Vous êtes sur la page 1sur 101

ASKEP LANSIA

Latar Belakang
Psikogeriatri atau psikiatri adalah cabang ilmu
kedokteran yang memperhatikan pencega han,
diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologis
atau psikiatrik pada lanjut usia. Saat ini disiplin ini
sudah berkembang menjadi suatu cabang psikiatrik,
analaog dengan psikiatrik anak (Brocklehurts, Allen,
1987).
Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut
usia memerlukan pengetahuan khusus, karena
kemungkinan perbedaan dalam manisfestasi klinis,
pathogenesis dan patofisiologi gangguan mental
antara pathogenesis dewasa muda dan lanjut usia
(Weinberg, 1995; Kolb-Brodie, 1982).
Faktor penyulit pada pasien lanjut usia juga perlu
dipertimbangkan, antara lain sering adanya penyakit
dan kecacatan medis kronis penyerta, pemakaian
banyak obat (polifarmasi) dan peningkatan
kerentanan terhadap gangguan kognitif (Weinberg,
1995; Gunadi, 1984).
Sehubungan dengan meningkatnya populasi usia
lanjut, perlu mulai dipertimbangkan adanya
pelayanan psikogeriatrik di rumah sakit yang
cukup besar. Bangsal akut, kronis dan day
hospital, merupakan tiga layanan yang mungkin
harus sudah mulai difikirkan (Brocklehurts,
Allen, 1987). Tentang bagaimana kerjasama
antara bidang psikogeriatrik dan geriatrik dapat
dilihat pada pelayanan kesehatan pada usia
lanjut.
Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui dan mempelajari tentang asuhan keperawatan lansia
yang mengalami gangguan psikologi dan psikososial.
2. Tujuan Khusus
 Mengetahui tentang Konsep Teori Lansia
 Mengetahui tentang Teori Kejiwaan Lansia
 Mengetahui tentang Teori Psikologi dan Psikososial.
 Mengetahui tentang Teori Psikososial Lansia
 Mengetahui tentang Macam-macam Masalah Kepera watan
Psikologi dan Psikososial
 Mengetahui tentang Tahap-tahap Asuhan Kepera watan Lansia
Konsep Teori Lansia
Batasan Lansia
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Lanjut Usia
meliputi:
a. Usia pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai
59 tahun.
b. Lanjut usia (Elderly) ialah kelompok usia antara 60 dan 74
tahun.
c. Lanjut usia tua (Old) ialah kelompok usia antara 75 dan 90
tahun.
d. Usia sangat tua (Very Old) ialah kelompok di atas usia 90
tahun.
Proses Menua
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses
alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga
tahap kehidupannya yaitu masa kanak-kanak, masa
dewasa dan masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahapan
ini berbeda baik secara biologis maupun secara
psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami
kemunduran secara fisik maupun secara psikis.
Kemunduran fisik ditandai dengan kulit yang
mengendor, rambut putih, penurunan pendengaran,
penglihatan menurun, gerakan lambat, kelainan
berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional
meningkat
Teori Kejiwaan Lansia

Aktifitas atau Kegiatan (Activity Theory)


Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan
jumlah kegiatan secara langsung. Teori ini
menyatakan bahwa usia lanjut yang sukses adalah
mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan
sosial. Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan
pada cara hidup dari lanjut usia.
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial
dan individu agar tetap stabil dari usia
pertengahan ke lanjut usia.
Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)

Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak


berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan
gabungan dari teori diatas. Pada teori ini
menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada
seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh
tipe personalitiyang dimiliki.
Teori Pembebasan (Disengagement Theory)

Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya


usia, seseorang secara berangsur-angsur mulai
melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan
ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia
menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas
sehingga sering terjaadi kehilangan ganda (triple loss),
yakni:
 Kehilangan Peran
 Hambatan Kontak Sosial
 Berkurangnya Kontak Komitmen
Teori Psikologi

Teori Tugas Perkembangan


Havigurst (1972) menyatakan bahwa tugas
perkembangan pada masa tua antara lain adalah:
a. Menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan
fisik dan kesehatan
b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan
berkurangnya penghasilan
c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan
hidup
d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sebaya
e.Membentuk pengaturan kehidupan fisik yg memuaskan
f. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes

Selain tugas perkembangan diatas, terdapat pula tugas


perkembangan yang spesifik yang dapat muncul sebagai
akibat tuntutan:
a. Kematangan fisik
b. Harapan dan kebudayaan masyarakat
c. Nilai-nilai pribadi individu dan aspirasi

Menurut teori ini, setiap individu memiliki hirarki dari


dalam diri, kebutuhan yang memotivasi seluruh perilaku
manusia (Maslow 1954).
Teori Individual

menyusun sebuah teori perkembangan kepribadian


dari seluruh fase kehidupan yaitu mulai dari masa
kanak-kanak, masa muda dan masa dewasa muda,
usia pertengahan sampai lansia. Kepribadian individu
terdiri dari Ego, ketidaksadaran seorang dan
ketidaksadaran bersama. Menurut teori ini
kepribadian digambarkan terhadap dunia luar atau
kearah subyektif. Pengalaman-pengalaman dari
dalam diri (introvert). Keseimbangan antara kekuatan
ini dapat dilihat pada setiap individu dan merupakan
hal yang paling penting bagi kesehatan mental.
Teori Delapan Tingkat Kehidupan

Secara Psikologis, proses menua diperkirakan


terjadi akibat adanya kondisi dimana kondisi
psikologis mencapai pada tahap-tahap kehidupan
tertentu. Ericson (1950) yang telah
mengidentifikasi tahap perubahan psikologis
(delapan tingkat kehidupan) menyatakan bahwa
pada usia tua, tugas perkembangan yang harus
dijalani adalah untuk mencapai keeseimbangan
hidup atau timbulnya perasaan putus asa.
Peck (1968) menguraikan lebih lanjut
tentang teori perkembangan Erikson dengan
meng identifikasi tugas penyelarasan
integritas diri dapat dipilih dalam tiga tingkat
yaitu : pada perbedaan ego terhadap peran
pekerjaan preokupasi, perubahan tubuh
terhadap pola preokupasi, dan perubahan
ego terhadap ego preokupasi.
Pada tahap perbedaan ego terhadap peran
pekerjaan preokupasi, tugas perkembangan yang
harus dijalani oleh lansia adalah menerima
identitas diri sebagai orang tua dan mendapatkan
dukungan yang adekuat dari lingkungan untuk
menghadapi adanya peran baru sebagai orang tua
(preokupasi). Adanya pensiun dan atau pelepasan
pekerjaan merupakan hal yang dapat dirasakan
sebagai sesuatu yang menyakitkan dan dapat
menyebabkan perasaan penurunan harga diri dari
orang tua tersebut.
Teori Psikososial Lansia
Definisi:
Perkembangan psikososial lanjut usia adalah
tercapainya integritas diri yang utuh. Pemahaman
terhadap makna hidup secara keseluruhan membuat
lansia berusaha menuntun generasi berikut (anak dan
cucunya) berdasarkan sudut pandangnya. Lansia yang
tidak mencapai integritas diri akan merasa putus asa
dan menyesali masa lalunya karena tidak merasakan
hidupnya bermakna (Anonim, 2006). Sedangkan
menurut Erikson yang dikutip oleh Arya (2010)
perubahan psikososial lansia adalah perubahan yang
meliputi pencapaian keintiman, generatif dan
integritas yang utuh.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan
Psikososial Lansia

Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh


terhadap kesehatan psikososial lansia menurut
Kuntjoro (2002), antara lain:
1. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai
dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis
berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang,
energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok,
tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik
seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami
penurunan secara berlipat ganda
Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau
kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang
selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan
ketergantungan kepada orang lain. Dalam kehidupan
lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang
sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-
kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun
sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha
untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir
fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara
hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur,
istirahat dan bekerja secara seimbang.
2. Penurunan Fungsi dan Potensial Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut
usia sering kali berhubungan dengan berbagai
gangguan fisik seperti:
 Gangguan jantung
 Gangguan metabolisme, misal diabetes mellitus
 Vaginitis
 Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi
 Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang
sempurna atau nafsu makan sangat kurang
 Penggunaan obat-obat tertentu, seperti
antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain:
 Rasa tabu atau malu bila mempertahankan
kehidupan seksual pada lansia.
 Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang
menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan
budaya
 Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi
dalam kehidupannya.
 Pasangan hidup telah meninggal
 Disfungsi seksual karena perubahan hormonal
atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya
cemas, depresi, pikun dsb.
3. Perubahan Dalam Peran Sosial Di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera
pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan
sebagainya maka muncul gangguan fungsional
atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya
badannya menjadi bungkuk, pendengaran
sangat berkurang, penglihatan kabur dan
sebagainya sehingga sering menimbulkan
keterasingan
Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak
mereka melakukan aktivitas, selama yang
bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa
terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan
terjadi akan semakin menolak untuk
berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-
kadang terus muncul perilaku regresi seperti
mudah menangis, mengurung diri,
mengumpulkan barang-barang tak berguna serta
merengek-rengek dan menangis bila ketemu
orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas
pada umumnya lansia yang memiliki keluarga bagi
orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat
beruntung karena anggota keluarga seperti anak,
cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya
ikut membantu memelihara (care) dengan penuh
kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka
yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena
hidup membujang, atau punya pasangan hidup
namun tidak punya anak dan pasangannya sudah
meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri,
seringkali menjadi terlantar.
Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha
sebagai tempat untuk pemeliharaan dan
perawatan bagi lansia di samping sebagai long stay
rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan
bermasyarakat. Disisi lain perlu dilakukan
sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan
kehidupan dalam lingkungan sosial Panti Werdha
adalah lebih baik dari pada hidup sendirian dalam
masyarakat sebagai seorang lansia
Macam-macam Masalah Keperawatan Psikologi
dan Psikososial
1. Depresi
Pengertian:
Depresi merupakan satu masa terganggunya
fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya,
termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu
rnakan, psikomotor, konsentrasi, keielahan,
rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan
bunuh diri (Kap'an dan Sadock, 1998).
Depresi adalah suatu perasaan sedih dan
pesimis yang berhubungan dengan suatu
penderitaan. Dapat berupa serangan yang
ditujukan pada diri sendiri atau perasaan
marah yang dalam (Nugroho, 2000). Menurut
Hudak & Gallo (1996), gangguan depresi
merupakan keluhan umum pada lanjut usia
dan merupakan penyebab tindakan bunuh diri.
Depresi adalah gangguan alam perasaan yang
ditandai oleh kesedihan, harga diri rendah,
rasa bersalah, putus asa, perasaan kosong
(Keliat, 1996). Sedangkan menurut Hawaii
(1996;, depresi adalah bentuk gangguan
kejiwaan pada alam perasaan (mood), yang
ditandai dengan kemurungan, kelesuan,
ketidakgairahan hidup, perasaan tidak berguna,
dan putus asa. Depresi adalah suatu kesedihan
atau perasaan duka yang berkepanjangan
(Stuart dan Sundeen, 1998).
Tanda Dan Gejala Depresi
Perilaku yang berhubungan dengan depresi
menurut Kelliat (1996) meliputi beberapa
aspek seperti:
 Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan,
penyangkalan perasaan, kemurungan, rasa
bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan,
kesepian, harga diri rendah, kesedihan.
 Fisiologik
Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung,
konstipasi, pusing, keletihan, gangguan
pencernaan, insomnia, perubahan haid,
makan berlebihan/kurang, gangguan tidur,
dan perubahan berat badan.
 Kognitif
Ambivalensi, kebingungan, ketidak
mampuan berkonsentrasi, kehilangan minat
dan motivasi, menyalahkan diri sendiri,
mencela diri sendiri, pikiran yang destruktif
tentang diri sendiri, pesimis, ketidakpastian.
 Perilaku
Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan
tingkat aktivitas, kecanduan obat,
intoleransi, mudah tersinggung, kurang
spontanitas, sangat tergantung, kebersihan
diri yang kurang, isolasi sosial, mudah
menangis, dan menarik diri.
Menurut PPDGJ-III (Maslim,1997), tingkatan
depresi ada 3 berdasarkan gejala-gejalanya yaitu:
Depresi Ringan
Gejala :
a.Kehilangan minat dan kegembiraan
b.Berkurangnya energy yang menuju
meningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktivitas.
c.Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d.Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
 Depresi Sedang
Gejala :
a. Kehilangan minat dan kegembiraan
b. Berkurangnya energy yang menuju
meningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktivitas.
c. Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d. Harga diri dan kepercayaan diri yang
kurang
e. Pandangan masa depan yang suram dan
pesimis
 Depresi Berat
Gejala :
a. Mood depresif
b. Kehilangan minat dan kegembiraan
c. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya
keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah
kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.
d. Konsentrasi dan perhatian yang kurang
e. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
f. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
g. Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau
bunuh diri
h. Tidur terganggu
i. Disertai waham, halusinasi
j. Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2
minggu
Karakteristik Depresi Pada Lanjut Usia

Meskipun depresi banyak terjadi dikalangan


lansia,- depresi ini sering di diagnosis salah atau
diabaikan. Rata-rata 60-70% lanjut usia yang
mengunjungi praktik dokter umum adalah
mereka dengan depresi, tetapi ; acapkali tidak
terdeteksi karena lansia lebih banyak
memfokuskan pada keluhan badaniah yang
sebetulnya ; adalah penyerta darigangguan emosi
(Mahajudin, 2007).
Menurut Stanley & Beare (2007), sejumlah faktor
yang menyebabkan keadaan ini, mencakup fakta
bahwa depresi pada lansia dapat disamrkan atau
tersamarkan oleh gangguan fisik lainnya (masked
depression). Selain itu isolasi sosial, sikap orang
tua, penyangkalan pengabaian terhadap
proses penuaan normal menyebabkan tidak
terdeteksi dan tidak tertanganinya gangguan ini.
Depresi pada orang lanjut usia dimanifestasikan
dengan adanya keluhan tidak merasa berharga,
sedih yang berlebihan, murung, tidak
bersemangat, merasa kosong, tidak ada harapan,
menuduh diri, ide-ide pikiran bunuh diri dan
pemilihan diri yang kurang bahkan penelantaran
diri (Wash, 1997).
Samiun (2006) menggambarkan gejala-gejala
depresi pada lansia :

1. Kognitif
Sekurang-kurangnya ada 6 proses kognif pada
lansia yang menunjukkan gejala depresi.
Pertama, individu yang mengalami depresi
memiliki self-esteem yang sangat rendah.
Mereka berpikir tidak adekuat, tidak mampu,
merasa dirinya tidak berarti, merasa rendah
diri dan merasa bersalah terhadap kegagalan
yang dialami.
Kedua, lansia selalu pesimis dalam menghadapi
masalah dan segala sesuatu yang dijalaninya
menjadi buruk dan kepercayaan terhadap dirinya
(self-confident) yang tidak adekuat. Ketiga,
memiliki motivasi yang kurang dalam menjalani
hidupnya, selalu meminta bantuan dan melihat
semuanya gagal dan sia-sia sehingga merasa tidak
ada gunanya berusaha. Keempat, membesar-
besarkan masalah dan selalu pesimistik
menghadapi masalah. Kelima, proses berpikirnya
menjadi lambat, performance intelektualnya
berkurang. Keenam, generalisasi dari gejala
depresi, harga diri rendah, pesimisme dan
kurangnya motivasi.
2. Afektif
Lansia yang mengalami depresi merasa
tertekan , murung, sedih, putus asa,
kehilangan semangat dan muram. Sering
merasa terisolasi, ditolak dan tidak dicintai.
Lansia yang mengalami depresi
menggambarkan dirinya berada dalam
lubang gelap yang tidak dapat terjangkau
dan tidak dapat keluar dari sana.
3. Somatik
Masalah somatik yang sering dialami lansia
yang mengalami depresi seperti pola tidur
yang terganggu ( insomnia ), gangguan pola
makan dan dorongan seksual yang
berkurang. Lansia lebih rentan terhadap
penyakit karena sistem kekebalan tubuhnya
melemah, selain karena aging proces juga
karena orang yang mengalami depresi
menghasilkan sel darah putih yang kurang
(Schleifer et all, 1984 ; Samiun, 2006).
4. Psikomotor
Gejala psikomotor pada lansia depresi yang
dominan adalah retardasi motor. Sering
duduk dengan terkulai dan tatapan kosong
tanpa ekspresi, berbicara sedikit dengan
kalimat datar dan sering menghentikan
pembicaraan karena tidak memiliki tenaga
atau minat yang cukup untuk menyelesaikan
kalimat itu.
Dalam pengkajian depresi pada lansia,
menurut Sadavoy et all (2004) gejala-gejala
depresi dirangkum dalam SIGECAPS yaitu
gangguan pola tidur (sleep) pada lansia yang
dapat berupa keluhan susah tidur, mimpi
buruk dan bangun dini dan tidak bisa tidur lagi,
penurunan minat dan aktifitas (interest), rasa
bersalah dan menyalahkan diri (guilty), merasa
cepat lelah dan tidak mempunyai tenaga
(energy), penurunan konsentrasi dan proses
pikir (concentration), nafsu makan menurun
(appetite), gerakan lamban dan sering duduk
terkulai (psychomotor) dan penelantaran diri
serta ide bunuh diri (suicidaly)
Penyebab Depresi
Menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), faktor penyebab
depresi ialah :
 Faktor Predisposisi
a. Faktor genetik, dianggap mempengaruhi transmisi
gangguan afektif melalui riwayat keluarga dan
keturunan.
b. Teori agresi menyerang kedalam, menunjukkan
bahwa depresi terjadi karena perasaan marah yang
ditunjukkan kepada diri sendiri.
c. Teori kehilangan obyek, menunjuk kepada
perpisahan traumatika individu dengan benda atau
yang sangat berarti.
d. Teori organisasi kepribadian, menguraikan
bagaimana konsep diri yang negatif dan harga diri
rendah mempengaruhi sistem keyakinan dan
penilaian seseorang terhadap stressor.
e. Model kognitif, menyatakan bahwa depresi merupakan
masalah kognitif yang di dominasi oleh evaluasi negatif
seseorang terhadap diri sesorang, dunia seseorang dan
masa depan seseorang.
f. Model ketidakberdayaan yang dipelajari ( learned
helplessness ), menunjukkkan bukan semata-mata
trauma menyebabkan depresi tetapi keyakinan bahwa
seseorang tidak mempunyai kendali terhadap hasil yang
penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia
mengulang respon yang tidak adaptif.
g. Model perilaku, berkembang dari teori belajar sosial,
yang mengasumsi penyebab depresi terletak pada
kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan
lingkungan.
h. Model biologik, menguraikan perubahan kimia dalam
tubuh yang terjadi selama depresi, termasuk definisi
katekolamin, disfungsi endokri, hipersekresi kortisol,
dan variasi periodik dalam irama biologis.
 Stresor Pencetus
Ada 4 sumber utama stresor yang dapat
mencetuskan gangguan alam perasaan (
depresi ) menurut Stuart dan Sundeen (
1998 ), yaitu :
a. Kehilangan keterikatan yang nyata atau
dibayangkan, termasuk kehilangan cinta
seseorang, fungsi fisik, kedudukan atau
harga diri. Karena elemen aktual dan
simbolik melibatkan konsep kehilangan,
maka persepsi seseorang merupakan hal
sangat penting.
b. Peristiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering
dilaporkan sebagai pendahulu episode depresi
dan mempunyai dampak terhadap masalah-
masalah yang dihadapi sekarang dan
kemampuan menyelesaikan masalah.
c. Peran dan ketegangan peran telah dilaporka
mempengaruhi perkembangan depresi, terutama
pada wanita.
d. Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-
obatan atau berbagai penyakit fisik. Seperti
infeski, neoplasma, dan gangguan keseimbangan
metabolik, dapat mencentuskan gangguan alam
perasaan. Diantara obat-obatan tersebut terdapat
obat anti hipertensi dan penyalahgunaan zat yang
menyebabkan kecanduan. Kebanyakan penyakit
kronik yang melemahkan tubuh juga sering
disertai depresi.
Menurut Townsed (1998), penyebab depresi
adalah gabungan dari faktor predisposisi (teori
biologis terdiri dari genetik dan biokimia), dan
faktor pencetus (teori psikososial terdiri dari
psikoanalisis, kognitif, teori pembelajaran, teori
kehilangan objek).
Penyebab Depresi Pada Lanjut Usia

Depresi pada lansia merupakan permasalahan


kesehatan jiwa (mental health) yang serius dan
kompleks, tidak hanya dikarenakanaging
process tetapi juga faktor lain yang saling
terkait. Sehingga dalam mencari penyebab
depresi pada lansia harus dengan multiple
approach.
Menurut Samiun (2006) ada 5 pendekatan
yang dapat menjelaskan terjadinya depresi
pada lansia yaitu :
a. Pendekatan Psikodinamik
Salah satu kebutuhan manusia adalah
kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa
aman dan terlindung, keinginan untuk
dihargai, dihormati dan lain-lain. Menurut
Hawari (1996), seseorang yang kehilangan
akan kebutuhan afeksional tersebut (loss of
love object) dapat jatuh dari kesedihan yang
dalam.
Sebagai contoh seorang kehilangan orang
yang dicintai (terhadap suami atau istri yang
meninggal), kehilangan pekerjaan/jabatan
dan sejenisnya akan dan menyebabkan
orang itu mengalami kesedihan yang
mendalam, kekecewaan yang diikuti oleh
rasa sesal, bersalah dan seterusnya, yang
pada gilirannya orang akan jatuh dalam
depresi.
Freud mengemukakan bahwa depresi terjadi
sebagai reaksi terhadap kehilangan. Perasaan
sedih dan duka cita sesudah kehilangan objek
yang dicintai (loss of love object), tetapi
seringkali mengalami perasaan ambivalensi
terhadap objek tersebut (mencintai tetapi
marah dan benci karena telah meninggalkan).
Orang yang mengalami depresi percaya bahwa
intropeksi merupakan satu-satunya cara ego
untuk melepaskan suatu objek, sehingga sering
mengritik, marah dan menyalahkan diri karena
kehilangan objek tadi (Kaplan et all, 1997).
Depresi yang terjadi pada lanjut usia adalah
dampak negatif kejadian penurunan fungsi
tubuh dan perubahan yang terjadi terutama
perubahan psikososial. Perubahan-perubahan
tersebut diatas seringkali menjadi stresor bagi
lanjut usia yang membutuhkan adaptasi biologis
dan biologis. Menurut Maramis (1995), pada
lanjut usia permasalahan yang menarik adalah
kurangnya kemampuan dalam beradaptasi
secara psikologis terhadap perubahan yang
terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan
beradaptasi terhadap perubahan dan stres
lingkungan sering menyebabkan depresi.
Strategi adaptasi yang seringkali digunakan
lansia yang mengalami depresi adalah strategi
pasif (defence mcanism) seperti menghindar,
menolak, impian, displacement dan lain-
lain (Coyne ett all, 1981 ; Samiun, 2006).
Hubungan stress dan kejadian depresi
seringkali melibatkan dukungan sosial (social
support) yang tersedia dan digunakan lansia
dalam menghadapi stresor. Ada bukti bahwa
individu yang memiliki teman akrab dan
dukungan emosional yang cukup, kurang
mengalami depresi bila berhadapan dengan
stres (Billings, et all, 1983 ; Samiun , 2006).
b. Pendekatan Perilaku Belajar
Salah satu hipotesis untuk menjelaskan depresi
pada lansia adalah individu yang kurang
menerima hadiah (reward) atau penghargaan
dan hukuman (punishment) yang lebih banyak
dibandingkan individu yang idak depresi
(Lewinsohn, 1974 ; Libet & Lewinsohn, 1997 ;
Samiun, 2006). Dampak dari kurangnya
hadiah dan hukuman yang lebih banyak ini
mengakibatkan lansia merasakan kehidupan
yang kurang menyenangkan, kecenderungan
memiliki self-esteem yang kurang dan
mengembangkan self-concept yang rendah.
Hadiah dan hukuman bersumber dari
lingkungan (orang-orang dan peristiwa sekitar)
dan dari diri sendiri. Situasi akan bertambah
buruk jika seseorang menilai hadiah yang
diterima terlalu rendah dan hukuman yang
diterima terlalu tinggi terutama untuk tingkah
laku mereka sendiri, sehingga mengakibatkan
ketidakseimbangan antara nilai reward dan
punishment itu. Peran hadiah dan hukuman
terhadap diri sendiri yang tidak tepat dapat
menimbulkan depresi (Rehm, 1997 ;
Wicoxon, et all, 1997 ; Samiun 2006).
Faktor lain dari lingkungan yang berkenaan
dari hadiah dan hukuman adalah seseorang
jika pindah ke tempat lain yang dapat
mengakibatkan kehilangan sumber-sumber
hadiah dan perubahan dari tingkah laku yang
mendapat hadiah sehingga aktifitas yang
sebelumnya dihadiahi menjadi tidak berguna.
Standar untuk hadiah dan hukuman yang
meningkat menyebabkan performansi yang
diperlukan untuk mendapat hadiah lebih
tinggi. Kehilangan hadiah yang sebelumnya
diterima dapat menyebabkan depresi apabila
sumber alternatif untuk mendapat hadiah
tidak ditemukan.
c. Pendekatan Kognitif
Menurut Beck (1967 ; 1976), Samiun (2006),
seseorang yang mengalami depresikarena
memiliki kemapanan kognitif yang negatif
(negative cognitive sets) untuk
menginterpretasikan diri sendiri, dunia dan
masa depan mereka. Misalnya, seseorang yang
berhasil mendapatkan pekerjaan akan
mengabaikan keberhasilan tersebut dan
menginterpretasikan sebagai suatu
yang kebetulan dan tetap memikirkan
kegagalannya.
Akibat dari persepsi yang negatif itu,
individu akan memiliki self-concept sebagai
seorang yang gagal, menyalahkan diri,
merasa masa depannya suram dan penuh
dengan kegagalan. Masalah utam pada lansia
yang depresi adalah kurangnya rasa percaya
diri (self-confidence) akibat persepsi diri
yang negatif (Townsend, 1998).
Negative cognitive sets digunakan individu
secara otomatis dan tidak menyadari adanya
distorsi pemikiran dan adanya interpretasi
alternative yang lebih positif, sehingga
menyebabkan tingkat aktifitas berkurang
karena merasa tidak ada alasan berusaha.
Individu menjadi tidak dapat mengontrol
aspek-aspek negative dari kehidupannya dan
merasa tidak berdaya (helplessness). Perasaan
ketidakberdayaan ini yang menyebabkan
depresi (Abramson, 1978; Peterson, 1984;
Samiun, 2006).
Menurut Kaplan et all (1997), Interpretasi yang
keliru (misinterpretation) kognitif yang sering
adalah melibatkan distorsi negative pengalaman
hidup, penilaian diri yang negative, pesimistis dan
keputusasaan. Pandangan negative dan
ketidakberdayaan yang dipelajari (learned
helplessness)tersebut selanjutnya menyebabkan
perasaan depresi
Pengalaman awal memberikan dasar pemikiran
diri yang negative dan ketidakberdayaan ini,
sepertio pola asuh orang tua, kritik yang terus
menerus tanpa diimbangi dengan pujian, dan
kegagalan-kegagalan yang sering dialami individu
(Beck, et al., 1979; Samiun, 2006).
d. Pendekatan Humanistik – Eksitensial
Teori humanistic dan eksistensial berpendapat
bahwa depresi terjadi karena adanya
ketidakcocokan antarareality self dan ideal self.
Individu yang menyadari jurang yang dalam
antara reality self dan ideal self dan tidak dapat
dijangkau, sehingga menyerah dalam
kesedihan dan tidak berusaha mencapai
aktualisasi diri.
Menyerah merupakan factor yang penting
terjadinya depresi. Individu merasa tidak ada
lagi pilihan dan berhenti hidup sebagai seeorang
yang real. Pada lansia yang gagal untuk
bereksistensi diri menyadari bahwa mereka
tidak mau berada pada kondisinya sekarang
yang mengalami perubahan dan kurang mampu
menyesuaikan diri, sehingga kehidupan fisik
mereka segera berakhir. Kegagalan bereksistensi
ini merupakan suatu kematian simbolis sebagai
seseorang yang real.
e. Pendekatan Fisiologis
Teori fisiologis menerangkan bahwa depresi
terjadi karena aktivitas neurologis yang rendah
(neurotransmiter norepinefrin dan serotonin)
pada sinaps-sinaps otak yang berfungsi mengatur
kesenangan. Neurotransmitter ini memainkan
peranan penting dalam fungsi hypothalamus,
seperti mengontrol tidur, selera makan, seks
dan tingkah laku motor (Sachar, 1982; Samiun,
2006), sehingga seringkali seseorang yang
mengalami depresi disertai dengan keluhan-
keluhan tersebut.
Pendekatan genetic terhadap kejadian depresi
dengan penelitian saudara kembar.
Monozogotik Twins (MZ) berisiko mengalami
depresi 4,5 kali lebih besar (65%) daripada
kembar bersaudara (Dizigotik Twins/DZ) yang
14% (Nurberger & Gershon, 1982; Samiun,
2006). Secara keseluruhan dapat dikatakan
bahwa secara genetic depresi itu diturunkan
Menurut Mangoenprasodjo (2004), depresi pada lansia
merupakan perpaduan interaksi yang unik dari
berkurangnya interaksi social, kesepian, masalah social
ekonomi, perasaan rendah diri karena penurunan
kemampuan rendah diri, kemandirian, dan penurunan
fungsi tubuh, serta kesedihan ditinggal orang yang
dicintai, factor kepribadian, genetic, dan factor biologis
penurunan neuron-neuron dan neurotransmitter di
otak. Perpaduan ini sebagai factor terjadinya depresi
pada lansia. Kompleksitasnya perubahan-perubahan
yang terjadi pada lansia, sehingga depresi pada lansia
dianggap sebagai hal yang wajar terjadi.
Depresi Lanjut Usia Pasca Kuasa (POST
POWER SYNDROME)

Depresi pada pasca kuasa adalah perasaan sedih


yang mendalam yang dialami seseorang setelah
mengalami pension. Salah satu factor penyebab
depresi pada pasca kuasa adalah karena adanya
perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan atau
kekuasaan ketika pension.
Meskipun tujuan ideal pension adalah agar para
lansia dapat menikmati hati tua atau jaminan hari
tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan
sebaliknya, karena pension sering dirasakan
sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan,
jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri
(Rini J, 2001).
Menurut Kuntioro (2002), reaksi setelah orang
memasuki masa pension lebih tergantung dari
model kepribadiannya. Untuk mensiasati agar
masa pension tidak merupakan beban mental
lansia, jawabannya adalah sangat tergantung pada
sikap dan mental individu dalam masa pensiun,
dalam kenyataannya ada yang menerima ada yang
takut kehilangan ada yang merasa senang
memiliki jaminan hari tua da nada juga yang
seolah-olah acuh terhadap pension (pasrah).
Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya
dampak bagi masing-masing individu baik positif
maupun negative. Dampak positif lebih
menentramkan driri lansia dan dampak negative
akan mengganggu kesejahteraan hidup.
Secara umum peristiwa kehidupan meliputi
kehilangan harga diri, gangguan interpersonal,
peristiwa social yang tidak diinginkan dan
gangguan pola kehidupan yang besar. Kejadian
yang tidak diinginkan juga sering menjadi factor
presipitasi depresi. Kejadian di masa lampau
(perpisahan dan segala macam kehilangan) lebih
sering memperburuk gejal kejiwaan, perubahan
kesehatan fisik, gangguan penampilan peran social
dan depresi (Stuart dan Larairam, 1998).
Menurut Hawari (1996) orang yang mempunyai
jabatan adalah orang yang mempunyai kekuasaan,
wewenang, dan kekuatan (power). Orang yang
kehilangan jabatan berarti orang yang kehilangan
kekuasaan dan kekuatan (powerless), artinya
sesuatu yang dimiliki dan dicintai kini telah tiada
(loss of love object).
Dampak dari loss of love object ini adalah
terganggunya keseimbangan mental/emosional
dengan manifestasi berbagai keluhn fisik,
kecemasan dan terlebih-lebih depresi. Keluhan-
keluhan tersebut di atas disertai dengan
perubahan sikap dan perilaku, merupakan
kumpulan gejala yang disebut sindroma pasca
kuasa (post power syndrome). Perubahan sikap
dan perilaku tersebut merupakan dampak atau
keluhan psikososial dari orang yang baru
kehilangan jabatan atau kekuasaan
Kehilangan jabatan atau kekuasaan berarti
perubahan posisi, yang dahulu kuat kini merasa
lemah. Perubahan posisi ini mengakibatkan
perubahan dalam alam fikir (rasio) dan alam
perasaan pada diri yang bersangkutan. Kalau
keluhan-keluhan yang bersifat fisik (somatik) dan
kejiwaan (kekecewaan atau depresi) itu sifatnya
kedalam, tertutup dan tidak terbuka maka
keluhan psikososial inilah yang sering
menampakan diri dalam bentuk ucapan maupun
sikap dan perilaku.
Keluhan-keluhan psikososial terjadi disebabkan
karena perubahan posisi yang mengakibatkan
perubahan persepsi dari diri yang bersangkutan
terhadap kondisi psikososial di luar dirinya. Guna
menghindari rasa kecewa dan tidak senang itu,
orang menggunakan mekanisme defensive antara
lain berupa makanisme proyeksi dan rasionalisasi
itulah maka terjadi perubahan persepsi seseorang
terhadap kondisi psikososial sekelilingnya.
Menurut Maramis (1995), bahwa stress psikologis
terutama pada jiwa, seperti kecemasan,
kekecewaan dan rasa bersalah yang menimbulkan
mekanisme penyesuaian psikologis. Mungkin
pada sewaktu-waktu, hanya gejala badaniah atau
gejala psiokologik saja yang menonjol, tetapi kita
harus mengingat bahwa manusia itu senantiasa
bereaksi secara holistic, yaitu bahwa seluruh
manusia itu terlibat dalam hal ini.
Karena manusia bereaksi secara holistic, maka depresi
terdapat juga komponen psikologik dan komponen
somatic. Gejala-gejala psikologik ialah menjadi pendiam,
rasa sedih, pesimistis, putus asa, nafsu bekerja dan
bergaul kurang, tidak dapat mengambil keputusan lekas
lupa timbul pikiran bunuh diri. Sedangkan gejala
badaniah ialah penderita kelihatan tidak senang, lelah tak
bersemangat atau apatis, bicara dan gerak-geriknya pelan
dan kurang hidup, terdapat anoreksia (kadang-kadang
makan terlalu banyak sebagai pelarian), insomnia (sukar
untuk tertidur) dan konstipasi
Faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada
lanjut usia yang tinggal di Institusi
Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal
dalam institusional seperti tinggal di panti wreda
(Endah dkk, 2003) :
 Faktor Psikologis
Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi
lanjut usia untuk menentukan tujuan hidup dan
apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan di
panti
Tempat dan situasi yang baru, orang0orang yang
belum dikenal, aturan dan nilai-nilai yang
berbeda, dan keterasingan merupakan stressor
bagi lansia yang membutuhkan penyesuaian diri.
Adanya keinginan dan motivasi lansia untuk
tinggal dipanti akan membuatnya bersemangat
meningkatkan toleransi dan kemampuan
adaptasi terhadap situasi baru.
Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia
permasalah yang menarik adalah kekurangan
kemampuan dalam beradaptasi secara
psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada
dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi
terhadap perubahan dan stress lingkungan
sering menyebabkan depresi.
Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali
melibatkan dukungan social(social
support) yang tersedia dan digunakan lansia
dalam menghadapi stressor. Ada bukti bahwa
individu yang memiliki teman akrab dan
dukungan emosional yang cukup, kurang
mengalami depresi bila berhadapan dengan
stress (Billings, et all, 1983; Samiun, 2006).
Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya dan
selalu menganggap bahwa hidupnya telah gagal
karena harus menghabiskan sisa hidupnya jauh
dari orang-orang yang dicintai mengakibatkan
lansia memandang masa depan suram dan
selalu menyesali diri, sehingga mempengaruhi
kemampuan lansia dalam beradaptasi terhadap
situasi baru tinggal di institusi
o Faktor Psikososial
Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya
interaksi social dan dukungan social
mengakibatkan penyesuaian diri yang negative
pada lansia. Menurunnya kepasitas hubungan
keakraban dengan keluarga dan berkurangnnya
interaksi dengan keluarga yang dicintai dapat
menimbulkan perasaan tidak berguana, merasa
disingkirkan, tidak dibutuhkan lagi dan kondisi
ini dapat berperan dalam terjadinya depresi
Tinggal di institusi membuat konflik bagi lansia
antara integritas, pemuasan hidup dan
keputusasaan karena kehilangan dukungan
social yang mengakibatkan ketidakmampuan
untuk memelihara dan mempertahankan
kepuasan hidup dan self-esteemnya sehingga
mudah terjadi depresi pada lansia (Stoudemire,
1994).
Kemampuan adaptasi dan lamanya tinggal dipanti
mempengaruhi terjadinya depresi. Sulit bagi lansia
meninggalkan tempat tinggal lamanya. Pada lansia yang
harus meninggalkan rumah tempat tinggal lamanya
(relokasi) oleh karena masalah kesehatan atau social
ekonomi merupakan pengalaman yang traumatic
karena berpisah dengan kenangan lama dan pertalian
persahabatan yang telah memberikan perasaan aman
dan stabilitas sehingga sering mengakibatkan lansia
merasa kesepian dan kesendirian bahkan
kemeorosotan kesehatan dan depresi (Friedman,
1995).
Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan
dengan peran social dan pekerjaannya yang
hilang setelah memasuki masa lanjut usia dan
tinggal di institusi mengakibatkan hilangnya
gairah hidup, kepuasaan dan penghargaan diri.
Lansia yang dulunya aktif bekerja dan memiliki
peran penting dalam pekerjaannya kemudian
berhenti bekerja mengalami penyesuaian diri
dengan peran barunya sehingga seringkali
menjadi tidak percaya dan rendah diri (Rini,
2001).
 FaktorBudaya
Perubahan social ekonomi dan nilai social
masyarakat, mengakibatkan kecenderungan
lansia tersisihkan dan terbengkalai tidak
mendapatkan perawatan dan banyak yang
memilih untuk menaruhnya di panti lansia
(Darmojo & Martono, 2004).
Pergeseran system keluarga (family
system)dari extendend family ke nuclear
family akibat industrialisasi dan urbanisasi
mengakibatkan lansia terpinggirkan. Budaya
industrialisasi dengan sifat mandiri dan
individualis menggangap lansia sebagai“trouble
maker” dan menjadi beban sehingga langkah
penyelesainnya dengan menitipkan di panti.
Akibatnya bagi lansia memperburuk
psikologisnya dan mempengaruhi kesehatannya.
Tinggal di panti wreda harusnya merupakan
alternative yang terakhir bagi lansia, karena
tinggal dalam keluarga adalah yang terbaik bagi
lansia sesuai dengan tugas perkembangan
keluarga yang memiliki lansia untuk
mempertahankan pengaturan hidup yang
memuaskan dan mempertahankan ikatan
keluarga antargenerasi (Duvall, 1985 yang
dikutip oleh Friedman, 1998).
Skala Pengukuran Depresi Pada Lanjut Usia
Depresi dapat mempengaruhi perilaku dan
aktivitas seseorang terhadap lingkungannya.
Gejala depresi pada lansia diukur menurut
tingkatan sesuai dengan gejala yang termanifestasi.
Jika dicurigai terjadi depresi, harus dilakukan
pengkajian dengan alat pengkajian yang
terstandarisasi dan dapat dipercayai serta valid
dan memang dirancang untuk diujikan kepada
lansia.
Salah satu yang paling mudah digunakan untuk
diinterprestasikan di berbagai tempat, baik oleh
peneliti maupun praktisi klinis adalah Geriatric
Depression Scale (GDS). Alat ini diperkenalkan
oleh Yesavage pada tahun 1983 dengan indikasi
utama pada lanjut usia, dan memiliki keunggulan
mudah digunakan dan tidak memerlukan
keterampilan khusus dari pengguna. Instrument
GDS ini memiliki sensitivitas 84 %
dan specificity 95 %. Tes reliabilitas alat
ini correlates significantly of 0,85 (Burns, 1999).
Alat ini terdiri dari 30 poin pertanyaan dibuat
sebagai alat penapisan depresi pada lansia. GDS
menggunakan format laporan sederhana yang diisi
sendiri dengan menjawab “ya” atau “tidak” setiap
pertanyaan, yang memrlukan waktu sekitar 5-10
menit untuk menyelesaikannya. GDS merupakan
alat psikomotorik dan tidak mencakup hal-hal
somatic yang tidak berhubungan dengan
pengukuran mood lainnya.
Skor 0-10 menunjukkan tidak ada depresi, nilai
11-20 menunjukkan depresi ringan dan skor 21-
30 termasuk depresi sedang/berat yang
membutuhkan rujukan guna mendapatkan
evaluasi psikiatrik terhadap depresi secara lebih
rinci, karena GDS hanya merupakan alat
penapisan. Spesifikasi rancangan pernyataan
perasaan (mood) depresi seperti tabel berikut:
Table 5.1 Spesifikasi rancangan kuesioner GDS

Butir Sosial
Parameter Favorable Unfavorable
Minat aktivitas 2, 12, 20, 28 27
Perasaan sedih 16, 25 9, 15, 19
Perasaan sepi dan bosan 3, 4
Perasaan tidak berdaya 10, 17, 24
Perasaan bersalah 6, 8, 11, 18, 23 1
Perhatian / konsentrasi 14, 26, 30 29
Semangat atau harapan 13, 22 5, 7, 21
terhadap masa depan
Skoring nilai 1 diberikan pada pernyataan
Favorable untuk jawaban “ya” dan nilai 0 untuk
jawaban “tidak” sedangkan pernyataan
Unfavorable, jawaban “tidak” diberi nilai 1 dan
jawaban “ya” diberi nilai 0.
Assasment Tool geriatric depressions scale
(GDS) untuk mengkaji depresi pada lansia
sebagai berikut:

Vous aimerez peut-être aussi