Vous êtes sur la page 1sur 11

Referat Oleh

: 28 Desember 2011 : Hasna Dewi

Pembimbing : dr. Hermin Aminah, Sp.PA

PLEURITIS TUBERKULOSA

I.

PENDAHULUAN Pleura merupakan suatu membran serosa yang menutupi parenkim paru, mediastinum,

diafragma dan costa, terbagi atas

pleura parietalis dan pleura visceralis, yang diantaranya


1

dipisahkan oleh rongga pleura berisi cairan 15 ml.

Peradangan pada pleura atau pleuritis


2,3

dapat disebabkan oleh infeksi. Pada beberapa negara endemik tuberkulosis, pleuritis tersering disebabkan oleh infeksi bakteri mycobacterium tuberculosa.

Pleuritis tuberkulosa merupakan penyakit tuberkulosa ekstra pulmonal kedua tersering terjadi di negara berkembang setelah limfadenitis tuberkulosa dengan gejala berupa demam, batuk nonproduktif dan nyeri dada. Biasanya disertai efusi pleura. 3 Diagnosis pleuritis tuberkulosa dapat menjadi sulit, karena rendahnya positivitas berbagai tes diagnostik.
4

Pleuritis tuberkulosa dengan efusi diterapi sistemik dengan pengobatan


2

tuberkulosa ekstrapulmonal dan terapi lokal berupa torakosintesis.

Prognosa pleuritis

tuberkulosa tergantung dari beratnya penyakit yang menyertai dan resistensi bakteri terhadap antibiotik, akan tetapi efusi pada pleuritis tuberkulosa primer cenderung spontan. 5 Pada referat ini akan dibahas mengenai penegakan diagnosa dan diagnosis banding pleuritis tuberkulosa. membaik secara

II. 2.1

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Histologi Pleura adalah membran tipis serosa yang membungkus parenkim paru-paru,

mediastinum, diafragma dan costa, terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura visceralis dan parietalis. Pleura parietalis adalah lapisan luar yang tetap berhubungan dengan dinding rongga dada dan isi mediastinum, yang dipersyarafi oleh nervus intercostales dan nervus phrenici. Pleura parietale dibagi menurut dimana pleura itu terletak atau permukaan yang melapisinya : Pleura cervicale atau cupola, yaitu bagian pleura parietale yang menonjol di atas level ujung sternal costa pertama ke arah pangkal leher, sekitar 2 jari di atas 1/3 medial clavicula Pleura costalis, yaitu bagian yang membatasi permukaan dalam costae, spatium intercostales, tepi-tepi vertebrae, dan permukaan belakang sternum Pleura diphragmatica, yaitu bagian yang meliputi permukaan thoracal diaphragma kecuali di centrum tendineum Pleura mediastinalis, bagian yang meliputi dan membentuk sisi lateral mediastinum, melipat dan bersambung menjadi pleura visceralis di daerah hillus. Pleura parietal menerima pasokan darah dari kapiler sistemik. Cabang kecil dari arteri intercostalis mensuplai pleura costalis, sedangkan pleura mediastinalis terutama menerima

suplai dari arteri pericardiophrenic. Pleura diafragmatik disuplai oleh arteri frenikus superior dan arteri muskulophrenic. Drainase vena pada pleura parietal adalah vena intercostalis lalu ke vena cava inferior atau trunkus brakiosefalika. Aliran pembuluh limfatik pleura parietal mempunyai banyak cabang dan berhubungan dengan rongga pleura melalui stoma. Pada pleura costalis, drainase limfatik bergabung dengan pembuluh limfe intercoatalis interna, pleura diafragmatik ke pembuluh limfe diafragma dan mediastinal posterior. 6 Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis, yang dipersyarafi oleh sistem syaraf otonom. Pleura viseralis tidak mengandung serabut nyeri, sehingga nyeri dada pleuritik menunjukkan adanya peradangan pada pleura parietalis. Pleura visceralis menerima pasokan darah dari arteri bronchial dan sirkulasi pulmonal, sedangkan drainase vena melalui vena pulmonalis. Pembuluh limfatik yang lebih besar pada pleura viseralis dilengkapi dengan katup satu arah yang mengarahkan aliran limfe ke hilus paru-paru. 6 pleura mediastinalis ke pembuluh limfe

Kavitas pleuralis atau rongga pleura merupakan membran potensial, yang mengandung lapisan tipis cairan yang berfungsi sebagai lumbrikasi yang meminimal friksi antar kedua pleura. Normalnya berisi cairan rata-rata 15 ml. Di dalam kavitas pleuralis tekanan udara sedikit di bawah tekanan atmosfir sedangkan di paru-paru dan saluran pernapasan kurang lebih sama dgn tekanan atmosfir, sehingga paru-paru dapat dipertahankan dalam keadaan distensi. 6 Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesothelial dan jaringan ikat. Pleura nomal terdiri atas lapisan-lapisan yaitu : selapis sel mesotel, lapisan tipis jaringan ikat submesotelial, lapisan elastis superfisial, jaringan ikat longgar, dan lapisan fibroelastik. 7

2.2

Epidemiologi Pada beberapa negara terutama negara berkembang, tuberkulosa merupakan penyakit

paling sering yang menyebabkan peradangan pleura, seperti di Rwanda dimana tuberkulosa mencapai 86 % sebagai penyebab efusi pleura. Sebaliknya, keterlibatan tuberkulosa pada

peradangan pleura hanya sekitar 3 - 5 % di Eropa barat dan Amerika serikat. WHO memperkirakan angka kejadian pleuritis tuberkulosa pada dekade pertama abad ini mencapai 18,2 62 % per 100.000 penduduk pada negara berkembang dan 0,42 0,77 % per 100.000 penduduk di negara-negara barat. 2 Pleuritis tuberkulosa, dulunya sering terjadi pada remaja dan dewasa muda dengan puncak kejadian usia 28 40 tahun. Selama lebih dari dua dekade berikutnya, terjadi pergeresan epidemiologi puncak kejadian usia pleuritis tuberkulosa, menjadi usia 47 56 tahun. Lebih dari sepertiga pasien berusia lebih 60 tahun. 2

2.3

Etiologi dan patogenesis Pleuritis tuberkulosa dapat merupakan manifestasi dari tuberkulosis primer atau

tuberkulosis post primer (reaktivasi) yang progresif.

Keterlibatan pleura dapat terjadi dari

kontak langsung lesi paru-paru, penyebaran limfogen dan hematogen atau merupakan bentuk reaksi immunologis hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen tuberkulosa. 2 Pleuritis tuberkulosa sebagai manifestasi tuberkulosa primer, banyak terjadi pada anak-anak. Hipotesis terbaru mengenai pleuritis tuberkulosis primer menyatakan bahwa pada 6-12 minggu setelah infeksi primer, fokus kaseosa subpleura pecah ke kavitas pleura. Antigen mikobakterium tuberkulosis memasuki kavitas pleura dan berinteraksi dengan sel T
3

yang sebelumnya telah tersensitisasi mikobakteria, terjadi reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan akumulasi cairan. Eksudasi terjadi oleh karena meningkatnya permeabilitas kapiler pleura dan terganggunya drainase limfatik.
5

Cairan efusi ini secara umum adalah eksudat tapi dapat

juga berupa serosanguineous dan biasanya mengandung sedikit basil tuberkulosis. 2 Pleuritis tuberkulosis karena reaktivasi dapat terjadi jika stasus imunitas pasien menurun. Pada kasus pleuritis tuberkulosis reaktivasi, dapat dideteksi adanya tuberkulosis parenkim paru secara radiografi dan CT scan berupa infiltrat atau kavitas yang biasanya terlihat pada apeks paru dan posterior lobus superior. Efusi yang terjadi umumnya ipsilateral dari infiltrat. 3

2.4

Patologi Pada dinding pleura dapat ditemukan adanya deposit fibrin dan granuloma berupa
2

tuberkel.

Eksudat pada pleuritis tuberkulosa dapat berupa serofibrinosa (pleuritis exudativa)

atau purelenta (empyema). Eksudat dapat tipis atau tebal meliputi kedua permukaan pleura. Antara kedua lapisan sering dijumpai benang fibrin yang dapat berubah menjadi perlekatan fibrotik, menyebabkan paru-paru melekat pada dinding dada. Nekrosis perkijuan juga dapat ditemukan. 5,8 Secara mikroskopis, lesi khas pada tuberkulosis adalah adanya tuberkel yang pada bagian tengahnya terdapat daerah nekrosis perkijuan dikelilingi sel-sel epitheloid, disertai proliferasi limfosit, dan sel datia langhans. 1

Sitologi Pada sediaan aspirasi jarum, granuloma dapat dijumpai berupa aggregat padat limfosit, dan fibroblast disekitar area nekrotik. Sel datia langhans tidak selalu terlihat. Cairan efusi pleura, sangat seluler, dominan terdiri dari limfosit T yang tersebar, sel mesotel tidak dijumpai atau sedikit, sel radang polimorfonukleus jarang, dengan latarbelakang debris lebih watery.
9

Multinucleated giant cells biasanya tidak ditemukan pada sediaan sitologi, tetapi dapat dijumpai pada 60 80 % sediaan biopsi pleura. Pada tahap awal penyakit ini, neutrofil biasanya predominan, sedangkan pada tahap selanjutnya dominan adalah limfosit. Pada tahap lanjut ini, karakteristik pasien dengan efusi tuberkulosa adalah ketidakhadiran sel mesotel, bahkan pada

torakosintesis berulang, oleh karena itu beberapa peneliti mengeklusi diagnosis tuberkulosa jika sel mesotel dijumpai lebih dari 5 %. 10

2.5

Gejala klinis Gejala pleuritis tuberkulosa tidak spesifik, biasanya berupa demam (86%) disertai batuk

nonproduktif (70%) dan nyeri dada (75%),

friction rub, dan dyspnoe jika terjadi efusi pleura

yang luas . Sebagian besar efusi pleura TB bersifat unilateral (90-95%), lebih sering di sisi kanan. Jumlah cairan efusi bervariasi dari sedikit hingga banyak, meliputi setengah dari hemitoraks. Penurunan berat badan dan malaise serta berkeringat malam bisa dijumpai. 1,2 Adanya efusi pleura memberikan kelainan pada hemitoraks yang sakit dengan pergerakan pernapasan yang tertinggal, ruang antar iga yang melebar dan mendatar, getaran nafas pada perabaan menurun, trakea yang terdorong, suara ketuk yang redup dan menghilangnya suara pernapasan pada pemeriksaan auskultasi. 1

2.6

Diagnosis Diagnosis pleuritis tuberkulosa dapat ditegakkan mulai dari anamnesis, pemeriksaan

fisik dan beberapa pemeriksaan penunjang. Tes tuberculin, sputum, analisis cairan pleura, kultur, biopsi dan radiologis. Dari gambaran radiologis bisa dijumpai kelainan parenkim paru berupa konsolidasi atau kavitasi. Diagnosis pasti pleuritis tuberkulosa didapat dari sputum atau cairan pleura yang positif mycobacterium tuberculosis atau jika dijumpai tuberkel pada biopsi pleura. 2,5

2.7

Diagnosis banding Diagnosis banding pleuritis tuberkulosa adalah pleuritis yang disebabkan sarcoidosis dan

jamur karena sama-sama terdapat granuloma, sedangkan dari sediaan sitologi, diagnosis bandingnya adalah proses keganasan seperti limfoma karena predominan limfosit.11

2.8

Terapi Terapi pleuritis tuberkulosis sama dengan terapi tuberkulosis paru. Bila respons

terhadap terapi baik, suhu turun dalam 2 minggu terapi, serta cairan pleura teresorbsi dalam 6 minggu. Namun pada beberapa pasien demam dapat berlangsung hingga 2 bulan, dan penyerapan cairan memerlukan waktu hingga 4 bulan. Steroid dapat memperpendek fase demam dan mempercepat penyerapan cairan serta mencegah perlekatan, walaupun rasio manfaat dan risiko penggunaannnya belum diketahui pasti. Thorakosintesis diperlukan untuk diagnosis dan sebagai terapi mengurangi gejala. 3 Pengobatan tuberkulosis dibagi dalam 2 fase: intensif dan lanjutan. Fase intensif ditujukan untuk membunuh sebagian besar bakteri secara cepat dan mencegah resistensi obat. Sedangkan fase lanjutan bertujuan untuk membunuh bakteri yang tidak aktif. Fase lanjutan menggunakan lebih sedikit obat karena sebagian besar bakteri telah terbunuh sehingga risiko pembentukan bakteri yang resisten terhadap pengobatan menjadi kecil. 12 Berdasarkan pedoman tata laksana DOTS, pasien dengan sakit berat yang luas atau adanya efusi pleura bilateral dan sputum BTA positif, diberikan terapi kategori I (Fase Intensif dengan 4 macam obat : INH, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol selama 2 bulan dan diikuti dengan fase lanjutan selama 4 bulan dengan 2 macam oabat : INH dan Rifampisin ). Pada pasien dengan pleuritis TB soliter harus diterapi dengan INH, Rifampisin dan Pirazinamid selama 2 bulan diikuti dengan terapi INH dan rifampin selama 4 bulan. 12

2.9

Prognosis Prognosis pleuritis tuberkulosa tergantung pada keparahan penyakit dan resistensi bakteri
3,5

terhadap antibiotik.

Efusi yang terjadi pada pleuritis TB primer berlangsung tanpa diketahui

dan dapat terjadi proses penyembuhan spontan. Penebalan pleura sebagai sekuele dapat terjadi pada 50 % kasus setelah 6-12 bulan terapi. 2,5

III.

PEMBAHASAN Pleuritis tuberkulosis tidak selalu mudah didiagnosis, karena tidak selalu ada

gambaran khas seperti adanya eksudat yang kaya limfosit disertai nekrosis dan sel datia langhans pada cairan efusi. Diagnosis pasti dari pleuritis tuberkulosis ditegakkan dengan analisis dan kultur cairan pleura atau sputum serta biopsi pleura berupa ditemukannya granuloma nekrotik kaseosa pada biopsi pleura, hasil positif dari pewarnaan Ziehl Neelsen atau kultur Lowenstein dari cairan efusi atau jaringan sampel dan sensitivitas kulit terhadap PPD (tuberculin test). penanda biokimia Pada tahun-tahun terakhir ini, beberapa penelitian meneliti adanya seperti ADA (Adenosine deaminase), INF dan limfokin lainnya serta

penggunaan PCR untuk meningkatkan efisiensi diagnosis. 2,4,5 Hasil torakosintesis efusi pleura dari pleuritis TB primer mempunyai karakteristik cairan eksudat dengan total kandungan protein pada cairan pleura >30g/dL, rasio LDH cairan pleura dibanding serum > 0,5 dan LDH total cairan pleura >200U. Cairan pleura

mengandung dominan limfosit (sering lebih dari 75% dari semua materi seluler). Hasil pemeriksaan BTA cairan pleura jarang menunjukkan hasil positif (0-1%). Isolasi M. tuberkulosis dari kultur cairan pleura tuberkulosis. Hasil pemeriksaan BTA dan hanya didapatkan pada 20-40% pasien pleuritis kultur yang negatif dari cairan pleura tidak

mengekslusi kemungkinan pleuritis tuberkulosis. Hasil pemeriksaan BTA pada sputum jarang positif pada kasus primer dan kultur menunjukkan hasil positif hanya pada 25-33% pasien. Sebaliknya, pada kasus reaktivasi pemeriksaan BTA sputum positif pada 50% pasien dan kultur positif pada 60% pasien. Hasil tes tuberkulin yang positif mendukung penegakkan diagnosis pleuritis

tuberkulosis di daerah dengan prevalensi tuberkulosis yang rendah, akan tetapi hasil tes tuberkulin dapat pula negatif pada sepertiga pasien. 5,13 Deposit fibrin berupa lembaran atau lapisan dan perlengketan pada permukaan pleura dapat terlihat melalui torakoskopi. Pada biopsi pleura parietal, pemeriksaan histopatologis jaringan pleura menunjukkan peradangan granulomatosa, nekrosis kaseosa, dan BTA positif. Hasil biopsi perlu diperiksa secara histopatologis, pewarnaan BTA dan kultur, sehingga sedikitnya diperlukan 4 6 sediaan biopsi dari pleura parietal. 79,8 % pasien.14
7
2,5

Berdasarkan suatu penelitian

yang melibatkan 254 pasien, granuloma kaseosa ditemukan pada sediaan biopsi pleura sebanyak

Tuberkulosis harus dipertimbangkan sebagai diagnosis dan segera diterapi pada semua kasus pleuritis, kecuali jika benar-benar ditemukan hal-hal yang dapat mengekslusikannya. Granuloma yang khas pada infeksi tuberkulosis adalah berupa tuberkel yang terdiri dari nekrosis perkijuan, proliferasi sel-sel epiteloid, limfosit dan sel datia langhans. didiagnosa banding dengan granuloma pada penyakit sarkoidosis dan jamur. Granuloma adalah fokus peradangan kronis yang terdiri atas makrofag yang telah mengalami transformasi menjadi sel mirip epitel yang dikelilingi oleh leukosit mononukleus terutama limfosit dan kadang-kadang sel plasma. Granuloma pada infeksi jamur menyerupai tuberkel pada tuberkulosis, akan tetapi pada jamur akan terlihat hifa-hifa jamur dengan pulasan PAS, sedangkan pada sarcoidosis dicirikan oleh non-kaseosa granuloma. 1,9,11 Sediaan sitologi pada efusi pleura tuberkulosa, didominasi oleh sel-sel limfosit T (> 50 %), oleh karena itu didiagnosis banding dengan keganasan seperti small lymphocytic limphoma. Pada lymphoma, sediaan terdiri dari mayoritas sel-sel limfosit bulat, kecil, monomorf, dengan kromatin kasar, sedikit sitoplasma dan anak inti yang tidak jelas. Immunisitokimia dapat digunakan untuk membedakan pleuritis tuberkulosa dengan limfoma, yaitu pemeriksaan Kappa dan Lambda.

IV.

KESIMPULAN Pleuritis tuberkulosa disebabkan infeksi mycobacterium tuberculosis, adalah

tuberkulosis ekstraparu kedua terbanyak setelah limfadenitis. Pleuritis TB dapat merupakan manifestasi dari tuberkulosis primer atau tuberkulosis post primer yang progresif. Efusi pleura terbentuk sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat antigen kuman

tuberkulosis dalam rongga pleura atau penyebaran langsung dari lesi pada paru-paru. Pleuritis tuberkulosis biasanya bermanifestasi sebagai demam disertai batuk nonproduktif, nyeri dada, friction rub dan dyspnoe. Diagnosis dilakukan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lain termasuk analisis cairan pleura atau sputum dan biopsi pleura atau dengan pemeriksaan penanda biokimia seperti : ADA, INF- serta pemeriksaan radiologis. Tuberkulosis harus dipertimbangkan sebagai diagnosis dan segera diterapi pada semua kasus pleuritis, kecuali jika benar-benar ditemukan hal-hal yang dapat mengekslusikannya. Terapi sistemik pleuritis tuberkulosis pada dasarnya sama dengan pengobatan tuberkulosis paru dengan kombinasi INH, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol. Terapi lokal berupa torakosintesis. Prognosis tergantung keadaan penyakit dan bakteri yang menginfeksi.

V.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Aliya N Husain, The Lung, Robin SL, Cofran RS, Kumar, VN Collins, T. Pathology basis of disease, 8th ed, International Edition, Saunders Elsevier, USA, 2010. p 731-732 an

2.

Frank W. Tuberculous pleural effusions. Chapter 14. [diunduh tanggal 10 Desember 2011] .Tersedia dari www.ers-education.org/media/.../40928.pdf

3.

Eugene Braun Wald, Mycobacterial disease and Disorder of pleura in Harrison's priciple of internal medicine, 17th ed. USA, Mc-Graw Hill. Ebook

4.

Soe Zay, Shwe Wunna Hla, Moe Soe. A study on tuberculous pleural effusion in International Journal of Collaborative research on internal medicine & public health. Vol 2 No 3. 2010. [diunduh tanggal 14 Desember 2011]. Tersedia dari

www.iomcworld.com/ijcrimph/ 5. Ferrer J. Pleural tuberculosis in European respiratory journal. 1996. [diunduh tanggal 15 Desember 2011] 6. Moore Keith L, Dalley Arthur F, Agur Anne MR, Pleura in Clinically oriented anatomy, 6
th

ed. USA, Lippincott Wikkiams & Wilkins. Ebook.

7.

Fawcett DW. Buku ajar histologi; alih bahasa, Jan Tambayong. Edisi 12. Jakarta: EGC, 2002. p. 629-630

8.

Kurniawan AN. Patologi. Bagian patologi anatomi fakultas kedokteran universitas Indonesia. 1998. p. 178

9.

Edmud SC. Cytology Diagnostic Principles and Clinical correlates : Pleural, Pericardial and peritoneal fluids. 3th ed. Philadelphia. Saunders; 2009. p. 129-140

10.

Sidham Vinod B, Atkinson Barbara F. Cytopthologic diagnosis of serous fluids. Saunders; 2007. p. 85-86

11.

Mukhopadhayay Sanjay, Gal Anthony A. Granulomatous Lung disease an approach to the differential diagnosis. Arch pathol lab med. Vol 134. 2010

12.

Departemen

Kesehatan

republik

Indonesia.

Pedoman

nasional

penanggulangan

tuberkulosis. Edisi 2. 2007. p. 34-35 13. Diacon AH, Van de Wal BW, Wyser C, Smedema JP, Bezuidenhout J,Bolliger CT, et all. Diagnostic tools in tuberculous pleurisy: a direct comparative study in European respiratory journal. 2003
10

14.

Penadero F Rodriguez, Janssen JP, Astoul P. Thoracoscopy : general overview and place in the diagnosis and management of pleural effusion. European respiratory journal. Volume 28. 2006.

11

Vous aimerez peut-être aussi