Vous êtes sur la page 1sur 9

Abstrak

• Tujuan - mengusulkan pendekatan praktik forensik dari sudut kode etik


dan menyajikan kerangka kerja praktis untuk penalaran etis
• Desain / metodologi / pendekatan - Tiga contoh kasus digunakan untuk
menunjukkan bagaimana kerangka kerja etis dapat digunakan sebagai
perangkat heuristik
• Temuan - Kerangka etis dalam makalah ini dapat mengingatkan klinisi
terhadap isu-isu etik yang lebih luas
• Implikasi Praktis - Memperkaya kode etik dengan konsep martabat dan
hak asasi manusia dapat membantu klinisi untuk mendeteksi masalah
etika dalam praktik sehari-hari mereka dan memperbaiki penalaran etis
mereka dalam pengambilan keputusan
• Orisinalitas / nilai - menyediakan klinisi forensik dengan kerangka kerja
praktis yang dapat membantu mereka untuk mengenali masalah-masalah
etika
• Kata kunci - Kesehatan mental forensik, Pemikiran etis, Kebutaan moral,
Praktik forensik, Pelayanan kesehatan mental, Etika, Tata kelola klinis
• Kertas jenis - Makalah penelitian
Pengantar
• Praktik etis  masalah yang dihadapi semua
klinisi forensik kesehatan mental, terutama dalam
menghadapi klien forensik.
• (Blackburn, 2004)  Praktisi harus
menyeimbangkan keharusan mengelola risiko
pada masyarakat dengan merawat pasien
• Brooker dan Whyte (2000)  staf multidisiplin
menggunakan kode etik tiga tingkat saat
membuat keputusan: keyakinan ideologis mereka
sendiri, filosofi bangsal, kebijakan unit dan kode
etik, dan kode profesional.
Perspektif individu dan professional
yang berbeda
• Praktisi kesehatan mental forensik memiliki beragam
asumsi politik, moral dan empiris yang mungkin
kadangkala bertentangan dengan kode unit atau
layanan atau bahkan kode profesional mereka sendiri.
• Mason et al., 2002  Konflik juga dapat timbul ketika
filosofi perawatan sebuah unit layanan bertentangan
dengan nilai profesi sistem yang lebih luas.
• Ward and Syversen, 2009  Perbedaan pendapat
dapat terjadi baik dalam isi kode etik yang berbeda
maupun metode penalaran etis yang berbeda yang
mendukung kode ini.
Perspektif individu dan professional
yang berbeda
• Disonansi etis seringkali terlihat jelas pada tim
kesehatan mental forensik.
• Faktanya sebuah tim dapat dan sering kali
berjuang untuk mendapatkan konsensus terkait
pembuatan keputusan klinis, termasuk
pembuatan keputusan etis.
• Brooker & Whyte (2000, hal 32)  “ketegangan
multidisipliner / interdisipliner seringkali sumber
kesulitan dan tekanan yang paling sering dikutip
oleh semua kelompok professional.”
Perspektif individu dan professional
yang berbeda
• Ward and Syversen (2009)  para praktisi baiknya
mengadopsi pendekatan pragmatis dan tetap fokus
pada level kode professional mereka, dengan alasan
bahwa yang dapat mereka lakukan saat kode etik
bertentangan adalah membuat keputusan terbaik
sehubungan dengan pedoman profesional mereka.
• Brooker dan Whyte (2000)  resolusi terhadap dilema
etis sebagian besar terjadi di dalam setiap domain
profesi terlepas dari apakah masalah yang didiskusikan
memiliki relevansi dengan disiplin lain.
Kebutaan Etis
• Lavin (2004)  ketergantungan pada kode etik profesional
tidak cukup dalam membimbing praktik forensik dan
pemasyarakatan atau penelitian dan merekomendasikan
agar konsep etika dan teori tambahan digunakan untuk
memperkaya kesadaran etis dan pengambilan keputusan.
• Ward dan Syversen (2009)  keterbatasan konseptual dari
sumber daya etika, termasuk kode profesional, dapat
menyebabkan kegagalan dalam mengenali masalah etika
yang intrinsik untuk dipraktekkan semata-mata karena
tidak tercakup dalam kode.
• Ward dan Syversen (2009)  istilah''kebutaan etis'' telah
digunakan untuk merujuk pada risiko dalam melihat
masalah klinis penting karena masalah tersebut terkadang
tidak tampak.
Kebutaan Etis
• Pertama, klinisi mungkin gagal ketika mereka
seharusnya bertindak atau mereka bertindak
sesuai bias dan filosofi pribadi mereka tanpa
menerapkan refleksi diri yang teliti (Kitchener,
2000).
• Kebutaan etis juga dapat mengakibatkan
kepatuhan klinisi terhadap filosofi organisasi,
praktik dan peraturan yang mungkin tidak adil
atau merendahkan pasien yang berada di bawah
asuhan mereka.
Kebutaan Etis
• Bentuk kedua dari kebutaan etis yang muncul pada
praktisi dengan visi etis yang kuat dapat disebabkan
karena akulturasi dalam sistem yang menekan atau
bahkan menghukum refleksi etis, terutama bila hal ini
dapat menimbulkan pertanyaan tentang filosofi dan
praktik sebuah organisasi.
• Walaupun budaya organisasi relatif terbuka untuk
mendiskusikan masalah etika, pemeriksaan terhadap
kekhawatiran semacam itu mungkin masih dapat
menantang diri dan menimbulkan kecemasan
tersendiri.
Kebutaan Etis
• Kebutaan etis mungkin jatuh di sepanjang
kontinum.
• Satu sisi terdapat mereka yang derajat miopia
etisnya begitu ekstrem sehingga bisa mereka
dikategorikan sebagai seseorang yang buta
etis.
• Di sisi lain terdapat orang-orang yang memiliki
kepekaan ekstrim dalam mengenali dan
menanggapi masalah etis.

Vous aimerez peut-être aussi