Vous êtes sur la page 1sur 26

Laporan Kasus

PENGGUNAAN ANESTESI EPIDURAL KATETER PADA SECTIO


CESARIA DAN PENGELOLAAN NYERI PASCA OPERASI PADA PASIEN
DENGAN PREEKLAMSIA BERAT

Oleh:
dr. Igun Winarno

Pembimbing :
dr. Purwito Nugroho, SpAn

Bagian/SMF Anestesiologi FK UNDIP/RUP Dr. Kariadi Semarang


SMF Anestesiologi RSUD Kodya Semarang
Semarang 2011
Laporan Kasus

PENGGUNAAN EPIDURAL KATETER PADA PADA SECTIO CESARIA


DAN PENGELOLAAN NYERI PASCA OPERASI PADA PASIEN DENGAN
PRE EKLAMSIA BERAT
Igun Winarno*, Purwito Nugroho**

Bagian/SMF Anestesiologi FK UNDIP/RUP Dr. Kariadi Semarang*


SMF Anestesiologi RSUD Kodya Semarang**

PENDAHULUAN
Preeklamsia adalah suatu sindroma yang berkembang dan
dicetuskan oleh kehamilan berupa : hipertensi, proteinuri, dan edema
setelah kehamilan lebih 20 minggu.1,2,3 Penyebab preeklamsi tidak
diketahui secara pasti, diperkirakan penyebabnya adalah faktor genetik
dan immunologi. Defek primer terjadi pada plasenta, berupa perubahan
fungsi jaringan uteroplasental yang diduga disebabkan oleh faktor
genetik, melalui gen resesif autosomal tunggal. Insiden preekalmsi -
eklamsi di Inggris dan Amerika Serikat adalah 4 - 5 per 10.000
kehamilan dan merupakan 10% penyebab kematian maternal.1,3,4
Anestesi neuroaxial telah memperoleh hasil terbesar pada
anestesi obstetrik. Saat ini anestesi epidural secara luas digunakan
untuk analgetik pada wanita dalam persalinan sama baiknya selama
persalinan neonatus pervaginam. Bedah cesar paling umum dilakukan
dalam anestesi epidural atau spinal. Kedua blok tersebut membuat ibu
untuk tetap sadar dan merasakan kelahiran dari anaknya. Studi besar
populasi pada Britania Raya dan United States telah menunjukkan
bahwa anestesi regional dihubungkan dengan berkurangnya morbiditas
dan mortalitas maternal dibandingkan dengan anestesi umum. Yang
secara besar dikarenakan pengurangan insiden dari aspirasi pulmo dan
intubasi yang gagal. 5
Pada laporan kasus ini disajikan mengenai seorang wanita usia
40 tahun dengan G3P2A0, hamil aterm dan preeklamsia berat yang
dilakukan sectio cesaria dengan teknik anestesi epidural dan
pengelolaan nyeri dengan epidural kateter.

LAPORAN KASUS
Anamnesis :
A. Identitas Penderita

Nama : Ny. X
Umur : 40 tahun
Jenis kelamin : Wanita
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat :
Masuk RS : 3 April 2011
No CM : 188577

B. Keluhan Utama

Perut kencang-kencang

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak malam perut terasa kenceng-kenceng, semakin lama semakin


semakin sering, penderita datang ke bidan setempat. Karena tensi tinggi
dan kaki bengkak, penderita di rujuk ke rumah sakit oleh bidan tersebut.
Penderita selama ini kontrol dengan bidan, sebelumnya penderita
tidak mempunyai riwayat darah tinggi, kaki tidak bengkak, penderita
tidak mengetahui secara pasti kapan menstruasi terakhir.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Penderita hamil anak ketiga, riwayat kehamilan terdahulu lahir secara


spontan di bidan setempat, saat hamil anak pertama dan kedua
penderita tidak mengalami hal seperti ini, tensi tinggi dan kaki bengkak.
Riwayat sering sesak tidak ada, alergi atau gatal-gatal disangkal,
operasi sebelumnya disangkal, riwayat penyakit kencing manis
disangkal, riwayat darah tinggi disangkal, riwayat sakit jantung atau
sering nyeri dada disangkal.

E. Riwayat Keluarga

Keluarga tidak ada yang menderita alergi, kencing manis, darah tinggi
dan penyakit jantung

F. Riwayat Sosial Ekonomi

Penderita sorang ibu rumah tangga dengan dua anak, suami sebagai
buruh dan sisitem pembayaran dilakukan dengan SKTM (Surat
keterangan Tidak Mampu).

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : sadar


Tanda Vital :
TD : 185/100 mmHg
Nadi : 84x/mnt, isi dan tegangan cukup
RR : 22 kali /menit
Suhu : 37oC
SpO2 : 100
BB : 50 Kg tinggi badan : 155 cm
Kepala : mesosefal
Mata : Konjungtiva palpebra anemis -/-
Sklera ikterik -/-
Telinga : dalam batas normal
Hidung : sekret -/-, deviasi trakhea -/-
Mulut : Malampati I, gigi palsu tidak ada
Tenggorokan : suara serak (+), sakit telan (+).
Leher : tidak pendek, deviasi trakhea tidak ada
Dada : dispnoe (-), nyeri dada kiri (-).
Jantung : I : iktus kordis tidak tampak
Pa : iktus kordis tidak kuat angkat
iktus kordis teraba di SIC IV, LMCS
Pe : batas jantung dalam batas normal
A : Suara jantung murni, bising (-), gallop (-).
Paru :I : simetris, statis, dinamis
Pa : stem fremitus kanan = kiri
Pe : sonor seluruh lapangan paru
A : Suara dasar vesikuler, ronkhi -/-

Abdomen :I : Cembung
A : bising usus (+) normal., DJJ (+)
Pe : Pekak (+) meningkat, Pekak alih (+)
Pa : nyeri tekan (-), supel, hati dan limpa tak
teraba.
Genitalia : wanita, dalam batas normal.
Extremitas : Atas Bawah
Oedem -/- +/+
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-

Hasil Laboratorium (3 April 2011) :

Hb : 10,6 g/dl
Ht : 29,8 %
Lekosit : 11.000 /µl
Trombosit : 300.000 /µl
GDS : 98 mg/dL
Proteinuri :+3

Diagnosa

Seorang Wanita dengan G3P2A0, hamil aterm, dengan preeklamsia


berat

Tindakan

a) Sectio Cesaria Cito

b) Teknik anestesi

• Anestesi Epidural Cateter ASA I E

 Epidural pada L 1-2

 Naropin 150 mg dan morphin 2 mg

c) Pengelolaan nyeri pasca operasi dengan kateter epidural


• Naropin 0,25 % (22,5 mg) dan morphin 2 mg tiap 12 jam
selama 2 hari

Monitoring

Tanda Vital
200
180
160
140
120
100
80 sistolik
diastolik
60 HR
40 SpO2
20 RR
0
0 15 30 60

Kebutuhan Cairan
BB : 50
Jam/Jenis Total 1 2 3
Maintenance BB x 2 cc 100 100 100 100
Defisit Puasa LP x M 600 300 150 150
Stres Operasi D = 8/6/4 400 400 400 400
A=6/4/2 800 650 650
1450 2100

• Telah diberikan : Loading Cairan dengan RL 250 cc dan


maintenance dengan cairan koloid fimahes 500 cc

• Perdarahan : 400 cc

• Urin : 300 cc

Perjalanan Penyakit Di Ruangan

Hari
Tanggal Diagnosa Tindakan
Jam

3/4/2011 KU : sadar, Terapi :


18.00 Anms : Nyaman, tidak • Infus Tutofusin 20 tpm.
kesakitan • Inj.narophin 0,25 %
TD : 120/80 mmHg (22,5 mg) + morphin 2
Nadi : 88 x/mnt, isi dan mg
tegangan cukup
RR : 18 X/menit
Suhu : 37oC
Dada : ronkhi -/-
Ekstremitas : oedem berkurang

4/4/2011 KU : sadar Terapi :


06.00 Anms : Nyaman, tidak • Infus Tutofusin 20 tpm.
kesakitan, sedikit • Loading RL 500 cc
nggliyeng • Inj.narophin 0,25 %
TD : 115/80 mmHg (22,5 mg) + morphin 2
Nadi : 88 x/mnt, isi dan mg
tegangan cukup
RR : 16 X/menit
Suhu : 37oC
Dada : ronkhi -/-
Ekstremitas : oedem berkurang
4/4/2011 KU : sadar Terapi :
18.00 Anms : Nyaman, tidak • Infus Tutofusin 20 tpm.
kesakitan, • Inj.narophin 0,25 %
TD : 125/80 mmHg (22,5 mg) + morphin 2
Nadi : 88 x/mnt, isi dan mg
tegangan cukup
RR : 16 X/menit
Suhu : 37oC
Dada : ronkhi -/-
Ekstremitas : oedem berkurang

4/4/2011 KU : sadar Terapi :


06.00 Anms : Nyaman, tidak • Infus RL 20 tpm.
kesakitan, • Inj.narophin 0,25 %
TD : 125/80 mmHg (22,5 mg) + morphin 2
Nadi : 88 x/mnt, isi dan mg
tegangan cukup
RR : 16 X/menit
Suhu : 37oC
Dada : ronkhi -/-
Ekstremitas : oedem berkurang

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pre Eklamsia Berat

Preeklamsia adalah suatu sindroma yang berkembang dan


dicetuskan oleh kehamilan berupa : hipertensi, proteinuri, dan edema
setelah kehamilan lebih 20 minggu. Eklamsi merupakan gangguan
multisistem dari kehamilan dan didefinisikan sebagai preeklamsia yang
disertai kejang.1,2

Patofisiologi

Pada penelitian immunohistologi didapatkan perusakan pada endotel


pembuluh darah oleh trofoblas dan ini akan menurunkan produksi
prostasiklin yang merupakan vasodilator poten. Pada saat yang
bersamaan terjadi kenaikan produksi tromboksan A2 yang merupakan
vasokonstriktor, sehingga menyebabkan spasme pembuluh darah. 4,6
Disamping vasokonstriksi secara umum, terjadi juga penurunan
volume plasma. Dan inilah alasan tidak dianjurkannya pemakaian
diuretika pada eklamsi karena dikhawatirkan akan lebih mengurangi
volume plasma sehingga menimbulkan insufisiensi plasenta. Salah satu
dampak dari iskemia plasenta adalah penurunan produksi vasodilator
prostaglandin khususnya prostasiklin, yang merupakan mediator
vasodilator dan penghambat agregasi trombosit yang penting.
Peningkatan permeabilitas vaskuler menyebabkan terjadinya edema
dan proteinuria. Aktivasi sistem koagulasi mengarah terjadinya
koagulasi intravaskuler yang menyeluruh (DIC) dengan adanya agregasi
dan kerusakan platelet, penurunan kadar prokoagulan, degradasi
produk fibrin intravaskuler dan kerusakan end-organ dari mikrotrombi.1,4
Perubahan vaskuler, bersama hipoksia lokal pada jaringan
sekitarnya dapat menyebabkan perdarahan, nekrosis dan gangguan
lainnya. Pada kehamilan normal terjadi peningkatan volume
intravaskuler, tetapi tahanan vaskuler menurun sehingga tekanan darah
tidak naik. Pada preeklamsi / eklamsi terjadi spasme pembuluh darah
menyeluruh dan peningkatan tahanan vaskuler sehingga tekanan darah
akan naik, sementara dilain pihak volume intravaskuler berkurang.11
Beberapa mekanisme etiologi yang diterapkan pada kejang eklamsi
mencakup vasokonstriksi atau vasospasm hypertensive
enchepalopathy, edema serebri atau infark, perdarahan otak dan
ensefalopati metabolik. Temuan ini belum jelas, apakah sebagai
penyebab atau efek dari kejang. Patologi otak pada substansia alba
korteks dan subkorteks terbentuk edema infark dan perdarahan
merupakan temuan otopsi yang paling urnum pada penderita yang
meninggal karena eklamsi.4
Preeklampsia digolongkan sebagai berat bila tekanan darah >
160/110 mmHg, proteinuria +2 (atau mencapai 5 gram per jumlah urin
selama 24 jam), atau bila telah timbul komplikasi seperti. 2,4,6
• Oliguria : urin < 400-5—cc/24 jam

• Kenaikan kreatinin serum

• Oedem paru atau sianosis

• Nyeri epigastrium, kuadran kanan atas abdomen (karena


teregangnya kapsula Glisone - hepar)

• Gangguan otak-visus : nyeri kepala dan pandangan kabur

• Gangguan fungsi hepar

• Hemolisis mikroangiopatik

• Trombositopenia : < 100.000 set/mm3

• Sindroma HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes, low


platelet count)

Kesulitan lain adalah membedakan preeklampsia dengan kondisi lain


seperti hipertensi dengan kehamilan. Kelainan ini dapat meliputi
hipertensi kronik, preeklampsia-eklampsia, hipertensi kronik dengan
superimposed preeklampsi dan hipertensi gestasional.
Hipertensi kronis didefinisikan sebagai hipertensi yang sudah
dijumpai sebelum kehamilan, sebelum usia kehamilan 20 minggu,
selama kehamilan sampai 12 minggu post partum, Tidak ditemukan
keluhan dan tanda-tanda preeklampsia lainnya.
Sedangkan superimposed preekiampsia adalah gejala dan tanda-
tanda preeklampsia muncul sesudah kehamilan 20 minggu pada wanita
yang sebelumnya menderita hipertensi kronis, dengan timbulnya
proteinuria (atau peningkatan kadar proteinuria bila kondisi ini telah
dijumpai sebelumnya), peningkatan tekanan darah secara akut atau
pasien mengalami sindroma HELLP.
Hipertensi gestasional adalah kenaikan tekanan darah tanpa disertai
proteinuria yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu sampai 12
minggu paska persalinan, tidak dijumpai keluhan dan tanda-tanda
preeklampsia lainnya. Sekitar seperempat wanita dengan hipertensi
gestasional mengalami proteinuria dan akhirnya menderita
preekiampsia.
Eklampsia adalah terjadinya kejang tonik-klcnik pada penderita
preeklampsia.1,4,6

Faktor Resiko

Faktor risiko preeklampsia meliputi kondisi medis yang berpotensi


menyebabkan kelainan mikrovaskular, seperti diabetes mellitus,
hipertensi kronis dan kelainan vaskular serta jaringan ikat, sindrom
antibodi antifosfolipid dan nefropati. Faktor risiko lain berhubungan
dengan kehamilan itu sendiri atau dapat spesifik terhadap ibu atau ayah
dari janin.
Berbagai faktor risiko preeklampsia (Disadur dari American Familiy
Physician, 2004) :

Faktor yang berhubungan dengan kehamilan :


• Kelainan kromosom

• Mola hidatidosa
• Hydrops fetalis

• Kehamilan multifetus

• Inseminasi donor atau donor oosit

• Kelainan struktur kongenital

Faktor spesifik maternal


• Usia > 35 tahun

• Usia < 20 tahun

• Ras kulit hitam

• Riwayat preeklampsia pada keluarga

• Nullipara

• Preeklampsia pada kehamilan sebelumnya

• Kondisi medis khusus : diabetes gestasional, diabetes tipe I,


obesitas, hipertensi kronis, penyakit ginjal, trombofilia

• Stress

Faktor spesifik paternal


• Primipaternitas

• Partner pria yang pemah menikahi wanita yang kemudian hamil


dan mengaiami preeklampsia

Manifestasi Klinis

Berbagai perubahan yang terjadi pada kehamilan dengan


preeklampsia dan manifestasi yang timbul pada kehamilan tersebut
antara lain :1,6
Perubahan pada plasenta dan uterus
Menurunnya aliran darah ke plasenta dapat mengakibatkan solusio
plasenta.
gangguan pertumbuhan janin, gawat janin sampai kematian janin
Perubahan pada ginjal
Perubahan ini disebabkan oleh karena aliran darah ke dalam ginjal
menurun, sehingga filtrasi glomerulus berkurang, proteinuria dan retensi
garam serta air, aibuminuria, peningkatan permeabiiitas.
Perubahan pada retina
Tampak edema retina, spasme setempat atau menyeluruh pada satu
atau beberapa arteri. Jarang terjadi perdarahan atau eksudat atau
spasme. Pada preekiampsia pelepasan retina oleh karena edema intra
okuler merupakan indikasi untuk pengakhiran kehamilan segera
Perubahan pada paru-paru
Edema paru dapat terjadi pada preeklampsia berat maupun
eklampsia secara kardiogenik ataupun non-kardiogenik.
Patogenesis terjadinya edema paru seringkali akibat overload cairan
iatrogenik, namun dapat pula ditimbulkan oleh sebab kardiogenik atau
terjadinya transudasi cairan ke dalam alveoli paru
Penyebab non-kardiogenik bervariasi sebagai akibat sekunder dari
menurunnya tekanan onkotik koloid plasma atau akibat kebocoran
pembuluh darah pada paru, dan dapat terjadi antepartum, intrapartum
dan postpartum
Hipoalbuminemia yang menyebabkan tekanan koloid osmotik plasma
turun merupakan sebab utama darn timbulnya edema pulmonum
disamping sebab-sebab yang lain
Metabolisme air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyertai preeklampsia dan eklampsia tidak
diketahui sebabnya. Terjadi pergeseran cairan dari ruang intra vaskuler
ke ruang interstisial, diikuti oleh kenaikan hematokrit, protein serum
meningkat dan bertambahnya edema menyebabkan volume darah
berkurang, viskositas darah meningkat, waktu peredaran darah tepi
lebih lama.

B. ANESTESI EPIDURAL

Blok spinal, epidural dan kaudal pertama kali digunakan dalam


prosedur bedah pada permulaan abad dua puluh. Blok sentral ini telah
dilakukan secara luas sebelum tahun 1940 sampai didapati banyak
laporan akan terjadinya cedera saraf permanen akibat teknik ini. Namun
demikian, suatu studi epidemiologi berskala besar yang dilakukan pada
tahun 1950 menunjukkan bahwa komplikasi jarang terjadi bila blok
dilakukan dengan hati-hati.5,7
Gambar 1. Anestesi Spinal.5

Blok neuraksial (spinal, epidural dan kaudal) menghasilkan blok


simpatis, analgesia sensorik dan blok motorik (tergantung pada dosis,
konsentrasi atau volume obat anestesi okal yang digunakan) setelah
insersi jarum pada daerah sentroneuraksial. Meski terdapat kesamaan,
terdapat pula perbedaan fisiologi dan farmakologi yang bermakna pada
ketiga teknik ini. Anestesi spinal memerlukan jumlah volume obat yang
kecil, menghasilkan analgesi sensori yang kuat tanpa efek farmakologi
sistemik. Sebaliknya, anestesi epidural memerlukan volume obat yang
lebih besar sehingga kadar obat dalam darah sistemik dapat cukup
besar yang mungkin berhubungan dengan efek samping dan komplikasi
yang tidak didapati pada anestesi spinal.1,5,7
Tempat kerja dari blok neuroaksial adalah akar serabut sarat.
Anestesi lokal disuntikkan kedalam cairan serebrospinal (pada anestesi
spinal) atau keruang epidural (anestesi epidural dan kaudal) dan
menggenangi akar serabut saraf dalam ruang subaraknoid atau
epidural.1
Pasien dengan PIH ringan umumnya memerlukan pengawasan
ekstra pada persalinan; dapat dilakukan praktik anestetik standar.
Anestesi epidural dan spinal berkaitan dengan penurunan pada tekanan
darah arteri pada pasien-pasien ini. Pasien dengan penyakit berat,
bagaimanapun, memerlukan stabilisasi sebelum pemberian anestetik
apapun. Hipertensi harus terkontrol dan hipovolemia dikoreksi sebelum
anestesi. Tanpa adanya koagulopati, anestesi epidural kontinyu
merupakan pilihan pertama pada pasien dengan PIH selama persalinan,
persalinan pervaginam, dan seksio sesaria. Dan lagi, anestesi epidural
kontinyu menghindari peningkatan risiko kegagalan intubasi karena
edema berat pada jalan nafas atas.1,2,5
Anestesi epidural kontinyu telah menunjukkan penurunan sekresi
katekolamin dan memperbaiki perfusi uteroplasenta hingga 75% pad
pasien-pasien ini. Bolus cairan koloid (250-500 mL) sebelum aktivasi
epidural dapat lebih efektif daripada kristaloid dalam mengoreksi
hipovolemia dan mencegah hipotensi.1,5

Obat Anestesi Lokal


Pilihan obat anestesi untuk blok neuroaksial ditentukan oleh sifat dan
perkiraan lama prosedur pembedahan yang dilakukan serta aspek
pasca bedah. Untuk anestesi spinal, peningkatan dosis akan
memperpanjang lama blok dan menambah tinggi blok.5,7
Tabel 1. Obat anestesi lokal pada anestesi spinal.
Tabel 2. Obat anestesi lokal pada anestesi epidural.5

C. PENGELOLAAN NYERI

Nyeri merupakan gejala yang paling sering membuat pasien


menemui dokter, hampir selalu merupakan manifestasi proses patologis.
Beberapa rencana perawatan harus ditujukan pada proses yang
mendasari sebagaimana usaha untuk mengatasi nyeri. Istilah
”pengelolaan nyeri” secara penerapan umum digunakan pada seluruh
pengetahuan anestesiologi, tetapi dalam penggunaan modernnya
diabatasi pada pengelolaan nyeri di luar ruangan operasi. Pada awalnya
sesuai dengan recovery pasien setelah pembedahan atau dengan
kondisi medis akut di lingkungan rumah sakit, dan yang terakhir meliputi
kelompok yang berbeda dari pasien pada rawat jalan. Praktek
pengelolaan nyeri tidak hanya terbata pada seorang ahli anestesi tetapi
juga meliputi dokter lain seperti dokter praktek (penyakit dalam, ahli
kangker, ahli syaraf) dan selain dokter (psikolog, ahli urut, akupungtur,
hipnosis).8
Definisi
Nyeri bukan hanya suatu modalitas sensorik tetapi adalah suatu
pengalaman. The International Association for the Study of Pain
menggambarkan nyeri sebagai " suatu pengalaman sensoris dan
emosional yang tidak tak menyenangkan dihubungkan dengan
kerusakan jaringan nyata atau potensial terjadinya kerusakan jaringan,
atau digambarkan dalam keadan yang berkaitan dengan kerusakan
tersebut ." Definisi ini saling mempengaruhi antara tujuan, aspek
sensoris fisiologis nyeri dan sifat subjektifnya, emosional, dan komponen
psikologis. Tanggapan untuk nyeri dapat sangat bervariasi pada berbagi
orang sebagaimana pada orang yang sama pada waktu yang berbeda.
Dari definisi ini dapat ditarik 2 kesimpulan yaitu :8,9
1. Bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan
dan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan
yang nyata (pain with nociception).
2. Perasaan yang sama juga dapat timbul tanpa adanya kerusakan
jaringan yang nyata (pain without nociception).
Dengan kata lain nyeri pada umumnya terjadi akibat adanya
kerusakan jaringan yang nyata keadaan mana disebut sebagai nyeri
akut, disini misalnya nyeri post operasi. Namun terdapat juga suatu
keadaan dimana timbul keluhan nyeri tanpa adanya kerusakan jaringan
yang nyata, timbul setelah proses penyembuhan selesai, keadaan ini
disebut sebagai nyeri kronis misalnya nyeri post herpes.

PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY)


Antara stimuli nyeri sampai dirasakannya sebagai persepsi nyeri
terdapat suatu rangkaian proses elektrofisiologik yang secara kolektif
disebut sebagai nosisepsi. Terdapat empat proses yang jelas yang
terjadi pada suatu nosisepsi yaitu :
1. Proses tranduksi
Merupakan proses dimana suatu stimuli nyeri (noxious stimuli)
diubah menjadi suatu aktifitas listrik yang diterima ujung-ujung saraf
(nerve ending). Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik, suhu atau kimia.
2. Proses transmisi
Dimaksudkan sebagai penyaluran impuls melalui saraf sensoris
menyusul proses tranduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut
saraf A-delta dan serabut C sebagai neuron pertama. Kemudian dari
perifer ke medula spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi
sebelum diteruskan ke talamus melalui traktus spinotalamikus disebut
neuron kedua. Dari talamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah
somato sensoris di korteks serebri melaui neuron ketiga dimana impuls
tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
3. Proses modulasi
Adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistim analgesia
endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan nyeri input yang masuk
ke kornu posterior medula spinalis. Jadi merupakan ascenderen yang
dikontrol oleh otak. Sistim analgetik endogen ini meliputi enkefalin,
endorfin, serotonin dan noradrenalin memiliki efek yang dapat menekan
impuls nyeri pada kornu posterior medula spinalis. Kornu posterior ini
dapat diibaratkan sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk
menyalurkan impuls nyeri. Peristiwa terbuka dan tertutupnya pintu nyeri
tersebut diperankan oleh sistim analgesik endogen tersebut diatas.
Proses modulasi ini yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat
subyektif dari orang perorang.
4. Proses persepsi
Adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang
dimulai dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada
gilirannya menghasilkan suatu perasaan subyektif yang dikenal sebagai
persepsi nyeri.
PEMBAHASAN

Seorang wanita usia 40 tahun dengan G3P2A0, hamil aterm dan


preeklamsia berat yang dilakukan sectio cesaria dengan teknik anestesi
epidural dan pengelolaan nyeri dengan epidural kateter.
Pada pasien ini penegakkan diagnosis preeklamsia berat
didsarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dengan ditemukannya
oedem ekstremitas, tensi yang tinggi 180/100 mmHg, laboratorium
dengan proteinuri +3.
Pertimbangan tingkat kematangan umur kehamilan dan
mulainnya memasuki inpartu kala I, operator mempertimbangkan untuk
mengakhir kehamilan dengan terminasi sectio cesaria. Tindakan ini
sesuai dengan literatur yang lebih mengutamakan pengakhiran
kehamilan dengan sectio cesaria. 1,2,4
Pada saat dilakukan konsul dengan anestesi, setelah dilakukan
kunjungan prabedah ditemukan tanda-tanda preeklamsia berat dengan
tanpa adanya gangguan sistem koagulasi, sebagai bahan pertimbangan
bahwa pasien dengan preeklamsia berat dengan fungsi koagulasi dan
tromboasit yang normal yang normal sebagai pilihan pertama teknik
anestesi adalah dengan epidural dan pemasangan kateter epidural
untuk pengelolaan nyeri pasca bedah.10
Teknik anestesi epidural dilakukan pada daerah interspace
lumbal 1-2, kedalaman kateter epidural 5 cm dengan menggunakan obat
anestesi naropin 0,75 % ( Ropivacain) sebanyak 15 cc (112,5 mg)
dengan adjuvant morphin 2 mg. Pemberian volume 15 cc dengan
konsentrasi 0,75 % pada regio lumbal 1-2 dan kedalaman kateter 5 cm,
sudah mencukupi untuk dermatom regio thorak 4. Hal ini sudah
mencukupi untuk meberikan analgesi dan relaksasi pada sectio cesaria.5
Monitoring durante operasi tidak terjadi gejolak hemodinamik
yang berarti dan pemberian cairan dengan balance negatif, hal ini
ditunjukan nutuk menghindari komplikasi oedem pulmonum pada pasca
sectio cesaria. Pada pasien dengan preeklamsia berat kemungkinan
untuk terjadinya oedem pulmnom sangat besar, hal ini dakrenakan
kembalinya sistem sirkulasi sehingga beban jantung yang semakin
meningkat memungkinkan untuk memperberat oedem pulmonum. Bila
keadaan ini terjadi segera posisikan pasien setengah duduk, oksigen
100 % dengan masker, morphin 2-5 mg, diuretika furosemide 40 – 100
mg, pemeriksaan analisa gas darah, bila sudah menunjukkan indikasi
dapat dilakukan intubasi dan penggunaan ventilator dengan pemberian
PEEP. Dalam monitoring pasca operasi dengan pengelolaan nyeri
menggunakan epidural kateter obat naropin 0,25 % sebanyak 10 cc dan
adjuvant morphin 2 mg dapat memberikan rasa nyaman pada pasien
selama 12 jam.
KESIMPULAN

Preeklamsia adalah suatu sindroma yang berkembang dan


dicetuskan oleh kehamilan berupa : hipertensi, proteinuri, dan edema
setelah kehamilan lebih 20 minggu. Preeklamsia dapat berkembang
manjadi eklamsia. Insiden preekalmsi - eklamsi di Inggris dan Amerika
Serikat adalah 4 - 5 per 10.000 kehamilan dan merupakan 10%
penyebab kematian maternal.1,3,4
Anestesi neuroaxial telah memperoleh hasil terbesar pada
anestesi obstetrik. Studi besar populasi pada Britania Raya dan United
States telah menunjukkan bahwa anestesi regional dihubungkan dengan
berkurangnya morbiditas dan mortalitas maternal dibandingkan dengan
anestesi umum.
Pemilihan teknik anestesi yang tepat pada kondisi yang tepat
dapat mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas pasien, serta dapat
meberikan rasa kenyamanan pada pasien pasca operasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Obstetric Anesthesia.
In : Clinical anesthesiology 4rd ed. New York : Lange Medical
Books/McGraw-Hill Medical Publishing Four Edition, 2006 : 890 – 921.
2. Leksana E. Obstetri Anestesi. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif
RSUP dr Kariadi Semarang/FK UNDIP. Semarang, 2005
3. Stoelting RK, Dierdoff SF. Pericardial diseases. In : Anesthesia and co-
existing diseases. 3rd ed. Indiana : Churchill Livingstone Inc, 1993 : 107
–12.
4. Sibai BM. Diagnosis, prevention, and management of eclampsia.
Obstetrics and Gynecology 2005;105: 402-10.

5. Kleinman W, Mikhail M. Spinal, Epidural & Caudal. In : Morgan GE,


Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical anesthesiology 4 rd ed. New
York : Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing Four
Edition, 2006 : 289 – 323.

6. Marwoto. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Preeklampsia Berat-


Eklampsia Dan Sindroma Hellp. Bagian / SMF Anestesiologi FK Undip / RS
Dr. Kariadi Semarang.

7. Miller RD, Anesthesia, Fifth Edition, Churchill Livingstone, Inc. 2000.

8. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Pain Management. In :
Clinical anesthesiology 4rd ed. New York : Lange Medical Books/McGraw-
Hill Medical Publishing Four Edition, 2006 : 890 – 921.
9. Valdivieso R. Chronic Pain Management. In : Duke J. Anesthesia
Secrets. Third Edition Mosby Elseiver, Philadelpia, 2006 : 524-529

10. Noorily S. Preeclamsia and Eclamsia. In : Dillman, Noorily, Bready.


Decision Making in Anesthesiology. 4th Edition Mosby Elseiver, Philadelpia
2007 : 397-399

Vous aimerez peut-être aussi