Vous êtes sur la page 1sur 21

SKRIPSI

Oleh : Dhian Satria NIM : 2007-64-022

Program Studi Ilmu Kelautan Jurusan Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon 2012

Bab 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap sudah menjadi kegiatan pemanfaatan utama terhadap suatu daerah perairan (laut) dengan potensi yang ada di dalamnya. Perikanan tangkap dilakukan pada daerah perairan yang telah diketahui dengan baik tingkat potensi sumber dayanya. Kegiatan penangkapan pun dilakukan pada beberapa lokasi dalam suatu area perairan, yang kemudian ditentukan tingkatan prioritas atas lokasi-lokasi tersebut untuk kegiatan peningkapan yang dilakukan. Hal itu pada umumnya lebih ditinjau dari sisi hasil kegiatan penangkapan per lokasi. Potensi suatu perairan akan keberadaan segala organisme di dalamnya, pasti berhubungan dengan karakteristik dari perairan tersebut karena merupakan faktor yang mempengaruhi hidup dan kelangsungan hidup organisme. Karakteristik perairan yang dimaksud antara lain suhu, salinitas, arus, dan sebagainya. Suatu perairan pada umumnya memiliki karakteristik yang dapat dikatakan hampir seragam bila dibandingkan dengan karakteristik perairan lainnya. Hal itu dapat menjelaskan bahwa berbagai spesies organisme khususnya ikan, hidup di seluruh perairan dunia. Sopacua (2005), pada perairan Indonesia khususnya di daerah Maluku, dengan luas wilayah perairan (laut) 658294,69 km2 yang merupakan 92,4 % dari total luas wilayah propinsi, memiliki potensi sumber daya perikanan yang diperkirakan 164160 juta ton per tahun. Estimasi tersebut merupakan hasil kajian Badan Riset Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan LIPI, tahun 2011. Lebih spesifik lagi yaitu perairan pulau Lease, dengan posisi di antara selatan Oma dan Teluk Saparua merupakan salah satu daerah berpotensi sumber daya perikanan tangkap yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai mata pencaharian dan kebutuhan hidup. Menurut informasi oleh seorang pakar yang juga adalah seorang nelayan berpengalaman setempat, daerah perairan sekitar memiliki potensi sumber daya perikanan yang cukup melimpah dengan beragam spesies organisme. Hal itu mereka kemukakan berdasarkan pengalaman bertahun-tahun

bekerja dalam kegiatan perikanan tangkap, dengan hasil tangkapan komersial yang berkualitas baik berdasarkan jenis, ukuran serta dengan jumlah hasil tangkapan yang juga baik. Informasi tersebut mengindikasikan bahwa perairan antara selatan Oma dan Teluk Saparua merupakan daerah perairan dengan kerakteristik sangat baik sebagai daerah potensi sumber daya ikan. Sehingga hal itu berkaitan dengan hasil tangkapan atau potensi yang telah diakui oleh para nelayan sekitar, akan kualitas dan kuantitas hasil tangkapan selama ini. Berdasarkan penjelasan di atas maka perlu diadakan suatu kegiatan pembelajaran khusus terhadap perairan antara selatan Oma dan Teluk Saparua yang berpotensi baik sebagai daerah penangkapan, agar diperoleh suatu informasi

hubungan antara karakteristik perairan dan potensi sumber daya perairan.

1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui karakteristik perairan antara selatan Oma dan Teluk Saparua ditinjau dari parameter suhu, salinitas, densitas, klorofil-a, turbiditas, dan arus. 2. Mengetahui potensi sumber daya perairan antara selatan Oma dan Teluk Saparua ditinjau dari kepadatan ikan dalam kolom perairan. 3. Mengetahui dengan jelas hubungan antara karakteristik perairan dengan potensi sumber daya ikan di perairan antara selatan Oma dan Teluk Saparua.

1.3 Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan penjelasan mengenai karakteristik dengan potensi sumber daya ikan di perairan antara selatan Oma dan Teluk Saparua, serta sedikit penjelasan mengenai hubungan dari karakteristik perairan dengan potensi sumber daya ikan. Sehingga dapat ditentukan secara tidak langsung, faktor pembatas terhadap keberadaan sumber daya ikan di perairan antara selatan Oma dan Teluk Saparua secara khusus.

Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1 Parameter karakteristik perairan yang diteliti: 2.1.1 2.1.2 2.1.3 2.1.4 2.1.5 2.1.6 Suhu Salinitas Densitas Turbiditas Klorofil-a Arus

2.2 Potensi Sumber Daya Ikan

2.3 Hubungan Karakteristik Perairan dengan Potensi Sumber Daya Ikan 2.3.1 2.3.2 2.3.3 2.3.4 2.3.5 2.3.6 Hubungan Suhu dengan Potensi Sumber Daya Ikan Hubungan Salinitas dengan Potensi Sumber Daya Ikan Hubungan Densitas dengan Potensi Sumber Daya Ikan Hubungan Turbiditas dengan Potensi Sumber Daya Ikan Hubungan Klorofil-a dengan Potensi Sumber Daya Ikan Hubungan Arus dengan Potensi Sumber Daya Ikan

2.3 Pengukuran Parameter Karakteristik Perairan 2.3.1 2.3.2 2.3.3 Compact CTD Current Meter Biosonics

Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1 Parameter karakteristik perairan yang diteliti: 2.1.1 Suhu Suhu adalah besaran fisika yang menyatakan banyaknya panas yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama panas adalah sinar matahari (Charnock & Deacon, 1978 dalam Pelu, 2008). Menurut Sidjabat (1973) dalam Pelu (2008), distribusi atau sebaran suhu vertikal sebagai perubahan- perubahan suhu yang terjadi seiring perubahan kedalaman. Suatu perairan yang homogen dan tenang apabila dipanasi oleh matahari, maka distribusi suhu secara vertikal akan menurun eksponensial ke bawah. Sidjabat (1978) dalam Pelu (2008) mengatakan bahwa, suhu air laut terutama lapisan permukaan ditentukan oleh pemanasan matahari yang intensitasnya senantiasa berubah terhadap waktu, sehingga air laut akan konstan dengan perubahan intensitas penyinaran matahari tersebut. Nontji (1987) dalam Pelu (2008) mengemukakan bahwa suhu air di perairan Indonesia umunya berkisar antara 28-30C. Di lokasi yang sering terjadi upwelling seperti di Laut Banda, suhu air permukaannnya bisa turun sekitar 25C. Suhu dekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di lepas pantai. Ilahude (1996) dalam Pelu (2008) mengatakan bahwa suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26-29C. Karena perairan Indonesia dipengaruhi oleh angin musim, maka hal tersebut turut pula mempengaruhi sebaran suhu permukaan laut. Kawasan Barat Indonesia pada musim barat (bulan Desember, Januari, Februari) umumnya memiliki kisaran suhu permukaan laut relatif lebih rendah daripada musim timur (bulan Juni, Juli, Agustus). Di Kawasan Timur Indonesia pada musim barat, suhu permukaan laut berkisar antara 28-29C, dan pada musim timur dengan kisaran suhu permukaan laut antara 26-28C.

2.1.2

Salinitas Darmadi (2010) mengatakan bahwa, salinitas adalah tingkat keasinan

atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Kandungan garam pada sebagian besar danau, sungai, dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan garam sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari 0,5 psu. Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline bila konsentrasinya 30 sampai 50 psu. Lebih dari 50 psu disebut brine. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, aliran sungai. Perairan estuaria atau daerah sekitar kuala dapat mempunyai struktur salinitas yang kompleks, karena selain merupakan pertemuan antara air tawar yang relatif lebih ringan dan air laut yang lebih berat, juga pengadukan air sangat menentukan. Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan di lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen kira-kira setebal 50-70 m atau lebih bergantung intensitas pengadukan. Di perairan dangkal, lapisan homogen ini berlanjut sampai ke dasar. Di lapisan dengan salinitas homogen, suhu juga biasanya homogen. Baru di bawahnya terdapat lapisan pegat (discontinuity layer) dengan gradasi densitas yang tajam yang menghambat percampuran antara lapisan di atas dan di bawahnya. Di bawah lapisan homogen, sebaran salinitas tidak banyak lagi ditentukan oleh angin tetapi oleh pola sirkulasi massa air di lapisan massa air di lapisan dalam. Gerakan massa air ini bisa ditelusuri antara lain dengan mengkaji sifat-sifat sebaran salinitas maksimum dan salinitas minimum dengan metode inti (core layer method). Sutedja (1993) mengatakan bahwa perairan laut Indonesia memiliki nilai salinitas berkisar antara 30-35 psu dan pada dasarnya menunjukkan peningkatan dari Barat ke Timur. Air Samudra dengan salinitas lebih dari 34 psu dijumpai di Laut Banda, Laut Arafura. Nilai salinitas lapisan permukaan perairan Indonesia

bagian Timur umumnya antara 3.5-34.5 psu dan berfluktuasi mengikuti keadaan musim.

2.1.3

Densitas Suhu dan salinitas merupakan karakteristik air laut yang membantu

mengidentifikasi kondisi fisik air serta, karena nilai suhu dan salinitas ditambah tekanan dapat digunakan untuk menentukan nilai densitas air laut (Pickard & Emery, 1990 dalam Pelu, 2008). Densitas bergantung pada suhu (t), salinitas (s), dan tekanan (p), dimana suhu dan salinitas air laut mengontrol densitasnya. Pelu (2008) mengatakan bahwa, densitas merupakan suatu nilai yang esensial untuk proses-proses secara fisik maupun biologi-kimia di lautan. Hal ini dikarenakan pengaruh densitas dalam menentukan stabilitas statik air melalui stratifikasi dan dinamika laut. Distribusi densitas dalam perairan dapat dilihat melalui stratifikasi densitas secara vertikal dalam kolom perairan dan perbedaan secara horisontal disebabkan oleh arus. Distribusi densitas berhubungan dengan karakter arus dan daya tenggelam suatu massa air yang berdensitas tinggi pada lapisan permukaan ke kedalaman tertentu.

2.1.4

Turbiditas Turbiditas merupakan kandungan bahan organik maupun anorganik yang

terdapat di perairan sehingga mempengaruhi proses kehidupan organisme yang ada di perairan tersebut. Turbiditas sering disebut dengan kekeruhan, apabila di dalam air sangat keruh maka kandungan oksigen akan menurun. Hal ini disebabkan intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan sangat terbatas sehingga tumbuhan atau fitoplankton tidak dapat melakukan proses fotosintesis untuk menghasilkan oksigen (Mandala, 2010). Alfiansyah (2011) mengatakan bahwa, masuknya cahaya matahari ke dalam air dipengaruhi juga oleh kekeruhan air. Sedangkan kekeruhan air menggambarkan tentang sifat optik yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam

perairan. Defenisi yang sangat mudah adalah kekeruhan merupakan banayaknya zat yang tersuspensi pada suatu perairan. Hal ini menyebabkan terhalangnya cahaya yang menembus air Beberapa faktor yang menentukan kekeruhan yaitu, (1) benda-benda halus yang disuspensikan (lumpur dan sebagainya); (2) jasad-jasad renik yang merupakan plankton; (3) warna air (yang antara lain disebabkan oleh zat-zat koloid dari organik yang terurai). Faktor-faktor ini dapat menimbulkan warna dalam air dan mempengaruhi tingkat kecerahan dan kekeruhan air.

2.1.5

Klorofil-a Menurut Przelin (1981) dalam Sediadi & Edward (1993), klorofil-a

fitoplankton adalah suatu pigmen aktif dalam sel tumbuhan yangmempunyai peran penting dalam berlangsungnya proses fotosintesis di perairan. Pengukuran kandungan klorofil-a fitoplankton merupakan salah satu pengukuran kesuburan suatu perairan yang dinyatakan dalam bentuk produktivitas primer (Uno, 1982 & 1983 dalam Sediadi & Edward, 1993). Indra (2009) mengatakan bahwa, sebaran dan tingkat konsentrasi klorofil-a berhubungan dengan kondisi oseanografis suatu perairan. Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan. Intensitas cahaya matahari, nutrien, (terutama nitrat, fosfat, dan silikat), dan arus merupakan parameter-parameter fisik-kimia yang mengatur dan mempengaruhi sebaran klorofil-a di suatu perairan. Perbedaan parameter fisikkimia merupakan penyebab bervariasinya produktivitas primer di laut. Umumnya sebaran konsentrasi klorofil-a tinggi di perairan pantai sebagai akibat dari tingginya suplai nutrien yang berasal dari daratan melalui aliran sungai dan run off bahan organik secara langsung. Namun, tingginya konsentrasi klorofil-a pada daerah perairan yang jauh dari pantai pun dapat ditemukan. Hal itu disebabkan terjadinya proses upwelling yang mengangkut nutrien dari lapisan dalam ke lapisan sebelah atas.

2.1.6

Arus Arus adalah pergerakan massa air secara horizontal yang disebabkan oleh

angin yang bertiup terus menerusdipermukaan dan densitas air. (Sidjabat, 1976 dalam Putra, 2010). Arus juga merupakan gerak mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin atau karena perbedaan dalam densitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh gerakan bergelombang panjang (Nontji, 1987) Radiasi matahari merupakan faktor utama yang menyebabkan timbulnya arus laut, karena adanya pemanasan yang berbeda dari bagian muka bumi, udara di atas muka bumi mengalami tekanan yang berbeda-beda pula. Akibatnya angin berhembus dari tekanan tinggi ke daerah yg tekanan rendah. Kalau angin berhembus di atas laut, massa air laut bagian permukaan akan ikut pula terseret, dan timbullah arus laut (Sidjabat, 1973). Pergerakan arus dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain arah angin,perbedaan tekanan air, perbedaan densitas air, gaya coriolis dan arus ekman, topografi dasar laut, arus permukaan, upweling dan downwelling. Sahala Hutabarat (1986) dalam Putra (2010) mengatakan bahwa selain angin, arus dipengaruhi oleh paling tidak tiga faktor yaitu, (1) bentuk topografi dasar lautan dan pulau-pulau yang ada disekitarnya; (2) gaya coriollis dan arus ekman; (3) perbedaan densitas serta upwelling dan sinking. Adapun jenis-jenis arus dibedakan menjadi dua bagian yaitu : a. Berdasarkan penyebab terjadinya 1) Arus ekman yaitu arus yang di pengaruhi oleh angin. 2) Arus termohaline yaitu arus yang dipengaruhi oleh densitas dan gravitasi. 3) Arus pasut yaitu arus yang dipengaruhi oleh pasut. 4) Arus geostropik yaitu dipengaruhi oleh gradient tekanan mendatar dan gaya coriollis. b. Berdasakan kedalaman 1) Arus permukaan yaitu terjadinya beberapa ratus meter dari permukaan, bergerak dengan arah horizontal dan dipengaruhi oleh sebaran angin.

2) Arus dalam yaitu terjadi jauh di dasar kolam perairan arah pergerakan tidak dipengaruhi oleh pola sebaran angin dan membawa massa air dari daerah kutub ke daerah ekuator.

2.2 Potensi Sumber Daya Ikan Sopacua (2010) mengatakan bahwa, potensi sumber daya ikan di laut adalah bobot atau jumlah maksimum yang dapat ditangkap dari suatu perairan setiap tahun secara berkesinambungan. Laevastu dan Hayes (1981) dalam Sopacua (2010) menyatakan bahwa ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menduga potensi sumber daya perikanan, yaitu: 1) Pendugaan secara langsung, yaitu pendugaan yang didasarkan pada penagkapan ikan secara langsung dengan menggunakan alat tertentu seperti trawl survey, longline dan trap survey, telur dan larva, dan young fish survey. 2) Acoustic Survey, yaitu survey yang menggunakan alat-alat akustik. Dengan metode ini dapat dilakukan pengamatan terhadap potensi ikan dalam area yang lebih luas. 3) Virtual Population Analysis (VPA), dilakukan pada perhitungan pendugaan fishing mortality. Metode ini digunakan bersama, dengan cara kelimpahan dari hasil analisa trawl survey dan akustik survey dan rangkaian CPUE. 4) Ecosystem Simulation and Multispecies Model. Metode ini dilakukan dengan membuat model yang menirukan situasi ikan yang sebenarnya ketika hidup di alam. 5) Surplus Protection Model. Metode ini didasarkan pada data produksi tahunan dan penangkapan. Pada pendugaan densitas ikan pelagis digunakan data yang diperoleh dengan metode akustik. Cara ini dipraktekkan dengan melakukan integrasi terhadap energi gema, yang sebelumnya dikonversikan menjadi energi listrik, yang dipantulkan oleh sejumlah massa ikan tertentu. Selanjutnya integrasi tersebut dikonversikan menjadi nilai biomassa ikan. Biomassa ikan inilah yang selanjutnya disebut densitas (Suyedi, 2001).

2.3 Pengukuran Parameter Karakteristik Perairan 2.2.1 CTD Sekarang ini, instrumen CTD merupakan pilihan utama dalam melakukan pengukuran karakteristik air seperti salinitas, suhu, kedalaman, tekanan, dan kerapatan (densitas). CTD merupakan singkatan dari Conductivity-TemperatureDepth (Konduktivitas-Suhu-Kedalaman). Sebuah instrumen CTD ditempatkan di perairan yang akan diukur, seiring instrumen CTD diturunkan ke dalam air (atau dibiarkan tetap pada kedalaman tertentu), pengukuran konduktivitas, suhu dan kedalaman dicatat terus menerus. Beberapa instrumen CTD bekerja begitu cepat sehingga dapat melakukan pengukuran sebanyak 24 kali per detik. Hal ini memberikan

gambaran yang sangat rinci tentang hasil pengukuran parameter air yang diukur. Instrumen CTD mengukur tiga parameter penting secara langsung yaitu konduktivitas, suhu, dan tekanan. Dengan mengukur konduktivitas (kelancaran arus listrik melewati sampel air yang diuji), para ilmuwan bisa mendapatkan hasil pengukuran untuk nilai salinitas sampel air. Hal ini karena aliran arus listrik jauh lebih mudah atau lancar melalui air dengan kadar garam yang lebih tinggi. Jadi jika kita mengetahui konduktivitas dari suatu sampel air, kita bias mengetahui berapa banyak garam dalam air tersebut. Salinitas diukur dalam psu (unit salinitas praktis).

2.2.2

Current Meter Wardana, dkk (2011) mengemukakan, Current Meter adalah alat ukur

arah dan kecepatan arus, merupakan pengukuran arus yang dihasilkan dari perputaran rotor. Alat ini bekerja secara mekanik, ketika badan air yang bergerak memutar baling-baling yang dihubungkan dengan roda gigi, maka penghitung (counter) dan pencatat waktu (time keeper) pada roda gigi tersebut merekam jumlah putaran untuk setiap satuan waktu. Melalui suatu proses kalibrasi, jumlah putaran per satuan waktu yang dicatat dari alat ini dikonversi ke kecepatan arus dalam meter per sekon (m/s).

Kedalaman pengukuran yang dipilih biasanya sekitar 60% dari permukaan air (atau 40% kedalaman dari dasar perairan). Pada kedalaman tersebt kecepatan yang terukur biasanya sama dengan kecepatan arus rataratanya. Alat ukur ini mempunyai ketelitian pengukuran yang relatif sangat baik. Beberapa model Current Meter mampu mengukur perubahan kecepatan gerak badan air sampai dengan 1 mm/s. Current Meter mekanik mengukur kecepatan dengan mengubah gerakan linear menjadi angular.

2.2.3

Hidroakustik Echosounder Monintja (1991) dalam Sopacua (2010) mengemukakan bahwa, metode

akustik semakin banyak digunakan untuk mengontrol perubahan kelimpahan stok ikan. Dalam pendeteksian ikan digunakan sistem hidroakustik yang memancarkan sinyal akustik secara vertikal. MacLennan (1992) dalam Sopacua (2010) menjabarkan beberapa keunggulan dan keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan peralatan dan metode akustik dalam pendeteksian ikan: 1) Menghasilkan informasi tentang distribusi dan kelimpahan ikan secara cepat dan mencakup kawasan yang luas. 2) Pendugaan stok ikan dilakukan secara langsung tanpa harus bergantung pada data statistik perikanan. 3) Memiliki tingkat ketelitian dan ketepatan tinggi. 4) Tidak berbahaya atau merusak karena frekuensi suara yang digunakan tidak membahayakan baik bagi pemakai alat amupun target survei. Sistem echosounder umumnya terdiri dari 5 komponen yaitu, (1) Transmitter yang berfungsi menghasilkan pulsa listrik, (2) Transducer untuk mengubah energi listrik menjadi energi suara dan juga sebaliknya, (3) Receiver untuk menerima echo pantulan dari objek, (4) Peraga-Perekam untuk mencatat nilai echo, dan (5) Time Base yang digunakan untuk mengaktifkan pulsa. Meskipun sirkuit transmitter dan receiver terpisah pada semua echosounder, tetapi hanya diperlukan sebuah transducer untuk bertransmisi dan

menerima sinyal akustik. Suatu transducer dapat dinyatakan sebagai alat konversi energi, selama transmisi masukannya (input) adalah sinyal listrik dan luarannya adalah sinyal suara (output). Sebaliknya dalam penerimaan, masukannya adalah sinyal suara (echo) dan luarannya adalah sinyal listrik (Johannensson and Mitson, 1983). Sewaktu energi suara dihasilkan oleh transducer melalui getaran yang timbul pada permukaannya, maka terpancarlah gelombang suara ke dalam kolom air. Kolom air yang menerima radiasi gelombang suara itu disebut beam (sorotan) suara, di mana beam suara yang dihasilkan dari suatu transducer terdiri dari suatu sorotan utama (main lobe) dan sorotan sampingan (side lobe). Untuk keperluan analisis, echo (gema) dari sorotan utama lah yang digunakan, sedangkan echo yang ditimbulkan dari sorotan sampingan diabaikan.

Bab 3 Lingkup Kegiatan

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini termasuk dalam rute penelitian di perairan kepulauan Lease, yang dilakukan pada tanggal 17-18 Oktober 2011 khususnya di daerah perairan antara selatan Oma dan Teluk Saparua.

3.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain; 1) Boat, sebagai sarana transportasi dalam kegiatan penelitian. 2) Compact CTD, untuk mengukur dan merekam nilai parameter suhu, salinitas, densitas, klorofil-a, dan turbiditas dalam kolom perairan. 3) Current Meter, untuk mengukur nilai kecepatan aliran arus dalam kolom perairan. 4) Sangkar besi, untuk dipasang Compact CTD dan Current Meter. 5) Katrol, untuk menurunkan dan menaikkan sangkar besi yang telah terpasang Compact CTD dan Current Meter. 6) Biosonics Echosounder, untuk mendeteksi ikan dalam kolom perairan. 7) Tiang besi, untuk dipasang transducer. 8) Kayu dan tali, digunakan untuk memasang tiang besi pada sisi boat. 9) GPS Garmin 76CSx, untuk menunjukkan koordinat posisi lokasi sampling. 10) Kamera, untuk mendokumentasikan kegiatan penelitian.

3.3 Metode Sampling 3.1 Penentuan posisi dan jumlah stasiun sampling Sampling dilakukan tersebar pada daerah perairan antara Selatan Oma dan Teluk Saparua. Jumlah stasiun sampling yaitu 6 stasiun dengan posisi tiap stasiun ditentukan berdasarkan tempat penangkapan ikan oleh nelayan sekitar dan diketahui koordinat posisinya dengan menggunakan GPS.

Pengukuran parameter karakteristik perairan dengan menggunakan Compact CTD dan Current Meter dilakukan pada tiap stasiun yang telah ditentukan dengan kedalaman pengukuran 100 m. Perekaman kolom air hingga dasar perairan oleh Biosonics Echosounder dilakukan sepanjang perjalanan antar titik-titik stasiun sampling parameter karakteristik perairan.

3.2 Pengukuran parameter-parameter dengan menggunakan Compact CTD dan Current Meter Sebelum difungsikan, Compact CTD dan Current Meter dipasangkan, (diikat) dalam sangkar besi dengan posisi Compact CTD berada di atas Current Meter. Sangkar besi selanjutnya dikaitkan pada kawat katrol agar bisa beroperasi dalam kolom air. Sesampainya di stasiun yang ditentukan, sangkar besi dengan Compact CTD dan Current Meter yang telah terpasang di dalamnya siap diturunkan. Compact CTD dinyalakan (on) dan kemudian sangkar besi diturunkan ke permukaan air untuk merendam kedua alat guna adaptasi dengan perairan selama 1-2 menit. Sangkar besi kemudian diturunkan dengan katrol hingga kedalaman yang ditentukan yaitu 100 m, dan dinaikkan kembali ke permukaan. Selama dalam kolom air, Compact CTD dan Current Meter telah melakukan pengukuran terhadap parameter-parameter yang ingin diukur. Data tersebut secara otomatis telah disimpan dalam memori dari kedua alat, dan akan ditransfer ke komputer guna analisis lebih lanjut.

3.3 Spesifikasi sensor pada Compact CTD dalam melakukan pengukuran Berikut ini merupakan spesifikasi sensor-sensor pengukuran pada Compact CTD (www.jfe-alec.co.jp/html/actd650.htm). 3.3.1 Pengukuran suhu Pengukuran suhu menggunakan Compact CTD dengan spesifikasi sensor bertipe Termistor. Sensor memiliki kisaran

pengukuran dari -5C hingga 40C, resolusi 0,01C, akurasi 0,02C, dan waktu konstan dalam pengukuran 0,1 detik.

3.3.2

Pengukuran salinitas Pengukuran salinitas menggunakan Compact CTD dengan spesifikasi sensor bertipe Sel Induktif. Sensor memiliki kisaran pengukuran 0-40; 0-60 mS/cm, resolusi 0,001; 0,001 mS/cm, akurasi 0,03; 0,02 mS/cm, dan waktu konstan dalam pengkuran 0,1 detik.

3.3.3

Pengukuran densitas Nilai densitas diperoleh berdasarkan nilai suhu, salinitas, dan tekanan (kedalaman) dimana untuk mengukur kedalaman Sensor

menggunakan sensor bertipe Tekanan Semikonduktor.

memiliki kisaran pengukuran 0-600m, resolusi 0,01 m, akurasi 0,3%FS, dan waktu konstan dalam pengkuran 0,1 detik. Kemudian, densitas diestimasi secara otomatis oleh Compact CTD sendiri.

3.3.4

Pengukuran turbiditas dan klorofil Pengukuran turbiditas dan klorofil menggunakan Compact CTD didasarakan pada kebutuhan (optional) dengan spesifikasi sensor cahaya bertipe Sebaran Cahaya Ultra Merah (Ultra Red Light Backscattering) untuk turbiditas, dan Cahaya Berpendar (Fluorescent) untuk klorofil. Sensor cahaya turbiditas memiliki kisaran pengukuran 0-100 FTU (Formazine), resolusi 0,03 FTU, akurasi 2% dari data yang diukur atau 0 mendekati 0,3 FTU, dan waktu konstan dalam pengkuran 0,2 detik. Sensor cahaya klorofil memiliki kisaran pengukuran 0-400 g/l (Uranine), resolusi 0,01 g/l, akurasi 1% atau 0 mendekati 0,1 g/l, dan waktu konstan dalam pengkuran 0,2 detik.

3.4 Metode pengambilan data potensi sumber daya ikan Data akustik diperoleh dengan desain rute survei secara sembarang karena pengambilan data akustik dilakukan mengikuti petunjuk narasumber sebagai acuan posisi stasiun. Awalnya, perangkat akustik telah dipasang sebelum sampai pada stasiun pengambilan data agar bisa beroperasi dengan baik. Transducer dipasang pada tiang besi yang diposisikan pada sisi boat dengan kedalaman 1 m untuk melakukan perekaman dalam kolom air. Transducer dipasangkan ke monitor melalui connector-nya agar dapat diamati proses perekaman oleh transducer dalam kolom air. Data yang telah diperoleh akan diolah dengan software Biosonics Visual Analyzer dan akan digunakan untuk analisa selanjutnya.

3.5 Metode analisis data a. Untuk menghitung kepadatan ikan digunakan rumus: FPCM (fish/m3) = Dimana: FPCM = Kepadatan ikan (ikan/m3) Sv BS = Volume hamburan = Ukuran penampang ikan yang terukur

b. Untuk menghitung kelimpahan ikan (Q) digunakan rumus (MacLennan dan Simmonds, 1992 dalam Sopacua, 2010): Q=DA Dimana: D = FPCM rata-rata A = Luas perairan yang disurvei

Selanjutnya data stastistik nilai parameter-parameter karakteristik perairan dari tiap stasiun akan disajikan dalam tampilan grafik profil vertikal. Kemudian akan dilakukan analisa hubungan antara data parameter hasil

pengukuran Compact CTD dan Current Meter dengan data potensi sumber daya ikan oleh Biosonics Echosounder.

Daftar Pustaka

Alfiansyah. 2011. Kecerahan, kekeruhan air dan pengaruhnya pada ikan. http://www.sentraedukasi.com/2011/06/kecerahan-kekeruhan-air-dan-pengaruhnya/ 16 Januari 2012.

Darmadi. 2010. Salinitas Laut. Universitas Padjajaran: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan http://dharmadharma.wordpress.com/2010/02/11/salinitas-laut/ 22 Januari 2011

Ilahude, A. E. 1999. Pengantar ke Oseanologi Fisika. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta

Johannensson, K. A and Mitson, R. B. 1983. Fisheries Acoustics A Practical Manual for Aquatic Biomass Estimation. FAO. Fisheries Technical Paper. Roma. 249 p

Laevastu, T and Hayes, I. 1981. Fisheries Oceanography. Fishing News Book Limited. London

MacLennan, D. N. and Simmonds, E. 1992. Fisheries Acoustics Chapman& Hall. London New York Tokyo Melbourne Madras. 325 p

Mandala. 2010. TURBIDITAS (KEKERUHAN). http://mandala-manik.blogspot.com/2010/06/turbiditas-kekeruhan/ 16 Januari 2012

Miniature CTD Data Logger: Compact CTD www.jfe-alec.co.jp/html/actd650.htm

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta

Pelu, F. 2008. Stratifikasi Massa Air di Perairan Teluk Ambon pada Bulan Mei, Juni dan Juli. Ambon. Universitas Pattimura. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Pickard, G. L and Emwry, W. J. 1989. Introductory Dynamical Oceanography, An Introduction 5th ed. Pergamon Press

Przelin. B. B. 1981. Light reactions in photosynthesis dalam Physiological Bases of phytoplankton ecology (T. Platt ed.) Canadian Bulletin of Fish and Aquatic Science 210: 1-43

Putra. 2010. Laporan Praktikum Oseanografi. http://luattah85.blogspot.com/2010/08/laporan-praktikum-oseanografi 5 Februari 2011

Sediadi, A & Edward. 1993. KANDUNGAN KLOROFIL-A FITOPLANKTON DI PERAIRAN PULAU-PULAU LEASE MALUKU TENGAH. PUSLITBANG

OSEANOLOGI-LIPI

Sidjabat, M. 1973. Pengantar Oseanografi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Sopacua, F. 2010. DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DI PERAIRAN PANTAI UTARA TELUK AMBON LUAR. Ambon. Universitas Pattimura. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Jurusan Manajemen Sumber Daya Perairan. Program Studi Ilmu Kelautan

Suyedi, R. 2001. Sumber Daya Ikan Pelagis, Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana/S3. Intitut Pertanian Bogor. Bogor

Sutedja, D. 1993. Distribusi Suhu dan Salinitas dan DO di Laut Arafura Selatan pada Bulan November. Diskripsi. Bogor: FPIK Bogor

Uno, S. 1982. The relation between phytoplankton standing stock and water temperature in the Antartic Ocean. Proc. of the BIOMASS Colloquium: 37-49

Uno, S. 1983. Distribution and standing stock of chlorophyll-a in the Antartic ocean, from December 1980 to Januar 1981. Proc. of the Fifth Symp. of Antartic Biology: 20-27

Wardana, dkk. 2011. METODE PENGUMPULAN DATA ARUS LAUT Secara Mekanik dengan Current Meter. Institut Teknologi Sepuluh November.

Vous aimerez peut-être aussi