Vous êtes sur la page 1sur 14

SEPSIS DASAR PATOGENESIS DAN PEMBERIAN OBAT ANTIMIKROBIA

Suharto
PENDAHULUAN Sepsis adalah sindrom klinis yang dicetuskan oleh infeksi; ditandai dengan sejumlah gejala klinis meliputi demam atau hipotermia, leukositosis atau lekopenia, takhikardia dan tidakipnea. Sepsis sampai saat ini menjadi masalah baik di negara berkembang maupun negara maju, baik dari segi morbiditas, mortalitas, maupun ekonomi. Pemanfaatan kemajuan ilmu kedokteran untuk pengelolaan sepsis dan syok septik berupa dipakainya peralatan monitoring invasif, saranadiagnostik yang lebih canggih, obat vasopresor dan inotropis yang lebih baik serta antibiotik yang lebih kuat memang dapat menekan angka kematian, namun diikuti dengan peningkatan biaya yang sangat besar untuk persatuan nyawa yang diselamatkan. Tingginya angka kematian dan konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan mengharuskan kita mengubah paradigma pengelolaan sepsis; dari tindakan yang baru dikerjakan setelah sepsis dan komplikasinya terjadi; ke arah tindakan penanganan infeksi sebelum sepsis dan komplikasinya terjadi. Pada naskah ini akan di ulas patogenesis-patofisiologi infeksisepsis, penanganan klinis serta pemberian terapi antimikrobial yang tepat. DEFINISI Terdapat beberapa istilah yang erat kaitannya dengan infeksi serta sepsis, Inflamasi adalah respons lokal yang dipicu oleh jejas atau kerusakan jaringan, bertujuan untuk menghancurkan, melarutkan bahan penyebab, jejas atau pun jaringan yang mengalami jejas, yang ditandai dengan gejala klasik dolor, color, rubor, tumor dan functio laesa. Infeksi adalah ditemukannya organisme pada ternpat yang normal steril, yang biasanya disertai dengan respons inflamasi tubuh. Bakteremia adalah ditemukan bakteri di dalam darah, dibuktikan dengan biakan, dapat bersifat transien. Septisemia (Septicemia) adalah bakteremia disertai dengan gejala klinis yang bermakna. Sepsis adalah infeksi disertai dengan respons sistemik; respons sistemik tersebut ditandai dengan 2 atau lebih tanda: temperatur > 38 atau kurang dari 36 C;

denyut jantung > 90/menit; respirasi > 20 /menit atau PaCO2 < 32 mmHg (< 4.3 kPa), sel darah putih > 12.000/mm3, < 4.000/mm3; atau > 10% bentuk immature/band. Sepsis syndrome adalah gejala klinis infeksi disertai dengan respons sistemik yang menyebabkan gangguan organ berupa: insufisiensi respirasi, disfungsi renal, asidosis atau gejala mental. Septic shock adalah sepsis syndrome disertai dengan hipotensi dan adanya gangguan perfusi. Refractory septic shock adalah syok septik yang berlangsung lebih dari satu jam tanpa respons terhadap intervensi cairan atau obat farmakologis. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) merupakan istilah baru yang banyak dipakai; SIRS adalah manifestasi klinis inflamasi sistemik yang dapat merupakan respons terhadap infeksi (fokal/sistemik), atau noninfeksi (misalnyalukabakar, pankreatitis). Dikatakan sepsis bila SIRS tersebut disebabkan oleh infeksi; fokal maupun sistemik. ETIOLOGI Penyebab sepsis terbesar adalah bakteri gram-negatif (60% sampai 70% kasus), yang berbagai produknya dapat menstimulasi sel-sel imun yang kemudian akan terpacu untuk melepaskan mediator-mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan struktur dominan pada membran luar bakteri gram-negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada hospes yang terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam hospes. Stapilokokus, Pneumokokus, Streptokokus dan organisme gram positif lainnya dapat menyebabkan kasus sepsis pada sejumlah 20 sampai 40% dari keseluruhan kasus. Organ paru merupakan tempat sumber infeksi terbanyak diikuti abdomen dan saluran kemih. Sekitar 20% sampai 30% dari penderita sumber infeksi yang pasti tidak diketahui. Biakan darah yang positif merupakan contoh infeksi yang serius tetapi biakan darah yang positif hanya didapatkan sekitar 30% dari jumlah penderita sepsis. Walaupun demikian secara umum sepsis dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, parasit, atau pun jamur. Respons septik umumnya terjadi apabila mikroorganisme komensal yang berada di salah satu tempat di tubuh penderita (saluran gastrointestinal, kulit, saluran empedu, saluran napas, saluran kencing, dan lain-lain) masuk ke dalam aliran darah, dan menyebar ke seluruh tubuh. Dapat pula sepsis terjadi akibat infeksi lokal di salah satu bagian tubuh oleh suatu mikroorganisme tertentu kemudian masuk ke dalam aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh secara

langsung atau akibat tindakan medis misalnya: pemasangan kateter intravena/ bulibuli, tindakan operasi, pemasangan alat bantu napas, dan lain-lain. Mikroorganisme juga dapat masuk dari luar tubuh ke dalam aliran darah lewat jarum suntik yang tidak steril. Kadang-kadang sumber infeksi tidak ditemukan. PATOGENESIS Terjadinya infeksi dan sepsis erat kaitannya dengan faktor host dan faktor mikrobiologi. 1. Faktor host Infeksi terjadi bila mikroorganisme dapat melewati lapisan-lapisan pertahanan tubuh/barrier. Barrier pertama berupa pertahanan mekanis/kimiawi; misalnya kulit atau mukosa yang utuh, sekresi tubuh yang bersifat bakterisidal atau bakteristatik, pergerakan silia, refleks batuk dan sebagainya. Lapisan kedua pertahanan tubuh adalah sel-sel fagosit yang umumnya bersifat nonspesifik; yang akan memusnahkan setiap invasi. Lapisan pertahanan tubuh ketiga adalah yang bersifat spesifik terhadap antigen-bahan asing tertentu. Gangguan pada barrier pertama, kedua atau ketiga atau kombinasi memudahkan terjadinya infeksi. Secara umum faktor host yang berperan dalam memudahkan timbulnya sepsis pada infeksi adalah: penyakit dasar, status gizi, status metabolik pasien; adanya infeksi fokal sebelumnya, pemakaian peralatan invasif pada lingkungan rumah sakit (kateter urine, vena sentral), penekanan imunitas tubuh akibat pemberian steroid, kemoterapi, radiasi. 2. Faktor mikrobiologi Faktor mikrobiologi penting perannya sebagai pencetus segala perubahan patogenesis dan patofisiologi yang terjadi, dan juga terkait dengan pemilihan obat antibiotika yang sesuai. Telah diketahui bahwa kemungkinan terjadinya syok septik pada infeksi oleh mikroorganisme-mikroorganisme tidak sama. Pada era pra-antibiotik, syok septik tersering karena: Streptococcus pneumonia; Streptococcus grup A, Staphylococcus aureus, Haemophylus influenza, Neisseria meningitidis, Salmonella spp. Namun akhir-akhir ini organisme gram-negatif merupakan patogen utama penyebab bakteremia.

Organisme gram positif dan jamur sama kemungkinannya dengan organisme gram-negatif yang mengandung endotoksin dalam menyebabkan sepsis, di mana mereka dapat memulai rangkaian patogenesis sepsis. Proses dimulai dengan proliferasi organisme pada tempat masuknya infeksi. Organisme dapat menginvasi pembuluh darah secara langsung (menyebabkan biakan darah positif) atau berproliferasi secara lokal dan melepaskan berbagai macam substansi (produk) ke dalam aliran darah. Substansi-substansi ini termasuk komponen dari mikroorganisme (antigen techoid acid, endotoksin, dan lain-lain) dan eksotoksin yang disintesisnya, yang akan merangsang pelepasan mediator endogen sepsis dari sel monosit atau makrofag, sel endotel, neutrofil, dan lain-lain. Berbagai proses terjadi setelah tubuh mendeteksi adanya invasi mikroorganisme. Bagian dari mikroorganisme yang memberi isyarat tubuh bahwa mikroorganisme telah menyerang adalah LPS/endotoksin kuman gram-negatif. Peptidoglycan dan lipotechoic acid bakteri gram positif, bahan-bahan polisakarida tertentu. serta enzim ekstraseluler dan toksin tertentu juga dapat memicu respons yang sama seperti LPS. CD 14, baik yang berada pada permukaan sel atau pun yang bebas, merupakan reseptor yang memfalisilitasi respons terhadap berbagai stimulus. Mekanisme lain yang dapat mengenal molekul mikroba adalah komplemen (melalui alternative pathways), mannose binding protein, dan C-reactiueprotein. Respons tubuh setelah invasi mikroba merupakan hasil interaksi yang kompleks antara microbial signal, leukosit, mediator humoral dan endotel vaskuler. Cytokine pada reaksi inflamasi mengamplifikasi dan mendiversifikasi respons. Cytokine dapat berfungsi sebagai endocrin, paracrine, autocrine. TNF-a menstimulasi leukosit dan endotel vaskuler melepaskan cytokine-cytokine lain (selain TNF-a sendiri), mengekspresi cell surface adhesion molecule dan meningkatkan turn over arachidonic acid. Pada tingkat lokal, dengan adanya proses tersebut; infeksi diharapkan dapat terlokalisasi di tempat tersebut dengan terbentuknya trombus lokal; sehingga invasi kuman dapat dicegah. Dan dengan mobilisasi sel darah putih, makrofag, maka infeksi dapat diatasi. Meskipun TNF-a merupakan mediator utama, ia hanya merupakan salah satu dari sekian banyak cytokine yang terlibat dalam sepsis. IL-1/3 misalnya, yang mempunyai aktivitas mirip TNF-a, tampaknya juga mempunyai fungsi pentingpada proses sepsis. TNF-a, IL-1/3, Interferon y, IL-8 mungkin bekerja sinergis, bersama dengan cytokine tambahan lain. Dengan berlanjutnya sepsis, campuran cytokine dan

mediator menjadi begitu kompleks. Pada syok septik ditemukan 30 bahanp?-o- dan anti-inflammatory molecul dengan kadar meningkat di atas normal. Arachidonic acid, yang dibebaskan dari fosfolipid oleh phospholipase A2 akan diubah dalam cyclooxigenase pathway menjadi prostaglandin dan thromboxane. Prostaglandin E2, dan prostacyclin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sedangkan thromboxane menyebabkan vasokonstriksi dan memacu agregasi trombosit. Leukotriene juga merupakan mediator yang kuat pada iskemia dan syok. Bahan fosfolipid yang lain adalah PAF yang dapat menyebabkan agregasi leukosit serta jejas jaringan. Komplemen C5a dan produk lain hasil aktivasi komplemen akan meningkatkan aktivitas reaksi neutrofil misalnya kemotaksis, agregasi, degranulasi, dan produksi oxigen radical. C5a terbukti akan menginduksi terjadinya pulmonary vasoconstriction, neutropenia, dan kebocoran vaskular karena kerusakan endotel. Banyak alat tubuh mengalami kerusakan akibat sepsis. Mekanisme yang mendasari sangat mungkin adalah terjadinya vascular endothelial injury yang sangat luas, di samping ekstravasasi cairan dan mikrotrombi yang akan menurunkan utilisasi oksigen dan bahan lain oleh jaringan yang bersangkutan. Mediator-mediator yang dibebaskan oleh leukosit, platelet-leukocyte-fibrin trombus berperan pada peristiwa ini, tetapi endotel vaskuler sendiri tampaknya juga berperan aktif. Stimulus oleh TNF-a pada sel endotel vaskuler akan menyebabkan diproduksi dan dilepaskannya bahan cytokine, molekul prokoagulan, PAF, endothelium derived relaxing factor (nitric oxide), serta mediator lain. Juga, regulated cell adhesion molecule memudahkan terjadinya aderensi leukosit pada sel endotel. Respons tersebut, selain akan lebih menarik banyak fagosit ke tempat radang dan mengaktifkan berbagai bahan, aktivasi endotel juga akan menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler, trombosis mikrovaskuler, DIG dan hipotensi. Integritas kapiler akan rusak oleh pengaruh enzim neutrofil (misalnya elastase), dan bahan metabolit toksik yang lain, sehingga timbul perdarahan lokal. Sessler dkk 1995 menyatakan circulatory intercellular adhesion molecule-1 (cICAM -1) terbukti meningkat pada penderita sepsis dewasa; dan kenaikan tersebut berkorelasi dengan intensitas sepsis dan beratnya syok, demikian juga kemudian dengan kegagalan organ dan outcome penyakit. Pada Gambar 1 akan dapat dilihat awal terjadinya sepsis sampai terjadi kerusakan jaringan, di mana ICAM memegang peranan penting.

Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa sistem koagulasi berperan penting dalam patofisiologi mengedepan dalam fisiologi sepsis. Ketidakseimbangan mekanisme hemostatik yang termanifestasi sebagai mikrovaskuler trombus dan subclinical DIG yang bila dikombinasi dengan keradangan; berperan pada MOF dan kematian. Peristiwa dini pada kaskade sepsis, di-trigger oleh respons imun tubuh, mengakibatkan kerusakan endotel vaskuler. Terpaparnya struktur subendotel menyebabkan terlepasnya enzim proteolitik. Sel endotel melepas tissue factor (TF) mentrigger kaskade koagulasi (konversi faktor pembekuan VII menjadi Vila), dan mempercepat produksi trombin. T F merupakan mediator kunci antara sistem imun dan koagulasi, dan merupakan aktivator utama koagulasi pada sepsis. Kadar plasma endogenous hemostasis modulator, misalnya Protein C, Protein S dan antitrombin III (AT), menurun akibat consumtive coagulopathy berlebihan pada sepsis. Lebih jauh, peran normal trombomodulin dan endothelial protein C receptor (EPCK) untuk mengaktifkan Protein C terganggu. Disfungsi sistem koagulasi demikian menghasilkan procoagulant state yang memungkinkan kerusakan endotel lebih lanjut. Secara bersamaan, kerusakan awal vaskuler akan berakibat aktivasi neurofil, neutrophilendothelial cell adhesion dan terlepasnya inflammatory cytokine. Pada jaringan yang telah cenderung mengalami disfungsi uptidake oksigen dan metabolisme, jejas vaskuler akan mengakibatkan hipoksia yang lebih berat melalui hipoperfusi jaringan. Pada kebanyakan pasien sepsis, fibrinolisis mengalami supresi meskipun adanya aktivasi sistem koagulasi terus berlangsung. Dua inhibitor utama fibrinolisis, plasminogen activator inhibitor (PAI-1) dan thrombin activateable fibrinolysis nhibitor (TAFI) terpengaruh oleh adanya proses inflamasi dan koagulasi pada sepsis. Endotoksin kuman gram-negatif meningkatkan aktivitas PAI-1, yang berakibat penurunan tissue plasminogen activator (tPA) activity. Demikian juga kadar protein C, Protein S dan AT menurun. Protein C sudah turun 18 jam sebelum diagnosis klinis sepsis ditegakkan. Berkurangnya AT dan Protein C berkorelasi dengan beratnya sakit, sering dipakai sebagai petanda prognosis buruk. Dengan berlanjutnya sepsis, maka gejala koagulopati menjadi muncul. Hampir 100% pasien sepsis berat dijumpai peningkatan kadar D-dimer; mengisyaratkan terjadinya aktivasi sistem koagulasi meski parameter koagulasi lain dalam batas normal. Pada pasien septik syok, koagulopati berlanjut menjadi DIG, meliputi trombositopenia, defisiensi Protein C,

perpanjangaii PT dan PTT memanjang; peningkatan fibrin monomer, menurunnya fibrinogen. dan meningkatnya kadar D-dimer. PENATALAKSANAAN Dasar pengelolaan sepsis adalah sebagai berikut. 1. Menghilangkan fokus infeksi, misalnya pada abses dengan tindakan pembedahan. 2. Menghilangkan/menghindari faktor pencetus; misalnya: tindakan kateterisasi urine. 3. Membunuh kuman penyebab. dengan pemberian antimikrobial yang tepat. 4. Meminimalkan efek interaksi host-mikroba; misalnya dengan bahan yang bekerja terhadap mediator sepsis. 5. Meningkatkan pertahanan host; dengan memperbaiki penyakit dasar, menghilangkan penyebab keadaan immunocompromized. 6. Mengobati komplikasi dari infeksi-sepsis. Secara patogenesis, sepsis merupakan rangkaian (kaskade) proses reaksi sitokin yang selalu berjalan (dinamis), di mana kadar sitokin (mediator) yang berperan (pro-inflamasi >< anti-inflamasi) selalu berubah-ubah setiap saat tergantung pada kondisi sistem imun host dan sifat kuman patogen penyebab infeksi serta peran mediator. Nasib penderita ditentukan oleh keseimbangan proses yang disebabkan kedua kelompok sitokin tersebut. Pada penderita dengan risiko infeksi tinggi misalnya penderita immunocompromise (diabetes melitus, sirosis hati, gagal ginjal kronis, cangkok organ), penderita immunodeficiency (penderita HIV/ AIDS), perlu dipikirkan terapi prophylactic antibiotics ditambah imunomodulator atau imunoglobulin. Pada saat infeksi terjadi dan berkembang perlu diterapi dengan antibiotika dengan/tanpa antitoksin, dan perlu dipertimbangkan pemberian antikoagulan (coagulant inhibitor) dan antioksidan, sitokin antiinflamasi (anti-inflammatory cytokines) atau sitokin antagonis (inflammatory cytokines antagonist) pada saat proses bertambah berat (sepsis dan syok septik); terapi pendukung cairan-elektrolit perlu diberikan sejak dini disertai O2 pada fase lanjut. Karena surnber sepsis adalah infeksi, maka sebagai klinisi dalam pengelolaan sepsis harus mengetahui sumber infeksi. Manifestasi Minis sepsis biasanya berupa demam, namun kadang-kadang justru hipotermi. Evaluasi awal meliputi anamnesis

yang saksama, terutama untuk mengetahui apakah ada penyakit dasar, apakah ada tindakan sebelumnya misalnya pembedahan, khemoterapi, atau transplantasi, ataukah ada trauma. Apabila ada penyakit dasar, perlu dievaluasi derajat keparahan penyakit dasar tersebut serta pengobatan yang telah dilakukan terhadap penyakit dasar tersebut. Riwayat infeksi dan pengobatan yang telah diberikan sebelumnya harus menjadi perhatian dalam perencanaan terapi. Adanya tanda- gejala misalnya nyeri, merah, sakit kepala, juga harus diperhatikan sebagai sumber atau luasnya penyakit. Riwayat makanan, perjalanan, paparan atau kontak dengan bahan infeksi atau lingkungan, sangat penting dalam identifikasi penyebab sepsis. Juga dengan diketahuinya komplikasi pengobatan yang timbul sebelumnya, misalnya reaksi obat, akan bermanfaat untuk memilih terapi yang tepat. Suatu infeksi sistemik, misalnya bakteremia atau sepsis dengan demam atau manifestasi sistemik yang lain, umumnya mempunyai sumber fokal. Namun kadangkadang sejumlah bakteremia tidak jelas sumber infeksinya; sehingga timbul istilah bakteremia primer. Pada penderita immunocompromised, sering sekali yang menjadi sumber infeksi adalah saluran gastrointestinal. Gejala sepsis dapat muncul dari suatu fokus infeksi, sebelum bekteremia timbul, dan karenanya bila darah dibiakkan pada fase awal proses infeksi, maka bakteremia tidak dapat didokumentasi. Pemberian antimikrobial terapi secara paradoksal dapat menimbulkan eksaserbasi demam, sekunder akibat bakteriolitik kuman, yang diikuti dengan terlepasnya endotoksin atau bahan pirogen. Pengelolaan pasien tidak hanya mengintegrasikan riwayat sakit dengan hasil pemeriksaan Minis, namun juga harus berusaha mencari kumpulan tanda-tanda infeksi, meski tidak jelas keberadaan infeksi lokal. Studi mikrobiologis tidak hanya biakan darah, bahan sekret, namun juga evaluasi semua tempat yang potensial menjadi sumber infeksi. Pemeriksaan fisik dilakukan secara saksama. Penderita imunosupresif atau neutropeni mungkin mempunyai respons inflamasi yang kurang, dan gejala tipikal berupa: indurasi, fluktuasi, panas setempat, limfadenopati reaktif, eksudasi mungkin tidak ada, misalnya, meski ada UTI, pada pasien mungkin tidak ada gejala klasik atau piuria. Penderita IM juga mungkin tidak mempunyai refleks batuk, dan tidak menghasilkan sputum atau eksudat lain. Pada penderita IM dengan meningitis, maka tanda kaku leher sering tidak ada; namun 2 gejala masih ada: sakit kepala dan gangguan status mental.

Status pertahanan tubuh, dan kemampuan mempertahankan kemampuan organ vital merupakan faktor yang menentukan hasil akhir suatu infeksi. Tabel 1 menunjukkan faktor-faktor penting yang memengaruhi prognosis. Di samping penyakit dasar dan komplikasi, beberapa faktor lain mempunyai pengaruh bermakna: adanya bakteremia polimikrobial mempunyai prognosis buruk. Faktor lain adalah tidak jelas/tidak adanya fokus infeksi yang tidak terlihat, umur pasien sangat muda atau pun tua. Pemilihan obat antimikrobial dan cepatnya pemberian juga memengaruhi prognosis. Tingginya kadar Detectable cytokine yang terus-menerus dalam serum (misalnya TNF-alpha, LPS) juga dikaitkan dengan menurunnya survival pada pasien bakteremia gram-negatif. Pemeriksaan laboratorium juga tergantung pada pemeriksaan fisik dan manifestasi klinis umum. Karena sindrom sepsis merupakan penyakit sistemik, maka biakan darah dari 2 tempat berbeda perlu dikerjakan untuk deteksi adanya bakteremia. Selain mengambil bahan dari setiap tempat yang potensial sebagai sumber infeksi; maka pada penderita dengan perubahan mental status atau tanda spesifik SSP hendaknya dilakukan pungsi lumbal, asal tidak ada peningkatan tekanan intrakranial atau ada lesi fokal supratentorial. Tabel 1. Faktor yang berpengaruh pada Outcome infeksi bakteri sistemik Keadaan klinis Penyakit dasar Neutropenia Hipogamaglobulinemia Diabetes melitus Alkoholism +/- sirosis Gagal ginjal Respiratory failure Komplikasi infeksi yang terjadi saat awal pengobatan (syok, anuria) Terapi antimikrobial Derajat berat bakteremia (polimikrobial) Sumber infeksi Interval awal terapi Umur: bayi dan usia lanjut Sumber: Young (1995)

Pada pasien yang sakit berat dan keadaan klinis mundur, perlu pemeriksaan yang lebih lengkap dan terapi empiris antibiotika harus segera dimulai. Terapi

kernudian dapat diubah bila hasil biakan darah telah diketahui. Secara praktis cara terapi empiris ini didasarkah atas anamnesis, intuisi, perkiraan patogen yang paling mungkin. Keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh lebih dininya keadaan infeksi dicurigai, tindakan diagnostik yang tepat, terapi awal antimikrobial yang tepat dan agresif, supportive care yang menyeluruh, memulihkan perubahan predisposisi. Kecurigaan terjadinya sepsis pada infeksi harus diikuti dengan usaha identifikasi cepat organisme penyebab penyakit serta uji suseptibilitas obat antimikrobial. Obat antimikrobial merupakan terapi utama sepsis. Namun usaha perbaikan penyakit dasar/predisposisi juga merupakan hal kritis. Terapi leukemia, misalnya merupakan faktor utama penyembuhan, tidak tergantung pada obat antimikrobial yang dipilih. Dilepasnya kateter intravena atau kateter urine saluran kencing mungkin akan menghilangkan gejala dan kesembuhan infeksi. Telah terbukti bahwa bakteremia yang terjadi sebagai akibat manipulasi saluran kencing akan sembuh meskipun diberi antibiotikayang tidak sesuai dengan kepekaan kuman. Juga terdapat pengalaman dengan usaha mengadakan drainage abses atau menghilangkan fokus infeksi misalnya viscera yang mengalami obstruksi akan sangat memengaruhi penyembuhan. Usaha pemberian antimikrobial terhadap abses yang besar-adalah sia-sia; meskipun fokus-fokus infeksi kecil dapat disterilkan dengan terapi antimikrobial yang agresif. Banyak dilaporkan bahwa pemakaian antimikrobia untuk gram-negatif bakteremia secara bermakna menurunkan angka kematian. Namun sebetulnya banyak faktor berperan di samping introduksi obat antimikrobial yang menghasilkan perbaikan, misalnya lebih agresifnya usaha diagnosis dan memulai terapi, serta perbaikan supportive care. Pemberian obat antimikrobial spektrum luas sebelum hasil biakan diketahui memang membawa risiko resistensi antibiotik di samping toksisitas obat. Oleh karena itu, kadang-kadang pada pasien yang mempunyai daya tahan yang cukup kuat, terapi empiris dapat ditunda karena masih cukup waktu untuk pengambilan sampel dan tes kepekaan (misalnya kasus SEE tanpa payah jantung, atau emboli). Tetapi terapi empiris perlu diberikan segera pada pasien kritis dan akan diubah setelah hasil biakan diketahui. Terapi kombinasi dengan beberapa alasan berikut. 1. Terapi kombinasi akan dapat mencakup banyak diagnosis termasuk gram positif dan negatif, yang secara klinis sukar dibedakan.

2. Polymicrobial infection mungkin terjadi, dengan demikian pemberian dua obat mungkin akan mengatasi infeksi kembar. 3. Pemakaian kombinasi mungkin akan mengatasi timbulnya kuman yang resisten dengan cara menghilangkan subpopulasi kuman yang resisten terhadap salah satu antibiotika yang dipakai. 4. Dua antibiotik mungkin bekerja sinergistik atau aditif, sehingga dapat meningkatkan aktivitas obat. Salah satu protokol terapi adalah pada Tabel 2. Pengobatan yang tepat pada infeksi ditentukan oleh pemilihan antimikroba yang tepat. Dalam situasi klinis, maka pemilihan antimikroba yang tepat ditentukan oleh 3 faktor utama. 1. Identitas mikroorganisme penyebab infeksi harus diketahui, paling tidak sesuai dengan dugaan secara statistik. 2. Terdapat informasi akurat mengenai kepekaan mikroorganisme penyebab terhadap antimikroba. 3. Adanya faktor host yang member kesimpulan obat mana yang paling tepat dapat dipakai (misalnya ada tidaknya riwayat reaksi samping obat, umur, abnormalitas genetik/metabolisme, fungsi organ hati dan ginjal, tempat infeksi). Kebanyakan infeksi pada daya pertahanan tubuh yang normal dapat di atasi dengan antibiotika tunggal. Namun kadang-kadang digunakan kombinasi antibiotika. Kombinasi 2 obat dapat menghasilkan efek aditif, sinergis, namun dapat berefek antagonis. Pemakaian kombinasi yang rasional adalah untuk mencegah timbulnya strain resisten, terdapat infeksi polimikrobial, terapi awal sepsis, mengurangi toksisitas, ada efek sinergisme. Kerugian dari terapi kombinasi adalah: kemungkinan terjadinya antagonis, biaya meningkat, efek samping mungkin lebih bermacammacam. Dalam pemberian antibiotika, pilihan bagaimana cara memberikan sangat menentukan. Oral biasanya dipakai untuk infeksi ringan dan pasien poliklinis; namun tidak semua obat dapat dipakai oral. Evaluasi efisien tidaknya obat ditentukan dengan berbagai cara; namun yang paling penting adalah keadaan klinis. Penentuan kadar obat

memang juga bermanfaat; terutama untuk mencapai dosis terapi yang hendak dicapai; terutama bila klirens obat berjalan cepat. Tabel 2. Rekomendasi pemberian antibiotika untuk terapi awal (presumptive) sepsis No. 1. Community acquired infection pada pasien nonneutropeni (netrofil > 1000/mm3) Dicurigai sebagai sumber: urineary tract sefalosporin generasi 3 atau piperacillin, mezlocillin, azlocillin, ticarcillin atau quinolon; semua +/- aminoglikosida B. Sumber bukan urineary tract: sefalosporin generasi 3 + metronidazole, atau ticarcillin-clavulonat atau ampicillin-sulbactam atau piperacillin-tazobactam; semua +/- aminoglikosida 2. Hospital acquired infection, pasien nonneutropeni: sefalosporin generasi 3 + metronidazole atau ticarcillin-clavulonat atau ampisilin-sulfbactam atau piperacillintazobactam semua + aminoglikosida atau imipenem semua + aminoglikosida 3. Hospital acquired infection, pasien neutropeni ticarcillin-clavulonat, piperacillin-tazobactam semua + aminoglikosida; atau imipenem +/- aminoglikosida atau ceftazidim + metronidazole + aminoglikosida 4. Thermal injury sampai paling sedikit 20% luas permukaan tubuh: ceftriaxzon + aminoglikosida atau vancomycin + antipseudomonal penicilin + aminoglikosida 5. Telah diketahui atau dicurigai resisten terhadap gentamisin: Sebagai aminogiikosida dipakai amikasin 6. Dicurigai infeksi kateter intravena terpasang Tambahkan vancomycin Di atas adalah pilihan pemberian pada terapi awal dan hendaknya diubah atas dasar hasil biakan Sumber: Young (1995)

Pada sepsis, pemakaian antibiotik terdapat pedoman khusus. Antibiotik segera diberikan saat kecurigaan diagnosis sepsis ditegakkan. Sebelum diberikan antibiotik, maka perlu diambil biakan lebih dahulu; namun pemberian antibiotika jangan sampai ditunda hanya karena menunggu pengambilan kultur. Identifikasi tempat masuk kuman atau site of infection dapat dipakai sebagai pedoman pemilihan antibiotik. Karena sepsis baik karena kuman gram-negatif maupun positif sama; maka pilihan pertama bila sumber tidak diketahui adalah obat yang mempunyai cakupan terhadap kuman gram-negatif maupun positif. Setelah hasil biakan masuk, maka pengobatan lebih dapat spesifik. Pada sepsis obat diberikan dengan cara intravena, dipilih yang bakterisidal, dosis maksimal agar secepatnya terdapat konsentrasi yang cukup dalam darah dan jaringan. Kombinasi pada kasus sepsis dipakai bila: 1. Pengobatan awal sampai hasil biakan datang 2. Mengobati patogen yang secara klinis dibuktikan dengan kombinasi sinergis, misalnya pada ps aeroginosa dan enterococcus 3. Pada pasien imunosupresi; terutama bila ada neutropenia. RANGKUMAN Penyakit infeksi dan sepsis masih tetap menjadi masalah bagi negara maju maupun negara berkembang. Pengenalan dini sepsis akan lebih murah dan lebih efektif dalam pengelolaan pasien jika dibanding dengan pengelolaan bila telah timbul komplikasi. Pengetahuan mengenai patogenesis-patofisiologi infeksi dan sepsis sangat membantu dalam penilaian serta pengelolaan sepsis. Sepsis biasanya terjadi berawal dari suatu infeksi fokal, meskipun terdapat juga sepsis tanpa sumber jelas. Usaha tubuh untuk melokalisasi agar infeksi tetap bertahan di satu tempat dilakukan antara lain melalui peran makrofag, sel darah putih serta sitokin. Sitokin ini pulayangbertanggungjawab atas timbulnya syok septik. Pengetahuan mengenai peran koagulasi darah juga memengaruhi pemahaman perjalanan klinis serta alternatif terapi. Dalam pengelolaan pasien kita harus membuat anamnesis yanglengkap.pemeriksaan yang teliti, serta usaha mencari sumber infeksi dengan melakukan pemeriksaan tambahan. Tidak boleh terlewatkan adalah pengenalan organisme penyebab dengan melakukan biakan, baik dari darah maupun dari sumber lain, termasuk sekret infeksi. Penyebab infeksi serta kepekaannya terhadap

antimikrobial sangat penting diketahui. Pengobatan penyakit dasar sangat menentukan keberhasilan terapi antimikroba.

DAFTAR PUSTAKA Bernard GR, 2001. The Pathophysiology and treatment of sepsis: A review of current information, http://www.medscape.com/ Medscape/Respiratoty Care/Treatment Update/2000/ tu05 /public/tu05.html Bone RC, 1991. Gram Negative Sepsis, Background, Clinical Features and Intervention. Chest 100: 802-8. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, Dellinger RP, Fein AM, Knaus WA, Schein RMH, Sibbald WJ, 1992. The ACCP/SCCM consensus conference. Definition for sepsis and Organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in Sepsis. Chest 101:1644-55. Brun-Buisson C, Doyon F, Carlet, 1996. Bacteremia and Severe Sepsis in Adults: A Multicenter Prospective Survey in ICUs and Ward of 24 Hospitals. Am J Resp Crit Care Med 154: 617-24. Frank MO, Mandell GL, 1995. Immunomodulator. Dalam buku: Mandell GL, Bennet JE, Dolin R (editor). Mandell, Douglas and Bennet's Principles and Practice of Infectious Disease 4th edition. Churchill Livingstone New York, p. 450-8.

Hollenberg SM, Parrillo, 1998. Shock. Dalam buku: Fauci AS, Barunwald E, Isselbacher K, Wilson JD, Martin JP, Rasper DL, Hause SL, Longo DL (editor). Harrison's Principles of Internal Medicine 14th edition Vol 1 International edition. New York: ..McGraw-Hill Health Profesion Divison. p.214-22. Janeway CA, Travers P, Walport M, Capra JD, 1999. Immunobiology The immune system in health and disease, 4th edition. London: Current Biology Publication. Isaacs RD, Cornwall J, 1991. Septicaemia in Adult. Medical Progress 18: 1926.

Vous aimerez peut-être aussi