Vous êtes sur la page 1sur 141

ASMA

BRONKIAL
Definisi menurut ciri klinis, fisiologis dan
patologis.
Ciri klinis R/ episode sesak terutama malam
hari disertai batuk, mengi
Ciri fisiologis episode obstruksi SN yang
ditandai oleh keterbatasan arus udara
ekspirasi.
Ciri patologis inflamasi SN yang disertai
perubahan struktur SN.
Asma komponen genetik dan lingkungan
Deskripsi operatif asma penyakit inflamasi
kronis Sal. Nafas peranan sel mast, eosinofil,
neutrofil, sel T, makrofag, sel epitel dan
komponen selular.
Individu rentan inflamasi menimbulkan
episode rekuren terutama malam atau dini pagi
hari (batuk, mengi, sesak dan nyeri dada)
hubungan dengan obstruksi SN yang luas,
reversibel, baik spontan atau dengan
pengobatan.
Keterbatasan SN disebabkan perubahan yang
dipengaruhi inflamasi:
Bronkokonstriksi otot polos SN respons
terhadap pajanan dengan berbagai rangsangan
seperti alergen dan iritan
Hiperesponsivitas SN respons
bronkokonstriksi yang berlebihan terhadap
rangsangan
Edem SN dengan penyakit yang menjadi lebih
persisten dan inflamasi menjadi lebih progresif,
edem, hipersekresi mukus dan mukus kental
yang membatasi arus udara.
I. Faktor resiko
Interaksi antara faktor pejamu (terutama
genetik) dan pajanan dengan lingkungan.

A. Faktor pejamu
1. Genetik
50%-60% faktor keturunan.
Serangan interaksi gen multipel dan
faktor lingkungan
2. Diet - Obesitas
Hubungan diet/intake anti oksidan dan asam
lemak omega 3 yang kurang dengan awitan
asma belum jelas.
Obesitas atau peningkatan BMI faktor risiko
asma.
Mediator (leptin) mempengaruhi fungsi SN
dan meningkatkan kemungkinan asma.
Mekanismenya belum jelas penurunan berat
badan pada penderita gemuk dengan asma
memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan
status kesehatan.
3. Kelamin
Pria risiko asma pada anak.
Usia < 14 tahun laki :perempuan = 2:1
Usia lebih tua laki = perempuan
Dewasa wanita > pria.
Sebab tidak jelas lahir ukuran paru pada
pria < , dewasa laki > wanita
B. Faktor lingkungan
1. Alergen

Faktor lingkungan yg penting alergen dalam


udara, terutama sensitasi dan pajanan dengan
tungau debu rumah, serpih hewan, kecoa,
spora jamur dan luar rumah scperti serbuk
sari, spora jamur.
2. Infeksi
Bayi sejumlah virus berhubungan dengan
insepsi fenotip asma.
RSV dan virus p. influenza gejala bronkiolitis
yang paralel dengan ciri asma pada anak.
40% anak dengan infeksi RSV mengi yang
menetap atau asma di kemudian hari.
Infeksi SN tertentu pada usia dini (campak,
RSV) menunjukkan proteksi thd asma
3. Asap rokok

Berhubungan dengan peningkatan penurunan


fungsi paru.
Pajanan dengan asap rokok, prenatal dan setelah
lahir efek berbahaya yang dapat diukur risiko
meningkat utk terjadinya gejala serupa asma pada
usia dini.

4. Lingkungan kerja
di negara industri asma penyakit akibat kerja
tersering
Asma Akibat Kerja terbanyak imunologik.
5. Polusi indoor dan outdoor

Faktor lingkungan lain asap rokok (pajanan


in utero) dan polusi udara (ozon dan berbagai
partikel) risiko peningkatan mengi, tetapi
belum pasti apakah juga meningkatkan risiko
mengi dan timbulnya asma di kemudian hari.
G/ asma usia 6 tahun.
Pencegahan asma primer maupun sekunder
sedini mungkin.
Pencegahan primer usaha untuk rnemacu
respons imun yang sebaliknya dari respons pro-
asma.
Pencegahan sekunder strategi yang
dilakukan pada bayi dengan risiko tinggi yang
sudah menunjukkan manifestasi penyakit, untuk
rnenurunkan morbiditas penyakit dan mencegah
kerusakan pada sistem pernapasan.
Mencegah sensitasi secara dini mengubah
perjalanan penyakit.
Pajanan dengan TDR, asap rokok, serpih
hewan, kecoa diminimalkan.
Pajanan dengan kadar tinggi TDR dan asap
rokok peningkatan insidens AB pada bayi.
Memperpanjang pemberian ASI dan
rnenghindari pemberian dini makanan alergenik
mengurangi ekzema dan sensitasi makanan
tetapi belum terbukti mengurangi asma
C. Hipotesis higiene
Merup postulat bahwa infeksi pd kehidupan dini,
pajanan dg anak2 lain, adanya saudara tua dan
perawatan dini di rumah perawatan
meningkatkan pajanan dengan infeksi SN,
penggunaan antibiotik yang kurang dan hidup di
pedesaan berhubungan dengan respons Th 1
dan insidens asma yang lebih rendah.
Tidak adanya faktor-faktor tersebut
berhubungan dengan respons Th2 yang
persisten dan kekerapan asrna yang lebih tinggi.
1. Lingkungan pertanian-peternakan

Anak yang hidup di lingkungan peternakan dan


pertanian tradisional yang mempunyai kontak
teratur dengan ternak lebih sedikit menderita
asma.

2. Hewan peliharaan
Anak <6 tahun dengan hewan peliharaan
penurunan resiko asma
Anak usia > 6 tahun peningkatan risiko asma,
mengi dan tidak atopi.
3. Rumah penitipan (day-care) anak

Anak usia prasekolah yang dititipkan di rumah


penitipan atopi kurang.
Anak < 6 bulan yang dititipkan atau anak
bersaudara asma yang kurang dibanding
dengan yang tidak dititipkan atau tanpa saudara
tua.

4. Susu tidak dipasteurisasi


Anak pada usia tahun pertama terpajan dengan
kandang ternak dan/atau susu tidak
dipasteurisasi asma dan atopi berkurang
d. Usaha menurunkan risiko
1. ASI
AS1 menunjukkan proteksi atau meningkatkan
risiko asma dan atau atopi perdebatan.
Banyak studi menunjukkan proteksi ada juga
yang melaporkan ASI meningkatkan risiko
asma, terutama pada anak dengan ibu yg asma
atau atopi.
ASI masih dianjurkan mengingat keuntungan
lainnya.
2. Menghindari alergen
Pencegahan primer menghindari tungau debu
rumah yang dimulai sebelum lahir mengurangi
kelembaban, menggunakan tutup kasur dan sarung
bantal/ guling yang tidak tembus oleh TDR yang dapat
dicuci dengan air panas.
Pada bayi sensitasi menurun usia l tahun, tetapi
tidak ada perbedaan lagi pada usia 2 tahun.
Ada perbedaan dalam kekerapan mengi berat lebih
rendah pada anak yang mendapat perlakuan
menghindari TDR pada usia < 1 tahun
Kadar tinggi komponen bakteri seperti endotoksin
merangsang sistem imun proteksi
3. Kortikosteroid Inhalasi
Anak 5-12 tahun dengan asma ringan-sedang
tidak menunjukkan perbedaan dengan kontrol
/golongan tanpa obat.
KSI memperbaiki kontrol asma tidak
mengubah perjalanan alamiah asma tidak
mencegah terjadinya asma pada anak.
4. Probiotik
Bakteri saluran cerna yang menguntungkan
meningkatkan pematangan sistem imun
sebaliknya dari proatopik.
pemberian Lactobacillus rhaninosus
penurunan dermatitis atopi pada usia 2 tahun.

5. Vaksin
Anak yang mendapat vaksinasi asma
kurang
Vaksin hidup efek proteksi lebih
besar.
6. Imunoterapi spesifik
ITS untuk 3 tahun pada anak dengan rinitis
alergi berusia 6-14 tahun penurunan asma.
Kejadian asma setelah 3 tahun 3,8 kali lebih
besar pada kontrol tanpa ITS.

7. Imunoterapi spesifik dan anti-IgE


Pemberian ITS serta anti-IgE pd anak rinitis
alergi 48% penurunan gejala RA dibanding
dengan pemberian ITS saja.
II. Mekanisme
A. Pemacu, pemicu dan pencetus
faktor pemacu (inducer), pemicu (enhancer)
dan pencetus meningkatkan respons
inflamasi pada subyek alergi dan menginduksi
mengi.

B. Inflamasi
Ciri aktivasi sel mast, infiltrasi sel inflamasi
SN (eosinotil, makrofag SN, neutrofil, limfosit,
edern, hipersekresi mukus, kerusakan-
penglepasan epitel bronkus dan
remodeling SN.
Pembagian respons inflamasi fase dini
dan lambat.
1. Fase dini
Terjadi dalam beberapa menit setelah pajanan
dengan alergen melibatkan histarnin, LT C4
dan PGD2 bronkokonstriksi, vasodilatasi
dan produksi mukus.

2. Fase lambat
Terjadi beberapa jam
Melibatkan 1L-4, 1L-5, 1L-16, TNF-a, ECF dan
PAF.
Ciri AB obstruksi bronkus menyeluruh
tetapi reversibel dan bronkus yang
hiperresponsif.
3. Faktor neurogenik
NGF memacu neurotransmitor yang

mempengaruhi sistem saraf SN.


Limfosit yang memiliki reseptor untuk

neurotransmiter (terlihat pada sel Th2)


melepas faktor neurotropik menerangkan
interaksi psikosomatik pada asma.
Triad Herxheirner (diskrinia mukosa, edema

mukosa dan bronkokonstriksi)


menentukan intensitas gejala
Bronkus menerima saraf dari:
Sistem parasimpatis (serat eferan kolinergik,

serat dan saraf sensoris nonmielin (serat C)


sistem saraf simpatis (serat adrenergik

posganglion ke ganglia parasimpatis


serat nonkolinergik

Serat inhibitor non-adrenergik (NANO)

berjalan bersama serat kolinergik dan


memberikan satu-satunya jalur bronkodilator
neuronal.
Serat kolinergik dari ganglia lokal

merangsang kontraksi otot polos dan reseptor


muskarinik melalui reseptor M3
4. Sel-sel inflamasi
Eosinofil, sel T, sel mast dan APC
(SD,makrofag alveol) sel-sel kunci
dalam patogenesis asma.
Efek eosinofil merusak epitel.

Epitel SN, sel otot polos, sel naif


dan leukosit asing (dari luar paru)
serta interaksi antar berbagai sel
yang kompleks terlibat dalam
inflamasi SN.
SD di SN memacu perkembangan
jalur sel Th2 melalui interaksi antara
CD28 pada set T dan B7 pada SD dan
penglepasan sitokin (IL-1, 1L-12).
Sel Th2 berdiferensiasi melepas
sitokin (1L-4, 1L-5, IL-13 memacu
pengerahan dan aktivasi eosinofil serta
diferensiasi sel Th.
Gejala kardial pada AB sinus
takikardia, hipertensi pulmonal
(perubahan EKG) dan pulsus
paradoksus.
Set mast histamin, LT memacu
inflamasi SN, kebocoran mikrovaskular
pada fase dini dan lambat yang terjadi
6-24 jam kemudian.
Semua sel efektor, sel otot polos dan
sel goblet di SN melepas berbagai
mediator menurunkan fungsi SN.
Kaskade yang kompleks menyulitkan
usaha untuk mencari sasaran spesifik
seperti mediator tunggal dalam usaha
pengobatan.
5. Perubahan struktur
sal napas
Inflamasi kronis SN remodeling
perubahan struktur kronis yang tidak
reversibel. Pada sebagian berakhir
obstruktif ireversibel refrakter
terhadap terapi bronkodilator dan anti
inflamasi.
Remodeling AB persisten ringan
sampai berat dinding SN yang tebal,
fibrosis epitel, hipertrofi otot polos,
peningkatan vaskular dan metaplasi
mukosa.
Mekanisme hubungan antara perubahan
struktur jaringan dan fungsi paru yang
mengurangi tidak jelas.
Penderita terbanyak AB persisten ringan-
sedang nampak sehat pemeriksaan
mikroskopis remodeling jaringan
peribronkial.
GF dan mediator aktivasi miofibroblas
dan fibroblas (GF, EGF, IGF atau TGF-13)
kerusakan epitel, peningkatan proses
fibrosis, kronisitas obstruksi bronkus
Gejala persisten dan endapan kolagen tipe
I 111 dan V
6. Implikasi u/
pengobatan
Terapi dewasa ini efektif mengontrol
asma tetapi tidak mencegah progres asma
pada anak.
SN hiperesponsif fungsional abnormal
asma yang mullah menyernpit terhadap
rangsangan keterbatasan arus udara
yang variabel gejala intermiten.
C. Saluran hiperresponsif berhubungan
dengan inflamasi yang sehagian
reversibel dengan terapi.
Mekanisme tidak diketahui dengan balk
C. Saluran hiperresponsif
berhubungan dengan inflamasi yang
sehagian reversibel dengan terapi.
Mekanisme tidak diketahui
dengan baik
III. Klasifikasi asma
derajat berat AB kontinum
derajat berat AB persisten dapat
berkurang atau bertambah.
Derajat gejala eksaserbasi atau
serangan AB bervariasi yang tidak
tergantung dari derajat sebelurnnya.
A. Klasifikasi menurut
etiologi
Asma menurut etiologi
terutarna dengan bahan lingkungan yang
mensensitasi.
Sulit dilakukan bahan sering tidak
diketahui.

B. Klasifikasi menurut derajat berat asma


Guna menentukan obat yang diperlukan
pada awal penanganan asma sebagai
intermiten, persisten ringan, sedang, berat
C. Klasifikasi mnrt
kontrol asma
Kontrol menunjukkan penyakit
yang tercegah atau bahkan sembuh.
Kontrol manifestasi penyakit.
Kontrol yang lengkap diperoleh
dengan pengobatan.
Tujuan pengobatan memperoleh
dan mempertahankan kontrol untuk
waktu lama dengan pernberian obat
yang aman, tanpa efek samping
Classification of Severity
Clinical Features Before Treatment

CLASSIFICATION OF SEVERITY
Clinical Features Before Treatment
Nocturnal
Symptoms Symptoms FEV1 or PEF

STEP 4 Continuous < 60% predicted


Severe Limited physical Frequent
Variability > 30%
Persistent activity

STEP 3 Daily 60 - 80% predicted


Moderate > 1 time week
Attacks affect activity Variability > 30%
Persistent

STEP 2 > 1 time a week but > 2 times a month > 80% predicted
Mild Variability 20 - 30%
Persistent < 1 time a day

< 1 time a week


STEP 1 Asymptomatic and normal PEF > 80% predicted
< 2 times a month
Intermittent between attacks Variability < 20%
Levels of Asthma Control GINA 2008

Partly controlled
Uncontrolle
Characteristic Controlled (Any present in any
d
week)
Daytime None (2 or less / More than
symptoms week) twice / week
Limitations of
None Any
activities
3 or more
Nocturnal features of
symptoms / None Any partly
awakening controlled
asthma
Need for present in
rescue / None (2 or less / More than any week
reliever week) twice / week
treatment
Lung function < 80% predicted or
Normal personal best (if
(PEF or FEV1) known) on any day
One or more / year one in any
Exacerbation None
IV. DIAGNOSIS
Tanda sesak episodik, mengi,
batuk dan dada sakit/sempit
Pengukuran fungsi paru menilai
berat keterbatasan arus udara,
reversibilitas
Mengukur status alergi
membantu identitikasi faktor risiko
pada penderita dengan gejala
konsisten tetapi fungsi paru normal
A. Pemeriksaan klinis
B. Penggunaan Peak Flow
Meter
Pemeriksaan jasmani dapat
normal perlu pemeriksaan
objektif (spirometer/FEV 1 atau
APE) dilakukan sebelum dan 15
menit sesudah menghirup
bronkodilator kerja cepat.
Reversibilitas bermakna
peningkatan >12% (dewasa
peningkatan 200 ml) FEV1 setelah
inhalasi bronkodilator kerja pendek
Spirometer lebih diutamakan dibanding
PFM :
APE tidak sensitif dibanding FEV1

APE mengukur terutama SN besar

PFM dibuat untuk pemantauan dan

bukan alat diagnostik


APE digunakan untuk penderita yang

tidak dapat melakukan pemeriksaan


FEV.

c. Pemeriksaan IgE
D. Petanda inflamasi
Derajat berat AB dan pengobatannya
tidak berdasarkan atas penilaian
objektif inflamasi SN.
Gejala klinis dan spirometri bukan
merupakan petanda ideal inflamasi.
Penilaiain semikuantitatif inflamasi SN
biopsi paru, pemeriksaan sel
eosinofil sputum dan kadar oksida nitrit
udara yang dikeluarkan dengan napas.
Analisis sputum menunjukkan
hubungan antara jumlah eosinofil, ECP
dengan inflamasi dan derajat berat asma.
Biopsi endobronkial clan transbronkial
menunjukkan gambaran inflamasi,
tetapi sulit dilakukan di luar riset.
Ciri inflamasi AB aktivasi sel mast,
infiltrasi sel eosinofil, rnakrofag SN,
neutrofil terutama pada AB yang
timbul mendadak dan eksaserbasi fatal,
limfosit, edem dan epitel yang rusak.
E Petanda invasif minimal
(biomarker)
Pemeriksaan ekshalasi oksida nitrit
digunakan dalam pemeriksaan
biomarker belum dapat
direkomendasikan dalam
penanganan rutin masih
diperlukan studi lebih lanjut.
F. Uji hipereaktivitas
bronkus
FEV1 > 90%, HRB dibuktikan tes
provokasi.
Provokasi bronkial menggunakan
nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik
menimbulkan obstruksi SN pada yang
sensitif.
Respons sejenis dengan dosis yang lebih
besar terjadi pada subyek alergi tanpa
asma.
Tes provokasi lebih memberikan
informasi klinis dibanding dengan tes kulit.
Tes provokasi nonspesifik mengetahui
HRB latihan jasmani, inhalasi udara.
dingin atau kering, histamin dan metakolin
V. Diagnosis banding
VI. Obat2 asma
Dibagi pengontrol dan pelega.
Pengontrol dihirup tiap hari
mempertahankan asma secara klinis
terkontrol melalui efek antiinflamasinya.
Pelega digunakan atas dasar bila perlu
bekerja cepat, mengembalikan
bronkokonstriksi dan menghilangkan gejala
diberikan melalui inhalasi, oral dan
suntikan.
Keuntungan per inhalasi obat langsung
diberikan ke SN sehingga menghantarkan
obat dalam dosis besar lokal dengan risiko
sistemik jauh lebih kurang
KSI pengontrol paling efektif
SABA menghilangkan bronkonstriksi
dengan cepat dan premedikasi EIA
Peningkatan penggunaan terutama
pelega setiap hari menimbulkan
deteriorasi kontrol asma
menunjukkan perlunya meninjau
kembali pengobatan.
Diberikan melalui inhalasi, oral,
parenteral (SK, IM, IV).
Inhalasi melalui MDI (pressurized) pd
penderita dengan kesulitan menggunakan
press and breath pressurized MDI dan
breath actuated, puyer kering (DPI) (lebih
mudah, tetapi memerlukan flow rate
inspirasi minimal, dan sulit untuk
beberapa penderita), soft mist inhaler
(memerlukan koordinasi yang mudah) dan
nebulasi atau aerosol basah (jarang
diperlukan dalam pengobatan asma kronis
pada dewasa).
MDI dengan spacer mudah
diaplikasikan , lebih efektif, efek samping
lebih rendah dan biaya rendah
A. Pengontrol
1. Kortikosteroid
a. Kortikosteroid inhalasi
Bekerja terhadap berbagai tahap reaksi

AB.
Jangka panjang efek bronkodilator dan

preventif terhadap reaksi cepat,


menurunkan hipereaktivitas bronkus,
mencegah sekresi mukus dan
meningkatkan efek 2-adrenergik.
Obat antiinflamasi jangka panjang terpoten

spektrum luas terhadap proses inflamasi SN.


KSI memperbaiki gejala dan fungsi
paru, mengurangi kebutuhan obat
pelega cepat, namun efeknya kurang
dibanding KS oral.
KSI diutamakan untuk mengontrol
asma dalam jangka waktu lama
Dapat ditolerir dan aman pada dosis
yang direkomendasikan.
Dosis yang lebih tinggi mengurangi
risiko eksaserbasi.
KSI dosis tinggi > 1 tahun lebih
aman dibanding oral
Tindakan mengurangi efek samping:
Penggunaan nonbreath-activated metered
dose inhaler (MDI) mengurangi efek
samping lokal serta kumur-kumur dan
membuangnya paska inhalasi.
Gunakan dosis terendah yang dapat
mempertahankan asma terkontrol.
Penambahan LABA atau terapi tambahan
altematif dan menurunkan dosis KSI
sampai dosis rendahmedium.
b. Kortikosteroid sistemik
KS oral untuk jangka lama (> 2
minggu) sebagai terapi burst
asma berat tidak terkontrol
Pemberian oral lama lebih
diutamakan dibanding parenteral
atau 1V efek mineralokortikoid
lebih rendah, half life yang pendek,
efek kurang terhadap otot lurik dan
dosis fleksibel.
2. Antagonis leukotrin
Leukotrin mediator poten
Disintesis dari AA dalam membran sel
rnelalui
berbagai reaksi yang dikontrol enzim
Antagonis leukotrin (montelukas,
zafirlukas/accolate) mencegah LTD4-R
dan inhibitor lipoksigenase (zileuton)
mencegah sintesis semua LT.
Terapi alternatif terhadap dosis rendah
KSI pada AB persisten ringan,
memperbaiki gejala dan fungsi paru,
memberikan keuntungan tambahan
kepada KSI (menurunkan dosis KS pada
AB berat).
Zileuton meningkatkan enzim
hati.
Absorpsi zafirlukas menurun oleh
makanan.
zileuton dan zafirlukas interaksi
dengan obat potensial terutama
dengan aminofilin dan warfarin serta
berhubungan dg vaskulitis Churg-
Strauss.
3. LABA inhalasi
Tidak menggantikan obat antiinfiamasi yang
diperlukan.
Add-on therapy terhadap pengobatan
antiinflamasi untuk waktu lama, dapat
mengontrol gejala, terutama gejala malam dan
bekerja lebih lama dibanding 2 -agonis kerja
cepat.
Tidak digunakan untuk gejala akut atau
eksaserbasi, tetapi mengurangi keperluan obat
pelega cepat.
Pemberian terus menerus mencegah EIA.

Efek bronkoproteksi mengurang pada


pemberian yang terus menerus.
Masalah LABA dan KSI
LABA (formoterol dan salmeterol) tidak
dianjurkan untuk monoterapi pada asma
tidak mempengaruhi inflamasi, meningkatkan
risiko eksaserbasi asma berat atau kematian
bila digunakan lama dan teratur.
Tidak diberikan pada pengobatan gejala atau
eksaserbasi akut.
Pemberian lama (untuk mengontrol EIA)
disertai dengan pemberian anfiinfiamasi
seperti KSI dan tidak sebagai monoterapi.
Terapi kombinasi pilihan th/ bila dosis KSI
saja tidak dapat mencapai kontrol asma.

Tambahan LABA pada regimen KSI


harian memperbaiki skor gejala,
menurunkan asma nokturnal,
memperbaiki fungsi paru,
menurunkan penggunaan SABA dan
menurunkan ekserbasi.
Gabungan LABA dan KS kontrol
asma lebih cepat
4. Metilsantin (teofilin)
Derivat xantin memiliki efek antiinflamasi
ringan bronkospasmolisis
Obat alternatif dan tidak diutamakan untuk
monoterapi AB persisten.
Absorpsi dan lama kerjanya berubah dengan
usia, demam, sakit virus, obat tertentu dan
diet.
Pemberian malam hari mengontrol gejala
malam.
Efek samping nausea, insomnia,
hiperaktivitas, efek kardiovaskular dan tremor.
Kadar serum dipertahankan antara 10 dan 20
mg/ml,
Sering menimbulkan interaksi dengan obat
lain
5. Kromolin
Kromolin (nedokrornil sodium)
(semprot nasal) antiinflamasi
nonsteroid mengurangi dosis KSI.
Bekerja profilaktik pada membran
mukosa dalam mencegah serangan
AB.
Alternatif untuk KSI (terutama pada
anak) pada AB persisten ringan.
Mengurangi keperluan obat pelega
cepat, memperbaiki gejala dan
fungsi paru serta memberikan
keuntungan tambahan terhadap KSI
6. Pengontrol lain
MTX dosis rendah sedikit keuntungan,
pertimbangkan efek samping.
Siklosporin dan preparat emas
menunjukkan efek beberapa penderita.
Makrolid, troleandomisin sparing
effrct terhadap KS menurunkan
metabolisme KS.
Makrolid nausea, muntah., sakit perut
dan gejala gastrointestinal, gangguan
hati, penyakit parenkim paru,
hematologis dan teratogenik.
Siklosporin, FK560 rnencegah efek beberapa
sel inflamasi seperti sel mast dan proses aktivasi
sel T.
Siklosporin bekerja fase dini proses aktivasi sel
T, mencegah penglepasan IL-5, pengerahan
eosinofil .
Asma berat kronis menurunkan eksasebasi
asma
dan memperbaiki fungsi paru penurunan
aktivasi sel T perifer, penurunan ekspresi petanda
aktivasi sel CD4 yang paralel dengan perbaikan
Toksik terhadap ginjal hanya digunakan pada
asma berat yang resisten terhadap KS.
Siklosporin topikal efek baik terhadap DA
berat.
B. Pelega
1. SABA
Melemaskan otot polos bronkus

bronkodilatasi 5-10 menit setelah


pemberian.
Menghilangkan gejala akut dan

mencegah EIA.
u/ penderita yg tdk dpt menggunakan

MDI.
ESO tremor, palpitasi, takikardi.
2. KS sistemik
Th/ eksaserbasi berat akut mencegah
progres eksaserbasi, menurunkan
kunjungan UGD, perawatan rumah sakit,
mencegah kekambuhan dini dan
menurunkan morbiditas.
Efek sisterniknya setelah 4-6 jam.
Pemberian 40-50 mg prednisolon 5-10 hari
dan selanjutnya dapat dihentikan atau
tapered off
IM tidak lebih baik dibanding oral.
KS oral efek anti-inflarnasi luas
Dosis serendah mungkin dan atau
alternatif selang sehari pada AB
persisten berat.
Untuk memperoleh kontrol dan
mempercepat resolusi eksaserbasi pd
AB sedang atau berat preparat
kerja pendek (3-10 hari).
Pemberian yang lebih lama untuk
eksaserbasi berat.
Mengurangi dosis yang perlahan
tidak perlu bila diberikan < 10 hari,
kecuali bila penyakit berat.
Dosis tunggal atau 2x1 hari
diutamakan bila ditoleransi.
3. Antikolinergik
Antikolinergik, derivat atropin (ipratropiurn
bromida dan oksitropium bromida) bentuk
aerosol sebagai bronkodilator dan profilaksis.
Lebih lemah dibanding b-adrenergik.
terapi tambahan terhadap 2-agonis hirup
pada eksaserbasi akut
Terapi alternatif pd yg tidak toleran thd 2-
agonis
Pilihan u/ bronkospasme yg ditimbulkan
bloker
4. Metilsantin (teofilin)
Pd eksaserbasi kontroversial
Memberikan efek tambahan
bronkodilasi SABA
5. Isoproterenol
-adrenergik klasik (isoproterenol)
efek samping terhadap jantung
oleh rangsangan 1 (takikardia)
Menstabilkan sel mast
Oral atau aerosol pada AB akut
(mencegah gejala EIA) dan
mengontrol jangka lama.
6. Epinefrin
Bekerja pada semua reseptor
adrenergik 1. 2 , 1 dan 2.
suntikan atau inhalasi.
pilihan pada terapi anafilaksis.
VII. IMUNOMODULATOR
A. Anti-IgE (omalizumab)
Th/ tambahan pd asma persisten
berat usia > 12 th yg sensitif thd
alergen relevan.
B. lain-lain
Anti IL-5 (mepolizumab),
antiinflamasi dan imunomodulator
inhibitor fosfodiesterase-4 (PDE-4)
Pengelolaan serangan asma di
Penilaian beratnya serangan:
rumah
Batuk, sesak nafas, mengi, otot pernafasan tambahan, retraksi suprasternal,
dan gangguan tidur. APE < 80% perkiraan.

Pengobatan awal:
Inhalasi agonis 2 kerja singkat tidak lebih dari 3 kali dalam 1 jam.
(Pasien dengan risiko tinggi berupa asthma related death harus menemui
dokter segera setelah mendapat pengobatan awal)

Respon tidak sempurna bila.. Respon baik bila Respon buruk bila
Gejala berkurang tapi timbul Gejala berkurang setelah Gejala menetap atau
lagi dalam waktu kurang pengobatan awal dan tidak memburuk walaupun telah
dari 3 jam setelah terjadi serangan ulang mendapat peng-obatan awal
pengobatan awal. selama 4 jam dengan 2 agonis
APE 60-80% perkiraan APE > 80% perkiraan APE < 60% perkiraan
Tindakan: Tindakan: Tindakan:
Tambahkan tablet atau 2 agonis diteruskan tiap Tambahkan tablet atau
sirup kortikosteroid 3-4 jam selama 1-2 hari. sirup kortikosteroid
Teruskan 2 agonis Hubungi dokter untuk Ulangi pemberian 2 agonis
Hubungi dokter segera instruksi lebih lanjut. Secepatnya dibawa ke unit
untuk minta petunjuk. gawat darurat di rumah sakit.
Pengelolaan Serangan Asma di Rumah Sakit Menurut GINA
Penilaian Pertama : Tentukan berat ringannya serangan asma

Serangan Asma Sedang : Serangan Asma Berat :


- APE 570% dari nilai yang diperkirakan - APE < 50% nilai terbaik
nilai terbaik - Pemeriksaan fisik sama berat saat istirahat
- Pemeriksaan fisik Asma sedang, otot - Riwayat pasien resiko tinggi
bantu - Inhalasi Agonis -2 tiap jam atau
- Inhalasi Agonis - 2 setiap 60 kontinue inhalasi anti kolinergik
- Pertimbangkan kortikosteroid - Oksigen
- Ulangi pengobatan 1 3 jam - Kortikosteroid sistemik
- Pertimbangan Agonis - 2 sc, IM atau IV

Penanganan Permulaan :
- Inhalasi short acting -2 agonist dengan nebulisasi, 1 dosis selama 20 dlm 1 jam.
- Oksigen untuk mencapai saturasi 0 90% (95% pada anak-anak)
- Kortikosteroid sistemik, jika tidak ada respons segera atau jika ada pasien baru
mendapat steroid per oral, atau jika serangan asmanya berat
- Sedasi merupakan kontra indikasi pada penanganan serangan akut / eksaserbasi

Ulangi Penilaian
Respon Baik Respon tdk baik dlm 1-2 jam Respon Buruk dlm 1 jam
- Respon selama 60 sesudah - Riwayat pasien risiko - Riwayat : risiko tinggi
terapi terakhir tinggi
- Pemeriksaan fisik :
- Pemeriksaan fisik normal, - Pem.fisik : gejala ringan /
APE > 70% sedang Asma berat, mengantuk
- Tidak ada distress - APE > 50%, tapi < 70 % - APE < 30%
-Saturasi O2 > 90% (anak 95%) - Saturasi O2 tidak membaik
- PCO2 > 45 mmHg
- PO2 < 60 mmHg

Dipulangkan : Dirawat di RS (ruang biasa)


-Lanjutkan pengobatan & Agonis - Inhalasi agonis - 2
- 2 inhalasi Rawat di ICU :
inhalasi antikolinergik
- Pertimbangkan kortikosteroid - Inhalasi Agonis - 2
- Kortikosteroid
oral (pd kebanyakan pasien) antikolinergik
- Oksigen
- Pendidikan pasien - Kortikosteroid IV
- Minum obat secara benar - Pertimbangan Aminofilin IV
- Pertimbangkan Agonis
- Tinjau lagi rencana kerja - Pantau APE, saturasi O2,
-2 Sc, IM dan IV
(action plan) nadi, teofilin
- Intubasi dan ventilasi
- Tindak lanjut pengobatan yg
mekanik
ketat
Perbaikan Tidak ada perbaikan

Dipulangkan Masuk ICU

Jika APE 50% dan terus menerus Jika tidak ada perbaikan dalam
dalam pengobatan peroral / inhalasi 6 12 jam
TERIMAKASIH

Vous aimerez peut-être aussi