Vous êtes sur la page 1sur 12

Kronologi sengketa

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika
dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara
ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas
wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam
keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak
Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia
karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia
sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa
dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki
sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.[1] [2] [3]Pada tahun 1969
pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta
nasionalnya[4].

Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC
(Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di
pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi
ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota
ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa
dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah
dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan
Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun
1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan
pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk
mencabut klaim atas kedua pulau. [5]

Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi
ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam
kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto
akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh
Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final
and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani
persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997
dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19
November 1997. [4], sementara pihak mengkaitkan dengan kesehatan Presiden
Soeharto [6] dengan akan dipergunakan fasilitas kesehatan di Malaysia [7]

[sunting]
Keputusan Mahkamah Internasional

Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[8] [9]
kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang
kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan
Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16
hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim
itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan
Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena
berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari
perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah
Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan
ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur
penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu,
kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta
penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan
tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan
Indonesia di selat Makassar. [10][11] [12]

Konflik Ambalat: Warga Sebatik Diberi Latihan Menembak

Senin, 01 Juni 2009 | 19:04 WIB


TEMPO Interaktif, Palu: Warga Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan
Timur yang berbatasan dengan Malaysia, Selasa (2/6), dijadwalkan akan diberi
latihan menembak. Latihan menembak ini di bawah bimbingan Batalyon Marinir
yang disiagakan di daerah perbatasan.

Latihan menembak ini selain diikuti warga setempat, juga akan diikuti tokoh
masyarakat dan tokoh agama di Sebatik. Selain untuk meningkatkan kemampuan
menembak, kegiatan ini juga ditujukan untuk meningkatkan hubungan antara
personil Marinir dan warga setempat.

Ketua Pengurus Alkhairaat Cabang Sebatik, Suniman Latasi saat dikonfirmasi via
telepon, mengakui akan mengikuti latihan menembak ini. Dia mengaku, meski
situasi dan kondisi di sekitar perbatasan aman, namun warga setempat tetap
bersiaga dengan kemungkinan pecahnya konflik bersejata di perbatasan. “Kita
selalu waspada akan terjadinya perang. Namun kita berdoa agar perang tak terjadi
dan kita terhindar dari segala musibah,” kata Kepala Sekolah Ibtidayah Alkhairaat
ini kepada Media Alkhairaat, Senin (1/6)
Suniman mengaku, sangat senang dengan tindakan personil Marinir TNI-AL yang
mampu memberikan ketenangan kepada warga setempat melalui aktifitas-aktifitas
sosial kemasyarakatan. “Mereka selalu melakukan komunikasi dan memberikan
pemahaman dan tata cara mengantisipasi perang kepada masyarakat,” jelas
Suniman.

DARLIS

Subject: MEWASPADAI DI BALIK KONFLIK AMBALAt

MEWASPADAI DI BALIK KONFLIK AMBALAT


Seperti telah ramai diberitakan, saat ini tengah terjadi konflik sengit antara

Indonesia dan Malaysia memperebutkan blok Ambalat dan East Ambalat di Laut

Sulawesi. Konflik ini terjadi menyusul klaim Malaysia atas wilayah itu.

Malaysia melalui perusahaan migasnya, Petronas, bahkan pada 16 Februari lalu

telah memberikan konsesi blok kaya migas itu kepada Shell (perusahaan patungan

Inggeris-Belanda). Nama lengkapnya, The Royal Dutch/ Shell Group. Menurut data

Ditjen Migas Departemen energi dan Sumber Daya Mineral, kawasan ini memang

mempunyai kandungan minyak yang sangat besar. Diperkirakan mencapai 700 juta

hingga satu miliar barel, sementara kandungan gasnya diperkirakan lebih dari 40

triliun kaki kubik (TCF). Klaim itu tentu ditolak mentah-mentah oleh pemerintah

Indonesia yang merasa lebih dulu menguasai wilayah itu, apalagi sebelumnya

Indonesia juga telah memberikan konsesi pengelolaan migas blok Ambalat kepada

perusahaan Italia, ENI, serta Blok East Ambalat bagi perusahaan

Amerika Serikat (AS), Unocal.

Konflik itu dikhawatirkan makin meruncing karena kedua belah pihak kini telah

mengerahkan kekuatan angkatan bersenjatanya di kawasan sengketa. Bila tidak

disikapi secara hati-hati, bukan tidak mungkin akan timbul perang terbuka

diantara dua negeri muslim bertetangga.

Mewaspadai Konteks Global


Dalam konflik ini, hampir tidak ada pihak yang berupaya melihat bahwa ada

konspirasi yang berupaya membenturkan Indonesia dan Malaysia dalam konflik

abadi dan membuat negara-negara imperialis dapat melestarikan hegemoni dan

penjajahannya, baik secara langsung maupun lewat Singapura. Negara kecil ini

hanya kuat bila Indonesia dan Malaysia lemah akibat terus menerus berkelahi.

Situasinya mirip dengan Timur Tengah, dimana antarnegeri muslim terus

bertengkar memperebutkan wilayah dan daerah kaya migas, seperti antara Iran

dengan Irak, Irak dengan Kuwait, antar beberapa negara Teluk, Suriah dengan

Iran dan Lebanon, dan sebagainya. Memang hanya para konspirator yang akan

untung besar, terlepas dari apakah Indonesia atau Malaysia yang mendapatkan hak

atas kontrak bagi hasil (production sharing contract).

Indikasi adanya konspirasi itu bica dibaca di koran terbitan Amerika Serikat,

Los Angeles Times, edisi 4 Maret 2005, yang juga mengutip Wall Street Journal

edisi sehari sebelumnya. Dikabarkan Chevron-Texaco, raksasa migas terbesar

kedua di AS, sedang melirik Unocal (Union Oil Company of California). Ini kabar

lama, namun jadi kian nyaring tahun ini karena laba para raksasa migas

menggunung akibat melonjaknya harga minyak, sementara mereka mau


menambah

cadangan minyak dan gasnya. Pada Januari 2005 raksasa migas RRC, China
National

Offshore Oil Corporation (CNOOC), serta Royal Dutch/ Shell Group mendekati

Unocal. Belum jelas siapa yang akan sukses mengakuisisi perusahaan migas

terbesar kedelapan AS itu.

Chevron-Texaco adalah pemilik perusahaan tambang minyak terbesar di Indonesia,

PT Caltex Pasific Indonesia, juga beberapa perusahaan yang berafiliasi dengan

Caltex, baik di Indonesia, Singapura maupun negara-negara lain di Asia Pasifik


dan AS. Konsesi Chevron-Texaco (Caltex) diperkirakan melebihi 70 persen dari

total produksi minyak Indonesia. Salah satu konsekuensinya, pemerintah,

parlemen, KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), pers dan ulama perlu kian

membuka mata mereka terhadap terjadinya monopoli dan oligopoli dalam

penambangan minyak, jika Unocal jadi dibeli pemilik Caltex. Ironisnya, produksi

Pertamina tidak sampai sepuluh persen total produksi nasional. Adapun CNOOC,

sebagai pemilik saham Maxus diberitakan dalam pencemaran Teluk Jakarta dan

kasus-kasus penyelewengan kontrak bagi hasil di penambangan minyak lepas


pantai

Jakarta.

Jadi, di balik pengerahan pasukan militer Indonesia dan Malaysia, dan di balik

perang diplomasi pemerintah Jakarta dan Kuala Lumpur, ada fakta Chevron-Texaco

versus Shell. Sebenarnya, para raksasa migas AS -- tidak hanya Chevron-Texaco

-- sudah lama menghadapi perusahaan Inggris-Belanda serta perusahaan Eropa

lain. Ini terlihat dari sejarah jatuhnya tambang-tambang migas di Indonesia

kepada berbagai perusahaan AS, baik di era penjajahan Belanda maupun sesudah

mereka mendepak Belanda di era pemerintahan Soekarno, seperti saat perebutan

Irian Barat dimana AS mendapat hadiah tambang emas Freeport.

Ketika ada peristiwa PRRI dan Permesta, tambang minyak Chevron dan Texaco di

Riau salah satu areal konsesi minyak mereka tidak diganggu oleh pemerintah,

TNI, dan gerakan insurgensi. George Aditjondro (1999) dalam buku Tangan-tangan

Berlumuran Minyak menyebut tahun 1957 Shell mulai didepak perusahaan AS. Di

Malaysia Shell berkuasa sesuai sejarah imperialisme Inggris dan hadiah

kemerdekaan Malaysia. Namun, itu hanya duel semu. Situasinya mirip dengan hadis

Nabi Muhammad SAW bahwa musuh-musuh Islam akan memperebutkan kita


bagaikan

orang-orang berebut hidangan di atas meja. Mereka mungkin bertengkar, tapi bisa
juga berdamai bila makanan dibagikan kepada semua pihak secara proporsional.

Kesemuan itu juga terjadi saat terlihat ada kompetisi antarperusahaan migas AS.

Membangun Kesadaran

Sesungguhnya, pemilik perusahaan-perusahaan minyak dan gas itu adalah

orang-orang yang memiliki tujuan hidup, ideologi, dan visi-misi yang sama,

terutama bila dikaitkan dengan ambisi Yahudi menguasai dunia serta

menghancurkan dan mencegah Islam kuat kembali. Sebagian saham Shell dipegang

keluarga Rothschild, pendiri Bank of England, donatur Freemasonry dan gerakan

penumbangan Khilafah Islam yang saat itu berpusat di Istambul, Turki. Mereka

pula penyebab Palestina dicaplok Inggris yang belakangan diserahkan kepada

Israel. Sementara itu, perusahaan-perusahaan migas AS, seperti Exxon dan Mobil

Oil (belakangan merger menjadi Exxon-Mobil), Chevron dan Texaco (belakangan

Chevron mengakusisi Texaco), dan sebagainya, dikuasai keluarga dan turunan John

D Rockefeller. Kini, keluarga mereka memimpin pencegahan berdirinya kembali

Khilafah Islam, institusi pemerintahan berbasis Sunnah Nabi, yang dulu

ditumbangkan kapitalis Yahudi Inggris, Rothschild.

Adapun Mustafa Kemal Attaturk hanya aktor lapangan. Kesamaan latar


belakang dan

ideologi itu yang memudahkan terbentuknya BP, gabungan perusahaan asal


Inggris,

British Petroleum, dengan perusahaan-perusahaan AS, Arco (Atlantic Richfield

Company) dan Amoco. Apalagi, sejak dulu ada poros Anglo-Amerika (Inggris-AS)

yang didasari kesamaan agama (kristen Protestan), kesamaan ras (Anglo-Saxon)

dan kesamaan kepentingan dalam aspek gold (kekayaan ekonomi, termasuk


tambang

migas dan emas), gospel (penyebaran agama dan nilai-nilai kristen), serta glory

(penguasaan dunia dan pencegahan berdirinya kembali Daulah Islam). Persaingan

Chevron-Texaco versus Shell juga sama tidak jujurnya dengan persaingan antara

AS dan Eropa dalam menghadapi persoalan Irak-Iran, serta reaktor nuklir Iran.

Dalam perang Iran-Irak, Iran didukung Uni Soviet dan beberapa negara Eropa,
sementara AS mendukung agen intelijennya, Saddam Hussein. Posisi berbeda

diambil dalam penyerangan Irak tahun 2003. Begitupun dengan kasus

Iran.

Dapat pula dinyatakan bila Indonesia menyerahkan konsesi Blok Ambalat kepada

ENI (dimiliki Italia), maka pemerintah Italia adalah pendukung kuat AS dalam

memerangi umat Islam di Irak, Afghanistan dan sebagainya. Penyerahan Blok East

Ambalat kepada Unocal (AS) juga sama: memodali penjajah memerangi kita dan

saudara kita. Begitu pula jika Petronas (Malaysia) menyerahkannya kepada Shell:

memodali Inggris dan Belanda menguasai kita. AS, Inggris, Belanda dan sekutu

protestan mereka sama mendukung Israel. Saat AS mengembargo TNI, Inggris

mengikutinya. Bahkan, mereka bekerja sama mengoperasikan satelit mata-mata

Echelon yang bisa menyadap semua alat telekomunikasi.

Berbagai kesamaan itu yang memungkinkan Petronas bekerja sama dengan


perusahaan

AS, Exxon-Mobil dan Chevron-Texaco, menambang minyak dan memasang pipa di


Chad

dan Kamerun, Afrika yang diresmikan tanggal 29 Juli 2003 (lihat arsip berita di

situs Petronas). Konflik hanya memperbesar keuntungan dan kekuasaan Barat.

Hampir semua senjata Indonesia buatan AS, sementara Malaysia didukung Inggris.

Akan ada alasan peningkatan belanja militer yang ujung-ujungnya menggemukkan

industri militer AS dan Inggris.

Padahal, AS sudah diuntungkan keputusan Pengadilan AS yang mewajibkan


Indonesia

(Pertamina) membayar 305 juta dolar kepada Karaha Bodas Company untuk suatu

klaim yang tidak ada wujudnya, tidak pernah dikerjakannya.

Perusahaan-perusahaan minyak AS dan Eropa kian untung dengan kenaikan harga


BBM

karena sebentar lagi mereka dibolehkan membuka SPBU di sini. Mereka


menghendaki

harga BBM Indonesia tidak berbeda dengan harga internasional agar laba mereka
tidak berkurang karena selisih kurs.

Sebagai renungan, hingga akhir 2004 Chevron-Texaco dilaporkan memiliki


cadangan

minyak sebanyak 11,25 miliar barrel. Bayangkan pula, ketika pendapatannya

melonjak 28 persen dari 121,3 miliar dolar AS tahun 2003 menjadi 155,3 miliar

dolarAS tahun lalu, maka laba bersih mereka naik 85 persen dari 7,2 miliar

dolar AS tahun 2003 menjadi 13,3 miliar dolar (Los Angeles Times, ibid). Adapun

laba Unocal naik 88 persen dari 643 juta dolar AS tahun 2003 menjadi 1,21

miliar dolar AS tahun 2004. Kini, semua angka itu akan terus melambung karena

kenaikan harga BBM domestik, reduksi pajak bagi mereka, pemberian konsesi

tambang bernilai ribuan triliun rupiah, dan rakyat Indonesia, Malaysia dan

lain-lain tetap saja tidak menjadi tuan di rumahnya sendiri. RI dan Malaysia

harus sadar bahwa banyak pihak menghendaki mereka tetap berkelahi setelah

sebelumnya gagal meraih keluhuran kemanusiaan dan persaudaraan dalam


persoalan

TKI. Wajar, berdiplomasi memakai alat pertahanan (gunboat diplomacy).

Mencari Solusi

Dalam menyikapi konflik ini, yang pertama kali harus diingat adalah bahwa

Malaysia dan Indonesia adalah sama-sama negeri Islam dengan penduduk


mayoritas

muslim. Sebagai sesama muslim, keduanya tentu adalah bersaudara, meski hidup

dalam wilayah berbeda. Persaudaraan Islam tidaklah mengenal batas teritorial.

Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu


damaikanlah (Q.S.

al-Hujurat: 10)

Di masa kejayaan Islam, umat Islam di seluruh dunia hidup dalam naungan daulah

khilafah. Tapi pada tahun 1924, payung dunia Islam itu runtuh dengan hancurnya

Khilafah Utsmani yang berpusat di Turki. Setelah itu, umat yang dulu bersatu

terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara, termasuk di antaranya Indonesia

dan Malaysia dengan beragam konflik yang mewarnai, diantaranya perebutan


wilayah sebagaimana kini tengah terjadi. Dari sini bisa ditarik kesimpulan,

bahwa sesungguhnya akar persoalan di balik krisis Ambalat bukanlah masalah

perbatasan, melainkan karena adanya doktrin nation state yang melahirkan negara

bangsa. Doktrin ini pula, bersama dengan paham nasionalisme, yang digunakan

oleh penjajah untuk mengerat-ngerat negeri-negeri muslim dan mempertahankan

perpecahan di seluruh dunia Islam.

Jika konflik ini tidak dapat diselesaikan secara arif dan rasional, akan dengan

mudah memicu perang terbuka antara Malaysia dengan Indonesia, sebagaimana


yang

dituntut oleh sebagian kalangan yang akhir-akhir ini kian nyaring terdengar di

Indonesia. Bila itu benar-benar terjadi, kedua negara pasti akan mengalami

kerugian besar. Sementara, yang diuntungkan justru pihak lain. Mengapa?

Pertama, perang pasti akan menguras sumberdaya kedua negara (dana, manusia,

waktu dan tenaga). Sementara, secara ekonomi, karena konsesi eksploitasi migas

telah diberikan oleh pemerintah Indonesia dan Malaysia kepada perusahaan minyak

asing, maka siapa pun yang kelak akan menguasai blok itu, perusahaan dan negara

tempat perusahaan itu berasal itulah yang diuntungkan. Kedua, secara politik,

jika masing-masing pihak bersikukuh dengan klaimnya, maka bisa jadi kawasan

tersebut akan diinternasionalisasi oleh badan dunia, sebagaimana yang pernah

hendak dilakukan terhadap al-Quds. Jika demikian, maka baik

Indonesia maupun Malaysia akan sama-sama rugi. Sementara, yang akan

diuntungkan lagi-lagi tentu negara-negara yang mempunyai pengaruh paling kuat

di badan-badan dunia, baik di Mahkamah Internasional, PBB, maupun yang lain.

Ketiga, dari aspek pertahanan dan keamanan, jika konflik bersenjata antara

Indonesia dan Malaysia itu sampai pecah, pasti akan menjadi justifikasi bagi

pihak asing, khususnya negara-negara penjajah tadi agar bisa melakukan

intervensi di kawasan tersebut. Maka persoalan akan menjadi semakin rumit, dan

bisa dipastikan konflik tersebut akan berlarut-larut. Ini seperti yang dialami

oleh Suriah dan Lebanon, atau India dan Pakistan.


Oleh karena itu, penyelesaikan konflik Ambalat harus dikembalikan kepada akar

masalah, yakni karena hilangnya persatuan dan kesatuan umat Islam di bawah

naungan daulah khilafah. Dan dari melihat duduk persoalan yang sebenarnya

sebagaimana dijelaskan di atas, krisis Ambalat tersebut semestinya harus

diselesaikan dengan cara damai, bukan melalui konfrontasi, apalagi perang yang

akan merusak persaudaraan Islam. Maka, penyelesaian melalui jalur diplomasi

inilah yang paling baik, yakni dengan cara mengembalikan penguasaan wilayah itu

kepada pihak pertama yang lebih dulu menguasai wilayah itu, yaitu Indonesia.

Prinsip ini ditegaskan Rasulullah saw dalam hadits:

Mina adalah hak bagi siapa saja yang terlebih dahulu sampai. (H.R. Hakim, Ibn

Huzaimah, Ibn Majah, at-Tirmidzi, dan al-Baihaqi)

Apalagi berdasar bukti yang ada sesuai dengan hukum kelautan, secara

historis wilayah Ambalat sebelumnya merupakan bagian dari wilayah kesultanan

Balungan, yang kini menjadi salah satu kabupaten di Kaltim. Dengan demikian,

Indonesialah yang lebih berhak terhadap wilayah tersebut. Artinya, pemerintah

Indonesia harus bisa membuktikan kepada pemerintah Malaysia, bahwa


Indonesialah

yang lebih berhak atas wilayah tersebut, baik dari aspek kesejarahan maupun

dokumen hukum kelautan. Sementara pihak Malaysia semestinya berbesar hati,

bahwa klaim mereka atas blok Ambalat itu sama sekali tidak didukung oleh bukti

yang kuat, termasuk bukti sejarah. Sebagai sesama negeri muslim, pemerintah

kedua negara harus menyadari bahwa Islam sama sekali melarang konfrontasi,

apalagi perang terbuka. Karena itu, segala bentuk konfrontasi harus

dihindari.

Meski demikian, semestinya pemerintah Indonesia tidak memberikan konsesi

pengelolaan blok kaya migas itu kepada perusahaan asing dan swasta. Dalam

pandangan syariah, migas merupakan milik rakyat, bukan milik negara. Karenanya,

negara tidak berhak memberikan konsesi apapun kepada pihak swasta. Maka,

tindakan pemerintah Indonesia memberikan konsesi eksploitasa migas blok


Ambalat kepada ENI dan Unocal, atau tindakan pemerintah Malaysia memberikan

konsesi kepada Shell melanggar prinsip kepemilikan rakyat. Apalagi

kenyataannya, perusahaan yang mendapatkan konsesi itu adalah perusahaan yang

notabene berasal dari Inggris dan Amerika yang dikenal sebagai negara penjajah

modern.

Khatimah

Akhirnya, persoalan ini semakin menguatkan keyakinan kita, bahwa akar

masalahnya adalah karena negeri-negeri muslim yang semula bersatu di bawah

naungan bendera Lailaha Illa-Llah Muhammadurrasulullah itu kini telah terpecah

belah dengan egonya masing-masing. Diyakini bahwa persoalan semacam ini akan

terus berlangsung hingga dunia Islam bersatu kembali di bawah naungan daulah

Khilafah. Oleh karena itu, keberadaan daulah khilafah bukan saja wajib, tapi

juga perlu untuk menjaga persatuan dan kesatuan negeri-negeri kaum muslim. Jika

tidak, umat Islam akan terus-menerus disibukkan dengan riak-riak seperti ini

yang membuatnya semakin lemah dan semakin lemah. Sampai kapan?

Wallahu a'lam.

Vous aimerez peut-être aussi