Vous êtes sur la page 1sur 31

TONSILITIS DIFTERI

Dea Oktoviani
11-039
ANATOMI
TONSIL
Terletak di lateral orofaring dibatasi oleh :
-Lateral: M. konstriktor faring superior
-Anterior : M. palatoglosus
-Posterior : M. Palatofaringeus
-Superior : Palatum mole
-Inferior : Tonsil lingual
TONSIL FARINGEAL (ADENOID)
Masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada
tonsil.
Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran
maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan
mengalami regresi.
PEMBAGIAN UKURAN TONSIL
MENURUT THANE AND CODY
-T1 : Tonsil masih terbatas dalam Fossa
Tonsilaris
-T2 : Sudah melewati pillar anterior belum
melewati garis paramedian (pillar post)
-T3 : Sudah melewati garis paramedian,
belum melewati garis median
-T4 : Sudah melewati garis median
FISIOLOGI TONSIL
Sistim imun kompleks yang terdiri atas :
Sel M (sel membran)
Makrofag
Sel dendrit
APCs yang berperan dalam transportasi antigen ke
sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobin
spesifik.
Sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel
pembawa IgG
TONSILITIS DIFTERI
DEFINISI
Infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring,
laring, hidung dan kadang pada kulit.
Didapat melalui kontak dengan karier atau
seseorang yang sedang menderita difteri. Bakteri
dapat disebarkan melalui percikan air liur akibat
batuk, bersin atau berbicara.
EPIDEMIOLOGI
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden
penyakit ini menurun secara mencolok setelah
penggunaan toksoid difteri secara meluas.
Umumnya masih tetap terjadi pada individu yang
berusia <15 tahun (yang tidak mendapatkan
imunisasi primer).
Kematian terjadi pada individu yang belum
mendapatkan imunisasi.
ETIOLOGI
Corynebacterium diphteriae merupakan basil gram
positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak
membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis.
Biasanya hidup di saluran nafas bagian atas yaitu
hidung, faring dan laring.
Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah
dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas.
Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.
PATOFISIOLOGI
MANIFESTASI KLINIS
Gejala umum : demam subfebris, nyeri kepala,
tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta
keluhan nyeri menelan.
Gejala lokal : tonsil membengkak ditutupi bercak
putih kotor meluas ke palatum molle, uvula,
nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat
menyumbat saluran nafas. Membran semu ini
melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat
akan mudah berdarah. Kelenjar limfa leher akan
membengkak sehingga leher menyerupai sapi (bull
neck) atau disebut juga Burgermeesters hals.
Gejala akibat eksotoksin : miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-
otot pernafasan.
DIAGNOSIS
Berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan
preparat langsung kuman yang diambil dari
permukaan bawah membran semu dan didapatkan
kuman Corynebacterum diphteriae.
Lebih akurat dengan identifikasi secara fluorescent
antibody technique, namun untuk ini diperlukan
seorang ahli.
Diagnosis pasti dengan isolasi C. diphtheriae dengan
pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan
tes toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro
(tes Elek).
PENATALAKSANAAN
ISOLASI DAN KARANTINA
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar
diberikan booster dengan toksoid diphtheria.
-Bila kultur (-)/Schick test (-): bebas isolasi
-Bila kultur (+)/Schick test (-) : pengobatan
carrier
-Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti
toksin diphtheria + penisilin
-Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid
(imunisasi aktif).
PENGOBATAN
Umum
Istirahat 2 minggu
Pemberian cairan serta diit yang adekuat.
Khusus pada diphtheria laring, dijaga agar nafas
tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan nebulizer.
Bila tampak gelisah, iritabilitas serta gangguan
pernafasan yang progresif indikasi tindakan
trakeostomi.
KHUSUS
Anti Difteria Serum (ADS)
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara
tetesan dalam larutan 200 ml dalam waktu kira-kira
4-8 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping
obat/reaksi dilakukan selama pemberian antitoksin
dan selama 2 jam berikutnya.
Perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas
lambat (serum sickness).
Antimikroba
Untuk menghentikan produksi toksin.
Penisilin prokain 50.000-100.000 IU/BB/hari selama
7-10 hari
Bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari

Kortikosteroid
Penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas
bagian atas.
Bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.
PENGOBATAN CARRIER
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin
oral atau suntikan, atau eritromisin selama satu
minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/adenoidektomi.
TONSILEKTOMI
Indikasi Absolut
Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan
jalan napas atas, disfagia berat, gangguan tidur,
atau terdapat komplikasi kardiopulmonal
Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap
pengobatan medik dan drainase
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk
pemeriksaan patologi
Indikasi Relatif
Terjadi >3 kali infeksi tonsil pertahun
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada
respon terhadap pengobatan medik
Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa
streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian
antibiotik, kuman resisten terhadap -laktamase.
Timbul komplikasi berupa Rhinitis dan Sinusitis yang
kronis
Terjadi Otitis Media Efusi/Supuratif
KONTRAINDIKASI
-Gangguan perdarahan
-Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
-Anemia
-Infeksi akut yang berat
-Asma
-Tonus otot yang lemah
-Sinusitis
-Albuminuria
-Hipertensi
-Rinitis alergika
-Demam yang tidak diketahui penyebabnya
TEKNIK OPERASI
Guillotine : Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine
digunakan untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil
dari fosa tonsil.
Teknik Diseksi : Tonsil digenggam dengan
menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial,
sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang,
menggunakan sickle knife dilakukan pemotongan
mukosa dari pilar tersebut.
Teknik Elektrokauter : metode membakar seluruh
jaringan tonsil disertai kauterisasi untuk mengontrol
perdarahan.
Radiofrekuensi : elektrode disisipkan langsung
kejaringan. Densitas baru disekitar ujung elektrode
cukup tinggi untuk membuka kerusakan bagian
jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode
4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil.
Skalpel Harmonik : menggunakan teknologi
ultrasonik untuk memotong dan mengkoagulasi
jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
Teknik Coblation : memanfaatkan plasma atau
molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis
jaringan.
Intracapsular Partial Tonsillectomy : Intracapsular
tonsilektomi merupakan tensilektomi parsial yang
dilakukan dengan menggunakan microdebrider
endoskopi.
Laser (CO2-KTP) : menggunakan CO2 atau KTP
(Potassium Titanyl Phosphat) untuk menguapkan dan
mengangkat jaringan tonsil.
KOMPLIKASI
Anestesi
Laringospasme
Gelisah pasca operasi
Mual muntah
Kematian saat induksi pada pasien dengan
hipovolemi
Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan
hipotensi dan henti jantung
Hipersensitif terhadap obat anestesi
Bedah
Perdarahan
Nyeri

Komplikasi Lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan
terhadap suara (1:10.000), pembengkakan uvula,
stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia
serta Miokarditis yang dapat mengakibatkan payah
jantung atau Decompensatio Cordis.
^THANKYOU^

Wassalam

Vous aimerez peut-être aussi