Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Persyaratan Pelaporan”
Disusun Oleh:
Laila Fahriana
Lisa Novianti
Mahmudi
Rira Meinina Raudhaty
Tri Noormuliyaningsih
Latar Belakang
Intisari dari pelaporan akuntansi adalah komunikasi atas informasi yang memiliki implikasi keuangan atau
manajemen. Karena pengumpulan dan pelaporan informasi mengonsumsi sumber daya, biasanya hal yang mana
tidak dilakukan dengan suka rela kecuali pelapor yakin bahwa hal ini memberikan si penerima informasi
berperilaku sebagaimana yang diinginkan pelapor. Informasi pula yang dilaporkan adalah bagian yang penting
dari proses pengendalian organisasi. Tanpa informasi, manajer, kreditor dan pemilik tidak dapat mengatakan
apakah segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana atau apakah tindakan korektif diperlukan. Meskipun
alternatif seperti pengamatan langsung dan audit kadang kala digunakan, informasi yang dilaporkan adalah cara
paling umum untuk memperoleh informasi yang digunakan untuk pengendalian. Penting untuk memahami
dampak dari persyaratan pelaporan karena kelaziman dan biayanya.
Persyaratan pelaporan dikenalkan dan dipaksakan oleh beraneka ragam orang dan organisasi dengan cara yang
beraneka rupa. Dalam organisasi, manajer biasanya memiliki hak untuk mengharuskan bawahannya melaporkan
aspek mana pun dari kinerja pekerjaan mereka. Apakah mereka dapat memaksakan persyaratan semacam itu
dengan efektif adalah kurang jelas dan bergantung pada sejumlah faktor organisasional, dan mungkin pribadi.
Perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh publik diharuskan untuk melaporkan secara ekstensif kepada
BAPEPAM dan publik untuk status keuangan dan operasinya. Setiap orang yang terlibat dalam perancangan atau
penggunaan sistem informasi perlu memahami dampak yang mungkin dari persyaratan pelaporan terhadap
pengirim informasi, serta bagaimana memprediksikan dan mengidentifikasikan dampak semacam itu.
Persyaratan Pelaporan Mempengaruhi
Perilaku
Terdapat banyak cara untuk menilai dampak dari persyaratan pelaporan terhadap pengirim
informasi. Yang paling tersedia adalah pegambilan keputusan deduktif, yang melibatkan pemikiran
secara hati-hati mengenai bagaimana persyaratan pelaporan akan berinteraksi dengan kekuatan-
kekuatan motivasional lainnya guna membentuk prilaku manajer. Teknik ini sebaiknya selalu
digunakan sebelum memberlakukan suatu persyaratan pelaporan.
Metode lain adalah dengan menanyakan kepada para pelapor mengenai perilaku mereka. Suatu cara
formal untuk melakukan hal ini adalah dengan survei, yang dapat terdiri atas pertanyaan-pertanyaan
sempit dengan kemungkinan tanggapan yang ditentukan atau atas pertanyaan-pertanyaan luas
dengan kemungkinan jawaban yang terbuka atau atas gabungan dari keduanya. Metode ini hanya
memberikan apa yang rela dan mampu diberikan oleh pelapor kepada anda mengenai proporsi
mereka sendiri atas perilaku dan reaksinya terhadap persyaratan pelapor. Pelapor bisa berfikir bahwa
mereka telah mengubah prilaku mereka dengan cara-cara atau jumlah yang sebenarnya tidak mereka
lakukan, atau sebaliknya.
Cara untuk memastikan mengenai apakah persyaratan pelaporan mengubah perilaku pelaporan ialah
dengan mengamati perilaku dengan dan tanpa persyaratan pelaporan. Hal ini sebaiknya dilakukan
dalam eksperimen terkendali dimana satu-satunya hal yang dapat berubah adalah persyaratan
pelaporan. Agar hasilnya berguna, penting bahwa kondisi eksperimen cukup serupa dengan kondisi
alamiah dimana persyaratan pelaporan ada. Hal ini tidak selalu mudah untuk dilakukan.
Lanjutan
Masalah dalam kondisi alamiah ialah bahwa banyak hal-hal lain yang kemungkinan
akan berubah pada saat yang bersamaan dengan persyaratan pelaporan. Hal ini
menyulitkan untuk menentukan apakah penyebab dari perilaku yang diamati adalah
karena persyaratan pelaporan atau karena satu atau factor lainnya. Meskipun
terdapat kesulitan, penting untuk mencoba menentukan bagaimana persyaratan
pelaporan telah mempengaruhi perilaku pelapor dalam cara yang menguntungkan
atau tidak dan dapat diprediksi atau tidak. Sebagaimana dengan kebanyakan tugas
evaluasi kinerja, kombinasi dari beberapa metode penilaian kemungkinan besar
akan memberikan hasil yang paling andal.
Kesimpulan
Awalnya audit pada tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan
tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta dan Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih
tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa.
Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah
ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar,
atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku
yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar
Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp
10,7 miliar.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT
Kimia Farma, melalui direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices) pada tanggal 1 dan 3 Februari
2002.
Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per
31 Desember 2001. Sedangkan kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas
penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi.
Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit
yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut.
Pihak Bapepam selaku pengawas pasar modal mengungkapkan tentang kasus PT.Kimia Farma. Dalamrangka restrukturisasi PT.Kimia Farma
Tbk, Ludovicus Sensi W selaku partner dari KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa yang diberikan tugas untuk mengaudit laporan keuangan
PT.Kimia Farma untuk masa lima bulan yang berakhir 31 Mei 2002, tidak menemukan dan melaporkan adanya kesalahan dalam penilaian
persediaan barang dan jasa dan kesalahan pencatatan penjualan untuk tahun yang berakhir per 31 Desember 2001. Selanjutnya diikuti
dengan pemberitaan dalam harian Kontan yang menyatakan bahwa kementrian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham
milik pemerintah di PT.Kimia Farma setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan dalam laporan keuangan pada semester I
tahun 2002.
Kesimpulan
Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya
laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans
Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Bapepam
menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa.
Dari sisi etika profesi kecurangan yang terjadi pada kasus manipulasi laporan
keuangan PT.Kimia Farma Tbk. ini pasti tidak terlepas dari bantuan akuntan yang
mengerti, yang memahami, yang mengelola laporan keuangan.
Pada manipulasi laporan keuangan adanya kecurangan yang dilakukan oleh akuntan.
Akuntan tersebut sudah melanggar etika profesi, karena yang harusnya bekerja
secara profesional justru dia bekerja untuk kepentingan pribadi maupun pengaruh
dari pihak lain sehingga dia bekerja secara tidak profesional. Akuntan tersebut juga
tidak memiliki rasa tanggung jawab akan profesinya sebagai akuntan dan bekerja
secara tidak jujur karena sengaja melakukan kecurang sehingga dia memanipulasi
laporan keuang tersebut agar kecurangannya tidak terdeteksi.