Vous êtes sur la page 1sur 15

ABSES TUBOOVARIAL DENGAN SYOK SEPSIS

PENDAHULUAN Penyakit radang panggul adalah penyebab morbiditas dan merupakan satu dari 60 konsultasi ke dokter oleh wanita dibawah usai 45 tahun. Penundaan beberapa hari dalam pengobatan yang tepat meningkatkan resiko terjadi sekuele, dimana termasuk infertilitas, kehamilan ektopik dan nyeri pelvik kronis. Karena tidak adanya kriteria diagnosis klinis, maka direkomendasikan ambang yang rendah untuk dimulainya terapi empiris pada PRP.1 Penyakit radang panggul (PRP) biasanya sebagai akibat dari infeksi ascending endoserviks menyebabkan endometritis, salpingitis, parametritis, oophoritis, abses tuboovarial dan peritonitis pelvis. Infeksi menular seksual seperti chlamydia trachomatis dan neisseria gonorrhoeae telah diidentifikasi sebagai penyebab, namun organisme lain seperti mycoplasma genitalium, anaerob dapat juga menyebabkan PRP.1 Estimasi dari CDC memperkirakan sekitar 780.000 kasus baru penyakit radang panggul akut terjadi setiap tahunnya. setiap tahunnya
1

Insidens PRP akut sekitar 1-2 %

pada wanita muda yang aktif secara seksual. PRP adalah

infeksi paling serius pada wanita usia 16-25 tahun dan morbiditas akhirnya melebihi penyakit lain.2 Pada makalah ini akan didiskusikan kasus abses tuboovarial yang berlanjut menjadi sepsis dan peritonitis umum dan mortalitas. Pembahasan meliputi perananan pra dan durante rumah sakit.

RESUME KASUS Ny C, 44 tahun datang ke IGD Kebidanan RSGS tanggal 22 Oktober 2004 20.30. Pasien datang dengan keluhan utama benjolan diperut sejak 3 bulan SMRS. Keluhan disertai demam yang dirasakan turun naik sejak 2 minggu yang lalu, BAK sulit, BAB mencret, mual dan muntah. Os dirawat di RB.YKPI dikatakan gejala typus. Os mendapat antibiotik dan analgetik. Os dikirim ke RSCM untuk pemeriksaan USG dengan hasil IUD in situ dan suspek kista endometriosis bilateral dengan perlekatan DD/ kista. Karena keluhan tidak berkurang os dirujuk ke RSPAD. Keluhan penurunan berat badan (+), Gangguan menstruasi (-). Riwayat amenorea tidak ada, HTA 15 Oktober 2004. penyakit darah tinggi, kencing manis jantung, asma pada pasien maupun keluarga disangkal. Riwayat obstetrik (P2), KB Spiral Cooper-T satu tahun yang lalu Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, Kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmH, frekuensi nadi 108 x/menit, Respirasi 20 x/menit, suhu 380C. Konjungtiva tidak pucat, Jantung didapatkan bunyi jantung normal, tidak ada murmur dan gallop. Paru vesikuler, wheezing (-), rhonki (-). Pada Abdomen lemas, teraba massa 1jari bawah pusat, padat, imobile, nyeri tekan (-), Bising usus (+) normal. Ekstremitas edema -/-. Pada pemeriksaan ginekologis, Inspeksi vulva vagina tenang, Inspekulo portio licin ostium tertutup fluxus (-) flour (-). Periksa dalam cavum uteri sulit dinilai, portio licin, ostium tertutup teraba filamen, teraba massa mengisi rongga pelvis hingga satu jari bawah pusat, immobile, nyeri tekan (-). Pada rektal touche tonus sfingter ani baik, ampula tidak kolaps, mukosa licin, teraba massa mendesak lumen rektum, padat, immobile nyeri tekan (-) Hasil USG Feto Maternal RSCM ( 19 Oktober 2004 ) : Uterus retrofleksi, batasnya kurang tegas, berisi IUD (LL). tidak jelas adanya massa mioma uteri. didaerah kedua adnexa tampak massa kistik berisi echointerna, masing-masing berukuran 67 x 66 x 78 mm (kanan) dan 90 x 95 x 120 mm (kiri). Tidak tampak pertumbuhan papiler atau gambaran neovaskularisasi pada massa tumor tidak tampak asites. Ca 125 1050,69. Pasien didiagnosa sebagai neoplasma ovarium bilateral (SK:4) dengan

IUD insitu, Suspek kista endometiosis bilateral dengan perlekatan DD/ Kista terinfeksi dan Febris ec suspek kista terinfeksi DD/ typhoid dan keganasan. Pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang (darah perifer lengkap, urinalisa, gula darah isewaktu, fungsi ginjal, fungsi hati, albumin, analisa gas darah, dan elektrolit). foto thorax, BNO-IVP. Widal. konsul IPD, konsul onkologi. Pasien mendapat tatalaksana : Observasi tanda vital dan akut abdomen, balans cairan / 6 jam. Pemberian cairan 2000 cc / 24 jam dengan diet lunak 1750 kal/24 jam. Surface cooling. Antibiotika; Kedacillin 3 x 1 gr i.v. pasien direncanakan untuk laparatomi VC dan apabila ada tanda akut laparatomi dilakukan cito. Inform consent keluarga kemungkinan dilakukan operasi besar dengan histerektomi radikal. . Hasil laboratorium, DPL Hb 9,7 leuko 22.700 trombosit 745.000. GDS 149, ureum 98 kreatinin 2,5, natrium 141, kalium 4,6. klorida 106. Albumin 2,8. SGOT 94, SGPT 77, AGD (pH 7,477 PCO2 29,4 PO2 47,9 HCO3 21,3 BE 1,0 saturasi 87,0 %). Urinalisis protein +2, Leuko 10-9-10. Analisa: Anemia ringan. ARF DD/ Akut on CRF, ISK. Pasien direncanakan dilakukan pemeriksaan, morfologi apus darah tepi, CCT, USG-Ginjal ( konsul ginjal hipertensi dahulu), kultur urin dan darah. Tanggal 24 Oktober 2004 pasien mendapat terapi antibiotik kedacillin 3 x 1 gr i.v, dan flagyl supp 3 x 1 gr. Pasien masih demam ( suhu 39,1oC ) mual dan muntah, tanda akut abdomen ( - ), Bising usus menurun.. Pasien dikonsulkan kebedah digestif. Tanggal 25 Oktober 2004, Keadaan umum pasien sakit berat, keluahn mual, muntah dan Demam disertai mencret 4x/ hari. Tekanan Darah 110/80 mmHg. Frekuensi nadi 120 x/ mnt, pernafasan 18 x / menit. Suhu 39 OC. Abdomen tanda akut (-) Lingkar perut 88,5 cm. AGD ( pH 7,511 PCO2 32,2 PO2 71,6 HCO3 25,2 BE 2,8 saturasi 95,9 %). Hasil konsul bedah digestif : kesan, Ileus obstruksi parsial ec penekanan massa, SIRS. Dehidrasi ringan. Saran untuk diberikan Antibiotik cefotaxime 3 x 1 gr i.v , dan Metronidazole 3 x 1 gr drip. Pasien dipuasakan diberikan TPN ( aminofusin, Ringer Laktat dan Ringer dekstrose). Pasien dianalisa sebagai SIRS, Diare akut dengan dengan

dehidrasi, Respiratorik alkalosis perbaikan dengan hipoksia ringan, Suspek kista ovarium terinfeksi DD/ NOK bilateral (SK;4) DD/ Kista ovarium bilateral suspek perlekatan. Ilues Obstruktif ec penekanan massa, ARF DD/ Akut on CRF suspek ec dehidrasi dan sepsis. Kemudian ditatalaksana dengan pemberian cairan 2700 cc/ 24 jam, balans cairan seimbang per tiga jam, Oksigen 10-12 liter/ menit, puasa diberikan Total parenteral nutrition dan dipasang NGT (kebutuhan kalori 1700 kal). Surface cooling, dan antibiotika mg dan cefotaxime 2 x 1 gr i. V. Pada tanggal 26 Oktober 2004 kesadaran pasien apatis dan keadaan umum sakit berat deangan keluhan nyeri perut, TD; 130/ 80 mmHg Nadi: 120x/mnt, Respirasi 40 x/ mnt, suhu 40oC. Abdomen nyeri tekan (+) nyeri lepas (+) defence muskular (+) diseluruh abdomen, Hasil Foto Abdomen 3 posisi terdapat pelebaran usus, air fuid level (+) Keadaan pasien saat ini dianalisa sebagai peritonitis disertai Sepsis. Pasien dikonsulkan ulang ke ts. Bedah digestif dengan hasil, Terdapat ileus obstruktif dengan perlengketan usus diputuskan untuk dilakukan laparatomi eksplorasi bersama TS bedah digestif. Insisi mediana hingga setinggi umbilikus oleh TS bedah. Setelah peritoneumdibuka tampak pus 100cc (dikultur), pada eksplorasi selanjutnya didapatkan perlekatan hebat antara omentum, usus dan genitalia interna, dilakukan pembebasan kista ovarium kiri, kista pecah dan keluar cairan pus 200cc. Apendiks dikenali dan dilakukan apendiktomi. Tampak fistulasi setinggi sigmoid distal dengan perlekatan genitalia interna yang terinfeksi. Operasi dilanjutkan oleh TS kebidanan, tampak genitalia interna yang mengalami perlekatan dan berkonglomerasi di rongga pelvic, uterus dikenali (ukuran normal). Tuba dan ovarium kanan dan kiri membentuk kompleks perlekatan berisi cairan pus kesan tubo ovarial abses bilateral dan diputuskan untuk dilakukan salpingooverektomi bilateral. Setelah diyakini tidak ada perdarahan, operasi dilanjutkan oleh TS bedah untuk dilakukan reseksi dan kolostomi. Setelah operasi selesai IUD diangkat dalam narkose dan pasien dirawat di ICU. Dengan pemberian terapi cefitaxim 2 x 1 gram, kaltrofen 2 x 1 ampul, dan rantin 2 x 1 ampul. Dalacin 3 x 300 mg, Flagyl 3 x 500

Satu hari post operasi, keadaan pasien tampak sakit berat dengan tekanan darah 100/80 mmHg, frekuensi nadi 160 x/menit, pernafasan assist dan suhu 40C, dengan input cairan 2740 cc/13 jam, output 1850 cc/13 jam, balans cairan + 890 dengan diuresis 70 cc/jam. Drain 250 cc dan NGT 400 cc per 13 jam, CVP 7. AGD 7,486/17,9/158,8/-7,2/13,2/99,2. Analisa syok septic, alkalosis respiratorik, ARF ec sepsis. Pasien direncanakan periksa DPL dengan target HB diatas 10 mg/dl, Pemberian antibiotik cefoperazon 2 x 1 gram dan flagil drip 3 x 1 gram, cairan 3500cc/24 jam dan pemberian TPN 1700 kalori. Bila tekanan darah sistolik mencapai 90 mmHG, diberikan dopamine 5 g/ KgBB/menit tapering dengan target tekanan darah sistolik 100 mmHg. Novalgin 3 X 1 gram IV. Hasil DPL Hb 7,9 dengan hipoalbumin, albumin 2,8 dan pasien mendapatkan Dua hari post operasi Pasien di Knock down, tekanan darah 55/30mmhg, suhu 40C, analisa oleh TS ICU septic shock dan ditatalaksanan sesuai prosedur ICU. Sembilan jam kemudian asisitole dilakukan resusitasi tidak ada respon, pasien dinyatakan meninggal dihadapan keluarga, dokter dan paramedis. transfusi PRC dan direncanakan mendapatkan albumer.

PEMBAHASAN

Beberapa faktor merupakan predisposisi terjadinya PRP akut. Terdapat korelasi kuat antara pajanan terhadap penyakit menular seksual (PMS) dengan terjadinya PRP. Usia saat hubungan seksual pertama, frekuensi koitus, jumlah partner seks dan status pernikahan berhubungan dengan frekuensi terpajan PMS sehingga berhubungan juga dengan PRP. Wanita dengan partner multipel mempunyai resiko 4-6 kali lipat untuk terjadinya salpingitis akut, dibandingkan wanita yang mempunyai partner seks tunggal. Insidens PRP akut menurun dengan meningkatnya usia. Perempuan adolesens mempunyai resiko signifikan untuk terjadinya salpingitis akut. Dimana resiko terjadinya PRP akut pada adolesens yang seksual aktif adalah 1:8, sementara pada usia di atas 24 tahun adalah 1:80. 2 Penggunaan kontrasepsi juga mengubah resiko relatif terjadinya PRP. Terdapat peningkatan kasus dengan pemakaian AKDR. Diperkirakan pengguna AKDR mempunyai resiko 3-5 kali untuk terjadinya PRP akut. Metode kontrasepsi barier menurunkan resiko PRP. Terdapat penurunan 60% resiko PRP pada wanita yang menggunakan metode kontrasepsi barier. Kontrasepsi oral juga mengurangi resiko PRP akut. Mekanisme proteksi masih spekulatif. Mukus seviks yang tebal oleh karena adanya komponen progestin diperkirakan menginhibisi penetrasi sperma dan bakteri ke traktus genitalia atas. 2 PRP akut mempunyai spektrum gejala klinis yang luas. Diagnosis banding PRP akut termasuk apendisitis akut, endometriosis, kista pecah atau terpuntir, kehamilan ektopik dan infeksi traktus genital bawah.2 Gejala klinis berikut mengarah ke diagnosis penyakit radang panggul :1 nyeri abdomen bawah dyspareunia discharge vagina atau serviks yang abnormal Nyeri goyang porsio Demam (>38o) Gejala dan tanda klinis, mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang rendah dengan nilai prediksi positif dari diagnosis klinis antara 65-90% dibandingkan diagnosisi per laparoskopi. Adnaya lekosit yang banyak pada apus 6

vagina berhubungan dengan PRP tapi ditemukan juga pada infeksi traktus genitalia bawah.1 Biasanya diagnosis PRP akut tidak ditegakkan kecuali terdapat trias nyeri perut bawah, demam dan lekositosis. Jacobson dan Westrom menunjukkan bahwa ketiganya hanya terdapat pada 15-30 % kasus PRP. Sebagai tambahan, sekitar 50 % pasien pada awalnya mempunyai temperatur dan lekosit yang normal. CDC telah mengemukakan kriteria diagnosis berdasarkan klinis (Tabel 1). Tabel 1. Kriteria diagnosis salpingitis akut2
Kriteria Minimum Pengobatan empirik terhadap PRP harus dimulai pada wanita muda seksual aktif atau yang beresiko PMS jika kriteria minimum berikut ada dan tidak danya penyebab lain : Nyeri uterus/adneksa atau nyeri goyang porsio Kriteria yang lebih jelas Evaluasi diagnostik kadakng-kadang diperlukan, karena diagnosis dan manajemen yang tidfak tepat dapat menyebabkan morbiditas yang tidak perlu. Kriteria tambahan ini dapat digunakan untuk menambah spesifisitas kriteria minimum. Kriteria tambahan yang menunjang diagnosis PRP termasuk : Kriteria rutin Temperatur mulut > 38oC Discharge mukopurulen serviks atau vaginal Peningkatan laju endap darah Peningkatan CRP Temuan laboratorium infeksi Gonnorea atau chlamydia trachomatis Terdapatnya Lekosit pada pemeriksaan sekret vagina Kriteria Spesifik Bukti histopatologi endometritis pada biopsi endometrium Sonografi transvaginal atau MRI menunjukkan tuba berdinding tebal berisi cairan dengan atau tanpa cairan bebas atau kompleks tuboovarial Termuan pada laparoskopi yang sesuai dengan PRP

Temuan sonografi termasuk pembesaran uterus dengan cairan pada kavum. Tuba falopii dapat terlihat berdinding tebal dan berisi cairan Pada penelitian Cacciatore ditemukan bahwa adanya tuba falopii yang menebal, berisi cairan mempunyai spesifisitas 100% dalam diagnosis PRP. Studi prospektif

dengan korelasi laparoskopi dan histologi menghasilkan spesifistas 97% tapi sensitifitas 32%. Jika terdapat abses tuboovarial, ditemukan kompleks adneksa yang berbatas tidak tegas yang berhubungan dengan cairan bebas pelvis.3,4 Spritos dkk menemukan bahwa ultrasonografi transabdominal mengkonfirmasi diagnosis abses tuboovarial pada 94% kasus. Probe transvaginal bahkan memberikan gambaran yang lebih baik dan meningkatkan kemampuan diagnostik. Probe vaginal ini memberikan visualisasi abses lebih baik dan hubungannya dengan organ sekitar.5 Pengobatan Pada PRP ringan dan sedang (tanpa adanya abses tuboovarial), tidak ada perubahan luaran ketika pasien diobati rawat jalan atau dirawat di rumah sakit. Penundaan pengobatan , terutama pada infeksi chlamydia trachomatis, meningkatkan resiko sekuele jangka panjang seperti kehamilan ektopik, subfertilitas dan nyeri pelvik. Pada pasien rawat jalan, penilaian ulang setelah 72 jam disarankan, dimana tidak adanya perbaikan memerlukan penilaian lebih lanjut, baik terapi parenteral dan atau bedah.1 Pengobatan rawat jalan harus didasari pada salah satu dari regimen di bawah ini :1 Ofloksasin 2x400 mg ditambah dengan metronidazol 2x400 mg selama 14 hari Ceftriakson 250 mg intramuskuler atau cefoxitin 2 gr intramuskuler dengan probenesid 1 gr oral, diikuti dengan doksisiklin 2x100 mg ditambah dengan metronidazol 2x400 mg selama 14 hari. Perawatan di rumah sakit dilakukan pada kondisi berikut :1 Kedaruratan bedah belum dapat disingkirkan Penyakit yang berat secara klinis Abses tuboovarial Adanya kehamilan Tidak berespon dengan pengobatan oral 8

Pada kasus yang berat pengobatan antibiotik harus secara intravena, yang diteruskan selama 24 jam sampai perbaikan klinis, diikuti dengan terapi oral. Rejimen pengobatan yang direkomendasikan adalah :1 Cefoxitin 3x2g ditambah dengan doksisiklin 2x100 mg, diikuti dengan doksisiklin 2x100 mg ditambah metronidazol 2x400 mg selama 14 hari Klindamisin 3x900 mg ditambah dengan gentamisin 2mg/kg dosis awal diikuti 1,5 mg/kg 3 kali/hari, diikuti dengan Klindamisin 4x450 mg samapi 14 hari Doksisiklin 2x100 mg ditambah dengan metronidazol 2x400 mg sampai 14 hari Ofloksasin 2x400 mg ditambah metronidazol 3x500 mg sampai 14 hari Pada kasus ringan yang terdapat alat kontrasepsi dalam rahim, dapat ditinggalkan namun bila penyakit tergolong berat harus dikeluarkan. Pengobatan bedah dipikirkan pada kasus yang berat atau bila jelas terdapat abses pelvis. Laparotomi/laparoskopi dapat membantu resolusi penyakit dengan pembebasan perlekatan dan drainase abses pelvis. Aspirasi cairan pelvis dengan panduan USG kurang invasif dengan efektifitas yang sama.1 Pada penelitian Aboulghar dkk, dari 15 pasien yang dilakukan apirasi terjadi perbaikan gejala pada semua pasien. Temperatur normal dalam 24-72 jam dan nyeri perut hilang dalam 3 hari.5 Dari penelitian Caspi dkk, sepuluh wanita membaik secara klinis dan tidak ada yang membutuhkan operasi. Rerata waktu dari aspirasi dan pemulangan pasien adalah 3,1 hari dan durasi perawatan 7,8 hari. Pada tiga kasus, terjadi rekurensi namun tidak ada yang membutuhkan operasi.6 Kuligowska et al menggunakan metode pungsi satu tahap untuk drainase dan lavase dengan NaCl dikombinasikan dengan antibiotik, terapi ini berhasil pada 85 % pasien dan tidak timbul komplikasi.3 Abses tuboovarial atau pelvis dapat ruptur spontan ke dalam rektum atau sigmoid, ke vesika atau ke dalam kavum peritoneum. Pada pasien dengan ruptur

spontan ke rektum, perbaikan kondisi terjadi tiba-tiba dengan adanya pus yang keluar dari anus. Ruptur intraabdomen sangat berbahaya, mortalitas dari komplikasi ini dikarenakan sepsis dan komplikasi peritonitis umum. Mortalitas dapat mencapai 10 % pada pasien dengan syok sepsis.2 Gejala klinis ruptur abses tuboovarial adalah perburukan nyeri perut akut dan karena beratnya pasien dapat mengidentifikasi waktu onsetnya. Pada pemeriksaan pasien tampak sakit berat, dehidrasi, pernapasan cepat dan dangkal. Abdomen terdistensi, dengan tanda-tanda peritonitis umum. Massa pelvis teraba pada 50% kasus. Syok dapat terjadi akibat akumulasi cairan pada jaringan perifer dengan kegagalan mekanisme vasokonstriksi. Jumlah lekosit kemungkinan besar di atas 15.000 namun dapat juga normal. Bila terjadi lekopenia berat maka merupakan tanda penyakit yang lanjut. Kuldosintesis merupakan alat diagnostik bantuan yang cukup baik dan positif pada 70% kasus.2 Penanganan postoperatif harus mempertimbangkan terjadinya syok, infeksi, ileus dan keseimbangan cairan. Syok sepsis harus diatasi dengan tranfusi darah (bila Hb < 7g/dl), cairan ringer laktat, suport respirasi dan bila perlu obat-obat vasoaktif. Infeksi dikendalikan dengan penggunaan antibiotik boradspectrum intravena sampai pasien dapat menggunakan obat oral. Ketika hasil kultur dan resistensi telah didapatkan maka pengubahan antibiotik dapat disesuaikan dengan hasil tersebut.2 Penanganan awal pada pasien dengan syok sepsis adalah terapi suportif. Pengenalan pengobatan sindrom yang tersebut sangat penting yang sehingga tepat dan dapat agresif dimulai untuk sesuai. Resusitasi

mempertahankan fungsi organ merupakan prinsip dasar pengobatan pasien sepsis. Pada pasien sepsis terdapat perubahan fungsi pulmoner, gangguan pertukaran gas, penurunan compliance paru, peningkatan tahanan jalan nafas. Ventilasi yang baik sangat diperlukan, oksigen dapat diberikan melalui face mask, dengan syarat jalan nafas paten dan pasien dapat bernafas adekuat. Saturasi oksigen harus dipertahankan di atas 90%. Indikasi untuk penggunaan ventilasi terkontrol adalah hipoksemia refrakter dengan terapi oksigen (PaO2 <

10

60 mmHg), frekuensi pernafasan > 35x/menit dan kapasitas vital di bawah 15 cc/kgbb. Pada pasien sepsis juga penting untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik. Parameter klinis seperti kesadaran, frekuensi nadi, tekanan darah, produksi urin dan perfusi memberikan informasi yang berguna mengenai fungsi kardiovaskular. Resusitasi cairan harus dimulai dengan infus cairan kristaloid. Jumlah cairan bervariasi, banyak pasien yang membutuhkan 4-6 liter kristaloid. Pemberian cairan dipantau dengan respon terapi.7 Target pemberian cairan adalah CVP 8-12 mmHg.8 Bila hipotensi menetap setelah terapi cairan, maka pasien tersebut memerlukan terapi adrenergik sebagai tambahan. Dopamin sering digunakan pertama kali karena mempunyai efek dopaminergik yang meningkatkan ailran darah ginjal. Dosis dimulai dari 1 g/kgbb/menit sampai 10 /kgbb/ menit. Dobutamin meningkatkan kontraktilitas jantung tanpa takikardi atau vasokonstriksi. 7 Dosisnya antara 2 28 /kgbb/menit.8 Kadar hemoglobin dan hematokrit yang optimal pada pasien sepsis masih tidak pasti. Namun penelitian pada pasien yang sakit berat menunkukkan bahwa ambang tranfusi antara kadar Hb 7 g/dl atau 10 g/dl tidak memberikan perbedaan luaran klinis yang signifikan. Namun beberapa pasien mempunyai kondisi klinis yang memerlukan peningkatan hantaran oksigen, seperti penyakit jantung atau paru-paru. Pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik ini membutuhkan konsentrasi hemoglobin yang lebih tinggi.8 Pra Rumah Sakit Pada kasus ini dapat dilihat bahwa penatalaksanaan sejak dari RS luar ( rumah bersalin ) belum dilakukan dengan tepat. Pasien dengan keluhan benjolan di perut sejak 3 bulan disertai demam turun naik dan tidak ada gangguan buang air besar dan kecil hanya dipikirkan menderita typhoid. Oleh karena itu pemeriksaan fisik dan penunjang USG ) yang dilakukan oleh dokter spesialis kandungan terlambat dilakukan. Faktor sosial ekonomi juga berperan dalam membuat keadaan pasien semakin parah yaitu terlihat dari keluhan pasien tentang benjolan di perut selama 3 bulan tetapi pasien baru berobat setelah timbul demam.

11

Faktor Rumah Sakit Penanganan pasien ketika di RS Gatot Soebroto juga belum optimal. Dimulai dari anamnesis dapat dilihat bahwa tidak cukup data yang diperoleh seperti riwayat keputihan yang berbau, riwayat pernikahan serta gambaran kehidupan seksual. Hal ini penting karena kita dapat mengetahui apakah pasien menderita penyakit infeksi pada organ reproduksi yang disebabkan karena penyakit hubungan seksual. Dari hasil pemeriksaan ultrasonografi di bagian fetomaternal RS Cipto Mangunkusumo yang dibawa oleh pasien, dengan kesan adanya kista endometriosis bilateral, perlekatan dengan diagnosa banding kista terinfeksi, riwayat penggunaan IUD, nyeri perut, dan pada pemeriksaan fisik didapatkan demam, tidak ada ronki basah, teraba massa intra abdomen (sesuai dengan gambaran trias dari pelvic infammatory disease yang sudah mencapai stadium lanjut yaitu abses tubo ovarial) maka analisa yang dipikirkan seharusnya adalah kista terinfeksi dengan IUD insitu dengan rencana pemberian antibiotik yang sesuai (misalnya klindamisin intra vena dan gentamisin intra vena) serta laparatomi eksplorasi ( jika pengobatan antibiotika tidak berhasil ) dan bukan neoplasma ovarium bilateral dengan suspek malignansi sehingga penanganan pada pasien menjadi tidak fokus yaitu dengan dilakukan perencanaan laparotomi VC serta pemberian antibiotik yang tidak tepat (Kedacillin). Walau demikian untuk penatalaksanaan lainnya sudah memadai (pemeriksaan penunjang, foto thorax dan konsul penyakit dalam dan bedah serta pemberian cairan). Selanjutnya penanganan ketika di ruang perawatan juga tidak memadai. Dari hasil pemeriksan penunjang awal didapatkan lekositosis, ureum kreatinin meningkat (kesan akut renal failure / ARF ec dehidrasi) dan analisa gas darah (AGD) didapatkan pCO2 rendah (27 s/d 29) dan pO2 rendah (46 s/d 49,3 ) yang menandakan adanya hipokarbi dan hipoksemia berat walaupun hasil ini dinyatakan tidak sesuai dengan klinis pada saat itu. Disamping itu pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan ulangan sampai satu hari kemudian didapatkan hasil AGD menunjukkan keadaan PO2 tetap hipoksemia (71,6). Dari sini

12

hendaknya mulai dipikirkan apakah pasien sudah mengalami penyulit berupa ancaman gangguan oksigenisasi dan bahkan gejala awal sepsis yaitu demam, takikardi, lekositosis dengan pCO2 rendah . Karena pada penanganan masalah infeksi berat dengan potensial menjadi sepsis prinsipnya adalah pemberian terapi oksigen yang adekuat (face mask atau ventilator), pemberian antibiotik yang adekuat (pada kasus ini triple drug mulai diberikan pada hari ke 3 perawatan) selain pemberian cairan yang cukup. Penanganan operatif pada pasien ini juga terlambat. Dari hasil konsul awal ke bagian ilmu bedah digestif didapatkan kesan ileus obstruktif parsial karena penekanan massa dengan saran pemberian parenteral nutrition (pasien dipuasakan) dan antibiotik Cefotaxim dan Metronidazol. Oleh konsulen harian direncanakan laparatomi eksplorasi setelah perbaikan keadaan umum. Setelah perawatan 4 hari dengan pemberian antibotik triple drug selama 2 hari didapatkan keadaan pasien semakin memburuk (demam tinggi, frekuensi napas meningkat, abdomen membuncit dengan tanda akut abdomen tidak jelas, hasil pemeriksaan penunjang : Widal positif untuk titer H). Seharusnya pada pasien dipikirkan peritonitis dengan kemungkinan pecahnya tuboovarial abses dengan kemungkinan perburukan keadaan pasien (peritonitis sepsis) sehingga pasien belum direncanakan laparatomi cito sampai konsul ulang bedah digestif menyatakan adanya ileus parsial ec perlekatan usus ke massa tumor abdomen dan disarankan untuk laparatomi cito. Dari hasil operasi didapatkan telah terjadi fistulasi ke sigmoid selain ditemukan cairan pus di rongga abdomen dan kedua tuba dan ovarium membentuk kantong pus. Dari sini dapat terlihat telah terjadi penyulit yang berat (fistula pada usus) pada kasus tubo ovarial abses yang berisiko meningkatkan angka kematian . Menurut kepustakaan jika tuboovarial abses pecah maka kemungkinan untuk terjadinya peritonitis sepsis yang berat semakin besar dan akan menimbulkan terjadinya syok septik akibat dari penyerapan bakteri dan endotoksin serta pengumpulan cairan yang banyak kedalam rongga peritonium. Ini semua akan menimbulkan hipovolemi, penurunan cardiak output, hipotensi,

13

vasokonstriksi, perfusi jaringan menurun, asidosis metabolik, ARDS yang berujung pada kegagalan fungsi multiorgan dan akhirnya kematian. Dari semua ini dapat dilihat bahwa keterlambatan dalam mendiagnosa tubo ovarial abses disertai pemberian terapi yang tidak adekuat menyebabkan timbul penyulit berat berupa tuboovarial abses pecah yang berlanjut menjadi peritonitis sepsis dan fistula pada usus yang akhirnya menyebabkan terjadi syok septik yang irreversibel. Dari ilustrasi dan pembahasan di atas dapat dilihat bahwa kematian pada kasus ini merupakan kematian ginekologi yang dalam tingkat pelayanan ginekologi yang modern seharusnya dapat dicegah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Management of Acute Pelvis Inflammatory Disease. Guideline no.32. May 2003.


Avaliable at www.rcog.org.uk

14

2. Martens MG. Pelvis Inflammatory Disease. In : Rock JA and Jones HW ed. Te Lindes Operative Gynecology 9th edition. Lippincot Willianm & Wilkins : Philadelphia. 2003 : p 675-703 3. Ignacio EA and Hill MC. Ultrasound of the Acute Female Pelvis. Ultrasound Quarterly ; 2003 :19 (2): 86-98 4. Horrow MM. Ultrasound of Pelvis Inflammatory Disease. Ultrasound Quarterly ; 2004 : 20 (4): 171-9 5. Aboulghar et al. Ultrasonographically guided transvaginal aspiration of tuboovarian absceso and pyosalpinges : An optional treatment for acute pelvis inflammatory disease. Am J Obstet Gyncol 1995;172: 1501-3 6. Caspi B et al. Sonographically guided aspiration : an alternative therapy fo tuboovarian absces. Ultrasound Obstet Gynecol ; 1996 : 7 : 439-42 7. Tsiotou AG, Sakurafas GH. Management of septic shock : current concepts, with a particular emphasis on the role of source control and future perspectives. European Journal of Anaesthesiology ; 2004 :21 : 337-60 8. Hollenberg SM et al. Practice PArameters for hemodynamic support of sepsis in adult patients : 2004 update. Crit Care Med 2004 : 32 (9) : 1928-48

15

Vous aimerez peut-être aussi