi dan verbalisasi, sedangkan dalam proses primer energi dilepaskan untuk "memuaskan hasrat" melalui energi mental ingatan dan ‘persepsi”. Pembedaan “diskursus” dengan ‘figural’ dibedakan melalui peran persepsi pada diskursus, berdasarkan pelepasan energi melalui transformasi dunia luar. Sedangkan yang “figural” merupakan ingatan persepsi dengan energi psikis langsung dilepaskan dengan melakukan penanaman. Ciri primer dan sekunder bagai Lyotard dicirikan dengan pertentangan antara “bahasa” pada diskursus dan ‘citra’ pada figural. Gagasan Lyotard dipengauhi oleh fenomenolog Merleau. Ponty. Pada Ponty proses sekunder tidak hanya bekerja seperti diskursus, akan tetapi juga tertata seperti diskursus. Sedangkan proses primer tidak melepaskan energi melalui penggunaan ingatan persepsi, melainkan “medan persepsi', Maksudnya mobilitas penglihatan tidak terganggu dalam “medan visual yang tidak simetri dan kontinu” akan tetapi mirip dengan *penanaman energi psikhis’, Diskursus bergerak sesuai dengan sekumpulan Kendala, aturan melalui "proses pemilihan dan kombinasi bahasa" Estetika Lyotard adalah “estetika ketidaksadaran” Freudian yang, ‘memungkinkan adanya: 1), Kondensasi dan kontradiksi;2). Memungkinkan adanya mobilitas untuk melepaskan energi mental yang berarti perpindahan; 3). Melepaskan temporalitas daripada keterikatan pada keteraturan (Lyotard, 1984). Estetika figural Lyotard adalah estetika yang menentang subordinasi citra pada makna naratif atau representasi terhadap bahasa seperti formalisme yang terikat pada aturan-aturan, Makna seni pada psikoanalisa Freudian berkaitan dengan pengalaman masa kecil atau pengalaman bahwa sadar primordial. Pengalaman primordial ita lebih irasional dan sesksual. Estetika Lyotard adalah estetika liar (estetika Dionysian pada Nietzsche) yang tidak mengutamakan batasan teoritis, norma estetis, norma religius akan tetapi lebih mengutamakan seni sebagai joisant, seni sebagai disire (kenikmatan, menikmati).. ESTETIKA JEAN FRANCOIS LYOTARD SEBAGAI “ESTETIKA RUANG KETIDAKSADARAN FREUDIAN” (Abbeyar Yusuf Labs) Referensi Barthes, Roland. Element of Semiology, Hill and Wang, New York, 1993. Baudrillard, Jean. Simulation, Semiotext e), New York, 1983. Eco, Umberto. Travel in Hyperreality, Picador, 1973. Fiedler, Leslie, The Collective Essays of Leslie Fielder, Vol. Il, New York, 1971. Foucault, Michel. The Order of Things. An Archeology of the Human Knowledge. London: Tavistik and New York: Panteon, 1970. Habermas, Jurgen. Legutimation Crisis, London: Hainemann, 1973. Leche, John. Fifty Key Contemporary Thinkers: From Structuralism to Postmodernism. London: Roudledge, 1994 Lubis, Akhyar Yusuf, Teori dan Metodologi llmu Pengetahuan Sosial-Budaya Kontemporer, Departemen Filsafat Fakultas llmu Pengetahuan Budaya, 2012. Lyotard, Francois. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, (Trans. Geoff Bennington and Brian Massumi.) Minneapolis: University of Minneapolis Press, 1984. Ritzer, George. The Postmodern Social Theory, New York: McGraw-Hill, 1996. Sarup, Madan. Postrukturalisme & Posmodernisme, (terjemahan Medhy Agunta Hidayat),Jalasutra: Yogyakarta, 2008. Sontag, Susan. Against Interpretation, New York: Delhi, 1966.

Vous aimerez peut-être aussi