Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PROVINSI ACEH
September 2014
KATA PENGANTAR
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten adalah rencana tata ruang
yang bersifat umum dari wilayah kabupaten, yang merupakan penjabaran
dari RTRW provinsi, dan yang berisi tujuan, kebijakan, strategi penataan
ruang wilayah kabupaten, rencana struktur ruang wilayah kabupaten,
rencana pola ruang wilayah kabupaten, penetapan kawasan strategis
kabupaten, arahan pemanfaatan ruang wilayah kota, dan ketentuan
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) memuat diantaranya klausul
mengenai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai salah satu
instrumen dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Di dalam
UUPPLH ini diamanatkan bahwa penyusunan KLHS merupakan hal yang
wajib pada setiap penyusunan dokumen perencanaan, diantaranya dalam
penyusunan RTRW. Petunjuk teknis pelaksanaannya saat ini salah satunya
diatur melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No.
09/2011 tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis.
Dengan dasar hukum yang demikian Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan
menyelenggarakan penyusunan dokumen KLHS untuk RTRW Kabupaten Aceh
Selatan. Proses penyusunan dokumen KLHS ini dimulai sejak bulan Januari
tahun 2013 dan pendokumentasian atau penyusunan laporan ini dilakukan
pada bulan Agustus 2014. Penyusunan KLHS ini dimaksudkan tidak saja
sebagai memenuhi prasyarat undang-undang tersebut diatas, melainkan juga
sebagai salah satu bentuk periksa yang ditujukan untuk perbaikan proses
penyusunan RTRW di Kabupaten Aceh Selatan.
Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Selatan dalam kesempatan ini
mengucapkan terima kasih, utamanya kepada kepada para pihak yang
mendukung penyelenggaraan penyusunan KLHS ini diantaranya kepada
USAID dengan Programnya Indonesia Forest and Climate Support (IFACS) dan
Tim Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD) serta pihak lainnya yang
tidak dapat disebutkan satu per satu.
1
diusulkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah telah
mempertimbangkan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Saat ini Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan sedang menyiapkan Rancangan
Qanun tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Aceh Selatan
Tahun 2013-2033. Setelah mendapatkan Rekomendasi Gubernur Aceh dan
persetujuan substansi dari Menteri Pekerjaan Umum, saat ini Rancangan
Qanun tersebut sedang menunggu untuk pembahasan dengan DPRK guna
dicapai kesepakatan antara pihak legislative dan eksekutif terkait muatan
rancangan Qanun.
Bersamaan dengan proses untuk penetapan Rancangan Qanun tentang RTRW
Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2013-2033 tersebut, dan dengan sesuai
amanat UU Nomor 32 Tahun 2009, Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan
menyiapkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) guna memastikan
bahwa muatan yang ditetapkan dalam RTRW Kabupaten Aceh Selatan telah
memperimbangkan prinsip pembangunan berkelanjutan, sehingga
diharapkan dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan akibat rencana yang
ditetapkan dapat diminimalisir.
Hasil KLHS mengkonfirmasi apakah Rancangan RTRW Kabupaten telah
mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, antara lain
dalam Rencana Struktur Ruang, Pola Ruang, dan Kawasan Strategis
Kabupaten. Hasil KLHS berupa rekomendasi dan mitigasi bagi
penyempurnaan muatan (KRP) RTRW yang disusun berdasarkan hasil
analisis yang partisipatif.
KLHS terhadap RTRW Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2013-2033 ini disusun
mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan
perundang-undangan yang menjadi landasan dan rujukan dalam penyusunan
KLHS RTRW Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2013-2033 ini adalah sebagai
berikut:
a. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
b. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional;
c. Undang-undang Nomor 32 Nomor 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun
2008;
d. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
e. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2010 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
2
f. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Kehutanan;
g. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata
Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah;
h. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang
i. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2009 tentang
PedomanPenyusunan RTRW-Kabupaten;
j. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan;
k. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang
Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;
l. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 9 Tahun 2011
tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis;
m. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2012 tentang
Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan dan Evaluasi Rencana
Pembangunan Daerah.
3
kebijakan, rencana atau program yang mempertimbangkan keterkaitan antar
sektor, antar wilayah, dan global-lokal. Nilai ini juga bermakna holistik
dengan adanya keterkaitan analisis antar komponen fisik-kimia, biologi dan
sosial ekonomi.
Keseimbangan bermakna agar penyelenggaraan KLHS senantiasa dijiwai
keseimbangan antar kepentingan, seperti antara kepentingan sosial-ekonomi
dengan kepentingan lingkungan hidup, kepentingan jangka pendek dan
jangka panjang dan kepentingan pembangunan pusat dan daerah.
Keadilan dimaksudkan agar penyelenggaraan KLHS menghasilkan kebijakan,
rencana dan/atau program yang tidak mengakibatkan marjinalisasi
sekelompok atau golongan tertentu masyarakat karena adanya pembatasan
akses dan kontrol terhadap sumber-sumber alam, modal atau pengetahuan.
No Kegiatan Pelaksanaan
1 Pengkajian pengaruh RTRW
1) Perancangan proses KLHS 14 Januari 2013
2) Identifikasi masyarakat dan pemangku Januari 2013
kepentingan
3) Identifikasi isu strategis 20 – 21 Maret 2013
4) Pelingkupan isu strategis 22 Mei 2013
5) Analisis data dasar 23 Mei 2013
6) Identifikasi muatan RTRW 24 Mei 2013
7) Telaah muatan RTRW 13 - 15 November 2013
2 Perumusan alternatif, mitigasi dan rekomendasi 8 Januari 2014
3 Pendokumentasian Januari 2014
4
No Kegiatan Pelaksanaan
4 Lokakarya Integrasi Hasil KLHS 23-24 April 2014
5 Konsultasi Publik Hasil KLHS 25 Agustus 2014
Sumber: Bappeda Kab. Aceh Selatan, 2014
5
karbon rendah; 3) menggunakan energi terbarukan untuk pertumbuhan
ekonomi. Pendekatan dan metode yang disebutkan diatas, memiliki catatan
sebagai berikut: Penghitungan proyeksi emisi GRK di masa yang akan datang
dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu: 1) ekstrapolasi berdasarkan perubahan
emisi di masa lalu; 2) perubahan emisi sebagai dampak dari implementasi
RTRW.
Dengan adanya SPER, diharapkan dapat menjadi pertimbangan kemungkinan
emisi GRK yang akan muncul dalam melaksanakan program perencanaan
pembangunan yang termuat dalam RTRW dengan memperhatikan hasil yang
termuat dalam dokumen KLHS ini.
6
BAB II
PROFIL WILAYAH KAJIAN DAN LINGKUP
PERENCANAAN TATA RUANG
7
Gambar 1. Peta Batas Adminitrasi Kabupaten Aceh Selatan
8
Bentuk dataran ini juga sangat ideal untuk lokasi pengembangan
perkotaan dan kegiatan budidaya jangka pendek. Dominan wilayah
berombak terdapat di Kecamatan Bakongan, Bakongan Tinur, Kluet
Timur, Samadua dan Sawang.
2. Wilayah landai dengan kondisi kemiringan 8–15% dengan luas
14.171,34 ha (3,39%). Wilayah dan kawasan dengan kondisi
kemiringan ini mempunyai kecocokan sebagai lokasi pengembangan
budidaya perkebunan atau tanaman tahunan. Bentuk permukaan
bergelombang ini tersebar di setiap kecamatan, yang dominan terletak
di Kecamatan Trumon Timur, Bakongan Timur dan Sawang.
3. Wilayah ini merupakan wilayah bergelombang dengan kondisi
kemiringan 15–25% tersebar disetiap kecamatan dengan luas
39.395,17 Ha (9,43%). Bentuk permukaan bergelombang paling
banyak dijumpai di Kecamatan Kota Bahagia, Kluet Timur, dan Meukek.
4. Wilayah perbukitan dan curam dengan kondisi kemiringan 25–40%
tersebar disetiap kecamatan dengan luas 157.698,84 ha (37,76%).
Wilayah perbukitan tersebar hampir semua kecamatan yang dominan
terletak di Kecamatan Kluet Tengah, Kluet Timur, dan Meukek.
5. Wilayah pegunungan dengan kondisi kemiringan >40%, bentuk
permukaannya yang sangat curam bervariasi terjal, umumnya
dijumpai sebagai kerucut dan puncak vulkan, lahan mudah longsor
hingga kawasan ini sebaiknya hanya digunakan sebagai kawasan
lindung. Wilayah pengunungan ini memiliki luas 67.319,51 (16,12%)
dengan penyebaran paling dominan terdapat di Kecamatan Kluet
Tengah, Meukek dan Kluet Timur.
Berdasarkan kondisi morfologi wilayah tersebut, sebesar lebih kurang
46.12% wilayah Kabupaten Aceh Selatan merupakan lahan dengan tingkat
kemiringan 0–25% dan 53,88% merupakan kawasan perbukitan dan
pengunungan karena memiliki tingkat kemiringan di atas 25%.
2.1.3 Geologi dan Jenis Tanah
Berdasarkan hasil pembacaan Peta Jenis Tanah yang disusun oleh Pusat
Penelitian Tanah Bogor, terdapat 7 (tujuh) jenis tanah yang di Kabupaten
Aceh Selatan, yaitu : (1) Andosol, (2) Komplek Podsolik Coklat, Podsolik dan
Podsol dan Litosol, (3) Komplek Podsolik Merah Kuning, Latosol dan Litosol,
(4) Komplek Rensing dan Litosol, (5) Organosol dan Gle Humus, (6) Podsolik
Merah Kuning dan (7) Regosol.
9
Gambar 2. Peta Morfologi Wilayah Kabupaten Aceh Selatan
Jenis tanah regosol merupakan jenis tanah yang paling sedikit berdasarkan
luas sebarannya, yaitu berada di bagian Utara Kecamatan Labuhanhaji,
Labuhanhaji Barat dan Labuhanhaji Timur yang merupakan lereng Gunung
Leuser. Sedangkan jenis tanah andosol menyebar di bagian Utara Kecamatan
Labuhanhaji, Labuhanhaji Timur, Labuhanhaji Barat, Meukek dan Kluet
Tengah yang merupakan lereng Gunung Leuser.
Jenis tanah Komplek Rensing dan Litosol tersebar di bagian tengah
Kecamatan Labuhanhaji, Labuhanhaji Barat, Labuhanhaji Timur dan Meukek.
Sementara itu penyebaran jenis tanah Komplek podsolik coklat, Podsol dan
Litosol terdapat di bagian utara Kecamatan Kluet Tengah.
Jenis tanah Komplek Podsolik Merah Kuning, Latosol dan Litosol menyebar
hampir di seluruh Kecamatan di Kabupaten Aceh Selatan, terutama pada
bagian utara dan barat Kecamatan Kluet Tengah, sebagian besar wilayah
Kluet Timur serta bagian utara Kecamatan Bakongan, Bakongan Timur,
Trumon dan Trumon Timur. Sebagian besar wilayah penyebaran Komplek
Podsolik Merah Kuning, Latosol dan Litosol merupakan morfologi lahan yang
berbukit dan bergunung-gunung. Sedangkan jenis tanah Organosol dan Gle
10
Humus menyebar di bagian selatan Kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan,
Bakongan dan Bakongan Timur serta sebagian besar wilayah Kecamatan
Trumon dan Trumon Timur yang berada dalam Kawasan Suaka Margasatwa
Rawa Trumon.
Jenis tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) menyebar dari utara sampai ke
selatan dari Kabupaten Aceh Selatan. Penyebaran jenis tanah PMK terdapat
pada bagian selatan Kecamatan Labuhanhaji, Labuhanhaji Barat, Labuhanhaji
Timur, Kluet Tengah dan Meukek. Jenis tanah PMK juga menyebar seluruh
lahan pada Kecamatan Sawang, Samadua, Tapaktuan dan Pasieraja. Jenis
tanah PMK juga terdapat pada bagian tengah Kecamatan Bakongan dan
Bakongan Timur serta pada bagian utara Kecamatan Trumon dan Trumon
Timur.
Ditinjau dari aspek geologi, sebagian besar batuan dasar wilayah Kabupaten
Aceh Selatan tersusun dari batuan gunung api, batuan sedimen dan meta
sedimen serta batuan terobosan. Batuan gunung api terdiri dari andesite,Tuff
dan vulcanic rock. Sebaran andesite terdapat hampir seluruh kecamatan yang
membentang dari utara Kecamatan Labuhanhaji Barat sampai ke Bakongan.
Batuan tuff terdapat di Trumon Timur, sedangkan vulcanic rock terdapat di
bagian selatan Kecamatan Bakongan Timur, bagian utara Kecamatan Trumon
dan Trumon Timur.
Batuan sedimen dan meta-sedimen terdiri dari arrenite-sandstone, boulder-
sandstone, calcilutites, conglomerate, gravel, meta-limestone, microgabro,
sandstone dan sandstone-siltstone. Batuan sedimen dengan penyebaran
terluas adalah arrenite-sandstone yang terdapat di bagian utara Kecamatan
Labuhanhaji Barat, Labuhanhaji, Labuhanhaji Timur, Meukek, Sawang,
Bakongan Timur, sebagian besar Kecamatan Kluet Tengah dan Kluet Timur.
Boulder-sandstone terdapat di dataran rendah dan sepanjang aliran sungai
dan muara sungai serta di pesisir pantai yang menyebar di Kecamatan
Labuhanhaji Barat, Labuhanhaji, Labuhanhaji Timur, Meukek, Sawang,
Samadua, Tapaktuan, Pasieraja, sepanjang aliran Krueng Kluet serta sebagian
besar rawa dan pesisir di Kecamatan Bakongan, Bakongan Timur, Trumon
dan Trumon Timur. Sebaran batuan sedimen dan meta-sedimen selengkapnya
disajikan pada peta lithologi Kabupaten Aceh Selatan. Batuan teroboson
terdiri dari diorite dan granite. Diorite terdapat di Kecamatan Bakongan
Timur dan Trumon sedangkan granite menyebar di Kecamatan Labuhanhaji
Timur, Labuhanhaji, Labuhanhaji Barat, Meukek, Sawang, Samadua,
Tapaktuan, Kluet Tengah, Kluet Timur dan Bakongan.
11
2.1.4 Iklim dan Cuaca
Berdasarkan Atlas Iklim Pertanian Indonesia (Balitklimat 2007) yang disusun
berdasarkan data klimatologi dari Tahun 1971-2000 menggunakan kombinasi
klasifikasi iklim Oldeman dan Smith-Ferguson, pola iklim di Kabupaten Aceh
Selatan sebagian besar berpola IVC (97.9%) dan hanya sebagian kecil yang
berpola IIIC (2.1%) di bagian utara Kecamatan Kluet Tengah. Pola Iklim IVC
mempunyai bulan kering berturut-turut kurang dari 3 bulan dan bulan basah
berturut-turut 7-9 bulan, sehingga dapat ditanami padi umur pendek dua kali
setahun dan satu kali palawija. Sedangkan pola Iklim IIIC mempunyai curah
hujan 2000–3000 mm.tahun-1 dan mempunyai bulan kering berturut-turut
kurang dari 4 bulan dan bulan basah berturut-turut 6-8 bulan sehingga dapat
ditanami sekali padi dan sekali palawija tetapi penanaman jangan pada bulan
kering.
Sebaran curah hujan di Kabupaten Aceh Selatan berkisar dari 2500-3750
mm/tahun Curah hujan tertinggi 3500–3750 mm.tahun-1 terjadi di sebelah
selatan Kecamatan Kluet Selatan, sebelah selatan Kecamatan Trumon dan
Trumon Timur, sedangkan yang terendah 2500–2750 mm.tahun-1 terjadi di
sebelah timur laut Kecamatan Trumon Timur. Sebagian Besar curah hujan
Kabupaten Aceh Selatan 3250–3500 mm.tahun-1 atau 54.32% luas wilayah
Kabupaten Aceh Selatan dan hampir jatuh di setiap kecamatan.
2.1.5 Pemerintahan
Sistem pemerintahan yang berlaku di Aceh Selatan sama seperti wilayah
lainnya di Provinsi Aceh yakni menganut 2 (dua) sistem pemerintahan yaitu
sistem Pemerintahan Lokal (Aceh) dan Sistem Pemerintahan Nasional
(Indonesia). Berdasarkan penjenjangannya, perbedaan adalah adanya
Pemerintahan Mukim di antara kecamatan dan Gampong. Kabupaten Aceh
Selatan membawahi 18 Kecamatan yaitu sebagai berikut:
12
gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang
dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di
bawah Camat. Mukim dibagi atas kelurahan dan Gampong. Kelurahan
dibentuk di wilayah kecamatan dengan Qanun Kabupaten/Kota yang
dipimpin oleh Lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh
pelimpahan dari Bupati/Walikota. Kelurahan di Provinsi Aceh dihapus secara
bertahap menjadi Gampong atau nama lain dalam Kabupaten/Kota. Gampong
atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah
Mukim dan dipimpin oleh Keuchik atau nama lain yang berhak
menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.
Pada saat ini Kabupaten Aceh Selatan terdiri atas 18 wilayah kecamatan, 43
wilayah kemukiman, dan 369 desa atau gampong. Sebagaimana Kabupaten
lainnya, Kabupaten Aceh Selatan dipimpin oleh Bupati terpilih untuk periode
tahun 2013 s/d 2017 yaitu H. T. Sama Indra, SH sebagai Bupati dan
Kamarsyah, S.Sos., M.M sebagai Wakil Bupati.
2.1.6 Sosial dan Budaya
Perkembangan penduduk Kabupaten Aceh Selatan dalam kurun waktu lima
tahun terakhir memperlihatkan angka yang fluktuatif. Berdasarkan data yang
ada, selama tahun 2008-2012, jumlah penduduk di Kabupaten Aceh Selatan
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 0,79 persen per tahun. Pada awal
Tahun 2008, penduduk di kabupaten ini adalah sebesar 210.215 jiwa. Jumlah
ini terus meningkat secara signifikan menjadi 211.564 jiwa pada Tahun 2009
dan sedikit menurun menjadi 204.667 Tahun 2010, dan lalu menjadi 207.025
jiwa pada tahun 2011. Memasuki akhir Tahun 2012, jumlah penduduk
Kabupaten Aceh Selatan diperkirakan telah mencapai 208.160 jiwa.
Sebagian penduduk Aceh Selatan terpusat di sepanjang jalan raya pesisir dan
pinggiran sungai dengan aktivitas sebagian besar bermata pencaharian di
sektor pertanian (80 %) disamping usaha-usaha lainnya (20 %). Selain itu di
Kabupaten ini masih ditemukan adanya masyarakat terasing di kawasan
pedalaman yang populasinya diperkirakan mencapai 2.638 jiwa (458 KK).
Seluruh masyarakat Aceh selatan menganut agama Islam dan terkenal dengan
ketaatannya beragama walaupun ada beberapa pedagang pendatang yang
bukan pemeluk agama islam.
Penyebaran penduduk Kabupaten Aceh Selatan berdasarkan suku adalah
sebagai berikut:
13
Tabel 2 : Suku Bangsa di Aceh Selatan
14
2.2 Tinjauan Singkat Materi Teknis RTRW
15
Gambar 3. Kedudukan RTRW Kabupaten dalam Sistem Penataanan Ruang dan
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
16
berlokasi di kabupaten yang bersangkutan telah terakomodasi di dalam
RTRW Kabupaten yang bersangkutan. Hal ini untuk menjamin harmonisasi,
sinkronisasi, dan keselarasan mautan rencana tata ruang secara berjenjang.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, maka secara
umum tahapan dalam proses penetapan Qanun tentang RTRW Kabupaten
Aceh Selatan meliputi tahapan sebagai berikut:
1. Tahap Penyusunan Materi Teknis RTRW Kabupaten Aceh Selatan;
2. Tahap Penyusunan Rancangan Qanun tentang RTRW Kabupaten
Aceh Selatan;
3. Tahap Rekomendasi Gubernur Aceh;
4. Tahap Persetujuan Substansi dari Menteri Pekerjaan Umum;
5. Tahap Kesepakatan antara Bupati/Walikota dengan DPRD;
6. Tahap Evaluasi Rancangan Qanun oleh Gubernur; dan
7. Tahap Penetapan Qanun
Saat ini RTRW Kabupaten Aceh Selatan telah sampai pada tahap menunggu
untuk pembahasan materi RTRW Kabupaten Aceh Selatan dengan DPR
Kabupaten Aceh Selatan untuk mendapat kesepakatan antara pihak eksekutif
(Bupati) dengan pihak legislatif (DPRK). Proses penetapan Ranqanun tentang
RTRW Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2013-2033 disarikan pada Tabel di
bawah ini.
17
No. Tahapan Keterangan
6. Tahap Evaluasi Ranqanun oleh
Gubernur Aceh
7. Tahap Penetapan Qanun
Sumber: Pemkab Aceh Selatan, 2013
18
Tabel 4 : Ikhtisar Muatan RTRW Kabupaten Aceh Selatan 2012 – 2033
No Komponen Muatan RTRWK Ikhtisar Muatan RTRW Kabupaten Aceh Selatan 2013-2033
1. Tujuan, Kebijakan dan Strategi Penataan
Ruang
a. Tujuan Penataan Ruang Tujuan penataan ruang Kabupaten Aceh Selatan adalah:
“Mewujudkan Kabupaten Aceh Selatan Sebagai Kabupaten Agrobisnis, Pariwisata Dengan
Memperhatikan Konservasi Dan Mitigasi Kebencanaan”
b. Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Tujuan penataan ruang Kab. Aceh Selatan diterjemahkan dalam 13 kebijakan dan 76 strategi
penataan ruang. Masing-masing kebijakan diterjemahkan dalam strategi penataan ruang.
Kebijakan penataan ruang tersebut adalah:
1. penguatan dan pemulihan fungsi kawasan lindung memuat 3 strategi;
2. pengembangan bentuk pemanfaatan sumber daya alam yang berbasis konservasi guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat memuat 4 strategi;
3. Peningkatan produktivitas wilayah melalui intensifikasi lahan dan modernisasi
pertanian dengan pengelolaan yang ramah lingkungan memuat 4 strategi;
4. penataan lahan pertanian lahan basah memuat 3 strategi;
5. pengembangan wisata potensial ramah lingkungan dan ramah budaya memuat 4
strategi;
6. penataan lahan hutan memuat 6 strategi;
7. penataan lahan perkebunan memuat 3 strategi;
8. pengembangan pemanfaatan potensi perikanan dan kelautan sesuai potensi lestari
memuat 4 strategi;
9. pengembangan sektor industri, peternakan, dan perdagangan yang mendukung
agrobisnis memuat 6 strategi;
10. pengembangan pusat kegiatan agrobisnis, pariwisata dan permukiman memuat 5
strategi;
11. pembangunan prasarana dan sarana wilayah yang berkualitas untuk pemenuhan hak
dasar dan dalam rangka perwujudan tujuan penataan ruang yang berimbang, berbasis
konservasi serta mitigasi kebencanaan memuat 19 strategi;
12. pengembangan pemanfaatan sumberdaya alam dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan dan kebencanaan memuat 12 strategi; dan
19
No Komponen Muatan RTRWK Ikhtisar Muatan RTRW Kabupaten Aceh Selatan 2013-2033
13. peningkatan fungsi kawasan pertahanan dan keamanan negara memuat 3 strategi.
2. Rencana Struktur Ruang (Gambar 4)
a. Sistem Pusat Kegiatan Penetapan pusat-pusat kegiatan di:
PKL Tapaktuan
PKLp Labuhan Haji, Bakongan, dan Kotafajar
PPK Simpang Empat, Keude Rundeng, Seubadeh, Ladang Rimba, Kuta Buloh I
PPL Keude Trumon, Krueng Luas, Bukit Gadeng, Paya Dapur, Terbangan,
Managgamat, Aluepaku, Peulumat, Blangkeujeren
b. Sistem Jaringan Prasarana Utama Terdiri dari:
(Transportasi) Jaringan transportasi darat, meliputi:
Penetapan jaringan jalan (jalan kolektor primer, jalan lokal primer, dan rencana
pembangunan jalan baru);
Penetapan terminal B (di Tapaktuan) dan C (di Labuhanhaji, Trumon Timur, Kota Fajar,
dan Bakongan).
Jaringan Sungai dan Penyeberangan berupa penyeberangan regional dan
penyeberangan lokal
Jaringan Kereta Api perencanaan jalur KA Subulussalam – Tapaktuan – Aceh Barat
Daya
Jaringan Transportasi Laut meliputi pengembangan pelabuhan pengumpan di
Tapaktuan dan pengembangan terminal khusus (barang) di Meukek.
Jaringan transportasi udara, berupa otimalisasi bandara Teuku Cut Ali sebagai bandara
pengumpan
c. Sistem Jaringan Prasarana Pendukung Meliputi:
rencana jaringan listrik pengembangan PLTA dan PLTMH, PLTD, dan sumber energi
alternatif;
rencana jaringan telekomunikasi;
rencana sumber air bersih pengembangan DI Provinsi seluas 5.564,39 Ha dan DI
Kabupaten seluas 5.259,86 Ha.
rencana prasarana lainnya
20
No Komponen Muatan RTRWK Ikhtisar Muatan RTRW Kabupaten Aceh Selatan 2013-2033
3. Rencana Pola Ruang
a. Kawasan Lindung Meliputi penetapan:
Hutan lindung, seluas 154.610,55 Ha;
Kawasan perlindungan setempat, meliputi sempadan pantai, sempadan sungai dan
kawasan sekitar danau;
Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya berupa Taman Nasional
Gunung Leuseur seluas 78.705,14 Ha dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil seluas
52.050,45 Ha;
Kawasan bencana alam, berupa kawasan rawan rawan banjir dan gelombang pasang;
Kawasan lindung geologi, berupa kawasan gempa bumi, rawan tsunami, rawan gerakan
tanah tinggi, dan rawan abrasi;
Kawasan lindung lainnya berupa Kawasan lindung diluar kawasan hutan seluas 2.976,14
Ha.
b. Kawasan Budidaya Meliputi rencana pengembangan untuk:
1) Hutan produksi, yang meliputi:
Hutan produksi tetap seluas 4.580,35 Ha;
Hutan produksi terbatas seluas 3.545,18 Ha;
2) Kawasan peruntukan pertanian, yang terdiri dari:
Pertanian lahan basah seluas 11.346,53 Ha;
Pertanian lahan kering dan hortikultura seluas 38.016,41 Ha;
Tanaman pangan berkelanjutan seluas 7.256,38 Ha;
Perkebunan, meliputi perkebunan besar seluas 4.915,37 Ha dan perkebunan rakyat
seluas 38.094,09 Ha;
Peternakan seluas 2.125,11 Ha .
3) Kawasan peruntukan perikanan, terutama perikanan laut, baik perikanan tangkap maupun
budidaya perikanan;
4) Kawasan peruntukan pariwisata, yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten;
5) Kawasan peruntukan permukiman, meliputi:
Permukiman perkotaan seluas 1.675,56 Ha;
Permukiman perdesan seluas 2.312,66 Ha.
21
No Komponen Muatan RTRWK Ikhtisar Muatan RTRW Kabupaten Aceh Selatan 2013-2033
6) Kawasan peruntukan khusus, meliputi:
Kawasan hankam;
Kawasan transmigrasi seluas 15.158,98 Ha dan tersebar di 6 kecamatan; dan
Kawasan adat terpencil seluas 18,40 Ha dan tersebar di 2 kecamatan.
Pola Ruang Laut Meliputi:
Zona konservasi, meliputi:
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) seluas 4.022,39 Ha; dan
kawasan yang diusulkan sebagai KKP seluas 18.349,43 Ha.
Zona pemanfaatan umum (untuk perikanan tangkap) seluas 345.381,56 Ha meliputi
seluruh wilayah perairan selain kawasan konservasi perairan
4. Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten Menetapkan KSK, yaitu:
KSK Perkotaan Labuhanhaji;
KSK Perkotaan Tapaktuan;
KSK Perkotaan Kotafajar;
KSK Perkotaan Bakongan;
KSK Perkotaan Meukek;
KSK Minapolitan (5 kecamatan);
KSK Agropolitan (9 kecamatan)
5. Arahan Pemanfaatan Ruang Menetapkan indikasi program pemanfataan ruang dalam rangka perwujudan rencana struktur
dan pola ruang.
Indikasi program ditetapkan dalam bentuk matriks indikasi program pemanfaatan ruang yang
memuat uraian mengenai program, sumber pendanaan, instansi pelaksana, serta waktu dan
tahapan pelaksanaan program.
6. Ketentuan Umum Pengendalian Pemanfaatan Meliputi:
Ruang ketentuan umum peraturan zonasi;
ketentuan perizinan;
ketentuan pemberian insentif dan disinsentif; serta
arahan pengenaan sanksi
Sumber: disarikan dari Rancangan Qanun tentang RTRW Kabupaten Aceh Selatan, 2013-2033
22
Gambar 4. Peta Rencana Struktur Ruang Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2014 - 2034
23
Gambar 5. Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2014 - 2034
24
2.2.3 Kajian Konsistensi Tujuan, Kebijakan dan Strategi RTRW
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang dinyatakan bahwa dalam rangka pemanfaatan ruang
dilakukan : (a) perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata
ruang, (b) perumusan program sektoral dan kewilayahan dalam rangka
perwujudan struktur ruang dan pola ruang; dan pelaksanaan pembangunan
sektoral dan pengembangan wilayah sesuai dengan program pemanfaatan
ruang.
Berdasarkan telaah dengan metoda content analysis terhadap penetapan
tujuan, kebijakan, strategi, rencana struktur dan rencana pola ruang
Kabupaten Aceh Selatan, berikut beberapa hal penting terkait hasil kajian
yang diperoleh:
1) Berdasarkan tujuan penataan ruang, sektor unggulan di Kabupaten Aceh
Selatan adalah agrobisnis dan pariwisata. Dengan demikian
pengembangan kawasan perlu diarahkan kepada dua sektor utama
tersebut, yaitu pertanian dan pariwisata dengan didukung oleh sektor
lainnya. Meskipun tidak dijelaskan subsektor pertanian yang menjadi
unggulan, namun ditinjau dari rencana pola ruang, maka sektor
perkebunan dan pertanian tanaman pangan menjadi dominasi sektor yang
akan dikembangkan.
2) Ditinjau dari rencana pola ruangnya, peruntukan budidaya pertanian
terutama diarahkan untuk pertanian tanaman pangan lahan kering.
Sedang untuk peruntukan perkebunan rakyat terdapat sejumlah kawasan
hutan yang cukup besar (38.094,09 Ha) untuk diusulkan perubahan fungsi
dan statusnya menjadi perkebunan rakyat. Hal ini tampak kurang
konsisten dengan kebijakan penguatan dan pemulihan fungsi kawasan
lindung; kebijakan pengembangan bentuk pemanfaatan sumber daya alam
yang berbasis konservasi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
serta kebijakan penataan lahan hutan. Kebijakan pengembangan lahan
perkebunan sendiri mengarahkan strateginya pada pengembangkan
kawasan perkebunan pada wilayah yang memiliki kesesuaian lahan
optimal dan prospektif bagi pengembangan tanaman perkebunan serta
upaya intensifikasi dan diversikasi komoditas perkebunan;
3) Terkait dengan kebijakan penguatan dan pemulihan fungsi kawasan
lindung, strategi mengembangkan permukiman perkotaan dan perdesaan
sesuai daya dukung dan daya tampung dipandang kurang selaras dengan
kebijakan yang ditetapkan. Semestinya kebijakan penguatan dan
pemulihan kawasan lindung diarahkan pada strategi untuk pemantapan
25
kawasan lindung serta strategi-strategi untuk pemulihan kawasan lindung
yang telah terganggu oleh aktivitas budidaya. Sedang pengembangan
permukiman perkotaan dan perdesaan meskipun dikembangkan dengan
memperhatikan daya dukung dan daya tampung semestinya merupakan
bagian dari kebijakan pengembangan pusat kegiatan.
4) Dalam mewujudkan kebijakan penataan lahan pertanian lahan basah,
ditetapkan tiga strategi pengembangan, yaitu strategi pengembangan
kawasan agropolitan, strategi penetapan fungsi lahan pangan pertanian
berkelanjutan, serta strategi penetapan kawasan strategis lumbung padi.
Beberapa hal terkait konsistensi kebijakan dan strategi penataan ruang
tersebut dengan perwujudan rencana pola ruang yang ditetapkan, berikut
hal yang perlu diperhatikan:
Terkait strategi pengembangan kawasan agropolitan, RTRWK Aceh
Selatan telah menetapkan 9 (sembilan) kawasan agropolitan dalam
penetapan Kawasan Strategis Kabupaten, yaitu di Kecamatan Kluet
Utara, Pasieraja, Kluet Timur, Labuhanhaji Barat, Labuhanhaji,
Labuhanhaji Timur, Trumon, Trumon Tengah, dan Trumon Timur.
Terkait strategi penetapan fungsi lahan pangan pertanian berkelanjutan,
meskipun dalam rancangan Qanun pada Pasal 32 ayat (4) telah
ditetapkan lahan pangan pertanian berkelanjutan seluas 7.256,38 Ha,
namun dalam peta rencana pola ruang belum terakomodasi, sehingga
lokasi penetapannya perlu ditetapkan dengan lebih jelas.
Terkait strategi penetapan kawasan strategis lumbung padi, baik di
dalam rencana pola ruang maupun dalam penetapan KSK belum
terdapat arahan lokasi yang ditetapkan sebagai lumbung padi.
Dengan demikian, penetapan strategi untuk mewujudkan kebijakan
penataan lahan pertanian lahan basah perlu diarahkan pada lokasi yang
lebih jelas dalam rencana pola ruang maupun penetapan kawasan strategis
kabupaten.
5) Dalam mewujudkan kebijakan pengembangan wisata potensial ramah
lingkungan dan ramah budaya, salah satu strategi yang ditetapkan adalah
mengembangkan ekowisata, agrowisata, wisata budaya, dan jasa
lingkungan. Namun dalam rencana pola ruang khususnya terkait kawasan
peruntukan pariwisata, tidak terdapat kejelasan mengenai kawasan yang
akan dikembangkan sebagai kawasan ekowisata dan agrowisata.
Pembagian kawasan pariwisata mengacu pada pembagian kawasan wisata
alam, wisata budaya, dan wisata minat khusus. Dalam rencana pola ruang
tidak terdapat kejelasan wisata alam dan wisata minat khusus mana saja
yang akan dikembangkan untuk ekowisata dan agrowisata.
26
6) Dalam mewujudkan kebijakan pengembangan pemanfaatan potensi
perikanan dan kelautan sesuai potensi lestari, terdapat 4 (empat) strategi
pengembangan yang ditetapkan. Terkait dengan perwujudan dalam
rencana pola ruang dan penetapan kawasan strategis kabupaten, berikut
beberapa hal yang dapat dikaji:
Terkait strategi mengoptimalkan pemanfaatan perikanan tangkap,
budidaya laut, air payau, dan air tawar, rencana pola ruang tidak merinci
secara detail jenis perikanan budidaya (laut, air payau, air tawar) yang
akan dikembangkan di 6 (enam) kecamatan yang ditetapkan sebagai
kawasan peruntukan budidaya perikanan dalam rencana pola ruang.
Terkait strategi pembangunan sarana dan prasarana kelautan, rencana
struktur ruang maupun rencana pola ruang belum memberikan arahan
pembangunan sarana dan prasarana kelautan untuk mendukung
pengembangan perikanan dan kelautan;
Terkait strategi pengembangan industri pengolahan ikan, rencana pola
ruang juga belum memberikan arahan lokasi untuk pengembangan
industri pengolahan ikan. Pada bagian arahan untuk penetapan
kawasan peruntukan industri juga tidak menyebutkan arahan untuk
pengembangan industri pengolahan ikan.
Terkait strategi pengembangan kawasan minapolitan, terdapat 5 (lima)
kecamatan yang ditetapkan sebagai KSK minapolitan.
Dengan demikian, beberapa strategi untuk mewujudkan kebijakan
pengembangan pemanfaatan potensi perikanan dan kelautan belum
diwujudkan dalam rencana struktur, rencana pola, maupun penetapan
kawasan strategis kabupaten.
7) Terkait upaya untuk mewujudkan kebijakan pembangunan prasarana dan
sarana wilayah yang berkualitas untuk pemenuhan hak dasar dan dalam
rangka perwujudan tujuan penataan ruang yang berimbang berbasis
konservasi serta mitigasi kebencanaan, 22 strategi yang ditetapkan belum
mengarah pada pengembangan sarana dan prasarana yang berbasis
konservasi dan mitigasi kebencanaan. Sebagai contoh, strategi
meningkatkan status dan kualitas jalan tidak memberikan arahan strategi
berbasis konservasi dan mitigasi kebencanaan. Demikian juga strategi
peningkatan tipe terminal selaras hirarki kota belum memberi arahan
berbasis konservasi dan mitigasi kebencanaan.
27
BAB III
PROSES DAN METODOLOGI
28
lokakarya yang diadakan selama proses penyusunan KLHS dilibatkan
perwakilan masyarakat. Pemilihan peserta lokakarya merupakan peran dari
Bappeda Kabupaten Aceh Selatan selaku penanggung jawab kegiatan.
Sementara itu masukan untuk pemilihan peserta diberikan oleh para pihak
yang mendukung kegiatan ini.
29
Memeriksa duplikasi terhadap berbagai isu strategis yang diidentifikasi
pada tahap pra-pelingkupan. Hal ini dilakukan sebagai satu langkah
awal sebelum memeriksa isu-isu ini menggunakan kriteria strategis.
Memilih isu strategis yang paling signifikan berdasarkan kriteria
strategis yang ditetapkan, yaitu: (1) bersifat lintas sektor; (2) bersifat
lintas wilayah; (3) potensi dampak kumulatif & efek ganda; serta (4)
berdampak negatif jangka panjang jika tidak diselesaikan. Setiap isu
strategis yang diidentifikasi diberi nilai berdasarkan keempat kriteria
yang ditetapkan tersebut.
Memilih isu yang memiliki dimensi keruangan untuk dianalisis lebih
jauh.
Setelah melalui proses kajian dan penilaian berdasarkan keempat kriteria
yang ditetapkan di atas, Tim Kerja KLHS menetapkan isu strategis
pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Aceh Selatan. Konsultasi publik
dilakukan untuk memperoleh tanggapan dan masukan dari publik yang lebih
luas terkait dengan isu-isu strategis ini. Konsultasi public dilakukan pada
tanggal 16 November 2013 dan menghasilkan 4 (empat) isu strategis
pembangunan berkelanjutan, yaitu:
1. Frekuensi banjir yang masih sering terjadi
2. Pertambangan yang tidak ramah lingkungan
3. Alih fungsi lahan sawah untuk perkebunan
4. Sebaran Hama dan Penyakit tanaman Pala yang Makin Meluas
30
Metode yang digunakan pada proses analisis data dasar adalah analisis
kecenderungan terhadap parameter dan indikator yang terkait dengan tiap
isu strategis.
Analisis data dasar untuk setiap isu strategis memuat deskripsi sebagai
berikut:
1) Gambaran Isu Strategis, dimaksudkan untuk menjelaskan
kondisi/fakta dan masalah isu dimaksud; lokasi isu strategis, faktor
penyebab isu yang terkait dan implikasi masalah dimaksud.
2) Analisis Kecenderungan, dimaksudkan untuk menjelaskan proses yang
muncul dan berkembangnya masalah yang dimaksud semenjak 5
tahun yang lalu di masing-masing lokasi, kelompok masyarakat yang
mengalami kerugian akibat masalah dimaksud; apakah masalah
dimaksud sudah mencapai titik kritis; mengapa masalah ini cenderung
meningkat, apakah karena pembiaran?
3) Perkiraan kecenderungan pada masa yang akan datang, dimaksudkan
untuk menjelaskan prakiraan 5 tahun yang akan datang apabila
masalah tersebut tidak ditangani; bagaimana akumulasi kerugian
(finansial dan lingkungan hidup), kelompok masyarakat yang
mengalami kerugian; apakah memang masalah dimaksud tidak dapat
dicegah dan/atau ditanggulangi dan/atau dipulihkan?.
4) Rangkuman atau kesimpulan hasil analisis kecenderungan
5) Analisis kecenderungan didukung dengan data tabuler, grafik, peta,
grafik, dan lain sebagainya.
3.4.1 Isu Strategis : Frekuensi banjir yang masih sering terjadi
Dengan kondisi topografi, geologi, dan curah hujan, wilayah Kabupaten Aceh
Selatan relatif rawan terhadap ancaman bencana alam terutama banjir di
daerah dataran banjir.
Sebagai daerah yang memiliki DAS cukup banyak, Kabupaten Aceh Selatan
juga rawan terhadap bahaya banjir, terutama banjir sungai. Sebagian besar
banjir terjadi di kawasan paparan banjir, yaitu yang berada di sepanjang sisi
sungai-sungai yang mengalir di Kabupaten Aceh Selatan.
Kawasan dataran rendah di bagian Selatan Kabupaten Aceh Selatan juga
dikenal sebagai daerah rawa yang memang merupakan kawasan paparan
banjir. Selain itu, curah hujan di kawasan Selatan relatif cukup tinggi. Data
klimatologi menunjukkan curah hujan di wilayah Selatan ini juga didominasi
dengan curah hujan yang cukup tinggi, yaitu 3500 – 3750 mm/tahun.
31
Data Bappeda Kabupaten Aceh Selatan 2010 menunjukkan daerah-daerah
yang rawan terhadap banjir tersebar di Kecamatan Samadua, Sawang, Kluet
Selatan, Kluet Utara, Trumon, Trumon Timur, Tapaktuan, dan Meukeuk.
Beberapa lokasi rawan banjir juga merupakan daerah rawan erosi dan
longsor. Diduga kondisi topografi dan geologi di kawasan Aceh Selatan
mempengaruhi kejadian longsor dan erosi yang berakibat pada banjir
bandang.
Data Kabupaten Aceh Selatan Dalam Angka 2010 menunjukkan tahun 2009
tercatat kejadian banjir sebanyak 29 kali dan tersebar di 11 kecamatan.
Frekuensi kejadian banjir terbanyak terjadi di Kecamatan Bakongan, Kota
Bahagian, Trumon dan Trumon Timur. Kejadian banjir tahun 2008 tercatat
sebanyak 35 kali, sedang tahun 2007 tercatat sebanyak 16 kali. Jumlah korban
akibat kejadian bencana alam, terutama banjir terbanyak terjadi pada tahun
2008 dibanding tahun 2009 dan 2007. Pada tahun 2009, data Kabupaten
Aceh Selatan Dalam Angka 2010 mencatat jumlah korban yang terkena
dampak sebanyak 64.658 jiwa, sedang pada tahun 2009 mencatat jumlah
korban yang terkena dampak banjir 10.462 jiwa.
Sedangkan jika ditinjau dari kelas lerengnya, meskipun 46% wilayah
Kabupaten Aceh Selatan merupakan dataran rendah dengan kemiringan di
bawah 25%, namun sebagian besar merupakan kawasan rawa dengan tingkat
curah hujan yang tinggi sehingga rawan terjadi banjir (Gambar 6). Kawasan
di bagian paling selatan Kabupaten Aceh Selatan merupakan SM Rawa
Singkil, sehingga kawasan Trumon dan sekitarnya juga merupakan kawasan
rawa. Sementara kawasan Kluet dan sekitarnya yang merupakan kawasan
dataran rendah diindikasikan merupakan daerah rawa.
Tabel 5 menggambarkan banjir yang terjadi setiap tahunnya berdasarkan
catatan beberapa media.
32
Gambar 6. Peta Curah Hujan di Kabupaten Aceh Selatan
Kejadian
Lokasi dan Deskripsi Sumber
Banjir
10 Mei 2013 Kecamatan Sawang, Kluet Tengah, Kluet Merdeka.com 11 Mei
Utara, Kota Bahagia, Bakongan, dan Kluet 2013 -
Selatan. Ribuan rumah terendam banjir http://www.merdeka.co
hingga ketinggian 2,5 meter. m/peristiwa/ribuan-
rumah-terendam-banjir-
di-aceh-seorang-bocah-
tewas.html
2 Desember Trumon - ketinggian air mencapai 1 hingga 2 Badan SAR Nasional
2012 meter, evakuasi korban dilakukan dari tiga http://www.basarnas.go.
wilayah dalam kecamatan Trumon, yakni id/index.php/baca/berita
wilayah Cot Bayu, wilayah Ie Jerneh, dan /1729/banjir-kembali-
Padang Harapan. datang-di-trumon-aceh-
selatan
33
Kejadian
Lokasi dan Deskripsi Sumber
Banjir
1 Desember Kota Bahagia dan Bakongan - delapan desa di Serambi Indonesia, 2
2011 Kecamatan Kota Bahagia dan dua desa di Desember 2011 -
Kecamatan Bakongan dilanda banjir besar. http://aceh.tribunnews.c
Kecamatan Kota Bahagia meliputi Desa om/2011/12/02/banjir-
Butong, Ujung Gunong Rayeuk, Ujong Gunong landa-kota-bahagia-dan-
Cut, Ujong Tanoh, Jambo Kepok, Alur Dua bakongan
Mas, Rambong dan Desa Buket Gadeng.
Sedangkan di Kecamatan Bakongan meliputi
Desa Ujung Padang dan Gampong Drien.
Banjir akibat meluapnya Krueng Bakongan
ini juga telah mengakibatkan lima desa di
wilayah itu terisolir, yakni Desa Beutong,
Ujong Tanoh dan Ujong Pulo Cut, Alur Dua
Mas dan Jambo Kepok. Ketinggian air 1 – 2
meter.
3 Oktober Banjir di 5 kecamatan yaitu Kec. Kluet Berita Kementerian
2010 Tengah, Kec. Kluet Utara, Kec. Kluet Timur, Kesehatan, Pusat
Kec. Kluet Selatan dan Kec. Bakongan. Penanggulangan Krisis
Kesehatan, 4 Oktober
2010 -
http://penanggulangankr
isis.depkes.go.id/article/
view/6/958/Banjir-di-
Kabupaten-Aceh-
Selatan.htm
1 Desember Kecamatan Trumon dan Trumon Timur. Surya Online, 2 Desember
2010 Banjir akibat luapan sungai Singkil karena 2010 -
curah hujan tinggi. Desa yang terpapar http://surabaya.tribunne
banjir: Desa Lhok Raya, Cot Bayu, Desa ws.com/2010/12/02/ba
Seuneubok Jaya, Ujong Tanoh, dan Padang njir-aceh-selatan-kian-
Harapan. parah
Pertengahan Kecamatan Trumon dan Trumon Timur Jejak dari http://hutan-
November – tersisa.blogspot.com/200
awal 9/04/refleksi-dari-
Desember banjir-aceh.html
2008
Sumber: Disarikan oleh Tim KLHS dari Berbagai Media
34
Gambar 7. Kondisi Banjir di Kecamatan Trumon Tahun 2011
Potensi Banjir ini terjadi pada musim penghujan, yaitu Bulan Nopember
sampai Bulan Maret. Ketinggian air bisa mencapai satu meter pada kawasan
35
dengan potensi banjir ringan.Potensi banjir di Kecamatan Bakongan, Trumon,
dan Trumon Timur sebagian besar disebabkan oleh perubahan penutupan
lahan dari hutan menjadi bukan hutan dan sebagian juga terjadi alih fungsi
dari hutan menjadi perkebunan sawit.
36
Bahan
Lokasi Dampak
Tambang
m3; kemungkinan disebabkan kegiatan
Desa Pulo Ie II penambangan di sekitar tiang-tiang
Kecamatan Kluet penyangga jembatan.
Utara + 31.298.750,0 Penurunan permukaan sungai mempengaruhi
m3 dan penurunan permukaan air sumur penduduk;
Desa Ladang Rimba Hilangnya gundukan pasir di pantai yang
Kecamatan Trumon berguna sebagai benteng alam yang efektif
dengan Deposit + terhadap ancaman terjadinya abrasi atau
19.918.000,0 m3. gelombang pasang.
2. Tanah Gunung Kemenyan Penambangan Pasir pada Lahan Sawah atau
urug Kecamatan Kluet Pekarangan, bila penambangan pasir di
Selatan + sawah dekat dengan irigasi teknis akan
2.002.781.000,0 m3) memberikan dampak, diantaranya adalah
Desa Paya Ateuk hilangnya top soil tanah sehingga lahan
Kecamatan Pasieraja menjadi tidak subur dan rusaknya jaringan
+ 96.861.900,0 m3 irigasi teknis yang dapat mempengaruhi
Kampung Pisang aliran air ke lahan-lahan yang lain. Sedangkan
Kecamatan penambangan pasir di pekarangan akan
Labuhanhaji + berdampak pada hilangnya kesuburan tanah
53.676.000,0 m3 sehingga terjadi peningkatan luas lahan kritis.
Desa Ie Mirah
Kecamatan Kluet Dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan
Utara + 25.015.200,0 penambangan batu:
m3 di meningkatnya kerawanan terhadap bahaya
Desa Pulo Ie II longsor, hilangnya keseimbangan ekosistem
Kecamatan Kluet lokal;
Utara dengan deposit kemungkinan adanya kepunahan organisme
+ 19.574.900,0 m3 endemik ekosistem perbukitan batu kapur ;
munculnya konflik dengan masyarakat
sekitar lokasi penambangan yang disebabkan
oleh: peningkatan kerawanan terhadap
bahaya longsor yang dapat mengancam
permukiman mereka, peningkatan
kebisingan, getaran dan konsentrasi partikel
debu yang disebabkan oleh kegiatan
penambangan yang dapat menurunkan
kualitas udara sekitar, lalu lintas kendaraan
berat yang dapat menimbulkan kerawanan
gangguan lalu lintas, peningkatan konsentrasi
partikel debu, kebisingan dan getaran serta
kerusakan sarana dan prasarana jalan
Sumber: SLHD Kabupaten Aceh Selatan 2011
37
Bahan Galian B Lokasi Dampak
utara; (d). 1 km Tenggara pada lokasi pertambangan.
Tapaktuan; (e). 12 km 2). Perlindungan
Timur Laut Tapaktuan ekosistem/habitat/biodiversity di
bagian Timur; (f). 15 km sekitar lokasi pertambangan.
timur laut Tapaktuan bagian 3). Perubahan lanskap/gangguan
timur; (g). 15 km Tenggara visual/kehilangan penggunaan lahan.
Air Pinang. 4). Stabilitas site dan rehabilitasi.
Emas Labuhanhaji 5). Limbah tambang dan pembuangan
Besi a). Desa Panton Luas tailing.
Tapaktuan, dan (b). 15 km 6). Kecelakaan/terjadinya longsoran
Tenggara Desa Air Pinang. fasilitas tailing.
Lokasi Deposit pasir besi 7). Peralatan yang digunakan, limbah
terdapat di Kecamatan padat, limbah rumah tangga.
Samadua 8). Emisi udara.
Timah Desa Panton Luas, Barat 9). Debu.
Laut Kecamatan Tapaktuan. 10). Perubahan iklim.
Air Raksa Krueng Simpali Kecamatan 11). Konsumsi energi.
Tapaktuan dan Batu Bara 12). Pelumpuran dan perubahan aliran
sebelah Timur Kota sungai.
Tapaktuan. 13). Buangan air limbah dan air asam
tambang.
14). Limbah B3 dan bahan kimia.
15). Pengelolaan bahan kimia, keamanan,
dan pemaparan bahan kimia di
tempat kerja.
16). Kebisingan.
17). Radiasi.
18). Keselamatan dan Kesehatan kerja.
19). Toksisitas logam berat.
20). Peninggalan budaya dan situs
arkeologi
21). Kesehatan masyarakat dan
pemukiman di sekitar tambang.
Sumber : SLHD Kabupaten Aceh Selatan 2011
38
menjadi senyawa beracun bernama metil mercury (CH3 Hg). Apabila merkuri
yang jatuh ke air melalui sisa-sisa ikatan tambang emas sampai ke dasar
sungai, sifatnya sudah beracun (toksin). Pada manusia, dampaknya bisa
mengenai kinerja saraf tubuh sebagaimana terjadi di tragedi Minamata
Jepang. Karenanya badan sungai yang diduga menjadi aliran pergerakan
merkuri perlu diantisipasi sedini mungkin. Pada saat proses pengolahan
ternyata juga cukup rawan bagi kesehatan manusia. Mereka yang membakar
emas yang menggunakan mercury, terancam gangguan saluran pernafasan
karena udara yang dihirup masuk hingga menuju paru-paru.
Kecenderungan masa depan untuk kegiatan penambangan ini diperkirakan
akan semakin tinggi, hal ini dilihat dari potensi kandungan bahan galian yang
masih dinilai cukup banyak dan diminati masyarakat.
3.4.3 Isu strategis : Alih Fungsi Lahan Sawah untuk Perkebunan
Lahan pertanian di Kabupaten Aceh Selatan meliputi lahan untuk budidaya
padi (padi sawah dan padi ladang), sayur-sayuran, tanaman buah-buahan,
tanaman perkebunan, dan areal yang dikembangkan untuk budidaya perairan
(kolam ikan dan tambak). Lahan pertanian di Kabupaten Aceh Selatan
umumnya berada di wilayah dataran rendah pada jalur yang sempit di
sepanjang pantai dan sebagian kecil bukit-bukit yang berbatasan dengan
daerah pesisir. Lahan pada jalur yang sempit tersebut sekitar 15% dari total
areal kabupaten. Sisanya 85% dari areal kabupaten merupakan perbukitan
dan pegunungan yang sebagian besar merupakan bagian dari kawasan hutan.
Komoditi kelapa sawit saat ini menjadi potensi untuk pengembangan
perkebunan di Kabupaten Aceh Selatan. Kelapa sawit mulai menjadi
primadona setelah komoditi lada sejak dicanangkannya penggalakan kebun
kelapa sawit oleh Pemerintah Provinsi Aceh untuk pengurangan kemiskinan
pada sekitar tahun 2008. Pada saat itu Pemerintah Provinsi Aceh mendorong
kegiatan perkebunan kelapa sawit dengan membagikan benih kelapa sawit
kepada masyarakat.
Perkebunan kelapa sawit umumnya berada di bagian Selatan Kabupaten Aceh
Selatan, yaitu di Kecamatan Bakongan, Kota Bahagia, Trumon, Trumon Timur,
Trumon Tengah, Kluet Timur, Kluet Selatan, dan Kluet Tengah. Perkebunan
kelapa sawit yang kelola oleh masyarakat banyak ditanam di lereng gunung
dan berbatasan dengan TNGL (Gampong Pucuk Lembang).
Data terkait dengan kondisi perkebunan kelapa sawit di Aceh Selatan masih
terbatas. Berikut ini tabel data produksi dan luasan perkebunan kelapa sawit
di Kabupaten Aceh Selatan.
39
Tabel 9 : Jumlah Produksi dan Luas Perkebunan Kelapa Sawit
Kelapa
2006 2008 2009 2010 2011 2012
Sawit
Produksi
1.640 8.294 2.456 14.797 21.010
(Ton)
Luas
Lahan 7.299
Rakyat
(Ha)
Luas
17.150 5.848
Lahan
Sawit (Ha)
Sumber: BKPM Nasional dan SLHD Aceh Selatan
Dari tabel di atas terlihat bahwa produksi kelapa sawit di Aceh Selatan
meningkat tajam pada tahun 2010 dan 2011, dan diperkirakan jumlah
produksi tersebut akan terus meningkat di masa akan datang. Luas lahan
perkebunan kelapa sawit yang dikelola masyarakat berjumlah sekitar 30%
dari luas lahan perkebunan kelapa sawit sedangkan sebagian besar lainnya
dikelola perusahaan perkebunan.
Berdasarkan keterangan stakeholder pada lokakarya telaah dampak muatan
RTRW, diketahui bahwa sebagian masyarakat mengalihkan lahan sawahnya
menjadi perkebunan kelapa sawit atau mengalihkan lahan kebunnya yang
sebelumnya ditanami tanaman kebun lainnya menjadi kelapa sawit. Data yang
mendukung hal ini adalah data penurunan lahan sawah, walaupun tidak
seluruhnya berubah menjadi kelapa sawit, namun setidaknya dikatakan
sebagian berubah menjadi kebun kelapa sawit.
20000
18000
16000
Luas areal irigasi (ha)
14000
Teknis
12000
10000 Semi teknis
8000 Sederhana
6000
Total
4000
2000
0
2007 2009 2010 2011
40
Kondisi yang demikian menjadikan kekhawatiran, bila berlanjut terus,
utamanya dampak yang terkait dengan produksi padi dan tanaman pangan
lainnya, selain juga kerusakan lingkungan yang diperkirakan disebabkan oleh
kebun kelapa sawit.
3.4.4 Isu strategis : Sebaran hama dan penyakit tanaman pala yang
semakin meluas
Salah satu produk unggulan Kabupaten Aceh Selatan adalah Pala. Tanaman
Pala di Aceh Selatan merupakan tanaman kebun yang paling banyak ditanam
oleh masyarakat. Dari total luas tanaman pala di Provinsi Aceh, sebanyak
lebih kurang 87 persen berasal dari Aceh Selatan.
Pada masa lalu perawatan tanaman yang minim namun nilai buah yang tinggi
menjadikan tanaman Pala menjadi sumber penghasilan utama bagi sebagian
besar petani di Aceh Selatan.
Jumlah produksi pala Aceh Selatan mengalami fluktuasi dalam sepuluh tahun
tahun terakhir, seperti terlihat pada bagan berikut ini :
5000 4650
4500 4168
4096
3909 3909
4000 3643 3714
3389
3500 3168 3131
3000 2836
2654
2500
2000
1500
1000
500
0
Gambar 9. Produksi Tanaman Pala tahun 2000 – 2011
41
Gambar 10. Luas Lahan Pala Aceh Selatan
Keterangan :
TBM : Tanaman Belum Menghasilkan
TM : Tanaman Menghasilkan
TR : Tanaman Rusak
Data tersebut di atas memperlihatkan bahwa luas lahan pala terus meningkat
dari tahun ke tahun, terlihat dari jumlah TBM yang meningkat, bahkan
meningkat signifikan pada tahun 2007. Data tersebut juga memperlihatkan
jumlah tanaman rusak (TR) yang terus menurun. Apabila dihubungkan antara
bagan 8 dan bagan 9 di atas, diperkirakan penyebab penurunan produksi
ditahun 2001 – 2003 disebabkan banyaknya tanaman yang rusak.
Jenis hama yang kerap mengganggu tanaman pala adalah hama penggerak
batang (kumbang Batocera hercules) yang menyerang batang tanaman. Ulat
ini sangat cepat berkembang biak dan menyerang batang tanaman segala usia.
Hal ini diperkirakan karena mulai hilangnya burung murai batu, murai
kampong, cempala, dan beberapa jenis burung lain pemakan hama ulat.
Masalah lainnya adalah hadirnya penyakit akar yang menyerang akar
tanaman pala, yaitu jamur akar putih (Rigidoporus microporus) dan jamur
akar hitam (Rosselina pepo). Penyakit ini sangat mematikan, satu pohon pala
yang terkena penyakit ini akan mati hanya dalam hitungan hari.
Walaupun jumlah tanaman rusak terus menurun, namun hal ini tetap
mengkhawatirkan dan merugikan sebagian masyarakat di Aceh Selatan,
utamanya bagi masyarakat yang hanya menggantungkan mata
pencahariannya pada tanaman pala.
42
3.5 Identifikasi Muatan RTRW terkait Isu Strategis Pembangunan
Berkelanjutan
Tim KLHS Aceh Selatan melakukan kegiatan identifikasi muatan RTRW yang
memiliki potensi dampak negatif terhadap isu strategis pembangunan
berkelanjutan pada kegiatan lokakarya yang diselenggarakan pada tanggal 22
– 24 Mei 2013 di Kota Tapaktuan, yaitu di ruang aula Dinas Kebudayaan,
Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Aceh Selatan.
Proses identifikasi muatan RTRW dimulai dengan mengidentifikasi program
dalam materi teknis RTRW yang terkait dengan isu strategis. Keterkaitan
dinilai berdasarkan dampak dari program tersebut terhadap setiap isu
strategis. Selanjutnya telaah detail dilakukan terhadap program yang dinilai
dapat memberikan dampak negative terhadap isu strategis pembangunan
berkelanjutan.
Secara umum muatan RTRW Kabupaten Aceh Selatan yang dikaji meliputi:
1) Rencana Struktur Ruang, yang terdiri atas:
Rencana pusat-pusat pelayanan/kegiatan yang berisi penetapan
pusat-pusat kegiatan/pelayanan secara berhirarki;
Rencana sistem jaringan prasarana utama, yang berisi rencana
sistem jaringan transportasi, meliputi sistem transportasi darat
dan sistem transportasi udara;
Rencana sistem jaringan prasarana lainnya, yang berisi rencana
sistem jaringan energi/kelistrikan, sistem jaringan
telekomunikasi, sistem sumberdaya air, dan sistem prasarana
lainnya;
2) Rencana Pola Ruang, yang merupakan alokasi distribusi ruang bagi
peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya.
3) Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten (KSK), yang berisi penetapan
7 (tujuh) KSK yang ditetapkan berdasarkan sudut kepentingan
pertumbuhan ekonomi.
Lingkup identifikasi muatan RTRW adalah untuk memahami keterkaitan
rencana tata ruang (struktur dan pola ruang) dan program-program
perwujudan ruang dengan isu strategis KLHS. Sebagai panduan diskusi pada
lokakarya ini, digunakan beberapa pertanyaan uji berikut ini:
1) Adakah muatan RTRW yang berpotensi menyebabkan kejadian seperti
banjir, longsor dan kekeringan ?
43
2) Apakah muatan RTRW yang berpotensi menyebabkan terjadinya
kerusakan dan pencemaran lingkungan ?
3) Adakah muatan RTRW yang berpotensi menyebabkan sulitnya
dipenuhi kebutuhan masyarakat akan sumber daya alam yang
mendasar seperti bahan pangan dan air bersih?
4) Adakah muatan RTRW yang berpotensi menyebabkan gangguan
terhadap ekosistem yang berfungsi lindung ?
5) Adakah muatan RTRW yang berpotensi menyebabkan terjadinya
gangguan terhadap kehidupan makhluk hidup lain dan
keseimbangannya dengan kehidupan manusia?
Berdasarkan hasil diskusi pada lokakarya tersebut, terdapat 11 (sebelas)
muatan RTRW Kabupaten Aceh Selatan yang diidentifikasikan memberikan
dampak terhadap isu strategis pembangunan berkelanjutan di Kabupaten
Aceh Selatan sebagaimana terangkum pada Tabel 10 di bawah ini.
Isu Strategis
No Muatan RTRW Kab. Aceh Selatan
1 2 3 4
A. Rencana Struktur Ruang
1. Pengembangan Sistem Pusat Kegiatan
a. Pengembangan PKL Tapaktuan
b. Pengembangan PKLp Bakongan
2. Pengembangan jaringan jalan baru pada 6 (enam) ruas,
yaitu:
a. ruas Despot Keude Trumon – Cut Bayu
b. ruas Buloh Seuma – Kuala Baru
c. ruas Alue Rumbia – Simpang Tiga
d. ruas Bukit Mas – Alue Saya
e. ruas Brahan – Seuneubok Keranji
f. ruas Seunebok Keranji – Laot Bangko
B. Rencana Pola Ruang
1. Kawasan peruntukan perkebunan rakyat seluas 22.400 Ha
yang dikembangkan pada kawasan APL
2. Kawasan peruntukan perkebunan rakyat seluas 15.600 Ha
yang dikembangkan pada kawasan hutan yang diusulkan
untuk perubahan status
3. Kawasan peruntukan pertambangan, yang meliputi:
Potensi pertambangan Emas di Lab. Haji Timur, Kluet
44
Isu Strategis
No Muatan RTRW Kab. Aceh Selatan
1 2 3 4
Tengah, Pasieraja, Sawang, Meukek, Samadua
Potensi pertambangan Tambang Bijih Besi di Trumon
Tengah, Luet Tengah, Trumon Timur, Meukek, Sawang,
Pasieraja
Potensi pertambangan Galena/Timah Hitam di lokasi:
Bakongan, Kota Bahagia
Potensi pertambangan Batubara di lokasi: Pasieraja dan
Tapaktuan
45
KLHS. Secara umum hal yang diperhatikan dalam memastikan mutu
pelaksanaan KLHS antara lain:
1. kejelasan tujuan kebijakan, rencana dan/atau program;
2. kejelasan perumusan isu strategis pembangunan berkelanjutan;
3. keterkaitan antara kebijakan, rencana, dan/atau program dengan isu
strategis;
4. kejelasan rumusan alternatif penyempurnaan dan rekomendasi;
5. kelengkapan dokumentasi; dan
6. terlaksananya seluruh proses KLHS.
46
BAB IV
PENGKAJIAN PENGARUH
47
Gambar 11. Peta Identifikasi Rencana Struktur Ruang Terkait Isu Strategis
Pembangunan Berkelanjutan
48
di daerah yang jalan raya lebih tinggi dari pada areal pemukiman. Pada
beberapa lokasi, ketinggian banjir dapat mencapai 50 cm. Lokasi
pengembangan PKL Tapaktuan saat ini telah berupa kawasan terbangun yang
dilengkapi berbagai fasilitas, seperti fasilitas perdagangan, fasilitas
pendidikan, dan lain sebagainya; serta infrastruktur wilayah.
Rencana pengembangan PKL Tapaktuan di daerah rawan banjir terkait
dengan isu strategis peningkatan frekuensi kejadian banjir dan meluasnya
hama/penyakit tanaman pala. Rencana pengembangan Tapaktuan sebagai
PKL di daerah rawan banjir, terutama daerah yang tidak memiliki drainase
yang baik diperkirakan dapat meningkatkan potensi frekuensi banjir. Sebagai
kawasan perkotaan, Tapaktuan akan dikembangkan sebagai kawasan dengan
ciri kegiatan budidaya perkebunan pada sisi utara dan kegiatan non pertanian
pada sisi barat dengan dominasi kawasan berupa kawasan terbangun.
Pembangunan kawasan terbangun akan mengurangi kemampuan dataran
rendah dan dataran banjir dalam menampung dan menyalurkan air, sehingga
dapat berdampak pada meningkatnya intensitas banjir di kawasan tersebut.
Untuk mengurangi dampak terhadap peningkatan frekuensi banjir, maka
mitigasi/alternatif yang perlu dilakukan adalah:
Pembangunan kawasan perkotaan diarahkan pada lokasi yang lebih
tinggi namun berada pada elevasi yang aman untuk dijadikan kawasan
terbangun disertai upaya-upaya mitigasi terhadap tanah longsor dan
pengurangan kecepatan aliran air pada saat hujan;
Perbaikan drainase kawasan perkotaan, baik yang sudah terbangun
maupun yang direncanakan sebagai kawasan pengembangan
perkotaan disertai upaya-upaya perubahan perilaku masyarakat dalam
pengelolaan sampah;
Melakukan normalisasi dan optimalisasi sungai yang diharapkan dapat
memperbesar daya tampung sungai terutama pada saat hujan disertai
dengan upaya reboisasi lahan kritis dan daerah aliran sungai.
Menetapkan kawasan lindung di luar kawasan hutan atau ruang
terbuka terbuka hijau. Hal ini perlu dilakukan terutama pada rencana
kawasan terbangun yang berada pada atau dekat dengan lokasi yang
elevasinya curam dan pada sempadan sungai;
Mendorong peran serta masyarakat untuk melakukan penanaman
tanaman perkebunan (pala) dengan memperhatikan aspek lingkungan.
Pembukaan lahan baru pada kawasan budidaya untuk penanaman pala
diharapkan tidak dilakukan secara sekaligus pada hamparan yang luas.
Pembangunan jalan produksi menuju kebun masyarakat harus
dilakukan dan direncanakan secara matang sehingga memberi manfaat
49
yang besar kepada perkebunan, karena umumnya jalan produksi di
Tapaktuan dibangun pada lokasi yang curam.
Kerjasama lintas sektor dalam pengelolaan sampah melibatkan
solidaritas masyarakat
Peninjauan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)
Peningkatan sumberdaya manusia pekebun pala, termasuk melalui
penyuluhan
Melakukan inovasi penyediaan bibit tanaman pala, termasuk
penyambungan antar varietas dengan tanaman atasnya pala lokal yang
ada
Larangan penangkapan burung predator/pemangsa ulat dan
pengayaan jenis burung pemangsa ulat
4.1.2 Implikasi dan Mitigasi Pengembangan PKLp Bakongan
Bakongan direncanakan dikembangkan sebagai kawasan perkotaan yang
dipromosikan sebagai PKL. Dengan demikian kawasan Bakongan akan
dikembangkan sebagai pusat pelayanan yang merupakan kawasan perkotaan
dengan skala pelayanan beberapa kecamatan/desa.
Lokasi pengembangan PKLp Bakongan berada di daerah dataran rendah dan
merupakan daerah rawan banjir. Saat ini kejadian banjir sering terjadi di
Bakongan, setidaknya sekali dalam setahun terutama di daerah yang
merupakan kawasan rawa. Ketinggian banjir dapat mencapai 75 cm. Lokasi
pengembangan PKLp Bakongan saat ini telah berupa kawasan terbangun yang
dilengkapi berbagai fasilitas, seperti fasilitas perdagangan, fasilitas
pendidikan, dan lain sebagainya; serta infrastruktur wilayah.
50
Rencana pengembangan PKLp Bakongan di daerah rawan banjir terkait
dengan isu strategis peningkatan frekuensi kejadian banjir. Rencana
pengembangan Bakongan sebagai PKLp di daerah rawan banjir, terutama
daerah rawa diperkirakan dapat meningkatkan potensi frekuensi banjir.
Sebagai kawasan perkotaan, Bakongan akan dikembangkan sebagai kawasan
dengan ciri kegiatan budidaya non-pertanian, sehingga dominasi kawasan
berupa kawasan terbangun. Pembangunan kawasan terbangun yang akan
mengurangi kemampuan dataran rendah dan dataran banjir dalam
menampung air, sehingga dapat berdampak pada meningkatnya intensitas
banjir di kawasan tersebut. Pengembangan kawasan perkotaan tanpa
perencanaan sistem drainase yang baik juga dapat meningkatkan potensi
ancaman terjadinya banjir.
Perkembangan kawasan terbangun di Bakongan disadari diperlukan untuk
memberikan pelayanan bagi wilayah Kabupaten Aceh Selatan, terutama
kawasan Bakongan, Kota Bahagia dan sekitarnya. Di sisi lain kawasan
Bakongan merupakan kawasan daerah yang sering terlanda banjir oleh
karena berada di dataran rendah yang merupakan dataran banjir serta rawa.
Untuk mengurangi dampak terhadap peningkatan frekuensi banjir, maka
mitigasi/alternatif yang perlu dilakukan adalah:
Pembangunan kawasan perkotaan diarahkan pada daerah yang tidak
berawa dan bukan merupakan kawasan hutan. Berdasarkan data citra
satelit, saat ini kawasan lokasi pengembangan PKL yang sudah
terbangun berada di sebelah Utara Sungai yang melewati Bakongan.
Sejumlah areal di kawasan tersebut merupakan dataran yang sebagian
lagi berupa rawa (terutama kawasan di sekitar sungai). Pengembangan
kawasan perkotaan yang didelineasi pada saat penyusunan rencana
rinci perlu diarahkan pada kawasan yang bukan berupa rawa.
Pengembangan kawasan perkotaan Bakongan perlu diarahkan dengan
model intensif dengan membatasi luas areal kawasan perkotaan sesuai
kebutuhan lahan pengembangan 20 tahun ke depan. Delineasi
kawasan perkotaan yang jelas perlu dilakukan pada saat penyusunan
rencana rinci dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya
tampung lingkungan untuk mencegah pengembangan kawasan
perkotaan di daerah yang sering terpapar banjir.
Penyiapan rencana mitigasi bencana banjir untuk kawasan perkotaan.
Sebagai kawasan yang rawan banjir, maka rencana mitigasi bencana
banjir perlu disiapkan dan menjadi kesatuan dalam rencana
51
pembangunan kawasan perkotaan, termasuk didalamnya
pembangunan drainase yang baik;
Mendorong pemanfaatan lahan kawasan perkotaan pada kawasan
yang tidak rawan banjir (bukan kawasan berawa) melalui
pengembangan kebijakan insentif/disinsentif;
Pengembangan peraturan zonasi untuk kawasan rawan banjir sebagai
bagian dari upaya mitigasi bencana banjir;
Pembangunan tanggul pada beberapa lokas, contoh Desa Ujong Pulo
Cut dan Desa Cangoi Seubadeh, Muara Bakongan, Muara Desa Ujong
Panju Bakotim, Kuala Cangkuni – Seubadeh;
Normalisasi Sungai;
Dilakukan upaya-upaya mengurangi kegiatan penebangan liar.
4.1.3 Implikasi dan Mitigasi Pengembangan Jaringan Jalan Baru
Berdasarkan kajian tim KLHS Kabupaten Aceh Selatan, terdapat 6 (enam) ruas
rencana pembangunan jalan baru yang diidentifikasi dapat memberikan
implikasi terhadap isu strategi pembangunan berkelanjutan. Keenam rencana
ruas jalan baru tersebut adalah:
1) Ruas Despot Keude Trumon – Cut Bayu, sepanjang 7,48 km;
2) Ruas Buloh Seuma – Kuala Baru, sepanjang 19,43 km;
3) Ruas Alue Rumbia – Simpang Tiga, sepanjang 20,92 km;
4) Ruas Bukit Mas – Alue Saya, sepanjang 5,10 km;
5) Ruas Brahan – Seunebok Keranji, sepanjang 9,54 km; dan
6) Ruas Seunebok Keranji – Laot Bangko, sepanjang 5,44 km
Berikut adalah uraian terkait implikasi rencana pembangunan ruas jalan baru
terhadap isu strategis pembangunan berkelanjutan serta rekomendasi
alternatif/mitigasi.
4.1.2.1 Ruas Despot Keude Trumon – Cut Bayu (kolektor primer K4)
sepanjang 7,48 km
Rencana pembangunan jalan baru ruas Despot Keude Trumon – Cut Bayu
berlokasi di kawasan Trumon. Trase jalan direncanakan melewati daerah
rawa. Rencana pembangunan jalan pada ruas ini diperkirakan dapat
memberikan implikasi terhadap isu peningkatan frekuensi banjir, terutama
karena pembangunan jalan baru dapat berpotensi mendorong pengembangan
kawasan terbangun di sekitarnya yang pada gilirannya mengakibatkan
52
berkurangnya kapasitas rawa dalam menampung air hujan sehingga
mengakibatkan banjir.
Pembangunan jalan juga dapat mendorong pengembangan kawasan budidaya
di sekitarnya. Peningkatan kawasan budidaya akan membuka dan mengalih
fungsi kawasan rawa dan berakibat pada berkurangnya kapasitas rawa dalam
menampung air hujan sehingga dapat mengakibatkan banjir.
Kejadian banjir dapat mengakibatkan berbagai kerugian bagi masyarakat,
seperti kegagalan panen, terganggunya aktivitas masyarakat, penurunan
kesehatan masyarakat, dan lain sebagainya.
Pengembangan jaringan jalan pada ruas Despot Keude Trumon – Cut Bayu
dipandang penting untuk meningkatkan akses masyarakat. Agar
pembangunan ruas jalan tetap dapat berjalan dengan tetap memperhatikan
kelestarian lingkungan dan mengurangi ancaman banjir, maka usulan mitigasi
yang perlu dilakukan adalah:
Melakukan kajian lingkungan yang lebih detail terkait dampak
pembangunan jalan baru pada ruas Despot Keude Trumon – Cut Bayu
yang berada di kawasan rawa. Kajian lingkungan tersebut untuk
mengkaji kelayakan dan dampak lingkungan pembangunan jaringan
jalan baru di daerah rawa.
Peningkatan upaya pengendalian alih fungsi lahan pada kawasan di
sekitar jaringan jalan yang akan dibangun agar tidak berkembang
menjadi kawasan budidaya;
Pembangunan jalan baru dilakukan dengan melalui meningkatan
elevasi jalan yang dibangun lebih tinggi serta dilengkapi dengan sistem
drainase dengan kapasitas yang cukup besar;
Pengintegrasian rencana pembangunan jaringan jalan baru dengan
rencana pengendalian banjir kawasan
4.1.2.2 Ruas Buloh Seuma – Kuala Baru sepanjang 19,43 km
Rencana pembangunan jalan baru ruas Buloh Seuma – Kuala Baru berlokasi di
kawasan Trumon dan melintasi kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil.
Kawasan SM Rawa Singkil merupakan kawasan hutan konservasi, sehingga
penggunaan lahan di kawasan ini untuk pembangunan jalan memerlukan
perijinan dari Kementerian Kehutanan.
Rencana pembangunan jalan pada ruas ini diperkirakan dapat memberikan
dampak terhadap isu peningkatan frekuensi banjir. Pembangunan jalan baru
akan membuka lahan rawa serta dapat berpotensi mendorong
berkembangnya kawasan budidaya di sekitar jaringan jalan yang dibangun.
53
Pembukaan lahan untuk pembangunan jalan dan ditambah oleh potensi
pembukaan lahan untuk pengembangan kawasan budidaya lainnya akan
berimplikasi pada berkurangnya kemampuan kawasan rawa dalam
menampung air sehingga dapat meningkatkan ancaman kejadian banjir di
kawasan tersebut.
Beberapa usulan mitigasi/alternatif untuk mengurangi potensi peningkatan
kejadian banjir akibat pembangunan ruas jalan Buloh Seuma – Kuala Baru
adalah:
Melakukan kajian lingkungan yang lebih detail terkait dampak
pembangunan jalan baru pada ruas Buloh Seuma – Kuala Baru yang
berada di kawasan rawa. Kajian lingkungan tersebut untuk mengkaji
kelayakan dan dampak lingkungan pembangunan jaringan jalan baru
di daerah rawa.
Peningkatan upaya pengendalian alih fungsi lahan pada kawasan di
sekitar jaringan jalan yang akan dibangun agar tidak berkembang
menjadi kawasan budidaya;
Melakukan proses perijinan pembangunan jalan baru pada
Kementerian Kehutanan.
Pembangunan jalan baru dilakukan dengan melalui meningkatan
elevasi jalan yang dibangun lebih tinggi serta dilengkapi dengan sistem
drainase dengan kapasitas yang cukup besar;
Pengintegrasian rencana pembangunan jaringan jalan baru dengan
rencana pengendalian banjir kawasan
4.1.2.3 Ruas Alue Rumbia – Simpang Tiga sepanjang 20,92 km
Rencana pembangunan jalan baru dengan ruas Alue Rumbia – Simpang Tiga
merupakan jaringan jalan yang direncanakan menghubungkan Samadua
dengan Manggamat sepanjang 20,92 km. Ruas jalan baru ini melintasi
kawasan hutan lindung serta perbukitan dengan kelerengan lahan yang cukup
tinggi. Rencana pembangunan jalan di kawasan hutan lindung harus
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Kementerian Kehutanan.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku proses
pemanfaatan lahan kawasan hutan lindung untuk pembangunan jalan dapat
dilakukan melalui pelepasan status kawasan hutan pada lahan untuk
pembangunan jalan baru atau melalui proses pinjam pakai.
Rencana pembangunan jalan baru pada ruas ini diperkirakan dapat
memberikan implikasi terhadap isu strategis peningkatan frekuensi banjir.
Pengembangan ruas jalan baru ini dapat mendorong berkembangnya kegiatan
budidaya yang mengalih fungsi kawasan hutan yang dilintasi jaringan jalan.
54
Berkembangnya kawasan budidaya pada kawasan hutan pada gilirannya
dapat mengurangi kemampuan kawasan untuk meresapkan air ke dalam
tanah sehingga berpotensi meningkatkan kejadian banjir di kawasan hilirnya.
Pembangunan jaringan jalan pada kawasan perbukitan dengan kelerengan
lahan yang cukup tinggi juga pada berimplikasi pada peningkatan kejadian
tanah longsor yang diakibatkan oleh pembukaan lahan untuk pembangunan
jalan.
Dengan kata lain, kinerja layanan/jasa ekosistem terutama layanan dari
manfaat yang didapat dari pengaturan ekosistem seperti fungsi hidrologis dan
pengaturan tentang pengendalian banjir harus betul-betul diperhatikan.
Pembukaan jalan selebar 0,06 x 2.092 m2 atau sekitar 125 hektar yang
sepertinya tidak luas dibandingkan luas dataran atau DAS di Tapaktuan (10-
an ribu ha), namun akan tetap mengganggu aliran air karena trase jalan
tersebut memotong lereng. Pada saat hujan yang lama (terlebih deras),
pembukaan sebagian hutan lindung tersebut akan mengurangi jumlah air
hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan akan menjadi konsentrasi aliran
permukaan (overlandflow) yang dapat menyebabkan banjir. Semakin kecil
luas hutan di suatu DAS, semakin tinggi niali debit maksimumnya.
Usulan tindakan mitigasi untuk mengurangi potensi peningkatan kejadian
banjir akibat pembangunan ruas jalan Alue Rumbia – Simpang Tiga adalah:
Melakukan kajian lingkungan yang lebih detail terkait dampak
pembangunan jalan baru pada ruas Alue Rumbia – Simpang Tiga yang
berada di kawasan hutan. Kajian lingkungan tersebut untuk mengkaji
kelayakan dan dampak lingkungan pembangunan jaringan jalan baru
di kawasan hutan.
Peningkatan upaya pengendalian alih fungsi lahan pada kawasan di
sekitar jaringan jalan yang akan dibangun agar tidak berkembang
menjadi kawasan budidaya;
Melakukan proses perijinan pembangunan jalan baru pada
Kementerian Kehutanan.
Pembangunan jalan baru dilakukan denegan melakukan peningkatan
elevasi jalan yang dibangun lebih tinggi serta dilengkapi dengan sistem
drainase dengan kapasitas yang cukup besar;
Pengintegrasian rencana pembangunan jaringan jalan baru dengan
rencana pengendalian banjir kawasan
55
4.1.2.4 Ruas Bukit Mas – Alue Saya sepanjang 5,10 km
Rencana pembangunan jalan baru dengan ruas Bukit Mas – Alue Saya berada
di Kecamatan Meukek. Rencana pembangunan ruas jalan baru ini akan
melintasi kawasan hutan lindung serta perbukitan dengan kelerengan lahan
yang cukup tinggi. Rencana pembangunan jalan di kawasan hutan lindung
harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Kementerian Kehutanan.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku proses
pemanfaatan lahan kawasan hutan lindung untuk pembangunan jalan dapat
dilakukan melalui pelepasan status kawasan hutan pada lahan untuk
pembangunan jalan baru atau melalui proses pinjam pakai.
Rencana pembangunan jalan baru pada ruas ini diperkirakan dapat
memberikan dampak terhadap isu strategis peningkatan frekuensi banjir.
Pengembangan ruas jalan baru ini dapat mendorong berkembangnya kegiatan
budidaya yang mengalih fungsi kawasan hutan yang dilintasi jaringan jalan.
Berkembangnya kawasan budidaya pada kawasan hutan pada gilirannya
dapat mengurangi kemampuan kawasan untuk meresapkan air ke dalam
tanah sehingga berpotensi meningkatkan kejadian banjir di kawasan hilirnya.
Usulan tindakan mitigasi untuk mengurangi potensi peningkatan kejadian
banjir akibat pembangunan ruas jalan Bukit Mas – Alue Saya adalah:
Melakukan kajian lingkungan yang lebih detail terkait dampak
pembangunan jalan baru pada ruas Bukit Mas – Alue Saya yang berada
di kawasan hutan. Kajian lingkungan tersebut untuk mengkaji
kelayakan dan dampak lingkungan pembangunan jaringan jalan baru
di kawasan hutan.
Peningkatan upaya pengendalian alih fungsi lahan pada kawasan hutan
di sekitar jaringan jalan yang akan dibangun agar tidak berkembang
menjadi kawasan budidaya;
Melakukan proses perijinan pembangunan jalan baru pada
Kementerian Kehutanan.
Pembangunan jalan baru dilakukan dengan melakukan peningkatan
elevasi jalan yang dibangun lebih tinggi serta dilengkapi dengan sistem
drainase dengan kapasitas yang cukup besar;
Pengintegrasian rencana pembangunan jaringan jalan baru dengan
rencana pengendalian banjir kawasan;
56
4.1.2.5 Ruas Brahan – Seuneubok Keranji sepanjang 9,54 km
Pembangunan jalan baru ruas Brahan – Seuneubok Keranji direncanakan
melintasi kawasan sawah dan lahan bergambut. Sebagai informasi areal
gambut di Kabupaten Aceh Selatan terdapat di Kecamatan Kluet Selatan,
Bakongan, Bakongan Timur, Trumon, dan Trumon Timur. Pembangunan
jaringan jalan di kawasan lahan gambut berpotensi mengurangi kapasitas
kawasan untuk menampung air sehingga dapat meningkatkan kejadian banjir.
Lahan bergambut atau gambut (kedalaman > 50 cm) merupakan lahan atau
kawasan yang selalu tergenang baik terkena pengaruh pasang surut air laut
atau tidak.
Pembukaan lahan bergambut atau gambut dapat dipastikan akan
mengganggu ekosistem gambut tersebut baik terutama dari fungsi hidrologis
maupun ekologisnya sebagai wujud daya dukung lingkungan. Pembangunan
jalan yang akan mengokupasi lahan seluas lebih kurang 65 ha pasti akan
mengganggu aliran air dan pergerakan atau aktifitas fauna darat atau satwa di
sekitarnya.
Kejadian banjir dapat berimplikasi pada sejumlah kerugian bagi masyarakat,
seperti kegagalan panen, terhambatnya perekonomian dan aktivitas
masyarakat lainnya, terganggunya kesehatan masyarakat, dan lain
sebagainya.
Usulan tindakan mitigasi untuk mengurangi potensi peningkatan kejadian
banjir akibat pembangunan ruas jalan Brahan – Seuneubok Keranji adalah:
Melakukan kajian lingkungan yang lebih detail terkait dampak
pembangunan jalan baru pada ruas Brahan – Seuneubok Keranji yang
berada di kawasan rawa. Kajian lingkungan tersebut untuk mengkaji
kelayakan dan dampak lingkungan pembangunan jaringan jalan baru
di daerah rawa.
Pembangunan jalan baru dilakukan dengan melakukan peningkatan
elevasi jalan yang dibangun lebih tinggi serta dilengkapi dengan sistem
drainase dengan kapasitas yang cukup besar;
Pengintegrasian rencana pembangunan jaringan jalan baru dengan
rencana pengendalian banjir kawasan
57
4.1.2.6 Ruas Jalan baru ruas Seunebok Keranji – Laot Bangko (lokal
primer) sepanjang 6,55 km (jaringan jalan menuju Danau Laot
Bangko)
Pembangunan jalan baru ruas Seunebok Keranji – Laot Bangko direncanakan
untuk memberikan akses ke kawasan wisata Danau Laot Bangko yang berada
di kawasan TNGL. Pembangunan jalan baru ini melintasi zona inti Taman
Nasional Gunung Leuseur. Pembangunan jalan baru ini menjadikan akses
menuju Danau Laot Bangko bertambah dibanding akses masuk berupa jalan
setapak dan aliran sungai yang sudah tersedia sebelumnya. Pembangunan
jalan baru pada zona inti TNGL yang merupakan kawasan hutan konservasi
memerlukan persetujuan dari Kementerian Kehutanan.
Danau Laot Bangko yang berada di hamparan dataran rendah di bagian hilir
dan lembah Krueng Kluet yang sangat rawan banjir bila curah hujan tinggi.
Kondisi ini disebabkan ketidakmampuan sungai-sungai yang melewati
dataran rendah ini untuk menampung volume air, sehingga menggenangi
dataran rendah tersebut. Perubahan mendasar terhadap komponen biofisik,
seperti tanah, air, udara, serta flora dan fauna akan terjadi, disamping juga
akan terjadi kecenderungan perubahan keanekaragaman hayati, misal
penurunan indeks keanekaragaman hayati terhadap stabilitas ekosistem.
Pembangunan ruas jalan baru ruas Seuneubok Keranji – Laot Bangko dapat
berimplikasi pada terbukanya akses dari kawasan budidaya ke zona inti
TNGL. Terbukanya akses tersebut dapat mendorong berkembangnya kegiatan
budidaya yang mengalih fungsi kawasan hutan yang dilintasi jaringan jalan
baru apabila tidak dilakukan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan
lahan yang ketat. Berkembangnya kawasan budidaya pada kawasan hutan di
TNGL pada gilirannya dapat mengurangi kemampuan kawasan untuk
meresapkan air ke dalam tanah sehingga berpotensi meningkatkan kejadian
banjir di kawasan hilirnya.
Selain itu, potensi alih fungsi lahan hutan untuk kegiatan budidaya juga dapat
mengancam kelestarian keanekagaman hayati serta ekosistem TNGL.
Rekomendasi bagi rencana pembangunan jalan baru pada ruas Seunebok
Keranji – Danau Laot Bangko adalah memberikan alternative rencana
pembangunan lain, aitu melalui pengembangan jaringan jalan setapak yang
sudah ada, yaitu pada ruas Indra Damai – Laot Bangko. Ruas jalan setapak ini
sudah ada dan digunakan untuk kepentingan pemantauan TNGL serta jalur
untuk kegiatan ekowisata. Akses menuju kawasan danau Laot Bangko
selanjutnya dilanjutkan dengan jalan setapak ke arah danau. Pengembangan
alternatif jaringan jalan baru ini untuk mencegah terbukanya banyak terlalu
58
banyak akses ke Danau Laot Bangko yang dapat menganggu kelestarian
ekosistem TNGL di sekitar kawasan tersebut. Pengembangan alternatif
jaringan jalan baru ini juga telah mengikuti rencana pengembangan kawasan
ekowisata (siteplan) Danau Laot Bangko yang telah dikembangkan oleh Balai
TNGL.
59
Gambar 13. Peta Identifikasi Rencana Pola Ruang Terkait Isu Strategis
Pembangunan Berkelanjutan
60
hama/penyakit. Terutama yang disebabkan oleh jamur akar putih dan
tanaman penggerek. Apabila pengembangan perkebunan rakyat untuk
tanaman pala dilakukan dengan tidak memperhatikan pemeliharaan yang
baik serta prinsip konservasi tanah dan air, maka dikhawatir pengembangan
perkebunan rakyat untuk tanaman pala akan meningkatkan jumlah tanaman
pala yang terserang hama/penyakit.
Untuk mencegah meluasnya areal lahan perkebunan pala yang terserang
hama/penyakit, maka mitigasi rencana pengembangan kawasan peruntukan
perkebunan rakyat, khususnya yang akan dikembangkan untuk tanaman pala
adalah:
Tidak menanam tanaman pala dalam satu hamparan luas secara
monokultur;
Mem-bera-kan lahan terlebih dahulu sebelum ditanam dengan
tanaman pala yang baru. Umumnya masyarakat segera mengganti
tanaman pala yang terserang hama/penyakit dengan tanaman pala
yang baru. Untuk mencegah meluasnya hama/penyakit tanaman pala,
maka lahan terlebih dahulu harus di-bera sebelum ditanam kembali
dengan tanaman pala yang baru. Hal ini terkait dengan prinsip
konservasi tanah dan air;
Peningkatan peningkatan sumberdaya manusia pekebun pala,
termasuk melalui penyuluhan
4.2.2 Implikasi dan Mitigasi Rencana Kawasan Peruntukan Perkebunan
Rakyat pada Kawasan Hutan yang Diusulkan untuk Perubahan
Status
Selain perkebunan rakyat yang direncakan di kawasan APL, RTRW Kabupaten
Aceh Selatan juga menetapkan rencana pengembangan perkebunan rakyat
pada kawasan hutan yang diusulkan perubahan statusnya. Kawasan
perkebunan rakyat ini meliputi areal seluas 15.600 Ha dan tersebar di:
Kec. Kluet Selatan seluas 1.102,04 Ha;
Kec. Bakongan seluas 40,22 Ha;
Kec. Bakongan Timur seluas 2.300,34 Ha;
Kec. Kluet Timur seluas 4.700,6 Ha;
Kec. Trumon seluas 2.434,53 Ha;
Kec. Trumon Tengah seluas 1.466,08 Ha; serta
Kec. Trumon Timur seluas 1.890,90 Ha.
Perubahan status hutan yang diusulkan berubah adalah sebagai berikut:
Hutan lindung (HL) seluas 8.207 ha di seluruh Aceh Selatan kecuali
Trumon
61
Suaka Margasatwa Rawa Trumon (Singkil) seluas 2.130 ha
Hutan produksi terbatas seluas 5.276 ha di Kluet Timur dan Kota
Bahagia.
Berdasarkan potensi komoditas unggulan di Kabupaten Aceh Selatan,
perkebunan rakyat yang akan dikembangkan di kawasan hutan dapat
dikembangkan baik untuk komoditas pala yang merupakan komoditas
unggulan serta kelapa sawit.
Pengembangan kawasan hutan untuk perkebunan rakyat dapat berimplikasi
terhadap isu peningkatan frekuensi banjir serta meningkatnya serangan
hama/penyakit tanaman pala.
Terkait dengan isu peningkatan frekuensi banjir, pembukaan kawasan hutan
untuk perkebunan rakyat dikhawatirkan dapat meningkatkan frekuensi
banjir, terutama saat lahan baru dibuka dan akan ditanami oleh tanaman
perkebunan (atau saat tanaman masih berusia muda). Pembukaan lahan
dapat mengurangi kemampuan lahan untuk menginfiltrasi air hujan ke dalam
tanah sehingga dapat mengakibatkan banjir di kawasan bawahannya.
Pengembangan kawasan perkebunan rakyat yang akan dikembangkan di
kawasan hutan, terutama yang berlokasi di wilayah Selatan Kabupaten Aceh
Selatan berpotensi untuk dikembangkan sebagai perkebunan kelapa sawit.
Beberapa tahun terakhir, pengembangan kebun kelapa sawit mulai menjadi
primadona, terutama di bagian Selatan Kabupaten Aceh Selatan. Penetapan
kawasan peruntukan perkebunan dapat dimungkinkan dikembangkan
menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit sehingga luas perkebunan kelapa
sawit di Kabupaten Aceh Selatan dapat meningkat dengan pesat terutama di
Kecamatan Bakongan, Bakongan Timur, Trumon Timur, dan Trumon.
Perluasan ini sangat didorong oleh pendirian pabrik kelapa sawit (PKS) yang
mengolah tandan buah kelapa sawit segar (TBS) menjadi minyak kelapa sawit
mentah (Crude Plam Oil = CPO) di PT Sawit Sukses Selalu (Kluet),
Subulusalam dan Singkil yang lebih dekat lokasinya dari pada di Meulaboh.
Disamping itu, harga kelapa sawit relatif menjanjikan lebih banyak
keuntungan dari pada harga tanaman pangan.
Perluasan kebun kelapa sawit di kawasan hutan dan daerah berlereng akan
dapat mengganggu kinerja layanan/jasa ekosistem karena tanaman bawah
(undercover) tanaman kelapa sawit umumnya jarang sehingga memudahkan
kejadian aliran permukaan dibandingkan hutan sekunder yang lebih rapat.
Kebun kelapa sawit yang telah berumur remaja (10 tahun) dan tajuknya telah
rapat menutupi tanah mempunyai nilai koefisien aliran permukaan (C)
sebesar 0,20-0,25 (Murtilaksono, 2008), sedangkan hutan yang tutupan
tajuknya atau luasnya lebih dari 35% dari luas daerah aliran sungai (DAS)
62
mempunyai nilai C lebih kecil dari 0,18 (Yuwono, 2011). Semakin besar nilai
C, semakin besar debit aliran sungai dan semakin besar peluang kejadian
banjir dalam suatu DAS, dan sebaliknya.
Untuk mengurangi potensi banjir yang disebabkan oleh pembukaan lahan
perkebunan di kawasan hutan, maka rekomendasi mitigasinya adalah sebagai
berikut:
• Proses perijinan perubahan status kawasan hutan dari kementerian
kehutanan;
• Penyiapan dokumen kajian lingkungan untuk mengkaji kelayakan
pengembangan perkebunan rakyat serta pengkajian dampak
pengembangan kawasan perkebunan terhadap lingkungan di
sekitarnya;
• Pembukaan lahan perkebunan rakyat dilakukan secara bertahap;
• Pengembangan lahan perkebunan rakyat dilakukan dengan
memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air;
• Membuat kanal-kanal untuk mengendalikan banjir yang didahului
dengan kajian lingkungan hidup untuk pembangunan kanal ini
Sedang terkait dengan isu peningkatan hama/penyakit tanaman pala,
pengembangan kawasan perkebunan rakyat khususnya yang akan
dikembangkan untuk tanaman pala apabila tidak diimbangi dengan upaya
pemeliharaan serta melakukan konservasi tanah dan air yang baik, maka
dapat mengakibatkan meningkatnya lahan perkebunan tanaman pala yang
terserang hama/penyakit tanaman pala.
Untuk mengurangi dampak tersebut, maka tindakan mitigasi yang
direkomendasikan adalah sebagai berikut:
Tidak menanam tanaman pala dalam satu hamparan luas secara
monokultur;
Mem-bera-kan lahan terlebih dahulu sebelum ditanam dengan
tanaman pala yang baru. Umumnya masyarakat segera mengganti
tanaman pala yang terserang hama/penyakit dengan tanaman pala
yang baru. Untuk mencegah meluasnya hama/penyakit tanaman pala,
maka lahan terlebih dahulu harus di-bera sebelum ditanam kembali
dengan tanaman pala yang baru. Hal ini terkait dengan prinsip
konservasi tanah dan air;
Peningkatan kemampuan masyarakat dalam pemeliharaan tanaman
pala
63
4.2.3 Implikasi dan Mitigasi Rencana Pengembangan Kawasan
Peruntukan Pertambangan
Rencana pengembangan kawasan peruntukan pertambangan - apapun jenis
tambang dan lokasinya - di Kabupaten Aceh Selatan dapat berimplikasi
terhadap 2 (dua) isu strategis, yaitu isu peningkatan frekuensi banjir serta isu
pertambangan tidak ramah lingkungan.
Implikasi terhadap peningkatkan intensitas banjir, disebabkan didasarkan
pada terbukanya lahan (termasuk kawasan hutan) untuk kegiatan
pertambangan mengakibatkan perubahan bentang alam dan mengurangi
kemampuan lahan untuk menyerap (menginflitrasi) air hujan ke dalam tanah.
Akibatnya pembukaan lahan untuk kegiatan pertambangan dapat
mengakibatkan intensitas banjir di kawasan hilirnya. Sebagai informasi
kegiatan pertambangan di Aceh Selatan menggunakan metode tambang
terbuka atau surface mining, artinya kegiatan menambang dilakukan dengan
melakukan bukaan di atas permukaan tanah. Kegiatan ini akan membabat
habis vegetasi di atasnya dan membongkar tanah dan batuan di atas deposit
tersebut.
Agar pengembangan kawasan peruntukan pertambangan tidak
mengakibatkan peningkatan frekuensi banjir, maka tindakan mitigasi yang
perlu dilakukan adalah:
Penyiapan dokumen lingkungan untuk mengkaji kelayakan kegiatan
pertambangan serta mengkaji dampak terhadap lingkungan di
sekitarnya;
Penyiapan rencana mitigasi banjir yang diakibatkan oleh pembukaan
lahan untuk kegiatan pertambangan;
Penetapan kewajiban reklamasi kawasan tambang paska kegiatan
penambangan;
Peningkatan pengawasan dan pengendalian kegiatan pertambangan;
Perlu penetapan yang jelas wilayah pertambangan rakyat sehingga
dapat dipilih daerah yang dikaji tidak akan menimbulkan banjir
Implikasi terhadap isu tambang yang tidak ramah lingkungan didasarkan
pada proses dan pertambangan yang dilakukan terutama oleh
masyarakat/perorangan yang tidak terkontrol dan terawasi dengan baik
dilakukan secara tidak ramah lingkungan. Salah satu proses penambangan
yang tidak ramah lingkungan adalah tidak memiliki sistem pembuangan dan
pengolahan limbah yang baik. Implikasi kegiatan tambang ini pada
lingkungan, diantaranya:
64
Pencemaran sungai karena sebagian pembuangan limbah langsung
dialirkan ke sungai
Pencemaran air tanah karena sebagian zat hasil proses terbuang
terbuka, meresap ke dalam tanah
Sedimentasi pada sungai akibat proses bukaan tambang
Potensi penyakit berbahaya dari cemaran zat kimia yang terakumulasi
Dampak pencemaran akan dirasakan oleh masyarakat hilir dari lokasi front
tambang, dan biasanya bersifat akumulatif atau dirasakan dalam jangka
waktu lama. Dengan demikian, ke depan kinerja layanan/jasa lingkungan
akan semakin terpengaruh negatif. Daya tampung yang berupa kemampuan
media air untuk mengasimilasi bahan pencemar semakin menurun jika tanpa
pengelolaan yang memadai.
65
Untuk mencegah pengembangan kawasan peruntukan pertambangan yang
tidak ramah lingkungan, maka tindakan mitigasi yang perlu dilakukan adalah:
Peningkatan pengawasan dan pengendalian kegiatan pertambangan;
Penerapan penegakan hukum (law enforcement) yang ketat terhadap
kegiatan penambangan yang tidak ramah lingkungan;
Perlu pengawasan yang ketat terhadap peredaran mecury dan senida
serta Bahan Beracun Berbahaya (B3) lainnya utamanya B3 yang
digunakan dalam pertambangan;
Kegiatan pertambangan harus dilengkapi dengan dokumen
lingkungan yang lengkap;
Merelokasi kegiatan pengelolaan emas jauh dari pemukiman
penduduk dan pergantian teknologi yang ramah lingkungan;
Peningkatan sosialisasi pada masyarakat terkait kegiatan
penambangan yang lebih ramah lingkungan;
Perlu penetapan keteria yang jelas terhadap penambangan galian C
sehingga tidak salah dalam pemberian rekomendasi.
66
4.3 Rekomendasi untuk Muatan RTRW
Secara umum rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan penetapan
kawasan strategis kabupaten di Kabupaten Aceh Selatan telah dilakukan
secara seksama. Namun demikian, dalam telaah dampak yang dilakukan
melalui KLHS, ditemukan bahwa sebagian dari rencana tata ruang yang dinilai
memiliki potensi yang memberikan implikasi terhadap isu strategis. Oleh
karenanya implikasi terhadap isu strategis yang dapat mungkin timbul dari
pelaksanaan sejumlah rencana tata ruang tersebut dapat diminimalisasi
melalui sejumlah tindakan mitigasi.
Rencana tindakan mitigasi yang direkomendasikan bagi pelaksanaan rencana
tata ruang Kabupaten Aceh Selatan dilakukan berdasarkan pertimbangan
prinsip pembangunan berkelanjutan agar pembangunan yang dilakukan
dapat tetap menjamin berlangsungan kehidupan di masa datang.
Pertimbangan yang digunakan adalah prinsip keseimbangan antara
kepentingan lingkungan, ekonomi, dan sosial; prinsip keterkaitan antar-
sektor dan antar-wilayah; serta prinsip keadilan untuk memberikan akses
bagi masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya alam di wilayah
Kabupaten Aceh Selatan.
Tabel berikut menguraikan rekomendasi mitigasi/alternatif terhadap
pelaksanaan muatan RTRW Kabupaten Aceh Selatan agar pembangunan tetap
dapat berjalan secara berkelanjutan.
67
No. Usulan Mitigasi/Alternatif Rekomendasi Mitigasi/Alternatif
terutama pada saat hujan disertai
dengan upaya reboisasi lahan kritis dan
daerah aliran sungai.
68
No. Usulan Mitigasi/Alternatif Rekomendasi Mitigasi/Alternatif
kebutuhan lahan pengembangan 20 pengembangan kawasan perkotaan juga
tahun ke depan. Delineasi kawasan perlu diarahkan pada kawasan yang tidak
perkotaan yang jelas perlu dilakukan berawa untuk menghindari banjir di
pada saat penyusunan rencana rinci kawasan yang akan dikembangkan.
dengan mempertimbangkan daya Penyusunan rencana rinci tersebut perlu
dukung dan daya tampung lingkungan dilengkapi dengan peraturan zonasi untuk
untuk mencegah pengembangan mengurangi risiko bencana banjir serta
kawasan perkotaan di daerah yang penyiapan rencana mitigasi bencana banjir.
sering terpapar banjir
c Penyiapan rencana mitigasi bencana
banjir untuk kawasan perkotaan.
d Mendorong pemanfaatan lahan
kawasan perkotaan pada kawasan yang
tidak rawan banjir (bukan kawasan
berawa) melalui pengembangan
kebijakan insentif/
disinsentif;
e Pengembangan peraturan zonasi untuk
kawasan rawan banjir sebagai bagian
dari upaya mitigasi bencana banjir.
f Pembangunan tanggul pada beberapa
lokasi, contoh Desa Ujong Pulo Cut dan
Desa Cangoi Seubadeh, Muara
Bakongan, Muara Desa Ujong Panju
Bakotim, Kuala Cangkuni – Seubadeh;
g Normalisasi Sungai;
h Dilakukan upaya-upaya mengurangi
kegiatan penebangan liar.
2. Rencana Pengembangan Jaringan Jalan Baru pada Enam Ruas Jalan:
Ruas Despot Keude Trumon – Cut Bayu
Ruas Buloh Seuma – Kuala Baru
Ruas Alue Rimba – Simpang Tiga
Ruas Bukit Mas – Alue Saya
Ruas Brahan – Seuneubok Keranji
Ruas Seuneubok Keranji – Laut Bangko
2.1 Isu Strategis: Frekuensi banjir yang sering terjadi
a. Melakukan kajian lingkungan yang lebih Untuk pembangunan ke-enam ruas jalan
detail terkait dampak pembangunan baru
jalan baru pada ruas Despot Keude perlu dilakukan setelah dokumen kajian
Trumon – Cut Bayu yang berada di lingkungan disiapkan.Pada tahap
kawasan rawa. berikutnya rencana pembangunan jalan
b. Peningkatan upaya pengendalian alih harus dilakukan dengan mengikuti standar
fungsi lahan pada kawasan di sekitar teknis pembangunan jalan serta didukung
jaringan jalan yang akan dibangun agar oleh upaya peningkatan pengendalian
tidak berkembang menjadi kawasan pemanfaatan lahan di sekitar jaringan jalan
budidaya; baru.
c. Pembangunan jalan baru melalui
meningkatan elevasi jalan yang
dibangun lebih tinggi serta dilengkapi
dengan sistem drainase dengan
kapasitas yang cukup besar;
69
No. Usulan Mitigasi/Alternatif Rekomendasi Mitigasi/Alternatif
d. Pengintegrasian rencana pembangunan
jaringan jalan baru dengan rencana
pengendalian banjir kawasan
e Tambahan usulan alternatif khususnya Pengembangan jaringan jalan setapak pada
untuk rencana ruas Seuneubok – Laot ruas Indra Damai – Suak Belimbing – Laot
Bangko :Alternatif pengembangan Bangko. Akses menuju kawasan danau Laot
jaringan jalan setapak yang sudah ada, Bangko selanjutnya dilanjutkan dengan
yaitu pada ruas Indra Damai – Suak jalan setapak ke arah danau.
Belimbing – Laot Bangko. Akses menuju Agar tetap dapat memberikan akses menuju
kawasan danau Laot Bangko kawasan Danau Laot Bangko yang akan
selanjutnya dilanjutkan dengan jalan dikembangkan sebagai kawasan ekowisata,
setapak ke arah danau. Pengembangan maka rekomendasi pengembangannya
alternatif jaringan jalan baru ini untuk dengan mengembangkan alternatif jalan
mencegah terbukanya banyak terlalu yang telah ditetapkan oleh Balai TNGL
banyak akses ke Danau Laot Bangko dalam site plan pengembangan ekowisata
yang dapat menganggu kelestarian Danau Laot Bangko
ekosistem TNGL di sekitar kawasan
tersebut. Pengembangan alternatif
jaringan jalan baru ini juga telah
mengikuti rencana pengembangan
kawasan ekowisata (siteplan) Danau
Laot Bangko yang telah dikembangkan
oleh Balai TNGL
70
No. Usulan Mitigasi/Alternatif Rekomendasi Mitigasi/Alternatif
mengganti tanaman pala yang terserang tidak melakukan penanaman tanaman pala
hama/penyakit dengan tanaman pala yang dalam satu hamparan luas secara monokultur;
baru. Untuk mencegah meluasnya melakukan konservasi tanah dan air sebelum
hama/penyakit tanaman pala, maka lahan mengganti tanaman pala yang terserang
terlebih dahulu harus di-bera sebelum hama/penyakit dengan tanaman yang baru;
ditanam kembali dengan tanaman pala serta peningkatan kemampuan masyarakat
yang baru; dalam pemelliharaan dan pengelolaan
c Peningkatan kemampuan masyarakat perkebunan pala
dalam pemeliharaan tanaman pala
2 Kawasan Peruntukan Perkebunan Rakyat seluas 15.600 ha yang dikembangkan pasa
Kawasan Hutan yang Diusulkan untuk Perubahan Status
2.1 Isu Strategis: Frekuensi banjir yang sering terjadi
a Penyiapan dokumen kajian lingkungan Upaya untuk mencegah peningkatan banjir
untuk mengkaji kelayakan pengembangan juga perlu dilakukan melalui aplikasi
perkebunan rakyat serta pengkajian konservasi tanah dan air yang diakibatkan
dampak pengembangan kawasan oleh kerusakan lahan sehingga mengurangi
perkebunan terhadap lingkungan di kemampuan lahan untuk menyerap air hujan
sekitarnya;
b Proses perijinan perubahan status
kawasan hutan dari kementerian
kehutanan;
c Pembukaan lahan perkebunan rakyat
dilakukan secara bertahap;
d Pengembangan lahan perkebunan rakyat
dilakukan dengan memperhatikan kaidan
konservasi tanah dan air
e Membuat kanal-kanal untuk
mengendalikan banjir yang didahului
dengan kajian lingkungan hidup untuk
pembangunan kanal ini
2.2 Isu Strategis : Sebaran hama dan penyakit tanaman pala makin meluas
a Tidak menanam tanaman pala dalam satu Terkait dengan upaya pengurangi penyebaran
hamparan luas secara monokultur; hama/penyakit tanaman pala, maka upaya
b Mem-bera-kan lahan terlebih dahulu pengembangan perkebunan pala perlu
sebelum ditanam dengan tanaman pala dilakukan melalui beberapa upaya, seperti
yang baru. Umumnya masyarakat segera tidak melakukan penanaman tanaman pala
mengganti tanaman pala yang terserang dalam satu hamparan luas secara monokultur;
hama/penyakit dengan tanaman pala yang melakukan konservasi tanah dan air sebelum
baru. Untuk mencegah meluasnya mengganti tanaman pala yang terserang
hama/penyakit tanaman pala, maka lahan hama/penyakit dengan tanaman yang baru;
terlebih dahulu harus di-bera sebelum serta peningkatan kemampuan masyarakat
ditanam kembali dengan tanaman pala dalam pemelliharaan dan pengelolaan
yang baru; perkebunan pala
c Peningkatan kemampuan masyarakat
dalam pemeliharaan tanaman pala
3 Kawasan Peruntukan Pertambangan
3.1 Isu Strategis: Frekuensi Banjir yang Masih Sering Terjadi
a Penyiapan dokumen lingkungan untuk Pengembangan kawasan pertambangan perlu
mengkaji kelayakan kegiatan dilakukan dengan menyiapkan kajian
pertambangan serta mengkaji dampak lingkungan terlebih dahulu untuk mengkaji
terhadap lingkungan di sekitarnya;
71
No. Usulan Mitigasi/Alternatif Rekomendasi Mitigasi/Alternatif
b Penyiapan rencana mitigasi banjir yang dampak terhadap lingkugan di sekitarnya
diakibatkan oleh pembukaan lahan untuk serta upaya RKL dan RPL yang perlu dilakukan
kegiatan pertambangan; untuk memitigasi dampak yang dapat
c Penetapan kewajiban reklamasi kawasan ditimbulkan dari pengembangan kegiatan
tambang paska kegiatan penambangan; pertambangan.
d Peningkatan pengawasan dan Dalam pelaksanaan kegiatan penambangan,
pengendalian kegiatan pertambangan maka upaya pengawasan dan pengendalian
e Perlu penetapan yang jelas wilayah terhadap kegiatan penambangan yang tidak
pertambangan rakyat sehingga dapat sesuai standar/ketentuan yang berlaku serta
dipilih daerah yang dikaji tidak akan yang dilakukan dengan tidak ramah
menimbulkan banjir lingkungan perlu ditingkatkan. Upaya
pengawasan dan pengendalian tersebut perlu
dibarengi dengan kegiatan sosialisasi pada
masyarakat terkait kegiatan penambangan
yang ramah lingkungan sereta penegakan
hukum (law enforcement) terhadap kegiatan
penambangan yang tidak ramah lingkugan.
Pada saat kegiatan pertambangan telah
berakhir, penerapan kewajiban reklamasi
kawasan tambang perlu dilakukan untuk
mengembalikan kawasan ke fungsi
sebelumnya agar tidak menimbulkan banjir di
kawasan hilirnya
3.2 Isu Strategis: Pertambangan yang Tidak Ramah Lingkungan
a Peningkatan pengawasan dan Pengembangan kawasan pertambangan perlu
pengendalian kegiatan pertambangan; dilakukan dengan menyiapkan kajian
b Penerapan penegakan hukum (law lingkungan terlebih dahulu untuk mengkaji
enforcement) yang ketat terhadap kegiatan dampak terhadap lingkugan di sekitarnya
penambangan yang tidak ramah serta upaya RKL dan RPL yang perlu dilakukan
lingkungan; untuk memitigasi dampak yang dapat
c Kegiatan pertambangan harus dilenegkapi ditimbulkan dari pengembangan kegiatan
dengan dokumen lingkungan yang lengkap; pertambangan.
d Merelokasi kegiatan pengelolaan emas Dalam pelaksanaan kegiatan penambangan,
jauh dari pemukiman penduduk dan maka upaya pengawasan dan pengendalian
pergantian teknologi yang ramah terhadap kegiatan penambangan yang tidak
lingkungan sesuai standar/ketentuan yang berlaku serta
e Peningkatan sosialisasi pada masyarakat yang dilakukan dengan tidak ramah
terkait kegiatan penambangan yang lebih lingkungan perlu ditingkatkan. Upaya
ramah lingkungan pengawasan dan pengendalian tersebut perlu
f Perlu penetapan kriteria yang jelas dibarengi dengan kegiatan sosialisasi pada
terhadap penambangan galian C sehingga masyarakat terkait kegiatan penambangan
tidak salah dalam pemberian rekomendasi yang ramah lingkungan sereta penegakan
hukum (law enforcement) terhadap kegiatan
penambangan yang tidak ramah lingkugan.
Pada saat kegiatan pertambangan telah
berakhir, penerapan kewajiban reklamasi
kawasan tambang perlu dilakukan untuk
mengembalikan kawasan ke fungsi
sebelumnya agar tidak menimbulkan banjir di
kawasan hilirnya
72
BAB V
STRATEGI PEMBANGUNAN EMISI RENDAH
73
5.1. Ringkasan Hasil Analisa Emisi
Kabupaten Aceh Selatan sebagian besar atau sekitar 70% wilayahnya
memiliki tutupan lahan hutan, untuk itu kegiatan yang berpotensi
menimbulkan emisi adalah kegiatan manusia yang menimbulkan perubahan
penggunaan lahan hutan menjadi bukan hutan (deforestasi ataupun degradasi
hutan). Berdasarkan hasil pelingkupan oleh beberapa pemangku lintas
kepentingan (stakeholders) maka emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihitung
adalah Emisi GRK berasal dari kegiatan manusia dalam bidang Land Use, Land
Use Change and Forestry (LULUCF).
Perubahan tutupan lahan di Aceh Selatan dalam kurun waktu 10 tahun (2000
– 2011) memperlihatkan bahwa terjadi penurunan tutupan lahan hutan lahan
kering sekunder dari luas dari 111,269 ha pada tahun 2000 menjadi 108,359
ha pada tahun 2011. Sedangkan pada tutupan lahan semak belukar terjadi
peningkatan dari luas 27,443 ha pada tahun 2000 menjadi 30,291 ha pada
tahun 2011. Berikut ini ringkasan perhitungan emisi di Aceh Selatan:
1. Emisi CO2e di Aceh Selatan dalam kurun waktu 11 tahun (2000 –
2011) adalah sebesar 3,861,816 ton, dan emisi sekuestrasi sebesar -
377,175 ton, sehingga emisi yang menyebabkan gas rumah kaca
sebesar 3,484,641 ton, atau sebesar 8.3 ton/ha, atau 0,92
ton/ha/tahun
2. Pendugaan atau estimasi emisi CO2e berdasarkan scenario BAU (tahun
2000 – 2030) di Aceh Selatan berdasarkan perubahan tutupan lahan
dari tahun 2000 – 2011 adalah sebesar 571.747,58 ton CO2e atau
sebesar -1,37 ton/ha.
3. Rencana pola ruang RTRWK Aceh Selatan, bila dilaksanakan tanpa ada
penyimpangan, maka diduga atau diperkirakan akan dapat
menurunkan emisi di Aceh Selatan sebesar -71,39 ton/ha dari besaran
dugaan emisi dengan scenario BAU -1,37 ton/ha. Jumlah sekuestrasi
emisi di Aceh Selatan pada tahun 2032 dengan pelaksanaan RTRW
tanpa penyimpangan adalah -72,76 ton/ha.
4. Simulasi pendugaan emisi dengan kondisi dimana diperkirakan akan
terjadi sejumlah penyimpangan yaitu pada kawasan sepanjang kanan
kiri jalan di Taman Nasional Gunung Leuser, Hutan Lindung dan Hutan
produksi, dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Optimalisasi
penurunan Emisi CO2e dengan menghitung luasan area semak belukar
dan tanah kosong di kawasan sepanjang kanan kiri jalan di Taman
Nasional Gunung Leuser, Hutan Lindung, Hutan produksi, dan Suaka
Margasatwa Rawa Singkil, diperoleh hasil bahwa dengan kondisi yang
74
demikian akan mengurangi sekuestrasi emisi dari scenario
pemanfaatan atau pelaksanaan rencana pola ruang yang ideal (tanpa
penyimpangan). Pengurangan sekuestrasi ini cukup besar yaitu
berkurang sebesar 16,06 ton/ha sehingga emisi CO2e berdasarkan
asumsi pada simulasi ini adalah -56,7ton/ha. Hal lainnya dengan
penyimpangan pemanfaatan ini, diperkirakan hutan kering sekunder
di Aceh Selatan akan berkurang seluas 4716 ha dalam kurang waktu
20 tahun ke depan hingga 2032.
75
BAB VI
KESIMPULAN dan TINDAK LANJUT
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian yang dipaparkan pada bab III dan IV dapat
disimpulkan bahwa secara umum rencana struktur ruang, rencana pola ruang,
dan penetapan kawasan strategis kabupaten di Kabupaten Aceh Selatan telah
dilakukan secara seksama. Namun demikian, dalam telaah dampak yang
dilakukan melalui KLHS, ditemukan bahwa sebagian kecil dari rencana tata
ruang, yang dinilai memiliki potensi memberikan implikasi terhadap isu
strategis. Oleh karenanya implikasi terhadap isu strategis yang mungkin
timbul dari pelaksanaan sejumlah rencana tata ruang tersebut dapat
diminimalisasi melalui sejumlah tindakan mitigasi.
Isu strategis yang diidentifikasi dan dilakukan analisis terhadapnya didalam
kajian ini adalah frekuensi banjir yang masih sering terjadi, pertambangan
yang tidak ramah lingkungan, alih fungsi lahan sawah menjadi perkebunan,
dan sebaran hama dan penyakit tanaman pala yang makin meluas.
Sementara itu muatan RTRW yang dinilai memiliki dampak pengaruh
terhadap isu strategis tersebut adalah rencana pengembangan PKL Tapaktuan
dan PKLp Bakongan, pengembangan enam ruas jaringan jalan, kawasan
peruntukan perkebunan rakyat baik di kawasan APL maupun di kawasan
hutan yang diusulkan perubahan status, dan kawasan peruntukan
pertambangan.
Sejumlah rangkaian mitigasi telah disusun dan direkomendasikan untuk
setiap rencana tersebut diatas. Rencana tindakan mitigasi yang
direkomendasikan tersebut disusun berdasarkan pertimbangan prinsip
pembangunan berkelanjutan agar pembangunan yang dilakukan dapat tetap
menjamin keberlangsungan kehidupan di masa datang. Pertimbangan yang
digunakan adalah prinsip keseimbangan antara kepentingan lingkungan,
ekonomi, dan sosial; prinsip keterkaitan antar-sektor dan antar-wilayah; serta
prinsip keadilan untuk memberikan akses bagi masyarakat terhadap
pengelolaan sumberdaya alam di wilayah Kabupaten Aceh Selatan.
Rangkaian rekomendasi yang dipaparkan dalam laporan ini, sebagian
merupakan rangkaian tindak teknis yang perlu dan harus dilakukan untuk
memperkecil dampak yang diprediksi akan memperburuk isu strategis yang
ada saat ini, sebagian lainnya perlu dan harus diwujudkan dalam bentuk
dukungan kebijakan untuk menciptakan kondisi yang kondusif.
76
6.2 Tindak Lanjut
Sebagaimana yang telah disampaikan pada bagian pendahuluan laporan ini,
KLHS bertujuan untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan. Bagi
Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan, proses penyelenggaraan KLHS ini masih
jauh dari sempurna, dan sebagai bagian dari proses perbaikan penyusunan
perencanaan daerah, maka Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan akan
memeriksa, memperhatikan dan menyempurnakan dari sisi mekanisme
penyelenggaraan KLHS, juga dari sisi pendukung substansi seperti
pemutakhiran data dan informasi. Selain daripada itu, kami sangat
menghargai masukan perbaikan yang membangun untuk penyempurnakan
penyelenggaran kegiatan serupa di masa akan datang.
77
Daftar Pustaka
Kabupaten Aceh Selatan dalam Angka Tahun 2011, 2010, 2009, 2008
78
Daftar Lampiran
79
Lampiran 1.
Surat Keputusan Bupati Aceh Selatan Nomor 92 tahun 2014
Tentang Pembentukan Tim Koordinasi dan Tim Teknis Penyusunan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2014