buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Adapun istilah kultur (culture) yang merupakan istilah asing yang sama artinya dengan kebudayaan, selanjutnya diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (dalam Soerjono Soekanto, 1982) merumuskan kebudayaan sebagai hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah. Ada empat karakteristik utama kebudayaan. Pertama, kebudayaan mendasarkan diri pada sejumlah simbol- simbol. Kedua, kebudayaan itu dipelajari dan tidak tergantung kepada pewarisan biologis dalam transmisinya. Ketiga, kebudayaan adalah sistem yang dipikul bersama oleh para anggota suatu masyarakat. Keempat, kebudayaan cenderung terintegrasi. Kebudayaan dari setiap bangsa atau masyarakat, terdiri dari unsur-unsur besar maupun kecil yang merupakan bagian-bagian unsur-unsur dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan. Beberapa orang sarjana telah merumuskan unsur-unsur pokok kebudayaan tadi, misalnya Melville J. Herkovits mengajukan adanya 4 (empat) unsur pokok kebudayaan, yaitu: Alat-alat teknologi Sistem ekonomi Keluarga Kekuasaan politik Dari unsur-unsur kebudayan tersebut masih terdapat lagi unsur-unsur yang lebih universal. Unsur-unsur dimaksud dikemukakan oleh C. Kluckhohn pada karyanya yang berjudul Universal categories of Culture dimana terdapat 7 (tujuh) unsur kebudayaan (Cultural Universal), yakni: Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor dan sebagainya. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, perternakan, sistem produksi, dan sebagainya) Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan) Bahasa (lisan maupun tulisan) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dsb.) Sistem pengetahuan Kebudayaan Tradisional Masyarakat Desa
Mattulada (1988): kebudayaan
tradisional sebagai suatu kehidupan yang meliputi segala-galanya, dimana satu aspek tidak dipisahkan dari aspek lainnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa kebudayaan tradisional memiliki ciri-ciri umum antara lain sebagai berikut : Dilihat dari sudut persekutuan hidup: a. Anggota-anggotanya terikat oleh hubungan kekerabatan genealogis yang luas b. Persekutuan hidup dipandang lebih utama dari individu, sehingga biasa disebut masyarakat komunalistik c. Semangat persekutuan dibangun oleh kesetiaan yang berpangkal pada cikal-bakal, peletak dasar persekutuan itu,
Dilihat dari sudut nilai-nilai:
1. Nilai keagamaan, merupakan yang tertinggi dan amat dihormati oleh segenap warga persekutuan 2. Nilai-nilai itu terpusat pada persekutuan sebagai manifestasi keluhuran dari apa yang dipercayai sebagai maha pencipta atau awal segala kejadian. Paul H. Landis: ciri-ciri kebudayaan tradisional masyarakat desa :
1. Bahwa kebudayaan masyarakat desa terikat dan
mengikuti karakteristik khas lingkungan (alam)nya 2. Pola adaptasi yang pasif terhadap lingkungan alam berkaitan dengan rendahnya tingkat inovasi masyarakatnya 3. Sebagai akibat dari kedekatannya dengan alam, orang desa umumnya mengembangkan falsafah hidup yang organis 4. Karena pengaruh alam, masyarakat desa bukan hanya tidak inovatif tetapi juga sering dicap lamban 5. Dominasi alam yang kuat terhadap masyarakat desa mengakibatkan tebalnya kepercayaan mereka terhadap takhayul yang merupakan refleksi dari ketundukan atau ketakutan mereka terhadap alam karena tidak memahami dan menguasai alam secara benar. 6. Sikap yang positif dan adaptif masyarakat desa terhadap alam juga nampak dalam aspek kebudayaan material mereka yang relatif bersahaja 7. Ketundukan masyarakat desa terhadap alam juga menyebabkan rendahnya kesadaran mereka akan waktu 8. Karena pengaruh alam mengakibatkan masyarakat desa cenderung bersifat praktis 9. Pengaruh alam juga mengakibatkan standar moral yang kaku di kalangan Masyarakat masyarakat tradisional desa. memandang bahwa penyimpangan-penyimpangan dari tata kelakuan yang sudah baku dalam pola perilaku merupakan dosa yang harus dihukum dengan keras oleh segenap (warga) persekutuan. Oleh karena itu, mereka senantiasa membutuhkan panutan yang dapat mengarahkan dan menegakkan norma- norma yang telah disepakati.