Vous êtes sur la page 1sur 6

Pelanggaran HAM dan Analisa

Surya Wibawa 115010100111140

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 2012

Dasar Hukum HAM

Kasus pembunuhan Marsinah pada tahun 1993 di Porong Sidoarjo sempat menarik perhatian ILO ( International Labour Organization ) dan dunia Internasional.Walaupan telah dilakukan proses persidangan dipengadilan mulai dari PN sampai Mahkamah Agung terhadap para terdakwa kasus tersebut, sampai sekarang masih banyak masyarakat umum yang belum tahu dan masih sering bertanya kepada saya: Bagimana sih penyelesaian kasus pembunuhan Marsinah?..

Pertanyaan tersebut wajar masih dilemparkan kepada saya sampai sekarang, karena saya menjabat Dan Pomdam V Brawijaya dari tahun 1993 s/d 1996Juga pada tahun 2000 saya pernah memberikan klarifikasi di acara Lintas 6 SCTV, Derap Hukum SCTV dan berbagai media cetak dan televisi di Jakarta. Selanjutnya saya juga memberikan klarifikasi didepan sidang paripurna Pansus Klarifikasi Kasus Pembunuhan Marsinah DPRD TK I Jatim, bersama Mayjen TNI purnawirawan Haris Soedarno, mantan Pangdam V Brawijaya an Irjen Pol Emon Rivai, mantan Kapolda Jatim Penjelasan/klarifikasi saya didepan Pansus diperkuat oleh klarifikasi Mayjen Pur Haris Soedarno dan Irjen Pol Pur Emon Rivai bahwa penyelesaian kasus pembunuhan itu secara hukum adalah ne bis in idem .( Para terdakwa tidak bisa dituntut ulang dalam kasus yang sama, karena telah mendapatkan keputusan pengadilan yang tetap ).. Tentang adanya kecurigaan bahwa Kodam V Brawijaya telah menekan Polda Jatim selama proses pennyidikan, dibantah langsung oleh Irjen Pol Pur Emon Rivai Pada akhir sidang Pansus, Ketua Pansus DPRD TK I Jatim menyatakan kepada forum dan para wartawan seJatim yang hadir, bahwa pernyataan/klarifikasi dari Sdr Nurhana lah yang benar. Sayangnya pernyataan ketua Pansus DPRD Jatim tersebut tidak disebar luaskan di Jakarta, sehingga seolah-olah penyelesaian kasus Marsinah belum tuntas secara hukum.

Pada waktu itu, para terdakwa kasus Marsinah dihukum 12 hingga 17 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya, lalu dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Putusan bebas itu diperkuat Mahkamah Agung. Waktu diskusi tersebut, saya mengusulkan langkah yang dianggap aneh. Saya usulkan agar Kejaksaan melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK) kasus Marsinah. Para peserta diskusi, termasuk para dosen kami, menganggap saya mempermalukan nama

Fakultas Hukum Universitas Surabaya di depan para mahasiswa Unair. Kenapa? Alasannya, dalam KUHAP tidak ada dasar mengajukan upaya PK oleh Kejaksaan. PK hanya hak terpidana atau ahli waris terpidana. Saya dianggap mahasiswa bodoh, meski implisit. Sebab para dosen kami itu marah-marah. Dalam perdebatan hukum acara itu, saya punya argumen kenapa Kejaksaan boleh mengajukan PK. Saya menyodorkan dasar pasal 263 ayat (3) KUHAP, karena ada katakata apabila suatu perbuatan dinyatakan bersalah tetapi tidak diikuti pemidanaan. Lebihkurang begitu. Saya bertanya kepada dosen-dosenku: Apakah orang yang dinyatakan bersalah tapi tidak dipidana, bisa disebut terpidana, wong dia tidak dipidana? Apakah mungkin orang yang tidak dipidana alias dibebaskan pengadilan akan mengajukan upaya PK? Para dosen itu terdiam. Lalu ada dosen Kepala Bidang Hukum Pidana yang menjawab, Oooooo mungkin maksudnya gini: dia, orang yang dinyatakan bersalah tapi tidak dipidana itu, bisa mengajukan PK dalam rangka memperbaiki nama baiknya. Kalau dia dibebaskan mestinya tidak ada pernyataan bersalah dalam putusan hakim. Apakah seseorang bisa disebut terpidana, padahal dia tidak dipidana? Para dosen kembali diam. Saya punya jawaban, Orang yang dibebaskan itu bukan terpidana. Gampang saja. Meski para dosen itu tidak bisa menjawab pertanyaanku, saya tetap dianggap salah. Itulah salah satu contoh tirani pendidikan formal. Ide saya tentang Kejaksaan dapat mengajukan upaya PK tersebut, yang sempat dianggap aneh, ternyata menjadi kenyataan dalam kasus Mochtar Pakpahan tahun 1997, meski dicurigai ada muatan politis. Mahkamah Agung membuat putusan yang menjadi yurisprudensi bahwa Kejaksaan diberikan hak mengajukan upaya PK, salah satu dasarnya menafsir pasal 263 ayat (3) KUHAP. Yurisprudensi tersebut hingga sekarang masih menjadi perdebatan di dunia akademik, tentang: apakah Kejaksaan dapat/boleh mengajukan PK atau tidak. Tapi dalam praktik hukum sudah biasa, Kajaksaan boleh mengajukan upaya hukum PK.

Analisa

Jika para penentang yurisprudensi itu mau konsisten, ternyata upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas terdakwa juga tidak diatur dalam KUHAP. Jika tidak ada terobosan hukum, berapa banyak koruptor dan penjahat lingkungan yang sudah bebas melenggang? Di bagian ini yang hendak saya sampaikan pada intinya:

Masih ada saja kasus konspirasi para penguasa kapital dengan aparatur negara sehingga makin memustahilkan mencari siapa pelaku kejahatan, seperti dalam kasus Marsinah. Hingga sekarang para pembunuh Marsinah adalah para lelembut yang tak bisa disentuh. Ternyata hukum Indonesia juga cenderung impoten. Makanya korupsi merajalela.

Ternyata undang-undang, seperti contohnya KUHAP, bukanlah produk hukum yang dapat memberikan kepastian hukum. Ada ketentuan-ketentuan yang tafsirnya menimbulkan kebingungan, dan belum bisa mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan hukum masyarakat.

Vous aimerez peut-être aussi