Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai setiap kehamilan yang terjadi di luar
kavum uteri. Kehamilan ektopik merupakan keadaan emergensi yang menjadi
penyebab kematian maternal selama kehamilan trimester pertama. Karena janin
pada kehamilan ektopik secara nyata bertanggung jawab terhadap kematian ibu,
maka para dokter menyarankan untuk mengakhiri kehamilan.
Angka kehamilan ektopik per 1000 diagnosis konsepsi, kehamilan atau
kelahiran hidup telah dilaporkan berkisar antara 2,7 hingga 12,9. Insiden ini
mewakili satu kecenderungan peningkatan dalam beberapa dekade ini. Diantara
faktor-faktor yang terlibat adalah meningkatnya pemakaian alat kontrasepsi
dalam rahim, penyakit radang panggul, usia ibu yang lanjut, pembedahan pada
tuba, dan pengobatan infertilitas dengan terapi induksi superovulasi. Pada tahun
1980-an, kehamilan ektopik menjadi komplikasi yang serius dari kehamilan,
terhitung sebesar 11% kematian maternal terjadi di Amerika Serikat.
Sekurangnya 95 % implantasi ekstrauterin terjadi di tuba Fallopii. Di tuba
sendiri, tempat yang paling sering adalah pada ampulla, kemudian berturut-turut
pada pars ismika, infundibulum dan fimbria, dan pars intersisialis dapat juga
terkena. Implantasi yang terjadi di ovarium, serviks, atau cavum peritonealis
jarang ditemukan.
Sebagai suatu keadaan yang mengancam kehidupan, kehamilan ektopik
menuntut para ahli kebidanan untuk mengetahui metoda-metoda pengobatan
yang mutakhir. Meskipun penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik
adalah dengan pembedahan, tetapi saat ini mulai dikembangkan penatalaksanaan
dengan obat-obatan yaitu dengan methotrexate. Metoda ini tampaknya efektif
dan cukup aman sehingga dapat menjadi metoda alternatif pada pengobatan
kehamilan ektopik. Tetapi tidak semua pasien yang didiagnosis dengan KE harus
mendapat terapi medisinalis dan terapi ini tidak 100% efektif. Para dokter harus
memperhatikan dengan hati-hati indikasi, kontraindikasi dan efek samping dari
terapi medisinalis.
II. PATOFISIOLOGI ENDOKRIN
Integritas embrio, sebagai suatu pertumbuhan dari satu zygot menjadi struktur
blastokis yang berlekuk, yang dilindungi oleh zona pelusida. Membran
glikoprotein yang tebal ini mencegah terjadinya adhesi prematur antara embrio
dan endosalping. Blastokis harus keluar dari zona pelusida sebelum terjadi
implantasi. Normalnya, proses pengeraman blastokis terjadi di kavum uteri,
biasanya terjadi dalam 7 hari setelah ovulasi dan fertilisasi. Jika transportasi
ovum terhambat, proses pengeraman terjadi di tuba falopii. Penyebab gangguan
transportasi ovum yang telah dikenal yaitu penyakit pada tuba, seperti salpingitis
kronis atau adhesi perituba. Salpingitis dapat memperburuk mekanisme
transportasi ovum melalui proses rusaknya myosalping dari dinding tuba dan
melalui kerusakan pada endosalping, yang akan mengurangi jumlah silia tuba.
Perubahan pada siklus endokrin yang mempengaruhi tuba fallopii dapat
menyebabkan aberasi dalam transportasi ovum, yang akan membawa pada
proses pengeraman dan implantasi blastokis di tuba. Steroid ovarium yang
berperan menonjol adalah estradiol (E2) dan progesteron (P4), kedua hormon ini
berpengaruh kuat pada tuba fallopii, mempengaruhi setiap aspek pertumbuhan,
diferensiasi dan fungsi. Respon kuantitatif dan kualitatif dari tuba terhadap
hormon lain seperti katekolamin dan prostaglandin, juga berubah terhadap kadar
hormon steroid dalam darah yang bisa ditolerir. Perubahan siklik pada struktur
tuba dan fungsinya dipengaruhi oleh hormon steroid ovarium ini, yang bekerja
melalui reseptor sitoplasmik spesifik yang secara kimiawi sama dengan reseptor
yang ditemukan pada bagian lain dari traktus genitalia.
Pada telaah terhadap data-data penelitian yang ada, Jansen menyimpulkan
bahwa hormon steroid ovarium mempengaruhi otot-otot polos tuba melalui
perubahan-perubahan pada aktivitas adrenergik dan kepekaan, melalui
perubahan-perubahan dalam sintesis prostaglandin, degradasi, dan kepekaan, dan
melalui pengaruh langsung pada myosalping. Peningkatan aktivitas kontraksi
dipercayai merupakan proses mediasi E2, dimana P4 diperkirakan mempunyai
pengaruh tersembunyi pada otot-otot tuba. Karena itu, perubahan siklik dalam
kadar hormon membawa kepada peningkatan tonus ismika saat terjadi ovulasi
dan selama 1 – 2 hari berikutnya. Ini adalah periode dimana ovum tertahan di
ampula dan tertunda untuk memasuki isthmus. Pengaruh P4 menjadi
berkembang pada awal fase luteal, transportasi ovum ditingkatkan melalui
mekanisme siliar, dan pergerakan blastokis menuju ke dalam kavum uteri,
dimana implantasi normal yang seharusnya terjadi.
Perbedaan sel-sel silia dari tuba falopii, termasuk siliogenesis, merupakan
proses E2-dependent yang berlawanan dengan P4. Penelitian dengan
menggunakan transmisi mikroskopik elektron (TEM) telah mencatat bahwa
siliogenesis mengambil tempat selama fase proliferasi, dan sel-sel silia matur
hanya tampak pada pertengahan siklus. Bersama-sama Desiliasi dan atrofi,
peningkatan P4 postovulasi, dimana 10% sampai 20% dari sel-sel mengalami
kehilangan silianya. Selama fase folikuler berikutnya, sel-sel ini
memperlihatkan regenerasi silial. Verhage dkk. menyimpulkan bahwa
siliogenesis adalah satu proses yang sensitif terhadap kadar E2 rendah.
Sesungguhnya, kadar E2 cukup tinggi selama keseluruhan stadium siklus
menstruasi manusia untuk mempertahankan sel-sel silia. Selama fase luteal,
meskipun, P4 dapat memblok pengaruh E2, dan fase penyembuhan (recovery)
memerlukan P4 withdrawal.
Pada mukosa tuba manusia, frekuensi denyut silia meningkat 18% selama
fase luteal. Setelah ovulasi, terjadi peningkatan yang kritis dalam ampula dan
isthmus dan tergantung pada adanya P4 dalam lingkungan E2 yang tinggi.
Perubahan dari lingkungan hormonal yang didominasi E2 ke lingkungan yang di
dominasi P4 secara temporer membawa kepada perubahan-perubahan
ultrastruktural yang menghasilkan peningkatan frekuensi denyut silia dalam
hubungan dengan transportasi ovum. Paparan yang lebih lama terhadap efek
antagonis dari P4 diluar periode transport kemungkinan disebabkan regresi silia.
Tidaklah mengherankan, bahwa perubahan utama dari kadar E2 dan P4
preovulasi diharapkan akan memisahkan mekanisme transportasi ovum
kompleks dan berpotensi menunda transit ovum. Sebagai contoh, insiden yang
tinggi dari kehamilan tuba telah dilaporkan terjadi selama hiperstimulasi
ovarium oleh gonadotropin eksogen dan selama pemberian progesteron dosis
rendah. Progesteron eksogen, yang dihantarkan melalui oral atau melalui alat
kontrasepsi dalam rahim, dapat mengurangi resistensi tuba falopii terhadap
implantasi ektopik melalui berbagai mekanisme. Silia akan menghilang dan
myosalping boleh jadi tidak bergerak. Sebagai tambahan, sekresi tubal anionik,
yang dapat memiliki fungsi lubrikasi bagi transpor ovum sama baiknya dengan
kualitas implantation-resisting lainnya., tidak ditemukan dari tuba.
Gangguan hormonal primer yang terjadi selama hiperstimulasi oleh ovarium
masih belum jelas. Kadar E2 sirkulasi yang tinggi mungkin berperan.
Kemungkinan, kadar yang meningkat bercampur dengan peningkatan P4 atau
pengaruh-pengaruhnya pada tuba, karena itu melemahkan transpor ovum.
Laufer dkk., meskipun, telah menyimpulkan konsentrasi lokal yang tinggi dari
P4 merupakan penyebab dari nidasi tuba selama pemberian induksi superovulasi.
Peneliti ini mempelajari produksi steroid oleh sel-sel korona kumulus, yang
masih melekat pada oosit yang dibuahi selama 2 sampai 3 hari setelah ovulasi
selama perjalanannya di tuba. Para peneliti mengatakan bahwa peningkatan
lokal kadar P4, sebagai hasil dari produksi kompleks oosit-korona-kumulus
multipel (OCCC), memungkinkan ovum mengalami implantasi ektopik melalui
pergantian dalam motilitas tuba.
Implantasi blastokis di tuba mungkin disertai dengan produksi hCG yang
cukup untuk mempertahankan korpus luteum. Tergantung kepada kadar produksi
P4, dua akibat mungkin terjadi. Penurunan kadar P4 akan membawa kepada
menstruasi dan peningkatan kontraksi myosalping, yang dapat mengeluarkan
embrio ke ujung fimbria. Apakah kehamilan ektopik akan tetap in situ,
meskipun, produksi P4 trofoblast dapat membawa kepada keadaan localized
myosalpingeal quiescence. Pertumbuhan lebih lanjut dari kehamilan akan
menyebabkan ruptur tuba.
III. DIAGNOSIS
A. Diagnosis Klinik
Nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam pada trimester pertama
kehamilan merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah ke diagnosis
kehamilan ektopik. Meskipun gejala-gejala ini umumnya ditemukan dalam
komplikasi pada awal kehamilan, seperti ancaman keguguran, dan dapat juga
merupakan akibat dari keadaan yang tidak berhubungan tetapi terjadi
bersamaan, seperti iritasi serviks, infeksi atau trauma. Gejala-gejala nyeri
abdominal dan perdarahan pervaginam tidak terlalu spesifik atau juga
sensitif. Kehamilan ektopik yang belum terganggu tidak dapat didiagnosis
secara tepat semata-mata atas adanya gejala-gejala klinis dan pemeriksaan
fisik.
Hampir semua kehamilan ektopik didiagnosis antara kehamilan 5 dan
12 minggu. Identifikasi dari tempat implantasi embrio lebih awal dari pada
kehamilan 5 minggu melampaui kemampuan teknik-teknik diagnostik yang
ada. Pada usia kehamilan 12 minggu, kehamilan ektopik telah
memperlihatkan gejala-gejala sekunder terhadap terjadinya ruptur atau uterus
pada wanita dengan kehamilan intrauteri yang normal telah mengalami
pembesaran yang berbeda dengan bentuk dari kehamilan ektopik. Frekuensi
dari kehamilan ektopik konkomitan dan kehamilan intrauteri dalam satu
konsepsi yang spontan terjadi dalam 1 dalam 30.000 atau kurang. Cara
yang paling efisien untuk mengeluarkan adanya kehamilan ektopik adalah
mendiagnosis suatu kehamilan intrauteri. Cara yang terbaik untuk
mengkonfirmasi satu kehamilan intrauteri adalah dengan menggunakan
ultrasonografi. Sensitivitas dan spesifisitas dari diagnosis kehamilan
intrauteri dengan menggunakan modalitas ini mencapai 100% pada
kehamilan diatas 5,5 minggu. Sebaliknya identifikasi kehamilan ektopik
dengan ultrasonografi lebih sulit (kurang sensitif) dan kurang spesifik.
Karena perbedaan ini, logikanya untuk mendiagnosis kehamilan ektopik
adalah untuk diagnosis yang terarah dan prosedur pembedahan pada wanita
yang tidak memiliki kehamilan intrauteri yang viabel.
B. Petanda Trofoblastik
Berdasarkan totipotensial alami dari trofoblas, tidaklah mengherankan bahwa
jaringan ini mensekresikan sejumlah subtansi yang bervariasi, termasuk
beberapa protein yang kelihatannya unik bagi kehamilan. Tiga macam
protein telah diteliti secara luas sebagai petanda yang potensial dari
kehamilan yang viabel. Ketiga macam protein ini dapat digunakan dalam
mendiagnosis suatu kehamilan ektopik.
1. Human Chorionik Gonadotropin
Human Chorionik Gonadotropin (hCG) memiliki berat molekul 36.000
sampai 46.000, adalah satu glikoprotein yang secara biologi dan
imunologi mirip dengan luteinizing hormone (LH). Waktu paruh hCG
kelihatannya lebih besar daripada LH (5 - 40 jam dibandingkan 1- 2
jam). Keadaan ini menggambarkan suatu kenyataan bahwa penting
untuk membedakan struktur molekul yang ada antara kedua substansi ini
dengan aksi biologis yang serupa. Sebagai contoh, Kadar asam sialat
dari hCG adalah lebih besar daripada LH. Lebih jauh, 28- 30 asam
amino terminal pada ujung karboksi dari subunit β glikoprotein mewakili
deretan yang unik yang membedakan molekul ini dari LH. Semua
hormon glikoprotein, hCG, LH, FSH, TSH, membagi dengan dekat
subunit α identik, yang secara esensial dapat dipertukarkan. subunit α ini
dapat direkombinasikan dengan setiap empat subunit β yang berbeda
untuk membentuk satu produk yang memiliki ciri aktivitas biologik
komponen subunit β. hCG diproduksi oleh sinsitiotrofoblas selama
kehamilan, juga dibuat oleh jaringan trofoblastik jenis lain, termasuk
yang berasal dari chorioadenoma destruens, choriocarcinoma, dan mola
hidatidosa.
Produksi ektopik dari hCG telah dicatat dengan baik dan telah
diidentifikasi dalam plasma orang dewasa normal yang tidak hamil.
HCG tampaknya berfungsi sebagai satu hormon luteotrofik selama
kehamilan. Hormon ini mempertahankan korpus luteum, karena itu
menghasilkan produksi P4 yang berkelanjutan yang diperlukan untuk
pertumbuhan endometrium sampai plasenta mengambil alih perannya.
Sebagai tambahan, data yang didapat Jaffe mengatakan bahwa hCG
dapat maengatur produksi steroid dalam fetus, termasuk produksi
dehidroepiandrosteron sulfat (DHA-S) oleh kelenjar adrenal fetus dan
produksi testosteron oleh testis. HCG dapat dideteksi dalam kehamilan
spontan setelah hari ke-9 LH surge. Deteksi awal dalam darah ibu telah
ditemukan memiliki korelasi dengan implantasi blastokis dan secara
spesifik dengan saat lakuna menerima aliran darah ibu.
Pada kehamilan awal, hCG kelihatannya disekresikan dalam bentuk
episodik dan pulsatil, yang paralel dengan sekresi progesteron. Fluktuasi
ini telah diperlihatkan pada penentuan dari kedua kadar serum hCG
secara imunoaktif dan bioaktif. Dengan demikian pola sekresi
menyarankan adanya stimulasi yang intermiten terhadap corpus luteum
oleh hCG dan adalah dalam kesepakatan dengan efek stimuilasi yang
telah diketahui dari pelepasan gonadotropin secara pulsatil atas sekresi
steroid ovarium. Meskipun dobling time kadar plasma hCG telah
diasumsikan konstan dalam awal kehamilan intrauteri normal, jangkauan
yang telah dilaporkan bervariasi antara 1,3 – 3,3 hari. Sebagai contoh,
Lenton dkk. Telah menyimpulkan bahwa dobling time 1,3 hari
berhubungan dengan dobling time yang diketahui dari massa sel
trofoblastik.
Penelitian yang dilakukan Pittaway dkk. Mengantarkan isu mengenai
variabilitas. Mereka memperlihatkan bahwa laju eksponensial dari
peningkatan konsentrasi serum hCG adalah tidak konstan selama
minggu-minggu pertama postmenstruasi dari kehamilan normal. Pada
kenyataannya, dobling time dari deteksi awal hCG sampai kira-kira hari
ke-35 setelah onset periode menstruasi terakhir yang diobservasi adalah
1,4 – 1,6 hari.
2. Human placental lactogen (hPL)
Human placental lactogen (hPL) merupakan polopeptid rantai tunggal
dari asam amino 190 dengan dua jembatan disulfid. Protein ini 96%
homolog dengan hormon pertumbuhan. HPL juga dikenal sebagai
human chorionic somatotropin (hCS). Selain bermakna secara struktural
homologi , hPL memiliki aktivitas somatotrofik hormon pertumbuhan
kurang dari 3%. Pada penelitian terhadap binatang, telah ditemukan
untuk menampilkan 50% dari aktivitas laktogenik dari prolaktin (PRL).
HPL disintesis oleh lapisan sinsitiotrofoblas dari plasenta. Tidak hanya
dapat dideteksi dalam urin dan serum pada kehamilan normal atau mola,
tetapi juga telah dapat ditemukan pada urin pasien dengan tumor
trofoblastik dan pada laki-laki dengan choriocarcinoma pada testis. HPL
memiliki waktu paruh 14 – 29 menit. Kadar protein ini dalam sirkulasi
telah dihubungkan dengan berat janin dan berat plasenta, kadar yang
beredar dalam darah meningkat 10 kali atau lebih besar dari trimester
pertama ke trimeser ketiga. Tidak ada variasi circadian. Selam 4 minggu
terakhir kehamilan, kadar hPL mendatar. HPL dengan cepat menjadi
tidak terdeteksi dalam serum dan urin setelah lahirnya plasenta atau
evakuasi uterus.
Kaplan dkk. Telah mempelajari hPL secara luas dan mengajukan
bahwa efek metabolik yang utama selama kehamilan adalah menambah
kebutuhan nutrisi janin. Sebagaimana menurunnya suplai glukose
selama keadaan kelaparan, kadar hPL meningkat, yang akan
menstimulasi proses lipolisis. Satu alternatif dari sumber energi ini
disiapkan untuk ibu dengan cara meningkatkan kadar asam lemak bebas
dalam darah. Konsekuensinya, glukose dan asam amino dapat
diantarkan bagi janin. Selama keadaan kenyang dan dalam respon
terhadap peningkatan kadar glukose, sekresi insulin meningkat dan
sekresi hPL menurun, membawa kepada penggunaan glukose dan proses
lipogenesis. Karena peningkataan kebutuhan substrat dari janin sebagai
suatu perkembangan kehamilan, peran fungsional hPL diperkirakan lebih
bermakna dalam trimester kedua dan ketiga Baik radioimunoassay (RIA)
dan tes inhibisi hemaglutinasi telah berkembang untuk mengukur jumlah
hPL.
3. Glikoprotein β1 kehamilan spesifik
Hormon ini memiliki waktu paruh 21 – 60 jam, mewakili protein khusus
lainnya yang disekresikan oleh sinsitiotrofoblas. Protein ini memiliki
berat molekul 90.000 dan memiliki kandungan karbohidrat sebesar
29,3%. Segera setelah implantasi blastokis, hormon PSBG muncul
dalam sirkulasi maternal dan memperlihatkan hubungan yang bermakna
dengan kadar hCG dan hPL sepanjang trimester kedua dan ketiga (gbr.
25-2). Selama trimester kedua dan ketiga pola hPL dan sekresi PSBG
berlanjut secara paralel sesuai dengan pertumbuhan massa trofoblastik.
Secara fungsional PSBG telah dapat diuraikan. Tes inhibisi
hemaglutinasi dan RIA dapat digunakan untuk mengukur protein ini.
Dengan jelas ketiga protein yang digambarkan sebelumnya
memenuhi syarat sebagai petanda trofoblastik dan karena itu dapat
digunakan sebagai tambahan dalam mendiagnosis kehamilan. Pada
kenyataannya, pemeriksaan hCG secara kualitatif dan kuantitatif menjadi
dasar pemeriksaan kehamilan yang diakui saat ini. Penegakan diagnosis
kehamilan merupakan hal yang penting dalam membedakan antara satu
kehamilan ektopik dengan penyebab lain dari nyeri akut abdomen bawah.
Penundaan yang didasarkan atas gejala klinik saja merupakan hal yang
umumnya terjadi, dan morbiditas dan mortalitas berhubungan dengan
dengan keterlambatan waktu antara munculnya gejala dan penegakan
diagnosis. Perkembangan sistem RIA yang sensitif dan cepat secara
klinis berguna dalam penatalaksanaan terhadap masalah ancaman
kehidupan yang potensial. Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa
lebih dari 90% wanita dengan kehamilan ektopik akan menghasilkan
hCG dalam darah mereka ketika diukur dengan RIA β-subunit. Dua
kelompok peneliti mengukur PSBG dengan RIA pada populasi penderita
yang sama dan menemukan akurasi dalam tingkat yang sama.
Braunstein dan Asch membandingkan nilai prediksi serum hCG,
PSBG dan hPL yang diukur dengan menggunakan RIA dalam
mendiagnosis suatu kehamilan ektopik. Para peneliti memperlihatkan
bahwa secara kuantitatif konsentrasi serum β-hCG maternal yang rendah
lebih sensitif dalam deteksi keehamilan ektopik dibandingkan dengan
konsentrasi PSBG yang rendah (gbr 25.3). Sebagai tambahan,
pengukuran PSBG tidak membuktikan lebih berguna atau lebih benilai
efektif dariapada pemeriksaan β-hCG. Satu penelitian awal telah
memperlihatkan bahwa sensitivitas pada pemeriksaan hPL tidak cukup
untuk mendeteksi jumlah hormon ini dalam serum ibu sebelum periode
missed pertama. Tidaklah mengejutkan, Braunstein dan Asch
menemukan bahwa pengukuran hPL tidak berguna dalam mendiagnosis
banding suatu kehamilan ektopik, sejak konsentrasi yang tidak dapat
dideteksi memberikan sedikit informasi selama awal kehamilan.
Secara ringkas, pengukuran β-hCG serum atau urin dengan RIA
memberikan konfirmasi yang sensitif dan spesifik dalam mengeluarkan
suatu diagnosis kehamilan ektopik.
VI. RINGKASAN
Kehamilan ektopik adalah setiap kehamilan yang terjadi di luar kavum uteri.
Kehamilan ektopik merupakan keadaan emergensi yang menjadi penyebab
kematian maternal selama kehamilan trimester pertama.
Tempat tersering mengalami implantasi ekstrauteri adalah pada tuba
Falopii (95%). Secara endokrinologis tuba dipengaruhi hormon steroid
ovarium, yaitu yang paling menonjol adalah estradiol (E2) dan progesteron
(P4). Hormon steroid ovarium ini mempengaruhi otot-otot polos tuba melalui
perubahan-perubahan pada aktivitas adrenergik, perubahan dalam sintesis
prostaglandin, dan pengaruh langsung pada myosalping.
Saat ini telah dikembangkan pemeriksaan kehamilan yang sensitif dalam
mendiagnosis kehamilan ektopik. Ada tiga hormon protein yang dapat dipakai
untuk mendeteksi suatu kehamilan dan dapat dipakai dalam mendiagnosis
suatu kehamilan ektopik. Dalam hal ini sensitivitas menjadi satu hal yang
lebih diperhatikan karena jaringan trofobalstik yang ektopik diketahui
mensekresikan sedikit hCG. Pengembangan selanjutnya lebih ditujukan pada
pendeteksian kadar hCG baik dalam urin atau serum. Beberapa teknik
pemeriksaan kehamilan yang telah berkembang adalah bioassay, metoda
imunologi, RIA, RRA, dan ELISA. Kombinasi pemeriksaan kehamilan
dengan ultrasonografi memberikan nilai diagnostik yang tinggi sehingga
diagnosis suatu kehamilan ektopik dapat cepaat ditegakkan.
Saat ini dengan adanya tes kehamilan yang sensitif dan USG transvaginal
memudahkan kita untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik secara dini.
Dengan diagnosis dini tersebut maka penatalaksanaan kehamilan ektopik telah
bergeser dari mengurangi mortalitas menjadi mengurangi morbiditas dan
mempertahankan fertilitas. Diagnosis dini ini memungkinkan kita melakukan
penatalaksanaan ekspektatif atau pembedahan konservatif pada pasien dengan
kehamilan ektopik yang belum terganggu. Dalam hal ini kemoterapi dengan
methotrexate menjadi pilihan terapi untuk kehamilan ektopik yang belum
terganggu.
VII. RUJUKAN
1. Damario MA, Rock JA. Ectopic pregnancy. In: Rock JA, Thompson JD.
Te Linde’s operative gynecology. 8th ed. Philadelphia: Lippincot-Raven,
1997: 501-527
2. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Ectopic pregnancy: Clinical gynecologic
endokrinology and infertility. 6th ed. Baltimore: Williams & Wilkins,1999:
1149-1167
3. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Endocrinology of pregnancy: Clinical
gynecologic endokrinology and infertility. 6th ed. Baltimore: Williams &
Wilkins,1999:275-335
4. Doyle MB, DeCherney. Diagnosis and management of tubal disease. In:
Carr BR, Blackwell RE. Textbook of reproductive medicine. 1st ed.
Connecticut: Appleton & Lange, 1993:507-516
5. Symonds EM. Complication of early pregnancy: abortion, extrauterine
pregnancy and hydatidiform mole. In: Essential obstetric and
gynaecology. 2nd ed. Churchill Livingstone,1992: 88-92
6. Hutchinson-Williams KA, DeCherney AH. The endocrinology of ectopic
pregnancy. In: Endocrine disorders in pregnancy. 3rd ed. Connecticut:
Appleton & Lange, 1986:437-450
7. Chung pun T. Ectopic pregnancy. JPOG 2001;27:17-20
8. Basuki B, Saifuddin AB. Ectopic pregnancy and estimated subsquent
fertility problems in Indonesia. Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia
1999;23:212-218
9. Basuki B. Duration of current IUD use and risk of ectopic pregnancy.
Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia 1999;23:82-87
10. Jaffe RB. Protein hormones of the placenta, decidua, and fetal
membranes. In: Yen SSC, Jaffe RB. Reproductive endocrinology. 3rd ed.
Philadelphia: WB Saunders,1986: 758-769
11. Stovall TG, McCord ML. Early pregnancy loss and ectopic pregnancy. In
Berek JS, Adhasi EY, Hillard PA. Novak’s gynecology. 12th ed.
Baltimore: Williams & Wilkins, 1996: 487-524
12. Taber BZ. Manual of gynecologic and obstetric emergencies.
Philadelphia: WB Saunders Company,1979:311-333
13. Levine D. Ectopic pregnancy. In: Callen PW. Ultrasonography in obstetric
and gynecology. 4th ed. Philadelphia: WB Saunders Co.,2000: 912-934
14. Barnhart K, Esposito M, Coutifaris C. An update on the medical treatment
of ectopic pregnancy. In: Current reproductive endocrinology. Obstet and
Gyn Clin of North America 2000;27: 653-667
15. Kadar N, Caldwell BV, Romero R. A method of screening for ectopic
pregnancy and its indication. Obstet Gynecol 1981;58: 162
16. Aspillagra MO, Whittaker PG, Grey CE, et al. Endocrinologic events in
early pregnancy failure. Am J Obstet Gynecol 1983;147:903