Vous êtes sur la page 1sur 3

ARV : Tumpuan Penderita HIV

RACIKAN KHUSUS - Edisi Desember 2006 (Vol.6 No.5)

 
Penderita HIV dapat berharap pada obat ARV, namun ada berbagai ’persyaratan’ untuk
terapinya.
 
”Dapatkah penyakit ini diobati, Dok?” Pertanyaan itu meluncur dari seorang wanita yang
mengetahui suaminya terkena HIV. Dokter secara perlahan memberikan penjelasan tentang
obat antiretroviral (ARV) yang bisa diandalkan untuk terapi HIV.
 
Terapi ARV bertujuan untuk menghambat perjalanan penyakit HIV, hingga dapat
memperpanjang usia dan memperbaiki kualitas hidup. Virus HIV menyerang sel CD4 dalam
sistem kekebalan tubuh serta menggunakan sel ini untuk bereplikasi. Akibatnya, jumlah sel
ini dalam tubuh pun semakin menurun. Obat ini bekerja dengan cara menghambat proses
pembuatan virus dalam sel CD4, hingga jumlah CD4 pun dapat ditingkatkan.
 
Wanita tersebut lega. Ia langsung meminta dokter untuk memberikan obat itu pada suaminya.
Eit! Tunggu dulu. Ada beberapa kriteria sebelum obat ini diberikan kepada pasien, karena
tidak semua orang yang terinfeksi dapat diberikan ARV.
 
Salah satu yang diajukan kriteria untuk memulai terapi ARV, adalah dengan menggunakan
ukuran jumlah CD4. Jika jumlah CD4 masih di atas 350 sel/mm3, terapi tidak perlu
dilakukan dan tetap dilakukan monitor ketat terhadap CD4. Sedangkan jumlah CD4 antara
200-350 sel/mm3 dipertimbangkan untuk memulai terapi sebelum sel CD4 turun di bawah
200 sel/mm3. Sedangkan jika sel CD4 berjumlah kurang di bawah 200 sel/mm3 maka
dilakukan terapi, karena penurunan CD4 di bawah 200 diasosiasikan dengan terjadinya
infeksi oportunistik dan kematian.
 
Gejala klinis dapat dijadikan kriteria untuk memulai terapi berdasarkan riwayat infeksi
oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV. Beberapa infeksi oportunistik
dapat dibuat sebagai tanda untuk mempertimbangkan penggunaan ARV. Misalnya infeksi
jamur kandida di dalam mulut atau vagina, kehilangan lebih dari 10 persen berat badan atau
demmam lebih dari satu bulan.
 
Sebelum memulai terapi ARV, beberapa faktor perlu dijadikan pertimbangan untuk memilih
regimen ARV yang sesuai. Misalnya, ketersediaan formulasi obat, khususnya obat kombinasi
tetap, adanya penyakit yang telah ada sebelumya seperti tuberkulosis dan hepatitis B,
pemantauan laboratorium, harga dan efektifitas biaya.
 
Satu hal lagi, kepatuhan minum obat pada pasien merupakan faktor yang penting untuk
mengurangi terjadinya resistensi dan putus pengobatan. ”Kita tidak akan memberikan terapi
sebelum pasien mengerti benar tentang pengobatan ARV ini ,” ujar Dr. Teguh Harjono K.
SpPD. Jadi, pemberian konselling merupakan hal yang perlu dilakukan sebelum memulai
terapi awal. Isi dari konseling tersebut adalah mengenai cara pemakaian, efek samping,
manfaat, target terapi, kegagalan, dan sebagainya. Selain konseling, program pengawasan
dalam melanjutkan pemakaian ARV harus terus dilaksanakan sehingga terapi berjalan baik.
 
Berbagai Jenis ARV
 
Beberapa jenis obat-obatan ARV diungkapkan oleh Teguh. Obat-obatan ini dibagi dalam 3
golongan yaitu Nucleosid Reverse Transcriptase inhibitor (NRTI), Non Nucleosid Reverse
Transcriptase Inhibitor (NNRTI), dan Protease Inhibitor (PI).
 
Obat yang termasuk dalam golongan NRTI dieliminir terutama melalui ginjal dan tidak
berinteraksi dengan obat lain yang melalui cytocrom P-450. Obat-obatan ini juga dapat
diokombinasikan dengan obat dari golongan PI dan NNRTI tanpa dilakukan penyesuaian
dosis. Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah Zidovudine (AZT), Didanosine (DDL),
Zalcitabine (ddC), Stavudin (d4T), Lamivudine (3TC), Abacavir (ABC), Tenofovir (TDF),
dan Emtricitabine (FTC).
 
Zidovudine (AZT, ZDV, Retrovir) memiliki efek samping anemia, netropenia, mual, muntah,
rasa lemah, lelah, asidosis laktat. Dengan dosis pemakaian 2x300 mg per hari obat ini tidak
boleh dipakai bersama Stavudine (d4T). Sedangkan Stavudine (d4T, Zerit) memiliki efek
samping neuropati, lipoatrofi. Dosis pemakaiannya berdasarkan berat badan. Bila >60 kg
maka dosisnya adalah 2x40 mg per hari dan bila <60 kg adalah 2x30 mg per hari.
Lamivudine (3TC, Epivir, Hiviral) biasanya dapat ditoleransi baik dengan efek samping
ringan. Dosisnya adalah 2x150 mg per hari.
 
Obat yang termasuk dalam golongan NNRTI adalah Nevirapine (NVP), Delavirdine (DLV),
Efavirenz (EFV). Obat ini dapat menghambat atau menginduksi aktivitas cytocrom P-450 di
hati sehingga dapat berinteraksi dengan obat-obat lain yang melalui cytokrom P-450. Obat ini
memerlukan lebih, apabila akan dikombinasikan dengan ARV lain. Nevirapin akan
menurunkan kadar Indinavir dan Saquinavir. Efavirenz akan menurunkan kadar plasma
Indinavir, Lopinavir, Saquinavir, Amprenavir dan akan menaikkan kadar plasma Ritonavir
dan Nelvinavir. Nevirapine dan Efavirenz juga akan menurunkan plasma konsentrasi
Metadon sebesar 50 persen sehingga pemakaian bersama dengan kedua obat ARV ini, harus
berhati-hati terhadap gejala withdrawal serta membutuhkan dosis yang lebih tinggi.
 
Nevirapine (Viramun, Neviral) memiliki efek samping rash karena alergi, steven johnsons
syndrome, anafilaksis, meningkatnya SGOT/PT, menurunkan konsentrasi rifampisin dan
ketokonazol dalam darah. Dosis yang digunakan dadalah 1x200 mg per hari untuk 2 minggu
pertama, dan selanjutnya 2x200 mg per hari. Efavirenz (stocin, sutiva) dimakan pada malam
hari dengan dosis 600 mg per hari. Efek samping mengonsumsi obat ini adalah teratogenik,
gejala sistem saraf pusat (dizziness, sakit kepala ringan, mimpi buruk) yang akan hilang pada
mingggu pertama pertama.
 
Golongan obat ketiga dari ARVadalah PI, yang terdiri dari Saquinavir (SQV), Indinavir
(IDV), Ritonavir (RTV), Nelvinafir (NFV), Amprenavir (APV), Lopinavir/Kaletra (LPV/r),
Atazanavir (ATV). Obat-obatan ini menghambat CYP3A4 sehingga harus berhati-hati jika
digunakan bersama obat lain. Golongan obat ini memiliki kontraindiksi jika dipakai bersama
dengan obat antiaritmia, hinotik-sedatif, dan derivat ergot serta menurunkan knsentrasi
plasma lovastatin dan simvastatin secara umum.
 
Terapi Lini Pertama
WHO pada Kongres HIV Internasional 2006 di Toronto merekomendasikan pemakaian terapi
lini pertama pada orang dewasa terdiri dari 2 kombinasi NRTI dan 1 NNRTI. Rekomendasi
ini didasarkan bahwa regimen ini memiliki efikasi yang baik, lebih murah dibanding regimen
lain, memiliki versi generik, dan tidak memerlukan rantai dingin. Namun ada beberapa
kelemahan yaitu waktu paruh obat yang berbeda dan adanya fakta mutasi diasosiasikan
dengan resistensi beberapa obat misalnya 3TC dan beberapa NNRTI.
 
Analog thiacytadine (3TC atau FTC) digunakan sebagai pilihan pertama digabungkan dengan
nukleoside atau analognya  yang pilihannya adalah AZT, TDF, ABC, atau d4T. Akhirnya
kombinasi ketiga adalah EFV atau NVP.
 
Gambar 1. Pilihan terapi lini pertama ARV
 
AZT atau d4T                                                       EFV
                                     3TC atau FTC
TDF atau ABC                                                     NVP
 
Regimen tiga NRTI dapat dipertimbangkan sbagai alternative terapi lini pertama saat pilihan
NNRTI mengakibatkan terjadinya kompikasi dan ketika golongan PI dirancang untuk terapi
lini kedua. Hal ini misalnya pada wanita dengan jumah CD4 antara 250-350 sel/mm3, ko-
infeksi dengan virus hepapatitis atau tuberkulosis, atau adanya reaksi terhadap NVP atau
EFV. Kombinasi 3 NRTI yang direkomendasikan adalah zidovudine+lamivudine+abacavir
dan zidovudine+lamivudine+tenofovir.
 
Monoterapi atau dual terapi tidak dapat digunakan untuk terapi infeksi HIV kronik.
Kombinasi ini hanya digunakan untuk setting PMTCT (Prevention Mother to Child
Transmission) dan profilaksis pasca paparan. Beberapa kombinasi pasangan NRTI juga tidak
dapat digunakan. KOmbinasi itu adalah d4T+AZT, d4T+ddl dan 3TC+FTC.
 
Berhasil atau Gagal?
Keberhasilan terapi dapat dilihat dari tanda-tanda klinis pasien yang membaik setelah 6 bulan
terapi, misalnya berat badan bertambah. Ukuran jumah sel CD4 menjadi prediktor terkuat
terjadinya komplikasi HIV.  Jumlah CD4 yangmenurun diasosiasikan sebagai perbaikan yang
lambat dalam terapi, meski pada kenyataannya pasien yang memulai terapi pada saat CD4
rendah, akan menunjukkan perbaikan yang lambat. Namun jumlah CD4 di bawah 100
sel/mm3 merepresentasikan risiko yang signifikan untuk terjadinya penyakit HIV yang
progresif. Maka, kegagalan imunologik dikatakan terjadi jika jumlah CD4 kurang dari angka
tersebut.
 
Selain itu, uji viral load merupakan cara yang informatif dan sensitif untuk
mengidentifikasikn kegagalan terapi. Pengobatan dikatakan sukses secara virulogik jika
tingkat RNA plasma HIV-1 berada di bawah 400 copy/ml atau 50 copy/ml setelah 6 bulan
terapi.
 
Jika gagal, maka dapat dipertimbangkan untuk mengganti regimen atau masuk ke terapi lini
kedua. (Ika)

Vous aimerez peut-être aussi

  • K Ole Stasis
    K Ole Stasis
    Document5 pages
    K Ole Stasis
    Tri Ehwanto
    Pas encore d'évaluation
  • DEFINISI ALS
    DEFINISI ALS
    Document4 pages
    DEFINISI ALS
    pedrosaheartbeat269537
    Pas encore d'évaluation
  • Skema Patfis Co
    Skema Patfis Co
    Document1 page
    Skema Patfis Co
    pedrosaheartbeat269537
    Pas encore d'évaluation
  • AIK
    AIK
    Document6 pages
    AIK
    pedrosaheartbeat269537
    Pas encore d'évaluation
  • DIAGNOSA
    DIAGNOSA
    Document85 pages
    DIAGNOSA
    Mohammad Izza Naufal Fikri
    Pas encore d'évaluation
  • Anatomi Histologi Manusia
    Anatomi Histologi Manusia
    Document2 pages
    Anatomi Histologi Manusia
    pedrosaheartbeat269537
    Pas encore d'évaluation