Vous êtes sur la page 1sur 7

Tajdid | Jurnal Ilmu-ilmu Agama Islam dan Kebudayaan

AFRINALDI: PENGEMBANGAN QALBU (HATI) MELALUI PENDEKATAN MULTIPLE


INTELLIGENCE
Ditulis oleh Huzni Thoyyar
Thursday, 25 June 2009

Abstract This paper is aimed at finding out the development of the potency of the mind through double intelligence
approach (intellectual intelligence, emotional intelligence and spiritual intelligence. All intelligence potencies that human
posses will end on the culmination point known as the spiritual satisfaction with the ability to find God through the spiritual
intelligence. Many people become successful with the help of their intellectual intelligence, but they failed to
communicate, or they have intellectual and emotional intelligence but they lack of spiritual intelligence and finally they are
dragged into the valley of sins and failure. This paper tries to offer a new vision on how to integrate the three intelligence
potency which can be actualized through certain values; honesty, courtesy and tenderness. One of the most possible
methods is by analyzing the potency of the mind as a standard in performing any kinds of activities (individual and social
deeds) to possess spirituality. This paper is design as an alternative idea to develop the mind which are considered pure
and that the value of the God-Fearing can be manifested in daily lives.
A. PendahuluanQalbu (al-qalb) merupakan salah satu fitrah nafsani. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat
para ahli tentang makna qalbu tersebut. Diantaranya Imam Al-Qhazali dalam ”Ihya Ulumuddin”,
membahas struktur keruhanian manusia dengan unsur-unsurnya sebagai berikut: qalbu, ruh, nafsu dan akal. Disini
hanya akan dijelaskan tentang ”qalbu”. Karena qalbu mempunyai dua arti yakni fisik dan metafisik (psikis).
Qalbu dalam artian fisik berupa segumpal daging berbentuk lonjong terletak dalam rongga dada sebelah kiri. Sedangkan
dalam artian metafisik dinyatakan sebagai karunia Allah Swt yang halus (lathifah), bersifat ruhaniah dan ketuhanan
(rabbaniah), yang ada hubungannya dengan jantung. Qalbu yang halus dan indah inilah hakekat kemanusiaan yang
mengenal dan mengetahui segalanya, serta menjadi sasaran perintah, cela, hukuman dan tuntutan Tuhan.[1] Dalam
tulisan ini akan dikupas bagaimana upaya pengembangan qalbu melalui pendekatan kecerdasan ganda (multiple
intelligence). Qalbu dalam pengertian sempit sering dimaknai hanya sebatas segumpal daging, tapi amat sedikit orang
membicarakan betapa urgen dan signifikannya keberadaan qalbu dalam perspektif psikologi. Tulisan ini akan mencoba
menawarkan gagasan-gagasan baru untuk melihat sentuhan hati dalam memberdayakan berbagai potensi kecerdasan
yang dimiliki manusia.B. Pembahasan1. Memaknai Qalbu (hati)Dalam Islam posisi qalbu mendapat tempat yang tinggi
dalam sruktur kepribadian manusia, hal itu bisa dilihat dari banyaknya ayat-ayat Al-quran yang menyinggung keberadaan
potensi qalbu sebagai kekuatan supranatural dalam menggerakkan fungsi-fungsi kefitrahan manusia dalam berbuat dan
bertindak untuk menjalankan berbagai aktivitas kehidupan. Ilmuwan muslim mencoba melihat posisi qalbu sebagai
bagian fitrah nafsani, sebagaimana dijelaskan Abdul Mujib bahwa fitrah nafsani memliki komponen fisik dan psikis,
komponen fisik tercermin di dalam qalbu jasmani sedangkan komponen psikis tercermin di dalam qalbu nurani.[2]Kata
qalb terambil dari akar kata yang bermakna, membalik karena sering kali ia membolak balik, sekali senang sekali susah,
sekali setuju dan sekali menolak. Qalb amat berpotensi untuk tidak konsisten.[3] Dalam Al-Quran sangat jelas sekali
tergambar bahwa posisi qalbu itu berbolak balik, sebagaimana yang di firmankan Allah Swt dalam Al-quran (1). Q.S. Qaf
(50) ayat 37 ”Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang memiliki
qalbu , atau yang mencurahkan pendengaran lagi menjadi saksi”[4] (2). Q.S. Al-Hadid (57) ayat 27
”...Kami jadikan di dalam qalbu orang-orang yang mengikuti (Isa.As) kasih sayang dan rahmat...”. [5] (3).
Q.S. Ali Imran (3) ayat 151 ”Kami akan mencampakkan ke dalam hato orang-orang kafir rasa takut...”[6]
(4). Q.S.Al-Hujurat (49) ayat 7 ”...Dia (Allah) menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menghiasinya indah
dalam qalbumu...”.[7]Dari ayat di atas, M. Quraish Shihab menafsirkan kata-kata ”qalbu sebagai wadah
dari pengajaran, kasih sayang, takut, dan keimanan”.[8] Dalam pandangan kaum sufi qalbu juga bermakna
sesuatu yang bersifat halus dan rabbani yang mampu mencapai hakekat sesuatu. Qalbu mampu memperoleh
pengetahuan (al-ma’rifat) melalui daya cinta rasa (al-zawqiyat), qalbu akan memperoleh puncak pengetahuan
apabila manusia telah mensucikan dirinya dan menghasilkan ilham (bisikan suci dari Allah Swt) dan Hasyf (terbukanya
dinding yang menghalangi qalbu). Sedangkan dalam pandangan Qusyairy melihat pengetahuan qalbiah jauh lebih luas
dari pada pengetahuan akhliah, karena akal mampu memperoleh pengetahuan yang sebenarnya mengenal Tuhan,
sedangkan qalbu dapat mengetahui hakekat semua yang ada. [9]Jadi dapat dipahami bahwa qalbu merupakan fitrah
nafsani yang berfungsi sebagai kekuatan luar biasa (super natural), dalam jasad manusia. Kekuatan itu akan bermakna
jika potensi qalbu itu berjalan sesuai dengan fitrahnya, sebab qalbu itu mempunyai peluang untuk diselewengkan (lari
dari fitrah) jika yang bersangkutan tidak mendengarkan suara hati yang sesungguhnya lahir dari hati nurani yang dalam.
Maka disinilah tuntutan qalbu bisa berjalan secara efektif dan mempunyai makna dalam kehidupan sehari-hari. Qalbu
yang bersih, tajam dan bercahaya dimungkinkan bagi seseorang untuk memahami kebenaran-kebenaran atau
pengetahuan yang bersifat hakiki maupun yang tak tampak oleh mata. Apabila qalbu dihidupakan dalam diri manusia,
maka manusia akan berkembang lebih baik dan lebih optimal, dengan cara inilah pemberdayaan manusia dapat lebih
dioptimalkan.[10]Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa qalbu (hati) adalah merupakan potensi
fitrah nafsaniah yang harus dikembangkan sesuai dengan petunjuk ajaran agama Allah Swt. Sebab potensi yang dimiliki
itu tidak akan bisa berkembang begitu saja tanpa adanya upaya-upaya yang harus dilakukan, diantara upaya itu adalah
membantu individu dalam mengentaskan permasalahan yang terjadi untuk membuka pintu hati nurani secara jujur dan
terbuka, jika potensi itu tidak berkembang secara baik dan benar maka peranan qalbu tenulah belum terberdayakan
secara optimal.2. Konsep Qalbu (hati)Inti dari dari sebuah qalbu adalah hati nurani yang akan melahirkan karakter,
kepribadian dan watak seseorang. Dalam pengembangan qalbu perlu kiat-kiat sukses dalam menata qalbu agar potensi
ini bisa berjalan sesuai dengan fitrahnya. Mengubah karakter mesti diawali dengan upaya mengelola, meluruskan dan
http://www.tajdid-iaid.or.id Powered by: Joomla! Generated: 6 April, 2011, 13:57
Tajdid | Jurnal Ilmu-ilmu Agama Islam dan Kebudayaan

membersihkan hati, demikian penuturan da’i kondang Aa Gym sebagaimana yang dikutip M Deden Ridwan
dalam bukunya ”Aa Gym dan fenomena Daarut Tauhid memperbaiki diri lewat manajemen qalbu”.
Membangun karakter diri dan keluarga dan tatanan masyarakat pada lingkup apapun seluruhnya sangat bergantung
pada aktivitas hati yang dibuat bersih.[11] Barangkali itulah kiranya setiap keadaan tidak perlu disikapi dengan kekuatan,
apalagi dengan kekerasan, namun lebih didasarkan pada sentuhan qalbu (hati), yaitu dengan menggunakan kekuatan
manajemen, konsep, dan sumber daya manusia (SDM).Merujuk kepada pendapat Aa Gym yang sangat populer dengan
konsep manajeman qalbunya mengatakan bahwa manajeman qalbu memiliki nilai praktis yang mampu menawarkan
alternatif dalam mengelola hati, penyebab hancurnya sesuatu negara juga disebabkan oleh qalbu, penyebab hancurnya
keluarga juga disebabkan oleh qalbu. Jadi suatu aktivitas yang dilakukan berawal dari qalbu, konsep itu bisa dipahami
sebagai berikut:1. Manusia memiliki potensi, potensi itu berupa sarana-sarana yang ada di dalam diri seseorang yang
berfungsi untuk mengembangkan dan memperbaiki diri. Hanya dengan memiliki niat untuk terus memperbaiki dirilah
potensi yang merupakan anugrah Allah Swt itu akan menuju kepada-Nya, menuju suatu keadaan terus lebih baik. Dalam
bahasa lain kita punya tiga potensi berupa jasad, akal, qalbu. Hanya dengan qalbu yang bersihlah potensi jasad dan
akal itu akan terkendalikan dengan baik.2. Setiap potensi terus diarahkan pada kebaikan akan menjadi sangat efektif
daya gunanya apabila dimulai dari diri sendiri, urusi diri sendiri dulu sebelum mengurusi diri orang lain, bersihkan diri
terlebih dahulu sebelum membersihkan diri orang lain, suruhlah diri sendiri untuk mengerjakan sesuatu kebaikan
sebelum menyuruh orang lain melakukan suatu kebaikan.3. Keadaan-keadaan untuk memperbaiki diri sendiri perlu
dibiasakan secara kontinu dan konsisten (istiqamah) biasakan dirimu untuk mengingat Allah Swt, tentulah Allah Swt
akan mengingat dirimu pula. Tidak ada kebiasaan baik dimulai dengan kemudahan, kebaikan-kebaikan menuntut
perjuangan besar diawalnya.[12]Jadi dapat dipahami bahwa posisi qalbu bagaikan raja yang dapat membuat manusia
melakukan apa saja, baik atau buruk, bergantung pada kondisi hati itu. Karena itu dalam setiap urusan dan amal yang
penting harus tulus dan ikhlas. Sesuatu yang disampaikan dengan pikiran hanya akan menyentuh pikiran, sedangkan
sesuatu yang disampaikan dengan hati yang tulus akan menyentuh relung hati pendengar yang paling dalam.[13] Jadi
dapat dipahami semua aktivitas yang dilakukan manusia pada dasarnya bergantung pada qalbu, karena qalbu yang
bersihlah yang bisa selamat dan berjalan sesuai dengan fitrah yang telah digariskan oleh Allah Swt. Hati yang bersih
adalah bekal utama yang harus dimilki pelaku rumah tangga setelah memiliki bekal ilmu, amal dan keikhlasan. Bersih
qalbu tidak bisa menjadi senjata pamungkas dalam menyiasati serumit dan sesulit apapun yang muncul dalam sebuah
keluarga. Ujian dan masalah rumah tangga memang akan datang setiap saat, suka atau tidak suka namun bagi suami
istri yang berhati bersih, semua itu akan disikapi sebagai nikmat dari Allah Swt yang maha pengasih dan penyayang.
Sekiranya kita mampu menyikapi segalanya dengan tepat, hal ini hanya akan lahir dari hati yang bening dan bersih dari
segala noktah kotoran hawa nafsu. [14]Kehidupan qalbu sangat berpengaruh kepada prilaku, sikap, karakter jiwa dalam
berbuat dan bertindak terhadap sesuatu aktivitas apapun. Untuk menjadikan hidup ini indah dan bersih dari penyakit hati
atau qalbu maka dibutuhkan kiat-kiat sukses dalam menata pergaulan dalam kehidupan rumah tangga dan
bermasyarakat, berikut ini akan dikemukakan pandangan Aa Gym dalam menata hati ditengah-tengah pergaulan,
adapaun langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut: (1) hindari penghinaan, (2). Hindari ikut campur urusan
pribadi orang lain, (3). Hindari memotong pembicaraan, (4). Hindari membandingkan, (5). Jangan membela musuh dan
mencaci kawan, (6). Hindari merusak diri orang lain, (7). Jangan mengungkit masa lalu, (8). Jangan mengambil hati
orang lain, (9). Hati-hati dengan marah, (10). Jangan menertawakannya, (11). Hati-hati dengan penampilan, bau badan
dan bau mulut.[15]Pada bahagian lain juga dapat dipahami bahwa keberadaan qalbu juga penentu dalam meraih
kehidupan yang bermakna, orang yang hatinya tertata dengan baik maka ia akan terpelihara dan terawat sebaik-
baiknya. Qalbu yang senantiasa terpelihara, serta terawat dengan sebaik-baiknya, pemiliknya akan senantiasa
merasakan lapang, tenang, tentram, sejuk dan indah di dunia ini. Sementara itu, orang yang hatinya tertata dengan baik
tak pernah merasa gelisah, tak pernah bermuram durja, tak pernah gundah gelana. Kemanapun pergi dan dimanapun
berada, ia senantiasa mengendalikan hatinya. Dirinya senantiasa berada dalam kondisi damai dan mendamaikan,
tenang dan menenangkan, tentram dan menentramkan. Hatinya bagaikan embun dipagi hari, jernih bersinar, sejuk dan
menyegarkan.[16]Dalam mengaktualisasikan semua potensi qalbu, maka qalbu itu harus disinari dengan cahaya ilahi
(ruh kebenaran), sehingga ia akan tetap mengingat peranan syetan yang dengan gigih berusaha untuk memadamkan
cahaya ilahi dan menggantinya dengan nyala api yang memuat elemen-elemen rendah yang fana dan penuh dengan
nafsu hewaniah. Untuk memelihara cahaya ilahi dan membenteng nayala api syetan itu maka perlu diketahui dulu
dimensi dan potensi qalbu serta fungsinya sebagai berikut: 1. Fu’ad merupakan potensi qalbu yang berkaitan
dengan indrawi, mengolah informasi yang sering dikembangakan berada dalam otak manusia (fungsi rasio, kognitif).
Fu’ad mempunyai tanggung jawab intelektual yang jujur kepada apa yang dilihatnya. Potensi ini cendrung dan
selalu merujuk kepada objektivitas, kejujuran dan jauh dari sikap kebohongan, sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-
quran (1). Surat An-Najm ayat 11 ” Hati tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya”.[17] Dan juga bisa
ditemukan (2) Q.S. Al-Isra, ayat 36 ”...Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semua itu akan diminta
pertangung jawabannya”.[18] Potensi Fu’ad adalah potensi yang mampu menerima informasi dan
menganalisisnya sedemikian rupa sehinga ia mampu mengambil pelajaran dari informasi tersebut. Fu’ad yang
bersikap jujur dan objektif akan selalu haus dengan kebenaran, dan bertindak di atas rujukan yang benar pula.2. Shadr
merupakan potensi qalbu yang berperan untuk merasakan dan menghayati atau mempunyai fungsi emosi (marah benci,
cinta, indah, afektif). Potensi shadr adalah dinding hati yang menerima limpahan cahaya keindahan, sehingga mampu
menerjemahkan segala sesuatu serumit apapun akan menjadi indah dari karyanya. Shadr adalah pelitanya orang-orang
yang berilmu, sebagaimana yang dijelaskan Al-quran (1). Q.S.Al-Ankabut ayat 49 ” Sesungguhnya Al-quran itu
adalah yat-ayat yang nyata dalam dada orang-orang yang berilmu...”.[19] pada ayat lain juga dijelaskan (2). Q.S.
At-Taubah ayat 14 ”Allah akan melegakan hati oarang-orang yang beriman...”.[20] dan (3). Q.S. Ali-Imran
ayat 119 ”...Sesungghnya Allah mengetahui segala isi hati”. [21] 3. Hawaa merupakan potensi qalbu yang
http://www.tajdid-iaid.or.id Powered by: Joomla! Generated: 6 April, 2011, 13:57
Tajdid | Jurnal Ilmu-ilmu Agama Islam dan Kebudayaan

menggerakkan kemauan. Di dalam dada, ambisi, kekuasaan, pengaruh, dan keinginan untuk mendunia (fungsi kognitif).
Potensi hawaa selalu cendrung untuk membumi dan merasakan nikmat dunia yang besifat fana. Fitrah manusia yang
dimuliakan Allah Swt, akhirnya tergelincir menjadi hina dikarenakan manusia tetap terpikat pada dunia. Sebagaimana
yang dijelaskan Allah Swt dalam surat Al-A’raf ayat 176 ”Kalau kami menghendaki, sesungguhnya kami
tinggikan (derajatnya) dengan ayat-ayat itu. Tetapi, dia cendrung dengan dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang
rendah...”.Potensi hawaa yang sangat mendorong dan merayu manusia itu, cendrung untuk berpaling ke kiri
mengikuti kebanyakan orang yang tidak beriman. Sehingga, mereka terperosok dalam budaya hedonis dan lupa pada
hakekat dirinya yang harus pulang ke kampung akhirat untuk berjumpa dengan sang khalik. Ambisi dan keinginan atas
kekuasaan dijadikan salah satu mahkota hawaa. Hawaa mendorong manusia untuk berbuat serakah dan menjahui sikap
adil dan benar. Sehingga, berulang kali Allah Swt mengingatkan kita agar tidak terbujuk pada rayuan delusif
fartamorgana yang ditawarkan secara menarik oleh potensi hawaa.[22]Jadi konsep itu, berada di dalam bilik-bilik qalbu
yang bertugas dan berfungsi sesuai dengan peranannya. Dalam berhubungan dengan dunia luar atau menerima
rangsangan, ketiga potensi tersebut akan memberikan respon dalam bentuk perilaku. Pertentangan bathin manusia tidak
terhindarkan, dan ia akan terus berkecamuk sesuai dengan kadarnya, baik dalam bentuk kuantitas maupun wujud
permasalahannya sendiri yang bersifat kualitatif. Pertentangan atau konflik tersebut tidak akan pernah berhenti,
mengingat setiap potensi memiliki ciri hamparannya sendiri dalam mengolah respons yang diarahkan ke dunia luar.
Demikian ungkapan Toto Tasmara sebagaimana yang tertuang dalam bukunya ”Kecerdasan
Ruhaniah”.Untuk mencapai tahap mahabbah (cinta) dengan Allah Swt maka diharuskan kita dulu membersihkan
qalbu dengan segala godaan-godaan syetan agar terhindar dari dosa. Tahapan-tahapan itu bisa dipahami melalui
pandangan seperti di bawah ini:1. Kita harus menyadari, bahwa sesungghnya tidak ada kesuksesan hakiki yang dapat
diraih di dunia. Upaya membersihkan hati, upaya memahami diri sendiri, upaya memperbaiki diri sendiri, yang kita
lakukan setiap hari memerlukan tekad kuat yang terus dinyalakan di dalam diri kita, tekad adalah kunci utama dalam
membersihkan qalbu.2. Setelah tekad yang terus menerus dinyalakan, kita harus memiliki ”ilmu” mengenai
pemahaman atau pengenalan diri kita. Apabila kita hendak membersihkan hati atau memahami keadaan diri kita. Kita
hanya dapat memperbaiki diri apabila kita benar-benar memliki ”ilmu” untuk mengenali diri kita itu.3.
Berapa banyak waktu dalam hidup kita yang disediakan untuk melakukan evaluasi diri.4. Proses untuk melakukan
evaluasi diri itu perlu diperluas, tahapan ini dari kita dinilai oleh orang lain di luar diri kita. Contoh sederhana yang menilai
diri kita itu adalah keluarga.5. Proses pembelajaran, yaitu bagaimana diri kita mau belajar kepada diri orang lain, dalam
tahapan ini ada upaya pengendalian diri dengan cara membersihkan qalbu, ada sebuah proses yang luar biasa apabila
kita mau memahaminya. Semua pembelajaran-pembelajaran itu berguna dalam upaya meningkatkan kinerja
(performance) diri kita.[23]Qalbu bisa membuat apa yang diwujudkan oleh fisik dan akal menjadi bernilai. Orang yang
fisiknya kuat tapi hatinya tidak bersih, kekuatan fisiknya hanya dipergunakan untuk berbuat dzalim. Demikian pula
dengan fikiran, secerdas apapun fikiran, jika tidak dilandasi oleh hati yang bersih, kecerdasan itu akan terjerumus
kekedzaliman. Qalbu yang bersih mampu membuat kehebatan fisik dan akal fikiran menjadi mulia. Inilah hakikat
manajemen qalbu. Manusia harus mampu menjadikan hatinya bersih, ada banyak contoh orang yang cacat fisiknya,
atau akal fikirannya sederhana. Namun menjadi manusia mulia, buat apa memiliki gelar tinggi, kekayaan atau kekuasaan
bila hatinya tidak bersih, bila suka menipu.[24] Ini adalah cerminan betapa mulianya seorang hamba dalam pandangan
Tuhan pencipta, sehingga dengan predikat mulia itulah manusia harus mengembangkan berbagai potensi yang
dimilikinya itu untuk berbuat kebajikan di muka bumi, bukan untuk berbuat kerusakan dan kehancuran bagi alam
semesta. 3. Pengembangan Qalbu (hati)Qalbu merupakan potensi fitrah nafsaniah yang harus dikembangkan sesuai
dengan petunjuk ajaran agama Allah Swt. Sebab potensi yang dimiliki itu tidak akan bisa berkembang begitu saja tanpa
adanya upaya-upaya yang harus dilakukan, di antara uapaya itu adalah membantu individu dalam memberdayakan
kefitrahannya melalui beberapa pola pendekatan. Dalam pandangan psikologi humanistik pendekatan itu sangat populer
dengan sebutan multiple intelligence (kecerdasan majemuk/ganda), namun perlu ditegaskan konsep kecerdasan ganda
yang penulis maksudkan dalam tulisan ini bukan teori yang dilahirkan oleh H Gardner, tapi hanyalah meminjam istilah
semata. Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami maksud kecerdasan ganda dalam tulisan ini, maka
penulis hanya akan membatasi pengembangan qalbu melalui pola pendekatan kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan ruhaniah. Untuk memahami bagaimana upaya pengembangan qalbu
itu, maka dapat dilihat pada penjabaran di bawah ini.1) Kecerdasan Intelektual (IQ)Intelektual dalam bahasa Arab
dikenal juga dengan istilah ’aql (akal) yang bermakna tali pengikat, penghalang, yang dalam bahasa Al-quran
berarti sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa.[25] Secara
etimologi akal memiliki al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-hajr (menahan), al-nahy (melarang), dan man’u
(mencegah). Orang yang berakal disebut al-’aqil yaitu orang yang mampu menahan dan mengikat hawa
nafsunya jika hawa nafsunya terlihat maka jiwa (psikis) rasionalitasnya mampu bereksistensi. Akal merupakan bahagian
dari fitrah nafsani manusia yang memiliki dua makna yang berbeda: (1). Akal jasmani yaitu salah satu organ tubuh yang
terletak dikepala, akal ini lazimnya disebut dengan otak (al-dimagh), (2). Akal ruhani yaitu cahaya (al-nur) nurani dan
daya nafsani yang dipersiapkan dan mampu memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah) dan kognisi (al-mudrikat).
Konsep fitrah juga digunakan sebagai konsep intelektual yang digunakan bagi kritik ajaran Islam atas teori-teori yang
sekuler tentang sifat dasar manusia.[26]Sedangkan dalam pandangan Al-Ghazali akal bermakana: (1). Sebutan yang
membedakan antara manusia dan hewan, (2). Ilmu yang lahir disaat anak mencapai usia akhir baliqh sehingga mampu
membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, (3). Ilmu yang di dapat dari pengalaman sehingga dapat dikatakan
siapa yang bayak pengalaman maka dialah orang yang berakal, (4). Kekuatan yang dapat menghentikan naluriah untuk
menerawang untuk jauh keangkasa, mengekang dan menundukkan syahwat yang selalu menginginkan kenikmatan. [27]
Penelitian V.S. Ramachandran Direktur Center for Brain and Cognition di Universitas California, San Diago secara
teratur menuturkan pengalamannya, “ada cahaya ilahiyah yang menyinari segala sesuatu”. Teori ini
http://www.tajdid-iaid.or.id Powered by: Joomla! Generated: 6 April, 2011, 13:57
Tajdid | Jurnal Ilmu-ilmu Agama Islam dan Kebudayaan

disebutnya sebagai “Titik Tuhan” (God Spoot) atau “Modul Tuhan” (God Module) di dalam
otak manusia, baik manusia normal maupun yang terserang epilepsi. Dalam ilmu neurologi dan psikologi bahwa otak
manusia bisa mengetahui, memahami dan mencapai kebenaran.[28] Daniel Goleman pakar psikologi abad modren
melihat perbedaan kemampuan intelektual antara kaum pria dan kaum wanita, tidak itu saja bahkan dengan berani
melalui penelitiannya Ia mengatakan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan,
gengsi, atau kebahagian hidup, sekolah dan budaya kita menitikberatkan pada kemampuan akademis, mengabaikan
kemampuan kecerdasan emosional, yaitu serangkaian ciri-ciri sebahagian karakter yang sangat besar pengaruhnya
terhadap nasib kita.[29]Dapat dipahami bahwa kecerdasan intelektual merupakan fitrah akal yang berpotensi untuk baik
dan buruknya berfikir seseorang, potensi akal juga merupakan kekuatan nalar untuk berfikir dan berbuat serta bertindak,
sehingga dibutuhkanlah peranan qalbu dalam mengambil keputusan dalam mempengaruhi daya fikir seseorang.
Kekuatan antara akal dengan qalbu tidak bisa dipisahkan, manusia yang mempunyai akal setiap waktu akan
berkembang sesuai dengan kadarnya tapi kalau tidak diiringi dengan pertumbuhan qalbu maka manusia itu tidak akan
berprilaku sesuai dengan fitrahnya. 2) Kecerdasan Emosional (EQ) Secara harfiah emosi dalam Oxford English
Dictionary bermakana setiap kegiatan atau pergolakan fikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau
meluap-luap. Sementara itu Daniel Goleman juga mengemukakan pendapat yang menyatakan bahwa emosi ialah
merujuk pada suatu perasaan dan fikiran-fikiran khasnya, sesuatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian
untuk bertindak.[30] Sedangkan dalam pandangan Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf mendefenisikan emosi
meluangkan waktu dua atau tiga menit lebih awal dari pada biasanya, duduklah dengan tenang pasang telinga hati
anda, keluarlah dari fkiran anda dan masuklah ke dalam hati. Cara ini akan mendatangkan kejujuran anemosi (hati)
berikut kebijaksanaan yang terkait dan membawanya kepermukaan sehingga anda dapat menggunakannya secara
efektif.[31] Mohd Azhar Yahaya[32] mengutip pernyataan Goleman menyatakan majalah Time dalam tahun 1995 telah
menempatkan kecerdasan emosi sebagai peramal bagi kesuksesan seseorang. Sehingga pengaruh kecerdasan emosi
menjadi pembicaraan hangat di kalangan para ahli psikologi di dunia barat, hal ini dapat dilihat dari tingginya minat
peneliti barat dalam mendalami kecerdasan emosi seperti Cherniss (1998), Cooper (1997), Cooper dan Sawaf (1997),
Koonce (1996), Lanser (2000), Miller (1999), Pool (1997), Ryback (1998), Shapiro (1997), Steiner dan Perry (1997),
Weisenger (1998), secara keseluruhan setuju dengan pendapat serta temuan yang dilakukan oleh Goleman. Dalam
pandangan ilmu psikologi, mengenal atau mampu mengendalikan emosi, ialah salah satu ciri manusia dewasa yang
berkepribadian matang (maturation). Hal ini sejalan dengan ungkapan yang dikemukakan Peter Salovey dan John
Mayer[33] dari University Harvard dan New Hampshire di AS (1995), kemampuan mengenali dan mengendalikan emosi
sendiri itulah yang dinamakan kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence (EI) atau juga dikenali sebagai Emotional
Quotient (EQ). Ema Yudiani mengutip Patton (1998) juga mendefenisikan kecerdasan emosi sebagai suatu kemampuan
untuk menggunakan emosi secara efektif dalam mencapai suatu tujuan. [34]Ketika tuntutan kecerdasan emosi (EQ)
menjadi fokus utama banyak kalangan dalam pemberdayaan potensi diri dalam upaya pengembangan diri seseorang
maupun pengembangan kepribadian dalam komunitas sosial, tentu menjadi suatu hal yang menakutkan bagi seseorang
setelah ia menyadari bahwa kecerdasan emosional (EQ)-nya tidak terlalu menonjol. Pada kesempatan lain Solovey juga
mendefenisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengenal perasaan, meraih dan membangkitkan
perasaan untuk membantu fikiran, memahami fikiran dan maknanya dan mengendalikan perasaan secara mendalam
sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.[35] Ismail Zain mengutip pernyataan Daniel Goleman bahwa
kecerdasan intelektual (IQ) tidak dapat menjamin kesejahteraan dan keharmonisan diri serta hubungannya dengan
masyarakat. [36]Menurut Reuven Bar-On kecerdasan emosi sebagai mata rantai keahlian, kompetensi dan kemampuan
nonkognitif yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam menghadapi tuntutan dan tekanan lingkungan. Bar-on
juga mempopulerkan istilah emotional quotient inventory menampilkan nilai total kecerdasan emosi yang dibagi menjadi
lima bahagian (1). Intrapersonal EQ: Self Regard (kemampuan untuk dapat menghargai dan menerima sifat dasar
manusia yang pada dasarnya baik), (2). Interpersonal EQ Empathy (kemampuan memahami, mengerti serta menghargai
perasaan orang lain), (3). Adabtability EQ: Reality testing (kemampuan untuk menghubungkan antara pengalaman dan
kondisi saat ini secara objektif), (4). Stress management EQ: Stress tolerance (kemampuan untuk menghadapi kejadian
dan situasi yang penuh tekanan dan menanganinya secara aktif dan positif tanpa harus terjatuh dari inpulse control atau
kemampuan menunda keinginan dan dorongan untuk bertindak), (5). General Mood EQ: optimism (kemampuan untuk
melihat sisi baik kehidupan dan memelihara sikap positif, meski pada masa yang tidak menyenangkan).[37] Sedangkan
Goleman membagi kecerdasan emosi menjadi lima bahagian: (1). Mengenali emosi diri, (2). Mengelola emosi diri, (3).
Motivasi diri, (4). Empati (mengenali emosi orang lain), (5). Membangun hubungan baik dengan orang lain.[38] Dalam
kamus bahasa Melayu sebagaimana yang dikutip Afrinaldi menyatakan emosi bermakna perasaan pada jiwa yang kuat
(seperti sedih, marah dan lain-lain). Begitu juga dengan Oxford Advanced Learners’s dictionary (1995)
mendefenisikan emosi sebagai perasaan yang kuat (kasih sayang, keriangan, benci, takut, cemburu dan gangguan
perasaan).[39] Dalam pandangan Jhon Gottman, Jhon Decleare ada beberapa langkah untuk melatih emosi seseorang
diantaranya adalah: (1). Menyadari emosi anak, (2). Mengenali emosi sebagai peluang untuk menjadi akrap dan untuk
mengajar, (3). Mendengarkan dengan penuh empati dan menegaskan perasaan, (4). Menolong individual untuk
memberi label emosi dengan kata-kata, (5). Menentukan batas-batas sambil menolong individual dalam memecahkan
masalahnya.[40]Jadi kecerdasan emosi merupakan bahagian dari fitrah qalbu, potensi emosi akan menghasilkan
kesuksesan kalau berjalan sesuai dengan fitrah (potensi keberagamaan), karena pada dasar mulanya manusia
dilahirkan dia sudah dikaruniakan Allah Swt potensi qalbu. Setelah ia dilahirkan ke dunia ini fitrah itu dikembangkan
dengan berbagai upaya, salah satunya adalah melalui kecerdasan emosi yang sudah dimiliki oleh semua manusia
semenjak ia akan dilahirkan.3) Kecerdasan Spiritual (SQ)SQ adalah cahaya murni kecerdasan yang menerangi orang
lain serta menyadarinya ingin menjadi kuat, SQ memelihara bagian-bagain yang tak terjangkau oleh kecerdasan lain.[41]
Danah Zohar dan Ian Marshall mendefenisikan kecerdasan spiritual yaitu kecerdasan untuk menghadapi persoalan
http://www.tajdid-iaid.or.id Powered by: Joomla! Generated: 6 April, 2011, 13:57
Tajdid | Jurnal Ilmu-ilmu Agama Islam dan Kebudayaan

makna atau value atau kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas
dan kaya. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang
lain. SQ ialah landasan yang diperlukan unuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, bahkan SQ merupakan
kecerdasan tertinggi kita. Sedangakan kecerdasan spiritual merupakan kemampuan unuk memberi makna ibadah
terhadap setiap perilaku kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang
seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik) serta berprinsip “hanya kepada Allah
Swt”.[42]Untuk mencapai puncak kecerdasan spiritual yang tinggi itu, jauh-jauh hari Islam sudah lebih awal
membicarakannya, hal ini terlihat dari kehidupan para nabiullah kemudian diiringi oleh para sahabat dan generasi
tabi’in dalam pengamalan ajaran tauhid secara kaffah. Pada zaman jahiliyyah manusia sangat terkungkung
dengan adat kebiasaan yang sudah membudaya turun temurun semenjak zaman nenek moyang, namun adat istiadat
yang ada itu tidak mampu menawarkan solusi alternatif ketika manusia dihadapkan dengan persoalan-persoalan rumit
dalam dinamika kehidupan. Kebanyakan orang hanya bisa lari dari permasalahan, tetapi tidak mampu memberikan
solusi dari persoalan-persoalan yang sedang dihadapi, disinilah kekuatan spiritual Islam dalam meluluhlantakkan semua
kebiasaan-kebiasaan masyarakat awam yang selama ini mereka tidak pernah terima betapa indahnya spiritualisme
dalam memecahkan persoalan mereka.Kehidupan spiritual itu semakin jelas ketika Allah Swt membebankan pembawa
wahyu yang luhur itu kepada seorang pria di antara manusia yang mulia. Dialah Muhammad Saw yang mempunyai
bakat tinggi, wawasan dan pemahaman secara menyeluruh, tanggap terhadap situasi dan fenomena jiwa manusia dan
gejala-gejala masyarakat. Sosok pemimpin seperti Muhammad Saw adalah merupakan salah satu figur yang
mengamalkan pengembangan qalbu melalui spiritualitas yang dimiliki oleh manusia. Hal ini senada dengan pendapat
yang dikemukakan oleh M. Al-Ghazali dalam bukunya: “Menjadi Muslim Ideal Meletakkan Islam Sebagai Petunjuk
dan Penerang Kehidupan” sebagaimana ungkapan beliau: Beliau (Muhammad Saw) adalah teladan mulia
dengan al-kitab yang sangat rasional selalu memancarkan hikmah. Kamu akan mengenali sosok peribadinya yang mulia
tapi kamu tidak akan mampu berkomunikasi dengan Beliau jika teladan-teladan tinggi itu dicabut dari jiwamu, seperti
yang terjadi pada orang-orang yang disekeliling Rasulullah Saw pada awal dakwah beliau. Salah satu ciri utama
kepemimpinan rohani tertinggi adalah kemampuan Beliau mempengaruhi perilaku manusia yang mendekatinya dan
mampu menjunjung tinggi kebenaran pada batas-batasnya. [43]Seseorang yang memperhatikan sejarah hidup
Rasulullah Saw akan kagum dan terpana betapa tajam kewaspadaan akal Beliau dalam kehidupan sehari-hari.
Renungkanlah betapa perasaan dan kelemah lembutan Beliau dengan sesama manusia apalagi dengan Allah Swt.
Kemudian pengakuan Rasulullah Saw kepada dirinya dan kitab Al-quran, itu adalah kemantapan, kamaun jiwa (psikis)
dari seorang pemimpin yang mempunyai kecerdasan spiritual untuk merobah dunia biadab menjadi dunia beradab. Siap
untuk mengemban tugas misi dakwah, memenuhi tuntutan risalah, mentaati perintah Allah Swt melaksanakan hukum-
hukum-Nya dan menjunjung tinggi syiar-syiar-Nya.Banyak orang yang gagal dalam memerankan kecerdasan ganda
(multiple intelligence) karena mereka mengganngap kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual tidak sejalan dengan qalbu
(hati). Hal ini bisa dilihat dari banyaknya muncul krisis moral, buta hati, tidak toleran terhadap sesama, mengutamakan
kepentingan pribadi dari pada mendahulukan kepentingan orang banyak. Menurut Ary Ginanjar Agustian meskipun
mereka memiliki pendidikan tinggi dan gelar-gelar di depan dan dibelakang nama mereka serta hanya mengandalkan
logika, namun mengabaikan suara hati yang sebenarnya mampu memberikan informasi-informasi maha penting untuk
mencapai keberhasilan, akhirnya terbukti suara hati itu yang benar.Ary juga mengutip pendapat Shandel yang juga
dikutip oleh Ali Syariati dalam bukunya ”Haji” mengatakan bahwa bahaya yang paling besar dihadapi umat
manusia pada zaman sekarang bukanlah ledakan bom atom, tapi perubahan fitrah. Unsur kemanusiaan di dalam dirinya
sedang mengalami kehancuran sedemikian cepat, sehingga yang tercipta sekarang ini adalah sebuah ras yang
nonmanusiawi. Inilah mesin berbentuk manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam yang
fitrah. Ia telah dijual dan dia sendirilah yang harus membayar harganya, itulah gambaran orang-orang yang buta hati
atau buta nurani. [44] Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa potensi qalbu akan bisa dikembangkan melalui fitrah
keberagamaan pada diri manusia, karena pengaruh jiwa akan melahirkan nilai-nilai positif terhadap bentuk perilaku dan
sikap yang ditampilkan oleh masing-asing individual.4) Kecerdasan RuhaniahPotensi ruhaniah merupakan kekuatan
supranatural (luar biasa) yang terjadi pada diri manusia, menggali potensi di luar kebiasaan alam, orang beriman sulit
untuk menolak peristiwa yang diberikan oleh agamanya walaupun tidak sejalan dengan hukum alam, bagaimana Isa As
bisa lahir tanpa ayah, banyak yang tidak mengerti Maryam sang ibu sucipun bingung sehingga Allah Awt melarangnya
berbicara dan menegaskan bayinya untuk memberikan penjelasan.[45]Dalam pengembangan kecerdasan ruhaniah ada
beberapa konsep yang ditawarkan oleh Toto Tasmara dalam mencapai kedamaian qalbu sebagai upaya melatih jiwa
seseorang untuk mengasah nyali kecerdasan ruhaniah.1. Rasa cinta (mahabbah) serta pemahaman yang sangat kukuh
terhadap ruh tauhid (menjadikan Allah Swt satu-satu ilahi, tumpuan dan tujuan tempat seluruh tindakan diarahkan
kepadanya, memandang Allah Swt sebagai arah yang dituju.2. Kehadiran Allah Swt memberikan kesadaran dan
keyakinan yang membekas di hati bahwa Allah Swt hadir dan menyaksikan seluruh perbuatan bahkan bisikan qalbu kita,
sehingga nurani kita senantiasa membisikan, ada kamera Ilahi yang terus merekam.3. Kesementaraan dunia dan
keabadian akhirat, merasakan dengan sangat bahwa hidup hanyalah kedipan mata, fatamorgana. Apa yang berada
pada sisi manusia adalah fana, sedangkan yang disisi Allah Swt adalah baqa.4. Ingin menjadi teladan, merasakan dan
menghayati nilai-nilai akhlakul karimah dengan membaca dan mengerti riwayat hidup Rasulullah, para sahabat, dan para
‘arifin yang hidupnya bersih dan mengabdi pada nilai-nilai kebenaran ilahiyah. Melakukan perjalanan ruhani dn
membaca berbagai hikmah sebagai nasehat hati.5. Sederhana itu indah menguji diri dengan cara mempraktekkan
kehidupan yang zuhud, agar cahaya ilahiyyah tidak tenggelam dan diambil alih oleh nyala apai hawa nafsu syahwat.6.
Rasa ingin tahu (curiosity) mempelajari, merenungkan dan meneliti dengan rasa penuh ingin tahu yang sangat
mendalam terhadap kandungan Al-quran, kemudian menjadikannya sebagai petunjuk yang memotivasi dirinya untuk
bertindak.[46]Jadi dapat dipahami bahwa kecerdasan ruhaniah merupakan puncak dari gabungan kecerdasan
http://www.tajdid-iaid.or.id Powered by: Joomla! Generated: 6 April, 2011, 13:57
Tajdid | Jurnal Ilmu-ilmu Agama Islam dan Kebudayaan

emosional, kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual, disinilah peranan potensi ilahiyyah dalam mengembalikan
manusia kepada fitrahnya. Potensi ilahiyyah bisa berkembang dengan baik jika kecerdasan ruhaniah itu berjalan secara
optimal. C. PenutupDiakhir tulisan ini dapat disimpulkan bahwa potensi qalbu sangat menentukan dalam menelusuri
arah serta kebijakan hidup seseorang. Qalbu merupakan epicenter aktivitas psikis manusia dalam mendayung bahtera
kehidupan di dunia yang penuh dengan godaan serta rayuan gombol syetan. Melalui kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosional yang dimiliki, banyak orang yang lalai serta memalingkan diri dari Allah Swt, karena sebahagian mereka
mengganggap bahwa potensi kecerdasan itu akan berjalan sesuai dengan fitrahnya, tapi sadarkah kita bahwa potensi
kecerdasan itu perlu diimbangi dengan kesolehan individu dan kesolehan sosial yang dalam bahasa psikologi dikenal
dengan kecerdasan spiritual. Untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt maka perlu upaya pengembangan dengan
berbagai pola pendekatan spoiritual dengan puncak akhirnya dengan menggunakan kekuatan ruhaniah. Daftar
Pustaka al-Ghazali, Muhammad (2001) Menjadi Muslim Ideal Meletakkan Islam sebagai Petunjuk dan Penenang
Kehidupan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.Afrinaldi (2006) Pengaruh Kecerdasan EmosiTerhadap Kepuasan Kerja
dan Prestasi Kerja di Kalangan Dosen IAIN Imam Bonjol Padang Sumatera Barat. Malaysia: Tesis Master Programe
Psychology Faculty of Social Science and Humanities Universiti Kebangsaan Malaysia.Agustian, Ary Ginanjar (2001)
Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual. Jakarta: Arga.Bowell, Richard A. (2004) The 7 steps of
Spiritual Quotient, diterjemahkan oleh: Archangela Yenny Satriawan, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.Bustaman,
Hanna Djumhanna (1995) Integrasi Psikologi dengan Islam. Jakarta: Pustaka Pelajar.Departemen Agama RI (1989) Al-
Quran dan Terjemahannya. Semarang: CV. Toha Putra.Goleman. D (1999) Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.Goleman. D (1999) Working with Emotional Intelligence. New York: Bantam Books.Goleman.
D (2001) Emotional Intelligence:Iissues in Paradiggm Building. Dalam Cherniss, C. & Goleman, D. (pnyt), The
Emotionally Intelligent Workplace, San Francisco: Jossey-Bass Gymnastiar, Abdullah, Isa, Basyar (2001) Bening Hati.
Bandung: MQS Pustaka Grafika.Lane, R.D (2000) Levels of Emotional Awareness: Neurological, Psychological and
Social Perspectives. Dalam. Bar-On, R, & Parker, J.D.A. (pnyt). The handbook of emotional intelligence: theory,
development, assessment and application at home, school, and in the workplace, San Frascisco: Jossey-Bass.
Mayer,J.D. dan Salovey,P. (1995) ”What is Emotional Intelligence?” New York: Basic Books.Mayes,J.D. &
Cobb,C.D (2000) Educational Policy on Emotional Intelligence : Does It make sense?”Educational Psycholgy
Review.Mohamed, Yasien (1997) Insan yang Suci Konsep Fithrah Dalam Islam. Bandung: Mizan.Muhyiddin, Muhammad
(2006) ESQ Power for Better Life, Yokyakarta: Tunas.Mujib, Abdul (1999) Fitrah dan Kepribadian Islam Sebuah
Pendekatan Psikologis. Jakarta: Darul Falah.Nashori, Fuad (2005) Jurnal Psikologi Islami Volume 1, nomor 1, Juni 2005,
Yokyakarta: Fakultas Psikologi UII.Ridwan, M Deden, Hernowo (Ed) (2001) Aa Gym dan Fenomena Daarut Tauhid
Memperbaiki Diri Lewat Manajemen Qalbu”. Bandung: Mizan.Shihab, M. Quraish (2001) Lentera Hati. Bandung:
Mizan.Shihab, M. Quraish (1994) Wawasan Al-Quran. cet, ke-12 Bandung: Mizan. Tasmara, Toto (2001) Kecerdasan
Ruhaniah. Jakarta: Gema Insani Press.Yudiani, Ema (2005) Psikologika Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi,
Yogyakarta: Fakultas Psikologi UII.Yahaya, Mohd. Azhar Hj (2004) Pengaruh Kecerdasan Emosi ke atas Komitmen
Kerjaya, Komitmen Organisasi, Kepuasan kerja dan Tingkahlaku Warga Organisasi. Malaysia: Disertasi Ph.D. Programe
Psychology Faculty of Social Science and Humanities Universiti Kebangsaan Malaysia. Zain, Ismail,
(http://myscoolnet.ppk.kpm.my/berita/2004/10April ap3UM.htm)
[1] . Hanna Djumhanna Bustaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 93.[2] . Abdul
Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 59.[3] . M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994), cet, ke-12, h. 288.[4] . Departemen Agama RI, Al-Quran dan
Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 854.[5] . Ibid, h. 905[6] . Ibid, h. 101[7] . Ibid, h. 846[8] .
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, op.cit., h.286.[9] . Abdul Mujib, op.cit. h. 61[10] . Fuad Nashori, Jurnal Psikologi
Islami Volume 1, nomor 1, Juni 2005, (Yokyakarta: Fakultas Psikologi UII, 2005), h. 39, [11] . M Deden Ridwan, Henowo
(Ed), Aa Gym dan Fenomena Daarut Tauhid Memperbaiki Diri Lewat Manajemen Qalbu” (Bandung: Mizan, 2001),
h. 16[12] . Ibid, h.26-27[13] . Ibid, h. 43[14] . Ibid, h. 221-222[15] . Ibid, h. 140-141[16] Abdullah Gymnastiar, Basyar Isa,
Bening Hati, (Bandung: MQS Pustaka Grafka, 2001), h. 44-45.[17] . Deartemen Agama RI, op.cit, h. 871[18] . Ibidt, h.
429[19] . Ibid, h. 639[20] . Ibid, h. 280[21] . Ibid, h. 95[22] . Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), h. 94-95[23] . M. Deden Ridwan, Hernowo (ed), op.cit., h. 234-239[24] . Ibid, h. 228[25] . M. Quraish
Shihab, op.cit., h. 284[26] . Yasien Mohamed, Insan yang Suci Konsep Fithrah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h.
193.[27] . Abdul Mujib, op.cit., h. 65[28] . Muhammad Muhyiddin, ESQ Power for Better Life, (Yokyakarta: Tunas, 2006),
h. 71-72[29] . Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 47.[30] . Ibid,
h. 411[31] . Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, (Jakarta: Arga, 2001),
h. 200[32] . Mohd.Azhar Hj Yahaya, Pengaruh Kecerdasan Emosi ke atas Komitmen Kerjaya, Komitmen Organisasi,
Kepuasan kerja dan Tingkahlaku Warga Organisasi. (Malaysia: Programe Psychology Faculty of Social Science and
Humanities, Disertasi Ph.D, 2004), h. 66[33] . Mayer,J.D. dan Salovey,P. What is Emotional Intelligence? (New York:
Basic Books, 1995).[34] . Ema Yudiani, Psikologika Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, (Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UII, 2005., h. 62[35] . Mayes,J.D.& Cobb,C.D, Educational Policy on Emotional Intelligence : Does It make
sense?”Educational Psychology Review, (USA: Bantam Books, 2000), h. 183.[36] . Ismail Zain,
(http://myscoolnet.ppk.kpm.my/berita/2004/10April ap3UM.htm)[37] . Lane, R.D, Levels of Emotional Awareness:
Neurological, Psychological and Social Perspectives. Dalam. Bar-On, R, & Parker, J.D.A. (pnyt). The handbook of
emotional intelligence: theory, development, assessment and application at home, school, and in the workplace, (San
Frascisco: Jossey-Bass, 2000). h. 171-191. [38] . Daniel Goleman, op.cit, h. 57-59[39] . Afrinaldi, Pengaruh Kecerdasan
EmosiTerhadap Kepuasan Kerja dan Prestasi Kerja di Kalangan Dosen IAIN Imam Bonjol Padang Sumatera Barat,
(Malaysia: Tesis Master Programe Psychology Faculty of Social Science and Humanities Universiti Kebangsaan
Malaysia, 2006), h. 8[40] . Jonh Gottman, Joan Decleare, Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan
http://www.tajdid-iaid.or.id Powered by: Joomla! Generated: 6 April, 2011, 13:57
Tajdid | Jurnal Ilmu-ilmu Agama Islam dan Kebudayaan

Emosional, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 73[41] . Richard A. Bowell, The 7 steps of Spiritual
Quotient, diterjemahkan oleh: Archangela Yenny Satriawan, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2004), h. 22[42] . Ary
Ginanjar Agustian, op.cit., h. 57[43] . Muhammad Al-Qhazali, Menjadi Muslim Ideal Meletakkan Islam sebagai Petunjuk
dan Penenang Kehidupan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 258-259[44] . Ary Ginanjar Agustian, op.cit, h.
XIi[45] . M. Quraish Shihab, Lentera Hati, (Bandung: Mizan, 2001), h. 221[46] . Toto Tasmara, op.cit. h. 73-74

http://www.tajdid-iaid.or.id Powered by: Joomla! Generated: 6 April, 2011, 13:57

Vous aimerez peut-être aussi