Vous êtes sur la page 1sur 35

LAPORAN PBL I BLOK ECCE 2

Tutor : dr. Amalia Muhaimin, Msc

Kelompok 6

Sarah Maulina Oktavia Bunga Chyntia Putriasni K. Zuldi Erdiansyah Rahmat Husein Rahmi Laksitarukmi Saidatun Nisa Kunahngkunang P. Bulan Indah Permata Sari Auzia Tania Utami Yohan Parulian

G1A009015 G1A009016 G1A009017 G1A009071 G1A009072 G1A009073 G1A009090 G1A009091 G1A009092 G1A009129 G1A009130

JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2012

BAB I PENDAHULUAN

Trauma merupakan penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001) Trauma dada adalah trauma tajam atau tembus thoraks yang dapat menyebabkan tamponade jantung, perdarahan, pneumothoraks, hematothoraks, hematompneumothoraks (FKUI, 1995). Sedangkan trauma thorax merupakan semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul (Hudak, 1999). Di dalam toraks terdapat dua organ yang sangat vital bagi kehidupan manusia, yaitu paru-paru dan jantung. Paru-paru sebagai alat pernapasan dan jantung sebagai alat pemompa darah. Jika terjadi benturan atau trauma pada dada, kedua organ tersebut bisa mengalami gangguan atau bahkan kerusakan. Syok merupakan kondisi hilangnya volume darah sirkulasi efektif. Kemudian diikuti perfusi jaringan dan organ yang tidak adekuat, yang akibat akhirnya gangguan metabolik selular. Pada beberapa situasi kedaruratan adalah bijaksana untuk mengantisipasi kemungkinan syok. Seseorang dengan cidera harus dikaji segera untuk menentukan adanya syok. Penyebab syok harus ditentuka (hipovolemik, kardiogenik, neurogenik, atau septik syok) (Bruner dan Suddarth, 2002).

BAB II ISI

A. Skenario Kasus Info 1: Seorang pria usia 28 tahun dikirim ke unit gawat darurat (UGD) karena kecelakaan lalulintas tunggal, yang terjadi satu jam sebelum di bawa ke Rumah Sakit. Mobil pasien terguling saat berbelok tajam di tikungan dengan kecepatan tinggi. Selama perjalanan ke rumah sakit, pasien mengeluh pusing, sesak nafas, nyeri dada, nyeri punggung dan tungkai.

B. Batasan Masalah 1. Identifikasi Jenis kelamin Usia 2. Kronologis : Pria : 28 tahun : Kecelakaan lalulintas tunggal satu jam yang lalu sebelum masuk Rumah Sakit karena mobil nya terguling 3. Keluhan : - pusing - Sesak nafas - nyeri dada - nyeri punggung dan tungkai

C. Analisis Masalah 1. Fase fase manajemen primer perawatan trauma 1) Triage a. START (Simple Triage and Rapid Treatment) 0. Awal Jika korban masih bisa berjalan maka diberi kartu hijau. 1. Airway Dilihat apakah penderita masih bernapas. Jika setelah diberikan bantuan tertap tidak bernapas maka diberi kartu hitam, jika masih bisa bernapas diberi kartu merah.

2. Breathing Napas spontan a. >30x/menit : merah b. <30x/menit : tahap berikutnya 3. Sirkulasi Capillary refill a. >2 detik: merah b. <2 detik : tahap berikut 4. Kesadaran a. Tidak dapat mengikuti perintah : merah b. Dapat mengikuti perintah : Kuning

c. Dasar triage (Gazali, 2012) 1. Derajat cedera 2. Jumlah korban 3. Sarana dan kemampuan 4. Harapan hidup d. Kriteria triage (Gazali, 2012) 1. Gol.I :tidak luka/gangguan jiwa,tidak memerlukan tindakan medik (simbol warna hijau) : a. Kerusakan jaringan perifer (otot) yang ringan b. Fraktur yang ringan c. Luka bakar ringan (derajat i < 10%) 2. Gol.II : menderita luka /keadaan ringan ,hanya memerlukan tindakan bedah minor (simbol warna kuning) : a. Gcs tidak kurang dari 8 b. Perdarahan hebat yang terkontrol c. Trauma toraks dan abdomen tanpa gangguan hemodinamik d. Luka bakar tanpa gangguan hemodinamik e. Trauma tulang panjang terbuka tanpa gangguan hemodinamik 3. Gol.III : gol operatif/non operatif yang terancam jiwa/resiko tinggi cacat (simbol warna merah) : a. Sumbatan jalan nafas

b. Distress pernafasan dgn tanda-tanda syok c. Kasus dehidrasi berat dengan tanda-tanda syok d. Luka bakar dengan gangguan respirasi dan gangguan srikulasia e. GCS < 8 (Gazali, 2012) 2) Primary survey Pada tahap ini harus dicari keadaan yang mengancam nyawa, tetapi sebelum memegang penderita petugas harus selalu menggunakan alat proteksi diri terlebih dahulu untuk menghindari tertular penyakit seperti hepatitis dan AIDS. Alat proteksi diri sebaiknya: 1. Sarung tangan 2. Kaca mata, tertama apaibila menyemburkan darah. 3. Apron, mellindungi pakaian sendiri. 4. Sepatu Lakukan primary survey atau mencari keadaan yang mengancam nyawa dengan langkah langkah sebagai berikut: 1. A atau airway maintenance adalah mempertahankan jalan napas, hal ini dapat dikerjakan dengan teknik manual ataupun menggunakan alat bantu (pipa orofaring, pipa endotrakheal, dll). a. Menilai kelancaran jalan nafas Hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran dari jalan nafas, tetapi harus selalu diwaspadai bahwa kebanyakan usaha dalam memperbaiki jalan nafas dapat menyebabkan gerakan pada leher. Oleh sebab itu,untuk mencegah fraktur servikal akibat gerakan pada leher harus dilakukan tindakan pengontrolan servikal. Kemungkinan dari fraktur servikal dapat diprediksi apabila terdapat: (Darwis, 2005) 1. Trauma kapitis, terutama apabila ada penurunan kesadaran. 2. Adanya luka karena trauma tumpul kranial dari klavikula.

3. Setiap multi trauma ( trauma pada dua regio atau lebih ) 4. Biomekanika trauma yang mendukung seperti tabrakan dari belakang. b. Tindakan proteksi servikal

Tindakan proteksi servikal antara lain dengan mempertahankan posisi kepala dan memasang kolar servikal di atas long spine board. Setelah pemasangan kolar servikal perhatian ditujukan kepada airway penderita. Ajak penderita berbicara dan apabila penderita dapat bericara dengan jelas menggunakan kalimat yang panjang hal itu menunjukkan bahwa kondisi airway dan breathing penderita dalam keadaan baik, kemungkinan penderita tidak mengalami syok serta kemungkinan tidak terdapat kelaianan

neurologis.(Anonim,2010) Namun, apabila penderita tidak dapat menjawab kemungkinan airway mengalami gangguan. Sumbatan pada jalan nafas (obstruksi) akan ditandai dengan suara nafas antara lain bunyi gurgling (bunyi kumur- kumur yang menandakan adanya cairan), bunyi mengorok (snoring, karena pangkal lidah yang jatuh ke arah dorsal) ataupu bunyi stidor karena adanya penyempitan/ oedem. Tindakan penanganan apabila terdapat cairan lakukan suction untuk

mengeluarkan cairan, apabila mengorok lakukan penjagaan jalan nafas secara manual yaitu chin lift atau jaw thrust disusul dengan pemasangan pipa oro atau nasofaringeal.

Gambar Posisi Jaw Support dan Jaw Thrust

3) Penilaian airway Perhatian ditujukan kepada airway. Ajaklah penderita berbicara, apabila penderita dapat berbicara dengan jelas dan dengan kalimat paaanjannng, maka untuk sementara dapat dianggap bahwa

airway dan breathing dalam keadaan baik. Juga kemungkinan penderita tidak syok, dan tidak ada kelainan neurologis, namun asumsi ini selalu dilakukan dengan berhati-hati. Sumbatan pada jalan nafas akan menyebabkan sesak yang harus dibedakan dengan gangguan breathing. Pada obstruksi jalan nafas biasanya akan ditemukan pernafasan yang berbunyi seperti : 1. Snoring (mengorok), sering terjadi pada pasien yang tidak sadar karena lidah jatuh ke belakang. 2. Gurgling (kumur-kumur), terjadi sumbatan karena cairan (darah, secret). 3. Stridor, terjadi karena oedem faring atau laring misalnya pada pasien yang terpapar uap panas atau trauma termal. Kemudian, lakukan penanganan berikut : bila ada cairan, dilakukan suction. Bila mengorok dilakukan penjagaan jalan nafas secara

manual dengan jaw thrust atau chin lift disusul dengan pemasangan pipa oro faringeal atau naso faringeal. Pemasangan pipa orofaringeal jangan dilakukan apabila penderita masih sadar ataupun berusaha mengeluarkan pipa tersebut. Dalam keadaan ini lebih baik dipasang pipa nasofaringeal. Harus diingat bahwa pemasangan pipa melalui hidung merupakan kontraindikasi apabila penderita ada kecurigaan fraktur basis kranii bagian depan, karena pipa dapat masuk ke rongga cranium. Apabila penderita apneu, ada ancaman obstruksi ataupun ada ancaman aspirasi lebih baik memasang jalan nafas definitive (pipa dalam trakea). Jalan nafas definitive ini dapat melalui hidung (naso trakeal), melalui mulut (orotrakeal), ataupun langsung melalui suatu krikotiroidektomi. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi, ataupun rotasi dari leher.

2. B atau Breathing adalah menjahga pernapasan atau ventilasi dapat berlangsung dengan baik. Setiap penderita trauma berat memerlikan tambahan oksigen yang harus diberikan kepada penderita dengan cara efektif. Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi penderita dalam keadaan baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas adalah mutlak untuk pertukaran Oksigen dan Karbondioksida dari tubuh. Hal hal yang dilakukan dalan breathing yaitu: (Darwis, 2005) a. Lihat, perhatikan nafas pasien dan bagian dada apakah simetris atau tidak b. Dengar, dekatkan telinga ke bagian hidung pasien dan dengarkan nafas pasien c. Rasa, rasakan hembusan nafas pasien di telinga atau pipi d. Jika terdapat masalah dalam pernafsan, berikan bantuan O2 dengan cara 1. Kanul 2-6 LPM 2. Face Mask 6-10 LPM

3. NRM (Non Rebreathing Mask) 10-12 LPM Penderita yang dapat berbicara kalimat panjang tanpa kesan sesak, maka breathing penderita baik. Pernafasan yang baik apabila frekuensi normal ( dewasa rata- rata 20 , anak 30, dan bayi 40 kali per menit), tidak ada gejala sesak dan pemeriksaan fisiknya baik. Pemeriksaaan dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Lihat dada penderita dengan membuka pakaian atas untuk melihat pernafasan yang baik. Lihat apakah terdapat jejas, luka terbuka

dan ekspansi kedua paru. b. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masukknya udara ke dalam paru-paru dengan mendengarkan suara nafas (

sekaligus mendengarkan suara jantung). c. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara ( hipersonor) atau darah ( dull) dalam rongga pleura.

Cedera thorax yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dan ditemukan pada saat melakukan survei primer antara lain tension pneumothorax, flail ches dengan kontusio paru, pneumothoraks terbuka dan hematotoraks masif. Apabila pernafasan tidak adekuat harus dilakukan bantuan pernafasan ( assited ventilation). (Anonim, 2010) 3. C atau Circulation adalah mempertahankan sirkulasi bersama dengan tindakan untuk menghentikan perdarahan. Pengenalan dini tanda-tanda syok perdarahan dan pemahaman tentang prinsip-prinsip pemberian cairan sangat penting untuk dilakukan sehingga menghindari pasien dari keterlambatan penanganan. Hal hal yang harus dilakukan dalam circulation adalah : a. b. Lihat adanya perdarahan eksterna maupun interna Untuk perdarahan interna bisa dilakukan rest ice, compress

elevation c. d. Untuk perdarahan eksterna bisa dilakukan balo tekan,jahit situasi perhatikan tanda-tanda syok (tekanan darah, nadi, frekuensi nafas,

capillary refill

Penilaian sirkulasi darah merupakan bagian dari primary survey yang perlu diperhatikan. Penilaian dari keadaan sirkulasi dalam tubuh dilakukan dengan cepat menilai status mental, warna kulit dan

temperature kulit. Pada pasien dengan shock hemoragik, akan didapatkan keadaan yang gelisah sampai agitasi dan menuju apabila keadaanya ttidak ditangani dengan baik. Salah satu respon tubuh pada keadaan shock atau kehilangan darah dalam jumlah banyak akan mengakibatkan peningkatan pada persarafan simpatis sehingga pada kulit bagian perifer akan mengalami kepucata, dingin dan berkeringat. Pada keadaan ini kita dapat melakukan penilaian dengan cara menghitung nadi, tekanan darah dan repiratori rate. Takikardia dan taki pneu sering ditemukan pada pasien trauma dan itu idak spesifik menandakan adanya kelainan sirkulasi, hal tersebut bisa muncul akibat rasa sakit yang sangat dari pasien (Richard, 2004). Pemeriksaan sirkulasi dapat diakhiri apabila telah dilakukan pemberian cairan yang adekuat untuk mencegah hal-hal yang tidak dinginkan pada kasus-kasus gawat darurat. Pada keadaan ini sebaiknya disiapkan 2 kantung cairan dengan jarum 16, apabila hal ini tidak dapat dilakukan maka dapat dilakukan pemberian IV centra line namun keadaan ini hanya pada keadaan-keadaan tertentu saja. Perdarahan luar dapat diatasi dengan tekanan langsung ataupun melakukan penjepitan pada pembuluh darah yang robek, torniket dapat dilakukan apabila pasien mengalami perdarahn masif dan sudah dapal keadaan hampir amputasi (Richard, 2004). Langkah berikutnya adalah memeriksa akral dan nadi, apabila menemukan tanda syok segera atasi syok. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pasca bedah yang dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Syok pada penderita trauma biasanya diasumsikan disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti penyebab lainnya sehingga diperlukan penilaian yang cepat mengenai status hemodinamik penderita. (Darwis, 2005)

Saat sirkulasi memburuk, dilakukam Resusitasi Jantung Paru (RJP) secepatnya. Dengan ketentuan tangan penolong diletakkan tepat di tengah tulang sternum korban dengan kedalaman 4-5 cm. Posisi tangan 90 derajat dengan titik tumpu di bahu. Kompresi sesuai dengan pernapasan manusia yaitu 100x/menit. Sikus 30:2 yang berarti pemberian napas buatan 2x lalu 30 kali kompresi (Senapathi, 2011)

4. D atau Disability adalah pemeriksaan untuk mendapatkan kemungkinan adanya gangguan neurologis. Perdarahan intrakranial dapat

menyebabkan kematian dengan sangat cepat sehingga diperlukan evaluasi keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Hal hal yang diperhatikan antara lain (Darwis, 2005) : a. GCS ( Glasgow Coma Scale) GCS adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat meramal outcame dari penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh penurunan oksigenasi atau/ dan perfusi ke otak atau disebabkan oleh perlukaan pada otak sendiri. Perubahan kesadaranakan dapat mengganggu airway serta breathing yang seharusnya sudah diatasi terlebih dahulu. Jangan lupa bahwa alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Penurunan tingkat GCS yang lebih dari satu ( 2 atau lebih ) harus sangat diwaspadai. b. Pupil Nilai adakah perubahan pada pupil. Pupil yang tidak sama besar ( anisokor) kemungkinan menandakan lesi masa intrakranial ( perdarahan). c. Resusitasi Terhadap kelainan primer di otak tidak banyak yang bisa dilakukan, tetapi yang harus diingat dalam penerimaan penderita di UGD harus dihindari adanya cedera otak sekunder ( secondary brain injury ).

5. E atau Exposure atau Environment adalah pemeriksaan pada seluruh tubuh penderita untuk melihat jelas jejas atau tanda-tanda kegawatan yang mungkin tidak terlihat dengan menjaga supaya tidak terjadi hipotermi. Di rumah sakit seluruh pakaian penderita harus dibuka untuk evaluasi kelainan atau injury secara cepat pada tubuh penderita. Setelah pakaian dibuka perhatikan injury/ jejas pada tubuh penderita dan harus dipasang selimut agar penderita tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut yang hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan. Apabila pada primary survey dicurigai adanya perdarahan dari belakang tubuh lakukan long roll untuk mengethui sumber perdarahan. (Darwis, 2005) 3) Secondary survey 4) Stabilization 5) Transfer 6) Definitive care

Sebelum dilakukan ABC dilihat dahulu keadaan umum dan periksa tanda vital

Info 2 Primary Survey Keadaan umum Vital Sign : tampak gelisah, kesakitan dan lemah : TD : 80/55 mmHg, Nadi : 128 x/menit, reguler, isi dan

tekanan kurang, RR : 32 x/menit

Interpretasi info 2 1. TD menurun N : 120/80 2. Nadi meningkat takikardi N : 60-100x/menit 3. Isi dan tekanan kurang : pulsasi lemah 4. RR meningkat takipneu N : 16-24 x/menit

Analisis masalah 1. Syok Definisi Syok Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang fisiologi keadaan syok dan homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigen ke jaringan. Sirkulasi darah berguna untuk mengantarkan oksigen dan zat-zat lain ke seluruh tubuh serta membuang zat-zat sisa yang sudah tidak diperlukan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan terapi yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi intensif. Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala sebagai berikut: 1. Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau MAP (mean arterial pressure / tekanan arterial rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih. 2. Oliguria: produksi urin kurang dari 30 ml/jam. 3. Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta pengisian kapiler yang jelek.

Penyebab Syok Syok bisa disebabkan oleh:


1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Perdarahan (syok hipovolemik) Dehidrasi (syok hipovolemik) Serangan jantung (syok kardiogenik) Gagal jantung (syok kardiogenik) Infeksi (syok septik) Reaksi alergi (syok anafilaktik) Cedera tulang belakang (syok neurogenik)

Gejala Syok Gejala yang timbul tergantung kepada penyebab dan jenis syok.

Gejalanya bisa berupa:


a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q.

gelisah bibir dan kuku jari tangan tampak kebiruan kulit lembab dan dingin pembentukan urine berkurang atau sama sekali tidak terbentuk urine pusing tekanan darah rendah keringat berlebihan, kulit lembab denyut nadi yang cepat pernafasan dangkal tidak sadarkan diri lemah. nadi cepat dan lemah nafas cepat, dangkal, dan tidak teratur kulit pucat, dingin, dan lembab wajah pucat dan sianosis (bibir membiru) pupil mata melebar status mental berubah (gelisah, mual, haus, pusing, ketakutan, dan lainlain)

Tahapan Syok Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih dapat ditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh), dan ireversibel (tidak dapat pulih).

Tahap kompensasi adalah tahap awal syok saat tubuh masih mampu menjaga fungsi normalnya. Tanda atau gejala yang dapat ditemukan pada tahap awal seperti kulit pucat, peningkatan denyut nadi ringan, tekanan darah normal, gelisah, dan pengisian pembuluh darah yang lama. Gejala-gejala pada tahap ini sulit untuk dikenali karena biasanya individu yang mengalami syok terlihat normal.

Tahap dekompensasi dimana tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsi-fungsinya. Yang terjadi adalah tubuh akan berupaya menjaga organorgan vital yaitu dengan mengurangi aliran darah ke lengan, tungkai, dan perut dan mengutamakan aliran ke otak, jantung, dan paru. Tanda dan gejala yang dapat ditemukan diantaranya adalah rasa haus yang hebat, peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah, kulit dingin, pucat, serta kesadaran yang mulai terganggu. Tahap ireversibel dimana kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan tidak dapat diperbaiki. Tahap ini terjadi jika tidak dilakukan pertolongan sesegera mungkin, maka aliran darah akan mengalir sangat lambat sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah dan denyut jantung. Mekanisme pertahanan tubuh akan mengutamakan aliran darah ke otak dan jantung sehingga aliran ke organ-organ seperti hati dan ginjal menurun. Hal ini yang menjadi penyebab rusaknya hati maupun ginjal. Walaupun dengan pengobatan yang baik sekalipun, kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan tidak dapat diperbaiki.

Jenis Syok Syok digolongkan ke dalam beberapa kelompok yaitu : 1. Syok kardiogenik (berhubungan dengan kelainan jantung) 2. Syok hipovolemik ( akibat penurunan volume darah) 3. Syok anafilaktik (akibat reaksi alergi) 4. Syok septik (berhubungan dengan infeksi) 5. Syok neurogenik (akibat kerusakan pada sistem saraf).

Patofisiologi syok a. Mikrosirkulasi (Wijaya, 2006) Curah jantung Perfusi jaringan

Iskemik berat

MAP < 60mmHg

Disfungsi organ

b. Neuroendokrin (Wijaya, 2006) Melibatkan baroreseptor dan kemoreseptor

c. Kardiovaskular (Wijaya, 2006) Hipovolemik Aliran balik vena Isi ventrikel Volum sekuncup

Kompensasi

Takikardi

d. Gastrointestinal (Wijaya, 2006) Hipoperfusi jaringan intestinal

Absorbsi endotoxin usu

Pelebaran pembuluh darah dan metabolisme

Depresi jantung

e. Ginjal (Wijaya, 2006) Aliran darah menuju ginjal Tahanan arteriol aferen GFR Produksi urin

Oliguri

Penanganan Syok (Santoso, 2011) a. Pastikan jalan napas dan pernapasan baik b. Kontrol perdarahan dengan balut tekan maupun jahit situasi. c. Gunakan oksigen, IV line, kateter d. Bidai apabila terdapat patah tulang e. Posisikan pasien, apabila : a. Tidak terdapat cedera kepala maupun leher baringkan telentang, tinggikan tungkai b. Susah bernapas setengah duduk c. Muntah miring stabil f. Cegah kehilangan panas tubuh, pertahankan suhu tubuh g. Jangan beri makan dan minum h. Periksa berkala tanda vital

Gambar. Alogaritma Penatalaksanaan syok

Komplikasi 1. Gagal ginjal akut 2. ARDS (acute respiratory distress syndrome/shock lung) 3. Depresi miokard-gagal jantung 4. Gangguan koagulasi/pembekuan 5. SSP dan Organ lain

Info 3 Secondary Survey Patensi jalan nafas terjaga Vital Sign : TD : 100/70 mmHg, S : 35,60 C Nadi :106x/menit, reguler, isi dan tekanan cukup. RR : 28 x/menit GCS E3M6V5 Kepala : tampak kulit kepala robek yang dalam sekitar area temporalis kanan yang terus merembeskan darah Mata : Conjungtiva anemis +/+ Pupil isokor, 2mm/2mm Reflek cahaya +N/+N Hidung dan telinga : dbn

Leher : tampak abrasi dileher bagian kanan, trakea ditengah Thorax : Inspeksi nampak jejas pada thorak dekstra Palpasi vocal fremitus kanan < kiri, nyeri tekan (+) Perkusi redup pada region thorak kanan Auskultasi suara vesikuler kiri normal kanan menurun Abdomen Pelvis Ekstremitas : tampak abrasi, abdomen terasa nyeri : stabil : tampak abrasi pada tungkai bawah, pembengkakan yang luas serta nyeri tekan ada paha kanan, krepitasi sulit dinilai, akral dingin dan basah. Pulsasi arteri dorsalis pedis kanan lemah

Interpretasi info 3 : 1. Vital sign sudah membaik 2. Perkusi redup pada region thorak kanan bisa hemothoraks trauma thoraks 3. Leher : tampak abrasi dileher bagian kanan, trakea ditengah tidak ada atelektaksis 4. ada trauma kepala

5. Abdomen intraabdomen

: tampak abrasi, abdomen terasa nyeri perdarahan

6. Ekstrimitas : curiga ada fraktur pada tungkai bawah kanan

D. Sasaran Belajar 1. Patofisiologi syok Patofisiologi syok menurut Tintinalli, 2004 :


Kelainan perfusi

Homeostasis tubuh

Peningkatan otonom (simpatis)

Arteriolar vasokonstriksi

Vena vasokinstriksi

Peningkatan heart rate

Peningkatan katekolamin

Pelepasan ADH & RAA sistem

Peningkatan afterload

Peningkatan preload

Peningkatan cardiac output

Pengeluaran citokin

Menahan cairan dalam tubuh

Gagal kompensasi

Respon sel

Pompa na/k ATPase terganggu

Na influx

K Efflux

Penurunan membrane resting potential

Kematian sel

Patofisiologi Syok (Kumar & Parillo, 2001) :

Gambar 1 Patofisiologi Syok (sumber: Kumar and Parrillo, 2001)

Patofisiologi Syok menurut ATLS :

Kehilangan darah Kompensasi ( vasokonstriksi progresif dari kulit, otot, dan sirkulasi visceral) Cedera Respon terhadap volume darah akut Peningkatan detak jantung Pelepasan katekolamin endogen tekanan darah sistolik dan tekanan nadi Dilepaskannya hormone vasoaktif ke sirkulasi pengaruh pada mikrosirkulasi dan permeabilitas pembuluh darah Respon tingkat seluler

Na dan air masuk sel Pembengkakan sel Cedera seluluer progresif Penambahan edema jaringan Kematian sel (ATLS, 2000)

Gambar 2. Berbagai jenis umpan balik yang dapat menimbulkan per-kembangan syok.Pemeriksaan lanjutan

2. Pemeriksaan laboratorium pada syok a. Hemoglobin dan hematokrit Pada fase awal renjatan syok karena perdarahan kadar Hb dan hematokrit masih tidak berubah, kadar Hb dan hematokrit akan menurun sesudah perdarahan berlangsung lama, karena proses autotransfusi. Hal ini tergantung dari kecepatan hilangnya darah yang terjadi. Pada syok karena kehilangan plasma atau cairan tubuh seperti pada DF atau diare dengan dehidrasi akatn terjadi haemokonsentrasi. b. Urin Produksi urin akan menuru, lebih gelap dan pekat. Berat jenis urin menigkat >1,020. Sering didapat adanya proteinuria c. Pemeriksaan elektrolit serum Pada renjatan sering kali didapat adanya gangguan keseimbangan elektrolit seperti hiponatremi, hiperkalemia, dan hipokalsemia terutama pada penderita dengan asidosis d. Pemeriksaan fungsi ginjal pemeriksaan BUN dan serum kreatinin penting pada renjatan terutama bila ada tanda-tanda gagal ginjal

3. Pemeriksaan Penunjang Yang Diajukan Pada Kasus Pemeriksaan lanjutan atau secibndary survey dilakukan untuk menilai keadaan pasien lebih lanjut sehingga didapatkan keadaan pasien yang sesungguhnya. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan dari ujung kaki sampai dengan ujung kepala . pada pemeriksaan kepala dapat dilakukan pemeriksaan CT scan apabila dicuragai terdapat gangguan yang terjadi pada daerah intracranial. Pemeriksaan pada daerah leher dan thoraks dapat dilakukan pemeriksaan berupa, x-ray spina cervical lateral, x-ray thoraks, x-ray anteroposterior pelvic (Tintinalli, 2004). Dapat dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk melihat kelainan yang terjadi pada abdomen secara cepat selain untuk mengetahu apakah terdapat perdarahan pada kasus ini dapat kita perhatikan pula apakah terdapat kelainan pada sphingter ani yang menandakan cedera pada vertebra mungkin terjadi.

Pemeriksaan selanjutnya adalah untuk melihat kemampuan neurologis dengan melakukan pemeriksaan neurologi untuk fungsi sensorik dan fungsi motorik. Pemeriksaan pada kasus (Tintinalli, 2004; Eko, 2008). Kepala Leher Thorax Abdomen : dilakukan CT scan. : lateral spina cervical x-ray. : x-ray Thoraks. : Abdomen X-Ray, CT Scan, FAST, USG, Dialysis

Peritoneal Lavage (DPL) Eksterimitas : foto x-ray femur dekstra, CT scan, Doppler, pengukuran

tekanan kompartemen Pemeriksaan lab penunjang elektrolit, kreatinin, pemeriksaan : darah rutin (hb,ht, led, diff.count) , urin.

4. Indikasi CT Scan Kepala Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat. Namun bila pemeriksaan CT scan tidak dapat dilakukan segera dan kondisi penderita tanpa gejala neurologis dan sadar penuh, maka penderita dapat diobservasi selama 12-24 jam di rumah sakit (ATLS, 2000)

5. FAST dan USG (Schurink et al. 1997) USG (Ultrasonography) FAST (Foccused Assesment Sonography for Trauma) DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage)

Menggunakan ultrasound dengan frekuensi 2-13 MgHz

Prinsip sama dengan USG

Penanganan pada kegawatan abdomen Membuat lubang 1cm di dinding abdomen

Menggunakan gelombang suara Biasanya di daerah

Digunakan pada bagian tubuh yang

mengandung cairan

abdomen dan thorax Bsa digunakan saat trauma hebat dan perdarahan Tidak invasive Tidak radiasi Tidak mahal

Periksa adakah cairan yang keluar dari dalam

Info 4 Rontgen dada menunjukkan fraktur komplit pada costa 5 dan 6 dekstra, ruang pleura dekstra translusen dengan tak tampaknya gambaran pembuluh darah paru, sinus costophrenicus kanan dan kiri lancip, parenkim paru dekstra tampak mengecil/kolaps

Info 5 Assessment Hemothorax dengan fraktur costae 5 dan 6 dekstra

Info 6 Pemeriksaan Penunjang Darah : Hb Leukosit Hematokrit : 8 gram/dl : 12.800 sel/mm3 : 25,4%

Penatalaksanaan berdasarkan info 4, 5, 6 : 1. Terapi Hemothorax (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004) Besarnya Ukuran Bayangan rontgen Kecil 0-15 % foto Pemeriksaan fisik Perkusi Cukup diobservasi Penanganan

pekak/redup sampai iga IX Sedang 15-35 Perkusi pekak/redup samapai iga VI Besar >35 % Perkusi pekak/redup sampai iga IV Thoracosintesis, WSD, rehidrasi Thoracosintesis, WSD, rehidrasi transfusi, transfusi,

2. Terapi fraktur costae (Utami, no date) Prinsip penanganan fraktur : 1. Reduksi Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan posisi anatomis normal sehingga didapati posisi seperti awal 2. Imobilisasi/fiksasi a. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajarannya yang benar sampai terjadi penyatuan b. Metode : 1) Eksternal : bebat, brace, balutan, elastic band 2) Internal : nail, lempeng, kawa, batang 3. Rehabilitasi Sasarannya adalah meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan normal pada bagian tang sakit

Info 7 Pemeriksaan ultrasonografi abdomen (FAST focused abdominal sonography for trauma) tak tampak adanya gambaran anekoik di daerah Morisons pouch, perisplenic space, dan pouch of Douglas.

Interpretasi Info 7 Tidak terdapat gambaran unechoic : tidak terdapat penumpukan cairan Morison Pouch : rongga antara hepar dan renal

Perisplenic Area : are di sekitar spleen

Cavum Douglas :

Info 8 Rontgen Femur dextra AP/Lat: Komplet communited fraktur femur dextra 1/3 medial cum angulationem, aposisi kurang baik dan alignment jelek. Diagnosis: Kompleta communited Fraktur Femur dextra 1/3 medial.

Interpretasi Info 8 Berpindahnya fragmen tulang dari tempatnya semula disebut displacement. Displacement ini dibagi menjadi 4, yaitu : 1.Aposisi Aposisi merupakan suatu keadaan dimana fragmen tulang mengalami perubahan letak sehingga terjadi perubahan dalam kontak antara fragmen tulang proksimal dan distal. Pada pemeriksaan radiologik, aposisi dinyatakan dalam persentase kontak antara fragmen proksimal dan distal. Jadi, misalnya dari hasil pemeriksaan rontgen terlihat bahwa tidak ada kontak sama sekali antara permukaan fragmen proksimal dengan distal maka dinyatakan aposisi 0%, disebut juga aposisi komplet. Kalau kontak masih terjadi disebut aposisi parsial, misalnya aposisi 80%, berarti 80% permukaan fragmen proksimal masih kontak dengan fragmen distal.

2.Alignment Alignment merupakan suatu kondisi miringnya fragmen tulang panjang sehingga arah aksis longitudinalnya berubah. Apabila antara aksis longitudinal fragmen proksimal dan distal membentuk sudut maka disebut angulasi. Pada pemeriksaan radiologi, angulasi ini dinyatakan dalam derajat. 3.Rotasi Rotasi adalah berputarnya fragmen tulang pada aksis longitudinalnya, misalnya fragmen distal mengalami perputaran terhadap fragmen proksimal.

4.Length (panjang) Length dapat dibagi menjadi 2, yaitu overlapping (tumpang tindihnya tulang) yang menyebabkan pemendekan (shortening) tulang serta distraksi yang menyebabkan tulang memanjang.

Prinsip penatalaksanaan patah tulang adalah (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004): 1. Reposisi : Mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula 2. Imobilisasi patah tulang 3. Remodelling (Swapugar): Kemampuan tulang untuk menyesuaikan bentuknya kembali seperti bentuk semula Untuk patah tulang dengan otot yang kuat, misalnya pada patah tulang femur, maka dapat dilakukan rreposisi dengan traksi terus menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu dan kemudian diikuti dengan imobilisasi. Ini dilakukan pada patah tulang yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali ke dalam gips (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004). Cara lain juga daoat dilakukan untuk patah tulang femur yaitu reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan fiksasi interna. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga berupa plat dengan sekrup di permukaan tulang.; keuntungan reposisi secara operatida adalh bisa dicapai reposisi sempurna dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak perlu lagi dipasang gips dan segera bisa dilakukan imobilisai. Kerugiannya adalah reposisi secara operatif ini mengandung risiko infeksi tulang (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004). : Mempertahankan posisi itu semala masa penyembuhan

BAB III KESIMPULAN

1. blablaa 2

DAFTAR PUSTAKA

Anurogo,

Dito.

2009.

Segala

hal

tentang

Syok

Jantung

dalam

http://www.medicastore.com, diakses tanggal 24 Mei 2012 Apivatthakakul, T; S, Anuraklekha; G, Babikian, et al. 2012. Tibia Shafta Fracture Management With Minimal Resources. Available at : https://www2.aofoundation.org/wps/portal/!ut/p/c0/04_SB8K8xLLM9M SSzPy8xBz9CP0os3hng7BARydDRwN3QwMDA08zTzdvvxBjIwN_I_ 2CbEdFADiM_QM!/?basicTechnique=Tibia%20shaft%20fracture%20m anagement%20with%20minimal%20resources&segment=Shaft&bone=T ibia&showPage=redfix# Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. Jakarta : EGC Brunner dan Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8, Vol.3. Jakarta : EGC Darwis, Allan dkk. 2005. Pedoman Pertolongan Pertama. Ed 2. Jakarta : Kantor Pusat Palang Merah Indonesia. Diklat Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118. 2011. Basic Trauma Life Support & Basic Cardiac Life Support. Jakarta : Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118 Eko. 2008. Initial Assesment dan Pengelolaannya. Available at URL : http//www.bedahurologi.com/2008/06/trauma-ugd-dr-ekost.doc pada tanggal 22 Mei 2012. Eko. 2008. Initial Assesment dan Pengelolaannya. Available at URL : http//www.bedahurologi.com/2008/06/trauma-ugd-dr-ekost.doc. diakses tanggal : 24 Mei 2011 Gazali, A Paulus. 2012. Disaster Plan RSMS dalam Kuliah Blok Early Clinical and Community Exposure 2. Purwokerto: FK Unsoed Gazali, A. Paulus. 2012. Initial Assesment dalam Kuliah Blok Early Clinical and Community Exposure 2. Purwokerto : FK Unsoed http://reference.medscape.com/features/slideshow/fast Hudak, C.M. 1999. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC diakses

Komite ATLS. 2000. Advance Trauma Life Support. United States : American College of Surgeon Richard, F.C., Mayberry, J.C. 2004. Initial Management of Trauma Patient. Critical Care Clinics. 20: 1-11 Santoso, Siswo P. 2011. Perdarahan dan Syok dalam Kegawatdaruratan Medis. Purwokerto : Osipital Schurink GW, Bode PJ, van Luijt PA, van Vugt AB. The value of physical examination in the diagnosis of patients with blunt abdominal trauma: a retrospective study. Injury. 1997 May;28(4):261-5. Senapathi, Tjok Gde Agung. 2011. Disaster Management dalam Seminar Nasional Tanggap Darurat Bencana Menuju Indonesia Siaga. Bali : FK Universitas Udayana Sjamsuhidajat, R. dan de Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah ed. 2.Jakarta : EGC Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3. Jakarta : EGC Tintinalli, J.E., Kelen, G.D., Stapczynski, J.S. 2004. Emergency Medicine : A Comprehensive Study. USA Utami, Sugeng S. no date. Penatalaksanaan Klien Fraktur. Available at URL : http://www.scribd.com/riefe/d/16679339-Penatalaksanaan-Klien-Fraktur . diakses tanggal : 26 Mei 2011 Weill F, Le Mouel A, Bihr E, Rohmer P, Zeltner F, Sauget Y (April 1980). "[Ultrasonic diagnosis of intraperitoneal fluid in Morison's pouch (and in the splenoperitoneal recess): the moon crescent sign (author's transl)]" (in French). J Radiol 61 (4): 2516. PMID 7392002. Wijaya, Ika P. 2006. Syok Hipovolemik dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta : Departemen IPD FKUI. Zingarelli, Basilia. 2008. Shock and Reperfusion Injury dalam Rogers Text Bokk. Pediatric Intensive Care ed. 4 Hal 252. Philadelpia. Workshop

Vous aimerez peut-être aussi