EOE
ESTETIKA JEAN FRANCOIS LYOTARD SEBAGAI “ESTETIKA
RUANG KETIDAKSADARAN FREUDIAN”
Abstract
The term postmodern was born in the world of art. Now, though, the term has
found a widespread use in other field. Francois Loytard was a philosoper who
helped popularise the term among the academic community. He wrote an
interesting, yet relatively unknown theory about postmodern aesthetics. At a
glance, Lyotard seemed to ignore aesthetics theories in froour of merely enjoying
‘works of art, for to him, art has to be able to mesmerize and make someone enjoy
it. However, such enjoyment can’t be attained without understanding theories
of art and the hidden meaning behind every particular art piece. Such
understanding must already be ingrained into the sub consciousness of the
person enjoying the art piece
Keywords: aesthetics, theory, art
Abstrak
Istilah posmodern lahir dari dunia seni dan penggunaan istilah itu
sekarang telah merambah keberbagai bidang ilmu pengetahuan.
Francois Lyotard, termasuk pemikir yang mempopulerkan istilah
posmodern di lingkungan dunia akademis. Francois Lyotard juga
menulis tentang teori estetika posmodern yang sangat menarik, namun
relatif belum dikenal, Jika dibaca sekilas seakan Lyotard mengabaikan
teori estetika untuk menikmati karya seni, karena yang terpenting
baginya, karya seni dapat membuat seseorang menikmati, kagum,
terpesona ketika berhadapan dengan karya seni, bukan dengan
‘mengajukan teori yang berat dan canggih. Akan tetapi, kenikmatan
tentu tidak mungkin diperoleh tanpa memahami teoridan maknakarya
seni, makna dan kenikmatan hanya mungkin dengan bantuan teori
‘yang sudah menjadi bagian dari" bawah sadar” penikmatseniitu.
Kata kunci: estetika, teori dan seni.
*) Dosen/Staf Pengajar F.LB, Universitas IndonesiaESTETIKA JEAN FRANCOIS LYOTARD SEBAGAI “ESTETIKA RUANG KETIDAKSADARAN FREUDIAN
(Abbgar Yusuf Luis)
Seni Sakral dan Seni Garda Depan
Postmodern bisa dikatakan lahir dari rahim seni dan berkembang
dibidang seni: arsitektur, seni rupa, literatur, teater, tari, yang melakukan
kkritik dekonstruktif pada pemikiran, kebudayaan, dan pada ekspresi seni
modem (Ritzer, 1996). Charles Jenks salah seorang tokoh arsitektur
postmodern menyatakan bahwa konsep postmodern lahir dari tulisan
Frederico de Onis seorang ahli Spanyol melalui tulisannya yang berjudul,
Antologia de la Poesia Espanola e Hispanoamericana (1934). Charles Jenks disebut
sebagai tokoh Arsitektur postmodern terkemuka menulis essai dan buku:
“The rise of Postmodern Architecture” (1975), dan The Language of Postmodern
Architecture, Jenks, 1977). De Onis memperkenalkan istilah postmoderen
sebagai kritik atas eksperesi seni dan kebudayaan modem (Grenz,2001).
Pemikiran tentang postmodem sebelum tahun 1960-an baru sebagai riak-
riak kecil dan belum memberikan pengaruh besar pada intelektualitas
sampai muncul pemikir seperti Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michel
Foucault yang disebut sebagai nabi-nabi postmodern yang berjasa
menaburkan bibit postmodern itu merambah keberbagai bidang ilmu
pengetahuan. Istilah “postmodern” sebagai konsep populer, sekarang
maknanya cenderung sebagai perlawanan terhadap kebudayaan dan
paradigma berpikir modern (Fiedler, 1971).
Hans Bertens dalam buku, The Idea of Postmodern (1975), dan
Andreas Huysen melalui essai, "Mapping the Postmodern”, dan buku,
Feminism /Postmodernism yang diedit L Nicholson (1990) mengemukakan
pengaruh seni postmodern pada kehidupan. Bertens mengemukakan bahwa
awal manifestasi postmodem terdapat pada musik John Cage, dalam karya
seni Robert Rauschenmberg dan Novel Alain Robbe-Grillet, John Barth, dan
Thomas Pynchon dengan ketidakberdayaannya pada etika postmodernis
(Lihat Ritzer). Leslie Fiedler (1960/1975) mengemukakan memudamya
modernisme dengan rasionalisme dan humanisme liberal, ini dikatakan
sebagai bentuk matinya modernitas dan kelahiran postmodemitas yang
membuka ruang bagi irasionalitas, romantisme, dan sentimentalisme. Ide
yang muncul pada dunia seni ini menjadi pemicu meledaknya pemikiran
postmodemis pada bidang-bidang lain setelah tahun 1960-an/1970-an.Robert Venturi melalui buku, Complexity and Contradiction in
Architecture (1988), dan Learning From Las Vegas, adalah ilmuan/arsitek yang
membelokkan mainstream arsitektur modern ke postmodem (Bertens, 1995;
53), dengan mengemukakan lahirnya keanekaragaman model, dan bahasa
pada dunia arsitektur. Arsitektur modern adalah arsitektur yang seragam
dengan bentuk kotak-kotak tinggi yang mengabaikan ornamen, keindahan,
keberagaman dan menekankan pada fungsi. Charles Jenks mengemukakan
istilah “double coding” (kode ganda) yang sepertinya mempertahankan
adanya elitisme dalam arsitektur modern. Lalu ia mengajukan istilah
“vernakuler” atau seni kedaerahan/lokal sebagai pelengkap “double coding”
itu. Jadi ada perpaduan (hibridisasi, Collage) dua unsur seni dalam arsitektur
postmodern (Bandingkan dengan kapus UI yang memadukan bangunan
Klasik, modern dan postmodem). Seperti pemikir postrukturalis dan
postmodernis umumnya Jekns menggunakan istilah “permainan bahasa”
dan "keanekaragaman bahas
", kode ganda dan pluralisme makna, serta
konsep arsitektur sebagai signifier.
Terlihat jelas konsep perbedaan, keragaman mulai digunakan pada
seni arsitektur postmodern. Jurgen Habermas berpendapat bahwa
perubahan lebih lanjut dari struktur kapitalisme industri (setelah paroh
kedua abad XX) telah mentransformasiestetika modernisme ke bentuk post-
modernisme yang tidak lagi memiliki orientasi kritis (Habermas, 1973).
Habermas mengemukakan mulai berkembangnya estetika "post-auratik”
pada seni postmodern sebagai perlawanan terhadap kebudayaan modern.
Sayangnya Habermas tidak mengelaborasi tentang pengertian estetisme
“post-auratik” itu,
Pada era modem pendekatan seni lebih menekankan pada aspek
formal dan fungsional, sementara pendekatan seni postmodern lebih
menekankan aspek permainan tanda dan kode. Seni postmodern dilihat
sebagai sebuah mosaik tanda-tanda budaya (teks) dalam pengertian luas.
Seni sebagai “permasinan bahasa’, "tanda budaya" mengkaitkan seni dengan
pemikir semiotika seperti Roland Barthes (Barthes, 1973), Umberto Eco,
(1973; 1976), dan Jean Baudrillard (1983). Melihat obyek seni sebagai tanda
budaya berarti seni sebagai perwujudan dari budaya. Seni dengan demikian[ESTETIKA JEAN FRANCOIS LYOTARD SEBAGAI “ESTETIKA RUANG KETIDAKSADARAN FREUDIAN”
(AbdyarYesuf Libis)
dapat kita bedakan antara seni modern dengan postmodern, berdasarkan
perubahan paradigmabudayanya.
Mengaitkan kelahiran postmodern dengan persoalan estetika tidak
salah, karena selalu ada keterkaitan seni dengan perkembangan pemikiran
dan kebudayaan. Hal ini dapat difahami karena pada dunia seni, ada
kebebasan berpikit, kebebasan berimajinasi dan kreativitas. seniman bisa
bergerak tanpa batas, dan dampaknya terkadang justru di luar perkiraan
sebelumnya. Misalnya, seni lukis pada masa Mesir kuno berfungsi sebagai
penyampai gagasan, lukisan (hiroglif) pada masa lalu berfungsi sebagai
wacana (teks) pada masa kini. Seni di berkaitan erat dengan
perkembangan kebudayaan, demikian juga pada konteks kelahiran
postmodem. Perdebatan tentang seni modern dengan seni postmodern,
Khususnya berkaitan dengan perdebatan antar seni pada masyarakat
bourjuis dengan munculnya kritik seni avant-garda terhadap seni bourjuis.
Peter Burger dalam buku, Theory of the Avant-Garde, membedakan
seni atas: seni sakral, seni adiluhung, seni boujuis, dan seni avant-garde (seni
garada depan). Burger memberikan contoh, seni sakral seperti seni pada
masa Abad Pertengahan di Eropa, di mana seni bertujuan sebagai obyek
pemujaan. Seni sakral adalah seni yang diintegrasikan ke dalam lembaga
"keagamaan’. Seni sebagai pemujaan pada Tuhan (seni Adiluhung). Seni
Adiluhung adalah seni yang banyak digunakan para raja-raja masa lalu yang,
berfungsi sebagai pengungkapan kebesaran tokoh kerajaan. Seni adi luhung
menjadi media bagi Raja dan keluarganya sebagai penyampai pesan bahwa
mereka adalah titisan yang mendapat kekuasaan dari dewa-dewa. Misainya
seni pada masa Louis XIV di Eropa, digunakan sebagai seni adi luhung. Seni
menjadi bagian praksis kehidupan istana, Seni adi luhung dan seni sakral
menjadikan seni sebagai pemujaan pada Tuhan, akan tetapi memiliki sedikit
perberdaan. Perbedaannya seni adiluhung menggunakan kesetiaan pada
raja dan keluarganya sebagai bagian dari kepercayaan dan pengabdian pada
Dewa. Perbedaan lain adalah, seni adiluhung dihasilkan sebagai kesadaran
dan kreativitas yang khas individual, sehingga menghasilkan karya yang
unik, sementara seni sakral merupakan seni yang berkembang sebagai
praksis keagamaan (seni komunal). Seni Sakral dan adiluhung menyatu
dengan dunia kehidupan pemakainya.
Sag eaeSementara seni borjuis adalah seni yang berkembang di luar praksis,
kehidupan, seni yang menonjolkan isi. Karya seni menuntut adanya bentuk
estetika. Di sini Estetika dilihat dalam hubungannya dengan pembagian
kerja di dalam masyarakat borjuis. Perkembangan yang berarti dalam tradisi
estetika borjuis ini mulai terlihat dengan menculnya para seniman yang
memiliki spesialisasi (musik, seni rupa, seni tari) dan lain-lain. Kemudian
seni menjadi subsistem sosial yang mendefinisikan diri sebagai ranah yang,
terpisah dari bagian lain. Seni kemudian memiliki dua aspek, yaitu aspek
positif dan negatif. Aspek positif adalah munculnya tuntutan pengalaman
estetika. Sedangkan dampak negatifnya adalah hilangnya fungsi sosial
seniman (Madan Sarup, 2008)
Akan tetapi pada saat yang sama juga mempertahankan jastifikasi
bentuk eksistensi yang ada. Karena seni dipisahkan dari kehidupan nyata,
maka aspek nilai kemanusiaan, kebahagiaan, kebenaran, serta solidaritas
dihidupkan dalam dunia seni, namun disingkirkan dari kehidupan sehari-
hari. Menurut Marcuse kebudayaan borjuis menyingkirkan_nilai
kemanusiaan ke dunia imaji
ssi dengan demikian menghambat realisasi
potensinya. Kemudian istilah “otonomi seni” digunakan untuk
menggambarkan penjarakan seni sebagai ranah khusus aktivitas manusia
dari praksis kehidupan. Gagasan pemisahan seni dari praksis kehidupan
masyarakat borjuis, sesungguhnya menyesatkan, dan menjadikan karya seni
independen dari masyarakat.
Seni garda-depan menolak gagasan “otonomi dunia seni”.
Pernyataan dan tuntutan agar produksi karya seni otonom, pada umumnya
dipandang hanya sebagai tindakan individu yang jenius. Seni otonom dalam
pandangan seni garda-depan adalah, bentuk penolakan kategori penciptaan
seni sebagai penciptaan individual yang terlepas dari konteks sosial-budaya
tempat seniman hidup. Marcel Duchamp, misalnya mencibir masyarakat
seniman yang menganggap tanda tangan pencipta seni lebih
berharga/bernilai daripada kualitas karya seni. Seni Garda-depan tidak
mengembangkan style (gaya) tidak surrealis atau dadais. Salah satu ciri dan
keunggulan seni garda depan adalah keterbukaannya pada penguasaan
teknik-teknik artistik masa lalu. Tenik seni masa depan adalah
keserempakan teknik dan gaya yang berbeda secara radikal. Pada seni garda-
1AESTETIKA JEAN FRANCOIS LYOTARD SEBAGAI “ESTETIKA RUANG KETIDAKSADARAN FREUDIAN™
depan tujuan dan prinsip seni yang utama adalah "mengejutkan penikmat
seni’. Pada pemikir postmodem seperti Susan Sontag dan Francois Lyotard
*kenikmatan, kesenangan, keterpesonaan ‘adalah tujuan seni yang utama.
Seni dan Postmodernisme
Susan Sontag melalui essai “Against Interpretation” (1967),
mengemukakan bahwa interpretasi (teori) sebagai satu bentuk tindakan
yang melumpuhkan dan menindas. Interpretasi menurutnya, masih
memberikan arahan yang ketat (seperti interpretasi obyektif model Dilthey
dan Schleiermacher), sementara interpretasi kritis membuka ruang bagi
kritik, namun kritik pun tetap tunduk pada tuntutan teoritis. Karena itu
interpretasi kritis tetap saja mengalahkan dimensi "menikmati" karya seni,
Dalam kajian teks, penghargaan pada dimensi "kenikmatan” dikemukakan
Roland Barthes melalui buku, The Pleasure of the Text (Barthes, 1975). Barthes
mengemukakan istilah “estetika kenikmatan tekstual", Kenikmatan
membaca teks menekankan wilayah pengalaman si pembaca teks dalam
menghasilkan kenikmatan (desire). Kenikmatan tekstual itu dapat diraih,
ketika teks dan pembaca teks melepaskan diri dari berbagai ikatan-ikatan.
Kenikmatan tekstual tercapai ketika seseorang dapat menemukan dan
merasakan pesan teks (Barthes, 1975). Pesan teks tercapai ketika si pembaca
(tubuhnya) merasakan kenikmatan sewaktu atau setelah membaca teks itu.
Bagi Barthes Teks yang bernilai adalah teks yang merangsang orang untuk
menulis (menghasilkan karya seni) kembali, Karena ketika membaca teks,
pembaca merasa teks belum selesai, teks membuka ruang imajinasi baru
yang mendorong untuk melahirkan teks baru kembali, sehingga
menghasilkan teks baru sebagai hasil intertektualitas.
Susan Sontag (1966), juga berbicara tentang kenikmatan dalam
menghadapi karya seni. Seperti Barthes, yang paling penting bagi Sontag
adalah, bagaimana seseorang dapat merasakan kenikmatan dalam
menghadapi karya seni. Ia menekankan perlunya sensasi langsung dan
bukan memahami “makna seni” melalui penjelasan teoritis. Gagasan Sontag
ini, berkaitan dengan teori seni ketidaksadaran Lyotard. Esai Sontag
dianggap sebagai penolakannya terhadap pembedaan antara budaya tinggi
Ela ENS
“hight culture’ seni tinggi dengan budaya rendah “low-culture” dan seni
populer, sebagaimana juga dilakukan oleh postmodernis dan tokoh Cultural
Studies
Di dalam dunia seni, aspek sentral yang diasosiasikan sebagai ciri
postmodern adalah hilangnya batas antara seni tinggi dengan kehidupan
sehari-hari, antara seni/kebudayaan elit dengan seni/kebudayaan populer,
serta munculnya eklektisime stilistik serta pencampuran kode. Dalam seni
berkembang parodi, pastiche, bricolage, iron, dan semangat bermain-main.
Perkembangan ini menunjukkan runtuhnya orisinalitas serta pandangan
seniman sebagai orang yang memiliki kecerdasan yang istimewa, lalu seni
dilihat tidak lebih dari daur ulang. Loytard mengemukakan tentang
perkembangan baru di dunia seni daurulang ini berkembang tahun 1980-an,
karya seni sebagai percampuran dari berbagai style (gaya) yang disebutnya
dengan “kitch” sebagai bentuk tantangan terhadap seni modern yang
menekankan pada kesatuan, keselarasan dan konsensus dalam masyarakat
sosialis dan kapitalis (neokapitalisme) yang sebenamnya penuh dengan
paradoks,
Estetika "Hasrat” dan Ruang Ketidaksadaran
Jean Francois Lyotard adalah tokoh postmodern terkemuka yang
pemikirannya tentang estetika kurang dikenal. Lyotard pemikir postmodern
yang mengembangkan konsep “libido” Freud ke dalam teorinya tentang
metafisika dan estetika. Ia mengemukakan istilah “libidinal econimics” dan
“estetika ruang ketidaksadaran” yang bisa disebut sebagai "estetika hasrat
(enstetics of desire). Pada Freud dibedakan antara "hasrat’ (libido) dengan
“kesadaran’ atau “rasionalitas”. Pemikir postmodern mengemukakan bahwa
ada kesulitan untuk memisahkan ini secara tegas. Postmodernisme menolak
model berpikir oposisi biner atau model berpikir hitam-putih. Postmoderis
mengemukakan kesulitan dan ketidakmungkinan untuk memisahkan
secara tegas antara "ilmu pengetahuan” dengan "kuasa’, ilmu pengetahuan
dengan "kepentingan’ dan "kebenaran’, antara rasionalitas dengan "hasrat”
(Michel Foucault). Karena penekanan dan pengutamaan pada rasionalitas
pada pemikiran modern, justru dapat dilihat sebagai bentuk hasrat untuk
berkuasa (lubis, 2012)._ESTETIKA JEAN FRANCOIS LYOTARD SEBAGAI “ESTETIKA RUANG KETIDAKSADARAN FREUDIAN'
(Abia Yusuf Labs)
Pada psikoanalisa postmodem, hasrat tidak lagi dianggap berada di
(kedalaman) permukaan bagian psikis manusia yang terdiferensiasi. Pada
seni “hasrat” dihadirkan pada permukan kanvas, menggantikan rasionalitas
Baconian. Rasionalitas modern dianggap tidak memadai untuk memahami
seni postmodern, "Semiotika Postmodern" adalah metode untuk
menganalisis penandaan pada seni postmodern. Kultur postmodern yang
dilatarbelakangi “hasrat” memberi syarat penolakan terhadap penandaan
ini, ada semacam naturalisme yang menandai "metode” pada era modern.
Menurut Francois Lyotard, penanda pada semiotika modern bersifat
"diskursif’ sedangkan panda pada postmodem bersifat “figural” (Postmodern
condition). Estetika hasrat yang dikemukakan Lyotard sangat mempengaruhi
teoriestetika postmodern.
Oleh Lyotard, kepekaan estetika “diskursif’ pada era modem
dihadapkan dengan kepekaan "figrural” dari postmodern. Dalam konteks ini
yang bersifat diskursif ditandai oleh:
1. Memberikan prioritas padakata-kata daripada cinta
2. Menghargai kualitas-kualitas formal obyek-obyek kultural
. Mengemukakan pandangan rasionalistis mengenai kultur
|. Menganggap makna teks kultural menjadihal yang penting
3. Mengutamakan kepekaan ego, bukan identitas
. Bekerja dengan mengambil jarak antara si pengamat dengan obyek
cultural dalam upaya menemukan obyektivitas (Lash, 179).
Sebaliknyaestetika “figural” ditandai oleh:
1. Bentuk kepekaan visual bukan literer
2. Kurang menghargai formaisme da mensejajarkan penanda-penanda
yang mucul dari kehidupan sehari-hari yang bersifatbiasa
3. Menantang pandangan kultur yang mengandalkan “rasionalitas” dan
tidak “diktatis”
4. Tidak tertarik mempertanyakan arti “teks” cultural, akan tetapi apa
yang dilakukannya.
5. Mengembangkan proses primer (hasrat) pada tataran (lingkup)
kultural
6. Menghargai dan mengutamakan “para penikmat” serta dukungan
hasrat pada dunia (obyek-obyek) cultural yang relative tidak
memerlukan perantara (Lash, 180).
onae
eeAdalah satu keanehan pada seni avant-garde yang, berkembang.
tahun 1920-an, yang telah menunjukkan ciri postmodern dengan melihat
surealisme melalui perbedaan kultur. Ketika kia _menghargai
keanekaragaman kultur, keragaman nilai-nilai, keragaman kriteria, maka
pada seni garda depan metanarasi menjadi tidak penting (diabaikan). Paling,
tidak metanarasi, hanya ada ditengah keragaman narasi- narasi yang lain.
Meskipun argumen ini terasa kontradiktif dengan prinsip metanarasi itu
Seni avat-garde menerima keberagaman serta berpusat pada citra (simulacra)
dan ketidaksadaran. Sedangkan seni realisme mengutamakan “kata” yang
dikaitkan dengan "rasionalitas” atau kesadaran.
Dalam pemikiran seperti inilah seni postmodern (film, drama,
arsitektur, novel, lukisan) difahami dan dinikmati. Dalam paradigma
berpikir seperti ini pulalah film postmodern tidak begitu mementingkan
narasi, tidak memiliki tema umum dan kritis, Film menjadi sistem
penandaan baru yang mementingkan citra dengan mengutamakan
“penikmat" dengan menyampingkan rasionalitas, diskursifitas, dan
intelektualitas yang diutamakan pada seni modern. Dalam konteksini Susan
Sontag mengunakan istilah "sentuhan indrawi" yang maksudnya mengakui
keterlibatan subyek dalam pengindraan dan ini berbeda dengan observasi
atau pengindraan dalam dunia ilmiah,
Susan Sontag salah seorang teoritikus seni postmodern terkemuka.
Dalam, Against interpretation, mengajukan istilah “estetika pengindraan"
yang disebutnya juga sebagai “estetika interpretasi". Estetika pengindraan
identik dengan observasi pada duna ilmiah, di sini metode interpretasi
(model Dilthey) digunakan untuk memahaminya (Sontag 1967, 7). Metode
interpretasi yang dapat menemukan obyektivitas dan rasionalitas seni
menjadi andalannya. Namun harus disadari bahwa intepretasi yang
mengutamakan obyektivitas akan memiskinkan seni, karena melepaskan.
‘emosi, hasrat, penghayatan (appreseasi) dan imajinasi pada makna estetis
dari dunia seni itu (Sontag, 1967, 165-7).
Selanjutnya Sontag membedakan lagi antara “erotica seni" dengan
“hermeneutika seni" yang melihat seni sebagai pengindraan. Erotika seni
Iebih melihat karya seni sebagai "teks" yang sarat atau kaya simbol dan
makna yang memungkinkan seseorang untuk menikmatinya. SontangESTETIKA JEAN FRANCOIS LYOTARD SEBAGAI “ESTETIKA RUANG KETIDAKSADARAN FREUDIAN”
(Abbyar Yusuf Lubis)
mengemukakan munculnya kepekaan baru dalam teori seni yang terkadang
dianggap sebagai dasar bagi "seni yang lebih dingin" sebagai konsep
pembeda dari "seni literer" atau "hermeneutika seni". Dari tulisannya, sontag
kelihata bahwa ia tidak begitu menyukai seni literer dan teater dialog yang
mengandalkan kata-kata. la lebih menyukai “teater indra” yang minim kata-
kata (dialog). Ia mambahas drama (teater Arthudian) sebagai contoh teater
yang daya geraknya pada sutradara dan bukan pada teater literature, Teater
literatur bersifat "didaktik" dan mengutamakan rasionalitas yang disebut
juga "teater inteligensi", Berbeda dengan teater Brechtian yang "magis, citra,
danisyarat" (Sonta, 173),
Estetika postmodern sebagai kritik atas hermeneutika modern
memasukkan interpretasi marxian dan freudian pada pemaknaan karya
sastra (seni). Sontag dikritik oleh pendukung konservativisme Cultural New
York (Amerika) yang tokohaliran ini seperti: Daniel Bell, Irving Howe, Lionel
Trilling dan Clement Greenberg. Pemikir cultural konservatif lebih
menyukai seni auratis, baik realis maupun moderitas tinggi. Baik
berdasarkan pentingnya makna atau pun kualitas formalnya yang bersifat
seni Apollonian dan bukan Dionisian, Sontag sebagai tokoh seni postmodern,
mempertanyakan pemisahan antara dunia kehidupan dengan dunia teks.
Pendapatnya seni Apolonian sebagai “kritik terhadap hidup" dan
mengemukakan bahwa sesungguhnya gagasan. Ide pun dapat berfungsi
sebagai perangsang indra, sebagaimana dikemukakan Nietsche. Sontag
menggunakan teori Lyotard tentang pembedaan antara hermeneutika
modernis dengan estetika pengindraan postmodern, fuga menggunakan
konsep Lyotard tentang" diskusus" dan Figure" atau gambar citraan, (Lubis,
2012)
Bagi Lyotard suatu yang bersifat “diskursus" merupakan proses
sekunder Freudian yaitu "ego" yang bertindak sesuai dengan prinsip realitas.
Sedangkan yang “figural” merupakan proses primer dari ketidaksadaran
yang bertindak berdasarkan "hasrat’ atau “prinsip kepuasan’ (Lyotard, 1971;
1973; 1984). Dari yang figural kita dapat memahami dengan baik sifat
ketidaksadaran dengan cara meneliti bagaimana persisnya ketidaksadaran
yang tidak tertata seperti bahasa (ingat Jacques Lacan menyatakan kesadaran
: Saat Getictertata seperti bahasa). Pada Lyotard ketidaksadaran tidak melakukan
penandaan sebagaimana dilakukan bahasa. Pemahaman Lyotard tentang
“diskursus’ berakar dari pemahaman tentang bahasa, seperti ego yang
melepaskan energinya sesuai dengan prinsip kepuasan. Dalam proses
sekunder energi dilepaskan melalui kegiatan transformasi dan verbalisasi,
sedangkan dalam proses primer energi dilepaskan untuk "memuaskan
hasrat" melalui energi mental ingatan dan ‘persepsi”.
Pembedaan “diskursus” dengan ‘figural’ dibedakan melalui peran
persepsi pada diskursus, berdasarkan pelepasan energi melalui transformasi
dunia luar. Sedangkan yang “figural” merupakan ingatan persepsi dengan
energi psikis langsung dilepaskan dengan melakukan penanaman. Ciri
primer dan sekunder bagai Lyotard dicirikan dengan pertentangan antara
“bahasa” pada diskursus dan ‘citra’ pada figural.
Gagasan Lyotard dipengauhi oleh fenomenolog Merleau. Ponty.
Pada Ponty proses sekunder tidak hanya bekerja seperti diskursus, akan
tetapi juga tertata seperti diskursus. Sedangkan proses primer tidak
melepaskan energi melalui penggunaan ingatan persepsi, melainkan
“medan persepsi', Maksudnya mobilitas penglihatan tidak terganggu dalam
“medan visual yang tidak simetri dan kontinu” akan tetapi mirip dengan
*penanaman energi psikhis’, Diskursus bergerak sesuai dengan sekumpulan
Kendala, aturan melalui "proses pemilihan dan kombinasi bahasa"
Estetika Lyotard adalah “estetika ketidaksadaran” Freudian yang,
‘memungkinkan adanya: 1), Kondensasi dan kontradiksi;2). Memungkinkan
adanya mobilitas untuk melepaskan energi mental yang berarti
perpindahan; 3). Melepaskan temporalitas daripada keterikatan pada
keteraturan (Lyotard, 1984). Estetika figural Lyotard adalah estetika yang
menentang subordinasi citra pada makna naratif atau representasi terhadap
bahasa seperti formalisme yang terikat pada aturan-aturan, Makna seni pada
psikoanalisa Freudian berkaitan dengan pengalaman masa kecil atau
pengalaman bahwa sadar primordial. Pengalaman primordial ita lebih
irasional dan sesksual. Estetika Lyotard adalah estetika liar (estetika
Dionysian pada Nietzsche) yang tidak mengutamakan batasan teoritis,
norma estetis, norma religius akan tetapi lebih mengutamakan seni sebagai
joisant, seni sebagai disire (kenikmatan, menikmati)..ESTETIKA JEAN FRANCOIS LYOTARD SEBAGAI “ESTETIKA RUANG KETIDAKSADARAN FREUDIAN”
(Abbeyar Yusuf Labs)
Referensi
Barthes, Roland. Element of Semiology, Hill and Wang, New York, 1993.
Baudrillard, Jean. Simulation, Semiotext e), New York, 1983.
Eco, Umberto. Travel in Hyperreality, Picador, 1973.
Fiedler, Leslie, The Collective Essays of Leslie Fielder, Vol. Il, New York, 1971.
Foucault, Michel. The Order of Things. An Archeology of the Human Knowledge.
London: Tavistik and New York: Panteon, 1970.
Habermas, Jurgen. Legutimation Crisis, London: Hainemann, 1973.
Leche, John. Fifty Key Contemporary Thinkers: From Structuralism to
Postmodernism. London: Roudledge, 1994
Lubis, Akhyar Yusuf, Teori dan Metodologi llmu Pengetahuan Sosial-Budaya
Kontemporer, Departemen Filsafat Fakultas llmu Pengetahuan Budaya,
2012.
Lyotard, Francois. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, (Trans.
Geoff Bennington and Brian Massumi.) Minneapolis: University of
Minneapolis Press, 1984.
Ritzer, George. The Postmodern Social Theory, New York: McGraw-Hill, 1996.
Sarup, Madan. Postrukturalisme & Posmodernisme, (terjemahan Medhy
Agunta Hidayat),Jalasutra: Yogyakarta, 2008.
Sontag, Susan. Against Interpretation, New York: Delhi, 1966.