Vous êtes sur la page 1sur 49

SEXUAL DISORDER

Dewi Rizka DH 12514886


Pramudita H 18514475
R. Sayid Fadhil 18514712
Muhammad Farid 14512784
3 PA 05
Kelompok 7
DEFINISI GANGGUAN SEKSUAL
Seksualitas adalah salah satu daerah yang paling pribadi
dari kehidupan. Masing-masing dari kita aseksual dengan
preferensi dan fantasi bahwa banyak kejutan atau bahkan
mengejutkan kita dari waktu untuk tim.

Biasanya ini adalah bagian dari fungsi seksual normal.


Tetapi ketika fantasi atau keinginan kami mulai
mempengaruhi kita atau orang lain dalam cara yang tidak
diinginkan atau berbahaya, mereka mulai untuk
memenuhi syarat sebagai abnormal.
SEXUAL NORMS AND BEHAVIOR
Definisi yang normal atau diinginkan dalam perilaku seksual manusia bervariasi dengan waktu
dan tempat. mempertimbangkan pandangan-dunia Barat kontemporer bahwa inhibisi ekspresi
seksual menyebabkan masalah. kontras ini dengan pemandangan abad kesembilan belas dan
awal-kedua puluh kelebihan itu adalah pelakunya; secara khusus, berlebihan masturbasi di masa
kanak-kanak secara luas diyakini menyebabkan masalah seksual di masa dewasa.

Von Krafft-Ebing (1902) mendalilkan bahwa awal masturbasi rusak organ seksual dan kelelahan
terbatas reservoir energi seksual, mengakibatkan berkurangnya kemampuan untuk berfungsi
secara seksual dewasa.

Bahkan di masa dewasa, aktivitas seksual berlebihan diperkirakan menggaris bawahi masalah
ereksi suatu kegagalan. Menurut Victoria nafsu seksual berbahaya dan karenanya harus menahan
diri.
Gender and Sexuality
Laki-laki Perempuan
• Berpikir lebih tentang seks • Keinginan untuk seks lebih sering
dikaitkan dengan status hubungan
• Ingin lebih banyak seks dan norma-norma sosial
• Ingin lebih banyak dan • Cenderung lebih malu dari
memiliki lebih mitra penampilan kekurangan
(kekurangan)
• Konsistensi kebudayaan • Dapat mengganggu kepuasan
• Memiliki lebih seksual seksual
disfungsi bertambahnya • Tidak memiliki masalah lebih
usia mereka. seksual daripada wanita muda
• Di segala usia, wanita lebih
mungkin daripada laki-laki untuk
disfungsi seksual laporan.
SIKLUS RESPON SEKSUAL ( KOLODNY, MASTER,
JOHNSON, 1979)
1. Fase Perangsangan (Excitement Phase
Perangsangan terjadi sebagai hasil dari pacuan yang dapat berbentuk fisik atau psikis.
Kadang fase perangsangan ini berlangsung singkat, segera masuk ke fase plateau. pada
saat yang lain terjadi lambat dan berlangsung bertahap memerlukan waktu yang lebih
lama.Pemacu dapat ber asal dari rangsangan erotik maupun non erotik, seperti
pandangan, suara, bau, lamunan, pikiran, dan mimpi.

Kenikmatan seksual subjektif dan tanda-tanda fisiologis keterangsangan seksual: pada


laki-laki, penis yang membesar (peningkatan aliran darah yang memasuki penis); pada
perempuan, vasocongestion (darah mengumpul di daerah pelvis) yang mengakibatkan
lubrikasi vagina dan pembesaran payudara (putting susu yang menegak).
2. Fase Plateau
Pada fase ini, bangkitan seksual mencapai derajat tertinggi yaitu
sebelum mencapai ambang batas yang diperlukan untuk terjadinya
orgasme (periode singkat sebelum orgasme).
3. Fase Orgasme
Orgasme adalah perasaan kepuasan seks yang bersifat fisik dan
psikologik dalam aktivitas seks sebagai akibat pelepasan memuncaknya
ketegangan seksual (sexual tension) setelah terjadi fase rangsangan
yang memuncak pada fase plateau.
Pada laki-laki, perasaan akan mengalami ejakulasi yang tak
terhindarkan yang diikuti dengan ejakulasi; pada perempuan, kontraksi
di dinding sepertiga bagian bawah vagina.
4. Fase Resolusi
Pada fase ini perubahan anatomik dan faal alat kelamin dan luar alat kelamin yang
telah terjadi akan kembali ke keadaan asal. Menurunnya keterangsangan pasca-
orgasme (terutama pada laki-laki). Sehingga adanya hambatan atau gangguan pada
salah satu siklus respon seksual diatas dapat menyebabkan terjadinya disfungsi
seksual.

Disfungsi seksual bias bersifat lifelong (seumur hidup)


atau acquired(didapat). Lifelong mengacu pada kondisi kronis yang muncul diseluruh
kehidupan seksual seseorang, sedangkan acquired mengacu pada gangguan yang
dumulai setelah aktivitas seksual seseorang relative normal.

Selain itu gangguan ini dapat bersifat generalized (menyeluruh), yang terjadi setiap
kali melakukan hubungan seksual, atau situational, yang terjadi hanya pada waktu-
waktu tertentu tetapi tidak pada waktu-waktu lainnya
SEXUAL DYSFUNCTIONS
Istilah disfungsi seksual menunjukkan adanya gangguan
pada salah satu atau lebih aspek fungsi seksual
(Pangkahila, 2006).

Bila didefinisikan secara luas, disfungsi seksual adalah


ketidakmampuan untuk menikmati secara penuh
hubungan seks.

Secara khusus, disfungsi seksual adalah gangguan yang


terjadi pada salah satu atau lebih dari keseluruhan siklus
respons seksual yang normal (Elvira, 2006).
KATEGORI DISFUNGSI SEKSUAL
1) Ganggun Nafsu/Hasrat Seksual
Dua gangguan merefleksikan masalah yang terkait dengan nafsu dari
siklus respon seksual. Masing-masing gangguan ditandai oleh
sedikitnya atau tidak adanya minat terhadap seks yang menimbulkan
masalah dalam suatu hubungan.
Dorongan seksual dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu hormon
testosteron, kesehatan tubuh, faktor psikis dan pengalaman seksual
sebelumnya. Jika di antara faktor tersebut ada yang menghambat atau
faktor tersebut terganggu, maka akan terjadi ganggaun dorongan
seksual (GDS) (Pangkahila, 2007), berupa:
a. Gangguan Nafsu seksual hipoaktif
The Diagnostic and Statistical Manual-V memberi definisi dorongan
seksual hipoaktif ialah berkurangnya atau hilangnya fantasi seksual
dan dorongan secara persisten atau berulang yang menyebabkan
gangguan yang nyata atau kesulitan interpersonal. Minat terhadap
kegiatan atau fantasi seksual yang sangat kurang yang mestinya tidak
diharapkan bila dilihat dari umur dan situasi kehidupan orang yang
bersangkutan

Kriteria Gangguan Nafsu Seksual Hipoaktif dalam DSM-V


• Kurangnya atau tidak adanya fantasi dan nafsu seksual yang
berlangsung secara terus menerus
• Menyebabkan distress mendalam atau masalah interpersonal
• Tidak disebabkan oleh gangguan Aksis I lain (kecuali disfungsi
seksual lain) atau efek fisiologis langsung dari suatu obat atau
penyakit medis umum.
2) Gangguan Rangsangan Seksual

a. Gangguan ereksi pada laki-laki


Yaitu ketidakmampuan sebagian laki-laki untuk mencapai atau
mempertahankan ereksi penis sampai aktivitas seksual selesai
dan keadaan ini terjadi berulang kali.

Kriteria Gangguan Ereksi pada laki-laki dalam DSM-V


• Ketidakmampuan terus-menerus untuk mencapai atau
mempertahankan ereksi yang diperlukan untuk
menyelesaikan aktifitas seksual
• Menyebabkan distress mendalam atau masalah
interpersonal
• Tidak disebabkan oleh gangguan Aksis I lain (kecuali
disfungsi seksual lain) atau efek fisiologis langsung dari
suatu obat atau penyakit medis umum.
b. Gangguan Aversi seksual
Perasaan tidak suka yang konsisten dan ekstrim terhadap kontak
seksual atau kegiatan serupa itu. Diduga lebih dari 15 persen pria
dewasa mengalami dorongan seksual hipoaktif. Pada usia 40-60 tahun,
dorongan seksual hipoaktif merupakan keluhan terbanyak. Pada
dasarnya GDS disebabkan oleh faktor fisik dan psikis, antara lain adalah
kejemuan, perasaan bersalah, stres yang berkepanjangan, dan
pengalaman seksual yang tidak menyenangkan (Pangkahila, 2006).

Kriteria Gangguan Keengganan seksual dalam DSM-V


• Penolakan secara terus-menerus terhadpa semua kontak seksual.
• Menyebabkan distress mendalam atau masalah interpersonal.
b. Gangguan rangsangan seksual pada perempuan

Yaitu ketidakmampuan sebagian perempuan untuk mencapai


atau mempertahankan lubrikasi vagina dan respons
keterangsangan seksual yang membuat vagina membesar
sampai aktivitas seksual selesai dan keadaaan ini terjadi berulang
kali.
c. Disfungsi ereksi (DE)
Disfungsi ereksi berarti ketidakmampuan mencapai atau mempertahankan ereksi
penis yang cukup untuk melakukan hubungan seksual dengan baik (Pangkahila, 2007).
Disfungsi ereksi disebut primer bila sejak semula ereksi yang cukup untuk melakukan
hubungan seksual tidak pernah tercapai. Sedang disfungsi ereksi sekunder berarti
sebelumnya pernah berhasil melakukan hubungan seksual, tetapi kemudian gagal
karena sesuatu sebab yang mengganggu ereksinya (Pangkahila, 2006).

Pada dasarnya DE dapat disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikis. Penyebab fisik
dapat dikelompokkan menjadi faktor hormonal, faktor vaskulogenik, faktor
neurogenik, dan faktor iatrogenik (Pangkahila, 2007). Faktor psikis meliputi semua
faktor yang menghambat reaksi seksual terhadap rangsangan seksual yang diterima.
Walaupun penyebab dasarnya adalah faktor fisik, faktor psikis hampir selalu muncul
dan menyertainya (Pangkahila, 2007).
3) Gangguan Orgasme
Disfungsi orgasme adalah terhambatnya atau tidak
tercapainya orgasme yang bersifat persisten atau
berulang setelah memasuki fase rangsangan
(excitement phase) selama melakukan aktivitas
seksual.
a. Orgasme pada wanita
Saat wanita mengalami masalah orgasme, ia disebut mengalami gangguan orgasme. Penyebab umum
termasuk masalah seksual lainnya (terutama stimulus seksual), stimulus adekuat seksual, dan
kecemasan tentang seks atau bentuk seksual, body image dan hubungan dengan pasangan. Peningkatan
frekuensi pada pengguna obat antidepresi, biasanya SSRIs, seperti prozac, Zoloft dan praxil, biasanya
dapat menyebabkan gangguan. Seperti pada pria, tekanan darah tinggi, level kolestrol yang tinggi,
diabetes, penyakit jantung, juga mempengaruhi disfungsi seksual pada wanita.

Kriteria Gangguan Orgasme pada perempuan dalam DSM-V


• Tertundanya atau tidak terjadinya orgasme secara terus menerus setelah periode gairah seksual
normal dengan mempertimbangkan umur, pengalaman seksual dan keadekuatan stimulasi seksual
diterimanya.
• Menyebabkan distress mendalam atau masalah interpersonal
• Tidak disebabkan oleh gangguan Aksis I lain (kecuali disfungsi seksual lain) atau efek fisiologis
langsung dari suatu obat atau penyakit medis umum
b. Organsme pada pria
Ketidakmampuan pria untuk mencapai orgasme pria yang biasa
disebut ejakulasi lambat. Kondisi ini dapat disebabkan oleh obat
antidepresi. Penyebab lainnya adalah ketidakmampuan untuk
melakukan dengan pasangan. Banyak pria yang dapat mencapai
orgasme dengan pasanganya dan tidak dapat melakukan masturbasi.

Kriteria Gangguan Orgasme pada perempuan dalam DSM-V


• Tertundanya atau tidak terjadinya orgasme secara terus menerus
setelah periode gairah seksual normal dengan
mempertimbangkan umur, pengalaman seksual dan keadekuatan
stimulasi seksual diterimanya.
• Menyebabkan distress mendalam atau masalah interpersonal
• Tidak disebabkan oleh gangguan Aksis I lain (kecuali disfungsi
seksual lain) atau efek fisiologis langsung dari suatu obat atau
penyakit medis umum.
c. Gangguan ejakulasi
1. Ejakulasi dini (premature ejaculation)
ED merupakan ketidakmampuan mengontrol ejakulasi sampai pasangannnya mencapai orgasme,
paling sedikit 50 persen dari kesempatan melakukan hubungan seksual. Berdasarkan waktu, ada
yang mengatakan penis yang mengalami ED bila ejakulasi terjadi dalam waktu kurang dari 1-10
menit.
Untuk menentukan seorang pria mengalami ED harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
ejakulasi terjadi dalam waktu cepat, tidak dapat dikontrol, tidak dikehendaki oleh yang
bersangkutan, serta mengganggu yang bersangkutan dan atau pasangannya (Pangkahila, 2007).
Kriteria Ejakulasi Dini dalam DSM-V
• Selalu mengalami ejakulasi setelah stimulasi minimal dan sebelum orang yang bersangkutan
menginginkannya. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi durasi fase
kegairahan, seperti umur masih awam dengan situasi atau pasangan, dan frekuensi hubungan
seksual dalam beberapa waktu terakhir
• Menyebabkan distress mendalam atau masalah interpersonal
• Tidak semata-mata disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu obat.
2. Ejakulasi terhambat

Berlawanan dengan ED, maka pria yang mengalami


ejakulasi terhambat (ET) justru tidak dapat
mengalami ejakulasi di dalam vagina. Tetapi pada
umumnya pria dengan ET dapat mengalami ejakulasi
dengan cara lain, misalnya masturbasi dan oral seks,
tetapi sebagian tetap tidak dapat mencapai ejakulasi
dengan cara apapun.
3) Gangguan nyeri Seksual
a. Sexual pain disorder
Sexual pain disorder adalah nyeri genital yang berulang kali terjadi, baik yang dialami oleh laki-laki
maupun perempuan sebelum, selama, atau setelah hubungan seksual.
b. Dyspareunia
Dyspareunia adalah rasa nyeri/sakit atau perasaan tidak nyaman selama melakukan hubungan
seksual. Salah satu penyebab dispareunia ini adalah infeksi pada kelamin. Ini berarti terjadi
penularan infeksi melalui hubungan seksual yang terasa sakit itu. Pada pria, dispareunia hampir
pasti disebabkan oleh penyakit atau gangguan fisik berupa peradangan atau infeksi pada penis,
buah pelir, saluran kencing, atau kelenjar prostat dan kelenjar kelamin lainnya.

Kriteria Dispareunia dalam DSM V


• Nyeri genital yang terkait dengan hubungan seksual baik pada laki-laki maupun
perempuan, yang persisten atau berulangkali terjadi
• Distress yang signifikan atau kesulitan interpersonal karena ketidakmampuan ini
• Nyeri tidak disebabkan secara eksklusif oleh vaginismus atau kekurangan lubrikasi dan
bukan bagian yang lebih menjadi penentu bagi gangguan lain (misalnya: gangguan
suasana perasaan, kecemasan, kognitif), dan bukan disebabkan oleh efek-efek fisiologis
obat atau penyalahgunaan obat.
c. Vaginismus
Vaginismus adalah spasme (kejang urat) pada otot-otot di pertiga luar
vagina, yang terjadi diluar kehendak, yang mengganggu hubungan
seksual, dan keadaan ini berulang kali terjadi.

Kriteria Vaginismus dalam DSM V


• Spasme (kejang urat) pada otot-otot di sepertiga luar vagina, yang
terjadi di luar kehendak, yang mengganggu hubungan seksual, dan
keadaan ini bersifat persisten atau berulang kali terjadi.
• Distres yang signifikan atau kesulitan interpersonal karena spasme
ini.
• Spasme itu tidak disebabkan oleh gangguan lain (misalnya:
gangguan somatisasi), dan bukan disebabkan secara eksklusif oleh
efek-efek kondisi medis secara umum.
d. Etiologi Disfungsi Seksual
Pada dasarnya disfungsi seksual dapat terjadi baik pada pria ataupun wanita, etiologi
disfungsi seksual dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Faktor fisik
Gangguan organik atau fisik dapat terjadi pada organ, bagian-bagian badan tertentu
atau fisik secara umum. Bagian tubuh yang sedang terganggu dapat menyebabkan
disfungsi seksual dalam berbagai tingkat (Tobing, 2006).

Faktor fisik yang sering mengganggu seks pada usia tua sebagian karena penyakit-
penyakit kronis yang tidak jelas terasa atau tidak diketahui gejalanya dari luar. Makin
tua usia makin banyak orang yang gagal melakukan koitus atau senggama (Tobing,
2006). Kadang-kadang penderita merasakannya sebagai gangguan ringan yang tidak
perlu diperiksakan dan sering tidak disadari (Raymond Rosen., et al, 1998).
Dalam Product Monograph Levitra (2003) menyebutkan berbagai faktor resiko untuk menderita
disfungsi seksual sebagai berikut:

• Gangguan vaskuler pembuluh darah, misalnya gangguan arteri koronaria


• Penyakit sistemik, antara lain diabetes melitus, hipertensi (HTN), hiperlipidemia (kelebihan
lemak darah)
• Gangguan neurologis seperti pada penyakit stroke, multiple sklerosis
• Faktor neurogen yakni kerusakan sumsum belakang dan kerusakan saraf
• Gangguan hormonal, menurunnya testosteron dalam darah (hipogonadisme) dan
hiperprolaktinemia
• Gangguan anatomi penis seperti penyakit peyronie (penis bengkok)
• Faktor lain seperti prostatektomi, merokok, alkohol, dan obesitas.
• Obat-obatan anti depresan dan psikotropika menurut penelitian juaga dapat
mengakibatkan terjadinya disfungsi seksual, antara lain: barbiturat,
benzodiazepin, selective serotonin seuptake inhibitors (SSRI), lithium, tricyclic
antidepressant (Tobing, 2006).
2. Faktor psikis

Faktor psikoseksual ialah semua faktor kejiwaan yang terganggu


dalam diri penderita. Gangguan ini mencakup gangguan jiwa misalnya
depresi, kecemasan yang menyebabkan disfungsi seksual. Pada orang
yang masih muda, sebagian besar disfungsi seksual disebabkan faktor
psikoseksual. Kondisi fisik terutama organ-organnya masih kuat dan
normal sehingga jarang sekali menyebabkan terjadinya disfungsi
seksual (Tobing, 2006).
e. Diagnosis Disfungsi Seksual
Menurut DSM-V , tidak ada disfungsi seksual yang dapat didiagnosis
tanpa fakta-fakta dari kondisi seseorang tersebut “penyebab ditandai
distrees atau kesulitan interpersonal”. Dengan kata lain, jika seseorang
tidak memiliki ketertarikan terhadap seks atau tidak ada stimulus
seksual atau tidak ada orgasme atau tidak ada vaginismus dan ini
menyebabkan ketidakbahagiaan dan mengganggu hubungan dengan
orang lain, maka orang tersebut tidak memiliki disfungsi seksual.

Saat seseorang lemah, sakit, bingung atau mabuk, kemampuan


seksual menjadi tumpul. Tidak ada pelabelan disfungsi seksual
dipergunakan untuk kejadian umum dari ejakulasi dini, ereksi yang
cepat, atau kehilangan orgasme saat muda yang tidak bisa dipungkiri
sebagai regular dari aktivitas seksual yang sangat memperhatikan
“melakukan dengan baik” dimana mereka tidak menikmati hubungan
seksual.
f. Penanganan
1. Mengurangi Kecemasan

Para terapis perilaku memahami bahwa para klien disfungsi seksual


membutuhkan pemaparan bertahap dan sistematis pada aspek-aspek
situasi seksual yang memicu kecemasan.

ii. Masturbasi Terarah


Masturbasi terarah yang diciptakan oleh LoPiccolo dan Lobitz (1972)
meruapakan suatu terapi multi langkah yang melengkapi program
Masters dan Johnson. Mastrubasi tearah tampaknya secara signifikan
meningkatkan efektifitas penanganan gangguan orgasme dan juga
membantu penanganan nafsu seksual.
iii. Prosedur untuk Mengubah Sikap dan Pikiran
Terapi perilaku rasional emosi mengubah pikiran “harus”
menjadi pikiran yang tidak terlalu menuntut diri sendiri, pikiran
“saya harus“ yang sering kali menimbulkan maslah bagi orang-
orang yang mengalami disfungsi seksual. Terapis harus
mencoba mengurangi tekanan yang dirasakan oleh laki-laki
yang mengalami disfungsi ereksi dengan menggugat
keyakinanya bahwa kontak kelamin merupakan satu-satunya
bentuk aktivitas seksual sejati.

Kaplan merekomendasikan beberapa prosedur untuk


mencoba meningkatkan daya tarik seks. Ia meminta klienya
berfantasi erotik dan memberi mereka tugas untuk menjalin
hubungan dan berkencan seperti berlibur diakhir minggu.
iv. Pelatihan Keterampilan dan Komunikasi
Untuk meningkatkan keterampilan seksual dan komunikasi,
para terapis memberikan bahan-bahan tertulis dan
menunjukkan kepada klien rekaman video dan film yang secara
eksplisit mendemonstrasikan teknik-teknik seksual (McMullen
& Rosen,1979). Hal yang sangat penting untuk berbagai
disfungsi seksual adalah mendorong pasangan.

v. Terapi pasangan
Disfungsi seksual sering kali menyatu dengan perkawinan yang
bermasalah, dan pasangan yang bermasalah biasanya
membutuhkan pelatihan khusus dalam keterampilan
komunikasi nonseksual. Terapis perlu memahami bahwa
masalah seksual menyatu dengan berbagai faktor hubungan
interpersonal yang kompleks. Kadang terapi yang
memfokuskan pada isu-isu nonseksual, seperti masalah
dengan mertua atau pengasuhan anak dan lain-lain.
vi. Teknik dan Perspektif Psikodinamika
Berbagai elemen terapi psikodinamika dapat ditemukan
dibanyak praktik terapis seks, sekalipun biasanya
berbagai elemen tersebut tidak dikemukakan secara
eksplisit oleh para terapis ketika membahas teknik-teknik
yang mereka gunakan dalam berbagai jurnal atau dengan
para kolega

vii. Prosedur medis dan Fisiologis


Sejalan dengan semakin banyak ditemukannya faktor-
faktor biologis dalam disfungsi seksual, semakin penting
bagi para terapis untuk mempertimbangkan apakah
masalah-masalah somatik yang ada mendasari
konstribusi terhadap disfungsi. Pertimbangan terhadap
kemungkinan faktor-faktor somatik sangat penting dalam
gangguan dispareunia dan disfungsi sreksi penuh.
Kriteria Ciri-Ciri Disfungsi Seksual Dalam DSM V
Gangguan nyeri seksual
• Gangguan vaskuler pembuluh darah, misalnya gangguan arteri koronaria.
• Penyakit sistemik, antara lain diabetes melitus, hipertensi (HTN), hiperlipidemia (kelebihan
lemak darah).
• Gangguan neurologis seperti pada penyakit stroke, multiple sklerosis.
• Faktor neurogen yakni kerusakan sumsum belakang dan kerusakan saraf.
• Gangguan hormonal, menurunnya testosteron dalam darah (hipogonadisme) dan
hiperprolaktinemia.
• Gangguan anatomi penis seperti penyakit peyronie (penis bengkok).
• Faktor lain seperti prostatektomi, merokok, alkohol, dan obesitas
• Ketidakmampuan sebagian perempuan untuk mencapai atau mempertahankan lubrikasi
vagina dan respons keterangsangan seksual yang membuat vagina membesar sampai
aktivitas seksual selesai dan keadaaan ini terjadi berulang kali.
Hambatan ejakulasi
• Setidaknya gejala harus di alami pada hampir semua aktifitas seksual dan
tampa hambatan di pribadi individu
1. Terlihatnya hambatan dalam ejakulasi
2. Tidak terlihatnya atau kiangnya ejakulasi
• Gejala dalam kriteria a telah berlangsung selama kurang lebig 6 bulan
• Gejala dalam kriteria a menyebabkan distres secara klinis pada individu
• Disfungsi seksual ini tidak dapat di jelaskan pada mental disorder lainya
atau akibat dari distres dalam berpasanngan atau stresor lain yang
signifikan dan tidak bisa di hubungkan dengan , efek dari obat-obatan
Parafilia (The Paraphilias)
Pada DSM-5 parafilia masuk dalam kategori gangguan
yang didefinisikan dengan daya tarik seksual yang
berulang pada objek yang tidak biasa atau aktivitas
seksual yang sekiranya selama 6 bulan. Dengan kata lain,
ada penyimpangan (para) pada apa yang membuat orang
tertarik (philia).

DSM membedakan parafilia berdasarkan sumber gairah,


contohnya seperti, menyediakan satu diagnostik kategori
untuk orang-orang yang daya tarik seksualnya fokus pada
benda mati dan kategori diagnostik lainnya untuk orang-
orang yang fokus pada anak-anak.
Gangguan dan Karakteristik
1. Gangguan Fetishisme (Fetishistic Disorder)
Gangguan fetishisme menjelaskan ketergantungan terhadap benda mati atau
bagian tubuh yang bukan genital sebagai rangsangan seks. Fetish mengacu
pada objek dorongan seksualnya seperti sepatu atau kaki wanita. Orang
dengan gangguan fetishisme hampir seluruhnya laki-laki, memiliki dorongan
seksual berulang dan intens, dan kehadiran fetish sangat disukai atau bahkan
perlu sebagai rangsangan seks. Pakaian (khususnya pakaian dalam), kulit, dan
yang berhubungan dengan kaki (stockings, sepatu wanita).
Kriteria Gangguan Fetishisme dalam DSM-5
• Berulang, intens, dan terjadi dalam kurun waktu 6 bulan, fantasi,
dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual berkaitan
dengan penggunaan benda-benda mati
• Menyebabkan distress atau penurunan fungsi
• Benda yang menimbulkan gairah seksual tidak terbatas pada bagian
pakaian perempuan yang dikenakannya sebagai lawan jenis atau alat-alat
yang dirancang untuk menstimulasi lat kelamin secara fisik, seperti
vibrator.
2. Gangguan Pedofilia dan Incest (Pedohebephilic Disorder
and Incest)
Menurut DSM, gangguan pedofil (dalam bahasa Yunani pedes berarti “anak”,
hebe berarti “pubertas”, dan philia berarti “daya tarik”) adalah diagnosis ketika
dewasa memperoleh kepuasan seksual melalui kontak seksual dengan anak
yang prapubertas atau anak yang pubertas, atau ketika pengalaman mereka
berulang, intens, dan gairah yang menyedihkan(distress) untuk kontak seksual
dengan anak yang prapubertas atau anak yang pubertas.

Terkadang seorang pria dengan gangguan pedofilia senang dengan membelai


rambut anak, namun ia juga dapat memainkan kemaluan si anak ,mendorong
anaknya untuk memainkan alat kelaminnya, dan lebih jarang terjadi, mencoba
memasukan penisnya. Pencabulan dapat terus berlangsung selama beberapa
minggu, bulan, atau tahun jika tidak diketahui oleh orang dewasa lainnya atau
anak itu tidak protes.

Incest adalah hubungan seksual antar kerabat dekat yang dilarang untuk
menikah. Hal ini paling sering terjadi antara saudara kandung laki-laki dan
perempuan. Bentuk paling umumnya antara ayah dan anak perempuannya.
Kriteria Gangguan Pedofilia dan Incest dalam DSM-5

• Berulang, intens, dan terjadi dalam kurun waktu 6 bulan,


fantasi, dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah
seksual berkaitan dengan penggunaan kontak seksual
dengan seorang anak prapubertas
• Rangsangannya kuat atau sangat kuat kepada anak
daripada orang dewasa
• Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan
tersebut, atau dorongan dan fantasi tersebut menyebabkan
orang yang bersangkutan mengalami distress atau masalah
interpersonal
• Orang yang bersangkutan minimal berusia 18 tahun dan 5
tahun lebih tua dari anak yang menjadi korbannya
3. Gangguan Voyeurisme (Voyeuristic Disorder)
Voyeurisme adalah kondisi dimana seseorang memiliki prefensi tinggi untuk
mendapatkan kepuasan dengan melihat orang lain yang sedang tanpa busana
atau sedang melakukan hubungan seksual. Pada beberapa laki-laki, voyeurisme
adalah satu-satunya aktivitas seksual yang mereka lakukan, pada laki-laki lain,
lebih dinikmati namun tidak mutlak dilakukan untuk menimbulkan gairah
seksual (Kaplan & Kreuger, 1997).
Beberapa voyeur mendapatkan kenikmatan tersendiri dengan secara diam-
diam mengamati pasangan yang sedang melakukan hubungan seksual.
Voyeurisme umumnya berawal di masa remaja.

Karakteristik Gangguan Voyeuristic dalam DSM-5


• Berulang, intens, dan terjadi dalam kurun waktu 6 bulan, fantasi,
dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual berkaitan
dengan tindakan mengintip orang lain yang sedang tanpa busana atau
sedang melakukan hubungan seksual tanpa diketahui yang bersangkutan
• Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan tersebut, atau
dorongan dan fantasi menyebabkan orang tersebut sangat menderita atau
mengalami masalah interpersonal.
4. Gangguan Eksibisionisme (Exibitionistic Disorder)
Eksibisionisme adalah preferensi tinggi dan berulang untuk
mendapatkan kepuasan seksual dengan memamerkan alat kelamin
kepada orang yang tidak dikenal yang tidak menginginkannya, kadang
kepada seorang anak. Gangguan ini umumnya berawal di masa
remaja. Seperti halnya pada voyeurisme jarang ada upaya untuk
melakukan kontak secara nyata dengan orangyang tidak dikenal
tersebut. Meskipun demikian, beberapa eksibisionis ditangkap atas
kejahatan lain yang melibatkan kontak dengan korbannya.

Karakteristik Gangguan Eksibisionisme dalam DSM-5


• Berulang, intens, dan terjadi dalam kurun waktu 6 bulan, fantasi,
dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual
berkaitan dengan memamerkan alat kelamin kepada orang yang
tidak dikenal yang tidak menduganya
• Orang yang bertindak berdasarkan dorongan tersebut, atau
dorongan dan fantasi tersebut menyebabkan orang tersebut
mengalami distress atau mengalami interpersonal.
5. Gangguan Froteurisme (Frotteuristic Disorder)
Froteurisme adalah gangguan yang berkaitan dengan melakukan sentuhan
yang berorientasi seksual pada bagian tubuh seseorang yang tidak menaruh
curiga akan terjadinya hal itu. Froteur bisa menggosokan penisnya ke paha atau
pantat seorang perempuan atau menyentuh payudara atau alat kelaminnya.
Tindakan ini umumnya dilakukan di tempat umum, seperti di dalam bis yang
penuh atau trotoar yang penuh pejalan kaki, yang memudahkan pelaku untuk
melarikan diri. Froteurisme belum pernah diteliti secara sangat ekstensif.
Gangguan ini tampaknya berawal dari masa remaja dan umumnya diidap
bersama dengan tipe parafilia lainnya.

Karakteristik Gangguan Froteurisme dalam DSM-5


• Berulang, intens, dan terjadi dalam kurun waktu 6 bulan, fantasi,
dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual berkaitan
dengan menyentuh atau menggosokkan bagian tubuhnya pada orang yang
tidak menghendakinya.
• Orang yang bertindak berdasarkan dorongan tersebut, atau dorongan dan
fantasi tersebut menyebabkan orang tersebut mengalami distress atau
mengalami interpersonal.
6.Sadisme Seksual dan Masokisme Seksual
(Sexual Sadism and Masochism Disorders)

Karakteristik utama sadisme seksual merupakan


preferensi kuat untuk mendapatkan atau meningkatkan
kepuasan seksual dengan menimbulkan rasa sakit atau
penderitaan psikologis (seperti dipermalukan) pada
orang lain.

Karakteristik utama masokisme sekual merupakan


preferensi kuat untuk mendapatkan atau meningkatkan
kepuasan seksual dengan menjadi diri sendiri sebagai
subjek rasa sakit atau kondisi di permalukan.
• Kriteria Gangguan Masokisme • Kriteria Gangguan Sadisme
Seksual dalam DSM-5 Seksual dalam DSM-5
• Berulang, intens, dan terjadi • Berulang, intens, dan terjadi
dalam kurun waktu 6 bulan, dalam kurun waktu 6 bulan,
fantasi, dorongan, atau fantasi, dorongan, atau
perilaku yang menimbulkan perilaku yang menimbulkan
gairah seksual berkaitan gairah seksual berkaitan
dengan tindakan (bukan dengan tindakan (bukan
fantasi) yang dilakukan oleh fantasi) mempermalukan atau
orang lain untuk menyebabkan penderita fisik
mempermalukan atau pada orang lain
memukul dirinya • Menyebabkan distress bagi
• Menyebabkan distress bagi orang yang bersangkutan atau
orang yang bersangkutan atau mengalami hendaya dalam
mengalami hendaya dalam fungsi sosial atau pekerjaan
fungsi sosial atau pekerjaan. atau orang tersebut bertindak
berdasarkan dorongan
tersebut kepada orang lain
yang tidak menghendakinya.
Etiologi Parafilia (Etiology of the Paraphilia)
Dari sekian banyak teori dan hipotesis mengenai etiologi
parafilia, yang utama berasal dari biologis dan perspektif
behavioral. Karena banyak orang tidak mau berbicara tentang
parafilia mereka, penelitian memiliki beberapa peluang untuk
memahami penyebabnya.

a. Faktor Neurobiologis
Karna mayoritas orang dengan parafilia adalah laki-laki,
memiliki spekulasi bahwa androgen (seperti hormon
testoteron) yang berperan. Androgen mengatur hasrat seksual
(Kafka, 1997). Meskipun begitu, laki-laki dengan parafilia
tampaknya tidak memiliki tingkat tinggi pada testoteron dan
andogen (Thibaut, De La Barra, Gordon,et al., 2010).
b. Faktor Psikologis

Kebanyakan dari teori psikologis parafilia melibatkan serangkaian


faktor resiko. Dominan menekankan pada model kondisi pengalaman,
sejarah hubungan, penyalahgunaan, dan kognisi. Beberapa teori
perilaku melihat penyebab parafilia seperti classical conditioning yang
tidak sengaja menghubungkan gairah seksual dengan sekelompok
stimuli yang oleh masyarakat dianggap sebagai stimuli yang tidak
tepat.
Terapi Parafilia (Treatments for the Paraphilias)
• Strategi Untuk Meningkatkan Motivasi

Para penjahat seks sering sekali kurang termotivasi untuk


mencobamengubah perilakunya yang melanggar hukum. Faktor-
faktor yang melemahkan motivasi mereka menjalani penanganan
antara lain adalah mengingkari masalah, mengecilkan keseriusan
masalah yang mereka miliki, keyakinan bahwa korban mereka
bukan saksi yang meyakinkan, dan rasa percaya diri bahwa mereka
dapat mengendalikan perilaku mereka tanpa bantuan profesional.
Beberapa diantaranya menyalahkan korban, bahkan jika
korbannya anak-anak, karna terlalu menggoda. Karena alasan
tersebut, orang-orang semacam itu sering kali dinilai tidak sesuai
untuk menjalani program penanganan. Ada beberapa metode
untuk meningkatkan motivasi mereka untuk tekun menjalani
terapi, yaitu sebagai berikut:
1. Terapis dapat berempati terhadap keengganan si pelaku untuk
mengakui bahwa ia seorang penjahat senhingga mengurangi
defensivitas dan kekerasan
2. Terapis dapat menunjukan kepada si pelaku berbagai
penanganan yang dapat membantunya mengendalikan
perilakunya secara lebih baik dan menekankan konsekuensi
negatif yang timbul karena menolak menjalani penanganan
(dipindahkan ke lokasi penjara yang lebih tidak menyenangkan )
dan jika melakukannya lagi (hukuman yang lebih berat)
3. Setelah menjabarkan manfaat penanganan yang mungkin
diperoleh, terapis dapat menerapkan intervensi paradoksikal
dengan menunjukan keraguan bahwa si pelaku termotivasi
untuk menjalani atau melanjutkan penanganan sehingga
menantang si pelaku untuk membuktikan bahwa keraguan
terapis, yang semula ditentangnya, tidak berdasar
4. Terapis dapat menjelaskan bahwa akan dilakukan pengukuran
psikofisiologis terhadap gairah seksual si pasien, yang dapat
mengungkapkan kecenderungan seksual pasientanpa ia harus
membuat pengakuan tentang hal itu.
• Terapi Kognitif Behavioral
Pendekatan kognitif dan behavioral sudah semakin
canggih dan lebih luas lingkupnya sejak tahun 1960-an
ketika parafilia hampir sepenuhnya dianggap sebagai
ketertarikan seksual yang telah dikondisikan secara klasik
terhadap stimuli lingkungan yang tidak tepat. Secara
keseluruhan, baik program-program yang dilakukan
didalam atau diluar institusi yang menggunakan model
kognitif-kognitif untuk para penjahat seksual mengurangi
residivis melebih dari yang diharapkan bila tidak
diberikan terapi sama sekali. Hasil-hasil tersebut jauh
lebih baik pada para pencabul anak dibandingkan pada
para pemerkosa.
• Terapi Kognitif Behavioral

Pendekatan kognitif dan behavioral sudah semakin


canggih dan lebih luas lingkupnya sejak tahun 1960-an
ketika parafilia hampir sepenuhnya dianggap sebagai
ketertarikan seksual yang telah dikondisikan secara klasik
terhadap stimuli lingkungan yang tidak tepat. Secara
keseluruhan, baik program-program yang dilakukan
didalam atau diluar institusi yang menggunakan model
kognitif-kognitif untuk para penjahat seksual mengurangi
residivis melebih dari yang diharapkan bila tidak
diberikan terapi sama sekali. Hasil-hasil tersebut jauh
lebih baik pada para pencabul anak dibandingkan pada
para pemerkosa.
• Terapi Biologis
Berbagai variasi intervensi biologis telah dicobakan kepada
para penjahat seksual. Kastrasi atau pemotongan testis yang
tampak cukup efektif dalam mengurangi insiden perilaku
parafilik tetapi tidak jelas diantara penjahat seksual itu yang
kejahatannya menyakiti banyak orang yang tidak berdosa yaitu
pencabulan anak dan pemerkosa. Kurangnya kejelasan
mengenai hasilnya, ditambah dengan pertimbangan
etis,membuat kastrasi jarang dilakukan dewasa ini, meskipun
ada kecenderungan untuk menggunakan alat kimiawi.

Salah satunya adalah medroksiprogesteron asetat yang


menurunkan kadar testoteron pada laki-laki. Dengan
mengurangi frekuensi ereksi dan ejakulasi, penggunaan obat
ini diasumsikan menghambat gairah seksual dan mengurangi
perilaku yang tidak dikehendaki.
• Hukum Megan
Trend yang lebih maju tercermin dalam beberapa hukum yang
diberlakukan baru-baru ini yang mengizinkan pihak kepolisian
mempublikasikan keberadaan para penjahat seks yang terdaftar di
kepolisian jika mereka dianggap berpotensi membahayakan. Hukum
inijuga mengizinkan masyarakat untuk menggunakan komputer
kepolisian untuk mengetahui apakah individu semacam itu tinggal
dilingkungan tempat tinggal mereka.

Disebut oleh beberapa orang sebagai hukum Megan, hukum tersebut


dan banyak hukum sejenis di seluruh Amerika Serikat. Penelusuran
keberadaan para penjahat difasilitasi oleh jaringan komputer nasional
yang diciptakan oleh Presiden Clinton pada bulan Agustus tahun 1996,
yang memungkinkan pihak kepolisian memantau para penjahat
diseluruh Amerika Serikat
Daftar pustaka
Disfungsi seksual.com
psks.lppm.uns.ac,id
dsm 5 dr.Rusdi Maslim SpKj,Mkes
Gerald C,Davidson,Jhon Neale ann M.kring 2006
Psikologi abnormal edisi ke 12 Jakarta ; Rajawali pers

Vous aimerez peut-être aussi