Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
KEGAWATDARURATAN NEONATAL
DENGAN ASFIKSIA
KELOMPOK 1
1. Desi Adelia (1602460009)
2. Lia Yunitasari (1602460014)
3. Dewi fatmawati (1602460024)
4. Rika Novitasari (1602460030)
5. Ficky Aprilia Putri (1602460039)
6. Leyni Sri Wuryaning D.A (1602460047)
KEMENTERIAN KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN KEDIRI
TAHUN AKADEMIK 2018/2019
LATAR BELAKANG
BBLR AFIKSIA
Trauma Tetanus
jalan lahir Neonatrum
Kelainan
Infeksi
Kongenital
PENGERTIAN
• Kejang
• Warna kulit kebiruan
• Tidak bernafas atau bernafas megap-megap
• Penurunan kesadaran
TANDA APGAR
Tanda 0 1 2
Appearance Pucat/ biru Tubuh merah, Seluruh tubuh
(warna kulit) seluruh tubuh ekstremitas biru kemerahan
Interpretasi:
Nilai 1-3 : Asfiksia berat
Nilai 4-6 : Asfiksia sedang
Nilai 7-10 : Asfiksia ringan (normal)
(Nanny Lia Dewi, Vivian, 2011)
DOWN SCORE
Keterangan:
0-4 :Distress Napas Ringan; membutuhkan O2 nasal
atau headbox
4-7 :Distsres Napas Sedang; membutuhkan Nasal
CPAP
>7 :Distres Napas Berat; Ancaman Gagal Napas
KLASIFIKASI
1. Tindakan umum
• Bersihkan jalan nafas : kepala bayi diletakkan lebih
rendah agar lendir mudah mengalir, bila perlu
digunakan larinyoskop untuk membantu
penghisapan lendir dari saluran nafas yang lebih
dalam.
• Rangsang reflek pernafasan : dilakukan setelah 20
detik bayi tidak memperlihatkan bernafas dengan
cara memukul kedua telapak kaki menekan tanda
achiles, mempertahankan suhu tubuh.
2. Tindakan khusus
a. Pada kasus Asfiksia berat :
Berikan O2 dengan tekanan positif dan
intermitten melalui pipa endotrakeal. Dapat
dilakukan dengan tiupan udara yang telah
diperkaya dengan O2. Bila pernafasan spontan
tidak timbul lakukan massase jntung dengan ibu
jari yang menekan pertengahan sternum 80-
100x/menit.
b. Asfiksia sedang/ringan :
Hisap lendir, rangsang nyeri selama 30-60 detik. Bila
gagal lakukan pernafasan kodok (Frog breathing) 1-
2 menit yaitu : kepala bayi ekstensi maksimal beri O2
1-2x/menit melalui kateter dalam hidung, buka utup
mulut dan hidung serta gerakkan dagu ke atas-
bawah secara teratur 20x / menit.
c. Penghisapan cairan lambung untuk mencegah
regurgitasi
TERIMAKASIH
1. Bayi lahir dengan asfiksia apakah dapat mempengaruhi kondisi kehidupan dimasa depan
terutama pada paru-paru?
Jawaban:
Asfiksia merupakan penyebab utama kerusakan otak dan kematian pada bayi di
seluruh dunia. Menurut data WHO, diperkirakan sebanyak 900.000 bayi mati tiap tahun di seluruh
dunia karena asfiksia. Kebanyakan kematian ini terjadi di negara berkembang. Diagnosa awal
dan penanganan yang tepat untuk kondisi ini menjadi hal penting untuk menyelamatkan bayi
dan mengurangi komplikasi.
asfiksia dapat menurunkan O2 meningkatnya CO2 yang mengakibatkan buruk dalam
kehiduan lebih lanjut(manuaba.2010)
• Bayi dengan tingkat asfiksia ringan atau menengah bisa sepenuhnya pulih. Bayi yang sel
tubuhnya tidak mendapat cukup oksigen untuk waktu lebih lama bisa mengalami cedera
permanen pada otak, jantung, paru-paru, ginjal, atau organ lain.
• Ketika bayi prematur mengalami asfiksia, kerusakan bisa memicu cerebral palsy, gangguan
perkembangan, kurang perhatian, gangguan hiperaktif, atau masalah penglihatan. Pada
kasus yang paling parah, asfiksia bisa memicu gagal organ bahkan kematian.
• Pada kasus bayi baru lahir dengan asfiksia sedang kalau tidak segera ditangani dengan cepat
dan tepat akan menyebabkan terjadinya asfiksia berat. Bayi yang dalam keadaan asfiksia dan
pulih kembali harus dipikirkan kemungkinannya menderita cacat mental pada masa
mendatang (Mochtar, 2012).
2. Massase jantung yang bagaimana yang dilakukan
pada bayi asfiksi, dan dilakukan berapa kali?
Jawab:
Massase jantung dikerjakan dengan melakukan
penekanan di atas tulang dada dengan dua jari
dimulai pada sepertiga bawah sternum dengan
frejuensi 120x/menit, degan kedalaman 1-1,5 cm.
Rasio kompresi terhadap ventilasi adalah 15:1
(Prof. DR. dr.A. Samik Wahab, SpA. 2006)
3. Faktor risiko intrapartum, antara lain : Kelahiran
traumatik, prolaps tali pusat, lilitan tali pusat, distosia
bahu. (Dewi, 2010; Hidayat, 2008)