Vous êtes sur la page 1sur 140

JEBAKAN KEBIJAKSANAAN

Serial Diskusi Masalah Kesehatan

AGUNG DWI LAKSONO

Health Advocacy
i

JEBAKAN KEBIJAKSANAAN
Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Penulis: Agung Dwi Laksono

Health Advocacy Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat Jl. Bibis Karah I/41 Surabaya 60232 Email: healthadvocacy@information4u.com

Cetakan Pertama Januari 2012 Penata Letak ADdesign Desain Sampul ADdesign ISBN: 978-602-98177-6-8

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.

ii

Pengantar
Puji Tuhan akhirnya buku JEBAKAN KEBIJAKSANAAN yang merupakan ke-tiga Serial Diskusi Masalah Kesehatan dapat diselesaikan. Diawali dengan keprihatinan bahwa bidang kesehatan lebih menjadi mainstream pemerintah daripada menjadi milik masyarakat! Apalagi bagi anak muda. Untuk itu penulis mencoba membuat diskusi dengan bahasa ringan setiap senin pagi lewat media Diskusi Senin Pagi di Facebook, media sejuta umat-nya anak muda. Meski juga ternyata anak tua pun turut andil memberi banyak pencerahan menyegarkan dalam diskusi ini. Harapan bahwa bidang kesehatan bisa membumi, ngobrol tentang pembiayaan kesehatan seenak ngomongin trend baju terbaru, diskusi pelayanan kesehatan senyaman ngrumpi di mall, Sungguh penulis berupaya untuk itu! Saran dan kritik membangun tetap ditunggu. Salam facebooker!

Surabaya, Januari 2012

iii

iv

Memang walaupun saya pengguna Facebook, saya tidak begitu rajin menegok halaman saya. Namun ada satu hal yang membuat saya paling tidak bezoek Facebook, yaitu untuk mendapatkan informasi dan wacana yang tidak biasa dijumpai di diskusi formal yang saya hadiri di manapun di media tradisional utama. Diskusi Senin Pagi adalah salah satu wacana yang selalu menarik diikuti karena akan merefleksikan masalah-masalah kesehatan dengan kacamata baru. Semoga pikiran yang inovatif ini akan memperluas jangkuan di dunia nyata dengan buku ini... DR. Rosalia Sciortino Regional Director Southeast and East Asia, International Development Research Centre (IDRC), Singapore

vi

Daftar Isi
Pengantar Penulis Penngantar Dr. Rosalia Sciortino Daftar Isi Jebakan Kebijakan dalam Sebuah Kebijakan Lingkaran Setan! SPM Kesehatan Opsi Kebijakan untuk SPM Kesehatan Formula SPM! Barisan Sakit Hati! Berbicara pada Dewan... Merawatinapkan Puskesmas Rawat Jalan Kebijakan Ini-Itu Catatan Diskusi AKI Indonesia... Negeri para Smokers Pengungsi Eks Timor 1 11 21 29 37 45 57 67 79 97 107 115 iii v vii

vii

viii

Jebakan Kebijaksanaan dalam Sebuah Kebijakan

Jebakan Kebijaksanaan dalam Sebuah Kebijakan

Monday, September 20, 2010 at 4:33am Sugeng injing para sedherek... Bangsa kita adalah bangsa yang sangat toleran... sangat permisif dalam banyak hal... Sebuah bukti bahwa nurani begitu mengedepan dalam kehidupan keseharian, Rasa belas kasih begitu mendarah daging dalam darah kita... Bener po ora?

Banyak hal yang terlandasi dengan sikap itu! Sampai pada halhal yang seharusnya butuh sebuah kepastian dan tidak boleh ada toleransi... *** Dalam sebuah 'kebijakan' misalnya, rasa toleransi dan permisif ini terwujud dalam sebuah 'kebijaksanaan'. Kebijakan yang seharusnya merupakan sebuah ketetapan menjadi rancu dengan adanya 'kebijaksanaan'... Kita bahkan sangat mahfum dengan kalimat... "Saya tau pak aturannya memang begitu, tapi saya mohon kebijaksanaan dari bapak..." Sungguh sebuah jebakan... Dua kata tersebut keliatannya emang mirip, bahkan dalam beberapa kesempatan pakar tata negara kita sering keliru memakai keduanya. 'Kebijakan' dalam Bahasa Inggris berasal dari kata 'policy', sedang kebijaksanaan berasal dari kata 'wisdom'. Wisdom lebih cenderung dan lebih tepat mengarah pada seseorang atau melekat pada sebuah individu, sedang policy cenderung dan lebi tepat melekat pada sebuah organisasi dan atau negara (pemerintah). 'Kebijaksanaan' versi kita lebih cenderung untuk mengobrakabrik tatanan yang sudah ada, mengaburkan kepastian hukum... yang seharusnya terbangun dalam sebuah 'kebijakan'. *** 2

Jebakan Kebijaksanaan dalam Sebuah Kebijakan Dalam sebuah kesempatan sosialisasi Askeskin (asuransi kesehatan keluarga miskin) di sebuah puskesmas, saya mengumpulkan seluruh perangkat desa (lurah dan carik) untuk mensosialisasikan kriteria keluarga miskin (gakin) yang akan ditetapkan sebagai peserta jaminan kesehatan ini, yang selanjutnya setiap gakin akan ditetapkan sebagai peserta dengan mendapat sebuah kartu peserta Askeskin. Hanya pemegang kartu askeskin saja yang akan dapat memanfaatkan fasilitas jaminan kesehatan tersebu Apa yang terjadi??? Sebuah keributan yang sungguh huebooh! Para perangkat desa tersebut protes keras! "Kenapa harus ada 'kartu peserta?" "Kenapa tidak bebas seperti dulu saja?" Setelah reda... baru mereka mengutarakan keberatannya... "Kalo dengan kartu peserta yang sudah ditetapkan dari awal, kami kan jadi tidak bisa memasukkan peserta lagi di tengah program berjalan...," alasan keberatan mereka sebagaimana diutarakan salah satu lurah. Usut punya usut... mereka, para perangkat desa tersebut, lurah dan carik tersebut... takut tidak terpilih lagi pada periode berikutnya! Apa pasal? Mereka menggunakan 'Askeskin' sebagai salah satu senjata 'kebijaksanaan' mereka. para lurah dan carik menggunakan kekuasaannya untuk mengeluarkan 'kebijaksanaan' pada masyarakat 'pendukung'nya. Oalaaaaaah...! 3

Makanya jangan heran bila di rumah sakit melihat pasien askeskin dengan atribut perhiasan mencorong menelpon sodaranya dengan Blackberry terbaru! Atau justru pasien rawat inap pemegang kartu Askeskin yang diantar dengan mobil pribadi. Kita memang bangsa yang sungguh bijaksana! piye jal?
*tulisan ini berdasarkan kejadian sungguhan saat saya masih menjadi kepala puskesmas

Jebakan Kebijaksanaan dalam Sebuah Kebijakan

Comment

Tumijan Skm Kebijaksanaan yang inilah yang membuat bangsa kita terpuruk. Karena kebijaksanaan, kepatuhan hukum/aturan tidak berdaya, dari hal yg kecil sampai besar : dari buang sampah sembarangan sampai koruptor bebas. Bandingkan dengan singapura dann malaysia.

Ilham Akhsanu Ridlo kebijaksanaan: Subyektif.... Kebijakan: obyektif

Mamik Hidayah Bener kuwi mas (bener itu mas, red), bahkan sampai sekarang kebijakan sering dibenturkan dengan kebijaksanaan. Piye jal?**Lho kok jadi ikut-ikutan istilah Mas Agung hehehe..

Rifmi Utami Curhat yang berkepanjangan sampai saat ini...tak ada habisnya... berganti2 nama..>>> JPS BK ..>>PDPSE BK..>> PKPS BBM..>>ASKESKIN..>>JPK MM..>>JAMKESMAS..kebijakannya ganti kartunya ganti pula, dan sekarang menjadi tidak jelas, karena kepersertaan bukan urusan puskesmas. Di satu sisi kita senang karena tugas kita lebih ringan, hanya melayani tanpa mengup date dan validasi kepersertaan yang dulunya juga tugas kami. Namun ironis yang terjadi justru, dari level atas sampai bawah, hal tersebut dijadikan alat politik yang menjerumuskan yang berkedok kebijaksanaan. Sungguh...kebijakan membedakan miskin kaya sudah tidak 5

tepat lagi, mungkin dalam taraf pelayanan kesehatan standart sebaiknya dijamin untuk semua rakyat, sedangkan buat mereka yang memilih yankes dengan pelayanan lebih adalah privacy yang dibiayai mereka sendiri...

Yongky Hendriyanto "pandai memanfaatkan celah"...........hehehe......

Agung Dwi Laksono ...dan oleh karena itu maka kita putuskan bahwa... universal coverage adalah sebuah keniscayaan! Piye jal? cuocok tenan aku ki!

Sutopo Patria Jati Seperti penyakit kronis eksaserbasi akut aja... kuncinya salah satunya di aspek penegakan hukum/kebijakan, tapi sayangnya si penegak hukumnya sepertinya kok impoten ya ... ? :)

Feni Novikasari oalahh... kok idem yak critane..

Sujud M Raharja Itulah Indonesia........

Rachmat Hargono So...masih perlukah mempelajari Ilmu Kebijakan? 6

Jebakan Kebijaksanaan dalam Sebuah Kebijakan

Didik Supriyadi Bicara kebijakan tidak lepas dari kepentingan, dan ketika kepentingan belum terakomodir, maka muncullah kebijaksanaan.

Melizawati Imel Sayang justru kebijaksanaan dalam kebijakan yang sering bikin rakyat sengsara.

Ade Ayu Aha... Salut buat Um Agung atas kritikan yang tepat sasaran.. Semoga ada yang ngerasa dan ini bisa membuka pintu hatinya untuk berubah menjadi manusia yang berakhlak lebih baik...

Christine Indrawati Baru aja di sebelah mejaku ada Pak Lurah yang datang dari kecamatan yang cukup jauh dari Dinkes, dengan keperluan menguruskan Surat Pernyataan Miskin warganya dengan menggebu-gebu Pak Lurah bilang bahwa ini warga yang bener-bener gak mampu tapi gak masuk Jamkesmas/da. Tapiiiiiiiii... ada note dari puskesmas kalo pasiene sakjane mampu tapi pak lurahe ngeyel.. piye jal? hehe... kebijaksanaan yang semakin membuat bubrah kebijakan./

Evie Sopacua Bu Christine dann Agung ya sudahlah.....

Tite Kabul Wisdom = bijaksana, beda dengan kebijaksanaan yang bisa dikaitkan dengan kekuatan...

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Weleh... kebijaksanaan itu apa sih sebenarnya Gung... kalo analog kasus Askeskin, tidak tepat disebut kebijaksanaan....kalo disebut kebijak lurah, dkk...bisa jadi tepat... kan kebijakan bisa dinilai tepat ato tidak (salah/benar). Kalo kebijaksanaan... menilainya... sebagai sebuah pilihan yang bijaksana bila output, outcome, benefit dan impact memberikan nilai tambah positif...tak iyo???

Agung Dwi Laksono Klo ntu masalah value bang! value kata, dimana 'kebijaksanaan' telah mengalami perluasan makna...

Vita Darmawati Benar sekali... memang sungguh kabur antara kebijakan & kebijaksanaan, bahkan kenyataannya sulit dibedakan mana yang kebijakan, mana yang kebijaksanaan... Kebijaksanaan sudah dianggap kebijakan itu sendiri, sedangkan kebijakan sesungguhnya mulai dilupakan! Parahnya, kebijaksanaan pun masih diminta lagi batas toleransinya... pengalaman nyata banyak terjadi di masyarakat, cerita Jamkesmas salah satu hal yang ada... hemmmm

Agung Dwi Laksono Brasa curhat ya non? 8

Jebakan Kebijaksanaan dalam Sebuah Kebijakan

Anni Haryati Gimana klo itu disebut justifikasi... sebuah pembenaran.. aha...

Anni Haryati He he... komentare ngawur.. ya diatas itu... basane nggak nyandak papa...terlalu aneh buatku yang sudah lemot ini...

Anni Haryati (putus asa.com)

Vita Darmawati Iye......... plus mau dikomentari........

Agung Dwi Laksono Lha iya... kita semua nih sudah tau itu salah, tapi juga sama-sama gak tau gimana cara brantasnya! piye jal?

Anni Haryati Mulai dari diri kita sendiri deh.. TDA management...Tangan Diatas lebih baik....(terusin sendiri....nggak tega.com)

Sulistyawati Itheng Oooallalaahhhh....

Rafael Soe Jien Perlu kalo urusan gini audit dari luar deh... ben lurahe hanya perlu njalanke kebijakan wkkkkkkkkkk...

Arih Diyaning Intiasari Jadi ingat satu item question tes psikologi......apakah anda orang yang susah sekali menolak permintaan teman anda?.....jawabanku adalah : ya....karena saya adalah orang yang bijaksana (or...penuh kebijaksanaan...hi...hi....)

Anni Haryati MAKANYA...BADAN KITA INI JUGA PUNYA HAK LHO YAA...mereka akan menagihnya...kelak...

Riffa Hany pengalaman pribadi:..., emang kadang dibutuhkan suatu kebijaksanaan, example ada anak dari suatu keluarga yang tidak termasuk kriteria miskin tapi tidak kaya juga semua hasil warisan, sakit butuh cuci darah 1 minggu sekali, rumah tidak ikut punya... sepeda motor kreditan, pekerjaan tidak tetap, apakah kita tegaaaaa, tidak kasih dia.., please dong ah...

10

Lingkaran Setan

Lingkaran Setan!

Monday, July 5, 2010 at 1:38am Dear all, Pengertian Kesehatan dalam Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Jadi sehat bukan hanya sekedar terbebas dari penyakit, baik penyakit fisik maupun mental. Definisi sehat menjadi lebih luas lagi pada keadaan yang produktif dan mampu hidup bersosialisasi. Berdasarkan data Riskesdas 2007 prevalensi disabilitas atau ketidakmampuan di Indonesia mencapai angka 21,3% pada penduduk 15 tahun ke atas.

11

Tujuan pengukuran ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai kesulitan/ketidakmampuan yang dihadapi oleh penduduk terkait dengan fungsi tubuh, baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Status disabilitas dikumpulkan dari kelompok penduduk umur 15 tahun ke atas berdasarkan pertanyaan yang dikembangkan oleh WHO dalam International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF). Responden diajak untuk menilai kondisi dirinya dalam satu bulan terakhir dengan menggunakan 20 pertanyaan inti dan 3 pertanyaan tambahan untuk mengetahui seberapa bermasalah disabilitas yang dialami responden, sehingga memerlukan bantuan orang lain. Sebelas pertanyaan pada kelompok pertama terkait dengan fungsi tubuh bermasalah, sembilan pertanyaan terkait dengan fungsi individu dan sosial dan tiga pertanyaan tambahan terkait dengan kemampuan responden untuk merawat diri, melakukan aktivitas/gerak atau berkomunikasi.

Prevalensi Disabilitas Penduduk Umur 15 Tahun Keatas Berdasarkan Tingkat Pendidikan Responden, Riskesdas 2007

12

Lingkaran Setan Pada gambar diatas jelas terlihat bahwa pada tingkat pendidikan yang semakin rendah maka prevalensi disabilitas semakin tinggi. Hal yang sama juga berlaku pada tingkat sosial ekonomi, yang dalam hal ini diwakili oleh kuintil tingkat pengeluaran per kapita per bulan. Semakin miskin (kuintil 1) semakin menunjukkan peningkatan prevalensi disabilitas.

Prevalensi Disabilitas Penduduk Umur 15 Tahun Keatas Berdasarkan Kuintil Tingkat Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Responden, Riskesdas 2007

Dan pada akhirnya... Sekali lagi terbukti betapa eratnya hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat sosial ekonomi dengan status kesehatan. Kemiskinan dan kebodohan selalu dalam lingkaran setan yang sama dengan kesakitan!

13

Comment

Bambang Andriyono Jadi : Ability of Economy influence to sebelas pertanyaan itu kesimpulane ya Mas? Saya mengusulkan (H0) , Benarkah ada hubungan antara level of economy vs Ketidaksehatan Sosial? (semangkin tidak teposeliro)? if H1=H0 seberapa besar level significancy-nya. If No, kira-kira apa yang Contra persepsinya (bukan kontrasepsi lho).

Andi Leny Susyanty Numpang komen yo mas. Sepertinya kalo dari hasil analisis RKD hampir semua yang jelek-jelek ada pada kuintil yang terendah dan atau tingkat pendidikan rendah ya... Status kesehatan masyarakat indonesia masih bergantung pada status sosial ekonomi. Status sosek rendah di indonesia menjadi faktor resiko, yang perlu diperhatikan. Jadi yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menyingkirkan barier sosek untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat. Apakah jamkes semesta solusinya... wallahu alam bishawab.

Agung Dwi Laksono @Bambang; Analisis lebih lanjut bisa sampean lakukan sendiri mas! bahkan sampean bisa mengakses data dasar (mentah) dari Riskesdas... @Leny; Apakah jamkes semesta bisa menjadi solusi??? mari kita wujudkan dulu jamkes semesta! baru bisa kita liat bagaimana efeknya...

14

Lingkaran Setan

Bambang Andriyono Terkadang pandangan sementara warga yang diskriminatif ikut andil dalam mengabadikan inferioritas sos-ek. Bahkan tak jarang sambil memanipulasi menjadi seperti Robinhood.. piye jal?

Rifmi Utami note ini makin menunjukkan bahwa yang paling urgent diperbaiki adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang menjadi penyokong segala di atasnya... Kualitas SDM yang sebagian besar dibentuk oleh Growth (bagaimana dia tumbuh sejak kecil) and Learning (bagaimana dia belajar sedari kecil) adalah tanggung jawab semua komponen bangsa yang seharusnya menyadari bahwa semua itu kunci kesinambungan suatu generasi... Seharusnyalah kita semua berpikir secara komprehensif dalam semua perspektif, sehingga akhirnya tidak terjebak dalam satanic circle...

Bambang Andriyono Tambahan : Kalo demikian, sesegera mungkin berantas tuntas Buta Huruf (melalui pendidikan), tanamkan nilai-nila berbasis norma & budaya setempat dst dst dst, tantangannya adalah implikasi negatif dari teknologi..."mengingatkanku pada jaman Generasi Budeg, Hedonis, lupa akar budaya bangsa..seperti saat ini !!

Agung Dwi Laksono @Bambang; Hmm... miskin ato kaya, pinter ato bodo... sebuah pilihan ato takdir semata? Tambah ruwet ki.. @Mimi; Banyak kemungkinan langkah alternatif yang bisa 15

dikembangkan untuk memutus satanic circle. Dalam media seperti ini justru ide liar dari teman-teman di luar bidang kesehatan malah bisa jadi langkah cespleng untuk kemungkinan solusinya.

Rifmi Utami Dalam Growth >> kitalah yang paling berperan : bagaimana meng-100% semua indikator KIA, mengaktifkan Posyandu agar bisa deteksi dini tumbuh kembangnya, dll... sedangkan Learning>> teman-teman kita dari bidang pendidikan berperan penting dalam hal memasukkan materi kesehatan secara berjenjang pada kurikulum pendidikan. Dan semua komponen lain turut berperan dalam menciptakan Sistem Kesehatan Daerah/Nasional yang komprehensif... Oh alangkah senengnya, jika semua bidang pembangunan berwawasan kesehatan...(hoping from the bottom of my heart... mode on).

Tya Mico Sebenarnya suku-suku pedalaman banyak yang masuk kategori miskin tapi tidak menganggap dirinya miskin. Masuknya pengusaha kedalam hutan untuk menguras Sumber Daya Alam lah yang membuat mereka kesulitan menghidupi dirinya. Saya rasa perlu pengawasan ketat dalam melaksanakan proyek apapun. Amdal harus benar-benar dijalankan. Jangan membangun tapi mengakibatkan pemiskinan masyarakat.. dimana saja. Kembali pemerintah yang harus bertanggung jawab mengontrol.

Ratna Itu Wulan Bukan hanya pemerintah semata, kita juga musti berpartisipasi mengeliminir keterbatasan sosek

16

Lingkaran Setan masyarakat. Tapi sekedar bertanya: Kemanakah larinya pajak yang kita bayarkan?

Tumijan Skm Sebetulnya setannya masyarakat miskin atau pembuat kebijakan? Mbak kalo larinya pajak tanyakan gayus dkk?

Rachmad Pg Iyan, dlm konteks kebijakan publik, lingkran setannya ada di decision maker, iya legislatif, iya eksekutif... bayangkan aja dalam membuat UU/kebijakan selalu ada insentif duit besar disitu, jadi konten kebijakan selalu disesuaikan dengan para pemodal, jangan harap rakyat miskin dalam posisi subyek....

Tumijan Skm @Mad; Jadi yang harus diputus lingkaran setan di pembuat kebijakan (di hulu dulu = konsepnya Kang Dahlan)? @Mbak; Itu larinya pajak disebutkan rahmat untuk insentif DPR.

Tite Kabul Oleh sebab itu dikembangkan program Jamkesmas untuk orang miskin yang mau tidak mau, suka tidak suka masih membutuhkan kuratif dan rehabilitatif... tapi banyak orsng yang nggak suka, karena dana kuratif >>> ...

17

Ade Ayu Sorry um... Otak masih blank gara-gara setan semalem tu...!!! Emang setan di mana-mana selalu meracuni manusia... hulllfff

Femmy Skotia Well, selama si miskin dan si bodoh ini sendiri gak mau merubah nasibnya, apa boleh buat, gak bakalan berubah lingkaran setannya. Apapun yang dilakukn orang lain buat mereka sama aja kayak membuang garam ke laut. So aku bantu doa aja deh Gung agar mereka diberi hidayah agar mau berubah. hehehehehehe.....

Sulistyawati Itheng Berarti ladangku pendidikan dan ladangmu kesehatan ki saling menunjang ya Nang? mulane aja sok salah nunjang... hahaaa... diakehi wae le njaluk tunjangan... hehh maca datamu sesek utegku...

Lestari Sudaryanti He he he... pertanyaan yang sama dengan duluan mana telur atau ayam, tapi jawabannya seperti mengelola basic life support (ABC = airway, breathing, circulation). Kesemuanya dikerjakan simultan dan terkoordinasi, kalo tidak, ya gagal.

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan KemiskinanKebodohan-Ketidaksehatan---LINGKARAN SETAN. Nah, permasalahannya: SETAN nya yang mau diintervensi biar nggak ganggu, atau Kenapa terjadi LS ini. Papa AD en All: Sepertinya 18

Lingkaran Setan orang-orang sudah pada tahu 3 benda ini saling berkaitan (+/-). Namun, sebatas tahu aja, tidak paham bagaimana mengakitkan sehingga jadi amunisi untuk perbaikan derajat kehidupan korban dari 3 benda ini. Banyak yang nyalahin korban-korban, tidak mau berubahlah, sudah nyaman dengan kondisi jaminan sekaranglah. Kenapa tidak ada yang banyakan nengok di sisi sistem/negara (pemerintah, provider dan masyarakat luas). Bila kembali pada defenisi sehat, terutama unsur SOSIAL, cocokkan bila ada yang sakit berarti lingkungan sosial (orang/masyarakat di sekitar korban) menjadi penyebab juga (langsung atau tidak langsung). Jadi bukan salahnya korban aja donk? Mari kita mulai nengok dan bergerak secara komprehensif. Salam SEHAT.

Lidwina Yanuar Kemiskinan + kebodohan = tidak sehat. Mungkin rumus matematikanya jadi begitu ya? sedih mikirin negara ini... tapi sekali lagi jangan berhenti di kesedihan, yang bisa kerja baik, bekerjalah dengan baik, karena klo berharap orag lain bekerja baik, seringkali kekecewaan yang kita dapat... siapa tau, kerja baik kita menular ke orang lain... hiks..

Sutopo Patria Jati Sisi baiknya karena saling terkait... seharusnya milih mana saja dari ketiga hal tersebut untuk jadi entry point bagi upaya intervensinya jadi nggak masalah.. :)

Didik Supriyadi Siapa yang mau jadi bupati, gubernur atau jadi presiden?

19

20

SPM Kesehatan

SPM Kesehatan

Monday, December 6, 2010 at 3:27am Morning bro n sist, Standar Pelayanan Minimal(SPM) pernah dengar nggak siiih? Klo dari namanya pasti kita sudah bisa menduga2 artinya Klo berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal pengertian SPM adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal terutama yang berkaitan dengan pelayanan dasar baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota.

21

Untuk bidang kesehatan pun pada akhirnya dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan dan Sosial (Menkesos) Nomor 1747/2000 tentang Pedoman Penetapan Standar Pelayanan Minimal dalam Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota yang berisi am 54 indikator SPM, yang kemudian kebijakan ini dianulir dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota yang berisi indikator Kinerja dan Target Pelayanan Kesehatan pada n tahun 2010 sampai dengan tahun 2015. Untuk kebijakan SPM Kesehatan terbaru ini indikator SPM Kesehatan yang lama (54 indikator) disederhanakan menjadi 18 indikator.

22

SPM Kesehatan Penetapan SPM Kesehatan sebagaimana SPM untuk bidang lainnya menetapkan target yang sama untuk seluruh wilayah Kabupaten/Kota se-Indonesia, ga peduli itu kabupaten/kota yang ada di Papua maupun di Jawa, piye jal? Target SPM Kesehatan kabupaten/kota ditetapkan dengan sama sekali tidak memperhatikan variabilitas antar wilayah! Mau kabupaten/kota itu SDM nya sedikit atau malah berlebihan kek orang arisan, daerahnya miskin ato kaya, wilayahnya sempit ato luas, penduduknya bejibun ato malah cuman sak uprit semuanya sama! Menjadi pertanyaan besar pada akhirnya. Seharusnya target SPM Kesehatan ditetapkan seragam untuk seluruh wilayah? Atau ditetapkan dengan memperhatikan variabilitas di setiap wilayah? Ada konsekuensi dari masing-masing pilihan

23

Comment

Feni Novikasari SPM oh SPM

Lidwina Yanuar Klo ditetapkan seragam, mungkin ada baiknya juga... ada tantangan untuk berpikir kreatif bagaimana cara mencapainya.. :)

Arman N Mila Endika Sebenarnya SPM nasional hanya ancer-ancer (patokan, red.), dan ditindaklanjuti dengan SK Gubernur dan SK Bupati untuk masing-masingnya, so sebenarnya bisa variatif. Indikator yang akan dicapai disesuaikan kemampuan keuangan daerah dan sumber daya pentahapan pencapaiannya, yang penting 2015 sama dah. Dalam rangka MDG's.

Anisa Riza Umnnn... iya juga si pak... tapi bagus juga untuk motivasi kinerja petugas kesehatan, yang jadi masalah menurut Ica mah... sistem pencatatannya itu pak, ngeri kalau liat langsung ke lapangan, banyak data-data aneh. Kalau dilihat di profil puskesmas yang berbentuk exel kaya gini pak... #DIV/0!# hehehe...

Rifmi Utami Kepanjangannya kan Standart Pelayanan Minimal... jadi itu bukan target... Target haruslah melebihi itu, 24

SPM Kesehatan tapi nyatanya kami menetapkannya sebagai target, sehingga terkadang malah menjadi sesuatu yang biasa jika tidak tercapai. Tentu kontradiktif dengan kepanjangannya bukan.... Sedangkan di puskesmas sendiri, boro-boro meningkatkan kinerja, yang ada malah kita dibuat bingung dengan begitu banyaknya indikator kinerja... PKP, SPM, MDG's, SPP dan entah apa lagi... Mbok yaooo...bikin yang runtut, sistematis, ben aku seng kerjo nang garis depan isok fokus... Ngono mas, kok dadi curhat maliyan... hehehe...

Yuliastuti Saripawan Selamat berdiskusi... Hasilnya ditunggu selain faktor SDM, akses ... Tambahan masalah perioritas masing-masing puskesmas dapat mungkin jadi pertimbangan. Terima kasih.

Anisa Riza Kalau diganti Standar Pelayanan Maksilmal, lebih aneh lagi bu... hehe; Jadi targetnya itu harus melebihi SPM, mungkin gitu bu... hehe... Umm... iya juga yaa... banyak bgt indikatornya jadi bingung... Apalagi kalau nulis karya ilmiah, bingung pilih yang mana? Hehe...

Sulistyawati Itheng Ternyata sama peliknya dengan SKM (Standart Ketuntasan Minimal) di bidangku... hmm negeri ini penuh Pe Er....!

25

Djoen Cavalera Biar nggak bingung disingkatnya Standard Pelayanan (SP).. tidak usah pakai kata minimal. Kalau sudah standard khan berarti harus dipenuhi, kalau tidak dipenuhi yach tidak sesuai standard namanya ..*Usul orang iseng *

Dwee Why Dilema, kang. Semoga direvisi di tahun mendatang.

Ilham Akhsanu Ridlo Standar Pelayanan Minimal... ya minimal... heheheh.. Penetapannya sebaiknya sesuai kekuatan minimal daerah... karena standart minimal.. Kalau target okelah kita berlakukan nasional... gitu deh.

Ella Sofa Kalo mengacu pada SPM daerah dikhawatirkan malah terjadi kesenjangan antara satu daerah dengan lainnya. Jika mungkin diusahakan untuk SPM yang sama dengan daerah lain, why not?

Tite Kabul Namanya saja Standar Pelayanan Minimal, kalau daerah yang lebih mampu yaaa harus ada tambahannya... variabilitas antar daerah yaa terletak pada tambahannya itu... kita bisa melakukan penilaian sebenarnya pada daerah yang minim sumberdaya mampu melaksanakan SPM berarti dia sukses... tapi pada daerah yang kaya sumberdayanya hanya melaksanakan SPM yaaa nilainya jelek... harusnya.. 26

SPM Kesehatan

Rachmad Pg Indonesia emang suka yang minimalis... ai luv u pull....

Purwani Pujiastuti Setuju sama Arman...

27

28

Opsi Kebijakan untuk SPM Kesehatan

Opsi Kebijakan untuk SPM Kesehatan

Monday, December 13, 2010 at 3:13am Morning dear Menyambung diskusi kita Senin minggu kemaren soal formulasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan tingkat Puskesmas, berdasarkan komentar hasil diskusi ada beberapa opsi (pilihan) kebijakan yang berkeadilan yang bisa dipilih, dengan konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan. Upaya membuat turunan target SPM Kesehatan Kabupaten/Kota menjadi SPM Kesehatan Puskesmas bisa dilakukan dengan 3 (tiga) pilihan kebijakan. Pilihan pertama, membuat turunan target dengan memperhatikan input puskesmas dan sasarannya. Input meliputi sarana & prasarana, sumber daya tenaga kesehatan, dan besaran anggaran kesehatan setiap Puskesmas. Sasaran meliputi jumlah 29

penduduk, jumlah ibu hamil, jumlah ibu bersalin, jumlah bayi, jumlah balita, Dsb. Jadi formulasi target SPM Kesehatan di tingkat Puskesmas untuk masing-masing Puskesmas menjadi berbeda dengan mempertimbangkan input dan sasarannya. Pilihan kedua, menetapkan target SPM Kesehatan yang sama untuk masing-masing Puskesmas. Lalu dimana rasa berkeadilannya??? Bila opsi ini yang menjadi pilihan, maka untuk memenuhi rasa berkeadilan bisa dilakukan re-distribusi input! Misalnya dengan menyeimbangkan sumber daya tenaga kesehatan dan atau besaran anggaran kesehatan di setiap Puskesmas. Pilihan ketiga, bisa dilakukan dengan mengkombinasikan kedua opsi tersebut. *** Menurut saya equity (keadilan) bukanlah ekslusif hanya untuk sasaran masyarakat pengguna pelayanan kesehatan. Equity juga harus berlaku pada petugas kesehatan, termasuk fasilitas kesehatan yang setara di dalamnya. Kados pundi?

30

Opsi Kebijakan untuk SPM Kesehatan

Comment

Ilham Akhsanu Ridlo Pertamax... hhmmm... kok kalau aku lebih enakkan opsi yang pertama ya pa, atau kombinasi... karena kalau opsi yang kedua, kayaknya re-distribusi input pasti membutuhkan tenaga yg tidak sedikit... distribusi tenaga kesehatan apalagi membutuhkan dorongan yang lumayan kesel. Yang paling lama mungkin bikin kebijakan redistribusi inputnya... pasti lebih kesel.. piye pap??

Agung Dwi Laksono Waaahhh... tugas saya pan cuman memberikan pandangan untuk setiap opsi kebijakan! Sedang untuk memilih mana yang paling cocok untuk sebuah wilayah... ya ntu tugas para pengambil kebijakan. *ngeles

Ilham Akhsanu Ridlo Heheheh..tapi gimana pap bener kagak? Hehehe... kembalinya ya juga ke ranah yang atu itu yo pap..*hihihi

Feni Novikasari Kesan pertama begitu menggoda... jadi pilih nomor 1 aja dewh..

Rifmi Utami Aku pilih yang ke-3... jadi biar ada timbal balik gitu... Puskesmas menilai kemampuan internalnya 31

(inputnya), sedangkan target normatif tetap ditetapkan Dinkes, dimana nanti disepakati bersama di suatu forum apakah target normatif bisa dipenuhi dengan kemampuan internal puskesmas?... gitu deh...(suara dari bawah neh... hehehe...). Namun perlu diingat pula, bahwa menilai kemampuan internal juga bukan hal mudah, SDM kesehatan yang kurang dari sisi kuantitas dan kualitas, menjadi tanda tanya, apakah semua individu akan ditetapkan disamaratakan kemampuan melayaninya... belum-belum sarana prasarananya yang terkadang sudah mengalami penyusutan dan tak pernah diperbaharui... waddooooowww, tambah pusing dah diriku....

Arman N Mila Endika Pilihan opsi pertama lebih realistis dan logis, tapi konsekwensinya si Puskesmas harus menetapkan sendiri indikatornya, plus bisa dibayangkan ragamnya se Indonesia Raya, pertanyaan berikutnya mampukah menyusun mereka? Selanjutnya apakah suatu urgensi SPM di Puskesmas? Telah ada PKP lho, isinya mirip kok. Cuman pertajam indikator aja.

Ilham Akhsanu Ridlo @Pak Arman: PKP sama SPM beda pak..

Arman N Mila Endika Penilaian Kinerja Puskesmas, Standart Pelayanan Minimal, PKP mirip instrumen stratifikasi Puskesmas.

32

Opsi Kebijakan untuk SPM Kesehatan

Anisa Riza Opsi 3..kayanya... Dibikin formulasi rumus tertentu aja... Di dalam formulasi SPM itu ada perhitungan tersendiri yang menyertakan jumlah sarana dan prasarana yang ada di puskesmas... Kayak rumus pengambilan sampel minimal gitu... kan nilai alpha, nilai z, proporsi kejadian setiap penelitian kan beda, tapi formulasi rumus tersebut bisa menentukan sampel minimal yang harus dipenuhi, gitu pak... Jadi... Depkeslah yang menentukan formulasi rumusnya,,, Kalau formulasi itu ditetapkan, lebih dari itu, ada nilai positif yang bisa di ambil... pemberdayaan Puskesmas itu sendiri, agar puskesmas itu mandiri. Kadang banyak puskesmas yang tidak tahu... mengenai kondisi dirinya sendiri, seolah-olah mereka di cekokin program dari Depkes saja, gitu pak... hehehe... Maaf... kalau kurang ilmiah, hanya mencoba mengambil alternatif dari analogi mata kuliah metode penelitian... hehehe...

Agung Dwi Laksono @Ica; Diskusi minggu depan yak formulasinya di publish.

Anisa Riza yang DESI atau masih SPM pak?????

Didik Supriyadi Beda ndak dengan konsep reformasi puskesmas yang dulu kita pernah bahas mas? Maksudku ada yang public good, essential good dan private good? Kalo 33

bertolak dari konsep itu kayaknya lebih enak untuk diformulasikannya.....

Agung Dwi Laksono @Ica; SPM @Didik; Baca note diskusi minggu lalu.

Purwani Pujiastuti Target ditetapkan di level Kabupaten, variasi pencapaian di level Puskesmas adalah wajar tapi tetap diupayakan secara Kabupaten sesuai target Kabupaten. Yang penting Dinkes di level Kabupaten melakukan upaya optimal untuk pencapaian SPM di Puskesmas, seperti dukungan kebijakan, anggaran, bimbingan teknis, monitoring, dsb.

Ilham Akhsanu Ridlo Hhhmmm... artinya kembali ke analisis dan formulasi kebijakan...

Dwee Why Waduh, ribet juga ya? (^,^)?

Anni Haryati Setuju... petugas juga tetap harus diperhatikan dunk. Masak di kota besar dan pinggiran yang sulit dicapai kakipun sama..?? Kasihan ya... ahai, validasi data juga perlu. Jangan-jangan diberi kepercayaan untuk menulis data jadi kesenengan tuh... wuah.. proses pelaksanaannya? evaluasi hasil akhir? hm hm... SPM buat saya adalah suatu sistem, bukan terkotak-kotak dan harus dikerjakan dengan sesungguhnya. Ojo 34

Opsi Kebijakan untuk SPM Kesehatan dulinan....wis ora wayahe.... (jangan main-main, sudah bukan waktunya, red).

Riffa Hany Kalau di wilayah Kabupaten Kediri... latar belakang tiap Puskesmas hampir sama, nggak masalah kalau target ditentukan oleh Dinkes, kayaknye pilihan kedua paling top dweeh... karena bila dipacu... ternyata puskesmas mampu mencapai target tuuuuh......

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Ngomongin SPM dan Keadilan, dalam kesehatan, yang notabene menyangkut hak hidup (HAM), sangat dalam Pak dan Buk. Idealnya jangan ngejar pelayanan mulu dan sasaran hanya pihak di luar institusi layanan. Soal kasus PKM yang target ditetapkan Dinkes dan bila dipacu bisa tercapai, harus dilihat juga suasana kerja/hubungan antar manusia di PKM ini dan hubungannya dengan masyarakatnya, apa sehat dan penuh kehidupan? Sedikit institusi yankes pemerintah dan publik yang mau/butuh informasi kepuasaan pelanggan (internal dan eksternal) sehingga kinerja bisa ditingkatkan berdasarkan info tersebut (jangan kepuasaan eksternal aja).... Sorry agak melenceng. Nah, soal turunan SPM Kesehatan untuk Puskesmas... yah serahkan aja ke Puskesmas dan masyarakatnya... wong Puskesmas adalah institusi layanan kesmas kan? Yang diutamakan adalah promotif dan preventif... jangan-jangan lebih relevan buatan Puskesmas dan masyarakatnya daripada buat turunan dari SPM Kesehatan... hehehehe... kan pemberdayaan masy... jadi kita berdayakan masyarakat untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan mereka sendiri... gitu lho... temans. Lagian ribet bagi masyarakat untuk baca %, proporsi, dan istilah matematika indikator lain... Salam SEHAT. 35

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Satu lagi, mumpung lagi ngejreng....saatnya masyarakat yang atur kesehatannya. SPM Kesehatan ini jangan top-down, SPM Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Puskesmas, balikkan aja agar pemberdayaan masyarakat hidup dan tumbuh. Negara ada kan karena ada masyarakat/penduduk toh... (selain merdeka, wilayah dan pemerintahan yang diakui). Jadi profil Kabupaten/Kota, Provinsi, Nasional ada karena masyarakat terkecil (Desa/Kelurahan dan RT/RWnya) giat membangun dan mengatur diri/institusi mereka. Jadi peran pemerintah yang bangun masyarakat agar masyarakat membangun diri dan lingkungan, yang akan berkontribusi untuk pembangunan negara (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Tambah ribeeettttt. Salam SEHAT.

Vita Darmawati Pilihan pertama saja... gak mampu kalau Puskesmas kecil disejajarkn dengan Puskesmas besar...

36

Formula SPM!

Formula SPM!

Monday, December 20, 2010 at 5:08am dear all, Kita lanjutin untuk sesi diskusi SPM yak! Dalam diskusi minggu lalu saya paparkan 3 opsi yang bisa menjadi pilihan, pada diskusi kali ini saya saya mencoba memaparkan formula turunan target SPM Kesehatan di tingkat Kabupaten/Kota menjadi target SPM Kesehatan di tingkat Puskesmas dan atau kecamatan.

Proporsi Input Puskesmas A terhadap Input Kabupaten;


Proporsi input Puskesmas merupakan input setiap Puskesmas dibagi dengan input kabupaten. Sedang Input kabupaten sendiri merupakan gabungan dari input-input di bawahnya, atau input 37

Kecamatan/Puskesmas. Sehingga persamaannya seperti tertulis pada persamaan (1).

Target Absolut Kabupaten;


Target absolute (angka mutlak) merupakan perkalian antara target persentase Kabupaten/Kota (yang telah ditetapkan oleh pusat /Kementerian Kesehatan) dengan sasaran. Sehingga persamaannya terbentuk seperti persamaan (2).

Target absolut Puskesmas A berdasarkan proporsi input;


Target absolut Puskesmas berdasarkan proporsi input merupakan fungsi perkalian proporsi input Puskesmasdengan target absolute Kabupaten. Sehingga persamaan yang terbentuk menjadi seperti pada persamaan (3).

38

Formula SPM!

Target persen PuskesmasA berdasarkan proporsi input;


Target persen Puskesmas lebih merupakan fungsi pembagian antara target absolut kecamatan dengan sasaran Puskesmas itu sendiri, dikalikan dengan 100% (seratus persen). Sehingga persamaan akhirnya seperti tertulis pada persamaan (4)

Semoga bisa dipahami dan bisa membantu

39

40

Formula SPM!

Comment

Ilham Akhsanu Ridlo Pertamax... hhmmm... cucok pap kalo begini... mantab!

Rifmi Utami Hmm... good job, semoga bisa kita pake... diujicobakan aja dulu, dicari kendala dalam pengaplikasiannya... baru kemudian disosialisasikan ke seantero negeri... InsyaAllah tak melok nyoba, mas...

Feni Novikasari Berhubung pake handphone jadi gak keliatan rumuse. Tapi sepertinya keren pakde.. gud gud gud

Hanifa Denny Tolong teman-teman kita bersama berjuan tidak hanya SPM ya... ini lho para pekerja sektor informal dan pekerja industri yang belum terjamin K3nya.. sakit karena bahaya pekerjaan dan lingkungan kerja, kecelakaan akibat kerja.. siapa lagi kalo bukan kita yang turut berjuang!

Anisa Riza Untuk inputnya... di breakdown lagi pak. input bagaimana yang di maksud?

41

Agung Dwi Laksono Input sih terserah kita mau memasukkan apa. Klo menurutku Ada 3 kelompok besar, yaitu sarana-prasarana, sumber daya tenaga kesehatan, dan besaran anggaran kesehatan.

Riffa Hany Pusiiiiiiaaaaaangggg..., wis manut Om Agung wae lah....!!!! Nyerah deeeh

Dwee Why Kuliah lagi deeeehhhhhhhhhhhh... belajar aljabar. hehehe.... mantebbbbb

Anni Haryati Ini rumus simple, tapi klo yang digarda depan bisa mengaplikasikan bermacam input di dalamnya, sepertinya yg terbaca jadi banyak... nah, kita cari apa capaiannya dengan Renstra tingkat Puskesmas ya? Khan di Kabupaten harus searah tho? Dapatlah gambaran yang sebenarnya. Dengan janji... bikin input yang bener... capaiannya juga harus pas... jadi ngejar ketinggalannya nggak terlalu ngos-ngosan. Begitukah???

Agung Dwi Laksono deal! :-)

42

Formula SPM!

Purwani Pujiastuti Hmmm... aplikasinya menjadi tantangan tersendiri. Riilnya Puskesmas ngerti dan ngeh SPM (trus berkomitmen) aja sudah syukur.

Vita Darmawati Persamaannya tetap pada hasil kerja di lapangan... semakin pusing... semakin tidak jalan... xixixixixixixixi

43

44

Barisan Sakit Hati!

Barisan Sakit Hati!

Monday, April 26, 2010 at 6:26am Pada suatu saat di tahun 1999, saya dan temen-temen yang tergabung di Yayasan Kesuma (Kesehatan untuk Semua; *nostalgia sejenak cuy) sedang meng-entertaint Hilmar Ruminsky, Direktur Friedrich Ebert Stiftung (FES; NGO Jerman yang bergerak di bidang politik). Kami sedang terlibat kerjasama dalam persiapan tenaga kesehatan menghadapi otonomi daerah pada saat itu. Ditengah perjalanan Hilmar nyeletuk melontarkan pernyataan yang menurut saya konyol pada saat itu Saya heran.. di Indonesia itu sekolah dan berobat kok harus mbayar ya? Pernyataan satu kalimat yang membuat kami saat itu terdiam seribu bahasa. Suasana hati hanya bisa terwakili oleh warna kulit muka yang merah padam macam kepiting rebus yang hampir mateng. *glodak!!! 45

Pertanyaan sialaaaaaaan! sejuta gejolak menggoncang rasa nasionalisme yang terobek ternistakan dengan sebuah pertanyaan menghunjam jantung! *jiahh bahasa guwa hyperbola banged yak! Hihihi Tapi emang asli, pada saat itu saya merasa berada pada titik nol, ato titik minus, pokoknya titik terendah dalam memegang harga diri sebuah bangsa. Saya seorang yang sangad bangga menjadi INDONESIA harus dihempaskan sedemikian berat sampai ke dasar paling dalam. Sungguh saya menangis untuk itu. Meski pernyataan yang keluar cuman cengangas-cengenges wajah tolol tanpa dosa. Diamput! Tapi prens rasa malu ternistakan macam ntu cuman fenomena sesaat yang kudu dibarengi sebuah ato banyak upaya untuk mewujudkannya. Saya yang sudah digariskan berkecimpung di bidang kesehatan, mau gak mau kudu berusaha menambal rasa sakit hati ini dengan mendorong mewujudkan kesehatan untuk semua. Minimal berkoar-koar jadi provokator, menghasut insan kesehatan lain untuk turut bergerak mewujudkannya. *** Baiklah kita agak serius dikit yak! Keinginan untuk mewujudkan kesehatan untuk semua sebetulnya sudah digembar-gemborkan sejak lama. Pada tahun 2004 sudah dibikinkan monumen Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang didalamnya sudah termasuk jaminan kesehatan. Kok monumen??? Lha memang ntu memang hanya sebuah monumen, sebuah penanda, warisan DPR dan Pemerintah saat itu (Megawati), yang 46

Barisan Sakit Hati! oleh pemerintah penerusnya tidak ditindaklanjuti dijadikan tidak lebih seperti kekasih tak dianggapnya Pinkan Mambo. Saya bukan pengikut Megawati, tapi saya salut dengan upayanya untuk memulai mewujudkan itu. Meski kudu kandas pada akhirnya Lima tahun tersia-siakan, tertutupi oleh gebyar Askeskin yang sungguh menghambur-hamburkan uang yang berorientasi mutlak pada pengobatan (kuratif), yang dengan bangga diakui oleh penggagasnya sebagai produk pro rakyat! Meski juga harus dipertanyakan ulang rakyat yang mana? *** Kementerian Kesehatan saat ini sedang berupaya mewujudkan universal coverage, jaminan kesehatan untuk semua. Tapi jangan serta merta terhasut dan menyederhanakan dengan jargon berobat gratis. Gratis pala lu peang! Kesehatan itu mahal bro! Meski pada akhirnya yang muncul di lapangan kita tidak mengeluarkan biaya saat mendapat pelayanan kesehatan. Tetap saja layanan itu pada akhirnya harus dibayar. Naaaahhhh! mekanisme pembayaran dan siapa yang membayar Ntu yang sedang digodhog saat ini oleh Kementerian Kesehatan. Pada prinsipnya mekanisme gaya asuransi yang dipake sebagai landasan. Bukan karena Menteri Kesehatan berasal dari spesies yang sama dengan saya (peneliti) bila saya mendukung dan ikut mendorong 47

kebijakan ini, tapi memang sudah waktunya bagi kita menambal rasa sakit hati ternistakan oleh bangsa lain dengan berbuat! Bukan hanya berdiam diri meratapi nasib jiahh!

48

Barisan Sakit Hati!

Comment

Rachmad Pg Semisal si Hilmar datang lagi, dia pasti bilang ; Tolol banget ya orang Indonesia, sudah punya UU SJSN sejak tahun 2004, belum di apa-apain... kata si Hilmar sambil cengar cengir.

Agung Dwi Laksono *glodhak!* sigh...

Momo Sudarmo Kalo Mas Agung sebutin jaman Bu Mega, kemudian jaman hingar bingar sebar pesona eh sebar duit langsung pada rakyat ala SBY, so pasti itu semua kental nuansa politiknya... Kalo sudah politik, pasti politik praktis untuk jangka pendek yang langsung kelihatan hasilnya (tinggal adu kuat duitnya). Jangka panjang? Sebodo amat, buat 20 - 25 tahun ke depan buat apa ? Keburu rakyatnya sudah muntah eh muak... Kesehatan Preventive? Sebodo amat, ngapain capek tidak langsung keliatan hasilnya... Sorry apa urusannya kok gue ikut-ikutn masuk Barisan Sakit Hati?

Agung Dwi Laksono hahahaha... tidak semua orang bisa ditipu pak!

49

Ilham Akhsanu Ridlo Eh si Hilmar kemarin main ke kostku Pa, dia bilang : "Ham, SJSN bisa sukses kalau kamu jadi Presiden"..wkwkwkw..hihihi..: p Suatu tanda tanya lagi Pa kalau sampai 2012 ternyata belum jadi UU (kata WJP seh bikin UU paling cepet 2 tahun kalau dimulai juga dari sekarang)... ya gak tahu lagi wong pada sibuk sama Gayus dan Jupe... wkkwkw

Feni Novikasari Si Hilmar SMS kalau peraturan itu dibuat tuk dilanggar! Kik kik kik

Rifmi Utami Selama data base morat-marit, serasa mimpi mau mewujudkan universal coverage... Mungkin perlu step by step mewujudkannya, dan perlu pemahaman utuh tentang SJSN, sehingga tidak teraplikasi parsial....

Diansanto Prayoga Kayaknya Hilmar sedang ngigauuu: Indonesia kapan kayak negaraku mimpi kali yeee melase INDONESIA ku Tercinta, semua tergantung oleh komitmen dan kesadaran kita semua untuk jalannya UU SJSN. (kemaren temen saya baru nyadar kalo kesehatan mahal sejak memeriksakan kandungan istrinya, sekarang dia mulai mencari asuransi kesehatan yang cocok) apa nunggu sadar semua?

50

Barisan Sakit Hati!

Ratna Wati Kalo universal coverage, terlalu sulit di wujudkan, (bertele-tele, atau ga tau kapan) lha buat apa ada SJSN segala? Ya paling nggak kalo ga gratis-gratis amat ya mbok pengobatan lebih murah kek! Semoga!

Agung Dwi Laksono @Ilham; Ada kemauan ada jalan! Keep fight! @Feni; Hmmm... prinsipmu yak? hihihi... @Mimi; Yup! mari kita kawal upaya perwujudannya...

Arih Diyaning Intiasari tahun 1999... Kesuma... Ibis... hi... hi... jadi inget kenangan masa itu... Maybe I've been got inspired that part...

Agung Dwi Laksono @Dian; Masyarakat sadar ato tidak? Itu juga tanggung jawab kita! @Ratna; Hahahaha... murahnya seberapa buk? Seribu tiga yak! @Arih; Mari rapatkan barisan...

Ratna Wati Dasar tukang jemblem tauuk aja!

Evi Sulistyorini Barisan sakit hati ini seharusnya bukan hanya rakyat pengguna fasilitas kesehatan dan nakesnya tok, tapi yang mengetok palu disono, lah kalo mereka ajah ga sakit ati... 51

palu untuk kebijakan kesehatan yang update en real terhadap keadaan lapangan ga akan terketok tho yo pa....

Femmy Skotia Kalo penduduk Indonesia sesedikit jumlah penduduk Jerman mungkin bisa. Makanya punya anak jangan banyak-banyak. Cukup dua aja jadi bisa di'hidupi' dengan layak, Insya Allah. Tapi fenomena sekarang ini di negara kita justru malah banyak anak-anak yamg membesarkan anak-anak alias kawin muda akibat MBA (married by accident, red.), ato malah anak-anak di luar nikah. Trus banyak yang gak mau KB meski hidupnya morat marit. Belum lagi poligami, nikah siri dll. Ribet deh. Akibatnya jadi tambah banyak aja penduduk Indonesia. Banyak kayak buih di lautan. Sayang SDM nya gak ngimbangi. Kebanyakan bangsa kita yang pinter-pinter dan genius-genius lebih suka kerja di negeri orang. Hiks... Indonesiaku. Kasian deh kamu.

Rima Tunjungsari Dimulai diri sendiri, dari sekarang.... Humpphh... menginspirasi juga om!!

Didik Supriyadi Sayang Kesuma... kalo mau, sebenernya kita pasti bisa. Hanya sayangnya sudah pada waras sih. Kalo belum tentu masuk RSJ. Wkwkwkwk...

Christine Indrawati Kalo belum ngerasakan mahalnya ongkos jadi manusia sehat emang belum ngerasa butuh asuransi 52

Barisan Sakit Hati! kesehatan deh, apapun bentuknya. Tapi begitu ketiban sakit berlomba-lomba miskin ben dapet gratis. hehe..

Agung Dwi Laksono @Evi; Hahaha... efek politik gak sehat! @Femmy; Trus? Masak cuman bisa kasian gitu? @Rima; Mari bersamaku.. jadi penghasut aktif yak!

Agung Dwi Laksono @Didik; Disela-sela kewarasan kita, perlu juga suatu saat 'gila' beberapa saat! Bukan hanya untuk memanjakan ego dan sekedar mengenang masa lalu, tapi berbuat yang lebih untuk Republik! mau gila bersamaku??? @Mbakyu; Mental kere yang terlanjur dijadiin kebijakan dasar kita...

Sutopo Patria Jati Benar mas, nggak ada yang mengherankan jika perspektif politik yang mau dijadikan pisau analisisnya :). Motif masing-masing politisi tersebut jelas kepada kekuasaan, namun ironi yang berulang bukan untuk kali ini saja kelihatannya, UU Kesehatan 1992 yang lama (sudah berusia 17 tahun) sampai akhirnya dibuat UU Kesehatan terbaru di tahun 2009 kemarin apakah sudah diurusin secara wajar dan proporsional oleh Pemerintah dan wakil kita yang sudah berganti-ganti berapa kali ya? Berapa PP yang dilahirkan dari UU tersebut selama ini? Dan parahnya kita insan kesehatan terkesan hanya pasrah dan menyerah kalah yang akhirnya sebagian kemudian frustasi menjadi Barisan Sakit Hati. he he he...

53

Mari kita berandai-andai... jika uang kita untuk bayar hutang dan bunga akibat krisis moneter dan BLBI pasca tahun 1997/1998 (kontributor utamanya kita semua tahu itu terjadi di masa pemerintahan siapa) yang katanya mencapai 60 triliun per tahun dan harus dibayarkan sampai tahun 2020 (?) ...seandainya dana itu sebagian saja bisa digunakan untuk universal coverage pertahun yang diproyeksikan menelan hanya sekitar 17 triliun (asumsi saat ini) seharusnya sejak 13 tahun kita bisa dengan kepala tegak bilang sama si Hilmar .. "Pertanyaan loe udah basiiii bro!" :)

Agung Dwi Laksono Kweren Boss! sigh... sungguh kangen 'berdiri dng kepala tegak' macam ntu..

Tite Kabul Tapi jangan serta merta terhasut dan menyederhanakan dengan jargon berobat gratis. Gratis pala lu peang! Kesehatan itu mahal bro! Saya suka dengan kalimat diatas, ternyata pegawai saya harus keluarkan kocek 5,5 juta untuk operasi kista disebuah RS yang berlabel pemerintah juga, padahal di kelas 3.

Agung Dwi Laksono Hahahaha... Bu Tite kok suka dengan kata-kata kasar saya sih? Jadi malu...

Didik Supriyadi Jika kita melihat kejadian mark up alkes di Kemenkes tentang alkes kita bisa bertanya apa bedanya rowing dan steering? obat aja harus drop-drop an dari pusat. Apa 54

Barisan Sakit Hati! daerah ndak bisa itung kebutuhan? Biaya penelitian untuk menjadikan kebijakan berapa banyak? Lha wong mesti nunggu donor. Kayak Kesuma kan nunggu dari jerman. Seringkali pilot project hanya berorientasi proyek, bukan program. Nah kalo gini sebenernya siapa yang waras?

Agung Dwi Laksono Lha kamu maunya digolongkan waras po gendheng? Nek aku manut wae...

Didik Supriyadi Aku manut sing tuo ae. Engko kualat...

55

56

Berbicara pada Dewan...

Berbicara pada Dewan

Monday, August 2, 2010 at 7:25am Morning all, Dalam konteks sebuah konsep komunikasi, seorang health advocate sebagai komunikator (sender) harus tau siapa yang dihadapi? Harus paham bagaimana perspektif komunikan (receiver? Apa yang paling krusial yang menjadi pertimbangan sebuah keputusan lawan bicara? Termasuk didalamnya bagaimana meyakinkan anggota dewan terhormat untuk mengerti tentang pentingnya kesehatan?!!!

Bahasa Duit!
Berbicara tentang duit selalu saja menarik! Tidak saja bagi seorang anggota dewan tapi juga saya! Hehehe

57

Berbicara tentang menduitkan kesehatan memang susah-susah gampang (susahnya udah saya duluin daripada gampangnya tuh!), meski juga bidang ekonomi kesehatan sudah bukan barang asing bagi kita. Tapi mau tidak mau kita harus memakai bahasa duit bila berbicara dengan dewan, karena bahasa duit lebih mudah dipahami sebagai konotasi untung-rugi sebuah program, dalam konteks keekonomian sebuah kegiatan. Bila kita kesulitan menunjukkan keuntungan, mungkin bisa dicoba dengan menghitung potential lostnya. Klo kita gak bisa nunjukkin kelebihan imunisasi, tunjukkin kerugiannya bila kita tidak melakukan imunisasi! Tunjukkan bahwa jargon kesehatan adalah investasi bukan omong kosong!

Efisiensi Ekonomi
Bicara untung-rugi dan duit maka kembar identik dengan efisiensi secara ekonomi! *** Suatu saat pada waktu kuliah ketika ditanyai guru saya tentang pengertian efisien, maka sesuai yang saya tau ketika dulu dapet pelajaran ekonomi bahwa efisien adalah memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan modal seminim-minimnya. Dan betapa saya didamprat guru saya ketika itu! kamu itu materialis! Tidak lebih lintah darat kapitalis! Laaahhhhhh! Saya pan cuman mengulang kata guru saya terdahulu Ternyata menurut beliau, efisien adalah memperoleh keuntungan sebesar2nya dengan seluruh sumber daya yang ada, 58

Berbicara pada Dewan... bukan dengan sumber daya yang minim! Perasaan gak beda2 amat ya hihihi *** Balik maniiiing der Efisiensi dalam perspektif provider kesehatan, baik swasta maupun milik pemerintah mungkin penting dalam upaya efisiensi sosial, tapi tetap saja belum cukup! Perlu perspektif erlu lebih luas untuk memahami konteks sosial dalam masyarakat. ial Beberapa pendekatan yang biasa digunakan untuk penguk pengukuran efisiensi bidang kesehatan bisa dipelototin pada matriks berikut;

Baiklah untuk teknis secara detail karena hari sudah siang, nti bisa ditelusur lebih jauh contoh penerapannya dalam kondisi lapangan. (see 'Identifying, Categorizing, and Evaluating Health Care Efficiency Measures' by Elizabeth A. McGlynn, et al., 2008 2008) 59

Comment

Rachmad Pg Jadi mikir, masih efektifkah menggunakan bahasa ekonomi, apa yang dilakukan Pong tempo hari menurutku jauh lebih efektif, meski dia dianggap alami gangguan jiwa....

Agung Dwi Laksono Hahaha... 'kegilaan Pong' merupakan sebuah moment! Naaahhh... bagaimana kita menyikapi dan melanjutkan moment tsb! jangan sampe ketinggalan moment...

Sutopo Patria Jati Dengan model pemilu kemarin menghasilkan karakter anggota dewan yang selain harus populer juga berkantung tebal sekali... jika menghadapi lawan seperti ini teknik komunikasi bahasa akademis termasuk dengan model itungan ekonomi yang cetho melo melo... tetap aja nggak digubris (nggak mau dan mungkin nggak mampu mencernanya)... Fenonema Pong cukup bisa membuktikan bhw pendekatan cara jalanan/cow boy mungkin jauh lebih efektif... soale dewan e wis samin yo kudu diladeni dengan coro nyamin :) Meskipun ini juga gak semuanya tepat karena tergantung dengan kondisi daerah masing-masing bahkan bisa jadi yang samin bukan dewannya tetapi malah bupati/walikotanya sebagai dampak dari desentralisasi yang kebablasan...

60

Berbicara pada Dewan...

Ilham Akhsanu Ridlo Pa, ini sepertinya pas dibuat thesis... ajarin dunk... ada deadline judul nih... hehehe.., datanya juga : P

Dyah Yusuf Kesehatan harus disesuaikan dengan UUD, Ujung Ujungnya Duit... ;) kalau ngomongin investasi kesehatan ya lebih pas lagi dikaitkan dengan JPKM... sedikit banyak JPKM pasti ada korelasinya dengan derajat kesehatan... Riskesdas ada data gak neh...?!?

Agung Dwi Laksono @Sutopo; *sedang berpikir bagaimana membawa arus opini yg juaoh lebih 'nyamin' lagi* @Ilham; Besok pagi tak upload deh bukunya... @Dyah; Riskesdas cuman nampilin data dasar non! Perlu kajian tersendiri yang mengkhususkan hanya pada pembiayaan kesehatan. Keknya 2012 ada plan untuk itu...

Dfc Surabaya Tiidak mungkin sebuah program bisa terlaksana tanpa duit. Berbicara dengan Dewan memang tidak bisa dipisahkan dari duit karena memang salah satu tugas mereka adalah bersama-sama eksekutif menyusun anggaran pembangunan (program). Kalau bicara dengan Dewan tanpa menyebut nominal pasti keuntungan ya namanya demo... ha ha ha ha ha... Berapapun nominal sebuah program entah karena iklim politik, birokrasi, dan LSM-LSM kita yang masih mencari celah keuntungan, yang pasti implementasi ke rakyat tidak 61

meninggalkan substansi dari program itu sendiri. Bila konteksnya kesehatan maka substansinya tentu berkaitan dengan peningkatan kualitas kesehatan rakyat. maaf kalau sok teuu.... he he he he....

Ilham Akhsanu Ridlo Iya Pa... butuh inspirasi buat thesis Pa... deadline nih..

Sulistyawati Itheng Sejatinya duwit tu akeh di negri ini, cuma susah cairnya... karena tingkat kekentalannya aneh... efisiensi??? heh basi...

Rifmi Utami Thesisku tentang CEA, mas... membandingkan 2 cara penemuan penderita kusta... Semestinya bisa dipakai untuk advokasi ke dewan... Tapi sayang, perlu eksekutif yang dong (ngerti, red.), bahwa metode-metode itu bisa dipake untuk membantu advokasinya... Malah untuk nge-gol-kan pake bahasa duit yang konkret sambil bisik-bisik alias ng*mpl*p.... oh... poorly my country... hix hix...

Rachmat Hargono Wah wis uakeh sing komen... kabeh bener... Emang di Indonesia tercinta ini gak ada yang salah kug... termasuk menerima amplopan ternyata bisa gak salah.... 62

Berbicara pada Dewan...

Buat Ilham ini bisa bwt judul thesis... efektivitas amplop dalam upaya advokasi kesehatan......

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Membuat agar Senators melek arti penting Kesehatan? Wah udah melek mereka. Kalo soal kepentingan, bila terganggu baru bereaksi (individualistis). Nah, kalo menjadi kebutuhan, ini yang susah,... banyak konstituennya yang terlantar (tidak sesuai UUD, ada kewajiban negara), namun tidak banyak upaya yang signifikan dan menjadi rujukan utk pengembangan. Semua butuh kesehatan, namun yang punya POWER dan AMANAH, tidak semua memenuhi kebutuhan. Soal membawa opini tentang kesehatan agar senator mendukung dan care, yah...nanti dulu. Harus lihat apa yang lagi HOT dan SEXY di NKRI ini, ekstrimnya yang bisa melanggengkan POWER... hehehehe. Namun, selamat berjuanglah buat rekans Advokator Kesehatan. Selamat mendidik dan memberi contoh yang benar tentang Kesehatan. Salam SEHAT.

Dfc Surabaya Kayaknya ga cuma Dewan juga deh yang mau amplop... Ekskutif dan LSM juga mau... jadi karena samasama mau maka sama-sama tahu maka sama-sama kolusi maka sama-sama korupsi... maka rakyat tetaplah angka-angka statistik yang bisa datangkan angka-angka duit... he he he he....

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Gung, mogamoga dari diskusi mu ini, bisa muncul Pong-Pong lain... hehe...

63

Didik Supriyadi Kebetulan saya selalu terlibat pembicaraan anggaran kesehatan dengan anggota dewan. Dan kebetulan di Bojonegoro keadaanya tidak selalu berujung pada duit. Efektifitas program dengan mempertimbangkan RPJMD menjadi salah satu syarat mengembil keputusan. Memang tidak semua anggota dewan bisa berpikir seperti itu. Namun secara kebetulan lagi saya bisa berbicara secara informal dengan anggota dewan yang memiliki pengaruh. Dari yang informal inilah menjadi suatu yang keputusan yang formal. Menurut saya advokator tidak melulu melalui meja formal.

Evie Sopacua Actions adalah kegiatan yang merupakan pengejawantahan pikiran untuk menjawab needs... gitu ya mas don? ..hehehe... masalahnya, ketika kita mau membuat para senators aware that there's something wrong dengan kesehatan di Indonesia and specially di wilayah yang menjadi tanggungjawabnya di wilayah yang mendukung dia menjadi senator adalah ketika kita bisa mengalihkan perhatiannya kesitu.. But first (eh... nulisnya nih nyonto gaya Cinta Laura gicu...) nuruti teori advokasi, we have to understand their needs, and fulfill it sesuai dengan kemampuan kita to get their attention... and as they focused on us, baru deh kita bicara apa yang kita pingin dia fahami dengan mendorongnya untuk menindaklanjutinya dengan apa yang dia bisa lakukan sebagai senator... gitu ya mas didik in Bojonegoro...

Didik Supriyadi Betul Oma... Hari ini pun saya akan mencoba lagi membuat anggota legislatif akan percaya bahwa kesehatan merupakan hal yang tidak boleh dipandang sebelah 64

Berbicara pada Dewan... mata. Hari ini saya dan istri tercinta (mewakili 2 instansi yang berbeda) akan mengikuti pembahasan KUA PPAS. Doakan ya konsep kami bisa diterima....

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan ep...ACTION(S), agar Senator, yang notabene udah melek, mau komit dan paham apa yang HARUS dia lakukan untuk konstituen/negaranya. Di sini peran semua (termasuk advokator, mobilisator, peer group, masyarakat) mengawal implementasi komit dan paham tadi. Salam SEHAT.

65

66

Merawatinapkan Puskesmas Rawat Jalan!

Merawatinapkan Puskesmas Rawat Jalan!

Monday, April 12, 2010 at 6:19am My dear friends Kemaren sempet diskusi dengan orang Balitbangda Provinsi Jawa Timur. Membahas topik beberapa program unggulan provinsi jatim dalam bidang kesehatan untuk tahun 2010. Salah satunya adalah upaya untuk menaikkan status puskesmas rawat jalan menjadi rawat inap??? . Upaya ini oleh Gubernur Jawa Timur, Pakde Karwo, dimaksudkan untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Upaya ini juga merupakan salah satu penjabaran slogan gubernur jatim APBD untuk rakyat. Entah rakyat yang mana? Hihihi Agak geli juga dengan slogan ituAPBD untuk rakyat!. Apakah selama ini APBD tidak diperuntukkan untuk rakyat? 67

Pakde Gubernur tau dong kemana saja aliran dana APBD rovinsi Provinsi selama ini? Pakde Gubernur kan seorang birokrat tulen sebelumnya, dengan jabatan terakhir Sekdaprov. Ato sebenarnya hir Pakde Gubernur tau banyak gayus di provinsi ini sebelumnya! ernur Bwakakak Eh... balik maning ke topik diskusi menaikkan status puskesmas rawat jalan menjadi rawat inap??? Seperti biasa saya tidak serta merta setuju dengan upaya yang satu ini!! Tapi tetap juga, ini versi saya! Sampeyan boleh tidak sependapat, dan klo bisa juga jangan serta ampeyan merta setuju dengan pendapat saya. Cuman semata biar diskusinya bisa rame. Hihihi Bagaimana bisa? Dengan trend perkembangan kesehatan yang lebih berorientasi pada preventif-kuratif, kuratif, Pakde malah berusa berusaha membawa bidang atim kesehatan di Jatim ke arah kuratif-rehabilitatif. rehabilitatif. Pakde tidak berusaha pro aktif untuk membuat dan meningkatkan jumlah rakyat sehat dengan memperbanyak upaya pencegahan supaya rakyatnya tidak sakit, tapi Pakde malah hanya de berusaha menyediakan tempat pengobatan. Padahal kita sudah sama-sama tau, bahwa upaya pencegahan sama jauh lebih cost effective dibanding upaya pengobatan. Jadi sangat perlu untuh jauh lebih berorientasi pada upaya 68

Merawatinapkan Puskesmas Rawat Jalan! pencegahan, tanpa juga meupakan upaya pengobatan.

Setuju, asal
Saya bisa saja sepakat dengan upaya ini! Dengan syarat upaya ini dilakukan di daerah terpencil yang akses pada tempat pelayanan kesehatan rawat inapnya sangat jauh ato bahkan tidak tersedia. Daerah yang untuk mengakses layanan rawat inap membutuhkan waktu lebih dari lima jam perjalanan. Tapi lagi-lagi saya agak kurang yakin kriteria ini ada di wilayah Provinsi sekaliber Jawa Timur. Ato rekan-rekan bisa menunjukkan pada saya, biar bisa membuka mata dan wawasan saya lebih lebar Kebijakan untuk merawatinapkan puskesmas rawat jalan bisa jadi membawa dampak kebijakan yang sangad jauh dari harapan. Petugas puskesmas akan menjadi sangad berorientasi pada kuratif! Bagaimanapun Di puskesmas upaya kuratif ato pengobatan lebih menghasilkan duit ketimbang upaya prenventif ato pencegahan. Dan tentu saja petugas puskesmas juga manusia, yang matanya ijo klo liat duit! Hihihi saya juga termasuk sih Udah ahh udah siang neh! Ntar telat lagi ngantornya Bye prens

69

Comment

Rifmi Utami Klo Puskesmas yang jauh dari RS di Sumenep banyak mas... tuh di hamparan pulau-pulau sebelah Utara dan Timur... Klo toh harus merawatinapkan semua Puskesmas, ya... harus dipenuhi semua syaratnya, termasuk dokter dan paramedis yang memadai, serta peralatannya... Tapi yang namanya promotif-preventif... wajib juga dilaksanakan... keempatnya harus tetap sinergi (promotifpreventif-kuratif-rehabilitatif).

Curie Kharisma Yap betul, puskesmas itu kan melayani pelayanan kesehatan primer (promotif dan preventif), dan kuratif dasar, jika pasien memang harus MRS ya rujuk ke RS. Untungnya Bu Menkes kita udah mulai menggalakkan kembali upaya promotif dan preventif, salah satunya dengan vaksin filariasis (tapi sayangnya belum disadari kalo strain orang Indonesia beda dengan strain orang negeri asal vaksin). Dari Puskesmas sampe nyasar ke vaksin nih.. hehehe... Yang jelas ini jadi PR kita rame-rame... hufff.. (PR lagi Papa).

Filaili Mauludiani Terus rawat inapnya pake program gratisan lagi bagi seluruh masyarakatnya alias pengobatan gratis. Berapa lagi anggaran yang harus tersedot untuk upaya kuratif alias pengobatan????? banyak KEPENTINGAN sih memang, sekarang malah pemerintah daerah berlomba-lomba membuat RS meskipun itu cuma tipe D. di Kabupaten X jumlah penduduknya 70

Merawatinapkan Puskesmas Rawat Jalan! cuma 200 ribu lebih sekian, udah punya 1 RS tipe C, 2 RS Swasta, masih mau meningkatkan Puskesmas Rawat Inap menjadi RS tipe D. Mbok ya duit daripada buat RS lebih baik buat operasional program. Lha wong untuk menuju RS yang ada baik pemerintah maupun swasta cuma membutuhkan waktu paling lama 2 jam lho, alasannya sering banjir, jalur perairan (tapi bukan pulau sih). Kalo alasan infrastruktur kan bisa bangun jembatan, jalan, dll, banyak pihak lagi yang bisa memanfaatkan hasilnya.

Sujud M Raharja He... he... jadi ingat waktu nanyai adik-adik magang... beda Puskesmas dengan RS. Ups...ternyata mereka gak tau (bahkan teorinya) duh... capek deh. gimana bisa mengkritisi kalo udah begini.

Feni Novikasari Kalau 5 jam kelamaan Pakde. Paradigma sehat kurang greng karena program pemerintah masih paradigma sakit.

Curie Kharisma @Pak Sujud: Emang yang magang mahasiswa informatika apa akuntasi? Hehehe...

Evi Sulistyorini Terlepas dari kebijakan itu pas ato belum, pasti sebelumnya ada masukan ato fakta bhwa 'rakyat kecil' menginginkan fasilitas rawat inap di dekat rumahnya.. *positive thingking* Cuma kebijakan itu bisa diterapkn pada daerah yang berkriteria 71

khusus (jauh dari RS) dan dirasa administrasi di Puskesmas lebih mudah dan murah dibanding RS. Itu pendapat saya mas...

Diansanto Prayoga Memang untuk mendekatkan pelayanan kesehatan, tapi Puskesmas lebih baek digenjot untuk promotif dan preventif, pelayanan di luar puskesmas yang harus dikejar, paradigma sehat selalu harus ada pada setiap nakes d puskesmas. Salam sehat dan salam ikhlas

Rachmad Pg ..Diskusi kaum pinggiran nih yee.....

Emy Widyastuti Kalo menurut aku sih.... peningkatan lingkungan sehat, PHBS dulu baru Puskesmas dengan Rawat Inap khusus buat wilayah sulit...

Rachmat Hargono Bahan bagus untuk diskusi..... Kalee kita perlu redifinisi Puskesmas itu apa yha, termasuk tupoksinya. Dalam menyusun tupoksi ini kayaknya (mau gak mau) kita harus mengacu pada paradigma sehat... tapi... Selama ketersediaan dan akses pelayanan kuratif (yang memang masih dibutuhkan, terutama untuk daerah terpencil) belum bisa dipenuhi, maka Puskesmas bisa menyediakan tempat perawatan. Jadi... harus dibedakan tupoksi Puskesmas daerah 'terpencil' dan perkotaan... (kayaknya ini sesuai dengan kuliah bahwa sebenarnya penyediaan pelayanan itu harus mengikuti 72

Merawatinapkan Puskesmas Rawat Jalan! kebutuhan). Tinggal kita menetukan kriteria daerah terpencil atau tidak.

Tambahan catatan : Siapa bilang pelayanan promotif dan preventif tidak bisa mendatangkan uang....? Banyak tuch tementemen Kepala Puskesmas yang sangat kreatif sehingga mereka bisa dapat banyak uang justru dari kegiatan promotif dan preventif... ini yang harus dipakai sebagai pembelajaran....

Agung Dwi Laksono @Mimi; Hahaha... kok bisa pas gini ya? Madura... daerah yang menitiskan seperempat nyawa saya. Saya punya komitmen khusus dengan daerah ini! Realitas saat ini... madura dalam indikator IPKM (Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat) menempati urutan bontot di Jawa Timur, dan bahkan di Indonesia. Ini terjadi di 4 kabupaten yang ada! Saya berkolaborasi dangan Mas Pranata (peneliti pribumi Madura) dan juga Balitbangprov (kebetulan Kabidnya juga pribumi Madura) akan mewujudkan komitmen kami... (ato lebih tepat obsesi ya?) atas daerah khusus ini. Mohon do'anya saja agar komitmen ini bukan hanya lip service...

Agung Dwi Laksono Yang jelas kebijakan ini juga seiring dengan kebijakan 'kesehatan gratis' yang dibesut Pemprov dalam jamkesdanya. Kebijakan ini menjadi salah ato tidak memang tidak bisa dilihat secara parsial, tapi perlu dilihat secara global menyeluruh. 73

Kita yang akan mengawal agar kebijakan itu tidak salah momen maupun salah tempat! Perlu banyak kritik membangun, kritik yg sekaligus memberi jalan keluar! Mungkin kita juga tidak bisa berpatok pada definisi operasional (DO) puskesmas klasik. Kalau perlu kita bikin DO puskesmas sendiri yang mengacu pada spesifik lokal daerah!

Ilham Akhsanu Ridlo Ini juga yang membuat saya gelisah... semua pelayanan Puskesmas di dorong ke arah ISO, terutama untuk upaya-upaya UKP. Secara tidak langsung konsentrasi Puskesmas berganti karena ini lebih menguntungkan buat kantong... Apalagi sekarang khususnya di Surabaya semua didorong ke arah pelayanan spesialis... Duh Gusti gimana ini?

Didik Supriyadi Ketika kita berharap bahwa masyarakat sehat merupakan suatu investasi yang tak terbantahkan, apakah pantas pendekatan medis (baik umum maupun spesialistis) tetap dikedepankan dengan mengatasnamakan kedekatan akses? Apakah dengan dalih untuk kesehatan masyarakat dana yang sedemikian banyaknya hanya untuk orang sakit saja? Apakah ketika mereka telah sehat mereka akan menjadi produktif bila kesempatan kerja, kreatifitas, inovasi ketersediaan sarana penunjang pertumbuhan ekonomi masih berjalan ditempat?

Rachmad Pg ...berpikir imajiner, mungkin situasi umum ini (puskesmas yang kuratif oriented) berlaku karena tidak ada yang berani tampil beda dengan menempatkan Puskesmas 74

Merawatinapkan Puskesmas Rawat Jalan! murni sebagai penggerak pembangunan berwawasan kesehatan di Kecamatan & menumbuhkan pemberdayaan masyarakat dan keluarga di bidang kesehatan masyarakat... ...pernah suatu ketika, saat diskusi dengan petinggi kota, mereka membayangkan Puskesmas yang seperti itu aja sulit, apalagi diimplementasikan... ...sebetulnya ada upaya mission impossible yang bisa kita lakukan, kita bikin pilot project puskesmas yang kita maui... yang sulit (karena mission impossible, red.) adalah nyari orangorang GILA yang mau ngelakuin itu bersama... ...dulu sempet punya beberapa teman GILA, eh belum sempet dilakuin uda WARAS duluan...

Agung Dwi Laksono Bwakakak... dwogol lo! Lo masuk yang udah waras yak???

Rachmad Pg Me? Just pretending to be normal... wakakakaka... ...tergantung pergaulan Cak... nek ngumpul karo wong waras yo melu waras... tapi nek ngumpul nang lampu merah pucang yo dadi GILA maneh... Sing jelas waras yo sing komen nang dhuwurku pas iki... wakakakaka...

Agung Dwi Laksono Kalau udah nemu yang gila barangkali bisa buat project try out di Sumenep! 75

Asli pengen buat project gila juga!

Rachmad Pg Sumenep? Serius nih....... Okay, kabar kabari, siap bantu, saiki tak persiapan sek mlebu RSJ Menur...ben dapat lagi feelnya......

Ilham Akhsanu Ridlo Eh ehe... aku melu proyek gila dunk... pan saya juga kaum pinggiran yang rada gila...wkkwwk...

Rachmad Pg ...bukan proyek seperti yang di situ loh Ham... hahaha... Nih namanya, mission impossible, butuh belajar banyak ama Ethan Hawk... wkwkwk... Bila gagal, pemerintah tidak tanggung jawab, resiko ditanggung pelaksana... hehehe...

Mamik Hidayah Pagerwojo sekarang jadi rawat inap lho Mas. Mmg jauh dari RS, jadi diharapkan dengan ada rawat inap di Gunung, masyarakat ga perlu jauh-jauh turun ke kota.

Ilham Akhsanu Ridlo @Mas Rahmad: Iyo wes... gak apa-apa... ayo mas... aku yo gemezzz... hehehe...

76

Merawatinapkan Puskesmas Rawat Jalan!

Didik Supriyadi Sing dhuwurmu gak abot tha?

Rachmad Pg Wakakaka... wes waras tah Dik? Ndang sukuran rek...

Ratna Wati Menurutku bagus juga merawat inapkan Puskesmas, sebagai pelayanan masyarakat, khususnya daerah terpencil, asalkan tersedia sarana obat-obatan, dan tenaga medisnya! Masalahnya siapkah pemerintah mengupayakan ini?!...

77

78

Kebijakan Ini-Itu!

Kebijakan ini-itu!

Sunday, January 16, 2011 at 11:06pm Dear all, Kebanyakan dari kita... saya dan sampeyan-sampeyan semua, yang bisa berkutat dengan Facebook adalah jenis yang paparan terhadap informasi dan pelayanan kesehatan sudah bisa dibilang cukup! dan bahkan mungkin berlebih... Meski untuk mengaksesnya tetep juga dibutuhkan duit! hehehe... Akses pelayanan kesehatan di negeri kepulauan terbesar di dunia ini, sampai saat ini bukan hanya akses soal duit, ntu mah udah advance! yang lebih mendasar, yang dari jaman baheula nyampe saat ini masih tetep jadi masalah adalah ketersediaannya, baik fasilitas pelayanannya maupun soal ketersediaan tenaganya.

79

Siapapun yang jadi menteri kesehatannya... saya jamin masih akan mumet tujuh turunan! Pertiwi kita sangat luas, dengan disparitas antar wilayah masih juga sangat lebar. Teknologi kedokteran paling mutakhir bisa jadi kita sudah memilikinya! Singapura ato Malaysia sih lewaaaat... Tapi tetep aja masih ada daerah yang bahkan untuk mencapai Puskesmas Pembantu ato Polindes kesulitan, dan ato bahkan tidak ada akses! Bukan isapan jempol, saya.. dengan mata kepala sendiri pernah menjumpainya

Terlalu luasnya wilayah yang harus dijangkau, terlalu banyaknya komunitas yang harus dilayani, terlalu bervariasinya ekonomi dan pendidikan menjadi tantangan tersendiri untuk semua jenis pelayanan publik di negeri ini, terlebih bidang kesehatan.

80

Kebijakan Ini-Itu! Kita betul2 kekurangan tenaga! sudah tenaganya dikit, ngumpul di kota besar pula! Diam-diam kita menyimpan bara api yang cukup laten. Untuk perluasan akses dan pemerataan pelayanan kesehatan, pemerintah seperti kebingungan dalam mengambil kebijakan. banyak kebijakan yang dibuat dalam kenyataan di lapangan justru ditabrak sendiri. Pemerintah membesut Undang-undang Praktek Kedokteran yang melarang praktek tindakan medis dilakukan oleh profesi selain dokter, tapi di sisi lain juga dikeluarkan kebijakan soal Poskesdes, yang notabene digawangi oleh paramedis, yang jelasjelas bukan dokter. Belum lagi bidan pun boleh melayani pengobatan, meski katanya terbatas pada penyakit yang menyangkut kebidanan, tapi siapa yang tau praktek di lapangan *saya tau lahhh! hehehe Ketegangan dengan organisasi profesi pun tidak bisa dihindarkan... dalam catatan saya Organisasi profesi kumpulan dokter spesialis obgyn pun protes terhadap kebijakan Kementerian Kesehatan yang memperbolehkan bidan berpraktek mandiri, meski juga dengan dalih menolong persalinan normal. Organisasi profesi dokter pun keberatan dengan keberadaan paramedik (perawat & bidan) yang berpraktek mandiri, yang bukannya berpraktek asuhan keperawatan, tapi lebih pada kuratif, yang bahkan sudah sangat invasif. Klo sampeyan yang jadi Menteri Kesehatannya piye jal? Mumet po ora? 81

Pemerintah dihadapkan dengan Angka Kematian Ibu yang meski turun, tapi tetap saja memprihatinkan. Sedang cakupan persalinan ke tenaga kesehatan pun juga mengecewakan. Untuk itu maka pemerintah mengambil beberapa kebijakan soal kebidanan, mulai dari dokter plus (dokter yg diberi tambahan kursus gynecology) sampai pada menggenjot jumlah lulusan bidan. Bukan hanya lulusan bidan, lulusan tenaga kesehatan yang lain pun ikut-ikutan digenjot demi memenuhi ketersediaan dan aksesibilitas pelayanan kesehatan. Maka tumbuh suburlah akademi dan sekolah tinggi kesehatan di negeri garuda ini. Eitsss masalah belon selesai Tumbuh suburnya akademi dan sekolah tinggi kesehatan bukannya lepas dari masalah! Sekolahan yang lulusannya banyak bekerja dengan urusan terkait nyawa manusia ini pun cukup banyak yang begajulan Yang cuman sekedar lulus pun tak sedikit! Belon lagi soal dualisme penyelenggaraan pendidikan kesehatan ini! antara besutan Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional dengan PPSDM Kementerian Kesehatan. Wis tambah mumeeet *** Pemerintah bukannya tidak tau dan tidak mau tau soal standar yang ngotot dijadikan landasan oleh organisasi profesi dalam memprotes setiap kebijakan.

82

Kebijakan Ini-Itu! Tapi pemerintah juga dihadapkan dengan masalah ketersediaan dan akses yang harus dengan cepat diselesaikan, sementara organisasi profesi belum bisa memberi solusi manjur. So... kebijakan kebanyakan bukan soal salah ato benar... tergantung kita mau memilih kebijakan yg mana... yang terpenting adalah konsekuensi dari setiap pilihan... bisakah kita mengantisipasi konsekuensi pilihan kita? *sorry mumet!

83

Comment

Aditya Tetra Firdaussyah Betul pak, beberapa Puskesmas sulit dan bahkan tidak dapat dijangkau jika musim penghujan seperti ini, akses komunikasi yang terputus kadang menjadi penghambat pertukaran info.

Dessy Inggrina Lahh kalau bidan ga boleh buka praktek sendiri, kasihan iparku dong yang dah syusyah payah mewujudkan cita-citanya buat jadi bidan desa... dah kuliahnya mahal, pake biaya ini itu, harus begini begitu... Mosok seh mau nunut terus sama dokter puskesmas, mbok yo biarin aja mandiri dengan buka praktek dirumah... Iparku pengen juga jadi PNS, tapi ujung-ujungnya pake duit lagi, ga tanggung-tanggung bergepok-gepok tuh! trus gimana dong?!...

Agung Dwi Laksono @Tetra; Kondisi di kepulauan dan perbatasan lebih parah dari itu... @Dessy; Kok jadi curhat ke diriku sih??? hihihi...

Rafael Soe Jien Jadi ingat waktu tourney di Putusibau Kalimantan Barat dan di Woja Asmat Papua... telegram dikirim jam empat... kami dateng 2 hari kemudian... baru besoknya telegram sampai... tenaga medis bingung... semua orang kampung pergi ke hutan... siapa yg mau diobati? Kikikikiki...

84

Kebijakan Ini-Itu!

Bunda Sejatiku Kalo kebijakan Menkes diterapkan di Kabupatenku, jelas-jelas ga bisa, kecuali kalo dokter-dokter itu mau ditempatkan di daerah terpencil? Buktinya... dan tidak ada yg bisa merubah & memaksa kepercayaan masyarakat (daerah terpencil) tuk berobat di tempat yang sesuai dengan kemampuannya (secara ekonomi). Ini ada lagi yang lucu (waktu aku kunjungan untuk akreditasi instansi Pendidikan) Depkes secara jelas dan tegas melarang sekolah SPK, tapi karena alasan kebutuhan nakes... Dinas pendidikan memberikan ijin dengan catatan : ada lokasi sekolah dan ada muridnya... walaupun jumlah biaya pendidikan harus ditanggung ber-16 siswa... ck ck ck... seperti sekolah-sekolahan saja...

Aditya Tetra Firdaussyah Betul pak, hehe, ingat di Keerom, Papua, begitu dekatnya sampai-sampai saya lihat ada warga Papuan New Guinea yang berobat di Puskesmas Indonesia. Kesehatan memang tidak boleh memandang suku, bangsa, agama dan politik.

Dessy Inggrina Yaa maksudnya menyimak diskusi sekalian curhat gitu dehh... by the way tanya dong, vit c dan kolagen bagus ga sih sebenernya? hihi...

Ratih Wirapuspita Ojo mumet yo... dikerjakan saja tugas masing-masing sebagai warga negara yang baik...

85

Nita FreezeDudulz Setahu saya sebagai orang yang awam dalam dunia ini pelayanan seorang bidan baik yg praktek mandiri ataupun yang praktek di RS lebih friendly dan lebih welcome dari seorang dokter spesialis. Ibu bidan bisa lebih sabar dan telaten nungguin si ibu yang mau melahirkan, sementara seorang dokter spesialis cenderung menyerahkan dukungan moral bagi si pasien kepada seorang perawat, beliau baru datang ketika si janin sudah mendesak banget pengen melihat dunia, sangat ironis untuk ukuran seseorang dengan level yang lebih tinggi. Jadi kenapa harus ada keberatan untuk praktek mandiri bagi seorang bidan? Jika sebatas melahirkan secara normal kan bidan juga bisa menangani, dan menurut pengamatan saya, bidan juga akan cepat melakukan tindakan jika pasiennya ada kelainan dan hrs diCesar misalnya, dengan segera membawa pasien ke RS terdekat.

Makin ngelantur kan saya? Harap maklum, otak lagi stuck, mohon maap yaa... wassalam :|

Yuliastuti Saripawan Suatu kebijakan belum tentu sesuatu yang bijak untuk diterapkan disemua tempat. Untuk pelayanan kesehatan.. Saat ini cukup kita lihat apa yang dibutuhkan masyarakat segera oleh masyarakat itu. Kalau masyarakat itu butuhnya pelayanan bidan... Ya sediakan tenaga bidan tapi kalau butuhnya masyarakat obgyn. Yaa sediakan obgyn sehingga tidak terlalu mumet... Untuk aturan yang timbul itu.. Bidan atau yang lain ndak boleh ini itu karena ada rasa... Karena ketakutan tertentu... (jumlah pengguna lebih dikit dari penyedia layanan) biasanya di kota, tapi kalau di daerah mungkin suara itu ndak ada... malah didukung. Jadi masalah luasnya 86

Kebijakan Ini-Itu! wilayah dan sulitnya akses adalah sesuatu anugrah untuk dipikirkan bersama... Sorry telat ikutan diskusinya.

Anisa Riza Wah... pagi-pagi sudah rame.. Diskusi Senin yang sangat pagi... hehehe...

Anisa Riza Profesi SKM ko nda dibahas ya? Baiklah... mungkin SKM lah yang nantinya diharapkan bisa mengkaji kebijakan-kebijakan kesehatan secara lebih mendalam... biar ga/tmbah mumet... hehe... *berpikir positi(P) and ngarep.com Heu...

Ilham Akhsanu Ridlo Kita punya ratusan kebijakan tapi beum punya komitmen dan kebajikan untuk melakukannya..: (

Tumijan Skm Betul-betul mumet Mas, apa lagi di tempatku & tempat Mbak Nurul. Dan sudah ada perawat yang diproses hukum & divonis 3 bulan, di tempatnya Mbak Nurul.

Anni Haryati Akses selalu menjadi urutan pertama, betapa luas negeri tercinta. Kedua sepertinya balik ke niatan kita utk jadi garda depan pelayanan kesehatan (nuranimu, bukaen 87

dunk..). Kok di Papua... wong setingkat daerahku aja nyari dokter spesialis angel (susah, red.). Setiap kali tak tawarin ke sini... selalu ditanya... ono pasene ora..?" pertanyaan gak mutu.. itu batinku... wong rezeki kok tanya sama manusia.. yee... lali karo sumpahe.. betul kata Papa Gung, Indonesia tidak kalah dengan negeri-negeri itu dalam pelayanan. Sumprit deh...masyarakatnya mau pake nggak??? doktere... mau nyambut gawe nggak... perawate mau bantu nggak..???

Agung Dwi Laksono Bwakakak... Sompe deh luuuuu! Diskusi Senin jadi ajang curhat lintas wilayah...

Agung Dwi Laksono Kita terlalu sering berdiri dengan egoisme kita dalam memandang suatu masalah, baik secara individu, profesi maupun kepemilikan wilayah... Kita kadang terlupa puyengnya penyelenggara Negara dengan beban yang maha berad di Republik ini. Mengatur banyak wilayah dengan banyak kepentingan. Membuat satu kebijakan tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Satu kebijakan di buat dan belum dilaksanakan, kondisi antar wilayah bisa memaksa untuk membuat kebijakan baru... Meski kadang pembuat kebijakan juga lupa kondisi riil lapangan saat menyusun kebijakan...

Rachmad Pg Masih ada gak ya yang datang jam 8 pulang jam 11 *kekurangan tenaga.com*

88

Kebijakan Ini-Itu!

Rifmi Utami Hmm... andai semuanya bisa dikaitkan seperti balance score card...mungkin takkan sampe mumet, dan pembagian serta pendelegasian tugasnya jelas... Tapi yang ada sekarang... berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas... Berbicara masalah konsekuensi, sekarang malah manusia risk lover sangat banyak... iya klo hanya resiko bangkrut, tapi klo resiko menghilangkan nyawa manusia... sepertinya sebagian besar dari kita belum memprioritaskan nilai mulia yang lebih ke arah spiritual, sehingga hanya akuntabel secara duniawi yang dikejar...

Feni Novikasari @Rachmad : Saking akihe sampe gak bisa diitung.. @Pakde : Kemenkes di-tag gak neh biar antenane tambah panjang..

Ade Ayu Hemm... gak usah pusing-pusing komen ini itu yang penting pemerintahnya mau memperbaiki diri dan ingin memajukan bangsanya itu sudah cukup.. Bukan pemerintahan yang melempem dan suka maling teriak maling bahkan melindungi para orang-orang korup yang duduk di pemerintahan dan membodohi masyarakat dengan berbagai istilah yang gak di mengerti orang awam... Sungguh ironis buat negeri terkaya di dunia... heheheeeee..

89

Endah Nuning Rahayu Setiap orang punya alasan/pertimbangan sendiri baik dokter ato bidan ato dukun sebagai penyedia layanan kesehatan dan masyarakat sebagai pengguna layanan kesehatan. Walau ada dokter ato penyedia layanan kesehatan punya alasan profit oriented tapi saya yakin in the deepest heart mereka masih ada ghiroh untuk menyelamatkan nyawa manusia. Sedangkan masyarakat sebagai pengguna layanan kesehatan punya alasan memilih dokter spesialis, dokter, bidan atopun dukun. Pertimbangan psikologis, tempat, waktu, dan yang paling mendominasi adalah kemampuan materiil tentunya membuat hal ini tidak bisa diseragamkan di wilayah Indonesia tercinta ini. Alangkah bijaksananya jika pemerintah tidak membuat suatu aturan yang tidak mengebiri orang lain yang notabene dapat memberikan layanan setulus hati untuk kepentingan kesehatan orang lain ataupun menyelamatkan nyawa orang lain. Toh masyarakat akan memilih mana yang paling baik dan cocok buat kondisi masing-masing. Saya membayangkan jika di kalangan pendidikan ada akreditasi untuk lembaganya dan sertifikasi untuk kalangan pendidiknya, mungkinkan sertifikasi bisa diterapkan di kalangan penyedia layanan kesehatan. (Ato sudah ada ya... Maaf saya bukan orang kesehatan). Kebijakan dan penentuan poin A,B, C, dst... Menurut saya lebih fair kalau tidak hanya dirumuskan oleh orang kesehatan saja. Soal pilihan biar masyarakat yang menentukannya.

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Kebijakan publik adalah apa yang dilakukan/dipilih atau apa yang tidak dilakukan/tidak dipilih oleh pemerintah?. Ini arti sederhana. Namun yang utama adalah komitmen dan ketegasan. Kalo komitmen pada kesejahteraan publik, yah idealnya kebijakan didorong untuk itu dan tegas untuk hal-hal atau upaya-upaya menjegal kesejahteraan ini. 90

Kebijakan Ini-Itu!

Nah, untuk buat sejahtera kan tidak harus pemerintah aja, ada bisnis, akademis dan komunitas. Ini harus difasilitasi dan diakomodasi dengan kemitraan yang benar. Satu hal, pembangunan suatu peradaban/negara/bangsa, yah harus oleh, dari, dan untuk peradaban/negara/bangsa itu sendiri. Seperti yang mulai banyak disadari bahwa NKRI adalah laboratorium Iptek terbesar dan terpopuler di jagad ini. Bukan hanya pihak non NKRI aja yang mumet dan suka dengan kondisi ini, pihak NKRI masih mumet dan suka juga dengan kondisi ini, bahkan binggggggunggggg! Bukan tidak simpati dengan kerepotan pemerintah, namun, simpati dan empati dari masyarakat dan pribadi dijawab dengan apa? Kebijakan yang pro rakyat kah? Egoisme sektoral, egoisme partisan..... Satu hal lagi, modal sosial dalam pembangunan di NKRI ini tidak berkembang dan tumbuh positif untuk kesejahteraan. Banyak nilai-nilai positif dari kearifan lokal, adat istiadat dan agama, namun dicuekin dan dilanggar atau disalahfungsikan. Masih ada potensi kepercayaan terhadap kepemimpinan Republik yang amanah dan legal demokrasi ini, namun dijawab dengan kelambanan, keraguan dan kebohongan dan ketakutan pada isu-isu Republik berguncang. Lalu, jejaring... yah... taulah... tidak ada kawan dalam berpolitik... malah ini yang lebih digauli bukan komunitas dan rakyatnya. Kalo kita dan mereka sadar bahwa NKRI adalah negeri kepulauan... dan tidak bisa sentralistik dan harus desentralisasi, yah bangunlah kemitraan dengan penguasa-penguasa di pulaupulau (rakyat, tokoh adat, budaya, ...bukan hanya pejabat eksekutif dan legislatif dan partai/tokoh politik). Bila kita sudah masuk/bicara tentang kelembagaan profesional, banyakan sudah ranah kapitalisme (mau neo atau proto ato...) 91

semua-mua nyontek gaya negara-negara demokrasi yang tidak sesuai adat dan budaya NKRI ini. Misal, organisasi profesi kesehatan/kedokteran, budaya kita punya pengetahuan, ilmu dan teknologi untuk upaya-upaya kesehatan... namun ini malah digerus karena tidak sesuai dengan cita-cita (baca aturan). Sistem kemasyarakatan kita... adalah contoh paling jelas di depan mata... gotong royong dan tepa selira atau toleransi... kemana mereka? Nah... inilah yang mungkin sudah dilihat oleh tokoh-tokoh umat/agama, dengan seruan agar tidak ada kebohongan lagi! Dari seruan itu, sedikit banyak kita kaum intelektual, ilmuwan dan akademisi ditanya?? Benarkah data-data yang ada selama ini dan dipakai oleh pemerintah? Kenapa anda diam-diam aja? Hanya diskusi di Facebook doang... info ke masyarakat luas juga donkkkkk... hehehehee... peace Gung en all. Salam SEHAT

Rifmi Utami @Dessy : Hmm... emang sekarang marak pake vitamin C dan colagen sebagai salah satu produk kecantikan... Sebenarnyalah vitamin C salah satu antioksidan, baik untuk metabolisme tubuh termasuk kulit... colagen juga baik untuk regenerasi kulit, cuman sekarang yang perlu diperhatikan : apakah diberikan aman apa tidak...?? Klo diberikan secara injeksi, harus dilakukan oleh tenaga kesehatan, karena apapun yang disuntikkan tetap akan mempunyai resiko, resiko tertinggi adalah syok anafilaktik yang dapat menimbulkan kematian jika tidak tertangani dengan benar. Saya sarankan jika memakai produk tersebut, paling tidak harus hati-hati, lebih baik jika vitamin C-nya yang diminum saja, colagen-nya yang dioleskan saja... Namun jika hal tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten, itu bisa mengurangi resiko terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan... 92

Kebijakan Ini-Itu!

Waduuhhh, sorry... yang ini tentang kebijakan menggunakan produk kecantikan... qiqiqiqi... piiissss, everybody!!!

Ella Sofa Makasih di-tag. Ga komen apa-apa. Tapi dari sini saya dapat banyak masukan dan wawasan. Diskusi yang cuaakep Jangan bosan-bosan Pa nge-tag saya. Met berjuang semuanya...

Sulistyawati Itheng Hhmmm...begitu banyak wawasan dapat aku serap... ayo terus semangat berbagi ya...

Agung Dwi Laksono Hmm... Semoga bukan hanya omong kosong doang! Keep fight!

Anni Haryati Yo wis...aku tak ndunga wae... semoga amanah dalam track yang good pelayanan... yang setia... senyum manis dulu ah... cheeerrsss.

Christine Indrawati Tempatku sama dengan Jeng Anni, jarang ada dokter spesialis yang mau praktek disini. Padahal ini masih di Jawa dan dekat kota besar hehe... Susah deh kalo tenaga medis banyak yang orientasine duit... Gak bisa komen banyak, karena emang jadi benang ruwet hehe... 93

Agung Dwi Laksono Udeeehhh... Makan siang aje duluuu...

Purwani Pujiastuti Podho mumet-e ruwet...!

Rachmad Pg Perlu banyak kegiatan ruwatan Cak... soale lewat jalan normal uda agak sulit diatasi. Piye Indrapura dadi sponsore? Qiqiqi...

Riffa Hany Kalau semua kebijakan dari satu orang yang sangat pintar... bijaksana... hanya memihak masyarakat... bekerja tidak atas nama uang dan kepentingan sepihak... semua tidak akan mumet seperti ini..., ada nggak ya di Indonesia...????

Tite Kabul Masalahnya dalam membuat kebijakan tidak ada kordinasi yang berkualitas antar Kementerian, masingmasing mau membawa kewenangan sendiri.

Dwee Why Waduh, thu dilema banget. Semoga orangorang di Kemenkes selalu diberi ketabahan & kewarasan pikiran slalu. :)

94

Kebijakan Ini-Itu! Biar gak nambah mumet para pelaksana di lapangan dengan peraturan-peraturan yang gak bisa diubah dalam 1 malam tentang ketenagaan yang sesuai dengan porsinya itu.

95

96

Catatan Diskusi AKI

Catatan Diskusi AKI


Monday, March 1, 2010 at 4:49am

Dear all, beberapa waktu lalu, saya diajak Bu Evie (ato lebih tepat dipaksa) untuk rapat dengan Dinas Kesehatan Propinsi Antah Berantah (saya samarkan untuk menghindari terjerat pasal pencemaran nama baik), membahas Angka Kematian Ibu. Undangan selain berasal dari Litbangkes, ada dari internal Dinas Kesehatan Provinsi, dari BPS dan ada juga Pak Harsono Sumanteri (mbah e angka kematian ibu, jare orang BPS). Lumayan sih buat nambah wawasan metode mendapatkan Angka Kematian Ibu. Bla.. bla.. bla.. Pak Harsono prensentasi sampai berbusa tentang metode mendapatkan AKI. Mulai dari survey rumah tangga (SDKI, SKRT, Susenas, SUPAS) sampai pada pendekatan 97

estimasi (direct sisterhood method, PMDF based estimation). Bapak-bapak dari BPS menjelaskan rencana survey Susenasnya yang rencananya akan diboncengi oleh survey AKI dari dinas ini. Bu Mawar (samaran juga neh!) dari Sie Kesga juga memaparkan apa yang telah dilakukan Dinas Kesehatan dengan PWS KIA nya. Bu Mawar mengungkapkan betapa dongkolnya dia karena angka yang dihitung oleh Dinas Kesehatan sama sekali tidak dipercaya oleh orang Propinsi. Propinsi hanya mau percaya angka dari BPS. Weleh..weleh.. Usut punya usut... tanya ke BPS, darimana angka yang dimiliki oleh BPS, yang disampaikan ke Gubernur itu.. Jawabannya apa? Konyol... sama sekali konyol... Dari Dinas Kesehatan halahhhh!!! Yang konyol siapa? (*menertawakan diri sendiri mode on*) *** Lanjuuut Setelah diskusi panjang... Dinas memutuskan (atau ngeyel) bahwa akan dilakukan survey dengan nebeng susenas. Pak Harsono berargumen, lebih baik memperbaiki system pencatatan-pelaporan (RR; reporting, recording) di Dinas Kesehatan supaya lebih efisien daripada melakukan survey. Dinas tetep pada pendirian..survey (*ngeyel mode on*) Saya, Bu Evie, dan akhirnya orang BPS juga sepakat bahwa sebaiknya yang dilakukan adalah perbaikan sistem RR dari pada 98

Catatan Diskusi AKI survey yang membutuhkan dana besar, dan setiap kali membutuhkan data AKI harus survey lagi, dana besar lagi... Bukankah lebih baik memperbaiki sistem RR yang investasinya cuman sekali, selanjutnya tinggal maintenance saja.. SDKI dengan sampel 40.000 rumah tangga hanya berhasil mendapatkan 63 kasus kematian ibu, PWS KIA (meski masih dianggap under reporting) malah memiliki report 4.500 kematian ibu. Bukankah modal yang layak diperhitungkan? Tapi mesti ditambah dengan pembobotan-pembobotan lagi. Bagaimana dengan rencana Susenas yang hanya dengan sampel 29.500 rumah tangga? Prediksi BPS hanya akan mampu mendapatkan 50 kematian ibu itu klo lagi beruntung. Pilih yang mana friend? Logika rasional apa saja boleh dijadikan landasan Hasilnya? Tetap saja dinas (*ngeyel mode on semakin mantab*) surveeeeeeeey........!!!!!!!!!!!!!!!!! Usut punya usut ternyata Anggaran sudah kadung di dok (DIP) sebagai biaya perjalanan halahhh! 99

Tidak ada pilihan lain... survey! (ngapain juga ngundang diskusi, kalo kesimpulan sudah ada). Friend terkasih sebening kristal (*gaya pak Mario mode on*, salam super pak!) Itu adalah sebuah proses pengambilan kebijakan.. Seringkali para pembuat keputusan (decision maker) membuat keputusan jangka panjang dalam waktu yang singkat. Kadang tanpa pertimbangan ilmiah, rasional, apalagi sense kerakyatan... Keputusan Dinas Kesehatan yang tegesa-gesa lebih merupakan menyelesaikan masalah dengan masalah, harusnya Dinas Kesehatan bisa meniru pegadaian.. yang 'menyelesaikan masalah tanpa masalah'. Mengundang pakar (Pak Harsono, bukannya saya) hanyalah sebuah bemper, bemper bahwa kebijakan yang diputuskan sudah dikonsultasikan, sudah didiskusikan dengan profesional. Meski sebenarnya keputusan sudah diambil tanpa memperhatikan sama sekali masukan dan wacana yang berkembang Whatever will bewill be (*lemes mode on*).

100

Catatan Diskusi AKI

Comment

Erna Waty Hua ha ha ha ha... lucu..., thanks cerita pagi nya

Agung Dwi Laksono Weeww... yang ini bukan sejenis dagelan buuuukk!

Erna Waty Lho... iya ta..?? Kok lucu ya...

Agung Dwi Laksono Bwakakak...

Erna Waty Ehh, by the way... barusan kita baru mentertawai siapa ya...? Jangan-jangan diri sendiri yah?

Ilham Akhsanu Ridlo Keputusannya sudah ada ngapain diskusi?? Ya karena diskusinya buat tameng biar kalau ditanyain ini sudah melalui mekanisme? yang bersangkitan bilang, inggih bos... Ngotot karena biar dapat ceperan... kan lumayan survey dapat uang... hihihihihi... Kebijakan or kebijaksanaan kalau dah kayak gini??? 101

Kebijaksanaan untuk survey karena anggaran sudah di dok untuk survey... yang salah siapa?? gak ngerti ahhhh....

Feni Novikasari SPPD oriented... itulah yang terjadi pada program-program yang lagi disayang. Jika RR kita ciamik data apa saja bisa dapat... tinggal comot... rebez deh. Survey? gawe repot dewe..

Ilham Akhsanu Ridlo @Feni: repot tapi ceperannya akehhh...

Erna Waty Bahwa perencanaan itu bersifat flexible... hanyalah teori, yang terjadi adalah teori yang satu lagi: perencanaan adalah pedoman yang kaku..., penerapan teori yang hanya sebagian.

Minda Syam Perekayasaan dengan memlokoto (mempedayai, red.) rakyat. Inilah cermin birokrasi kita yang lebih mementingkan bagaimana bisa menguras dana dengan alibi-alibi yang bener bener nista. Sehingga tetep aja yang kita dapatkan penistaan dan pengelabuhan buat seluruh rakyat Indonesia. Ya...bisa nggak sih rakyat untuk tidak diam saja?

Badrijah Djoerban Sediiih sekali... ya, kalau sampai saat ini konsultan/tenaga ahli masih hanya dipakai sebatas sebagai 'bemper' suatu kegiatan yang kemungkinan besar beliau102

Catatan Diskusi AKI beliau juga sadar hal tersebut tidak layak untuk dikerjakan..............???

Filaili Mauludiani Thanks discuss-nya. Tp kalo mau gak dilaksanakan surveinya bisa aja meskipun anggaran dah di dok. Anggaran yang disediakan kan gak harus dihabiskan, alias bisa aja gak dipake. Tapi mungkin itu salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan petugas kali ya...

Agung Dwi Laksono Hihihi... huhuhu... hohoho... hahaha... hahihuhohahahaha... *kicep*

Evi Sulistyorini Fiuwh... Melu menghela nafas... Semoga ini jadi kasus terakhir dalam pengambilan keputusan yang tergesa-gesa...

Agung Dwi Laksono @Evi; Ah becanda kamu..

Anik Setiyarini Dananya memang sebaiknya dikembalikan aja kalo survey nya cuma formalitas SPPD. Tapi dilema juga ya... biasanya kalo dana yang diusulkan gak diserap untuk tahun berikutnya gak akan dikucuri dana lagi. Memble kan... Salah siapa? Bagian perencanaan anggarankah???

103

Agung Dwi Laksono Iyakah? Haruskah ada yang salah? Ato kita bersepakat saja, ada yang harus dikambinghitamkan untuk kebijakan yang satu ini! Asal kambingnya bukan saya...

Marzy Rubiana Betul RR-nya yang harus diperbaiki. Survey hanya pelengkap mungkin bila ada data yang menimbulkan tanda tanya & perlu ditelaah lebih jauh. Data Puskesmas supaya valid dan konsisten perlu verifikasi data, tidak hanya sekedar laporan rutin tiap bulan.

Rachmad Pg By the way, mungkin itu penyakit lama kita kali ya... kalo bisa dipersulit kenapa harus dipermudah...

Arih Diyaning Intiasari Mas Anis ndi ki... ra komen... perbaikan sistem RR yang diajukan dari aktor akademik mungkin lebih punya bargaining power untuk dipertimbangkan... di tingkat pusat... didasari dengan wacana sistem perencanaan anggaran kesehatan yang lebih rasional dan pastinya lebih baik...

Agung Dwi Laksono @Marzy; Berminat gantiin pejabatnye non? @Arih; Pelajaran untuk yang ngajar kebijakan...

104

Catatan Diskusi AKI

Tumijan Skm Perencanaan berbasis selera, bukan perencanaan berdasarkan akar masalah untuk intervensi masalah. Di mana-mana sama kayak gitu. Kapan berubahnya? Prihatin bangsa kita.

Abihan El Muhammad Ada-ada saja, kebijakan aparatus kok koyo gini ini yo, sukanya menelikung wae, kepentingan diri, kelompok selalu saja dasar pertimbangan proses pengambilan kebijakan... duhh Gusti...

Dinda Galabo Bangsa kita tak kan pernah berubah, thats why kita selalu kalah dengan bangsa lain. For example with malaysia...

Christa Dewi Itu mah sosialisasi kebijakan yang berkedok diskusi... hehehe...

Dyah Yusuf Tidak perlu survey...!!! data PWS KIA valid kok... aku aja bukan petugas KIA ngerti berapa kasus AKI di wilayahku... sak kronologisnya! Karena AKI merupakan nilai merah pada raport kinerja kita... daripada buat SPPD mending buat kasih PMT bumil dan edukasi bumil beresiko dan bumil risti... Bukalah hatimu wahai pembuat kebijakan..!!!

105

Didik Budijanto Komentar saya: Maju terus pantang mundur, ngapain diurus koyok wong nganggur?

Marzy Rubiana @Agung: Terimakasih gak perlu repotrepot. Tau nggak survey di Tuban anggarannya (APBD) selalu ditolak. Enakan survey tempat jajan waelah...

Didik Supriyadi Gak salah kalo masyarakat pada nggrundel. Lha wong uangnya dipake jalan-jalan thok. Ato memang kita cuman bisa jalan-jalan aja ya.

Monica Fajarain Ngomong masalah AKI, AKB, AKABA, dan seterusnya yang tentang kematian itu harusnya fokus pada bagaimana strategi angka-angka itu bisa diturunkan, okelah data dasar perlu dan menentukan, tapi apa ya harus habishabisin dana gede hanya untuk baseline survey? balik lagi mindset para programer kita yang harus berubah.

Aisy Nabila Firdausi Tulisan berbobot yang dibawakan ringan (mudah dipahami, diselipi kalimat yang mengundang tawa, beberapa sudut kalimat adalah gaya facebooker, funky) pokoke ala Pak Agung banget...! thumps up :)

106

Indonesia... Negeri para Smokers!

Indonesia... Negeri para Smokers!


Monday, October 18, 2010 at 4:52am Dear all my best friends... Indonesia masih tetap saja menjadi surga bagi para ahli hisap... Dalam paparan hasil survey Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2007 terjaring 29,2% orang Indonesia saat ini adalah perokok , dan 81,2% diantaranya adalah perokok aktif! kweren kaaaan??? Salah satu alasan rokok diharamkan! Ppersentase terbesar ada di Propinsi Lampung sebesar 34,4% dan terrendah ada di Propinsi Kalimantan Selatan sebesar 24,2%. Sebuah bentangan variasi yang tidak terlalu besar! Artinya persentase antar wilayah cenderung merata.

107

Dalam semua karakteristik, keberadaan ahli hisap ini hampir merata. Baik berdasarkan pendidikan, tingkat sosial ekonomi, kelompok umur, maupun tipe perdesaan-perkotaan. Hanya karakteristik jenis kelamin saja yang lebih dominan pada lakilaki. Artinya bahwa kebiasaan ini sudah mendarah daging dalam masyarakat kita! Secara harian... ratarata mereka menghisap 12 batang perhari. Ini setara dengan satu bungkus rokok perhari! Bayangkan! 29,2% dari 235 juta penduduk (versi BPS tahun 2010)... 68.620.000 bungkus rokok setiap harinya... SETIAP HARI!!! *pantes aja pabrik rokok begitu makmur di pertiwi ini... *** Keinginan para peduli bahaya rokok untuk merubah perilaku masyarakat yang tergolong masif ini keknya seperti membentur tembok beton. Karena melawan korporasi yang sungguh kuat. Hal ini terbukti dengan kasus pelenyapan pasal 'rokok' dalam Undang-undang Kesehatan yang terbaru. sebuah bukti tentang kekuatan keberadaan mereka! Terus... bijimane dooong???!

108

Indonesia... Negeri para Smokers! Sejatinya sasaran yang bisa digarap ada pada kelompok umur sekolah sebelum masuk perguruan tinggi (10-14 tahun). Khusus pada kelompok umur ini frekuensinya hanya sebesar 2%, melonjak tajam pada kelompok umur selanjutnya melebihi jumlah rata-rata perokok nasional. Persentase ini sama dengan hasil survey yang saya dilakukan bersama tim di 6 sekolah SLTP di Kota Jogja dan Malang. Pada kelompok umur ini adalah masa-masa pancaroba... masamasa peralihan menjadi dewasa. Masa-masa 'coba-coba'. Termasuk coba-coba perilaku baru... So... intervensi perilaku lebih memungkinkan di moment ini! Golden moment sebelum mereka benar-benar memilih merokok sebagai sebuah atribut dari perilaku mereka. Yang dewasa??? Mungkin pilihannya dicuekin aja! Toh mereka akan habis pada masanya... *tapi tetep aja kudu dibatasi ruang geraknya Udah dulu yak! Aku tak shubuhan dulu....

109

Comment

Dian Sastro Weiiiiii... yang nulis smoker sejati juga kaaan? Hehehe...

Ratna Wati Seperti nafas perokok, kebijakan di negeri kita sepertinya kembang kempis, fatwa, maupun pasal mengenai rokok, teteub aja kan, mentok pada kekuatan 'pengusaha polutan', belum lagi mikirin solusi apa yang tepat buat mengganti tanaman pengganti tembakau.. Cuma kesadaran individu yang kudu kerap ditekankan kayaknya mah! Dari smoker... jadi biker ajalah!

Sutopo Patria Jati Lebih bagus lagi kalau dilengkapi data trend berapa % dari pengeluaran rutin bulanan untuk belanja rokok dari survey rumah tangga dan biaya kerugian akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok, ada yang punya nggak? Kalau ada mohon share-nya juga. Terima kasih.

Mujiyanto Sadali Dan tidak sedikit orang yang tau tentang kesehatan dan parahnya orang yang kerja di Instansi Kesehatan juga Perokok Aktif... yo kan Mas Agung.

Feni Novikasari Nyang nulis dulu ikut jadi responden Riskesdas gak tuh... 110

Indonesia... Negeri para Smokers! *secara perokok aktip bukan?

Ilham Akhsanu Ridlo Papa sudah berhenti merokok kan??

Rifmi Utami Bagus sekali mas... sampeyan telah memfokuskan target marketnya, sehingga program edukasi perilaku anti rokok-nya bisa mengerucut. Sekarang tinggal mencari metode pembelajaran yang tepat, melalui kurikulum sekolah, beberapa multimedia, dll...

Sedangkan yang telanjur menjadi active smoker, mungkin pertama kali aku doakan untuk insyaf, bahwa dirinya sedang dholim sama dirinya sendiri dan orang lain, pemberadaan ruangan bebas asap rokok di tempat-tempat umum harus segera diwujudkan, dan sangsi tegas terhadap hal-hal yang potensi merugikan karena asap rokok di perokok aktif harus ditegakkan. saka'dhinto pamator Mas Agung, mator sakalangkong...

Agung Dwi Laksono @Dian; Demen banged neh nyerang secara pribadi... @Ratna; Tetep semangad dooong! @P Topo; Data trend kajian eko-kes untuk representasi nasional saya lom pernah baca Pak. Tapi dari Riskesdas kita punya data trend tahun 2007 & 2010 (in progress) hanya khusus seperti paparan saya di atas. Mungkin kita bisa simulasikan pembiayaannya dengan banyak asumsi.

111

Sedang untuk 'burden of desease' penyakit akibat rokok saya pernah baca sudah dikaji temen-temen dari UI.

Agung Dwi Laksono @Muji; Yo'i! @Feni; Nyang nulis cuman supervisornya...

Agung Dwi Laksono @Ilham; Ini sesi diskusi kan? @Mimi; Target dah jelas! Metode? Kita tunggu para pakar perilaku komentar tentang 'cara'nya...

Dian Sastro Gak nyerang koq, cuman ngingetin aje, kali bisa apa yang papa tulis, bisa dijalani sendiri... gak cuman nulis doangan, hehehe... *piisss*

Sulistyawati Itheng Bicara rokok ibarat menimang buah simalakama....!!

Evie Sopacua Dearest all... saya yang paling cerewet ngingetin Agung en friends kalau mereka mulai cari waktu untuk mengeluarkan bakatnya sebagai ahli hisap. Walau selalu ada alasannya.."mbuk...cuman satu koq... pan untuk inspirasi." Karena yang dapat penyakit akibat nikotin justru passif smokers or secondhand smokers juga disebut sebagai environment tobacco smoke. Bayangkan : asap yang dihisap... masuk ke paruparu si ahli hisap yang entah apa kondisinya... terus dikeluarkan, 112

Indonesia... Negeri para Smokers! bercampur dengan racun nikotin... en itu yang dihisap oleh passif smokers (kita semua yang ga merokok)!!! Saya lagi cari artikelnya, lupa dimana, tetapi Indonesia merupakan negara yang terbanyak pabrik rokoknya, dan setiap hari menyediakan sekian milyar batang rokok. Pokoknya angkanya mengerikan. So bagaimana melawan industri rokok yang jangkauannya anak remaja melalui concert, live band, dst.,dll..? Ada sebuah release di detik.com, kalau Indonesia belum mau jadi anggota anti tembakau karena ya itu tadi, industri rokoknya ikutan politik. Pusing ya... en untuk para ahli hisap, yang tertulis di bungkus rokok 'mild', 'strong', etc. it's bullshit! Karena isinya sami mawon, podo wae, cuman dilabelin keyen.. en ada alasan... ini mild koq mbuk..." OMG!!

Mujiyanto Sadali Harusnya semua orang mengumpamakan begini : Ketika disuruh mencium bau mulut orang ajah gak mau, naaaah ketika kita dapat asap rokok, malah merupakan campuran nikotin dengan apa-apa yang ada dimulut perokok... Fantastis bukan? Maka TAU DIRILAH wahai... SMOKERs

Ratih Wirapuspita Yang paling menyebalkan adalah ketika perokok merokok di tempat umum, mereka enak merokok, tapi sebagian racunnya dibagi ke kita yang tidak merokok. Aturan inilah yang perlu, peraturan yang tegas untuk adanya kawasan bebas asap rokok, aturan iklan dan berbagai kegiatan yang disponsori rokok, pajak rokok yang harus naik jadi beberapa kali lipat dan yang penting tidak adanya toleransi dengan para perokok.

113

Riffa Hany Wah wah... bagaimanapun efeknya rokok... tapi saya berterimakasih kepada pabrik rokok Gudang Garam di Kediri, berkat mereka, masyarakat Kediri, banyaaaaak yang bisa bekerja, aku no comment dweh

Vita Darmawati Sedih banget kalau lihat anak secara fisik masih jelas di bawah umur sudah nggebbus... seseorang merokok ada bayi ato anak kecil di dekatnya dan parahnya merokok terkadang sudah dianggap budaya. By the way penulis diskusi ini perokok/bukan ya????

Tite Kabul Ketua DPR demi rokok saja, melakukan pembangkangan kok, masa bilangnya peraturan itu berlaku di gedung DPR asal di Istana juga... kekanak-kanakan yaaa! Teladan yang buruk.

114

Pengungsi Eks Timor

Pengungsi Eks Timor


Monday, January 10, 2011 at 3:24am dear all, Akhir tahun kemaren saya sempet diminta juragan Puslit untuk mendampingi pak Bambang Sulistomo (staf khusus menteri kesehatan bidang politik kebijakan kesehatan) untuk melihat kondisi kesehatan pengungsi eks penduduk Timor Timur (Timor Leste) di daerah perbatasan. Tujuan utamanya sih bahasa kerennya untuk health need assessment, karena kabar burung yang sampai ke pusat menghembuskan berita tak sedap tentang kondisi kehidupan para pengungsi ini. Berikut adalah sekilas laporan pandangan mata *** 115

Saat ini ada beberapa pengungsian yang menampung pengungsi eks penduduk Timor Timur yang menyebar ke seluruh wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan bahkan sudah menyebar ke Provinsi lainnya di Indonesia melalui program transmigrasi. Kebanyakan pengungsi eks Timor Timur sudah mulai berbaur dengan masyarakat setempat, sehingga batasan antara penduduk lokal dengan penduduk pengungsi mulai menjadi kabur. Di Kabupaten Belu, keberadaan eks pengungsi Timor Timur ada sekitar 40.000 jiwa yang tersebar di beberapa daerah. Daerah sebaran mereka antara lain terdapat di Lakafehan, Kenabibi, Halibada, Silawan, Tulakadi, Haliwen yang secara geografis terletak di bagian utara wilayah Kabupaten Belu. Selain itu mereka juga menempati beberapa daerah di bagian selatan seperti di daerah Alas, Laktutus, Haekesak dan Nualain. Disetiap daerah terdapat beberapa kelompok/koloni pengungsian. Secara umum di beberapa wilayah, mereka sudah bertempat tinggal di lingkungan yang relatif tertata rapi. Satu keluarga menempati satu rumah dengan tanah berukuran sekitar 15 x 20 meter. Selain bangunan rumah ada juga tempat mandi, kandang babi atau kambing. Sisa lahan yang ada digunakan untuk ditanami jagung dan ketela pohon untuk dikonsumsi dan terkadang dijual di pasar. Satu komplek pemukiman yang dihuni oleh paling tidak 40 rumah tangga dengan anggota rumah tangga antara 4 6 orang. 116

Pengungsi Eks Timor Beberapa kelompok/koloni pengungsian ada yang sudah mempunyai tempat ibadah dan balai pertemuan. Jalan yang menghubungkan lingkungan tempat tinggal mereka dengan jalan raya kabupaten yang memungkinkan mereka melakukan kegiatan sosial dan ekonomi sudah bisa dilalui oleh motor dan mobil walau masih belum diaspal. Tapi masih tersisa beberapa kelompok/koloni pengungsian, karena lokasinya yang jauh di pedalaman, tidak bisa dilalui dengan mobil ataupun motor, hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Tim assessment menemukan di daerah Haliwen ada 3 kelompok/koloni pengungsian yang seperti ini. Mata pencaharian mereka bermacammacam. Sebagian besar adalah mengolah lahan dan tanah tegal untuk ditanami. Banyak kepala keluarga diantara mereka yang bekerja sebagai tukang ojek. Ada yang berjualan kebutuhan seharihari dan ada pula yang menjadi PNS atau TNI. Secara umum kondisi kesehatan pengungsi dalam beberapa titik yang didatangi tim rapid assessment cukup baik. Kendati kondisi hidup sehari-hari cukup memprihatinkan, tapi pengalaman selama sebelas tahun mengungsi cukup membuat penduduk baru ini strugle dalam menjalani hidup. Dalam satu 117

bulan terakhir tidak ditemukan satu pun penduduk pengungsi di lokasi wawancara yang sakit dan atau berobat ke pelayanan kesehatan. Ibu-ibu ditemukan dengan kondisi lingkar lengan atas (LILA) yang sangat memadai (melebihi 23 centimeter). Anakanak yang meski terlihat lusuh, tertawa lepas pada saat wawancara berlangsung. Sorot matanya sangat tajam dan cerdas dalam menjawab beberapa tes pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang tim pewawancara. Kondisi kesehatan lingkungan di pengungsian bisa dibedakan menjadi dua kondisi yang cukup ekstrem. Kondisi pertama adalah pengungsi yang berhasil menempati rumah yang dibangun oleh pemerintah, dengan syarat pengungsi mampu menyediakan lahan/tanah sendiri, dengan kata lain pengungsi mampu membeli sebidang tanah secara mandiri. Untuk kondisi ini pemerintah membangun rumah dengan dinding separuh tembok, atap seng, dan di-plester (lantai semen). Sedang kondisi kedua, pengungsi yang tidak mampu menyediakan dan atau membeli lahan/tanah untuk membangun rumah, maka pemerintah hanya menyediakan bahan bangunan berupa semen, seng, dan kayu. Sementara pembangunan dilakukan oleh warga sendiri. Secara umum, kondisi rumah yang dibangun langsung oleh pemerintah memiliki sanitasi lingkungan yang lebih baik dibanding dengan yang dibangun sendiri oleh para pengungsi.assessment, fasilitas pelayanan kesehatan telah cukup tersedia dengan jarak yang relatif dekat dan menjangkau ke seluruh daerah pemukiman pengungsian. Kecuali untuk beberapa kelompok pemukiman pengungsi yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan, tapi akses jalan sama sekali tidak tersedia. Pemukiman pengungsi jenis ini hanya tersedia jalan setapak yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Sedang mobil dan bahkan motor pun tidak bisa melewati. Dalam beberapa kondisi hujan bahkan harus melewati genangan air (banjir) setinggi bahu orang dewasa. 118

Pengungsi Eks Timor Kodisi ini dijumpai tim di daerah pemukiman pengungsi di wilayah Haliwen, dimana seluruh anak di lokasi tersebut bahkan tidak bersekolah disebabkan akses jalan yang tidak tersedia. Hampir semua pengungsi memang telah mendapatkan KTP setempat, hal ini juga yang menyebabkan beberapa pengungsi telah memegang kartu Jamkesmas. Meski demikian tidak semua bisa mendapatkan fasilitas pembiayaan kesehatan ini. Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan seorang ibu rumah tangga pengungsi yang berjualan bensin eceran untuk membantu suaminya yang berprofesi pengojek mendapatkan fakta harus melahirkan dua kali dengan kedua-duanya melahirkan di rumah sakit, karena anak lahir kembar, dengan biaya sendiri sebesar lebih dari lima ratus ribu untuk setiap kelahirannya. Dalam pengamatan, kondisi rumah tangga ini tidaklah jauh lebih baik dibanding rumah tangga pemegang kartu Jamkesmas yang tinggal persis di sebelahnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Belu didapatkan fakta bahwa Kabupaten Belu hanya sanggup menanggung 7.000 keluarga non kuota (di luar listing keluarga miskin dari BPS) untuk Jamkesmas. Artinya bahwa 119

masih tersisa cukup banyak keluarga miskin di wilayah ini yang belum terjangkau Jamkesmas. Dalam akhir laporan, tim assessment merekomendasikan Perlu kerja sama lintas sektor dengan penanggung jawab masalah sarana/prasarana wilayah untuk memecahkan masalah aksesibilitas fasilitas pelayanan kesehatan yang terbentur pada tidak adanyan akses jalan. Perlunya pembiayaan kesehatan yang menyeluruh yang mencakup seluruh pengungsi eks Timor Timur, dikarenakan kondisi yang memang layak masuk dalam kategori miskin dan sangat miskin. Dalam upaya memberikan bantuan dan atau pengentasan pada para pengungsi juga perlu diperhatikan kondisi penduduk setempat yang kondisinya juga seringkali tidak jauh berbeda dengan para pengungsi. demikian selayang pandang perjalanan akhir taon kemaren, semoga sedikit memperkaya pandangan kita tentang keberadaan sodara2 kita di perbatasan.

120

Pengungsi Eks Timor

Comment

Ilham Akhsanu Ridlo Bertahan dalam satu pilihan nasionalisme yang terlupa... hallahh...

Rifmi Utami Menurut saya, perlu didefinisikan secara detil tentang pembangunan yang berwawasan kesehatan. Jika hal tersebut menjadi prioritas, niscaya segala bentuk pembangunan dari yang makro sampe mikro akan selalu memerhatikan kesehatan sebagai salah satu indikatornya. Misalnya : (1) Membangun rumah, harus ada minimal desain rumah sehat, (2) Desain tata kota, harus mempertimbangkan adanya sarana kesehatan yang akses-nya dipermudah, (3) universal coverage sudah menjadi harus, sehingga dimanapun kita berada di Nusantara ini, tak perlu takut tak bisa berobat karena sakit. (4) Cara menanam yg baik tanpa menggunakan terlalu berlebihan bahan kimia, sehingga yang dihasilkan petani adalah bahan organik yang menyehatkan, dan sebagainya... Mungkin hal demikian, perlu keberanian penentu kebijakan agar kesehatan selalu menjadi orientasi utama dalam pembangunan, selain bidang lainnya yg terkadang seperti berlomba-lomba untuk menjadi prioritas anggaran pemerintah... Sudah saatnya kita berpikir bahwa semua adalah penting, dan tidak ada yang tidak penting, yaitu : adalah bekerja sebagai tim yang solid untuk kesejahteraan bersama di seluruh negeri...

Agung Dwi Laksono Cita-cita ideal normatif di antara hiruk pikuk pembangunan yang sangat sektoral dengan penentu kebijakan yang sarat kepentingan politik! 121

Anisa Riza Iyaa ica setuju... rekomendasinya lebih aplicable, kan udah need assesment langsung...

Dessy Inggrina Bertahan satu C I N T A... INDONESIA...

Anita Tursia Thanks udah di-tag.. Perhatian lebih sangat dibutuhkan saudara kita di bagian Timur.. Pemerataan pembangunan untuk seluruh wilayah Indonesia..

Anisa Riza Betul sekali... disparitas memang tantangan pemerataan pembangunan Indonesia, tantangan yang juga merupakan potensi negara kita dengan keragamannya. Indonesia = miniatur dunia. Hehehe...

Sulistyawati Itheng Diskusi untuk level tinggi aku cuman ikut mengapresiasi.

Momo Sudarmo Sayangnya Mas Agung tidak menjelaskan, mereka ini orang Indonesia yg dulu merantau dan berniaga di jaman Timor Timur (banyakan orang Bugis dan Padang) atau orang Timor yang pro Indonesia sehingga Harus mengungsi. 122

Pengungsi Eks Timor Kalau untuk perantau Bugis/Padang, gambaran kondisi dilapangan sekarang cukup menyedihkan, karena mereka dulunya sejahtera. Tapi untuk orang Timor pro Indonesia gambaran di pengungsian cukup memadai meski perlu peningkatan. Saya tahu kondisi mereka jaman perang dulu, saya telah memasuki hampir seluruh pelosok Timor Timur (sekarang Timor Leste), mereka sangat miskin, makanan pokok adalah ubi dan jagung, kenal beras sejak dari kami... Keadaan kesehatannya sangat memprihatinkan, justru membaik setelah bekerja membantu kami (TBO : tenaga bantuan operasi). Dalam kondisi miskin, minuman keras jalan terus karena budaya mereka pestapesta minuman keras dengan menari tebe-tebe semalam suntuk...

Uly Giznawati Nasionalisme melahirkan Patriotisme. Semua tumbuh dari sebuah rasa kebersamaan yang satu. Sesuai dengan cita cita yang berujud pada Sumpah Pemuda. Kita adalah satu bangsa.

Sutopo Patria Jati Rekomendasi yang berdimensi preventif dan promotif kok belum ada ya pak?

Agung Dwi Laksono Karena hampir semua upaya yang dilakukan temen-temen bidang kesehatan sudah berjalan optimum! Baik yang preventif, promotif, kuratif maupun rehabilitatif.

123

Sutopo Patria Jati Oo... begitu, maaf karena sekilas belum nampak kesimpulan tentang sudah optimal dan komprehensifnya upaya kesehatan disana. Sedangkan untuk pembiayaan kesehatan yang direkomendasikan mungkin nantinya lebih pada program Jamkesmas yang notabene cenderung berdimensi kuratif (mohon saya dikoreksi jika salah). Satu lagi kalau boleh tahu apakah need assesment-nya juga diarahkan untuk memetakan tentang kebutuhan nakes pak? Disisi lain apakah status pengungsi yang mungkin masih melekat pada mereka juga memiliki konsekuensi lain dibidang kebijakan kesehatan terutama pelayanan kesehatan?

Agung Dwi Laksono Untuk saat ini kebijakan Jamkesmas sudah tidak melulu kuratif pak! Untuk status pengungsi dulu memang ada pembedaan, tapi saat ini sudah dianggap sama seperti penduduk lokal. Assessmentnya tidak sampai ke SDM pak, meski juga sekilas dilihat. Teman-teman di sana sudah mulai jemput bola, terutama untuk sweeping gizi buruk dan gizi kurang.

Sutopo Patria Jati OK... maturnuwun sharingnya, pokoke selamat berjuang untuk Indonesia lebih sehat dan bermartabat! :)

Nike Goenawan Untuk selingan... tanya sama Raul nya KD ajaa yukk qiqiqiqiqi... 124

Pengungsi Eks Timor

Dwee Why Petugas kesehatan sepertinya perlu pro aktif untuk Pusling ke daerah-daerah itu.

Bambang Andriyono Kok le adoh temen to Mas... Mas. Hari-hari ini banyak orang yang jadi kere mendadak. Tuh lahar dingin Merapi juga menambah orang yang tiba-tiba jadi kere, karena alam, bukan karena konflik manusia, walaupun samasama menyedihkan diujungnya.

Anni Haryati Hhm... sip untuk turbanya, hal seperti ini tak pernah menipu. Asal berbekal mata dan hati... saaalluutteee...

Vita Darmawati Luar biasa... pengen ikut kesana, hehe... kapan-kapan kunjungn ke tempatku yuuukkk... beberapa hari lalu ambrol lagi & menunggu area yg lain.

Riffa Hany Semoga pilihan mereka untuk tetep menjadi WNI, merupakan pilihan yang tepat dalam arti kehidupan mereka lebih baik bila ikut negara Indonesia... semoga!

Tite Kabul Dilema yaaa... anak kandung masih banyak yang tidak terurus tapi harus memelihara anak angkat. Asal jangan anak kandung menetes air liurnya melihat anak angkat makan dan hidup disuapi. 125

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Salut atas upaya klarifikasi isu pengungsi. Ada banyak poin dalam diskusi ini, antara lain (1) Wawasan ato paradigma pembangunan. (2) Opsi yang direkomendasikan, kebijakan ato teknis kesehatan. (3) Klaim upaya bidang kesehatan yang dah optimal. Kalo kita lebih jernih, tentu kita akan memperhatikan determinan sosekbud dan modal sosial. Abis tu baru masuk pada opsi rekomendasi. Kenapa? Karena melayani manusia bukan bidang kesehatan aja. Harus utuh dan paripurna. Kita bedah aja paradigma pembangunan berwawasan kesehatan, kenapa tidak diterima semua pihak dan efektif? Mungkin paradigma ini maju dengan ego sektoral? Satu isu baru, apa dan bagaimana IPKM bisa menilai status kesmas dengan hanya indikator-indikator sektor kes aja? Apa terpikirkan bila ada kasus IPKM tinggi dan IPM rendah di suatu daerah ato sebaliknya? Prof. Blum aja udah menyatakan status kesehatan dipengaruhi unsur lingkungan bio, kimia dan sosbud, di samping 3 faktor lain yang pure kesehatan. Lalu organisasi kemenkes dan dinkes, apa ada ruang lingkup utk akomodasi faktor lingkungan sosekbud tadi? Kita, SDM Kesehatan mungkin terlalu asyik dengan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Juga dah ada paliatif yang merawat pasien sebagai manusia seutuhnya, tapi ini bila manusia itu dah jadi pasien. Udah ada muncul asa dengan adanya Pusat Humaniora dan laboratorium soskesnya, yang satu masa bisa dikelola Papa Agung, amin. 126

Pengungsi Eks Timor Yang asyik, hot dan sexy, bila melayani manusia, kita mampu memanfaatkan semua input, seperti tadi di atas determinan kesehatan dan sosekbud. Juga ada modal sosial, yaitu nilai, kepercayaan dan jejaring. Untuk pengungsi bagaimana modal sosial mereka? Bisa jadi akan drop pada satu masa karena apa yang mereka yakini dengan modal sosialnya terhadap NKRI, tidak berbalas positif. Dampaknya mengerikan! Bisa punah itu masyarakat ato anarki. Ini memang sharing baru dalam tahap awal, butuh riset dan pengembangan dan intervensi multidisiplin dan multisektor. Namun oke dan tetap berpengharapan. Salam SEHAT.

127

128

Profil Health Advocacy

Health Advocacy
adalah wadah terbuka bagi setiap orang/lembaga yang bersedia menjadi provokator untuk mewujudkan kesempatan yang sama bagi setiap orang dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas

Visi dan Misi


Visi yang dikembangkan oleh Health Advocacy ini adalah mampu memberikan pencerahan pada pembangunan kesehatan secara holistik dalam berbagai sudut pandang keilmuan. Sedang misi yang diemban oleh Health Advocacy adalah : Memacu pengembangan kebijakan sistem kesehatan daerah Memberikan overview dan advokasi pengembangan dan pelaksanaan manajemen kesehatan daerah Melakukan upaya pelaksanaan capacity building stake holder pengelola pembangunan kesehatan daerah Melakukan upaya pemberdayaan masyarakat grass root dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan daerah.

129

130

Vous aimerez peut-être aussi