Vous êtes sur la page 1sur 11

Antibiotik Antimikroba atau antibiotik adalah obat atau zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi,

yang dapat menghambat/ membasmi mikroba lain (jasad renik / bakteri), khususnya mikroba yang merugikan manusia (penyebab infeksi pada manusia). Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Antibiotik merupakan obat daftar G [pemakaiannya berdasarkan resep dari dokter]. Sebelum menggunakan antibiotik, sebaiknya konsultasi dulu dengan dokter.
Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut:

I.

Golongan AminoglikosidaDiantaranya amikasin, dibekasin, gentamisin, kanamisin, neomisin, netilmisin, paromomisin, sisomisin, streptomisin, tobramisin. Golongan Beta-Laktam Diantaranya golongan karbapenem (ertapenem, imipenem, meropenem), golongan sefalosporin (sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim), golongan beta-laktam monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin, amoksisilin). Golongan Glikopeptida Diantaranya vankomisin, teikoplanin, ramoplanin dan dekaplanin. Golongan Poliketida Diantaranya golongan makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin), golongan ketolida (telitromisin), golongan tetrasiklin (doksisiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin). Golongan Polimiksin Diantaranya polimiksin dan kolistin. Golongan Kinolon (fluorokinolon) Diantaranya asam nalidiksat, siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, dan trovafloksasin. Golongan Streptogramin Diantaranya pristinamycin, virginiamycin, mikamycin, dan kinupristin-dalfopristin. Golongan Oksazolidinon Diantaranya linezolid dan AZD2563. Golongan Sulfonamida Diantaranya kotrimoksazol dan trimetoprim. Antibiotika lain yang penting, seperti kloramfenikol, klindamisin dan asam fusidat.

Berdasarkan mekanisme aksinya, yaitu mekanisme bagaimana antibiotik secara selektif meracuni sel bakteri, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut:

Mengganggu sintesa dinding sel, seperti penisilin, sefalosporin, imipenem, vankomisin, basitrasin. Mengganggu sintesa protein bakteri, seperti klindamisin, linkomisin, kloramfenikol, makrolida, tetrasiklin, gentamisin. Menghambat sintesa folat, seperti sulfonamida dan trimetoprim. Mengganggu sintesa DNA, seperti metronidasol, kinolon, novobiosin. Mengganggu sintesa RNA, seperti rifampisin. Mengganggu fungsi membran sel, seperti polimiksin B, gramisidin.

Penggunaan antibiotik harus tepat, mengenai sasaran yang tepat pula. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan ketepatan dalam diagnosa penyakit, sehingga pemilihan obat untuk terapi penyakit dapat sesuai dengan yang diharapkan. Hal tersebut juga akan mengurangi efek samping dalam penggunaan antibiotik, tentu saja diharapkan adanya efek samping obat yang seminimal mungkin. Berikut daftar nama kuman penyebab infeksi dan antibiotic yang dipakai untuk mengobatinya.

II.

Cara Penggunaan Antibiotik 2.1 Prinsip Penggunaan Antibiotik Pengunaan antibiotik sangat spesifik tergantung pada bakteri yang menginfeksi. Beberapa

Hal yang harus diperhatikan dalam pengunaan antibiotik, antara lain: 1. Antibiotik harus digunakan dalam jangka waktu tertentu ( biasanya antara 5-7 hari, tergantung bakteri apa yang menginfeksi, pada infeksi tertentu misalnya Tuberculosis sampai

3-6 bulan) 2. Antibiotik harus diminum secara teratur sesuai dengan aturan pakai yang tertulis pada resep. 3. Antibiotik harus diminum sampai habis atau sampai jangka waktu yang tertulis pada resep meskipun pasien sudah sehat. 3. Pada anak-anak sering diberikan antibiotik dalam bentuk sirup atau sirup kering. Antibiotik dalam bentuk sirup kering hanya bertahan sampai satu minggu, jika telah habis waktu pengobatanya segera dibuang dan harap tidak disimpan meskipun tanggal pada botol menunjukkan belum expired. 4. Jangan biasakan minum antibiotik jika memang belum dipastikan anda mengalami infeksi. Berikut ini adalah prinsip-prinsip penggunaan antibiotik yang perlu diperhatikan, :

1. Penegakan diagnosis infeksi perlu dibedakan antara infeksi bakterial dan infeksi viral. Selain itu juga perlu dicari tahu dari mana infeksi bersumber. Misalnya pada pneumonia bakterial, etiologi terseringnya adalah Streptococcus pneumoniae.

2. Dalam setiap kasus infeksi berat, apabila memungkinkan lakukan pengambilan spesimen (seperti darah, sputum, pus, urin, atau usapan/swab) untuk diperiksa di laboratorium. Pemeriksaan yang dilakukan di sini antara lain kultur bakteri, sensitivitas antibiotik, pemeriksaan mikroskopis, dan pewarnaan Gram. Namun pada kenyataannya, praktik semacam ini agak jarang dilakukan karena membutuhkan waktu lebih lama untuk memastikan mikroorganisme penyebab dan antibiotik yang paling tepat untuk infeksi tersebut.

3. Selama menunggu hasil kultur, terapi antibiotik empiris sangat penting untuk diberikan kepada pasien yang sakit berat. Kelemahan cara ini adalah dapat mengganggu diagnosis etiologik berikutnya, dan dapat memberi hasil negatif palsu pada identifikasi mikroorganisme infeksius setelah pemberian antibiotik (apabila diperlukan).

4. Pertimbangkan penggunaan antibiotik dalam terapi kasus gastroenteritis atau infeksi kulit, karena kedua jenis infeksi tersebut jarang memerlukan antibiotik.

5. Pemilihan antibiotik harus mempertimbangkan dosis dan cara pemberian obat. a. Mikroorganisme: paling sensitif terhadap antibiotik mana saja. Hal ini dapat diketahui dari uji

sensitivitas, namun dapat diperkirakan berdasarkan spektrum antibiotik atau dugaan klinis apabila sensitivitas atau jenis mikroorganisme belum diketahui.

b. Faktor pasien: umur, ada/tidaknya alergi, fungsi hati, fungsi ginjal, kondisi imunologis, hamil/tidak, dan faktor genetik.

c. Berat/tidaknya infeksi: mempengaruhi jenis obat yang dipilih dan cara pemberiannya. Sebagian antibiotik tidak begitu baik diabsorbsi apabila diberikan peroral, misalnya aminoglikosida. Pada pasien sakit berat, pemberian antibiotik biasanya dilakukan secara parenteral. d. Tempat infeksi: antibiotik seringkali tidak dapat menembus rongga abses dengan baik, karena itu abses biasanya memerlukan drainase di samping terapi antibiotik. Antibiotik tertentu (misalnya aminoglikosida) tidak dapat menembus duramater, sehingga tidak digunakan untuk meningitis. e. Adanya benda asing (misalnya katup prostetik, pecahan kaca) dapat mengurangi respons jaringan terhadap antibiotik.

f. Untuk terapi awal dalam kasus infeksi, antibiotik spektrum luas lebih baik digunakan lebih dahulu, sampai hasil kultur tersedia. Apabila antibiotik spektrum sempit yang digunakan dulul maka basil gram negatif, kokus gram positif, dan fungi yang resisten mulai mendominasi dan terapi selanjutnya menjadi sulit. Setelah hasil kultur diperoleh, barulah digunakan antibiotik spektrum sempit yang spesifik untuk bakteri yang bersangkutan.

g. Ganti antibiotik spektrum luas menjadi antibiotik spektrum sempit setelah terapi berlangsung 3 hari, untuk mencegah penurunan imunitas pejamu.

6. Nilai keberhasilan terapi secara klinis atau secara mikrobiologis (kultur ulang). Antibiotik tertentu dapat menimbulkan keracunan sehubungan dengan kadar yang terlalu tinggi dalam darah, sehingga kadarnya dalam plasma perlu dipantau terus (misalnya gentamisin).

7. a.

Kombinasi Terdapat infeksi infeksi

antibiotik campuran

baru (mixed

diberikan infection), misalnya

apabila: peritonitis.

b. Pada kasus endokarditis karena Enterococcus dan meningitis karena Cryptococcus. c. Untuk mencegah resistensi mikroba terhadap monoterapi, misalnya pada tuberkulosis dan lepra.

d. Apabila sumber infeksi belum diketahui dan terapi antibiotik spektrum luas perlu segera diberikan karena pasien sakit berat, misalnya pada sepsis.

e. Apabila dua antibiotik yang dipergunakan dapat memberi efek sinergisme, misalnya penisilin dan gentamisin untuk terapi endokarditis infektif.

8. Antibiotik dapat digunakan untuk kebutuhan profilaksis (pencegahan infeksi). Antibiotik profilaksis diberikan dalam jangka pendek (24 jam atau kurang), dengan pilihan antibiotik sesuai pengalaman Sebelum klinis. prosedur Indikasi operasi antibiotik usus, profilaksis sendi, antara dan lain:

penggantian

ginekologi.

- Riwayat kontak erat dengan pasien tuberkulosis atau meningitis meningococcal. - Sebelum prosedur ekstraksi gigi pada pasien dengan katup jantung prostetik, untuk mencegah endokarditis infektif.

- Pencegahan infeksi Streptococcus pada pasien dengan penyakit jantung reumatik. 9. Perhatikan pola bakteri penyebab infeksi nosokomial setempat. Bakteri yang sering menyebabkan infeksi nosokomial antara lain MRSA (meticillin-resistant Staphylococcus aureus) dan Pseudomonas sp; namun distribusinya berbeda-beda di berbagai tempat. Terapi untuk infeksi MRSA adalah vankomisin, dan infeksi Pseudomonas dengan golongan penisilin spektrum luas. 2.2 Dosis Dosis antibiotika sangat bervariasi tergantung dari jenis antibiotika tersebut. Sebagai contoh Amoksisilina 500 mg 3 kali sehari 1 tablet sementara Ciprofloksasin 500 mg 2 kali sehari 1 tablet. Pengaturan dosis tersebut dibuat berdasarkan dari hasil penelitian dosis dan efektivitas penggunaan antibiotika pada jenis penyakit, kondisi fisiologis, interaksi obat dll. Anda tidak perlu kuatir karena dokter dan apoteker sangat bisa diharapkan dalam pengaturan dosis ini. Namun untuk memastikan dosis yang tepat maka harus berkonsultasi dengan apoteker di apotek. 2.3 Rute Pemberian Rute pemberian antibiotik bermacam-macam, ada yang melalui oral yaitu sediaannya berupa kapsul, tablet, kaplet, larutan sirup dan sirup kering. Pada kondisi pasien yang lebih serius maka antibiotik diberikan secara intravena. Antibiotik juga ada yang ditargetkan untuk pengobatan secara topikal, bentuk sediaan antibiotic topical adalah krim, lotion, salep, larutan tetes mata, tetes telinga dan tetes hidung. 2.4 Waktu Pemberian Antibiotik Dalam keadaan lambung kosong (belum makan), proses penyerapan obat oleh dinding saluran cerna berlangsung paling cepat. Akibatnya obat lebih cepat masuk peredaran darah untuk mulai bekerja. Jika diinginkan efek cepat, ada baiknya menelannya sebelum makan. Obat yang digunakan sebelum makan misalnya antibiotika kelompok penisilin, cephalosporin, eritromisin, rifampisin dsb. Antibiotika tersebut ditelan pada saat lambung tidak penuh agar kadar obat

tersebut dalam plasma darah bisa setinggi-tingginya. Patokan menelan obat pada saat lambung tidak penuh adalah 1 jam sebelum makan atau 2 jam sesudah makan. Jangka waktu pemakaian antibiotik adalah satu periode yang ditetapkan dokter. Sekalipun sudah merasa sembuh sebelum antibiotik yang diberikan habis, pemakaian antibiotik seharusnya dituntaskan dalam satu periode pengobatan. Bila pemakaian antibiotik terhenti di tengah jalan, maka mungkin tidak seluruh bakteri mati, sehingga menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik tersebut. Hal ini dapat menimbulkan masalah serius bila bakteri yang resisten berkembang sehingga menyebabkan infeksi. ulang. Waspada - Ibu hamil dan menyusui - Bayi/balita - Pasien gagal ginjal - Pasien gagal hati III. Efek Samping Antibiotik Pemakaian antibiotik, selain dapat menghentikan infeksi bakteri, juga memiliki efek samping yang merugikan si pengguna, seperti: 1. AAD (Antibiotic Associated Diarrhea) atau disebut juga diare akibat antibiotic. Selain itu juga menyebabkan gangguan pencernaan perut lainnya seperti mual, muntah atau mulas. Gejala ini merupakan efek samping yang paling sering terjadi akibat penggunaan AB dan juga menimbulkan gejala lainnya, yaitu dehidrasi. Apabila pemakaian ABnya berlebihan dan tidak pada tempatnya dapat mengganggu keseimbangan bakteri didalam pencernaan, karena AB membunuh bakteri yang bermanfaat bagi pencernaan, sehingga memberi kesempatan bagi bakteri jahat untuk berkembang biak. Sehingga tempat yang tadinya dihuni oleh bakteri baik digantikan oleh bakteri jahat. Kondisi ini juga disebut sebagai superinfection. 1. Demam (drug fever). Antibiotik yang dapat menimbulkan demam bactrim, septrim, sefalosporin & eritromisin.
2. Gangguan darah. Beberapa antibiotik dapat mengganggu sumsum tulang, salah satunya kloramfenikol. 3. Kelainan hati. Antibiotik yang paling sering menimbulkan efek ini adalah obat TB seperti INH, rifampisin dan PZA (pirazinamid). 4. Gangguan fungsi ginjal. Golongan antibiotic yang bisa menimbulkan efek ini adalah aminoglycoside (garamycine, gentamycin intravena), Imipenem/Meropenem dan golongan Ciprofloxacin. Bagi penderita penyakit ginjal, harus hati-hati mengkonsumsi Antibiotik. 5. Pada wanita, ada beberapa jenis antibiotik yang dapat menyebabkan pil KB menjadi kurang efektif. Jadi sebaiknya menggunakan metode KB lainnya selama menggunakan Aantibiotika. Selain itu, antibiotika juga dapat mencapai fetus dan

menimbulkan efek samping. Karena itu, sangat penting untuk memberitahu dokter anda apabila anda sedang hamil atau menyusui. 2. Reaksi Alergi Mulai dari yang ringan seperti ruam, gatal sampai dengan yang berat seperti pembengkakan bibir/kelopak mata dan gangguan nafas. Apabila anda memiliki alergi terhadap antibiotik dimasa lalu, beritahu dokter anda. 3. Gangguan serius dan mengancam jiwa Disfungsi atau kerusakan hati, tremor, penurunan sel darah putih, kerusakan otak atau ginjal, tendon pecah, koma, aritmia jantung, sindrom Steven Johnson dan bahkan kematian 4. Resistensi Salah satu perhatian terdepan dalam pengobatan modern adalah terjadinya resistensi antibiotik. Bakteri dapat mengembangkan resistensi terhadap antibiotik, misalnya bakteri yang awalnya sensitif terhadap antibiotik, kemudian menjadi resisten. Resistensi ini menghasilkan perubahan bentuk pada gen bakteri yang disebabkan oleh dua proses genetik dalam bakteri: a. Mutasi dan seleksi (atau evolusi vertikal). Evolusi vertikal didorong oleh prinsip seleksi alam. Mutasi spontan pada kromosom bakteri memberikan resistensi terhadap satu populasi bakteri. Pada lingkungan tertentu antibiotika yang tidak termutasi (non-mutan) mati, sedangkan antibiotika yang termutasi (mutan) menjadi resisten yang kemudian tumbuh dan berkembang biak. b. Perubahan gen antar strain dan spesies (atau evolusi horisontal). Mengingat kemungkinan efek samping, termasuk reaksi alergi dan bahaya resisten, Dr.Hudyono memberikan sejumlah saran sebelum mengonsumsi antibiotika.

1. Diagnosa dengan Cermat. Konsumsi antibiotika sesuai dengan yang diresepkan oleh dokter, baik untuk dosis maupun lamanya. 2. Konsumsi antibiotik sesuai dengan penyebabnya (virus atau bakteri)

3. Sertakan pula informasi kepada dokter jika Anda memiliki riwayat alergi terhadap antibiotika. 4. Jangan berinisiatif menggunakan antibiotika atas keinginan sendiri karena penyakit yang diderita saat ini belum tentu sama dengan penyakit sebelumnya. 5. Jangan memberikan antibiotika kepada anggota keluarga lain meski kasusnya hampir sama. Antibiotika itu belum tentu cocok bagi mereka. Apalagi kalau kemudian anggota keluarga tersebut memiliki alergi yang bisa membahayakan diri mereka.

6. Tidak meminta antibiotika kepada dokter. Ingat, antibiotika digunakan untuk infeksi bakteri dan bukan infeksi virus. Jadi, kalau sakit flu yang disebabkan oleh virus, tidak perlu antibiotika. 7. Ubah pola berpikir bahwa penyakit apa pun bila tidak diberi antibiotika tidak bakal sembuh. Yang benar adalah, antibiotika digunakan sesuai dengan bakteri yang menginfeksinya 8. Disiplin dalam penggunaan antibiotik (sesuai dengan yang disarankan oleh dokter / sesuai resep. IV. Interaksi Obat

Berdasarkan jenis atau bentuknya interaksi obat diklasifikasikan atas: 1. Interaksi secara kimia / farmasetis 2. Interaksi secara farmakokinetik 3. Interaksi secara fisiologi 4. Interaksi secara farmakodinamik Interaksi secara kimia / farmasetis terjadi apabila secara fisik atau kimia suatu obat inkompatibel dengan obat lainnya. Pencampuran obat yang inkompatibel akan mengkibatkn inaktivasi obat. Interaksi ini sering terjadi pada cairan infus yang mencampurkan berbagai macam obat . Interaksi secara farmakokinetik terjadi apabila suatu obat memepengaruhi absorpsi, distribusi, biotransformasi / metabolisme, atau ekskresi obat lain. Secara fisiologi interaksi terjadi apabila suatu obat merubah aktivitas obat lain pada lokasi yang terpisah dari tempat aksinya. Sedangkan interaksi secara farmakodinamik terjadi apabila suatu obat mempengaruhi aktivitas obat lain pada atau dekat sisi reseptornya. Pada kenyataanya banyak obat yang berinteraksi terjadi tidak hanya dengan satu mekanisme tetapi melibatkan dua atau lebih mekanisme. Akan tetapi secara umum mekanisme interaksi obat dalam tubuh dapat dijelaskan atas dua mekanisme utama, yaitu interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik. Interaksi obat paling tidak melibatkan 2 jenis obat,

Obat obyek, yakni obat yang aksinya atau efeknya dipengaruhi atau diubah oleh obat lain. Obat-obat yang kemungkinan besar menjadi obyek interaksi atau efeknya dipengaruhi oleh obat lain, umumnya adalah obat-obat yang memenuhi ciri:

Obat-obat di mana perubahan sedikit saja terhadap dosis (kadar obat) sudah akan menyebabkan perubahan besar pada efek klinik yang timbul. Secara farmakologi obat-obat seperti ini sering dikatakan sebagai obat-obat dengan kurva dosis respons yang tajam (curam; steep dose response curve).Perubahan, misalnya dalam hal ini pengurangan kadar sedikit saja sudah dapat mengurangi manfaat klinik (clinical efficacy) dari obat. Obat-obat dengan rasio toksis terapik yang rendah (low toxic therapeutic ratio), artinya antara dosis toksik dan dosis terapetik tersebut perbandinganya (atau perbedaanya) tidak besar. Kenaikan sedikit saja dosis (kadar) obat sudah menyebabkan terjadinya efek toksis.

Obat presipitan (precipitan drug), yakni obat yang mempengaruhi atau mengubah aksi atau efek obat lain. Untuk dapat mempengaruhi aksi/efek obat lain, maka obat presipitan umumnya adalah obat-obat dengan ciri sebagai berikut: Obat-obat dengan ikatan protein yang kuat, oleh karena dengan demikian akan menggusur ikatan-ikatan yang protein obat lain yang lebih lemah. Obat-obat yang tergusur ini (displaced) kemudian kadar bebasnya dalam darah akan meningkat dengan segala konsekuensinya, terutama meningkatnya efek toksik. Obat-obat yang masuk di sini misalnya aspirin, fenilbutazon, sulfa dan lain lain. 1. Obat-obat dengan kemampuan menghambat (inhibitor) atau merangsang (inducer) enzim-enzim yang memetabolisir obat dalam hati. Obat-obat yang punya sifat sebagai perangsang enzim (enzyme inducer) misalnya rifampisin, karbamasepin, fenitoin, fenobarbital dan lain-lain akan mempercepat eliminasi (metabolisme) obat-obat yang lain sehingga kadar dalam darah lebih cepat hilang. Sedangkan obat-obat yang dapat menghambat metabolisme (enzyme inhibator) termasuk kloramfenikol, fenilbutason, alopurinol, simetidin dan lain-lain,akan meningkatkan kadar obat obyek sehingga terjadi efek toksik. 2. Object drug biasanya bersifat mempunyai dosis toksik yang letaknya dekat dosis terapi (indeks terapi sempit). Contoh : gentamisin. 3. Salah satu ialah peristiwa interaksi antara probenesid dengan penisilin, di mana probenesid akan menghambat sekresi penisilin di tubuli ginjal, sehingga akan memperlambat ekskresi penisilin dan mempertahankan penisilin lebih lama dalam tubuh. 4. karbamasepin dan lain-lain akan mempercepat eliminasi (metabolisme) obat-obat yang lain kadar dalam darah lebih cepat hilang.

5. Obat-obat yang dapat menghambat metabolisme (enzyme kloramfenikol

inhibator) termasuk

Tabel 7. Interaksi yang terjadi antara obat Antibiotika dengan makanan(6) secara farmakokinetik obat golongan cefalosforin cefalosforin (cefprozil, cefpodoxime proxeti) sangat kecil Dairy product efeknya lincomycin terjadi penurunan tingkat pada level serum 2 sampai 3 kali jika dikonsumsi setelah makan. Tetapi klindamisin tidak terlalu berefek. clindamycin Siklamat juga dapat menurunkan absorpsi dari Dairy product linkomisin diet serat dapat menyebabkan sedikit penurunan amoxicillin Makanan berserat absopsi dari amoxicillin. Adanya makanan dapat memperlambat dan Rifampisin mengurangi absorbsi dari rifampisin makanan (mekanismenya belum jelas) Antibiotik sebaiknya ditelan pada saat makan makanan yang berlemak seperti

Alpukat, Daging sapi, Mentega, Kue, Susu, Ayam, Kentang goreng dll. Susu mempunyai sifat dapat menghambat absorpsi zat-zat aktif tertentu terutama antibiotika. Jika obat kurang diabsorbsi, berarti daya khasiat atau kemanjurannya menurun. Penyembuhan

mungkin tidak akan tercapai. Jika ingin minum susu, tunggu sekitar dua jam setelah atau sebelum minum antibiotika. III. IV. Cara Penyimpanan Cara Penyimpanan

Cara penyimpanan antibiotika sebaiknya disimpan dilemari yang tidak terjangkau dari anak dan tidak terkena sinar matahari langsung. Anak-anak bisa menganggap botol/tablet antibiotika sebagai mainan / snack yang dapat berbahaya jika mereka meminumnya. Disamping itu sinar matahari yang memancarkan gelombang ultraviolet dapat menyebabkan terurainya obat sehingga kadar obat menjadi berkurang selain panas matahari juga dapat merusak formulasi dan kemasan obat tersebut.Sirup kering adalah salah satu contoh sediaan yang memerlukan persiapan khusus. Apoteker di apotek akan mencampur serbuk dan air kedalam botol obat kemudian mengocoknya hingga tercampur merata. Hal penting yang harus anda perhatikan bahwa sirup kering hanya mampu bertahan 2 minggu saja. Ada kemungkinan jika sirup tersebut disimpan dalam lemari pendingin akan menambah waktu simpan anda, Namun waktu simpan ini tidak bisa dibuktikan sebelum ada penelitian ilmiah. Simpan antibiotic cair di lemari es.

Vous aimerez peut-être aussi