Vous êtes sur la page 1sur 16

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK TETANUS

I. DEFINISI Tetanus adalah penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh eksotoksin yang dapat larut (tetanospasmin) dari Clostridium tetani. Biasanya, toksin tersebut dihasilkan oleh bentuk vegetatif organisme tersebut pada tempat terjadinya perlukaan dan selanjutnya diangkut serta difiksasi di dalam susunan saraf pusat. Tetanus adalah suatu sindrom spasme dan rigriditas otot. Ciri dari penyakit akut ini adalah kontraksi otot ( kekakuan dan kejang ) yang nyeri, tanpa disertai gangguan kesadaran. Clostridium tetani merupakan suatu organisme gram positif, anaerob, membentuk spora, yang menghasilkan suatu neurotoksin yang sangat kuat. Basil dan spora tersebar luas di tanah dan debu dan terdapat pada feses hewan dan manusia. Inokulasi dari suatu luka oleh kotoran atau debu paling sering terjadi pada luka tusuk. Pada banyak kasus,luka semula mungkin sangat kecil atau terluut secara keseluruhan. Pada neonatus, penularan dapat terjadi akibat kontaminasi umbilikus yang saat menjadi nekrotik, memudahkan pertumbuhan organisme anterior dari medulla spinalis dan batang otak. II. EPIDEMIOLOGI Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan peternakan/pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan aktivitas fisiknya. Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak, kuda dan sebagainya, sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat besar. Spora kuman Cl. Tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat bertebaran di mana-mana; misalnya dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptik ( dermatol ), ataupun pada alat suntik dan operasi. Di negara maju, kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah. Data WHO menunjukan, kematian akibat tetanus di negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibandingkan negara maju. III. PATOFISIOLOGI Pada umumnya, Cl. Tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui daerah luaka dalam bentuk spora. Penyakit akan timbul, jika spora-spora tersebut berkembang menjadi organisme berbentuk vegetatif yang hanya akan menghasilkan tetanospasmin pada keadaan penurunan potensial oksigen. Pencemaran tali pusat adalah sumber infeksi tersering pada neonatus. Pada anak-anak lebih tua, organisme tersebut didapatkan pada saat mengalami jejas traumatis. Risiko terbesar untuk mendapatkan tetanus jika terjadi luka tusuk dalam atau suatu luka yang berhubungan dengan nekrosis jaringan dan keadaan yang mempermudah proses pengeluaran toksin. Tetapi, tetanus dapat pula terjadi setelah jejas-jejas kecil dan kadang-kadang tidak ditemukan pintu masuknya ( port dentree ). Pada keadaan demikian, diperkirakan bahwa spora-spora yang sebelumnya telah masuk tetap bertahan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun pada jaringan

normal, untuk kemudia tumbuh jika keadaan memungkinkan. Tempat infeksi lainya mungkin adalah saluran cerna atau kripta-kripta tonsil. Tetanus terjadi pula setelah pemberian serum, vaksin atau bahan untuk menjahit luka, yang telah tercemar Cl. Tetani. Tetanospasmin dapat mencapai susunan saraf pusat melalui: a. Penyerapan pada sambungan mioneural ( mioneural junction ), yang diikuti migrasi melalui ruangan jaringan perineural ( perineural tissue spaces ) susunan saraf. b. Pemindahan limfosit ke dalam darah dan selanjutnya ke susunan saraf pusat. Tetanospasmin bekerja pada motor end plate otot-otot skeletal, medula spinalis, otak dan susunan saraf simpatis. Toksin yang dihasilakn tersebut menimbulkan gangguan transmisi neuromuskuler dengan menghambat pelepasan asetilkolin dari terminal-terminal saraf di dalam otot. Pengaruhnya pada medula spinalis menyebabkan disfungsi refleks polisinaptik. Di dalam susunan saraf pusat, tetanospasmin berikatan dengan gangliosida dan menekan pengaruh hambatan atas neuron-neuron motoris dan interneuron tanpa secara langsung memperbesar kegiatan eksitasi sinaptis serta hambatan antidromik dari aktivitas korteks dikurangi. Kegiatan ini sama halnya dengan yang ditimbulkan oleh striknin dan sekaligus dapat menerangkan hipertonisitas, kekejangan dan serangan kejang, yang timbul pada penderita. Toksin tersebut juga menghasilakn aktivitas berlebihan yang berfluktuasi dari sistem saraf simpatis: takikardi, hipertensi labil, aritmia jantung, vasokonstriksi pembuluh darah perifer, keringat berlebihan, hiperkarbia dan peningkatan ekskresi katekolamin melalui air kemih. Sekali terikat oleh jaringan, maka toksin tersebut tidak dapat dipisahkan atau dinetralisasi oleh antitoksin tetanus. Antitoksin dapat mencegah terjadinya pengikatan toksin pada susunan saraf pusat, jika pengikatan hanya terjadi pada susunan perifer. Antitoksin berpengaruh atas pertumbuhan Cl. Tetani atau proliferasi bentuk vegetatif di dalam jaringan. IV. ETIOLOGI Clostridium tetani adalah organisme bersifat anaerob obligat, gram-positif, tidak berkapsul, berbentuk batang langsing, dapat bergerak dan membentuk spora-spora terminal yang menyerupai tongkat penabuh gendering (drumstick). Spora-spora tersebut kebal terhadap berbagai bahan dan keadaan yang merugikan termasuk perebusan, tetapi dapat dihancurkan jika dipanaskan dengan otoklaf. Mereka dapat hidup bertahun-tahun di dalam tanah, asalkan tidak terpapar sinar matahari, selain itu dapat ditemukan pula dalam debu rumah, tanah, air laut, air tawar, dan dalam tinja berbagi spesies binatang. Baik spora,maupun bentuk vegetatifnya dapat ditemukan pula dalam isi usus manusia. Bentuk-bentuk vegetatif Cl.tetani rentan terhadap panas dan bermacam desinfektan. Basil tetanus tidak bersifat invansif dan menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanospasmin dan tetanosilin. Tetanospasmin yang dihasilkan oleh beberapa tipe basil tetanus, dengan perbedaan antigeniknya adalah identik secara imunologis. Tetanospasmin merupakan toksin bagi susunan saraf dan bertanggung jawab atas gejala-gejala dan tanda-tanda klinis penyakit tersebut. Kecuali toksin botulinum, maka protein yang dapat berdifusi ini merupakan racun paling kuat yang dikenal ; hanya dengan 130 g saja dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa. Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat pencemaran lingkungan oleh bahan biologis ( spora ), sehingga upaya kausal menurunkan attack rate berupa cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port dentre tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui : a. Luka tusuk, patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas. b. Luka operasi, luka yang tak dibersihkan ( debri demand )dengan baik c. Otitis media, karies gigi, luka kronik.

d. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum. V. MANIFESTASI KLINIS Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasnya berkisar antara 5-14 hari. Makin lama masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain berdasarkan gejala klinis yang tampak juga dpt diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of onset. Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar keseluruh tubuh, tanpa disertai gagguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas; yaitu fleksi kedua lengan dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada telapak kaki,tubuh kaku melengkung bagai busur. Terdapat 3 bentuk klinis penyakit ini; tetanus terlokalisasi, menyeluruh (generalisasi) dan sefalik. 1. Tetanus terlokalisasi menimbulkan nyeri, kekakuan dan spasme otot terus menerus pada bagian proksimal luka. Gejala ini dapat bertahan selama berminggu-minggu dan akan menghilang tanpa meninggalkan akibat sisa. Kadang-kadang, bentuk ini mendahului gangguan yang menyeluruh. Bentuk tetanus yang terlokalisasi maupun yang menyeluruh yang ringan, kadang-kadang dapat dijumpai pada anak-anak dengan otitis media kronis; Cl.teteni dapat ditemukan dari cairan liang telinga tengah. Fatality rae tetanus terlokalisasi kurang lebih sebesar 1%. 2. Tetanus menyeluruh (generalisasi) merupakan bentuk tersering dari penyakit yang ditemukan.awitan penyakit dapat berlangsung tersembunyi, tetapi trismus merupakan gejala yang tampak pada lebih dari 50% kasus. Spasme otot maseter berhubungan dengan kekakuan otot-otot leher dan kesulitan menelan. Kegelisahan, iritabilitas dan sakit kepala merupakan penemuan dini yang terjadi. Spasme pada otot-otot muka mengakibatkan sardonikus. Kemudian terjadi kontraksi tonik otot-otot somatic yang menyebar secara luas. Otot-otot lumbal dan abdominal menjadi kaku dan spasme terus-menerus pada otot-otot punggung menyebabkab opistotonus. Serangan tetani dapat berkembang yang ditandai dengan cetusan-cetusan kontraksi tonis mendadak, yang mengenai berbagai kelompok otot mengakibatkan fleksi dan aduksi lengan, pengepalan tinju serta ekstensi pada anggota gerak bawah. Pada mulanya spasme yang terjadi bersifat ringan berlangsung dari beberapa detik hingga beberapa menit dan dipisahkan oleh perioderelaksasi; dengan berjalannya waktu, keadaan semakin memberat, semakin kuat dan melelahkan. Spasme dapat dibangkitkan oleh hampir semua rangsang visus, auditoris atau taktil. Pendrita sepenuhnya sadar selama perjalanan penyakit dan mengalami nyeri hebat dengan kecemasan yang menonjol. Spasme otot-otot laring dan pernafasan mengakibatkan obstruksi pernafasan, sehingga timbul sianosis dan asfiksia, disuria atau retensi air kemih dapat timbul secara sekunder terhadap spasme sfingter kandung kemih. Kadang-kadang penderita mengeluarkan tinja dan air kemih, diluar pengendalian mereka. Selain itu, kekuatan kontraksi yang terjadi dapat menimbulkan fraktur kompresi medulla spinalis dan perdarahan ke dalam otot. Kelemahan dan kehilangan sensoris yang mirip dengan neuropati perifer dapat terjadi dengan pola asimetris; saraf yang paling sering terlibat adalah saraf ulnaris, medianus dan poplitea lateralis. Umumnya kenaikan suhu tubuh hanya ringan,tetapi suhu setinggi 40oC dapat terjadi pula akibat dari pengeluaran energi yang besar, yang menyertai serangan kejang tetani. Tanda dan gejala yang meningkat selama 3-7 hari, akan mendatar selama perjalanan penyakit pada minggu ke2 dan berangsur-angsur mereda. Kesembuhan sempurna dapat dicapai dalam 2-6 minggu. 3. Tetanus safalik merupakan bentuk penyakit yang jarang ditemukan. Bentuk ini mempunyai

masa tunas 1-2 hari dan menyusul ototis media atau berbagai jenis jejas yangmengenai kepala dan wajah termasuk benda asing di dalam hidung. Gambaran yang paling menonjol adalah disfungsi saraf otak III, IV, VI, IX serta XI. Yang sering terkena adalah saraf otak ke 7. Bentuk sefalik ini dapat disusul dengan tetanus generalisasi. Tetanus pada anak: Keluhan dimulai dengan kaku otot local, disusul dengan kesukaran untuk membuka mulut (trismus). Diikuti gejala risus sardonikus, opistotonus, kekakuan otot dinding erut dan ekstremitas (fleksi pada lengan bawah,ekstensi pada telapak kaki). Pada keadaan yang berat, dapat terjadi kejang spontan yang makin lama makin sering/lama, gangguan saraf otonom seperti hiperpireksia, hiperhidrosis, kelainan irama jantung, dan akhirnya terjadi hipoksia yang berat. Bila periode onset pendek, penyakit dengan cepat berkembang menjadi berat. Tetanus Neonatorum: Bayi normal dan bisa menetek dalam 3 hari pertama Hari berikutnya bayi sukar menetek. Mulut mencucu seperti mulut ikan Risus sardonikus dan kekakuan otot ekstremitas Tanda-tanda infeksi talipusat kotor Hipoksia dan sianosia Semua tetanus neonatorum termasuk gradasi berat Secara praktis,tingkat derajat penyakit dapat dibagi menjadi tetanus berat,sedang,dan ringan. Tetanus berat,bila anak kaku dan sering kejang spontan,yaitu kejang terjadi tanpa rangsangan. Tetanus sedang apabila anak kaku tanpa kejang spontan tetapi masih dijumpai kejang rangsang,yaitu kejang yang terjadi apabila dirangsang . Sedangkan tetanus ringan bila kekakuan yang tampak jelas hanya trismus,tanpa disertai kejang rangsang. VI. PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan. Kebanyakan kasus terjadi pada individu yang belum diimunisasi atau pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang tidak diimunisasi. Sebagian penderita mempunyai riwayat trauma dalam 14 hari terakhir. Jika riwayat tersebut berhasil didapatkan dari penderita dengan trismus, kekakuan otot yang menyeluruh dan spasme tetap sadar,maka dapat diperkirakan suatu diagnosis tetanus. Pemeriksaan laboratorium rutin hanya bermakna kecil dalam penyakit ini. Jumlah leukosit dapat tetap normal atau terdapat leukositosis poliomorfonuklir ringan. Pemeriksaan cairan serebrospinal tidak mengungkapkan suatu kelainan,tetapi tekanannya dapat meninggi akibat adanya gambaran normal; sedangkan elektromiografi memberi gambaran non spesifik. Biakan yang diambi dari luka penderita memberikan hasil positif untuk Cl. tetani pada kurang lebih sepertiga dari semua penderita dengan bukti klinis penyakit tersebut. Pewarnaan Gram atas bahan luka mungkin dapat atau tidak dapat memperlihatkan adanya organisme spesifik pengenalan organisme melalui pewarnaan Gram dan isolasi dari biakan anaerob merupakan bukti dari dugaan adanya tetanus pada enderita dengan riwayat dan temuan klinis yang sesuai; keberhasilan mengisolasi Cl.tetani dari luka tercemar tidak berarti bahwa penderita mengalami tetanus atau akan mendapatkannya kemudian. Tetanus harus dibedakan dari penyakit local dan sistemis lain. Trismus dapat timbul berhubungan dengan abses alveolar,parafaringal atau retrofaringal. Keadaan-keadaan ini data

dibedakan dari tetanus melaui anamnesis penyakit yang cermat,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan roentgenografis yang sesuai. Poliomyelitis dapat disertai kekakuan dan kekejangan pada awal perjalanan penyakit,tetapi pada penyakit ini tidak ditemukan trismus,timbul kelumpuhan flaksid dan cairan cerebrospinal memperlihatkan kenaikan konsentrasi protein dan pleiositosis. Virus polio diisolasi dari dalam tinja dan diagnosisnya dipastikan dengan kenaikan antibody netralisasi. Bentuk lain ensefalitis akut atau pascainfeksinya jarang berhubungan dengan adanya trismus,umumnya memperlihatkan gambaran cairan serebrospinal abnormal dan penderita memperlihatkan kesadaran yang berkabut. Meningitis bakteri juga tidak disertai trismus; pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menegakkan atau dengan kuat memberi dugaan diagnosis penyakit tersebut. Rabies maupun tetanus dapat terjadi setelah gigitan binatang dan trismus dapat dijumpai terjadi pada beberapa penderita tersebut. Spasme pada penderita rabies cenderung bersifat intermiten dan lebih bersifat klonik daripada tonik, selain itu dijumpai pleiositosis cairan serebrospinal dan C.tetani bukanlah penghunu yang sering ditemukan di dalam mulut anjing. Tetanus toksoid dapat diberikan setelah gigitan anjing untuk mencegah tetanus akibat pencemaran luka gigitan tersebut (suatu lingkungan yang relative anaerobik) oleh C.tetani yang mungkin telah terdapat pada kulit penderita pada saat mereka digigit atau kemudian masuk ke dalam luka. Riwayat menelan racun mengandung striknin akan sangat membantu dalam membedakan keracunan yang terjadi dari penyakit tetanus. Pada keracunan tersebut jarang ditemukan trismus dan jika terjadi, akan timbul setelah awitan aktivitas tonik yang menyeluruh. Biasanya,diantara kejang-kejang akan ditemuaka masa relaksasi sempurna. Trismus dapat pula terjadi pada anakanak yang mengalami keracunan fenotiazin. Tetani dapat ditandai secara khas oleh spasme karpopedal dan laringospasme,tetapi jarang ditemukan trismus. Diagnosis dipastikan dengan konsentrasi kalsium yang rendah di dalam serum penderita. Obstruksi intestinal dan perforasi dengan peritonitis berhubugan dengan kekakuan abdomen. Pada keadaan tersebut tidak didapatkan spasme otot menyeluuh dan trismus. Penyulit-penyulit tetanus dapat dikurangi dengan memberikan perhatian cermat pada perawatan penunjang dan pengobatan yang sesuai. Gangguan pada ventilasi paru,akibat spasme otot-otot pernafasan dan spasme laring atau akibat dari penimbunan sekresi dapat menimbulkan aspirasi pneumonia, atelektasis,emfisema mediastinum atau pneumotoraks dan temuan 2 hal terakhir tersebut mempersulit tindakan trakeostomi. Laserasi pada lidah atau mukosa pii,hematoma intramuscular dan fraktur-fraktur vertebra dapat terjadi setelah serngan kejang tetanik. Jika penyakit berkangsung lama,dapat terjadi malnutrisi dan dehidrasi kecuali bila diberikan perhatian yang memadai pada masalah keseimbangan cairan dan pemasukaan kalori. Anamnesis yang teliti dan terarah selain membantu menjelaskan gejala klinis yang kita hadapi juga mempunyai arti diagnostik dan prognostik. Pada tetanus neonatorum,anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain: Siapa penolong persalinan,tenaga medis/paramedis atau non medis/dukun bayi,yang telah mendapat pelatihan atau belum. Data ini akan membantu membedakan persalinan yang bersih/higienik atau tidak Alat apa yang dipakai untuk memotong tali pusat Ramuan apa yang dibubuhkan pada tindakan perawatan puntung tali pusat Apakah ibu pernah mendapatkan imunisasi tetanus toksoid sebelum atau selama kehamilannya Sejak kapan bayi tak dapat menetek (incubation period)

Berapa lama selang antara waktu gejala tidak dapat menetek dengan gejala kejang yang pertama (period of onset) Pada tetanus anak,diperlukan tambahan anamnesis: Apakah dijumpai luka tusuk,luka kecelakaan /patah tulang terbuka,luka dengan nanah atau gigitan binatang Apakah pernah keluar nanah dari telinga Apakah menderita gigi berlubang Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DPT atau TT,kapan imunisasi yang terakhir Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal) dengan kejag yang pertama (period of onset) VII. DIAGNOSIS BANDING Pada kasus yang sama perlu dipikirkan diagnosis banding Meningitis,meningoensefalitis,ensefalitis. Pada pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai gangguan kesadaran dan kelainan likuor serebrospinal Tetani: tetani disebabkan oleh karena hipokalsemia,secara klinis dijumpai adanya spasme karpopedal Keracunan strihnin: minum tonikum terlalu banyak (pada anak) Rabies: pada rabies dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan,sedangkan pada anamnesis diketahui digigit binatang pada waktu epidemic Trasmus oleh karena proses local,seperti mastoiditis,OMSK,abses tonsilar,biasanya asimetris Pada tetanus neonatorum perlu dibuat diagnosis banding dengan sepsis,meningitis,dehidrasi,atau sebagai akibat trauma lahir. VIII. PENATALAKSANAAN Pengobatan pada tetanus terdiri dari pengobatan umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi kejang, perawatan luka atau portd entre lain yang diduga seperti caries dentis dan OMSK; sedangkan pengobatan khusus terdiri dari pemberian antibiotic, dan serum tetanus Perawatan umum 1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara IV, sekaligus memberikan obat obatan. Pemberian cairan IV disesuaikan jumlah dan jenisnya dengan keadaan penderita, seperti sering kejan, hiperpireksia, dsb. Bila sampai hari ke 3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nurtisi secara parenteral atau nutrisi tinggi kalori. Setelah kejang mereda mereka dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi, pemberian makanan per oral hendaknya segera dilaksanakan.. 2. Menjaga saluran nafas tetap bebas dan oksigenasi Respirator, oksigen, alat penghisap, dan perlengkapan trakeostomi harus selalu tersedia. Meskipun trakeostomi tidak diperlukan sebagai prosedur rutin, tetapi tindakan tersebut harus dilakukan sebelum terjadinya kelumpuhan hebat dari otot otot pernafasan atau laringopasme. Pemberian zat asam tambahan dilakukan jika terdapat sianosis atau serangan apnea, dan pada waktu ada kejang. 3. Mengurangi spasme dan mengatasi kejang a. Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg IV untuk neonatus atau

kombinasi fenobarbital dengan largaktil dan diazepam 10 mg IV atau per rectal untuk anak (dosis diazepam untuk anak 0.3 mg/kgBB/kali). Bila kejang memburuk (serangan makin sering dan makin lama), pemberian antikonvulsan dirubah seperti pada awal terapi, yaitu dimulai lagi dengan pemberian secara bolus, dilanjutkan dengan dosis rumatan yang lebih tinggi. Setelah kejang berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai lagi kejang spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernafasan. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih kejang atau mengalami spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernafasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respons klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3 5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan bertahap (berkisar antara 20% dari dosis stiap 2 hari). Bila pipa nasogastrik telah dapat dipasang, obat anti kejang diberikan secara oral. Eksisi tali pusat tidak lagi dianjurkan. b. Pada tetanus sedang, dosis antikonvulsan dimulai dengan - 2/3 dari dosis maksimal dan 2/5 dosis maksimal untuk tetanus ringan. Mengingat tetanus sedang/ringan dapat berubah menjadi tetanus berat secara cepat, maka setiap saat dosis harus disesuaikan dengan perubahan gejala klinis dengan pemberian dosis antikonvulsan yang maksimal. c. Pada tetanus berat, tatalaksana dibagi: v Tetanus neonatorum Pertama diazepam diberikan 5 mg IV perlahan lahan, kemudian dilanjutkan dengan dosis 90 120 mg/24 jam bila mungkin mempergunakan pompa semprit (syringe pump) yang diberikan dari polietilen atau karet, tetapi jika pompa semprit tidak ada diazepam diberikan tiap 2 jam (12 kali perhari). Tidak dianjurkan mencampur diazepam dalam larutan cairan yang digunakan untuk infuse. v Tetanus anak Setelah pemberian diazepam 10 mg IV perlahan lahan dilanjutkan dengan dosis 180 200 mg/24 jam dengan pompa semprit atau tiap 2 jam atau 12 kali perhari. d. Pelemas otot (muscle relaxant) harus diberikan kepada penderita tetanus. Diazepam terbukti merupakan obat yang cukup efetif untuk mengendalikan hipertonisitas dan spasme. Diazepam dapat diberikan dalam dosis sebesar 0,1 0,2 mg/kg. terbagi dalam 3 6 jam secara IV atau IM, sesuai dengan kebutuhan. Klorpromazin dan mefenesin digunakan pula, tetapi sepertinya tidak memberikan hasil yang efektif, mungkin dibutuhkan mas pengobatan berkisar antara 2 6 minggu; dosis yang diberikan dapat diperkecil berangsur angsur sesuai dengan penurunan kegiatan tetanik. 4. Perawatan luka atau portd entre Dilakukan eksisi jaringan yang cukup luas guna membersihkan jaringan anaerob, terutama bila ada benda asing. Tindakan pembedahan harus ditangguhkan hingga penderita mengalami sedasi dan diberikan antitoksin. 5. Jika karies dentis atau OMSK Konsultasi dengan dokter gigi/THT perawatan khusus 1. Antibiotik Pengobatan dengan antibiotic dapat memusnahkan C. tetani vegetatif yang tumbuh pada daerah devitalisasi jaringan dimana aliran darahnya buruk atau tidak. Dengan alasan demikian, maka lebih disukai pemberian dosis besar penicillin G untuk memacu difusi ke daerah devitalisasi.

Penicillin G ( 200.000 unit/kg/24 jam ) dapat diberikan secara IV dalam 6 dosis terbagi selama 10 hari. Pada penderita yang sensitive terhadap penicillin, maka pemberian tetrasikllin ( 30 40 mg/kg/24 jam, tetapi tidak lebih dari 2 g ) dalam 4 dosis oral akan memberikan hasil yang efektif ( untuk anak lebih dari 8 tahun ).Untuk penyulit sepsis atau bronkopneumonia diberikan antibiotic yang sesuai. 2. Anti serum Tetanus Immunoglobulin berasal dari manusia sebanyak 3000 4000 unit, harus diberikan secara IV. Pemberian TIG tidak diikuti oleh alergi atau anafilaksis; dan dengan pemberian ini dapat dihasilkan titer antitoksin yang lebih tinggi serta lebih lama daripada yang dihasilkan oleh antitoksin berasal dari bukan manusia. Derajat perlindungan akan dicapai dengan cepat, sedangkan penurunannya berlangsung perlahan lahan (waktu paruhnya 24 hari) dan tidak perlu diberikan dosis ulangan. TIG tidak berpengaruh terhadap toksin yang telah terikat pada jaringan saraf dan juga tidak dapat menembus sawat otak, tetapi dapat menetralisasi tetanospasmin yang sedang beredar atau yang belum berkomunikasi. Jika TIG tidak tersedia dan tes kulit yang dilakukan tidak memperlihatkan adanya hipersensitivitas pada penderita, maka ATS dapat diberikan dengan dosis sebesar 50.000 100.000 unit. Antitoksin ini dibagi sama banyak setengah dari dosis tersebut diberikan secara IM dan setengah lagi diberikan secara IV. Pada tetanus anak pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. IX. PROGNOSIS Mortalitas rata-rata tetanus sebesar 45-55% ; sedangkan mortalitas tetanus neonatorum sebesar 60% atau lebih tiggi lagi. Prognosis penyakit dipengaruhi oleh beberapa faktor. Angka kematian tertinggi didapatkan pada bayi dan penderita usia lanjut; mortalitas terendah dijumpai pada penderita berusia antara 10-19 tahun ( kurang dari 20% ). Keterlibatan otot yang luas, demam tinggi dan interval yang pendek antara saat terjadinya luka munculnya manifestasi klinis atau antara terjadinya trismus pertama dengan kejang seluruh tubuh sering menimbulkan kematian, penderita-penderita dengan penyakit terlokalisasi atau yang baru mulai setelah masa tunas lebih lama maupun penderita yang afebris, mempunyai harapan lebih besar untuk sembuh. Kematian pada kasus berat biasanya terjadi selama minggu pertam penyakit. Prognosis penyakit juga tergantung pada mutu perawatan penunjang yang diberikan kepada penderita. Kesembuhan dari tetanus tidak memberikan kekebalan; karena itu imunisasi aktif penderita setelah kesembuhan, merupakan suatu keharusan. Selain itu prognosis tetanus juga ditentukan oleh masa inkubasi, period of onset, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien. Makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Semakin pendek period of onset makin buruk prognosis. Letak, jenis luka, dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Sedangkan apabila kita menjumpai tetanus neonatorum harus dianggap sebagai tetanus berat, oleh karena mempunyai prognosis buruk. X. PENCEGAHAN 1. Perawatan luka Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor, atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Terutama perawatan luka guna mencegah timbulnya jaringan anaerob.

Luka harus dibersihkan, jaringan nekrosis dan benda asing dibuang dan bila perlu dilakukan debridement lebih luas. Pengobatan bedah segera dan menyeluruh atas luka merupakan tindakan yang harus dilakukan. 2. ATS profilaksis Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Riwayat Tetanus Luka Kecil, Bersih Semua Jenis Luka Lainnya Imunisasi Td3 TIG3 Td2 TIG3 Tidak tentu, atau < 3 dosis Ya Tidak Ya Ya 3 dosis Tidak4 Tidak Tidak5 Tidak 2Td = tetanus toksoid dan difteri toksoid, preparat dewasa. Preparat ini digunakan hanya untuk anak lebih dari 7 tahun. Gunakan DT atau DTP untuk anak berusia < 7 tahun 3TIG = immunoglobulin tetanus 4Ya, jika lebih dari 10 tahun sejak dosis terakhir 5Ya, jika lebih dari 5 tahun sejak dosis terakhir 3. Imunisasi aktif Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, DT, atau toksoid tetanus. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin. Toksoid tetanus diberikan pada setiap wanita usia subur, gadis mulai umur 12 tahun, dan ibu hamil. Vaksin DPT diberikan sebagai imunisasi dasar, diulang setahun setelah DPT III, dan tiga tahun kemudian. DPT/DT diberikan setelah pasien sembuh dilanjutkan imunisasi ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh karena tetanus tidak menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama sehingga harus dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Anak anak yang belum mendapatkan imunisasi ketika mencapai usia 6 tahun, sebaiknya mendapat 3 dosis tipe dewasa (Td) secara IM. Dosis ke 2 harus diberikan 4 6 minggu setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6 12 bulan setelah pemberian dosis ke 2, setelah itu dosis booster diberikan setiap 10 tahun. 4. Kebersihan pada waktu persalinan Di Indonesia dikenal program eliminasi tetanus neonatorum 3 bersih yaitu minimal bersih tangan, alas tempat bersalin dan alat pemotong tali pusat. Terutama alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat, dan cara perawatan tali pusat, sebelum dan sesudah puntung tali pusat tanggal (diperkirakan 87,3% dari kasus neonatorum berasal dari persalinan yang ditolong oleh tenaga medis). XI. ASUHAN KEPERAWATAN Proses Keperawatan 1. Pengkajian a. Identitas pasien : nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnosa medik, rencana terapi b. Identitas orang tua: Ayah : nama, usia, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat.

Ibu : nama, usia, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat c. Identitas sudara kandung 2. Keluhan utama/alasan masuk RS. 3. Riwayat Kesehatan a. Riwayat kesehatan sekarang b. Riwayat kesehatan masa lalu Ante natal care Natal Post natal care c. Riwayat kesehatan keluarga 4. Riwayat imunisasi 5. Riwayat tumbuh kembang Pertumbuhan fisik Perkembangan tiap tahap 6. Riwayat Nutrisi Pemberin asi Susu Formula Pemberian makanan tambahan Pola perubahan nutrisi tiap tahap usia sampai nutrisi saat ini 7. Riwayat Psikososial 8. Riwayat Spiritual 9. Reaksi Hospitalisasi Pemahaman keluarga tentang sakit yang rawat nginap 10. Aktifitas sehari-hari Nutrisi Cairan Eliminasi BAB/BAK Istirahat tidur Olahraga Personal Hygiene Aktifitas/mobilitas fisik Rekreasi 11. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum klien Tanda-tanda vital Antropometri Sistem pernafasan Sistem Cardio Vaskuler Sistem Pencernaan Sistem Indra Sistem muskulo skeletal Sistem integumen Sistem Endokrin Sistem perkemihan Sistem reproduksi Sistem imun

Sistem saraf : Fungsi cerebral, fungsi kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, fungsi cerebelum, refleks, iritasi meningen 12. Pemeriksaan tingkat perkembangan 0 6 tahun dengan menggunakan DDST (motorik kasar, motorik halus, bahasa, personal sosial) 6 tahun keatas (perkembangan kognitif, Psikoseksual, Psikososial) 13. Tes Diagnostik 14. Terapi d. Diagnosa Keperawatan Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan meningkatnya sekretsi atau produksi mukus Defisit velume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketegangan dan spasme otot mastikatoris , kesukaran menelan dan membuka mulut Resiko aspirasi berhubungan dengan meningkatknya sekresi, kesukaran menelan, dan spasme otot faring. Resiko injuri berhubungan dengan aktifitas kejang Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan aktifitas tatanuslysin Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan aktifitas kejang Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit berhubungan dengan perubahan status kesehatan, penata laksanaan gangguan kejang Cemas berhubungan dengan kemungkinan injuri selama kejang Rencana Keperawatan dan Rasional C Dx. 1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan meningkatnya sekretsi atau produksi mukus. Tujuan : Anak memperlihatkan kepatenan jalan nafas dengan kriteria jalan nafas bersih, tidak ada sekresi Intervensi Rasional a. Kaji status pernafasan, frekwensi, irama, setiap 2 4 jam b. Lakukan pengisapan lendir dengan hati-hati dan pasti bila ada penumpukan sekret c. Gunakan sudip lidah saat kejang d. Miringkan ke samping untuk drainage e. Observasi oksigen sesuai program f. Pemberian sedativa Diazepam drip 10 Amp (hari pertama dan setiap hari dikurangi 1 amp) g. Pertahankan kepatenan jalan nafas dan bersihkan mulut Takipnu, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris sering terjadi karena adanya sekret

Menurunkan resiko aspirasi atau aspeksia dan osbtruksi Menghindari tergigitnya lidah dan memberi sokongan pernafasan jika diperlukan Memudahkan dan meningkatkan aliran sekret dan mencegah lidah jatuh yang menyumbat jalan nafas Memaksimalkan oksigen untuk kebutuhan tubuh dan membantu dalam pencegahan hipoksia Mengurangi rangsangan kejang Memaksimalkan fungsi pernafasan untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan pencegahan hipoksia C Dx. 2. Defisit velume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat Tujuan : Anak tidak memperlihatkan kekurangan velume cairan yang dengan kriteria: Membran mukosa lembab, Turgor kulit baik Intervensi Rasional 1. Kaji intake dan out put setiap 24 jam 2. Kaji tanda-tanda dehidrasi, membran mukosa, dan turgor kulit setiap 24 jam 3. Berikan dan pertahankan intake oral dan parenteral sesuai indikasi ( infus 12 tts/m, NGT 40 cc/4 jam) dan disesuaikan dengan perkembangan kondisi pasien 4. Monitor berat jenis urine dan pengeluarannya 5. Pertahankan kepatenan NGT @ Memberikan informasi tentang status cairan /volume sirkulasi dan kebutuhan penggantian @ Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler @ Mempertahankan kebutuhan cairan tubuh @ Penurunan keluaran urine pekat dan peningkatan berat jenis urine diduga dehidrasi/ peningkatan kebutuhan cairan @ Mempertahankan intake nutrisi untuk kebutuhan tubuh C Dx. 3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketegangan dan spasme otot mastikatoris , kesukaran menelan dan membuka mulut Tujuan : Status nutrisi anak terpenuhi dengan kriteria: @ Berat badan sesuai usia @ makanan 90 % dapat dikonsumsi @ Jenis makanan yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan gizi anak (protein, karbohidrat, lemak dan viotamin seimbang Intervensi Rasional

1. Pasang dan pertahankan NGT untuk intake makanan 2. Kaji bising usus bila perlu, dan hati-hati karena sentuhan dapat merangsang kejang 3. Berikan nutrisi yang tinggi kalori dan protein 4. Timbang berat badan sesuai protokol @ Intake nutrisi yang seimbang dan adekuat akan mempertahankan kebutuhan nutrisi tubuh @ Bising usus membantu dalam menentukan respon untuk makan atau mengetahui kemungkinan komplikasi dan mengetahui penurunan obsrobsi air. @ Suplay Kalori dan protein yang adekuat mempertahankan metabolisme tubuh @ Mengevalusai kefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi C Dx. 4. Resiko aspirasi berhubungan dengan meningkatknya sekresi, kesukaran menelan, dan spasme otot faring. Tujuan : Tidak terjadi aspirasi dengan kriteria: - Jalan nafas bersih dan tidak ada sekret - Pernafasan teratur Intervensi Rasional 1. Kaji status pernafasan setiap 2-4 jam 2. Lakukan pengisapan lendir dengan hati-hati 3. Gunakan sudip lidah saat kejang 4. Miringkan ke samping untuk drainage 5. Pemberian oksigen 0,5 Liter 6. Pemberian sedativa sesuai program 7. Pertahankan kepatenan jalan nafas dan bersihkan mulut @ Takipnu, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris sering terjadi karena adanya sekret @ Menurunkan resiko aspirasi atau aspiksia dan osbtruksi @ Menghindari tergigitnya lidah dan memberi sokongan pernafasan jika diperlukan @ Memudahkan dan meningkatkan aliran sekret dan mencegah lidah jatuh yang menyumbat jalan nafas @ Memaksimalkan oksigen untuk kebutuhan tubuh dan membantu dalam pencegahan hipoksia @ Mengurangi rangsangan kejang @ Memaksimalkan fungsi pernafasan untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan pencegahan hipoksia

C Dx. 5. Resiko injuri berhubungan dengan aktifitas kejang Tujuan : Cedera tidak terjadi dengan kriteria C Klien tidak ada cedera C Tidur dengan tempat tidur yang terpasang pengaman Intervensi Rasional 1. Identifikasi dan hindari faktor pencetus 2. Tempatkan pasien pada tempat tidur pada pasien yang memakai pengaman 3. Sediakan disamping tempat tidur tongue spatel 4. Lindungi pasien pada saat kejang 5. Catat penyebab mulai terjadinya kejang @ Menghindari kemungkinan terjadinya cedera akibat dari stimulus kejang @ Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang @ Antisipasi dini pertolongan kejang akan mengurangi resiko yang dapat memperberat kondisi klien @ Mencegah terjadinya benturan/trauma yang memungkinkan terjadinya cedera fisik @ Pendokumentasian yang akurat, memudah-kan pengontrolan dan identifikasi kejang C Dx. 6. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tetanus lysin , pembatasan aktifitas (immobilisasi) Tujuan : Tidak terjadi kerusakan integritas kulit, dengan kriteria : C Tidak ada kemerahan , lesi dan edema Intervensi Rasional 1. Observai adanya kemerahan pada kulit 2. Rubah posisi secara teratur

3. Anjurkan kepada orang tua pasien untuk memakaikan katun yang longgar 4. Pantau masukan cairan, hidrasi kulit dan membran mukosa 5. Pertahankan hygiene kulit dengan mengeringkan dan melakukan masagge dengan lotion @ Kemerahan menandakan adanya area sirkulasi yang buruk dan kerusakan yang dapat menimbulkan dikubitus @ Mengurangi stres pada titik tekanan sehingga meningkatkan aliran darah ke jaringan yang mempercepat proses kesembuhan @ Mencegah iritasi kulti secara langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit @ Mendeteksi adanya dehidrasi/overhidrasi yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan

@ Mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi dan masagge dapat meningkatkan sirkulasi kulit @ Dx. 7. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan aktifitas kejang Tujuan : Kebutuhan aktifitas sehari-hari/perawatan diri terpenuhi, dengan kriteria @ Tempat tidur bersih,Tubuh anak bersih,Tidak ada iritasi pada kulit, BAB/BAK dapat dibantu. Intervensi Rasional 1. Pemenuhan kebutuhan aktifitas sehari-hari 2. Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktifitas , BAB/BAK, membersihkan tempat tidur dan kebersihan diri 3. Berikan makanan perparenteral 4. Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. C Kebutuhan sehari-hari terpenuhi secara adekuat dapat membantu proses kesembuhan C Memenuhi kebutuhan nutrisi klien

C Orang tua mandiri dalam merawat anak di rumah sakit C Dx. 8. Cemas berhubungan dengan kemungkinan injuri selama kejang Tujuan : Orang tua menunjukan rasa cemas berkurang dan dapat mengekspresikan perasaan tentang kondisi anak yang dialami, dengan kriteria : Orang tua klien tidak cemas dan gelisah. Intervensi Rasional 1. Jelaskan tentang aktifitas kejang yang terjadi pada anak 2. Ajarkan orang tua untuk mengekspresikan perasaannya tentang kondisi anaknya 3. Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan 4. Gunakan komunikasi dan sentuhan terapetik C Pengetahuan tentang aktifitas kejang yang memadai dapat mengurangi kecemasan C Ekspresi/ eksploitasi perasaan orang tua secara verbal dapat membantu mengetahui tingkat kecemasan C Pengetahuan tentang prosedur tindakan akan membantu menurunkan / menghilangkan kecemasan C Memberikan ketenangan dan memenuhi rasa kenyamanan bagi keluarga DAFTAR PUSTAKA Wiknjosastro, Hanifa. 1991. Ilmu Kebidanan. Gramedia: Jakarta Nelshon, Waldo H. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Nelshon, 2ed. EGC: Jakarta http://keperawatan-gun.blogspot.com/2008/05/asuhan-keperawatan-dengan-tetanus.html

Diposkan oleh PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UGM 2008 di 01:48 0 komentar Link ke posting ini

Vous aimerez peut-être aussi