Vous êtes sur la page 1sur 20

KRITIK MATAN HADIS DALAM PERSPEKTIF ULAMA HADIS OLEH : KUSNADI, S.H.

I 1 Abstrak Berbicara hadits tidak bisa lepas dari dua dimensi, yang mana dua dimensi itu yang satu dan yang lainnya saling terkait erat, laksana mata uang, sisi yang satu dan sisi yang lainnya tidak bisa di pisahkan. Dua dimensi tersebut terdiri dari sisi sanad dan sisi matan. Ulama hadis memberikan sebuah kaidah dalam pembahasan ini, yaitu sahihnya sanad belum tentu menunjukkan terhadap sahihnya matan. Karenanya ulama hadits melakukan penelitian, kajian dan analisis secara kritis terhadap matan hadits. Berangkat dari uraian tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah dalam kajian kritik hadits, yang pertama adalah bagaimana sistem periwayatan hadits Nabi SAW.? Yang kedua bagaimana kritik matan hadits dalam persepektif ulama hadits?. Dari hasil rumasan tersebut, maka dapat diperoleh kesimpulam bah a dalam kegiatan peri ayatan hadits yang dilakukan oleh pera i-pera i hadits rij l al-hah ts terdapat dua cara: Pertama Periwayatan dengan lafal, yaitu hadits-hadits yang berupa sabda (had ts qaulyyah asulullah , diri ayatkan oleh sahabat dengan lafal yang persis, atau disampaikan kepada generasi berikutnya matan hadits itu persis seperti yang dikeluarkan dari sumbernya ar-ri ayah bi al-lafd . edua, eri atan dengan makna (ar-ri ayah bi al-makn , yaitu hadits-hadits qauliyyah untuk satu hadits dalam suatu peristiwa, tetapi teks yang diriwayatkan tidak sama persis dari sumbernya. Ulama hadits setelah melakukan pengumpulan, penyusunan dan penyeleksian secara cermat terhadap data-data hadits, kemudian dianalisis secara kritis. Dari hasil analisis itu kemudian mereka menyimpulkan dan menetapkan kaidah-kaidah hadits dalam kritik matan yang meliputi: pertama hadits syaz; Kedua hadits mudraj; Ketiga hadits maqlub; Keempat hadits malul; Kelima hadis mushahhaf; Keenam hadis mudtharib.

A. Pendahuluan Hadits adalah teks normatif kedua (the second text) setelah al-Quran yang dijadikan pedoman hidup (Way of live) bagi umat Islam dan sebagai doktrin dalam ajaran Islam. Sebagai teks yang kedua tentu kualitas hadits beda dengan kualitas Quran, baik pada tingkat kepastian teks (Qathi al- ur d) maupun dari segi kepastian argumennya qat ad-dil lah). Yang pertama hadits dihadapkan pada realita bahwa tidak ada jaminan otentik yang menjamin kepastian hadits sebagaimana al-Quran. Karenanya ulama melakukan pengkajian dan penelitian secara intens untuk dapat merumuskan teks hadits sehingga hadits itu dapat terjamin keotentikannya. Dari hasil penelitian tersebut, para pengkaji dapat merumuskan sejumlah disiplin ilmu yang terkait dengan konsep sanad maupun konsep matan. Beragam
1

Mahasiswa Pasca Sarjana UIN SUKA, Jurusan Agama Filsafat

disiplin ilmu yang konsen dengan kritik sanad (naqd al-matan) melahirkan karya yang disebut dengan al-Jarah wa at-Tadil, Ilmu rijal al-Hadits, Tabaqat ar-Ruwat, dan Tarikh ar-Rijal. Konsen kajiannya dari berbagai karya tersebut terfokus pada tipologi para rawi hadis, yang terkait dengan keadilan dan ke-dabit-tannya dimana pada gilirannya hadits dapat di nilai dengan kualitas hadits shahih, hasan dan daif . begitu pula dalam kajian sanad dilihat dari perspektis sumbernya dapat merumuskan hadits marfu, mauquf, dan maqtu. Dalam perspektif kuantitas perawinya dapat menghasilkan hadits mutawatir, hadits ahad, dan seterusnya. Hadits sebagai sumber ajaran Islam kedua muatannya berisikan tentang doktrin, perintah larangan, etika dan tuntunan kehidupan bagi manusia, semua itu terangkum dalam matan, agar isi teks sebuah hadits benar-benar dapat dipertanggung jawabkan sebagai argumentasi hukum maka sanad inilah yang menjadi barometernya. kesahihan matan tidak mesti berbanding lurus dengan kesahian sanad, namun keduanya tidak

dapat dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang kalau dihilangkan sisi satunya, maka uang tidak ada nilainya. Hadits begitu juga, kalau jalur sanadnya tidak dikritisi, maka bisa jadi hadits itu palsu. Di dalam format matan masih banyak hal yang perlu dikaji dan dikritisi tentang muatan informasi dari Nabi Muhammad SAW. Yang menjadi fokus analisis dalam kritik matan hadits adalah tentang perbedaan kalimat dalam suatu hadits antara yang satu dan lainnya, terdapat pernyataan sahabat, kontradiksi, diriwayatkan dengan kalimat yang simpel, pemotongan sebagian hadits dan lain sebagainya. Berangkat dari uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam kajian kritik hadits yang pertama adalah bagaimana sistem periwayatan hadits Nabi SAW.? Yang kedua bagaimana kritik matan hadits dalam persepektif ulama hadits?. Dua permasalahan ini yang menjadi objek kajian dalam pembahasan berikutnya. B. Pengertian Matan Matan menurut bahasa adalah m shaluba a irtafaa min al-ardi (sesuatu yang menjadi keras dan terangkat dari bumi). Sedangkan menurut istilah sebagaimana yang dikatakan oleh al-Thayyiby adalah lafal-lafal hadits yang mengandung makna. Menurut Ibn Jamaah adalah sesuatu yang menjadi ujung penghabisan dari sanad.2 Dari definisi

Muhammad Jamaluddin al-Qasimy, hlm. 202.

id al-Tahdts min un n al- ushthalah al- ad s, tp,

tersebut dapat dipahami bahwa matan merupakan redaksi atau lafal- lafal hadits yang mengandung arti yang menjadi ujung penghabisan dari sebuah sanad. C. Periwayatan Hadits Hadits Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis melalui proses periwayatan. Dalam periwayatan hadis harus memenuhi tiga unsur, yakni: (1) kegiatan menerima hadis dari periwayat hadits (at-tahammul); (2) kegiatan menyampaikan hadits kepada orang lain (al-ada ; dan (3) penyebutan susunan rangkaian periwayatannya ketika menyampaikan hadits (al-isnad).3 Ada dua hal dalam kegiatan periwayatan hadits yang dilakukan oleh perawiperawi hadits rij l al-hah ts), yaitu: 1. Periwayatan dengan lafal, yaitu hadits-hadits yang berupa sabda had ts qaulyyah) Rasulullah SAW, diriwayatkan oleh sahabat dengan lafal yang persis, atau disampaikan kepada generasi berikutnya matan hadits itu persis seperti yang dikeluarkan dari sumbernya ar-ri ayah bi al-lafd ). Hadits yang dapat

diriwayatkan dengan lafal, hanya hadits-hadits yang berbentuk sabda, sedangkan hadits yang berupa perbuatan, penetapan dan hal-ihwal Nabi diriwayatkan oleh sahabat dengan menggunakan ungkapan lafal masing-masing berdasarkan kesaksian mereka. 2. Periwatan dengan makna ar-ri ayah bi al-makn ), yaitu hadits-hadits qauliyyah untuk satu hadits dalam suatu peristiwa, tetapi teks yang diriwayatkan tidak sama persis dari sumbernya. Sistem periwayatan ini terkadang diriwayatkan dengan kalimat simpel, hadits antara yang satu dan lainnya kontradiksi, terdapat pernyataan sahabat, pemotongan sebagian hadits dan lain sebagainya. Terjadinya periwayatan hadits dengan mana disebabkan oleh beberapa faktor: a. Tidak seluruh hadits diriwayatkan secara mutawatir, berbeda dengan alQuran yang diriwayatkan secara mutawatir sehingga lafalnya terjaga. b. Pada masa Nabi dan masa sahabat hadits-hadits belum terbukukan sebagaimana al-Quran. Hanya ada sebagian kecil dari sahabat yang membukukan, namun tidak secara keseluruhan. c. Perbedaan kemampuan sahabat dalam menerima dan meriwatkan hadits.

Muhammad Ujjad al-Khatib, Ushul al-Hadts Ulumuhu wa Musthaluhu, (Beirut: libanun. 1989), hlm. 227.

d. Hanya hadits yang berupa sabda yang dapat diriwayatkan secara teks.4

D. Pandanagn Ulama Tentang Periwayatan Hadits dengan Makna Ulama hadits berbeda pendapat tentang ar-ri ayah bi al-makn , ada yang melarangnya secara mutlak, ada yang membolehkannya secara mutlak dan ada pula yang membolehkannya denagan memenuhi beberapa syarat. 1. Kelompok yang melarang ar-ri ayah bi al-makn secara mutlak Adapun kelompok yang melarang ar-ri ayah bi al-makn secara mutlak dari kalangan sahabat adalah Umar bin khattab dan putranya, Abdullah. Umar berkata, Baranga siapa yang mendengar hadits dan menyampaikannya sesuai dengan yang didengarnya, maka dia akan selamat. Dari kalangan tabiin adalah al-Qasim bin Muhammad, Muhammad bin Sirin Raja bin Haiwah dan Tawus bin Kaisan. Dari kalangan pengikut tabiin adalah Imam Malik, Hammad bin Said dan Ahmad bin Hambal. Alasan yang mereka kemukakan yang pertama adalah bahwa perkataan Nabi mengandung fashahah dan bal ghah yang tinggi dan haditsnya merupakan agama wahyu yang bersumber dari Allah; sedangkan alasan yang kedua bahwa nabi pernah mengkritk sahabat yang mengganti lafal hadits nabiyyik dengan lafal lain rasulik. Dan sabda Nabi yang berbunyi:
5

llah akan mengelokkan rupa seseorang yang mendengar perkataan dariku dan menjaganya kemudian ia menyampaikan sebagaimana ia mandengarnya. Banyak orang yang diberi tahu lebih faham dari pada orang yang mendengarnya sendiri 2. Kelompok yang membolehkan ar-ri ayah bi al-makn secara mutlak Kelompok yang kedua ini membolehkan ar-riwayah bi al-makna secara mutlak. Kelompok kedua ini adalah Hasan al-Basri, Asy-Syaby dan Ibrahim annakhai. Argumentasi mereka adalah tidak masalah, asalkan maknanya sama dan berdusta kepada Nabi itu adalah bagi orang orang yang menyengaja. 3. Membolehkan dengan menekankan syarat kelompok yang ketiga ini adalah kelompok yang moderat antara pendapat yang ketat dan pendapat yang longgar. Supaya periwayat tidak mengalami
Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2009), h.53. At-Tirmiziy, al- mial-shahih Wahuwa Sunan at-Tirmiz, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1987), Jilid V, hlm. 33.
5 4

kesulitan dan keberatan dalam meriwayatkan sebuah hadits disebabkan oleh ketatnya aturan-aturan dan supaya tidak terlalu longgar dan supaya tidak meriwayatkan dengan sembrono, maka golongan ketiga memberikan solusi dengan mengajukan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Argumentasi yang dikemukakan dalam kelompok ini adalah (1) sesungguhnya yang dilarang adalah berdusta dengan sengaja terhadap hadits Nabi; (2) perbedaan lafal yang tidak merubah makna diperbolehkan. Yang tidak boleh menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal; (3) mengganti lafal hadits dengan bahasa lain selain bahasa Arab diperbolehkan, apabila dengan bahasa lain diperbolehkan, maka dengan menggunakan bahasa arab lebih utama.6 Imam Syafii berpendapat, AlQuran diturunkan atas tujuh huruf dan disuruh membacanya dengan huruf yang lebih mudah. Kemudian kata dia, Jika mereka berbeda dalam penyebutan lafalnya selama tidak merubah makna, maka selain kitab Allah SWT. (hadits) berbeda penyebutan lafal selama tidak merusak makna lebih dibolehkan. 7 Golongan ini didukung dari kalangan sahabat diantaranya Aisyah, Abu Said al-Khudri dan Wailah bin Asqa. Pernyataan mereka sebagai berikut: a. Aisyah ra. Dia berkata kepada Urwah.

, , : :
8

.:

ahai anakku, sesungguhnya telah sampai kepadaku kabar bah a kamu menulis hadis dariku, kemudian kamu kembali dan menulisnya. Ur ah berkata kepadanya, ku mendengar suatu hadis darimu tentang sesuatu, kemudian aku kembali dan aku mendengarnya dalam bentuk lain. isyah berkata kepadanya, pakah hadis yang kamu dengar berbeda maknanya? Dia berkata, tidak. isyah berkata padanya, tidak apa-apa. b. Abu Said al-Hudri. Dia berkata.

Jalaluddin Abdirrahman bin Abi Bakar al-Suyuty, Tadrb al-Raw f Syarah Taqrb al-Nawaw, (al-Madnah al-Munawwarah: al-Maktabah al-Ilmiyyah, 1972), hlm. 100-101. 7 Ibid, hlm. 99. 8 Ham ah Abu al- at bin Husain Qasin al- uaim , Manha al-Ilmi li at-Taammul maa al-Sunnah al-Naba iyyah Inda al-Muhadditsn, (Urdun: Dar al-Naqais, 1999), hlm. 28.

kami duduk disamping Nabi sepuluh orang, kami mendengar hadis. Setiap dua orang yang menyampaikan hadis dengan lafal berbeda hanya saja maksudnya satu. c. Watsilah bin al-Asqo mengatakan.
10

pabila kami meri ayatkan hadis kepada kalian, maka cukuplah ri ayat hadis dengan makna. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits dengan makna sebagaimana yang disepakati oleh jumhur ulama yaitu : 1) periwayat menguasai bahasa arab secara mendalam dan yakin dengan maksud lafal, sasaran atau obyek pembicaraan serta perbedaan penggunaan dalam lafal bahasa Arab, misalnya zahir dan am. 2) Mengetahui tema hadis dan maksud ucapan Nabi, sehingga dia yakin bahwa eimang itulah yang dimaksud, bukan hanya dugaan. 3) Periwayatan dengan makna tidak boleh mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.11 4) Hendaknya periwayat setelah meriwayatkan hadits secara makna mengatakan , untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan atau ragu.12 5) Kebolehan ar-riwayah bi al-makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadits nabi secara resmi. Sesudah pembukuan hadis periwayatan harus dengan lafal. 6) Hendaknya periwayatan mendalami ilmu syariah, fiqih dan ushulnya, supaya mampu memahami hadis-hadits yang mengandung persoalanpersoalan syariah.

E. Implikasi ar-Riwayah bi al-Makn Abu Rayah mengutip pendapat al-Jazairi yang mengatakan bahwa ar-riwayah bi al-makn
9

mengandung bahaya yang besar dan bahkan dianggap sebagai salah satu

Ibid, hlm. 27 Jalaluddin Abdirrahman bin Abi Bakar al-Suyuty, Tadrb al- a f Syarah Taqrb alNawaw ,hlm. 100. 11 Muhammad Jamaluddin al-Qasimy, a id al-Tahd s min un n al- ushthalah al- ad s, t.p, hlm. 224. 12 Ibid, hlm. 103.
10

penyebab perbedan ummat. Ada beberapa alasan yang dikemukakannya diantaranya ialah: a. Ar-ri ayah bi al-makn yang menyebabkan perbedaan redaksi akan

menimbulkan kesalahan arti atau maksud hadits. Bahkan menyebabkan kedustaan walaupun tanpa sengaja dengan menyandarkan perkataan kepada Nabi yang sebenarnya tidak mengatakan. Misalnya hadits tentang pernyataan Jibril kepada Nabi SAW.

, .. :
13

Dari Umar bin al-Khattab ra. Sesungguhnya ketika mereka duduk-duduk bersama nabi SAW. tiba-tiba datang seorang laki-laki yang bagus rupanya, kemudian ia berkata, pakah Islam itu? Nabi menja ab, Bersaksi bah a tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat menunaikan zakat, puasa ramadan dan pergi haji ke Baitul haram. Lakilaki tadi berkata, apakah Iman itu? Nabi menja ab, Iman kepada llah, malaikat-Nya, surga, neraka, hari kebangkitan dan qadar.

Dan hadits dari Ibn Umar sebagai berikut:

.
14

Ibn Umar berkata ketika kami sedang bersama Rasulullah SAW tiba-tiba datang seorang laki-laki, kemudian Ibn Umar menyebutkan keadaannya dan laki-laki itu berkata, ahai asulullah, beritahukan kepadaku tentang iman? asulullah menja ab, Iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-Nya, hari akhir dan iman kepada qadar. ufyan berkata, ku melihat ibn Umar berkata (beriman kepada Qadar) yang biak dan yang buruk. Laki-laki tadi berkata, apakah Islam itu? beliau menja ab, menunaikan salat, mendirikan Zakat, pergi haji, puasa ramadan, dan bersuci dari junub. Laki13 14

Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, (Beirut: Maktabah al-Islamiy,t.t.), hlm. 27 Ibid. hlm. 52.

laki itu berkata, au benar. Ibn Umar berkata ami tidak pernah melihat orang yang lebih menghormati Rasul, sepertinya dia mengajari kepada asulullah. Dua hadits di atas sama-sama di riwayatkan oleh Ahmad bin Hambal. Dua hadits tersebut menyebabkan perbedaan makna dan isi hadits. Ungkapan hadits di atas susunannya berbeda, yang pertama mendahulukan tentang rukun Islam, baru yang kedua menjelaskan tentan rukun Iman. Sedangkan hadits yang kedua menjelaskan tentang rukun iman, dan yang kedua menjelaskan tentang rukun Islam. Sedangkan isinya tentang rukun Islam hadits yang pertama dan kedua berbeda, begitu pula tentang perincian rukun Iman. Perbedaannya dapat dilihat dari dua sisi: 1. Rincian tentang Islam pada hadits pertama adalah; (1) dua syahadat; (2) shalat; (3) zakat; (4) puasa; (5). Sedangkan rincian Islam pada hadits kedua adalah; (1) salat; (2) zakat; (3) haji; (4) puasa ramadan; (5) bersuci dari junub. 2. Rincian tentang iman pada hadits pertama adalah; (1) Iman kepada Allah; (2) malaikat-Nya; (3) surga; (4) neraka; (5)hari kebangkitan; (6) qadar. Adapun rincian pada hadits kedua adalah; (1)Iman kepada Allah; (2) malaikat-Nya; (3) kitab-kitab-Nya; (4) rasul-Nya; (5) hari akhir; (6) iman kepada qadar. b. Ar-ri ayah bi al-makn bisa merusak kesempurnaan makna hadits. Dengan

menghilangkan salah satu lafal hadits, maka suatu hadits menjadi tidak sempurna maknanya. Karena tanpa lafal hadits yang dihilangkan, maka arti hadits itu akan berubah.15 Contoh hadits yang diriwayatkan oleh suatu kaum dari Ibn Masud. ketika ditanya tentang lailah al-jin, dia menjawab tidak ada seorangpun diantara kami yang menyaksikannya. Dalam hadits yang lain juga diriwayatkan oleh Ibn Masud dengan jalur yang berbeda dinyatakan bahwa Ibn Masud melihat Kaum daerah Zatt, dia berkata, mereka ini seperti yang kulihat pada waktu lailah al-jin.16

F. Kritik Matan di Era Sahabat Hadis Nabi SAW yang berfungsi sebagai sumber kedua setelah al-Quran dalam Islam, sistem pembukuan, penulisan, dan periwayatannya tidak sama dengan al-Quran. Wahyu al-Quran ditulis setelah sampai kepada
15 16

abi SAW dan diriwayatkan secara

Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadits, hlm. 91 Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Jilid 1, (t.t.), hlm. 190.

mutawatir. Wahyu yang berupa hadis hanya ditulis oleh sebagian kecil sahabat. Para sahabat memelihara hadits melalui sistem hafalan yang mereka dengar dan dapati dari Rasulullah SAW. Karena itulah tidak menutup kemungkinan bahwa sahabat dalam meriwayatkan hadits terdapat celah dan kesalahan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kritikan sebagian sahabat kepada sebagian sahabat lainnya yang riwayatnya dianggap tidak sejalan dengan al-Quran dan hadits. Diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Aisyah ra. Menolak khabar dari Umar bin Khattab tentang hadits


(Sesungguhnya mayyit disiksa disebabkan tangisan sebagian keluarganya). Setelah kabar itu sampai kepada Aisyah, maka dia berkata:

, : : . : "
17

"

emoga llah mengasihi Umar. Demi Allah Rasulullah SAW. tidak pernah mengatakan: Sesungguhnya Allah menyiksa orang mukmin disebabkan tangisan sebagian keluarganya, akan tetapi asulullah mengatakan: esungguhnya llah akan menambah siksaan kepada orang mayyit kafir disebabkan tangisan sebagian keluarganya. emudian isyah berkata: Cukuplah kepada alian al- uran yang berbunyi: Dan seseorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain 2. Umar bin Khattab ra. menolak khabar dari Fatimah binti Qois tentang nafkah almabthuthah. Dia berkata:


18

Kami tidak akan meningalkan kitab Allah dan sunnah Nabi SAW karena pernyataan seorang perempuan, kami tidak tahu apakah dia hafal atau lupa 3. Aisyah dan Ibn Abbas menolak khabar dari Abu Hurairah tentang riwayat ( anak zina mendapatkan tiga kejelekan). Aisyah berkata: ( , semoga Allah mengasihi Abu Hurairah. Dia jelek

Al-Bukh ri, hahih al-Bukh ri. (Istambul: Al-Maktabah al-Islamiy. 1979), Juz II hlm. 81. Lihat pula Muslim, Juz II, hlm. 41. Bandingkan pula al-Imam Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin
Qutaibah, Ta l
18

17

ukhtalif al-Hadts, Beirut: al-Maktabah al-Islama ,

, hlm.

Abul Husain Muslim Ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Arab Suudi: al-Buh ts al-Ilmiyyah al-Ifta waal-Dawah wa al-Irsy d, 1980), Juz II, hlm. 1119.

pendengaran dan penerimaannya). Ibn Abbas berkata,

4. Ali ra. Menolak khabar dari Muqil bin Sanan al-Asjai tentang mahar seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sebelum di jima (dukhul). Dia berkata.
19

Kami tidak akan menerima perkataan seorang rabiy yang kencing atas kedua tumitnya yang mana perkataannya menyelisihi kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya G. Kritik Matan dalam Perspektif Ulama Hadits Yang dimaksud dengan kritik adalah mengklasifikasikan suatu hadits sehingga hadits dapat diketahui mana yang shahih dan yang dhaif, begitu pula untuk menentukan perawi-perawi yang adil dan perawi-perawi yang cacat. Berbicara hadits tidak bisa lepas dari dua dimensi, yang mana dua dimensi itu yang satu dan yang lainnya saling terkait erat, laksana mata uang, sisi yang satu dan sisi yang lainnya tidak bisa di pisahkan. Dua dimensi tersebut terdiri dari sisi sanad dan sisi matan. Ulama hadis memberikan sebuah kaidah dalam pembahasan ini, yaitu sahihnya sanad belum tentu menunjukkan terhadap sahihnya matan. Karenanya ulama hadits melakukan penelitian, kajian dan analisis secara kritis terhadap matan hadits, agar hadis itu dapat terjamin kesahihannya. Ulama hadits setelah melakukan pengumpulan, penyusunan dan penyeleksian secara cermat terhadap data-data hadits, kemudian dianalisis secara kritis. Dari hasil analisis itu kemudian mereka menyimpulkan dan menetapkan kaidah-kaidah hadits sebagai berikut: 1. Hadits Syaz Secara bahasa syaz adalah menyimpang atau menyendiri. 20 Sedangkan secara istilah syaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang terpercaya (tsiqoh) tetapi menyelisihi hadits yang diriwatkan oleh perawi-perawi yang lain yang lebih kuat dari padanya, karena lebih teliti atau lebih banyak jumlahnya atau sebab adanya kelebihan-kelebihan lain.21

Hamzah Abu al-Fat bin Husain Qasin al-Nuaim, Manhaj al-Ilmi li at-Taammul maa alSunnah al-Naba iyyah Inda al-Muhadditsn, hlm. 94. 20 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Prgresif, 1997), hlm. 704. 21 Labib Mz, inh t al-Mughs f Ilm Multhalah al-Hadts, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2003), hlm. 111.

19

10

Imam syafii memberikan dua syarat untuk mengklasifi-kasikan syaz pada hadits, fakta penyendirian (at-tafarrud). Apabila perawi yang tsiqoh itu meriwayatkan hadits sendirian dan tidak menyelisihi orang-orang yang derajat, yang periwayatannya maqb l, maka haditsnya tergolong shahih, tidak syaz; kedua, bukti perbedaan (al-mukhalafah). Apabila format pemberitaan matan

ketika diperbandingkan dengan sejumlah matan hadits yang setingkat sanadnya atau lebih berkualitas, ternyata matan itu menyelisihi, maka matan hadits itu tergolong syaz.22 Contoh temuan dari hasil data syuzuz karena penyendirian dalam format matan hadits dan menyelisihi dengan matan hadits lain yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqoh:

:
23

usaddad, bu amil dan Ubaidillah bin Umar bin aisarah mengatakan bahwa Abdul Wahid telah memberitahukan kepada kami (katanya),al-Amasy telah memberitahukan kepada kami (katanya) dari Abu shalih dari Abu Hurairah dia berkata: asululllah sa telah bersabda: pabila seseorang diantara kalian telah shalat dua rakaat sebelum subuh, maka hendaklah dia berbaring kerusuk kanannya (HR. Abu Daud) Ditinjau dari segi mata rantai sanad, hadits di atas tergolong tsiqoh. Namun setelah dilakukan penelitian secara cermat oleh al-Baihaqi, didapati kejanggalan bahwa format matan hadits di atas diriwayatkan oleh al-Amasy, sebagaimana dikutip oleh murid-murid beliau selain Abdu al-Wahid bin Ziyad mengambil bentuk ungkapan hadits filiy bukan format qauliy.24 Sebabagaimana diriwayatkan oleh Aisyah
25

esungguhnya Nabi sa terbiasa apabila telah shalat dua rakaat (sunnah) fajar makah dia berbaring kerusuk kanannya. 2. Hadits Mudraj
Muhammad Ujjad al-Khatib, Ush l al-Hadts Ul muhu wa Musthaluhu, (Beirut: libanun. 1989), hlm. 347. Lihat pula Ibn as-Shalah, Ul m al-Hadts (Madinah: Maktabah al-Ilmiyyah, 1966), hlm. 55. 23 Abu at-Thayy b Muhammad Sams al-Haq, Aunu al-Mab d Syarah sunan Abu Da d, (Beirut:Dar al-Fikr, 1979), hlm. 24 Muhammad Ujjad al-Khatib, hlm. 347. 25 At-Tirmz, hlm. 213
22

11

Secara bahasa madraj adalah memasukkan.26 Yang dimaksud disini adalah mudraj matan. Ibn Shalah mengatakan, mudraj matan adalah seorang perawi memasukkan sebagian ucapannya pada hadits Rasulullah SAW. Seperti ucapan sahabat atau orang sesudahnya, lalu perowi yang menerima hadits itu

meriwayatkan dengan tambahan lafal tanpa ada pemisahan, maka bercampurlah antara hadits Rasul dengan ucapan perawi dalam satu redaksi. Orang yang mendengarnya mengira tambahan lafal tersebut
27

bagian dari hadis itu sendiri

marfu . Ada kalanya tambahan lafal (mudraj) itu diawal, ditengah, dan diakhir matan hadits. Hadits yang mudraj di awal matan seperti yang bersumber dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Khatib dari riwayat Syababah. Ibn Qattan dan

: :
28

), (
bu urairah dia berkata: udlu kalian. Celakalah

Dari yubah dari uhammad bin Zaid diri Rasulullah SAW bersabda: empurnakannlah tumit-tumit yang dibakar oleh api neraka.

kalimat merupakan tambahan (mudraj) dari perkataan Abu Hurairah. 29 Adapun riwayat yang sahih sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:

: , : (
30

Dari yubah dari uhammad bin Zaid diri bu urairah bahwa dia berjalan dengan kami sementara manusia sedang ber udlu di tempat yang suci kemudian dia berkata: empurnakannlah udlu kalian..karena Abul Qasim

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, hlm h. 395. Shalahuddin bin Ahmad al-Adliby, Manhaj Naqd al- atan Inda Ulama al-Haddts al-Nabaw, Beirut: Dar al-Inf q al-Jadidah, 1983, hlm. 198. 28 Ibrahim bin Muhammad bin Kamaluddin. l-bay n a at-Tarf fi sb bi ur d al-Hadts asyar f. Juz III. (Beirut:Libanun. 1054), hlm 285. 29 Terkait dengan latar belakang hadis di atas bahwa Rasulullah SAW ketinggalan dari kami dalam suatu perjalanan kemudian kami masih sempat untuk shalat asar, lalu kami berwuduk sekaligus membasuh kaki terkait (tampa membasuh tumit), kemudian Rasulullah memanggil dengan suara yang lantang, yaitu diulangi dua atau tiga kali. Ibid, hlm 285. 30 Al-Bukh ri, hahih al-Bukh r, (Istambul: Al-Maktabah al-Islam. 1979), hlm. 49.
27

26

12

(Muhammad) SAW bersabda: Celakalah bagi tumit-tumit yang dibakar oleh api neraka. Sedangkan hadits yang mudraj di tengah, yaitu tambahan perkataan perawi ditengah redaksi hadits, adalah hadits dari jalur Abdul Hamid bin Jafar sebagai berikut:

: .31 :
Dari isyam bin Urwah dari bapaknya dari Busrah binti Safwan dia berkata: saya mendengar asulullah bersabda: Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, kedua pelirnya atau kedua pangkal pahanya, hendaknya ia ber dlu.. Kalimat adalah mudraj dari Urwah, Sedangkan matan yang benar dari jalur Ayyub dengan lafaz dan Marwan dari Busrah.

:
32

Dari hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Busrah binti Safwan dia berkata: Saya mendengar asulullah bersabda: Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya hendaknya ia ber dlu Ada kalanya hadits mudraj itu hasil penafsiran dari perowi hadits sendiri dari kalimat yang dianggap asing. Contoh hadits tentang proses turunnya wahyu.


33

) ..(
berkontemplasi di gu a

Dari isyah ra. Dia berkata bah a rasulullah hira dia beribadah- beberapa malam. (HR. Bukhari) Lafal merupakan penafsiran dari al-Zuhri.34

Sedangkan yang mudraj diakhir matan adalah riwayat Abu Daud dari Qasim bin Mukhaimirah dia berkata:

,
, , :

Ahmad Muhammad Sy kir. l-B its al-Hadts. (Riyad: Maktabah darus Salam. 1994), hlm. 81. Abu at-Thayyb Muhammad Sams al-Haq, Aun al-Mab d Syarah Sunan Abu Da d, Juz III, hlm.307. 33 Al-Bukhar, Juz I, hlm. 3. 34 Ibid, hlm. 81.
32

31

13

....... , : ,
35

.,

ata asim , al-Qamah memegang tanganku, sambil berkata kepadaku, bahwa Abdullah bin asud memegang tangannya, dan Rasulullah SAW memegang tangannya, sambil mengajarkan tentang at-tasyahhud dalam shalat, seraya berkata: atakanlah, enghormatan bagi llah dan shala at.... dan dia berkata, ika kamu mengucapkan ini maka telah selesai shalatnya. ika kamu mau berdiri, maka brdirilah, jika kamu mau duduk, maka duduklah. Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Darukutni dari Syababah bin Suwar dengan memisahkan redaksi , , . Berarti redaksi itu di ucapkan oleh Abdullah bin Masud, tidak diucapkan oleh Rasulullah.36 3. Hadits Maqlub Secara bahasa maqlub artinya terbalik. Sedangkan maklub dalam istilah ilmu hadits adalah hadits yang terbalik sebagian matannya atau nama perawi pada sanadnya. 37 Contoh hadits yang terbalik sebagian matannya yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah sebagai berikut:

. . : ,
38

(Muslim berkata) Zuhair bin Harb dan al-Muzanna telah menceritakan kepadaku dari Yahya al-Qattan. Zubair berkata, Yahya bin Said telah menceritakan kepada saya dari Ubaidillah, (katanya) Khubaib bin Abdirrahman telah memberitakan kepadaku dari hasf bin sim dari bu urairah, dari Nabi uhammad . beliau bersabda: Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dihari yang tiada naungan kecuali naumgan Allah; pemimpin yang adil, pemuda yang sejak
Abu at-Thayy b Muhammad Sams al-Haq, Aunu al-Mab d Syarah sunan Abu Da d, Juz III, hlm. 254. 36 Shalahuddin bin Ahmad al-Adliby, Manhaj Naqd al-Matan Inda Ulama al-Hadts al-Nabaw, hlm. 200-201. 37 Muhammad Ujjaj al-Khatib, Ush l al-Hadts Ulumuh wa Musthalah, (Beirut: t.p, 1989), hlm.345. 38 Abul Husain Muslim Ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz II, (Arab Suudi: al-Buh ts al-Ilmiyyah al-Ifta waal-Dawah wa al-Irsy d, 1980), hadts 1031, hlm. 91.
35

14

kecil beribadah kepada Allah, seseorang yang hatinya terpaut kemasjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, dia berkumpul dan berpisah karena Allah, seorang laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, tapi dia berkata Aku takut kepada Allah, seseorang yang berinfak secara diam-diam, sehingga tangan kanannya tidak tahu apa yang dilakukan oleh tangan kirinya, dan seseorang yang berzikir kepada Allah diwaktu sendirian dengan bercucuran air mata. Adalah suatu hal yang lazim, bahwa yang memberi sedekah adalah tangan kanan, bukan tangan kiri. Hadits di atas menjelaskan, yang bersedakah secara diam-diam tangan kiri bukan tangan kanan. Setelah dilakukan cross reference kedokumen kitab-kitab yang lain, didapati dalam riwayat Bukhari dan riwayat lainnya sebagai berikut.
39

eseorang yang bersedakah secara diam-diam, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kanannya. Dari hasil cross reference keriwayat Bukhari, maka dapat disimpulkan, bahwa dalam riwayat Muslim di atas redaksi haditsnya terbalik (maqlub), yang benar adalah redaksi hadits dari riwayat Bukhari, karena mendapatkan penguatan dari perawi-perawi yang lain. 4. Hadits alul

Hadits malul adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang tsiqoh, tetapi setelah diselidiki secara cermat, terdapat suatu cacat yang memburukkan. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Anas bin Malik.


40

. ,

saya shalat dibelakang asulullah , bu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka memulai (bacaan al- atihah dengan al-hamdu lillahi rabb al-alamin mereka tidak membaca basmalah baik dari a al maupun diakhir bacaanya. Sedangkan Imam Syafii meriwaytakan hadits dari Sufyan bin Uyaynah, Dari Ayyub, dari Qatadah, dan dari Anas bin Malik dengan redaksi sebagai berikut:

Muhammad bi Ismail al-Bukh r, shahih al-Bukh r, (Istamb l: al-Maktabah al-Isl miyyah, 1979), Juz II, hlm. 81. 40 Muslim, Juz I, hlm.299.

39

15

.
"Nabi SAW, Abu Bakar, Umar dan Usman. Mereka memulai (bacaan al-Fatihah)
dengan al-hamdu lillahi rabb al-alamin. Kata Ad-Darukutni, mereka (Nabi SAW, Abu Bakar, Umar dan Usman) mengawali bacaan ummu al-Quran dengan hamdalah, tidak bisa disimpulkan meninggalkan bacaan basmalah. Ibn Abd al-Bar mengatakan, tidaklah dalam riwayat hadis itu mengharuskan tidak membaca basmalah.41 5. Hadis Mushahhaf Mushahhaf menurut bahasa adalah perubahan lafal yang menyebabkan berubahnya makna yang dikehendaki. Sedangkan arti secara terminologi

mushahhaf adalah perubahan lafal dalam suatu hadits dari suatu bentuk kepada lafal yang lain.42 Contoh hadis yang yang bersumber dari Zaid bin Tsabit:

.
Bah asanya asulullah Dalam lafal berbekam di asjid telah terjadi perubahan huruf, yaitu hauf mim.

Sedangkan lafal yang benar adalah lafalnya diakhiri dengan huruf ra. Sebagaimana hadits dibawah ini:

.
Bah asanya asulullah membuat kamar di Masjid dengan kayu atau tikar dimana beliau melaksanakan shalat di dalamnya43 6. Hadis Mudtharib Hadis mudtharib adalah hadits yang berlawanan dalam periwayatannya dalam berbagai aspek yang tidak bisa disatukan dan ditarjih dengan lainnya. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmuziy dari Fatimah binti Qais.
44

. :

Dari Nabi SAW, Beliau bersabda: esungguhnya ada hak dalam harta, kecuali Zakat. Sedang kan dalam riwayat Ibn Majah dengan format hadits sebagai berikut:
41 42

Shalahuddin bin Ahmad al-Adliby, hlm. 196. uruddin Atar, Majmaj al-Naqd f Ulum al-Hadts, (Damasykus: Dar al-Fikr, 1979), Ibid, hlm 445. At-Turmuziy, hadits 663.

hlm.444.
43 44

16

.
Tidak ada hak dalam harta, kecuali zakat Dua hadits di atas dari jalur Syarik, dari Abu Ham ah, dari Syibiy, dari Fatimah binti Qais. Namun pada transimisi berikutnya terdapat perbedaan, bahwa riwayat Turmuzi adalah dari Aswad bin Amir dari Syarik. Dan dari sisi yang lain bersumber dari Muhammah bin Tufail dan Syarik. Sedangkan Riwayat Ibn Majah bersumber dari Yahya bin Adam dan Syarik. Maka Hadits turmuzi termasuk hadits dhoif yang tidak bisa dijadikan argumen.45

H. Kesimpulan Hadits Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadits melalui proses periwayatan. Dalam periwayatan hadis harus memenuhi tiga unsur, yakni: (1) kegiatan menerima hadis dari periwayat hadits (at-tahammul); (2) kegiatan menyampaikan hadis kepada orang lain (al-ada ; dan (3) penyebutan susunan rangkaian periwayatannya ketika menyampaikan hadis (al-isnad). Ada dua hal dalam kegiatan periwayatan hadits yang dilakukan oleh perawi-perawi hadits (rijal al-hahits), yaitu: A. Periwayatan dengan lafal, yaitu hadits-hadits yang berupa sabda (hadis qaulyyah) Rasulullah SAW, diriwayatkan oleh sahabat sesudahnya dengan lafal yang persis B. Periwatan dengan makna (ar-riwayah bi al-makna), yaitu hadis-hadits qauliyyah untuk satu hadits dalam suatu peristiwa, tetapi teks yang diriwayatkan tidak sama persis dari sumbernya. Dalam periwaytan dengan makna terdapat perbedaan dikalangan ulama hadist, ada yang melarangnya secara mutlak, ada yang membolehkannya secara mutlak dan ada pula yang membolehkannya dengan memenuhi beberapa syarat. Implikasi dari Arriwayah bi al-makna dapat menimbulkan kesalahan arti atau maksud hadits. Ar-riwayah bi al-makna juga bisa merusak kesempurnaan makna hadits. Dengan menghilangkan salah satu lafal hadits, maka suatu hadits menjadi tidak sempurna maknanya. Ulama hadits setelah melakukan pengumpulan, penyusunan dan penyeleksian secara cermat terhadap data-data hadits, kemudian dianalisis secara kritis. Dari hasil atau generasi

45

Ibid, hlm. 197.

17

analisis itu kemudian mereka menyimpulkan dan menetapkan kaidah-kaidah hadits sebagai berikut: 1. Hadits syaz yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang yang terpercaya (tsiqoh) tetapi menyelisihi hadits yang diriwatkan oleh perawi-perawi yang lain yang lebih kuat dari padanya 2. Hadits Mudraj adalah seorang perawi memasukkan sebagian ucapannya pada hadits Rasulullah SAW. Seperti ucapan sahabat atau orang sesudahnaya, lalu perowi yang menerima hadits itu meriwayatkan dengan tambahan lafal tanpa ada pemisahan, 3. Hadits Maqlub adalah hadits yang terbalik sebagian matannya atau nama perawi pada sanadnya. 4. Hadits Malul adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang tsiqoh, tetapi setelah diselidiki secara cermat, terdapat suatu cacat yang memburukkan. 5. Hadits mushahhaf adalah perubahan lafal dalam suatu hadits dari suatu bentuk kepada lafal yang lain 6. Hadits Mudtharib Hadis mudtharib adalah hadits yang berlawanan dalam periwayatannya dalam berbagai aspek yang tidak bisa disatukan dan ditarjih dengan lainnya.

18

DAFTAR PUSTAKA Abdirrahman, Jalaluddin bin Abi Bakar al-Suy th. Tadrb al-Raw f Syarah Taqrb al- Nawaw, Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-Ilmiyyah, 1972 Abu al-Fat bin Husain Qasin al-Nuaimi, Hamzah. Manhaj al-Ilmi li at-Taammul Maa al-Sunnah al-Naba iyyah Inda al-Muhadditsn. Urdun: Dar al-Naqais, 1999. Al-Bukh ri, hahih al-Bukh ri. Istambul: Al-Maktabah al-Islam, 1979. Abul Husain Muslim Ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz II, Arab Suudi: al-Buh ts almiyyah al-Ifta waal-Dawah wa al-Irsy d, 1980

Al-Adliby, Shalahuddin bin Ahmad, Manhaj Naqd al- atan Inda Ulama alHaddts al-Nabaw, Beirut: Dar al-Inf q al-Jadidah, 1983 Atar, Nuruddin, Manhaj al-Naqd f Ulum al-Hadts, Damasykus: Dar al-Fikr, 1979.
Ahmad bin Hambal. Musnad Ahmad bin Hambal. Beirut: Maktabah al-Islamiy,tt.

At-Tirmiziy, al- mial-shahihWahuwa Sunan at-Tirmiz, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1987. Abdullah bin Muslim bin Kutaibah, al-Imam Abu Muhammad, Ta l Mukhtalif al-Hadts, Beirut: al-Maktabah al-Islama ,
Ibrahim bin Muhammad bin Kamaluddin. a l-bay n a at-Tarf fi sbabi ur d alHadts as-Syarf. Juz III. Beirut:Libanun, 1054 Jamaluddin, Muhammad al-Qasmy. Hadts, t.t. Labib Mz. inhat al- ugh st f Ilm Mushthalah al-Hadts. Surabaya: Bintang Usaha id al-Tahdts min un n al-Mushthalah al-

Jaya, 2003.

Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t. Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Noorhidayati, Salamah. Kritik Teks Hadits, Yogyakarta: Teras, 2009.

Syams al-Haq, Abu at-Thayyb Muhammad, Aun al- ab d yarah unan bu Da d, Beirut:Dar al-Fikr, 1979.
Ujjad al-Khatib, Muhammad. Ush l al-Hadts Ulumuhu wa Musthalahu. Beirut: Libanun, 1989.
19

20

Vous aimerez peut-être aussi