Vous êtes sur la page 1sur 32

SKENARIO 3 RONAMERAH DI PIPI Seorang wanita, 25 tahun, masuk Rumah Sakit YARSI dengan keluhan demam yang hilang

timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut sariawan, nyeri pada persendian, rambut rontok dan pipi berwarna merah bila terkena sinar matahari. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 100/70 mmHg, nadi 100x/menit, pernafasan 24x/menit, suhu 38,5C. Konjungtiva pucat dan terdapat sariawan di mulut. Pada wajar terlihat malar rash. Jantung dan paru dalam batas normal, sedangkan hati dan limpa tidak teraba. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb 7,6 g/dL, proteinuri + + + autoantibodi Anti Nuclear Antibodi (ANA) positif, Anti-dsDNA positif. Dari data tersebut dokter menyimpulkan bahwa penderita ini memenuhi kriteria ARA sehingga didiagnosis sebagai Lupus Eritematosus Sistemik, yang merupakan penyakit autoimun. Dokter menyarankan untuk dirawat dan dilakukan folow up pemeriksaan laboratorium. Dokter mengatakan agar bersabar dalam menghadapi penyalit yang diderita, karena membutuhkan pengobatan seumur hidup.

Step 1 Define Learning Objectives TIU 1: Memahami dan Menjelaskan Autoimun TIK. 1.1 Menjelaskan Definisi Autoimun 1.2 Menjelaskan Etiologi Autoimun 1.3 menjelaskan kriteria autoimun 1.4 Menjelaskan Manifestasi Autoimun 1.5 Menjelaskan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Autoimunitas 1.6 Menjelaskan Mekanisme Autoimun 1.7 Menjelaskan Macam-macam penyakit Autoimun 1.8 Menjelaskan Diagnosis untuk Autoimun TIU 2: Memahami dan Menjelaskan systemic lupus erythematosus TIK. 2.1 Menjelaskan Definisi SLE 2.2 Menjelaskan Epidemiologi SLE 2.3 Menjelaskan Manifestasi SLE 2.4 Menjelaskan Etiologi SLE 2.5 Menjelaskan Patogenesis SLE 2.6 Menjelaskan Pemeriksaan SLE 2.7 Menjelaskan Diagnosis SLE 2.8 Menjelaskan Tatalaksana SLE 2.9 Menjelaskan Komplikasi SLE 2.10 Menjelaskan prognosis SLE TIU 3: Memahami dan Menjelaskan tentang Perspektif Teologis,Sabar,Ikhlas,Ridha Menghadapi Musibah.

Step 2 Information Gathering and Private Study

TIU 1 Memahami dan Menjelaskan Autoimun 1.1 Definisi Autoimun Autoimun adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self- tolerance sel B, sel T, atau keduanya. 1.2 Etiologi Autoimun Kegagalan toleransi, diantaranya adalah : Kegagalan induksi kematian sel Kegagalan sel anergi Aktifasi secara langsung sel B tanpa bantuan sel limfosit Kegagalan sel limfosit suppression Molecular mimicry(menyerupai) Aktifasi limfosit secara polyclonal Faktor genetik Infeksi oleh mikroorganisme 1.3 Kriteria Autoimun Auto Ab/ sel T Autoreaktif ditemukan pada organ yang terkena Auto Ab dan atau sel T ditemukan di jaringan yang cedera Ambang Auto B atau respon sel T menggambarkan aktivitas penyakit Penurunan respon autoimun memberikan perbaikan Transfer antibodi atau sel T ke pejamu sekunder menimbulkan penyakit autoimun pada resipien Imunisasi dengan auto Ag dan terjadi induksi respon imun akan menimbulkan penyakit 1.4 Manifestasi Penyakit Autoimun LES Gejala sistemik meliputi lemah, anoreksia, demam, lemah, dan menurunnya berat badan. Gejala di kulit termasuk ruam malar (butterfly rash), ulkus di kulit dan mukosa, purpura, alopesia (kebotakan), fenomena Raynaud, dan fotosensitifitas. Gejala sendi sering ditemukan. (http://www.klikdokter.com) Artritis rheumatoid (RA) Respons inflamasi yang disertai peningkatan permeabilitas vascular menimbulkan pembengkakan sendi dan sakit bila eksudat bertambah banyak. (Sudoyo, AW, dkk. 2006) Sindroma Sjogren Perusakan kelenjar lakrimal menyebabkan berkurangnya air mata, sehingga epitel kornea menjadi mongering, diikuti dengan peradangan, erosi, dan ulserasi (keratokonjungtivitis). Dapt pula terjadi atrofi mukosa, disertai dengan fisura yang meradang dan ulserasi (xerostomia). (Robbins, et.al. 2007) Graves disease Manifestasi yang tersering adalah palpatasi, mudah lelahm hiperkinesia, diare, berkeringat, intoleransi terhadap panas, tahan terhadap suhu dingin, pembesaran tiroid, thyrotoxic eyes signs, takikardi ringan, lemah otot, hilangnya massa otot dan nervousness.

Serta sering sekali berkurangnya berat badan tanpa berkurangnya nafsu makan. Pada anakanak terjadi pertumbuhan yang cepat disertai dengan maturasi tulang yang cepat. Pada pasien diatas 60 tahun, terdapat gejala kardiovaskular, miopati, palpitasi, dispnea, tremor, dan berat badan turun. (http://www.docstoc.com ) Miastenia gravis Pada 90 % penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otototot levator palpebrae kelopak mata. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian. Miastenia gravis juga menyerang otot-otot, wajah, dan laring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dan pasien tak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung. Pada sistem pernapasan, terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak lagi mampu membersihkan lender dari trakea dan cabang- cabangnya. Pada kasus yang lebih lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang hingga terjadi kelemahan pada semua otot-otot rangka. Biasanya gejala Miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Namun gejala-gejala tersebut dapat menjadi lebih atau mengalami eksaserbasi oleh sebab (Price & Wilson. 2006) Skleroedema Gejala skleroderma bervariasi, tergantung pada sistem organ yang terlibat. Yang paling umum tanda dan gejala termasuk skleroderma: A. Fenomena Raynaud. Respon berlebihan untuk suhu dingin atau tekanan emosional, kondisi ini menyempitkan pembuluh darah kecil di tangan dan kaki dan menyebabkan mati rasa, nyeri atau perubahan warna pada jari tangan atau kaki. B. Gastroesophageal reflux disease (GERD). Selain acid reflux, yang dapat merusak bagian kerongkongan terdekat perut, Anda juga mungkin memiliki masalah menyerap nutrisi jika otot usus Anda tidak bergerak makanan baik melalui usus Anda. Perubahan Kulit. Perubahan ini mungkin termasuk jari-jari bengkak dan tangan; bercak penebalan kulit, terutama pada jari, dan kulit yang kencang di sekitar tangan, wajah atau mulut. Kulit dapat tampil mengkilap, dan gerakan bagian yang terkena dapat terbatasi (Mayo Foundation for Medical Education and Research. 2008) 1.5 Faktor Imun yang Berperan pada Autoimunitas A. Sequestered antigen Sequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya, tidak terpajan dengan sel B atau sel T dan sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomik dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia atau trauma), dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan normal (Gambar 12.2), Contohnya protein lensa intraokular,

sperma dan MBP. Uveitis pasca trauma dan orchitis pasca vasektomi diduga disebabkan respons autoiniun terhadap sequestered antigen. MBP yang dilepas oleh infeksi dan meningkat (oleh kerusakan sawar darah otak/inflamasi virus) akan mengaktifkan sel B dan T yang imunokompeten dan menimbulkan ensefalomielitis pasca infeksi. Inflamasi jaringan dapat pula menimbulkan perubahan struktur pada self antigen dan pembentukan determinan baru yang dapat memacu reaksi autoimun (Gambar 12.3).

B. Gangguan presentasi Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respons MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF- ) dan gangguan respons terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts atau Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr, maka sel Th dapat dirangsang sehingga menimbulkan autoimunitas. Respons imun

selular

terhadap

mikroba

dan

antigen

asing

taiimya

dapat

juga

menimbulkan

kerusakanjaringan di tempat infeksi atau pajanan antigen.

C. Ekspresi MHC-II yang tidak benar Sel pankreas pada penderita dengan IDDM mengekspresikan kadar tinggi MHC-I dan

MHC-II, sedang subyek sehat sel 3 mengekspresikan MHC-I yang lebih sedikit dan tidak mengekspresikan MHC-II sama sekali. Sama halnya dengan sel kelenjar tiroid pada penderita Grave mengekspresikan MHC-II pada membran. Ekspresi MHC-II yang tidak pada tempatnya itu yang biasanya hanya diekspresikan pada APC dapat mensensitasi sd Th terhadap peptida yang berasal dari sel terhadap self antigen. atau tiroid dan mengaktifkan sel atau Tc atau Th1

D. Aktivasi sel B poliklonal Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B polikional oleh virus (EBV), LPS dan parasit malaria yang dapat merangsang set B secara langsung yang menimbulkan autoimunitas. Antibodi yang dibentuk terdiri atas berbagai autoantibodi (Gambar 12.4).

E. Peran CD4 dan reseptor MHC Gangguan yang mendasari penyakit autoimun sulit untuk diidentifIkasi. Penelitian pada model hewan menunjukkan bahwa CD4 merupakan efektor utama pada penyakit autoimun. Pada tikus EAE ditimbulkan oleb Th1 CD4 yang spesifik untuk antigen. Penyakit dapat dipindahkan dan hewan yang satu ke yang lain melalui sel T hewan yang diimunisasi dengan MBP atau PLP atau sel lain dan klon sel T asal hewan. Penyakit dapat juga dicegah oleh antibodi anti CD4. Sel T mengenal antigen melalui TCR dan MHC serta peptida antigenik. Untuk seseorang menjadi rentan terhadap autoimunitas harus memiliki MHC dan TCR yang dapat mengikat antigen sel sendiri.

F. Keseimbangan Th1 Th2 Penyakit autoimun organ spesifik terbanyak terjadi melalui sel T CD4. Ternyata keseimbangan Th1-Th2 dapat mempengaruhi terjadinya autoimunitas. Th1 menunjukkan peran pada autoimunitas, sedang pada beberapa penelitian Th2 tidak hanya melindungi terhadap induksi penyakit, tetapi juga terhadap progres penyakit. Pada EAE sitokin Tb I (IL2, TNT- dan IFN- ) ditemukan dalan SSP dengan kadar tertinggi pada penyakit.

G. Sitokin pada autoimunitas Beberapa mekanisme kontrol melindungi efek sitokin patogenik, diantaranya adalah adanya ekspresi sitokin sementara dan reseptornya serta produksi antagonis sitokin dan inhibitornya. Gangguan mekanismenya menimbulkan upregulasi atau produksi sitokin yang tidak benar sehingga menimbulkan efek patofisiologik (Tabel 12.7). Sitokin dapat menimbulkan translasi berbagai faktor etiologis ke dalam kekuatan patogenik dan mempertahankan inflamasi fase kronis serta destruksi jaringan. IL-1 dan TNF telah mendapat banyak perhatian sebagai sitokin yang menimbulkan kerusakan. Kedua sitokin ini menginduksi ekspresi sejumlah protease dan dapat mencegah pembentukan matriks ekstraselular atau merangsang penimbunan matriks yang berlebihan.

FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPERAN PADA AUTOIMUNITAS Faktor-faktor lingkungan dapat memicu autoinunitas seperti mikroba, hormon, radiasi UV, oksigen radikal bebas, obat dan agen bahan lain seperti logam.

A. Kemiripan molekular dan infeksi Hubungan antara infeksi mikroba (virus, bakteri) dan autoimunitas yang terjelas ditimbulkan oleh adanya kemiripan (mimicracy) (Tabel 12.8).

1. Virus dan autoimunitas Berbagai virus berhubungan dengan berbagai penyakit autoimun yang mengenai sendi. Virus adeno dan Coxsackie A9, 82, 84, B6 sering berhubungan dengan poliartritis, pleuritis, mialgia, ruam kulit, faringitis, miokarditis dan leukositosis. Respons autoimun terhadap virus Hepatitis C (HCV) adalah multifaktorial. Resolusi HCV terjadi pada penderita dengan respons antibodi yang cepat dan infeksi cenderung menjadi kronis pada penderita dengan respons antibodi yang lambat. Sekitar 10% 30% penderita dengan HCV kronis disertai kadar rendah ANA dan 60% - 80% disertai RF. ACA ditemukan pada 22% penderita HCVdan berbagai antibodi lainnya telah juga ditemukan (Tabel 12.9).

2. Bakteri dan autoimunitas a. Karditis reumatik-demam reuma akut Contohnya penyakit autoimun yang ditimbulkan bakteri adalah demam reuma pasca infeksi streptokok yang disebabkan oleh antibodi terhadap streptokok yang diikat jantung dan menimbulkan miokarditis. Homologi juga ditemukan antara antigen protein jantung dan antigen Klamidia dan Tripanosoma cruzi. Keduanya berhubungan dengan miokarditis. Demam reuma adalah gejala sisa nonsupuratif penyakit Streptokok A, biasanya berupa faringitis dengan manifestasi 2-4 minggu pasca infeksi akut. Ada tiga gejala utama yaitu artritis (tersering), karditis dan korea (gerakan tidak terkontrol, tidak teratur dari otot muka, lengan dan tungkai) yang dapat disertai gejala kulit berupa ruam tidak sakit dan nodul subkutan (Gambar 12.5). Gejala gejala tersebut biasanya timbul pada penderita yang menunjukkan beberapa gambaran klinis utama dan jarang terjadi sendiri.

Pada pemeriksaan imunologik ditemukan antibodi yang bereaksi dengan protein M dari mikroba penyebab. Antigen streptokok tersebut memiliki epitop yang mirip dengan jaringan miokard jantung manusia dan antibodi terhadap streptokok akan menyerang jantung (jaringan, katup). Pada pemeriksaan biopsi katup jantung ditemukan infiltrasi sel plasma, endapan antibodi dan protein komplemen di jaringan. Antibodi terhadap antigen streptokok bereaksi silang dengan antigen otot jantung dan menimbulkan kerusakan dan penyakit demam reuma. Penyakit menghilang bila bakteri dieliminasi dan tidak terjadi produksi antibodi.

b. Sindrom Reiter dan artritis reaktif lnfeksi saluran cerna oleh salmonela, sigela atau kampilobakter dan saluran kencing oleh Klamidia trakomatis atau Ureaplasma urealitikum dapat memacu sindrom Reiter yang berupa triad uretritis, ariritis dan uveitis. Inflamasi insersi tendon dan ligamen pada tulang merupakan ciri sindrom Reiter dan artritis reaktif. Penderita dengan artritis perifer asimetris, sakit tumit dan tendon akiles dapat merupakan ciri utama. Sel sel inflamasi ditemukan dalam cairan sinovia.

c. Eritema nodosum Eritema nodosum biasanya terjadi pada orang dewasa usia antara 18 tahun 33 tahun. Infeksi streptokok ditemukan pada 28%, klamidia pada 1,5% dan pada satu kasus masing-masing ditemukan infeksi spesies mikoplasma, yersinia, HBV dan tuberkulosis. Klinis berupa nodul

terutama pada ekstremitas bawah di permukaan ekstensor, namun lesi dapat pula ditemukan di kaki atau lengan bawah. Dapat pub ditemukan sindrom Lofgren yang terdiri atas eritema nodosum, limfadenopati hilus bilateral dan poliartritis terutama di pergelangan kaki seperti halnya juga terlihat pada sarkoidosis. Berbagai infeksi yang berhubungan dengan eritema nodosum.

d. Bakteri lain Dua protein envelop Yersinia enterokolitis memiliki epitop yang sama dengan domen ekstraselular reseptor TSH. Pada sindrom Guillain-Barre, antibodi terhadap gang liosid manusia bereaksi silang dengan endotoksin C. jejuni. Antibodi kolon yang ditemukan pada kolitis ulseratif bereaksi silang dengan E.coli. Antigen dalam T.cruzi juga dapat bereaksi silang dengan antigen otot jantung dan susunan saraf perifer dan memacu beberapa lesi imunopatologik seperti terlihat pada penyakit Chagas.

B. Hormon Studi epidemiologi menemukan bahwa wanita lebih cenderung menderita penyakit autoimun dibanding pria. Wanita pada umumnya juga memproduksi lebih banyak antibodi dibanding pria yang biasanya merupakan respons proinfalamasi Th1. Kehamilan sering disertai dengan memburuknya penyakit terutama artritis reumatik dan relaps sering terjadi setelah melahirkan. Pengangkatan ovarium mencegah awitan autoimunitas spontan pada hewan (terutama LES) dan pemberian estrogen mempercepat awitan penyakit. Hormon hipofisa, prolaktin menunjukkan efek stimulator terutama terhadap sel T. Kadar prolaktin yang timbul tiba-tiba setelah kehamilan berhubungan dengan kecenderungan terjadinya penyakit autoimun seperti AR.

C. Obat Banyak obat berhubungan dengan efek samping berupa idiosinkrasi dan patogenesisnya terjadi melalui komponen autoimun (Gambar 12.6). Konsep autoimun melibatkan 2 komponen yaitu respons imun tubuh berupa respons autoagresif dan antigen. Hal yang akhir

sulit untuk dibuktikan pada banyak autoimunitas oleh obat. Contoh-contoh sindrom autoimun yang diduga ditimbulkan obat Antibodi menghilang bila obat dihentikan.

D. Radiasi UV Pajanan dengan radiasi ultraviolet (biasanya sinar matahari) diketahui merupakan pemicu inflamasi kulit dan kadang LES. Radiasi UV dapat menimbulkan modifikasi struktur radikal bebas self antigen yang meningkatkan imunogenesitas.

E. Oksigen radikal bebas Bentuk lain dan kerusakan fisis dapat mengubah imunogenesitas self antigen terutama kerusakan self molekul oleh radikal bebas oksigen yang menimbulkan sebagian proses inflamasi. Pemicu lainnya adalah stres psikologi dan faktor makanan.

F. Logam Berbagai logan seperti Zn, Cu, Cr, Pb, Cd, Pt, perak dan metaloid (silikon) diduga dapat menimbulkan efek terhadap sistem imun, baik in vitro maupun in vivo dan kadang serupa autoimunitas. Salah satu bentuk yang sudah banyak diteliti antara lain adalah reaksi terhadap silikon. Silikon adalah kristal nonmetal, elemen ringan dan bentuk dioksidnya disebut silika.

Pajanan inhalasi debu silikon yang berhubungan dengan pekerjaan dapat menimbulkan penyakit yang disebut silikosis. Respons imun yang terjadi dapat berupa produksi ANA, RF dan beberapa karyawan menunjukkan gejala serupa LES atau sindrom serupa skleroderma dengan endapan kompleks imun di glomerulus dan glomerulosklerosis lokal. Penderita dengan silikosis menunjukkan kadar antibodi terhadap kolagen tipe I dan III. Bentuk fulminan silikosis dikenal sebagai silikoproteinosis ditandai oleh peningkatan ANA dan glomeruonefritis kresentik yang progresif cepat. Meskipun banyak dugaan ketertibatan logam dalam autoimunitas, namun masih banyak penelitian yang harus dilakukan terhadap keterlibatan logam dalam autoimunitas. Efek autoimunnya hanya kadang dilaporkan. Pada hewan dilaporkan: Litium menimbulkan penyakit tiroid autoimun; Merkuri menimbulkan penyakit ginjal autoimirn, penyakit serupa GvH, artritis, vaskulitis.

1.6 Menjelaskan Mekanisme Autoimun 1. Penglepasan antigen sekuester Antigen sekuester adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan sel B atau sel T dari sistem imun. Pada keadaan normal, antigen sekuester dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomik dalam jaringan, seperti inflamasi atau infeksi dapat memajankan antigen sekuester dengan antigen, yang mengakibatkan terbentuknya autoantibodi karena antigen sekuester tersebut dianggap benda asing oleh sistem imun. 2. Kemiripan molekul Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari mikroorganisme juga dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan konsentrasi rendah dan tanpa akses ke antigen-presenting cells dapat bereaksi silang dengan peptida mikrobial yang memiliki struktur serupa. Hal ini mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang responsif yang dapat mengenali peptida diri, apabila kondisi lokal (seperti kerusakan jaringan) menyebabkan presentasi peptida tersebut dan akses sel T ke jaringan tersebut . Sekali toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inflamasi berlanjut pada presentasi peptida lainnya dan respons imun akan meluas dan menghasilkan percepatan kerusakan jaringan lokal. Proses domino ini disebut epitope spreading. 3. Kelainan pada sel B Terjadinya kelainan pada sel B yang bersifat intrinsik, misalnya terdapat klon sel B autoreaktif yang hiperresponsif terhadap berbagai stimuli, atau kelainan ekstrinsik berupa aktivasi sel B oleh mitogen endogen atau eksogen yang disebut aktivator poliklonal. Sel B dapat bereaksi dengan autoantigen melalui berbagai reseptornya yang mempunyai aviditas rendah sampai tinggi, sementara sel T tetap toleran. Aktivator poliklonal yang terdiri dari produk bakteri, virus, atau komponen virus, parasit, atau substansi lainnya dapat langsung merangsang sel B tersebut untuk memproduksi autoantibody. Hal ini dapat terlihat dengan terdeteksinya faktor rheumatoid dan antinuklear, antilimfosit, antieritrosit, serta anti-otot polos setelah infeksi parasit, bakteri, atau virus. Selain itu terbukti

pula bahwa lipopolisakarida bakteri dapat menginduksi limfosit tikus untuk memproduksi berbagai autoantibodi seperti anti DNA, antiglobulin ,antitimosit, dan antieritrosit. Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor yang datang dari sel T. Pada penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B aktif dan yang memproduksi antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini disebabkan oleh defek sel B terhadap kebutuhan sinyal, produksi faktor proliferasi, diferensiasi, dan maturasi oleh sel T yang berlebih, atau respons sel B yang tidak normal terhadap faktor-faktor tersebut. Akibatnya akan terjadi hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, alih imunoglobulin menjadi autoantibodi subkelas patologik, dan akhirnya penyakit autoimun sistemik.

1.7 Menjelaskan Macam-Macam Penyakit Autoimun dan Organ yang Terkait y y y y y y y y y y y Graves Disease (Tiroid) Thytreoditis Hashimoto (Tiroid) Diabetes tipe 1 (Pankreas) Sindrom Goodpasture (Ginjal) Primary biliary cirrhosis (Liver, empedu) Myasthenia Graivis (Otot) Dermatositis / Polymyositis (Kulit / otot) Vasculitis (Pembuluh) Rheumatoid Arthritis (Persendian) Skleroderma SLE (Jantung, kuli, sendi, pembuluh darah, hati, ginjal, dan sistem saraf)

1.8 Menjelaskan Diagnosis Autoimunitas A . Antibodi Dalam Serum Menemukan auto-antibodi dalam serum pada umumnya dilakukan dengan 4 cara yaitu RIA,ELISA,Imunofluoresensi,elektroforesis countercurrent . Imuno-fluoresensi merupakan cara yang paling kurang sensitif . RIA memerlukan reagens mahal . ELISA menghindari penggunaan radioisotop,tetapi memerlukan peralatan khusus . elektroforesis countercurrent mudah dikerjakan,murah,tetapi relatif sensitif . Beberapa antibodi yang ditemukan dengan RIA Antibodi Metoda Hasil Revalensi klinis

DsDNA

125

I-DNA-ikatan direk

Persentase ikatan atau LES IU/ml Hepatitis aktif

kronis

Antibodi aseltikolin

reseptor 125 I -bungarotoksin Ikatan dilaporkan Miastenia gravis dengan asetilkolin sebagai fmol/I dari reseptor antibodi spesifik asal cell line

Beberapa antibodi yang ditemukan dengan RIA Antibodi Metoda 125 DsDNA I-DNA-ikatan direk

Hasil Revalensi klinis Persentase ikatan atau LES Hepatitis kronis IU/ml aktif

Antibodi aseltikolin

reseptor 125 I -bungarotoksin Ikatan dilaporkan Miastenia gravis dengan asetilkolin sebagai fmol/I dari reseptor antibodi spesifik asal cell line

Beberapa autoantibodi yang ditemukan dengan ELISA Antibodi Autoantigen sasaran Ab mikrosom tiroid Pereksidase tiroid Ab mitokondria (M2) Kompleks E2 piruvat dehidrogenase Ab membran basal glomerulus Terminal C kolagen tipe IV Antibodi antineutrofil cANCA pANCA dsDNA Ab fosfolipid sitoplasma Proteinase 3 Mieloperoksidase dsDNA Kardiolipin

Relevansi klinis Penyakit tiroid autoimun Sirosis bilier primer Sindrom Goodpasteur Nefritis membran antiglomerulus basal

Granulomatosis Wegener Poliarteritis mikrokopis LES Sindrom antibodi fosfolipid primer

B . Imunofluoresensi IFT digunakan untuk menemukan banyak autoantibodi dalam serum . Spesimen biopsi dapan diperiksa dengan cara imunohistikimia . Endapan imunoglobulin yang terjadi karena reaksi dengan organ atau antigen spesifik untuk jaringan . Cara ini terutama penting untuk diagnosi penyakit antibodi basal membran glomerulus dan penyakit bulosa kulit . Jaringan hewan dapat digunakan bila mengandung antigen sama dengan manusia,tetapi beberapa autoantigen terbatas pada jaringan manusia atau cell liine manusia . Jaringan dibuat dengan kriostatdan segera dibekukan .

IFT Indirek untuk antibodi nonorgan spesifik yang jarang Autoantibodi Substrat khas Gambaran pewarnaan ANA Human cell line (HEp2) Semua nukleus atau hati tikus Sentromer Hep2 Sentromer manusia

Revalensi klinis utama Tes skrining untuk penyakit reumatik sistemik (sindrom

kromosom Sklerosis terbatas CREST)

SMA

Lambung,hati ,ginjal

Otot polos mis. Hepatitis kronis aktif Membran mukosa,otot Kerusakan hati kelenjar,intergasik dan nonspesifik (lemah) tunika media arteri

AMA

Semua mitokondria terutama tubulus distal Ginjal,hati,lambung tikus ginjal Sirosis bilier primer Esofagus kera Sarkolemna fibril otot polos Dermatitis herpetioformis Neotrofil manusia Sitoplasmik (cANCA) Perinuklear (ANCA) Granulomatosis Banyak bentuk vaskulitis

Antibodi endomisial ANCA

IFT indirek untuk antibodi organ spesifik yang sering Autoantibodi Substrat khas Gambaran pewarnaan Antibodi sel parital Lambung tikus Hanya sel parital gaster Antibodi adrenal Adrenal manusia Sel kortikal adrenal Pulau sel- pankreas

Revalensi klinis utama Anemia pernisosa Penyakit idiopatik IDDM addison

Antibodi sel pulau Pannkreas manusia pankreas Antibodi kulit Kulit manusia bibir kelinci

atau Semen interseluler intra- Penfigus vulgaris epidermal Membran basal epidermal

Gambaran pewarnaan IFT untuk antibodi antinuklear

gambaran Bentuk rim (annular perifer) nukleolar

Hubungan dengan penyakit LES LES

C . Pemeriksaan komplemen Meskipn kadar komplemen normal,namun konsumsinya dapat diketahui dengan mengukur pecahan atau produk aktivasinya . Interpretasi perubahan komplemen pada penyakit Ambang komponen C4 C3 faktor B Jalur aktivasi contoh N Klasik LES,vaskulitis Klasik dan alternatif N N N Alternatif Klasik untuk C4 dan C2 saja Peningkatan sintesis komponen Bakteremia gramnegatif.beberapa kasus LES Autoantibodi C3 NeF Angiodema herediter Inflamasi akut dan kronis

TIU 2. Menjelaskan penyakit Lupus Eritematosus Sistemik 2.1 MenjelaskanDefinisi Lupus Eritematosus Sistemik Lupus Eritematosis Sistemik (Lupus Eritematosus Disseminata, Lupus) adalah suatu penyakit autoinum menahun yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit, persendian dan organ dalam. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. *medicastore.com 2. 2 Menjelaskan Epidemiologi Lupus Eritematosus Sistemik Lupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus eritematosus. Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi wanita lebih banyak dibanding pria yaitu 9:1, umumnya pada usia 18-65 tahun tetapi paling sering antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun.1 Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi dan etnis. Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan penurunan prevalensi putih dibandingkan dengan penduduk asli Amerika, Asia, Latin, dan Amerika. Walaupun awal awitan sebelum usia 8 tahun tidak biasa, lupus telah di diagnosis selama 1 tahun kehidupan. Dominasi perempuan bervariasi dari kurang dari 4:1 sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya.4 Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan, sekitar 15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang remaja. Perempuan

lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk berkulit putih.2 SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika, Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE merupakan hal yang sulit karena diagnosis dapat sukar dipahami.1 http://www.scribd.com/doc/32209242/SLE Prevalensi bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan. Pada dekade terakhir terlihat adanya kenaikan kasus yang berobat di RSCM Jakarta. Salah satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang meningkat. Untuk peningkatan ini perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus LES yang perlu diketahui sehingga diagnosa lebih dini dan pengobatan yang lebih adekuat. Baron dkk melaporkan keterlibatan ginjal lebih sering ditemukan pada LES dengan onset usia kurang dari 18 tahun. Sedangkan penelitian Font dkk lesi diskoid dan serositis lebih sering ditemukan sebagai manifestasi awal pasien LES laki-laki sedangkan artritis lebih jarang. Samanta dkk pada penelitian di Asia dan kulit putih di Inggris melaporkan kelainan ginjal lebih sering ditemukan pada populasi di Asia. Wanita lebih sering terkena dibanding laki-laki dan umumnya pada kelompok usia produktif. (http://www.internafkui.or.id/?page=article.detail&id=2) 2.3 Menjelaskan Etiologi Lupus Eritematosus Sistemik Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti. LES terutama menyerang wanita usia muda 15-40 tahun selama masa reproduksi. Diduga melibatkan interkasi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperan penting dalam predisposisi penyakit ini. Pada kasus LES yang terjadi secara sporadik tanpa identifikasi faktor genetik, berbagai faktor lingkungan diduga terlibat atau belum diketahui faktor yang bertanggung jawab. Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis LES. Adanya gangguan dlaam mekanisme pengaturan imun seperti ganngguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun merupakan konstributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini. Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%) dibandingkan dengan kembar dizigostik (3%). Elemen genetik yang paling banyak diteliti kontribusinya terhadap SLE pada manusia adalah gen dari kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC). Penelitian popoulasi menunjukkan bahwa kepekaan terhadapa SLE melibatkan polimorfisme dari gen HLA (human leucocyte antigen) kelas II. Hubungan HLA DR2 dan DR 3 dengan SLE pada umumnya ditemukan pada etnik yang berbeda. HLA kelas II juga berhubungan dengan adanya antibodi tertentu. Gen HLA kelas III, khususnya yang mengkode komponen komplemen C2 dan C4, memberiakn resiko SLE pada kelompok etnik tertentu.Faktor hormonal juga mempengaruhi. Prolactin (PRL) adalah hormon yang terutama berasal dari kelenjar hipofise anterior, diketahui menstimulasi respon imun humoral dan seluler, yang diduga berperan dalam patogenesis LES.

2.4 Menjelaskan Manifestasi Lupus Eritematosus Sistemik Manifestasi Klinik Manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagaiLES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaaan. Gambaran klinis keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai pada 90 % kasus LES, walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus. Gejala Konstitusional Kelelahan Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumapi pada penderita LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelhana ini dapat diukur dengan menggunakan Profile of mood states (POMS) dan tes toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit LES maka diperlukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian sterois atau latihan. Penurunan Berat Badan Keluhan ini dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam beberpa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal. Demam Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil Lain-lain Gejala yang dering dijumpai pada penderita LES dapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktifitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.

Gejala Mukokutan Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE. Lesi Kulit Akut Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. 4 Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.5

Lesi Kulit Sub Akut Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.5

Lesi Diskoid Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.5 Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.5 Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa kanak-kanak. 5

Livido Retikularis Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.4,5 Urtikaria Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis.5 http://www.scribd.com/doc/32209242/SLE manifestasi Cardiopulmonary: gejala umumnya radang selaput dada berulang, dengan atau tanpa efusi pleura. Pneumonitis jarang terjadi. komplikasi lain termasuk emboli paru, hipertensi pulmonal, dan sindrom paru menyusut. komplikasi jantung meliputi perikarditis (paling sering), efusi perikardial, dan miokarditis Sering terjadi, bising jantung sistolik dan diatolik http://www.merck.com/ Hati dan Limpa Splenomegaly mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai ikterus terjadi pada 10% pasien. limpa dapat mengembangkan fibrosis periarterial. http://www.scribd.com/doc/32209242/SLE www.merck.com Manifestasi Neurologi Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya bersifat sementara Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya http://www.scribd.com/doc/32209242/SLE Isbagio Harry, dkk 2008 Manifestasi Muskuloskeletal Pada anak-anak paling sering berupa athralgia (90%) sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Artritis (sangat nyeri ) > 90% anak pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan vaskulopati. 4 Berikut merupakan mekanisme arthritis pada SLE.4

http://www.scribd.com/doc/32209242/SLE Manifestasi Hematologi Terjadi anemia dengan proses imun ataupun non imun : Proses imun anemia aplastik, anemia hemolitik autoimun Non imun sickle cell anemia, defisiensi besi, anemia sideroblastik leukopenia (biasanya lymphopenia, dengan <1500 sel / L,), dan trombositopenia Isbagio Harry, dkk 2008 www.merck.com Manifestasi Gastrointestinal Rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare vaskulitis intestinalis (dapat menyebabkan preforasi usus halus/kolon fatal Nyeri esofagus Nyeri pankreasitis nyeri sbdomen disertai mual dan muntah. Inflamantory bowel disease (IBS) Isbagio Harry, dkk 2008 http://www.scribd.com/doc/32209242/SLE 2.5 Menjelaskan Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik Etiologi penyakit LES masih belum terungkap dengan pasti tetapi diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang didapat dan faktor lingkungan. Gangguan imunitas yang ditandai oleh persistensi limfosit B dan T yang bersifat autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut. Faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Penyakit lupus disertai oleh petanda penyakit genetik seperti defisiensi herediter komplemen (seperti C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif. Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang memproduksi IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel B poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang merangsang proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik, yang disebabkan oleh hipermutasi somatik selama aktivasi sel B poliklonal yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus atau bakteri. Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi antigen dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi disebabkan gangguan

fungsi CD8+, natural killer cell dan inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu pada bagian determinan antigenik yang disebut idiotip, yang mampu merangsang respons pembentukan antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh terhadap peningkatan kadar idiotip maka akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai dengan jenis idiotip yang ada. Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat spesifik antigen diri hingga dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas autoimun. Persistensi antigen dan antibodi dalam bentuk kompleks imun juga disebabkan oleh pembersihan yang kurang optimal dari sistem retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas sistem retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi dan antigen yang terlalu banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi, pengaturan produksi yang terganggu dan mekanisme pembersihan kompleks imun yang terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun. Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus. Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombinase, sehingga dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis. Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus. Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermisepidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi. Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade komplemen. Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam deposit kompleks imun pada LES, antara lain banyaknya antigen, respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di daerah membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan membran basal glomerulus, tanpa intervensi kompleks imun. Pasien dengan LES aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+ yang mengaktivasi CD8+ (Tsupressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat perubahan (shift)

fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin cenderung untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6. Autoantibodi yang terdapat pada LES ditujukan pada antigen yang terkonsentrasi pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan apoptosis mempunyai peranan penting dalam patogenesis LES. Pada LES terjadi peningkatan apoptosis dari limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi sel apoptosis akibat defek pembersihan (clearance). Kadar C1q yang rendah mencegah ambilan sel apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada CD8+ mengakibatkan peningkatan apoptosis dan limfositopenia. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES. Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin yang meningkat. Pada perempuan dengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi LES juga meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan. Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya belum dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun. 2.6 Memahami Pemeriksaan Lupus Eritematosus Sistemik 1. Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit. 2. Ruam kulit atau lesi yang khas. 3. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis. 4. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung. 5. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein. 6.Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah. 7. Biopsi ginjal. 8. Pemeriksaan saraf. ( www. medicastore.com) 2.7 Menjelaskan Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik

Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi yang paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebut. Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology). (Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005) No 1 2 3 4 5 6 Kriteria Definisi Bercak malar Eritema datar atau menimbul yang menetap di (butterfly rash) daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi Serositif a. Pleuritis Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik. atau b. Perikarditis Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan. atau b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran Gangguan saraf Kejang Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) atau Psikosis Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) Terdapat salah satu kelainan darah Anemia hemolitik dengan retikulositosis Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1

Gangguan darah

pemeriksaan Limfopenia < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat 10 Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainan Anti ds-DNA diatas titer normal Anti-Sm(Smith) (+) Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormal antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standar tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau antibodi treponema 11 Antibodi antinuklear Tes ANA (+) *Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 100% http://www.scribd.com/doc/32209242/SLE Isbagio Harry, dkk 2008 2.8 Menjelaskan Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis. Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja. 1 Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Dengan adanya kenaikan berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan junk food atau makanan mengandung tinggi sodium untuk menghindari kenaikan berat badan berlebih. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan pada anak jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari sinar UVB. Pencegahan infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risiko infeksi meningkat pada anak dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai profilaksis dihindari dan hanya diberikan sesuai dengan hasil kultur. Terdapat beberapa patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita lupus, yaitu ; diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi, terutama infeksi bakterial sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis (leukosit >10.000) harus dianggap sebagai gejala infeksi, gambaran radiologi infiltrat limfositik paru harus dianggap dahulu sebagai infeksi bakterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain, dan setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis. 1 Lupus diskoid Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim luocinonid 5% lebih efektif dibadingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50% pasien. 2,3,4 Serositis lupus (pleuritis, perikarditis) Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal), antimalaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah. 2,3,4 Arthritis lupus

Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan untuk keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan (amitriptilin). 2,3,4 Miositis lupus Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi, dimulai dengan prednison dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati dalam 2-3 tahun sampai mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang digunakan untuk mencegah efek samping pemberian harian adalah dengan cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg), metrotreksat atau azathioprine. 2,3,4 Fenomena Raynaud Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin; alfa 1 adrenergicreceptor antagonist dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat. 2,3,4 Lupus nefritis Kelas I : Tidak ada terapi khusus dari klasifikasi WHO Kelas II : (mesangial) mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah. Kelas III : (focal proliferative Nefritis/FPGN) memerlukan terapi yang sama agresifnya dengan DPGN, khususnya bila ada lesi focal necrotizing. Kelas IV : (DPGN) kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena ternyata lebih baik dibandingkan bila hanya dengan prednison. Siklofosfamid intravena telah digunakan secara luas baik untuk DPGN maupun bentuk lain dari lupus nefritis. Azatioprin telah terbukti memperbaiki outcome jangka panjang untuk tipe DPGN. Prednison dimulai dengan dosis tinggi harian selama 1 bulan, bila kadar komplemen meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati selama 4-6 bulan. Siklofosfamid intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari pemberian, diperiksa kadar lekositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkan tergantung pada jumlah lekositnya (normalnya 3.000-4.000/ml). Kelas V : regimen terapi yang biasa dipakai adalah (1). monoterapi dengan kortikosteroid. (2). terapi kombinasi kortikosteroid dengan siklosporin A, (3). sikofosfamid, azathioprine,atau klorambusil. Proteinuria sering bisa diturunkan dengan ACE inhibitor. Pada Lupus nefritis kelas V tahap lanjut. pilihan terapinya adalah dialisis dan transplantasi renal. 2,3,4 Gangguan hematologis Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah kortikosteroid, imunoglobulin intravena, anti D intravena, vinblastin, danazol dan splenektomi. Sedangkan untuk anemia hemolitik, terapi yang dipertimbangkan adalah kortikosteroid, siklfosfamid intravena, danazol dan splenektomi. 2,3,4 Pneumonitis interstitialis lupus Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena. 2,3,4 Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.

Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES 1.Antimalaria : Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO dalam garam sulfat (maksimal 400 mg/hari) 2.Kortiko-steroid : Prednison dosis harian (1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama methylprednisolone dosis tinggi intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu. 3.Obat imuno-supresif : Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3 minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3 ). Azathioprine 1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari. 4.Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs) Naproxen 7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 500-1000 mg/hari Tolmetin 15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 1200-1800 mg/hari Diclofenac < 12 tahun : tak dianjurkan > 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari 5. Suplemen Kalsium dan vitamin D Kalsium karbonat < 6 bulan : 360 mg/hari 6-12 bulan : 540 mg/hari 1-10 bulan : 800 mg/hari 11-18 bulan : 1200 mg/hari Calcifediol < 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu > 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu 6. Anti-hipertensi Nifedipin 0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam. Enalapril 0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari Propranolol 0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari 2,3,4 http://www.scribd.com/doc/32209242/SLE 2.9 Menjelaskan Komplikasi Lupus Eritematosus Sistemik y Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita SLE. Gagal ginjal dapat terjadi akibat deposit kompleks antibody-antigen pada glomerulus disertai pengaktifan komplemen resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas tipe III. Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikardium yang mengelilingi jantung). Peradangan membran pleura yang mengelilingi paru dapat membatasi pernafasan.sering terjadi bronkitis. Dapat terjadi vaskulitis disemua pembulu serebrum dan perifer. Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian, termasuk psikosis dan depresi dapat terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan dengan terapi obat atau penyakitnya.

y y y y

Komplikasi LES pada anak meliputi: y Hipertensi (41%) y Gangguan pertumbuhan (38%) y Gangguan paru-paru kronik (31%) y Abnormalitas mata (31%) y Kerusakan ginjal permanen (25%) y Gejala neuropsikiatri (22%) y Kerusakan muskuloskeleta (9%) y Gangguan fungsi gonad (3%). http://www.scribd.com/doc/32209242/SLE 2.10 Menjelaskan Prognosis Lupus Eritematosus Sistemik LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Data dari beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival rates sebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun, sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan menetap. (www.medicastore.com) (www.scribd.com ) TIU 3. Memahami dan Menjelaskan tenteng Perspektif Teologis, Sabar, Ikhlas, Ridha Menghadapi Musibah Dan mintalah pertolongan ( kepada ) Allah dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhhya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusu , ( yaitu ) orang-orang yang menyakini , bahwa mereka akan menemui Robb-nya dan bahwa mereka akan kembali kepad-Nya ( QS Al Baqarah : 45 -46 ) Ayat di atas mengandung beberapa pelajaran : Pelajaran Pertama : Bahwa Allah memerintahkan seluruh hamba-Nya untuk selalu bersabar dan menegakkan sholat di dalam menghadapi segala problematika hidup. Adapun sabar secara bahasa adalah menahan, dikatakan : qutila fulanun shobron artinya : si fulan terbunuh dalam keadan ditahan. Oleh karenanya, seseorang yang menahan diri terhadap sesuatu dikatakan orang yang sabar. Pelajaran Kedua : Sabar dibagi menjadi beberapa macam : Pertama : Sabar di dalam ketaatan, yaitu menata diri untuk selalu mengerjakan perintah-perintah Allah dan Rosul-Nya. Sabar di dalam ketaatan ini adalah tingkatan sabar yang paling tinggi, kenapa ? karena untuk melakukan suatu ketaatan, diperlukan kemauan yang sangat kuat, dan untuk menuju pintu syurga seseorang harus mampu melewati jalan-jalan yang dipenuhi dengan duri, ranjau dan segala sesuatu yang biasanya dia benci dan tidak dia sukai, sebagaimana

sabda Rosulullah saw Dan jalan menuju syurga itu dipenuhi dengan sesuatu yang tidak kita senangi ( HR Muslim ) Sabar dalam ketaatan ini harus melalui tiga fase : Fase Pertama : Sabar sebelum beramal, ini meliputi perbaikan niat, yaitu mengikhlaskan amal hanya karena Allah swt , dan bertekad untuk mengerjakan ibadat tersebut sesuai dengan aturannya. Dalam hal ini Allah berfirman : Kecuali orang - orang yang bersabar dan beramal sholeh.(Qs Hud:11) Fase Kedua : Sabar ketika beramal, yaitu dengan selau mengingat Allah swt selama beramal, dan tidak malas untuk mengerjakan seluruh rukun, kewajiban dan sunah dari amal tersebut. Kalau sedang mengerjakan puasa umpamanya, maka dia harus tetap mengingat bahwa dirinya sedang puasa dan Allah selalu melihat seluruh amalannya, maka dia berusaha untuk menghindari hal-hal yang dilarang oleh Allah selama berpuasa dan berusaha untuk mengerjakan amalan sunah dan wajib, seperti membantu fakir miskin, memberikan ifthor kepada yang berpuasa, sholat berjamaah dan sebagainya. Fase ketiga : Sabar setelah beramal , yaitu dengan menahan diri untuk tidak mepublikasikan amalnya kepada orang lain, dan menjauhi diri dari riya dan halhal yang bisa menghapus amal perbuatannya. Dalam bersedekah umpamanya, maka setelah bersedekah, dia harus menahan diri untuk tidak menyebut-nyebut sedekahnya dan harus menahan diri tidak menyakiti perasaan penerima sedekah. Allah swr berfirman : Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasan penerima ( Qs Al Baqarah : 264 ) Kedua : Sabar terhadap maksiat, yaitu selalu menahan diri untuk selalu menjauhi apa-apa yang dilarang oleh Allah dan Rosul-Nya. Bentuk sabar ini jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan bentuk sabar yang pertama, karena meninggalkan sesuatu yang dilarang jauh lebih ringan daripada mengerjakan sesuatu yang diperintah. Walaupun sebenarnya dalam masalah ini, kadang sifatnya sangat relatifnya, artinya bagi seseorang mungkin lebih ringan meninggalkan sesuatu yang dilarang daripada mengerjakan sesuatu yang diperintah, sementara bagi orang lain justru yang terjadi adalah sebaliknya., dia merasa lebih ringan mengerjakan sesuatu yang diperintahkan kepadanya daripada meninggalkan sesuatu yang dilarang. Inipun tergantung kepada bentuk larangan dan perintah. Umpamanya kebanyakan orang bisa bersabar untuk tidak berzina, akan tetapi tidak bisa bersabar untuk selalu mengerjakan sholat berjamaah di masjid. Sebaliknya kebanyakan orang sangat sulit dan tidak bisa bersabar untuk meninggalkan ghibah ( membicarakan kejelekan orang lain ), akan tetapi sangat bisa dan sabar kalau diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang lain. Contoh-contoh seperti ini sangat banyak dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga : Sabar terhadap musibah, yaitu menahan diri dan tidak mengeluh ketika terkena musibah. Ini adalah bentuk sabar yang paling ringan, karena sesuatu itu sudah terjadi di depannya, dan dia tidak bisa menghindarinya, artinya dia bersabar atau tidak bersabar sesuatu itu sudah terjadi. Akan tetapi walaupun begitu, masih banyak dari kaum muslimin yang tidak bisa sabar ketika tertimpa musibah. Sabar dalam bentuk ini tersebut dalam firman Allah swt :

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.( QS Al Baqarah : 155 ) Dalam hadist Ummu Salamah disebutkan bahwasanya Rosulullah saw bersabda : : . Jika diantara kalian tertimpa musibah, hendaknya berkata : Sesunggunya kami milik Allah dan sesunguhnya kami akan kembali pada-Nya, Ya Allah saya hanya mencari pahala dari musibah ini di sisi-Mu, maka berikanlah kepada-ku pahala itu, dan gantikanlah aku dengan sesuatu yang lebih baik dari musibah ini ( HR Abu Daud ) Hadist di atas benar-benar dipraktekkan oleh para sahabat, bahkan oleh Ummu Salamah sendiri, tepatnya ketika suaminya Abu Salamah pada detik-detik terakhir dari hidupnya dia berdoa : Ya Allah gantilah untuk keluargaku seseorang yang lebih baik dariku Dan ketika Abu Salamah telah meninggal dunia, Ummu Salamah berdoa : Sesunggunya kami milik Allah dan sesunguhnya kami akan kembali pada-Nya, Ya Allah saya hanya mencari pahala dari musibah ini di sisiMu. Kemudian apa yang terjadi setelah Ummu Salamah tetap sabar, tabah dan berdoa sebagaimana yang diajarkan oleh Rosulullah saw . Ternyata Allah mengabulkan doa tersebut dan Ummu Salamah mendapat ganti suami yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rosulullah saw.

DAFTAR PUSTAKA
y y y y y y y y y Baratawidjaja KG, Rengganis I. 2009. Imunologi dasar ed. 8. Jakarta: Balai Penerbit FKIU Crowin Elizabeth J. 2009 . Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC Setioyohadi Bambamg. 2009 . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ad.5 jilid 3. Jakarta: Interlan Publising Wilson Lorraine M, Prince A. 2006 Patofisiologi vol.2 ed.6. Jakarta : EGC http://www.scribd.com/doc/32209242/SLE www.medicastore.com www.merck.com http://www.internafkui.or.id/?page=article.detail&id=2 http://www.klikdokter.com/illness/detail/211

Vous aimerez peut-être aussi