Vous êtes sur la page 1sur 10

AKALASIA

A. Gambaran Umum Penyakit


Akalasia termasuk kasus langka dimana terjadi kelainan pada otot esofagus. Akalasia sendiri berarti kegagalan
untuk berelaksasi akibat ketidakmampuan sfingter distal esofagus (cincin otot antara distal esofagus dan lambung)
untuk membuka dan membiarkan makanan masuk kedalam lambung. Akibatnya pasien akalasia mengalami
kesulitan menelan.02

Gambar 1. Lokasi terjadinya akalasia


Sir Thomas Willis membuat laporan pertama mengenai akalasia pada tahun 1674. Von Mikulicz pada tahun 1882
dan Einhorn pada tahun 1888 menghipotesiskan bahwa penyakit tersebut sebagai akibat dari ketidakmampuan
dalam membuka kardia atau cardiospasm. Lebih dari tiga abad, akalasia menjadi model penting untuk dimengerti
mengenai patofisiologi dan terapi kelainan motilitas yang berasal dari kelainan sistem saraf enterik. Etiologi
sekunder spesifik dari akalasia memberikan pengertian mengenai mekanisme yang mungkin terhadap
neurodegenerasi yang menjadi karakteristik kelainan ini.03
B. Epidemiologi
Akalasia terjadi dengan insiden 1:100.000 pada wanita ataupun pria. Kasus ini terjadi pada semua tingkatan umur
dengan peningkatan angka kejadian dalam tujuh dekade belakangan ini. Pada kebanyakan kasus, akalasia
didiagnosis pada 5% pasien yang menjalani manometri. Akalasia biasanya terjadi pada pasien dengan usia antara
25-60 tahun tapi biasanya terjadi pada berbagai tingkatan usia dan kurang dari 5% terjadi pada anak-anak.03
C. Fisiologi Esofagus
Menurut fungsinya, esofagus dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu sfingter esofagus bagian proksimal, korpus
esofagus, dan sfingter esofagus distal. Sfingter esofagus proksimal adalah bagian yang selalu tertutup untuk
mencegah terjadinya refluks makanan dari korpus esofagus ke tenggorokan. Korpus esofagus adalah bagian yang
berupa tabung otot yang panjang, kira-kira 20 cm. Sfingter esofagus distal adalah bagian yang mencegah refluks
makanan dan asam lambung dari gaster ke korpus esofagus. Ketika sfingter proksimal relaksasi saat menelan
sehingga makanan dan saliva dapat masuk melewati kerongkongan menuju esofagus kemudian sfingter beserta
otot esofagus atas kembali berkontraksi, meremas makanan dengan gerakan peristaltik. Akibat kontraksi dari otot-
otot esofagus tersebut makanan semakin terdorong ke arah distal. Setelah melewati korpus esofagus, gelombang
peristaltik sampai di sfingter esofagus bawah sehingga spinter terbuka dan makanan masuk kedalam lambung.03
D. Patofisiologi
a. Pada penderita aklasia pada terjadi kehilangan sel ganglionik mienterik dimana ini disebabkan dengan infiltrat
sel radang limfosit dan eosinofil, dan pada kasus parah (inflamasi komplit pada mienterik) mienterik dapat
berganti menjadi kolagen. Proses inflamasi pada neuron mienterik esopagus ini dapat mengakibatkan vigorous
(tahap awal akalasia) dan aklasia klasik, tetapi pada vigorous aklasia proses inflamasi mienterik dengan
ganglionitis dan tidak terjadi kehilangan sel ganglion atau berubah menjadi neural fibrosis. Pada tahapan ini
menunjukkan karakteristik aklasia yaitu aperistaltik esopagus, peningkatan tekanan resting tone LES, dan LES
tidak dapat relaksasi. Jika vigorous aklasia ini berkembang secara progresif akan menjadi aklasia klasik
dengan progresif destruksi neuron inhibitory dan neuron eksitatori dan terjadi neural fibrosis.
b. Histopatologi
Lebih dari 75 tahun, beberapa penelitian patologi menunjukkan tanda penyusutan neuron dari pleksus
mesentrik pada akalasia. Ilustrasi mengenai hal tersebut ditunjukkan pada kelompok Goldblum’s yang secara
lengkap kehilangan sel ganglion sebanyak 64% dan tanda pengurangan sebanyak 36% dari esofagus pada 42
pasien dengan akalasia yang menjalani esofagetomi. Pengamatan yang sama juga digunakan sebagai tanda
dimana infiltrasi inflamatori predominan sel T pada pleksus mesentrik dengan fibrosis memiliki hubungan
terbalik dengan jumlah ganglia yang terlindungi. Penelitian tertentu melakukan biopsi otot dari pasien akalasia
yang ditangani pada stadium dini penyakit. Pada penelitian yang dilakukan secara utuh ini, ditemukan
pengurangan jumlah dari sel ganglion terlebih dahulu pada pasien akalasia memiliki durasi symptom yang
pendek dan esofagus tidak terdilatasi, aktivitas kontraktil esofagus yang masih terlindungi. Diperkirakan
inflamasi mienterik terjadi pada awal perjalanan akalasia dan menyebabkan aganglionosis dan fibrosis.03

Gambar 2. Histopatologi berbagai derajat inflamasi myenterik dan aganglionosis.03


Gambar a menunjukkan peksus mienterik yang masih normal, dapat terlihat sel gangglion multipel dan sedikit
infiltasi limfositik. Sedangkan gambar b menunjukkan inflamasi mienterik sedang. Ditemukan inflamasi
limfositi sedang dan sel ganglion. Gambar c menunjukkan inflamasi mienterik sedang dengan infiltrasi
limfositik dan sel ganglion tidak terlihat. Gambar d merupakan inflamasi mienterik parah dengan limfosit
padat berkerumun dalam pleksus mienterik dan sel ganglion pun tidak terlihat.
Pada pemeriksaan histopatologi terhadap otot polos esofagus pasien dengan akalasia dapat ditemukan
keabnormalan secara nyata. Goldblum menggambarkan hipertrofi sama seperti degenerasi muskularis propria
dan muskularis mukosa pada 42 kasus yang menjalani reseksi. Dengan menggunakan frekuesi tinggi
ultrasonografi, Mitta et al menunjukkan tanda peningkatan penebalan dinding otot sama seperti pada area
cross-sectional pada pasien akalasia. Penigkatan massa otot muncul pada pasien dengan dan ranpa dilatasi
esofagus. Mekanisme yang mungkin untuk hipertropi otot masih belum jelas. Obstruksi aliran esofagus
ditunjukkan sebagai hasil hipertropi otot sekunder pada hewan percobaan. Sebagai tambahan, defisiensi nitric
oxide yang merupakan karakteristik akalasia seharusnya juga resposnsibel. Nitric oxide menghambat efek
proliferasi otot polos dan hipertropi otot polos vieseral ditunjukkan pada sensasi notric oxide sintase pada
tikus.
Menariknya, 52% dari 42 spesimen dengan reseksi esofagus pada akalasia memiliki eosinofilia pada
muskularis proprianya. Tottrup et al menemukan peningkatan ekspresi protein kationik eosinofili pada
akalasia, hal ini menunjukkan peran patogenik yang mungkin untuk aktivasi eosinofil pada akalasia. Meskipun
eosinofil tidak muncul pada esofagus spesimen kontrol, tidak ditemukan hubungan antara peningkatan jumlah
esofagitis eosinofilik dengan akalasia. Esofagus eosinofilik dikarakterisasi dengan ditemukannya infiltrasi
eosinofil pada mukosa skuamus meskipun kasus infiltrasi pada muskularis propria telah dilaporkan kasusnya.03
c. Integritas Persarafan Kolinergik
Sejumlah penelitian fisiologi membuka persarafan kolinergik utuh pada esofagus penderita akalasia. Penelitian
in vitro oleh Trounce et al pada tahun 1975 menunjukkan kontraksi otot lurik dari pasien akalasia pada
kombinasi asetilkolin inhibitor, eserine, dan ganglionik agonis nikotin. Aktivitas asetikolinesterase utuh
memelihara sel gangglion pada segmen bawah dari esofagus pasien akalasia. Asetilkolin inhibitor edrofonium
klorida sebelumnya menunjukkan peningkatan signifikan pada tekanan LES pada pasien akalasia. Penemuan
ini menunjukkan beberapa postganglionik, kolinergik ujung saraf kembali utuh. Fakta lainnya ditunjukkan
pada penelitian dengan menggunakan agen kolinernik atropin pada pasien akalasia. Penelitian ini
menunjukkan 30%-60% penurunan tekanan LES dengan atropin pada pasien akalasia. Penurunan yang mirip
juga ditemukan pada grup kontrol pada volunter yang sehat. Sebagai catatan, bagaimanapun juga kenyataan
tekanan residual setelah atropin lebih tinggi secara signifikan pada pasien akalasia (17 mmHg) daripada subjek
normal (5 mmHg).03
d. Kehilangan Persarafan Inhibitor
Pemeliharaan eksitasori, persarafan kolinergik pada esofagus melibatkan kehilangnan neuronal yang
merupakan karakteristik dari akalasia yang mungkin selektif untuk saraf inhibitor. Dodds et al menyediakan
fakta secara tidak langsung untuk hal ini melalui penggunaan kolesitokinin, dimana hal tersebut memiliki efek
eksitasori secara langsung pada otot polos sama seperti efek inhibitor tidak langsung melaui neuron inhibisi
postganglionik. Pada pasien akalasia, kolesistokinin mempengaruhi kontraksi LES berlawanan dengan pada
relaksasi LES pada subjek kontrol, dengan demikian menyediakan fakta yang mengganggu nervus inhibitor
postganglionik. Beberapa penelitian lainnya datang dari penelitian invitro untuk melihat respon persiapan
spesimen LES pada pasien akalasia. Otot lurik sirkular pada LES subjek normal secara karakteristik akan
berelaksasi sebagai respon terhadap stimulus elektrik melalui aktivasi nitric oxide yang mengandung neuron
inhibitori. Secara berlawanan, garis LES pada pasien akalasia akan ditemukan berkontraksi sebagai respon
terhadap stimulasi medan elektrik. Penemuan tesebut dapat dijelaskan dengan ketidakhadiran neuron inhibitori
dan keberadaan neuron eksitasori.
Fakta diperlukan untuk mendukung konsep kehilangan neuronal inhibitori dari penelitian immunohistokimia
dan fisiologi. Penelitian awal menyatakan defek adrenergik, persarafan inhibitor esofagus. Vasoactive
Intestinal Polypeptide (VIP) dianggap sebagai kandidat neurotransmiter pada esofagus dan penurunan jumlah
neuron yang mengandung VIP ditemukan pada pasien akalasia. Sejumlah penelitian juga menunjukkan
ketidakadaan nitric oxide sintease yang terkandung dalam neuron spesimen LES pada pasien akalasia.
Selanjutnya penelitian eksperimental menunjukkan blokade selektif pada lengan inhibitor persaratan enterik
esofagus dihasilkan oleh gambaran manometri yang mirip dengan akalasia. Penelitian diantara subjek hewan
dan manusia menunjukkan inhibisi nitic oxide sintase meningkatkan tonus istirahat pada LES dan mendekati
akhir relaksasi LES. Pada korpus esofagus, inhibisi nitric oxide sintase menghasilkan kehilangan gradien laten
yang bermanifestasi sebagai kontraksi korpus esofagus secara simultan. Pada subjek yang sehat, pemberian
secara intravena, rekombinan hemoglobin dimana inaktivasi nitric oxide menunjukkan menghasilkan kontraksi
korpus esofagus dan gagalnya relaksasi LES. Pola motilitas ini mirip dengan pola motilitas pada vigorus dari
akalasia. Hal tersebut semakin meyakinkan bahwa model akalasia yang menggabungkan antara hilangnya
inhibitor secara selektif dan pemeliharaan fungsi neural enteric kolinergik.
E. Etiopatogenesis
Berdasarkan etiologinya, akalasia dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu akalasia primer dan akalasia sekunder.
Penyebab pasti akalasia primer tidak diketahui. Diduga peranan virus neurotropik yang mengakibatkan lesi pada
nukleus dorsalis vagus di batang otak dan ganglia misenterikus pada esofagus. Selain virus, faktor keturunan juga
turut berpengaruh pada kelainan ini. Sedangkan, akalasia sekunder dapat disebabkan oleh infeksi (contoh:
Penyakit Chagas), tumor intraluminer, obat antikolinergik atau pasca vagotomi, serta keganasan seperti
adenokarsinoma gaster yang meluas ke esofagus, karsinoma paru (sel oat), sarkoma sel retikulum, dan karsinoma
pankreas.03
a. Genetik
Kasus anak-anak dan keluarga yang menderita akalasia sangatlah jarang dan tidak begitu mendukung
predisposisi genetik untuk menjadi akalasia primer. Beberapa kasus yang terjadi pada saudara kandung dengan
akalasia, kebanyakan terlahir dari perkawinan orang tua yang masih sedarah. Kurang dari 10 kasus akalasia
dengan penyebaran secara vertikal terjadi di seluruh dunia dan hanya satu kasus kembar monozigot dengan
akalasia. Sindrom Allgrove’s merupakan penyakit autosomal resesif yang muncul pada anak dengan keadaan
alacrima, adrenalinsufisiensi, retardasi mental, dan neuropati otonom dan perifer. Sebuah penelitian
mempelajari hubungan antara penyakit Hirschsprung’s dan akalasia pada dua anak kembar. Kedua anak
tersebut menderita akalasia setelah lahir dan dilakukan perbaikan melalui cardiomiotomi dan keduanya
didiagnosis dengan penyakit Hirschsprung’s dengan patologi pada rektum menunjukkan tidak adanya sel
ganglion.03
b. Hipotesis Virus
Sejumlah penelitian melibatkan agen virus dalam patogenesis akalasia. Etiologi infeksi masuk akal terjadi
pada distribusi usia yang sama pada kasus insiden akalasia. Selanjutnya, penyakit Chagas’s yang akan dibahas
selanjutnya merupakan contoh patogen infeksius yang dapat menyebabkan akalasia. Catatan persiapan laporan
dimana secara statistik signifikan meningkat pada titer antibodi terhadap virus cacar pada pasien akalasia
dibandingkan dengan kontrol. Meskipun penelitian ini diperkuat, penelitian lain yang menggunakan teknik
hibridisasi DNA menemukan bukti virus varicella-zooster pada tiga dari sembilan spesimen miotomi pada
pasien dengan akalasia tapi tidak pada 20 spesimen kontrol. Pemeriksaan DNA sitomegalovirus dan herpes
simpleks tipe 1 negatif pada akalasia dan kontrol. Keluarga virus herpes terutama yang dijadikan target
penelitian ini memberikan sifat neutropiknya. Selanjutnya prediksi terhadap virus herpes pada epitel skuamus
berlawanan dengan epitel kolumnar membuat hipotesis ini menjadi menarik.03
Seperti jaringan yang terpilih muncul pertanyaan, mengapa akalasia melibatkan hanya pada esofagus.
Penelitian tertentu menggunakan metode yanng lebih maju meliputi teknik reaksi rantai polimerase untuk
menjawab pertanyaan tersebut, bagaimanapun juga penelitian ini gagal mendeteksi kemunculan cacar, herpes,
ataupun virus human papiloma pada spesimen miotomi pada pasien akalasia. Penelitian dengan hasil negatif
ini tidak dapat mengeksklusi kemungkinan spesies virus alternatif atau infeksi virus yang diputuskan dengan
ketidakmunculan dari dorongan patogen virus pada jaringan inang sebagai etiologi akalasia. Mendukung
kemungkinan ini merupakan penelitian yang menunjukkan imunorektivitas sel inflamasi pada pasien akalasia
sebagai respon terhadap antigen virus meskipun pengamat tidak mampu untuk mendeteksi virus pada jaringan
sampel.03
c. Hipotesis Autoimun
Gambaran awal infiltrasi mempengaruhi regio esofagus pada akalasia dapat memastikan spekulasi patogenesis
autoimun. Infiltrasi inflamasi pada pleksus mienterik muncul pada 100% spesimen dari analisis histologi pada
42 spesimen esofagetomi akalasia. Pewarnaan imunohistokimia dikarakteristikkan dengan kemunculan sel
infiltrat seperti sel T positif untuk CD3 dan CD8. Infiltrasi eosinofil secara signifikan ditunjukkan pada
beberapa pasien dengan akalasia. Hubungan antara akalasia dan antigen histokopatabilitas kelas II dapat
diidentifikasi terutama frekuensi genotif yang lebih tinggi pada alel antigen leukosit (HLA)-DQw1,
DQA1*0101, DQA1*103, DQB1*0602, and DQB1*0603 pada pasien akalasia dibandingkan dengan kontrol.
Ekspresi antigen kelas II pada neuron mienterik menjadi target antigen asing.03
Storch et al menunjukkan antibodi terhadap pleksus mienterik pada serum dari 37 dari 58 pasien akalasia dan
hanya 4 dari 54 kontrol sehat. Penelitian ini juga gagal mendeteksi antibodi pada serum pasien Hirschprung’s
disease atau kanker dan hanya 11 pasien ulkus esofagus. Penelitian kedua mendeteksi serum antibodi terhadap
neuron mienterik pada 7 dari 18 pasien akalasia tapi bukan pasien kontrol ataupun pasien reflux. antibodi
pasien yang mengikat neruron pada pleksus enterik dari jaringan esofagus dan intestine pada tikus.
Bagaimanapun juga defek dari akalasia primer cukup spesifik untuk esofagus, sirkulasi antibodi signifikan
pada target bukan hanya pada esofagus tapi pada neuron intestinal pun masih belum jelas. Pada bagian tubuh
yang lain imunostaining positif pada pleksus mienterik esofagus dan ileum pada babi guinea dan tikus
dideteksi sampel serum 23 dari 45 pasien akalasia. Bagaimanapun juga tingkat kemiripan imunostaining
menunjukkan serum delapan dari 16 pasien dengna penyakit refluks gastroesofagus. Ini menggambarkan
bahwa antibodi antineural dideteksi muncul pada fenomena nonspesifik atau sekunder yang tidak memainkan
peran sebagai penyebab patogenesis akalasia.03
d. Hipotesis Neurogeneratif
Neurogenerasi merupakan etiologi ketiga pada akalasia primer. Hilangnya neuron dalam nukleus motorik
vagal bagian dorsal dan perubahan degenerasi serabut saraf vagal ditemukan dalam hipotesis ini. Lesi
eksperimental pada batang otak dan saraf vagus pada hewan coba menghasilkan abnormalitas motilitas
esofagus yang membentuk akalasia. Penemuan peneliti secara pasti untuk spekulasi lokasi keterlibatan primer
dalam akalasia pada nukleus motorik dorsal dan saraf vagus dan dimana abnormalitas mienterik menjadi
sekunder. Penelitian patologi utama, ditemukan abnormalitas predominan yang muncul dalam pleksus
mienterik dengan ditandai penyusutan atau ketiadaan komplit dari sel ganglion seperti infiltrasi inflamasi pada
pleksus mienterik. Inflamasi neural tidak dapat digambarkan pada bagian lain pada sistem saraf otonom atau
pusat pada pasien akalasia yang menjadi tempat primer denervasi. Selanjutnya defek pada persarafan vagal
diperkirakan dapat menyebabkan gejala klinis diluar esofagus termasuk kelainan pada proses pengosongan
lambung, dimana hal ini tidak umum terlihat pada pasien akalasia.

Gambar 3. Patofisiologi akalasia idiopati


Sejumlah penelitian mengenai efek otonom pada fisiologi gaster namun menyediakan hasil yang tidak
konsisten. Abnormalitas yang signifikan pada fungsi esofagus merupakan manifestasi klinis umum pada
pasien dengan transeksi vagal. Sebagai fakta tambahan untuk mendukung hipotesis neurodegeneratif datang
dari gambaran Lewy bodies, inklusi intrasitoplasmik karakteristik ditemukan pada penyakit parkinson, pada
pleksus mienterik dan nukleus motorik dorsal pada pasien akalasia. Itu seperti perubahan neurodegenratif pada
akalasia yang merupakan sekunder untuk destruksi yang dimediasi autoimun atau virus pada ganglia enterik.03
Sejumlah kelainan yang ditemukan dari hasil pemeriksaan manometer dan radiografi dapat menyerupai akalasia
primer. Akalasia sekunder dapat terjadi sebagai bentuk yang terisolasi pada esofagus atau bagian yang mengalami
kelainan motilitas yang mempengaruhi bagian dalam saluran pencernaan. Bentuk sekuder ini penting untuk
dimengerti dalam patofisiologi akalasia.
a. Sindrom Allgrove’s atau Triple A
Allgrove pertama kali melaporkan Triple A atau Sindrom Allgrove pada tahun 1978 ketika ia meneliti dua
pasang saudara dengan akalasia, alakrima, dan insufisiensi adrenal. Penelitian berikutnya memiliki
karakteristik kelainan pada penyakit autosomal resesif dengan tambahan keadaan, meliputi neuropati perifer,
autonomik neuropati, dan retardasi mental. Sebagian besar kasus yang muncul pada anak-anak dengan usia
dibawah 10 tahun dengan morbiditas akibat hipoglikemi dan disfagia. Penelitian patologi menunjukkan
ketiadaan sel ganglion pada esofagus seperti atropi pada kortikal adrenal zona fasikulate dan retikularis, dan
degenerasi kedua aksonal seperti hilangnya serabut saraf perifer. Penelitian melaporkan linkage gen pada
Sindrom Triple A pada kromosom 12q13. Tuliio-pelet et al melaporkan mutasi pada gene novel (AAAS) yang
mengkode protein regulatori yang disebut sebagai ALADIN (untuk kelainan neurologi alakrima-akalasia-
insufisiensi adrenal). Protein ALADIN dipercaya berfungsi dalam perkembangan normal sistem saraf pusat
dan perifer. Protein ALADIN juga terlibat dalam regulasi transpor nukleositoplasmik yang esensial untuk
menjaga dan perkembangan jaringan spesifik yang meliputi pleksus mienterik esofagus. Allgrove’s sindrome
ini seperti penyakit Hirschprung yang muncul sebagai kelainan genetik untuk defek jaringan spesifik pada
sistem saraf enterik.03
b. Neoplasia Endokrine Multipel
Akasia dapat juga terjadi sebagai bagian dari kelaianan motilitas yang mempengaruhi bagian multipel pada
saluran pencernaan. Dismoliti esofagus dan akalasia digambarkan sebagai bagian neoplasia endokrin multipel
(MEN) tipe 2B93 dan Neurofibromatosis Von Rcklinghausen’s. Tidak seperti penemuan patologi terhadap
aganglionosis yang dikarakteristikan dengan akalasia primer dan kebanyakan bentuk akalasia sekunder, kedua
kelainan ini memiliki hiperganglionosis atau displasia neural pada pleksus mienterik saluran pencernaan.
Penelitian genetik molekular menyediakan sebagian besar kemajuan dalam pengertian MEN. Lebih dari 90%
pasien dengan MEN-2 ditemukan terjadinya mutasi pada RET proteo-onkogen. Gen ini bertempat di
kromosom 10q11.2 dan berfungsi mengkode reseptor tirosine konase yang diekspreiskan pada sel crest neural.
medullary thyroid carcinoma, pheochromocytoma, mucosal neuromas, dan gastrointestinal neuronal
dysplasia berkembang sebagai MEN-2 yang dapat dijelaskan dengan bukti bahwa jaringan ini semuanya
diperoleh dari neural crest selama perkembangan bayi. Bentuk herediter lainnya dari akalasia dengan asosiasi
kelainan saluran pencernaan secara umum telah digambarkan dan menunggu penelitian karakterisasi genetik
molekular.03

c. Penyakit Chagas
Penyakit ini merupakan infeksi parasit yang disebabkan oleh Trypanosoma cruzi yang endemi pada daerah
Amerika Tengah dan Selatan dan Meksiko. T. cruzi ditransmisikan dari orang ke orang melalui serangga
tratomina penghisap darah (reduviid) dengan 10%-30% individu yang terinfeksi berkembang menjadi infeksi
kronik yang muncul beberapa tahun ataupun dekade setelah terinfeksi. Meskipun sedikit porsi saluran
pencernaan yang terlibat, esofagus biasanya dipengaruhi, bermanifestasi sebagai akalasia sekunder pada 7%-
10% individu terinfeksi kronik.03
Antibodi langsung target dalam pleksus mienterik digambarkan pada penyakit cagas dan akalasia. Sirkulasi
antibodi imunoglobin G (IgG) menandai reseptor M2-muscarinik asetilkoline yang dideteksi dalam pasien
dengan akalasia sekunder pada penyakit cagas dimana pada frekuensi yang lebih besar ditemukan pada pasien
cagas tanpa akalasia, pasien akalasia idiopati, dan kontrol yang sehat. Penyelidikan menunjukkan efek fungsi
antibodi in vitro yang menunkukkan aktivitas agonis muskarinik pada garis otot esofagus tikus yang terisolasi.
Signifikansi dari abntobodi ini pada presentasi klinis akalasia pada penyakit cagas tidak jelas karena
patogensis masih melibatkan penghancuran neuron mienterik. Secara keseluruhan Dantas et al melaporkan
gangguan yang lebih besar pada jalur kolinergik pada pasien dengan akalasia sekunder pada penyakit cagas
dibandingkan dengan pasien akalasia idiopati dan kontrol yang sehat.03
d. Sindrom Paraneoplastik
Kanker merupakan penyebab penting pada akalasia sekunder. Hal tersebut dapat menhasilkan akalasia dengan
satu dari tiga mekanisme berikut. Pertama dan paling sering melalui obstruksi mekanik langsung pada distal
esofagus. Ini disebut pseudo akalasia dan digambarkan dengan beberapa kanker. Sel neoplastik dapat juga
menyerang submukosa pada LES dan selanjutnya mengganggu neuron mienterik, menghasilkan akalasia
seperti gambaran yang dapat terlewatkan pada pemeriksaan endoskopi. Akhirnya, tumor mengatur dari distal
esofagus yang dapat menyebabkan akalasia melalui sindrom paraneoplastik. Respon autoimun terhadap
antigen neural ekspresi tumor yang dikenal sebagai bukan bagian dari sel tubuh. Aktivasi sel T seperti antibodi
sel plasma secara langsung beraksi pada antigen untuk menghambat pertumbuhan tumor tapi tidak bereaksi
pada porsi sistem saraf diluar blood brain barrier. Anti-Hu (juga dikenal sebagai tipe 1 antibodi nuklear
antineuronal (ANNA-1)) dikenal sebagai protein yang mengekspresikan jaringan kanker seperti pada sistem
saraf pusat, perifer, otonom, dan enterik. Sindrom paraneoplastik biasanya terlihat dengan sel kecil kanker
paru tapi juga dapat digambarkan pada neuroblastoma dan pasien kanker prostat. Manifestasinya berupa
gastroparesis dan pseudo-obstruksi intestinal. Encepalomielitis, neuropati sensori, dan degenerasi serebral juga
sering terjadi. Yang paling penting, manifestasi saluran pencernaan dapat selalu mendahului diagnosis kanker
dan kemunculan respon paraneoplstik mungkin menandakan prognosis yang baik. Kasus aganglionosis
intestinal dan antibodi anti-Hu pada ketidakadaan neoplasma jarang terjadi.03
F. Sign dan Symptom
Bukti yang mendukung fungsi abnormal dari esofagus sangatlah terbatas. Fungsi abnormal lambung meliputi
gangguan akomodasi lambung proksimal, kecepatan pengosongan cairan lambung, dan berkurangnya sekresi asam
lambung sesuai dengan keabnormalitasan persarafan vagus ataupun enterik pada lambung proksimal. Tanda
berkurangnya sel ganglion dan saraf nitric oxide dapat dilihat pada korpus lambung pada pasien akalasia, bahkan
enteric neuropathy dapat menjalar sampai ke esofagus. Bagaimanapun juga, kelainan ini tidak terjadi pada semua
pasien dan beberapa penelitian tidak mennemukan kelainan pada sekresi asam lambung ataupun fungsi vagus.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Csendes et al, kurang dari setengah pasien akalasia mengalami pengurakan
konsentrasi sel ganglion pada bagian pertengahan lambung jika dibandingkan dengan aganglionosis esofagus yang
terjadi lebih dari 90% pasien. Pada penelitian yang sama terhadap 34 pasien akalasia, pengosongan cairan
lambung tidak berbeda secara signifikan dibandingkan terhadap kontrol. Biopsi pada pertengahan jejunum dan
kolon transversal menunjukkan kepadatan neuronal yang mirip dengan kontrol. Secara keseluruhan, kelainan
patologi dan fisiologi pada lambung dapat ditunjukkan pada pasien dengan akalasia namun tidak semuanya
signifikan secara klinis. Gangguan pada kantung empedu, spincter of Oddi, dan motilitas usus halus pernah terjadi
namun tidak umum dan secara keseluruhan tidak signifikan secara klinis.02
a. Gangguan sensasi viseral
Meskipun patofisologi disfungsi motorik telah dipelajari secara luas, namun hanya sedikit mengenai integritas
fungsi sensori esofagus pada akalasia. Persarafan afferen pada esofagus dan tanggapan sensasi sadar bergantung
pada serabut vagal dan spinal yang mengirimkan informasi pada sistem saraf pusat. Degenerasi sistem saraf
pusat, otonom, atau enterik dapat menyebabkan gangguan sensasi viseral pada akalasia. Tanda-tanda tidak
langsung seperti gangguan fungsional muncul dari pengamatan bahwa pasien dengan akalasia adalah kesadaran
yang rendah terhadap tahanan makanan pada esofagus atau kemunculan distensi esofagus. Selanjutnya,
penelitian yang tidak terkontrol menunjukkan pasien akalasia memiliki persepsi yang kurang terhadap kejadian
refluks asam baik sebelum ataupun sesudah pengobatan akalasia mereka.02
Jumlah yang terbatas pada investigasi pemeriksaan sensasi esofagus pada akalasia. Dua penelitian sebelumnya
mengevaluasi sensitivitas viseral dengan menggunakan distensi balon intraesofagus. Kedua penelitian tersebut
menemukan kelainan pada pasien akalasia. Bagaimanapun juga penelitian ini menggunakan fixed-volume, balon
karet. Sebagai hasi l dari teknik ini, sejumlah stimulus tekanan diberikan pada dinding esofagus yang
divariasikan berdasarkan derajat kemunculan dilatasi kedua berdasarkan status penyakit. Metode validaitas
terbatas pada pasien akalasia, dimana dialtasi esofagus biasa ditemukan. Rate et al melaporkan kurangnya
respon sensori esofagus terhadap stimulus elektrik pada penelitian cohort pasien dengna kelainan motilitas
esofagus yang bervariasi termasuk akalasia. Brackbill et al melakukan penyelidikan pada fungsi sensori akalasia
dengan menggunakan barostat yang dapat memelihara stimulus tekanan konstan secara bebas pada diameter
lumen. Penelitian ini menunjukkan perbedaan yang signifikan pada mekanosensitivitas pada pasien akalsia yang
dilaporkan mengalami nyeri, distensi yang dipengaruhi kontrol kesehatan. Pengamatan yang sama dilakukan
untuk menunjukkan penurunan jemosensitivitas pada pasien dengan akalasia menggunakan modifikasi
Bernstain test. Penelitian ini mendukung konsep gangguan sensitivias esofagus pada akalasiatapi tidak
mengidentifiikasikan kerusakan yang terjadi pada sistem saraf pusat, otonom, ataupun enterik. Desensitisasi
sentral menunjukkan kronisitas distensi esofagus dan iritasi kimmia melalui tahanan muatan dalam esofagus.02
b. Nyeri dada
Nyeri dada sering digambarkan sebagai sensasi tercekik atau tertekan pada daerah dada, dan sering sulit
dibedakan dengan nyeri dada pada penyakit jantung iskemik. Adanya gastroesofageal refluks membuktikan
adanya akalasia. Bagaimana pun juga nyeri dada yang menyerupai heart burn sering dialami oleh beberapa
pasien akalasia. Hal tersebut sering dikolerasikan dengan pembentukan asam laktat dari fermentasi sisa-sisa
makanan di lumen esofagus.
Sebagai pembanding pada berkurangnya sensitivitas viseral esofagus, nyeri dada terjadi pada 17%-63% pasien
akalasia. Mekanisme nyeri dada ini tidak jelas dan sepertinya lebih dari satu mekanisme yang terlibat. Usulan
etiologi meliputi kontraksi esofagus kedua atau ketiga, distensi esofagus akibat tahanan makanan, dan iritasi
akibat tahanan obat, makanan, dan pertumbuhan yang berlebih dari bakteri atau jamur. Inflamasi dalam dinding
esofagus dapat juga terlibat. Dalam penelitian prospektif, tidak ditemukan hubungan antara kejadian nyeri dada
dan abnormalitas manometri ataupun radiografi. Pada penelitian yang sama, pasien dengan nyeri dada terjadi
pada usia muda dan memiliki durasi symptom yang pendek dibandingkan terhadap pasien tanpa nyeri,
diperkirakan nyeri esofagus visseral kurang umum dibandingkan dengan neurodegenerasi. Sebagian besar
pasien dengan akalasia memiliki riwayat episode nyeri dada substernal yang hebat dan semakin parah atau
mengalami perubahan perjalanan penyakit. Pengobatan memiliki pengaruh kecil pada nyeri dada, meskipun
dapat meredakan disfagia. Pertentangan antara penelitian retrospektif menemukan nyeri dada pada 44% pasien
dengan akalasia yang menjalani Heller myotomi tapi tidak ditemukan hubungan antara nyeri dada terhadap usia
atau durasi symptom. Sebagai tambahan, nyeri dada pulih pada 84% pasien yang menjalani Heller myotomy.
Etiologi ini menjadi bervariasi terhadap jumlah nyeri dada terhadap variasi dan respon dari terapi.02
c. Disfagia
Symptom umum akalasia adalah kesulitan menelan (disfagia). Pasien biasanya menggambarkan makanan terasa
lengket di dada setelah ditelan. Disfagia terjadi baik pada makanan padat ataupun cair. Terkadang pasien
menggambarkan rasa berat di dada setelah makan. Nyeri dapat menjadi parah dan mirip seperti nyeri dada pada
penyakit jantung. Regurgitasi makanan yang terjebak di esofagus dapat terjadi terutama saat esofagus
berdilatasi. Jika regurgitasi terjadi pada malam hari ketika pasien tidur, makanan dapat masuk ke tenggorokan
dan menyebabkan batuk dan rasa tercekik. Jika makanan masuk ke trakea dan paru maka hal tersebut dapat
menyebabkan peneumonia (penumonia aspirasi). Akibat masalah dalam menelan makanan tersebut, sebagian
besar pasien dengan akalasia mengalami kehilangan berat badan.02
Symptom predominan akalasia adalah disfagia, tapi nyeri dada dan regurgitasi makanan atau material mukus
adalah umum terjadi pada pasien akalasia. Pasien juga mengeluh tidak bisa sendawa dan juga mengalami sedikit
penurunan berat badan. Terkadang pasien juga mengalami aspirasi pneumoni. Disfagia muncul paling awal,
terjadi pada makanan cair atau padat, hal tersebut diperburuk dengan dengan stres emosional dan makan
tergesa-gesa. Disfagia pada cairan merupakan karakteristik yang bermanifestasi awal.
Berbagai macam cara dilakukan untuk meningkatkan tekanan intraesofagus meliputi manuver valsava atau
mengembangkan rongga dada, dapat membantu bolus masuk ke lambung. Regurgitasi terjadi karena retensi
saliva dalam volume yang banyak dan makanan yang masuk ke esofagus. Biasanya ini terjadi ketika pasien
tidur terlentang. Pada regurgitasi jarang diikuti komplikasi aspirasi.
d. Penurunan Berat Badan
Secara umum terjadi penurunan berat badan yang ringan. Jika terjadi penurunan berat badan yang signifikan,
kita harus curiga adanya pseudoakalasia karena karsinoma. Kejadiannya kronis, dengan disfagia yang progresif
serta penurunan berat badan yang terus memburuk. Faktanya, pasien akalasia biasanya mengalami perburukan
gejala yang bertahap selama beberapa tahun sebelum didiagnosis.
Sering kali ditemukan penurunan berat badan pada pasien atau komplikasi pernafasan tapi secara umum tidak
ditemukan abnormalitas pada pemeriksaan fisik pada pasien dengan akalasia. Pasien dengan akalasia sekunder
memiliki kelainan fisik berdasarkan penyakit yang menyertainya.
G. Komplikasi
Komplikasi akalasia meliputi kehilangan berat korpus dan pneumonia aspirasi. Paling sering adalah inflamasi
esofagus, disebut esofagitis yang disebabkan oleh efek iritasi makanan dan cairan yang terkumpul pada esofagus
dalam waktu lama. Dapat juga terjadi ulkus esofagus. Perlu diperhatikan juga resiko kemungkinan terjadinya
kanker esofagus pada pasien akalasia.02
Bukti yang mendukung keabnormalan fungsi gastrointestinal di luar bagian esophagus terbatas. Abnormalitas
fungsi gastric termasuk memburuknya akomodasi bagian proksimal dari gastrik. Pengosongan cepat cairan dan
penurunan sekresi asam gastric adalah konsisten dengan keabnormalan antara vagal maupun inervasi enteric pada
bagian proksimal lambung. Kemudian, adanya penurunan pada kedua sel ganglion dan nitrit oksida ditemukan
pada badan lambung pasien dengan akalasia, memperlihatkan neuropati enterik dapat meluas ke esofagus.
Bagaimana pun juga perlu diketahui bahwa abnormalitas tersebut tidak terjadi pada semua pasien, dan beberapa
studi tidak menemukan kerusakan sekresi asam lambung atau fungsi vagus. Studi dari Csendes et al.,kurang dari
setengah pasien akalasia mengalami penurunan konsentrasi sel ganglion pada bagian tengah lambung, berbeda
dengan esophagus aganglion yang terdapat pada lebih dari 90% pasien. Pada studi yang sama, 34 pasien akalasia,
pengosongan makanan padat dari lambung tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan control. Biopsi
yang dilakukan pada bagian tengah jejunum dan kolon transversal menunjukkan kepadatan neuron yang sama
dengan control. Secara keseluruhan, keabnormalan patologi dan fisiologi pada lambung dapat ditemukan pada
beberapa pasien akalasia tapi jarang signifikan secara klinik. Gangguan kantung empedu, spinkter Oddi dan
motilitas usus besar telah dilaporkan tapi biasanya jarang dan umumnya tidak signifikan secara klinis.
H. Pemeriksaan
Diagnosis akalasia dengan menggunakan sinar-x disebut video-esofagram yang diambil setelah pasien menelan
barium. Gambaran video-esofagram akan menunjukkan dilatasi esofagus dengan karakteristik menyempit pada
bagian bawah, terkadang berbentuk seperti paruh burung sehingga barium akan tertahan lebih lama di esofagus
sebelum masuk ke lambung.02
Tes lainnya dengan menggunakan esofagus manometry, tabung tipis yang dapat mengukur tekanan kontraksi otot
esofagus yang dimasukkan melalui hidung, turun melalui kerongkongan, dan masuk ke esofagus. Pada pasien
akalasia, setelah menelan tidak ditemukan gelombang peristaltik pada separuh esofagus bagian bawah, dan tekanan
pada sfingter esofagus bawah yang terkontraksi tidak berubah saat menelan.02
Endoskopi merupakan pemeriksaan dengan memasukkan tabung seratoptik yang fleksibel dengan kamera dan
cahaya pada bagian ujungnya. Kamera akan memberikan visualisasi bagian dalam esofagus. Penggunaan
endoskopi sangat penting karena dapat mengeksklusi keberadaan kanker esofagus.02
I. Diagnosis Banding
a. Penyakit Chagas’s
Penyakit ini merupakan infeksi yang disebabkan oleh parasit, Trypanosoma cruzi dan kejadian ini terbatas pada
Amerika Tengah dan Selatan. Parasit ini dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan serangga,
reduviid bug. Parasit ini dapat menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada otot saluran pencernaan, dari esofagus
sampai rektum, dapat juga mempengaruhi otot jantung. Pada saluran pencernaan, parasit menyebabkan
degenerasi saraf yang mengendalikan otot dan menyebabkan fungsi yang abnormal pada saluran pencernaan.
Jika kebnormalan tersebut mempengaruhi esofagus, maka kelainan yang terjadi identik dengan akalasia.02
Penyakit Chagas’s dan kanker esofagus memberikan gambaran yang sama pada pemeriksaan dengan video dan
manometri esofagus. Sedangkan, pemeriksaan dengan menggunakan endoskopi dapat mengeksklusi keberadaan
kanker.02
b. Kanker lambung atau kanker pada gastroesofagus junction :
Pada tahap lanjut, invasi kanker pada esofagus neural pleksus menyebabkan sfingter esophagus bagian bawah
tidak dapat berelaksasi sehingga timbul keadaan mirip akalasia. Kondisi ini disebut pseudoakalasia maligna.
Contrast radiography dan endoscopy juga sulit membedakan kedua hal tersebut. Namun pemerikasaan
endoscopic cardia menggunakan retroflexed view bisa meneksklusi neoplasma cardia. Pada beberapa kasus CT
scan atau endoskopi ultrasound juga diperlukan.
Maka pasien dengan presumed diagnosis akalasia tapi durasi gejala yang singkat dan progresif, penurunan berat
badan signifikan, usia lebih tua dan sedang dirujuk untuk menjalani minimally invasive surgery harus
melakukan pemeriksaan imaging tambahan untuk menyingkirkan kemungkinan malignancy yang tersembunyi.
Dikarenakan kondisi ini tidak dapat dideteksi selama pembedahan.
c. Gastroesofagus Refflux Disease (GERD) :
Gejala dari akalasia mirip dengan GERD terutama ketika pasien menjelaskan kualitas nyeri dada dan perasaan
panas di ulu hati (burning pain). Diperlukan anamnesis yang baik untuk membedakan kedua kondisi tersebut
dengan cara mengklarifikasi regurgitasi yang dialami pasien dengan jelas, berasal dari lambung atau esophagus.
Perbedaan kedua kondisi tersebut akan sangat jelas jika dilakukan pemeriksaan barium x-ray, endoscopy, dan
manometry.
d. Disfagia yang disebabkan kelainan struktural lain:
Gejala disfagia sangat umum dijumpai pada kelainan di esophagus, biasanya riwayat disfagia yang intermiten
terhadap makanan dan minuman merujuk pada kelainan yang disebabkan oleh gangguan motorik. Pemeriksaan
barium x-ray dapat membedakan akalasia dengan kelainan motorik lainnya seperti spasme esofagus difuse,
tetapi pada 20% kasus gambaran khusus untuk penyakit tertentu jarang ditemukan.

e. Skleroderma dengan komplikasi peptik strikture:


Gambaran barium x-ray skleroderma sering mirip dengan akalasia. Tetapi dengan anamnesis yang baik,
pemeriksaan fisik, dan endoscopic akan sangat membedakan kedua kondisi tersebut.
J. Pengobatan
Pengobatan akalasia dapat menggunakan obat oral, mendilatasikan atau meregangkan esofagus, operasi, dan
injeksi obat perelaksasi otot (botulinum toksin) secara langsung ke dalam esofagus.02
Obat-obat oral yang dapat membantu merelaksasikan sfingter esofagus meliputi golongan nitrat, seperti isosorbide
dinitrate (isordil) dan golongan calcium-channel bloker, seperti nifedipine (procardia) dan verapamil (calan). Obat
oral ini hanya dapat digunakan sebagai pereda symptom jangka pendek dan pasien dapat mengalami efek samping
dari pengobatan.02
Sfingter esofagus dapat didilatasikan secara langsung dengan balon dengan bantuan sinar-x. Dilatasi tersebut
sangat baik untuk pasien berusia diatas 45 tahun. Respon yang baik terjadi pada 60-95% pasien dan durasi efeknya
bisa sampai 10 tahun. Dilatasi dapat terus diulangi, tapi efikasinya berkurang ½ kali setiap pelaksanaan.
Komplikasi utama dari dilatasi ini adalah terbentuknya lubang-lubang kecil pada otot (perforasi) dan terjadi kira-
kira 2%.01
Operasi menjadi pertimbangan yang kuat untuk semua pasien terutama untuk pasien dengan usia dibawah 45
tahun. Operasi biasanya dilakukan dengan menggunakan laparoskopi. Operasi dilakukan dengan memotong
serabut otot yang membentuk sfingter esofagus distal. Operasi dengan hasil yang baik ditemukan pada 90%
pasien.01 Prosedur pemotongan sfingter melalui operasi disebut esofagomiotomi. Efek sampingnya adalah refluks
dari asam lambung (GERD). Untuk mencegah hal tersebut maka esofagomiotomi dapat dimodifikasi dengan
memberikan pembedahan anti-reflux (fundoplikasi) pada saat bersamaan dengan pelaksanaan operasi.02
Pengobatan terbaru dengan menggunakan injeksi endoskopis botulinum toksin (Botox) ke dalam sfingter bawah
distal esofagus untuk melemahkannya. Pengobatan ini cepat, tanpa operasi, dan perawatan di rumah sakit.
Pengobatan juga tergolong aman, tapi efek pada sfingter hanya berlangsung sebulan dan diperlukan injeksi
butulinum toksin tambahan.02
Pada pengobatan ini, endoskopi dilakukan dengan menyuntikkan sejumlah Botox ke dalam esofagus pada sfingter
distal. Dalam sebuah penelitani, metode ini efektif untuk individu yang lebih tua. Tingkat kesuksesan memperbaiki
disfagia sekitar 60% dalam waktu enam bulan. Penelitian khusus yang mempelajari penggunaan Botox dengan
dipandu oleh ultrasound memiliki tingkat kesuksesan yang lebih tinggi. Kebanyakan dokter merasa pengobatan
dengan cara ini tidak tepat jika dilakukan pada individu muda atau orang tua yang sehat jika belum diketahui
diagnosis yang tepat dan belum melakukan pemeriksaan manometri. Pengosongan esofagus tidak akan
memperbaiki keadaan seperti kesulitan menelan. Komplikasi penggunaan Botox adalah refluks pada persentase
kecil, flu-like symptom yang biasanya jarang terjadi, dan resiko lain dari pemeriksaan endoskopi. Jumlah botulinum
toksin yang disuntikkan tidak sampai menyebabkan paralisis dimanapun dalam tubuh.01
K. Prognosis
- Pneumatic dilatation dan laparoscopic myotomy efektif untuk pengobatan akalasia
- Jika tersedia tenaga ahli, operasi sangat disarankan
- Jangan menggunakan Botulinum toksin dan obat-obatan jika melakukan pneumatic dilatation atau laparoscopic
Heller myotomy
- Makanan yang tertahan di esofagus dapat menyebabkan aspirasi pulmoner. 30% pasien dilaporkan mengalami
batuk pada malam hari dan beberapa diantaranya berkembang menjadi aspirasi pneumonia yang ringan tapi
bisa menjadi berat
- Lebih dari 7% dari pasien akalasia yang tidak diobati akan berkembang menjadi karsinoma sel skuamous.
Namun, ada beberapa penelitian seri kasus yang menyatakan resikonya kurang dari 2%.
- Perforasi esofagus dapat terjadi pada pasien yang menjalani pneumatic dilatation sehingga resiko ini harus
diinformasikan pada pasien sebelumnya dan setelah prosedur dilakukan crosscheck dengan pemberian materi
kontras yang larut dalam air untuk memastikan ada tidaknya perforasi .
- Jika tidak terdapat perforasi pasien sudah boleh makan seperti biasa secara bertahap setelah periode observasi.
Apabila terdapat perforasi yang kecil tanpa adanya bukti infeksi atau perforasi ke kavum pleura dan kavum
abdominal, pasien dapat diberikan terapi konservatif dengan antibiotik spektrum luas dan observasi ketat di
rumah sakit
- Jika perforasi cukup besar sampai ke kavum pleura dan kavum abdominal, konsultasi untuk operasi lanjutan
harus dilakukan

Vous aimerez peut-être aussi