Vous êtes sur la page 1sur 19

AKALASIA PRIMER VERSUS

AKALASIA SEKUNDER

LATAR BELAKANG
Timbul tantangan tersendiri dalam menegakkan suatu diagnosis

akalasia sekunder karena dinilai menyerupai akalasia primer baik


secara klinis maupun dengan pemeriksaan penunjang
(manometri , endoskopi , dan radiologi). Namun , pendiferensiasian keduanya sangat lah penting. Dimana akalasia primer
merupakan suatu gangguan jinak motilitas esofagus dan
merupakan bentuk respon dari prosedur balloon dilatation,
sedangkan akalasia sekunder paling sering disebabkan oleh suatu
keganasan (malignansi). Adanya balloon dilatation pada akalasia
sekunder merupakan suatu penanda adanya keterlambatan
penanganan dalam suatu keganasan. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk membedakan akalasia primer dengan akalasia
sekunder menggunakan metode klinis, manometrik, endoskopi,
serta radiologi. [10] Namun, tak satu pun yang dinilai terbukti
benar-benar tepat. Dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui
perbedaan akalasia primer dan sekunder dengan menemukan
penanda baru pada esofagogram.

TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui penanda baru pada
esofagogram barium yang kemudia dapat
membedakan akalasia primer dengan
akalasia dekuder

TINJAUAN PUSTAKA
Akalasia adalah gangguan motilitas esofagus
yang ditandai oleh hilangnya fungsi
peristaltik primer dan adanya gangguan
fungsi relaksasi dari lower esofageal
sphincter (LES). Akalasia merupakan suatu
keadaan khas yang ditandai dengan tidak
adanya peristaltis korpus oesophagus bagian
bawah dan sfingter esophagus bagian bawah
(SEB) yang hipertonik sehingga tidak bisa
mengadakan relaksasi secara sempurna
pada waktu menelan makanan

Akalasia primer atau idiopatik disebabkan

oleh degenerasi inhibitor sel-sel ganglion di


pleksus esofagus myenteric. Akalasia
sekunder, yang juga dikenal sebagai
pseudoakalasia, kebanyakan disebabkan
oleh tumor ganas dari gastroesofageal
junction (GEJ)

Etiologi
Dasar penyebab akalasia adalah kegagalan

koordinasi relaksasi esofagus bagian distal


disertai peristalsis esofagus yang tidak
efektif berdilatasi. kelainan persarafan
parasimpatis berupa hilangnya sel gagglion
di dalam pleksus Auerbach yang juga
disebut pleksus mienterikus.

ada dua defek penting yang didapatkan pada


pasien akalasia :
Obstruksi pada sambungan esofagus dan
gaster akibat peningkatan tekanan
SEB(saluran esofagus bawah) basal jauh di
atas tekanan normal dan gagalnya SEB
untuk relaksasi sempurna. Panjang SEB
manusia 3-5 cm, sedangkan tekanan SEB
basal normal rata-rata 20 mmHg. Pada
akalasia tekanan SEB meningkat kurang
lebih dua kali yaitu sekitar 50 mmHg.

Peristaltis esofagus yang tidak normal

disebabkan karena aperistaltis dan dilatasi 2/3


bagian bawah korpus esofagus. Akibat lemah
dan tidak terkoordinasinya peristaltis sehingga
tidak efektif dalam mendorong bolus makanan
melewati SEB. Segmen esofagus diatas
sfingter esofagogaster yang panjangnya
berkisaran antara 2-8 cm menyempit dan tidak
mampu berelaksasi. Esofagus bagian proksimal
dari penyempitan tersebut mengalami dilatasi
dan perpanjangan sehinga akhirnya menjadi
megaeksofagus yang berkelok-kelok.

METODE PENELITIAN
Peninjauan dari 30 pasien dengan akalasia
primer dan 17 pasien dengan akalasia
sekunder. Data klinis, endoskopik, dan
manometrik disertakan.

Sebanyak 80 pasien melakukan metode

barium swallow dengan satu kontras. Akalasia


didiagnosis pada 58 pasien dan
pseudoakalasia sebanyak 22 pasien. Dari 33
pasien pasien tersebut (28 dengan akalasia
primer dan 5 dengan akalasia sekunder) tidak
diikutsertakan dalam studi yang akan
dilakukan dikarenakan mereka telah menjalani
prosedur (balloon dilatation / metal stent)
sebelum studi barium dilakukan. Dengan
demikian, 47 pasien (30 dengan akalasia dan
17 dengan pseudoakalasia)

Pada kelompok pseudoakalasia, diagnosis

yang telah dibuat antara lain karsinoma


esofagus (n = 10), kardia karsinoma
lambung (n = 6), dan limfoma dari GEJ (n =
1). Dari semua pasien, diperoleh temuan
radiologi berupa hilangnya peristaltik
primer di esofagus disertai penyempitan
esofagus segmen distal yang meluas ke
GEJ. Diagnosis pseudoakalasia tercantum
dalam laporan dari 15 pasien dengan
akalasia sekunder.

Presentasi klinis
AKALASIA PRIMER
Rentang insidensi tersebut dibagi sama rata
antara laki-laki dan perempuan (laki-laki = 15
dan perempuan = 15 ). Usia rata-rata laki-laki
adalah 39 tahun ( kisaran , 18-74 tahun ).
Disfagia dilaporkan terjadi pada semua pasien.
Sebanyak dua puluh pasien memiliki disfagia
untuk benda cair dibandingkan benda padat;
sisanya memiliki disfagia yang berbanding sama
antara benda cair dan benda padat. Durasi
gejala rata-rata adalah 3,5 tahun ( kisaran 3
bulan hingga 10 tahun ).

AKALASIE SEKUNDER
Dari 17 pasien dengan akalasia sekunder , 9
diantaranya adalah laki-laki dan 8 nya adalah
perempuan. Usia rata-rata adalah 49 tahun
( kisaran , 31-78 tahun ) . Semua pasien dengan
disfagia memiliki durasi rata-rata 3 bulan ( kisaran ,
1-11 bulan ). Riwayat disfagia pada benda cair
tercatat hanya di tiga pasien.
Pasien dengan akalasia sekunder memiliki durasi
gejala yang signifikan lebih pendek ( P < 0,05 )
dibandingkan pasien dengan akalasia primer.
Namun , tidak ada perbedaan yang signifikan
antara usia kedua kelompok tersebut.

Manometrik, endoskopi, dan temuan bedah


AKALASIA PRIMER

Hasil temuan khas manometri diperoleh dari 80%


pasien (n = 24). Aperistalsis esofagus diperoleh pada
semua kasus. LES non-relaksasi diperoleh pada
91,5% kasus (n = 22). Satu pasien menunjukkan
hipertensi LES (tekanan istirahat > 45 mmHg). LES
dengan relaksasi yang buruk ditemukan pada satu
pasien. Endoskopi dilakukan pada semua pasien. LES
tertutup termasuk ke dalam temuan endoskopi. Pada
sebagian besar pasien, LES dibuka sebagai bentuk
respon untuk memasukan endoskopi. Tidak satu pun
pasien pada kelompok ini melakukan prosedur
pembedahan.

AKALASIA SEKUNDER

Manometri dilakukan pada delapan pasien dengan


pseudoakalasia. Seperti hal-nya pada akalasia
primer, semua pasien pada kelompok akalasia
sekunder juga tidak memiliki peristaltik esofagus.
Namun, ada dua pasien yang peristalsisnya dapat
muncul di beberapa penelanan. LES yang ditemukan
bersifat non-relaksasi pada semua pasien dan tidak
ada perbedaan yang signifikan perihal bentuk
gelombang tekanan antara kedua kelompok
tersebut. Dengan demikian, secara keseluruhan,
tidak ada fitur yang berbeda dari akalasia primer
yang ditemukan

TEMUAN PADA BARIUM


SWALLOW
AKALASIA PRIMER
Pada semua pasien, tampak gambaran simetris, halus, serta adanya
penyempitan meruncing dari distal esofagus yang memanjang
sampai GEJ [Gambar 1]. Panjang dari segmen esofagus yang
menyempit adalah kurang lebih sekitar tinggi satu vertebral body
pada sebagian besar pasien (n = 16) [Gambar 2]. Pada 14 pasien,
panjang dari segmen yang menyempit agak melebihi satu vertebral
body. Tak satu pun dari pasien dengan akalasia primer memiliki
panjang ruas abnormal yang mendekati gabungan dari tinggi dua
vertebral body. Kaliber maksimum dari segmen yang dilatasi
memiliki tinggi lebih dari satu vertebral body pada 14 pasien. Yang
mendekati ketinggian dua vertebral body ada pada 10 pasien, dan
kurang dari tinggi satu vertebral body pada 6 pasien. Jalur barium
yang adekuat ke dalam perut tampak pada 14 pasien, dan gambaran
fundus normal tampak pada semua pasien tersebut. Gambaran tremtrack sign dari segmen yang menyempit tampak pada 17 pasien
(57%)

Akalasia sekunder
Pada lima pasien dengan akalasia sekunder, studi

barium memperlihatkan bagian distal dari esofagus


tampak halus, simetris, dan ada penyempitan yang
meruncing, yang sulit membuatnya dibedakan
dengan akalasia primer [Gambar 4]. Dalam sisa
pasien (n = 12), terdapat adanya suatu
penyempitan yang eksentrik [Gambar 5]. Panjang
dari penyempitan segmen distal berkisar lebih dari
satu vertebral body pada 41% pasien (n = 7),
mendekati tinggi dua vertebral body sebanyak 35%
(n = 6), dan kurang dari tinggi satu badan vertebral
body sebanyak 24% pasien (n = 4).

Vous aimerez peut-être aussi