Vous êtes sur la page 1sur 15

MAKALAH

“TENTANG THAHARAH”

TAFSIR AHKAM AHWAL AL-SYAHSHIYAH

Disusun Oleh : Kelompok 1

1. Bunga Lestari (200102010305)


2. Nor Aini (200102010276)
3. Novita (200102010291)
4. Putri (200102010259)

DOSEN PENGAMPU : M. HANAFIAH, Dr.,M.Hum

Jurusan Hukum Keluarga Islam

Fakultas Syariah

UNIVERSITAS NEGERI ISLAM ANTASARI BANJARMASIN

2020/2021

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik.

Kami selaku penulis tak pernah luput megucapkan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang telah ikut membantu dalam penyelesaian tugas makalah ini sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tepat pada waktunya.

Dan tak lupa jua kami megucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampu Mata
kuliah ini. Dalam penyusunan makalah ini, penulis berharap kiranya dapat bermanfaat
terutama bagi penulis sendiri maupun kepada pembaca umumnya.

Apabila terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini, kami mohon maaf
dan kami sangat mengharap kritikan dan saran yang bersifat membangun untuk penulisan
kembali karya ini menjadi jauh lebih sempurna.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB I...................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN.................................................................................................................... 1
Latar Belakang.................................................................................................................... 1
Rumusan Masalah.............................................................................................................. 2
Tujuan Penulisan................................................................................................................ 2
BAB II..................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN...................................................................................................................... 3
Pengertian Thaharah..........................................................................................................3
Hukum Thaharah................................................................................................................ 3
Pembagian Thaharah......................................................................................................... 3
Tata Cara Thaharah...........................................................................................................4
Wudhu............................................................................................................................. 4
Mandi (mandi junub)........................................................................................................5
Tayamum........................................................................................................................ 7
Jenis Najis......................................................................................................................... 9
Jenis Air dan Pembagiannya............................................................................................10
BAB III.................................................................................................................................. 11
PENUTUP............................................................................................................................ 11
Kesimpulan....................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tantangan dan masalah kehidupan selalu muncul secara alami seiring dengan
berputarnya waktu dan perkembangan zaman. Berbagai masalah muncul dari berbagai
sudut kehidupan,salah satu masalah yang besar terjadi dalam kehidupan di dunia ini yaitu
menyangkut masalah kebersihan. Kebersihan menjadi masalah yang penting dalam
kehidupan. Antara kesehatan dan air pastilah sangat berhubungan satu sama lain, hal ini
dapat dibuktikan bahwa dengan air yang bersih kita akan lebih mudah menjaga kebersihan
dan kesehatan khususnya kesehatan jasmani. Kebersihan dan kesehatan juga sangat erat
hubungannya dengan thaharah di dalam islam. thaharah sangat dianjurkan oleh islam
karena banyak manfaat dan hikmahnya bagi kehidupan.

Pembahasan thaharah dalam literatur fiqh Islam selalu mengawali pembahasan sebelum
yang lainnya. Hal demikian menunjukkan betapa penting dan besarnya perhatian Islam
terhadap masalah kebersihan dan kesehatan. Karena itu, bersuci termasuk ibadah pokok
yang diwajibkan, mengingat besarnya nilai kebersihan dan kesehatan di dalamnya. Ajaran-
ajaran Islam yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, meliputi thaharah, khitan,
penyelenggaraan jenazah, hygiene dalam hidup berkelamin, kehamilan, pemeliharaan anak,
kebersihan lingkungan, dan peraturan tentang makanan. Agama Islam sangat menjunjung
tinggi kebersihan yaitu di atur dalam masalah thaharah. Thaharah(bersuci) di dalam Islam
sebenarnya menerangkan secara jelas tentang ruang lingkup sampai hikmah Islam
mewajibkan menjaga kesehatan dan kebersihan. Masalah-masalah yang dihadapi Indonesia
ini sebenarnya tidak dapat lepas dari para pemuda, karena pemuda sekarang merupakan
pemimpin masa depan. Berbicara mengenai para pemuda juga tidak dapat lepas dari
lembaga pendidikan, khususnya pendidikan Islam yang tugasnya membentuk karakter dan
mendidiknya sebagai bekal di masa mendatang. Peserta didik sebagai penerus bangsa
harus mendapatkan perhatian yang serius khususnya masalah pendidikan Islam untuk yang
beragama islam. Karena dengan mereka mengetahui Islam secara kaffah, pastilah mereka
mampu menyadari dan berusaha mencari jalan keluar dari masalah-masalah yang sedang
dihadapi oleh Negara kita ini. Untuk itulah makalah yang membawakan materi tentang
thaharah ini dibuat untuk membantu kita semua dalam memahami ayat dan tafsir tentang
thaharah.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa saja pembagian thaharah?


2. Apa saja ayat mengenai thaharah?
3. Bagaimana penafsiran dan penjelasan tentang ayat-ayat thaharah?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk menambah wawasan tentang thaharah.


2. Untuk mengenal lebih jauh makna dari ayat-ayat yang akan dibahas.
3. Untuk memperdalam bagaimana tafsiran juga pendapat para ulama mengenai
ayat yang akan mengenai Thaharah.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Thaharah

Secara bahasa thaharah artinya membersihkan kotoran, baik kotoran yang berwujud


maupun yang tak berwujud. Kemudian secara istilah, thaharah artinya
menghilangkan hadas, najis, dan kotoran (dari tubuh, yang menyebabkan tidak sahnya
ibadah lainnya) menggunakan air atau tanah yang bersih. Sedangkan menurut Hukum
syara, thaharah artinya suci dari hadas dan najis.

B. Hukum Thaharah

Hukum thahârah (bersuci) ini adalah wajib, khususnya bagi orang yang akan
melaksanakan shalat. Bersih dari najis dan menghilangkannya merupakan suatu
kewajiban bagi yang tahu akan hukum dan mampu melaksanakannya.

Allah SWT berfirman:


‫َوثِ َيا َب َك َف َط ِّه ۡر‬

Artinya: "Dan bersihkanlah pakaianmu". (QS.Al-Muddassir: 4)

Lalu terdapat juga dalam surah berikut ini:


‫س ُج ۡو ِد‬ ُّ ‫ِلطٓا ِٕٮف ِۡينَ َو ۡال ٰع ِكف ِۡينَ َو‬
ُّ ‫الر َّک ِع ال‬ َّ ‫اَ ۡن َط ِّه َرا َب ۡيت َِى ل‬..

Artinya: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang iktikaf,
orang yang rukuk dan orang yang sujud!! (Qs. Al Baqarah: 125)

Sementara bersih dari hadas merupakan suatu kewajiban yang sekaligus sebagai syarat
sah shalat. Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam: “Shalat
tidak diterima tanpa -didahului dengan bersuci.” (HR. Muslim no. 224)

C. Pembagian Thaharah
Pelaksanaan thaharah terbagi menjadi dua, yakni:

1) Thaharah Ma'nawiyah
Thaharah ma'nawiyah adalah membersihkan diri dari kotoran batin berupa dosa dan
penyakit hati seperti iri, dengki, takabur, dan lain-lain. Cara membersihkannya
dengan melakukan taubatan nashoha yaitu memohon ampun dan berjanji tidak
akan mengulanginya.

2) Thaharah Hissiyah
Thaharah hissiyah adalah membersihkan bagian tubuh yang terkena najis maupun
hadas. Untuk membersihkan dari najis dan hadas ini, bisa dilakukan dengan
berwudhu, mandi wajib, serta tayamum (bila dalam kondisi tidak ada air).

3
D. Tata Cara Thaharah

Adapaun tata cara yang harus dilakukan seseorang saat ingin mensucikan diri atau
thaharah, meliputi:

1. Wudhu
Wudhu secara etimologi menurut Wahbah Al-Zuhaili pengertian ‫الو‬MMM‫ض‬ ُ ‫ و ُء‬adalah
mempergunakan air pada anggota tubuh tertentu dengan maksud untuk membersihkan
dan menyucikan.
Adapun menurut syara’, wudhu adalah membersihkan anggota tubuh tertentu melalui
suatu rangkaian aktivitas yang dimulai dengan niat, membasuh wajah, kedua tangandan
kaki serta menyapu kepala.

Secara praktis, wudhu merupakan wujud dari gerakan-gerakan membasuh dan atau
mengusap anggota tubuh.Wudhu adalah praktik melemaskan otot-otot tertentu dari
kontraksi atau ketegangan. Gerakan-gerakan wudhu mengajarkan harmonisasi dan
kelenturan, dua hal yang sangat menyehatkan tubuh fsik kita. Dalam Islam, perintah
melaksanakan wudhu ini bersamaan dengan perintah mengerjakan shalat. Oleh karena
itu, ulama sepakat bahwa wudhu merupakan syarat sahnya shalat.

Apa dan bagaimana makna batin dari berwudhu sebagai gerakan pensucian?
Pertanyaann yang senada adalah mengapa shalat mesti dimulai dengan wudhu sebagai
gerakan pensucian? Hal lain yang menarik dicermati lebih mendalam dari syariat wudhu
dalam kaitannya dengan makna batinnya, yakni bahwa yang menjadi anggota wudhu
adalah anggota tubuh yang sering melakukan dosa dan kemaksiatan. Mengapa bukan
dubur dan kemaluan yang menjadi anggota wudhu? Padahal dari keduanya keluar najis
yakni air seni dan tinja. Keluarnya kedua najis tersebut menyebab seseorang berhadas
dan terhalang menegakkan shalat sebelum bersuci dengan cara wudhu, mandi dan atau
tayammum. Berikut uraiannya.
Mandi, tayammum dan khususnya wudhu merupakan ibadah pensucian yang subtansi
maknanya lebih menekankan pada makna batin namun tidak mengabaikan makna lahir.
Hal ini dapat dibuktikan dari hadis-hadis yang terkait dengan wudhu. Dalam hadis-hadis
tersebut dipahami bahwa setiap anggota wudhu yang terbasuh, maka dosa-dosa kecil
yang telah dilakukan oleh anggota-anggota wudhu tersebut akan jatuh bersamaan
dengan jatuh air yang digunakan membasuh. Bahkan terdapat hadis yang
mempermisalkan bahwa berwudhu sebanyak lima kali dalam sehari diperumpamakan
dengan mandi sebanyak lima kali dalam sehari, maka dijamin tidak ada kotoran yang
melekatkan di badan. Hadis ini meliputi makna lahir dan makna batin. Yakni kotoran lahir
seperti daki dan kotoran batin yakni gugurnya dosa-dosa kecil.

Ayat Al-Quran menjelaskan tentang wudhu terdapat dalam surah Al-Maidah ayat 6 ;

4
ْ‫ ُك ْم َوَأ ْر ُجلَ ُك ْم ِإلَى ا ْل َك ْع َب ْي ِن ۚ َوِإن‬W ‫وس‬ ِ ‫ ُحوا ِب ُر ُء‬W ‫س‬ َ ‫اغسِ لُوا ُو ُجو َه ُك ْم َوَأ ْي ِد َي ُك ْم ِإلَى ا ْل َم َراف ِِق َوا ْم‬ َّ ‫َيا َأ ُّي َها الَّذِينَ آ َم ُنوا ِإ َذا ُق ْم ُت ْم ِإلَى‬
ْ ‫الصاَل ِة َف‬
‫صعِيدً ا‬َ ‫سا َء َفلَ ْم َت ِجدُوا َما ًء َف َت َي َّم ُموا‬ َ ‫اء َأ َح ٌد ِم ْن ُك ْم مِنَ ا ْل َغاِئطِ َأ ْو اَل َم ْس ُت ُم ال ِّن‬ َ ‫س َف ٍر َأ ْو َج‬ َ ‫ض ٰى َأ ْو َعلَ ٰى‬ َّ ‫ُك ْن ُت ْم ُج ُن ًبا َف‬
َ ‫اط َّه ُروا ۚ َوِإنْ ُك ْن ُت ْم َم ْر‬
ٰ
ْ ‫ج َولَكِنْ ُي ِري ُد لِ ُي َط ِّه َر ُك ْم َولِ ُيتِ َّم ن ِْع َم َت ُه َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َت‬ ‫هَّللا‬ ‫َأ‬
‫ش ُك ُرون‬ ٍ ‫س ُحوا ِب ُو ُجو ِه ُك ْم َو ْيدِي ُك ْم ِم ْن ُه ۚ َما ُي ِري ُد ُ لِ َي ْج َعل َ َعلَ ْي ُك ْم مِنْ َح َر‬ َ ‫ام‬ْ ‫َط ِّي ًبا َف‬

Artinya :

َHai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah,
dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Tafsir

(Hai orang-orang yang beriman, jika kamu berdiri) maksudnya hendak berdiri
(mengerjakan salat) dan kamu sedang berhadas (maka basuhlah muka dan tanganmu
sampai ke siku) artinya termasuk siku itu sebagaimana diterangkan dalam sunah (dan
sapulah kepalamu) ba berarti melengketkan, jadi lengketkanlah sapuanmu itu kepadanya
tanpa mengalirkan air. Dan ini merupakan isim jenis, sehingga dianggap cukup bila telah
tercapai sapuan walaupun secara minimal, yaitu dengan disapunya sebagian rambut.
Pendapat ini juga dianut oleh Imam Syafii (dan kakimu) dibaca manshub karena
diathafkan kepada aidiyakum; jadi basuhlah tetapi ada pula yang membaca dengan baris
di bawah/kasrah dengan diathafkan kepada yang terdekat (sampai dengan kedua mata
kaki) artinya termasuk kedua mata kaki itu, sebagaimana diterangkan dalam hadis. Dua
mata kaki ialah dua tulang yang tersembul pada setiap pergelangan kaki yang memisah
betis dengan tumit. Dan pemisahan di antara tangan dan kaki yang dibasuh dengan
rambut yang disapu menunjukkan diharuskannya/wajib berurutan dalam membersihkan
anggota wudu itu. Ini juga merupakan pendapat Syafii. Dari sunah diperoleh keterangan
tentang wajibnya berniat seperti halnya ibadah-ibadah lainnya. (Dan jika kamu dalam
keadaan junub, maka bersucilah) maksudnya mandilah (dan apabila sakit) yang akan
bertambah parah dengan menyentuh air (atau dalam perjalanan) musafir (atau kamu
kembali dari tempat buang air) artinya berhadas (atau menyentuh wanita) hal ini telah
dibicarakan dulu pada surah An-Nisa (lalu kamu tidak memperoleh air) yakni setelah
mencarinya (maka bertayamumlah) dengan mencari (tanah yang baik) tanah yang bersih
(sapulah muka dan tanganmu) beserta kedua siku (dengan tanah itu) dengan dua kali
pukulan. Ba menunjukkan lengket sementara sunah menjelaskan bahwa yang dimaksud
ialah hendaklah sapuan itu meliputi kedua anggota secara keseluruhan (Allah tidaklah
hendak menyulitkan kamu) dengan kewajiban-kewajiban berwudu, mandi atau tayamum
itu (tetapi Dia hendak menyucikan kamu) dari hadas dan dosa (dan hendak
menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu) yakni dengan Islam dengan menerangkan
syariat-syariat agama (semoga kamu bersyukur) atas nikmat-Nya itu.

5
2. Mandi (mandi junub)
Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan
kulit.

Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di
antaranya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan tata cara mandi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫س ِد ِه ُكلِّ ِه‬ ُ ‫ُث َّم ُيف‬


َ ‫ِيض ا ْل َما َء َعلَى َج‬

“Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i no. 247)

Mandi wajib karena junub dijelaskan dalam Q.s An-nisa /4:43

‫اَل ُج ُن ًبا ِااَّل َع ِاب ِر ْي َس ِب ْي ٍل َح ٰ ّتى َت ْغ َتسِ لُو‬

Terjemahnya:

dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali
sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub).

Kata yang tersusun dari huruf jim, nun, ba’ memiliki mkana dasar yang menunjukkan
makna berkisar pada dua hal, yaitu alnahiyah artinya di sisi atau di samping dan al-bu’du
artinya jauh atau menjauhkan.Kata janbun berasal dari janaba-yajnubu-janban yang di
dalam al-Qur’an kata janbun disebut 3 kali dengan arti yang tidak jauh berbeda dengan
yang disebutkan di atas, akan tetapi ketika dihubungkan dengan kata yang lain maka
akan menunjukkan arti yang agak berbeda, seperti kata al-sahibu bi al-janbi yang
diartikan sejawat.Selain kata al-janbu, huruf yang tersusun dari jim, nun dan ba’ juga
menghasilkan kata junub. adapun kata junub berasal dari kata janabah-yajnubu-
janabatan yang berarti al-bu’du (jauh). Karena ketika seseorang telah melakukan
hubungan suami istri atau keluar sperma maka ia tidak suci, maka disebut janabah atau
junub.Dengan kata lain, junub adalah suatu perbuatan yang menjadikan pelakunya jauh
dari salat, masjid, membaca al-Qur’an dan sebagainya yang sesuai ketentuan syariat.
Kata ‘abiri sabi l memilki perbedaan pendapat terkait makna mendekati salat yang
dilarang itu. Satu pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud ialah mendekat (masuk)
masjid atau berdiam di dalamnya bagi orang yang dalam keadaan junub, hingga dia
mandi, kecuali hanya sekedar berlalu saja. Seperti halnya pintu rumah sahabt
mengahadap ke masjid Rasulullah saw. dan masjid ini jadi jalan dari dan ke rumah
mereka. Maka, diberilah kemurahan bagi mereka untuk berlalu di dalam masjid ketika
dalam keadaan junub, bukan berdiam di dalam masjid, dan sudah tentu tidak
diperbolehkan salat pula, kecuali sesudah mandi.Menurut pendapat masyhur di
kalangan mazhab Maliki, orang yang junub harus menggosok bagian tubuhnya yang
dibasuh. Menurut kebiasaan Arab, orang yang tidak menjalankan tangannya ke bagian
tubuh yang dibasuh, melainkan hanya membsuhkan air ke atas tubuhnya, tidak
dinamakan dengan mandi, mereka menanamkan aktivitas seperti itu dengan
menuangkan air atau berendam dalam air.

Adapun mayoritas ulama mengatakan bahwa cara mandi junub, cukup hanya dengan
menuangkan air atau berendam dalam air asalkan semua bagian tubuh tekena oleh air,
meskipun dengan tidak menggosok-gosoknya. Hadis ini diriwayatkan oleh Maimunah
dan Aisyah juga menceritakan bahwa ketika mandi Nabi menuangkan air ke tubuhnya.

6
Kata ini berasal dari kata ‫ غسل‬yang tersusun dari huruf gain, sin, dan lam. Kata al-gasl
mempunyai arti asal yaitu imraru al-maI ‘ala alsyai’ yang memilki arti melintaskan air di
atas sesuatu. Sedangkan Ibn faris menyebutkan bahwa kata yang tersusun dari huruf-
huruftersebut menunjukkan satu makna yaitu tat}hiru al-syai’ watanqiyatuh artinya
membersihkan sesuatu atau diterjemahkan juga dengan arti membasuh atau mencuci.

Adapun menurut al-Ragib, kalimat gasaltu al-syai’ berarti aku telah mengalirkan air pada
sesuatu dan menghilangkan kotorannya. Kata al-gasl merupakan ism, sedangkan kata
al-gislu artinya sesuatu yang digunakan untuk mencuci. Adapun kata al-mugtasalu
artinya adalah bagian yang dicuci atau air yang digunakan untuk mencuci seperti dalam
QS. Sad/ 38: 42. Sedangkan kata al-gislinu artinya cairan tubuh orang kafir di dalam
neraka sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Haqqah/69: 36.37
Di dalam gramatika bahasa Arab, penambahan seperti ini dimaksudkan untuk
memberikan alternative tambahan makna bagi satu kata, di antaranya sebagai bentuk
al-mubalagah yang berarti penekanan atau penambahan. Sehingga kata al-gaslu yang
pada awalnya berarti berubah maknanya ketika menjadi al-igtisal, sehingga artinya
menjadi mandi. Pada hakikatnya, mandi itu berarti membasuh seluruh badan secara
merata. Seperti inilah pemaknaan Kata tagtasilu dalam QS. Al-Nisa’/4: 43.

3. Tayamum

Kata tayamum menurut bahasa sama dengan al-qashdu yang berarti menuju,
menyengaja. Menurut pengertian syara’ tayamum adalah menyengaja (menggunakan)
tanah untuk menyapu dua tangan dan wajah dengan niat agar dapat mengerjakan shalat
dan sepertinya

Jika menelaah kembali ayat mengenai perintah tayamum, kita akan mendapati bahwa
tayamum itu bisa menjadi alternatif bersuci, baik dari hadas kecil atau besar, jika tidak
ada air, atau sakit yang tidak boleh terkena air. Dalam QS. Al-Maidah ayat 6, Allah Swt.
Berfirman:

‫ ُحوا‬W‫س‬ َ ‫ام‬ْ ‫ا َف‬W‫عِيدًا َط ِّي ًب‬W‫ص‬َ ‫وا‬W‫ا ًء َف َت َي َّم ُم‬W‫ دُوا َم‬W‫اء َفلَ ْم َت ِج‬ َ ‫س َف ٍر َأ ْو َجا َء َأ َح ٌد ِم ْن ُك ْم مِنَ ا ْل َغاِئطِ َأ ْو اَل َم ْس ُت ُم ال ِّن‬
َ W‫س‬ َ ‫ض ٰى َأ ْو َعلَ ٰى‬
َ ‫َوِإنْ ُك ْن ُت ْم َم ْر‬
‫َأ‬
‫ۚ ب ُو ُجو ِه ُك ْم َو ْيدِي ُك ْم ِم ْن ُه‬
ِ

Artinya: …dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu.

( :Firman-Nya ‫س ُحوا ِب ُو ُجو ِه ُك ْم َوَأ ْيدِي ُك ْم ِم ْن ُه‬ ْ ‫) َف‬


َ ‫ام‬

Maka sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, menunjukkan bahwa dalam
bertayamum hanya wajah dan tangan yang harus disapu dengan tanah, apapun sebab
bertayamum dan tujuannya, apakah sebagai pengganti wudhu atau mandi. Selanjutnya
ulama berbeda pendapat tentang cakupan makna tangan. Ada yang memahaminya
kedua tangan hingga siku, dan ada juga yang memahaminya hingga pergelangannya

7
saja. Ada lagi yang memahaminya sampai ke ketiak, tetapi pendapat terakhir ini tidak
populer. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa bertayamum cukup dengan
memukulkan atau menyentuhkan telapak tangan sekali ke tanah, lalu dengan tanah
yang ada di telapak tangan itu wajah dan tangan dibasuh. Inilah mazhab Ahmad Ibn
Hanbal. Ada juga yang mengharuskan dua kali pukulan (sentuhan), yang pertama untuk
membasuh wajah dan yang kedua untuk membasuh tangan. Yang terakhir ini adalah
pendapat Imam Syafi'i.

Ibnu Daqiq al-Id dalam Ihkamu al-Ahkam  menjelaskan, dalam ayat ini jika
kata lamastum an-nisa dipahami secara tekstual sebagai persentuhan dengan lawan
jenis semata maka mandi junub tidak termasuk dalam cara bersuci yang bisa diganti
dengan tayamum.
Akan tetapi jika memahami makna yang tersirat dari ayat tersebut, maka lamastum an-
nisa bisa dipahami sebagai jima’ atau menggauli wanita. Jika dipahami demikian maka
jelas bahwa hukum tayamum bagi seseorang yang junub itu boleh. Sebagaimana
penjelasan Ibnu Daqiq dalam kitabnya berikut ini.

َ ‫ {َأ ْو ال َم ْس ُت ُم ال ِّن‬:‫من شك في تيمم الجنب حملوا المالمسة المذكورة في اآلية أعني قوله تعالى‬
‫] على غير‬6 :‫سا َء} [المائدة‬
‫الجماع ألنهم لو حملوها عليه لكان تيمم الجنب مأخوذا من اآلية فلم يقع لهم شك في تيمم الجنب‬

“Orang yang ragu pada tayamumnya orang junub, mereka mengartikan al-


mulamasah yang disebut dalam firman Allah Swt QS Al-Maidah: 6, bukan pada arti jima’
atau menggauli. Karena jika mereka mengartikannya jima’ sudah pasti hukum
tayamumnya junub diambil dari ayat tadi dan tidak akan terjadi keraguan pada mereka
tentang tayamumnya junub.”

Menafsirkan dengan makna yang terakhir ini didukung dengan adanya hadis-hadis Nabi
yang mengatakan bahwa tayamum bagi orang junub itu cukup untuk membolehkannya
melakukan ibadah. 

Dalam ayat ini Allah menyebutkan 4 hal yang memperoleh tayamum:


1. Dalam keadaan sakit yang tidak bisa menggunakan air karena dikhawatirkan akan
memberatkan penyakit.
2. Dalam perjalanan yang tidak mendapatkan air (sebetulnya perjalanan itu tidak
dimaksud dalam ayat ini, karena biasanya dalam perjalanan orang sulit
mendapatkan air).
3. Dalam perjalanan berhadast kecil yang diungkapkan dengan kembali dari tempat
buang air (kakus).
4. Persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan, yang oleh Ali, Ibnu Abbas dan lainnya
dari kalangan sahabat dan sebagian ulama fiqh diartikannya jima’ dan oleh Umar
dan Ibnu Mas’ud, dan sebagian ulama fiqh diartikan dengan persentuhan kulit biasa.

Setelah mengetahui dalil dan kondisi yang memperbolehkan bertayamum, selanjutnya


ada ayat yang berkaitan tentang syarat sah dan tata cara tayamum. berikut petunjuk
Alquran tentang cara tayamum, surat An-Nisa ayat 43,

‫وا ۚ َوِإن ُكن ُتم‬ ۟ ُ‫ل‬W‫يل َح َّت ٰى َت ْغ َت ِس‬


ٍ ِ‫ب‬W‫س‬َ ‫ ابِ ِرى‬W‫ا ِإاَّل َع‬WW‫ونَ َواَل ُج ُن ًب‬Wُ‫وا َما َتقُول‬ ۟ ‫س ٰ َك َر ٰى َح َّت ٰى َت ْعلَ ُم‬
ُ ‫ٱلصلَ ٰو َة َوَأن ُت ْم‬
َّ ‫وا‬ ۟ ‫ٰ َٓيَأ ُّي َها ٱلَّذِينَ َءا َم ُن‬
۟ ‫وا اَل َت ْق َر ُب‬
۟ ‫ ُح‬W‫س‬ ۟ ‫ٓا ًء َف َت َي َّم ُم‬WW‫ُوا َم‬
۟ ‫ د‬W‫ٓاء َفلَ ْم َت ِج‬ ٰ
‫و ِه ُك ْم‬W‫وا ِب ُو ُج‬ َ ‫ا َفٱ ْم‬W‫عِي ًدا َط ِّي ًب‬W‫ص‬ َ ‫وا‬W َ ‫س‬ َ ‫ٓاء َأ َح ٌد ِّمن ُكم مِّنَ ٱ ْل َغٓاِئطِ َأ ْو لَ َم ْس ُت ُم ٱل ِّن‬
َ ‫س َف ٍر َأ ْو َج‬ َ ‫ض ٰ ٓى َأ ْو َعلَ ٰى‬
َ ‫َّم ْر‬
‫ورا‬ ُ ً ُ ‫هَّلل‬
ً ‫َو ْيدِي ُك ْم ۗ ِإنَّ ٱ َ َكانَ َعف ّوا َغف‬ ‫َأ‬

8
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid)
sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu
mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang
air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); usaplah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. an-Nisa’ [4]: 43)

Selain itu, ada beberapa hal juga yang perlu diketahui terkait tayamum. Tayamum
merupakan pengganti wudu dan mandi yang menhilangkan hadas, bukan najis. (namun
dalam hal ini niat tayamum dilakukan agar diperbolehkan shalat). Sehingga, jika di
anggota tayamum ada najis yang kebetulan menempel, maka najis tersebut harus
dihilangkan terlebih dahulu. Perlu diingat juga bahwa satu kali tayamum hanya bisa
digunakan untuk satu kali shalat fardu, berbeda dengan wudu yang bisa digunakan
untuk lebih dari shalat fardu selama tidak batal. Namun, jika orang yang bertayamum
tersebut melakukan ibadah sunah setelah shalat fardu, maka yang demikian
diperbolehkan.

Sebenarnya, kewajiban berwudhu untuk shalat, demikian juga tuntunan tayamum, telah
dikenal oleh umat Islam jauh sebelum turunnya ayat ini. Ulama sepakat menyatakan
demikian, karena sekian banyak riwayat menyatakan bahwa Nabi saw. tidak pernah
shalat tanpa wudhu, dan, seperti diketahui, Nabi saw. Telah melaksanakan shalat sejak
dini di Mekah. Demikian juga dengan mandi, bahkan boleh jadi kewajiban mandi wajib
mendahului kewajiban berwudhu dalam shalat, karena hal ini telah dikenal sebagai
ajaran Nabi Ibrahim as. dan diamalkan oleh masyarakat Jahiliah. Dari uraian diatas
dapat di simpulkan bahwa, bersuci dapat juga dilakukan dengan cara bertayamum, akan
tetapi tayamum terbatas pada menyapu wajah dan tangan, karena tujuannya bukan
membersihkan diri, atau menyegarkan jiwa dan jasmani, sebagaimana halnya dengan
mandi dan berwudhu, tetapi sebagai ibadah kepada Allah swt.

E. Jenis Najis
Najis merupakan kotoran yang wajib dijauhi dan wajib dibersihkan bila terkena badan
seorang Muslim. Hukum asal dari suatu benda adalah bersih dan boleh dimanfaatkan,
hingga kemudian (apabila) didapatkan adanya dalil yang menyatakan kenajisannya
(maka dia dihukumi najis).
Najis dibedakan menjadi 3, yaitu:

 Najis mukhaffafah (najis ringan)
Najis ini dapat dihilangkan hanya dengan memercikan air (mengusap dengan air pada
benda yang terkena najis. contoh najis mukhaffafah yaitu air kencing bayi laki-laki yang
belum makan apapun kecuali air susu ibu.

 Najis mutawassitah (najis sedang)
Cara menghilangkan najis ini adalah dengan cara mencucinya sampai hilang warna,
bau, rasa, zat, dan sebagainya hilang. contoh najis mutawassitah adalah bangkai, darah,
nanah, air kencing manusia, kotoran manusia, dan lain-lain.

9
 Najis mugallazah (najis berat)
Contoh najis mugallazah adalah jilatan anjing dan babi. jika terkena ini, maka cara
menghilangkannya adalah dengan membasuh dengan air mengalir sebanyak 7 kali yang
di sela-selanya diusap dengan debu (air tanah).

F. Jenis Air dan Pembagiannya


Air yang dapat digunakan untuk bersuci haruslah air yang bersih, suci lagi
menyucikan. Air tersebut bisa berasal dari langit (hujan) maupun berasal dari Bumi (air
tanah dan air laut) yang masih murni dan belum pernah digunakan (bukan bekas pakai).
Jika ditelaah dari jenis-jenisnya, air yang bersih, suci, lagi menyucikan ada 7 jenis, yaitu:
 Air hujan
 Air laut
 Air (yang berasal dari lelehan) salju
 Air embun
 Air Sumur (Mata air)
 Air Telaga
 Air Sungai
Sementara itu selain jenis-jenis air, menurut hukum Islam air itu sendiri dibagi menjadi
empat golongan, yaitu:
 Air Muthlaq. Air ini dapat pula disebut sebagai air murni, karena hukumnya suci dan
menyucikan, dan tidak makruh untuk digunakan bersuci.
 Air Musyammas. Air ini adalah air yang dipanaskan dengan sinar matahari di tempat
(wadah) yang tidak terbuat dari emas. Hukum air ini adalah suci lagi menyucikan,
namun hukumnya makruh untuk digunakan bersuci. Ada pula ulama yang
memakruhkan air yang memang sengaja dipanaskan dengan api.
 Air Musta'mal. Air ini adalah air bekas menyucikan hadas dan najis. Walaupun air ini
tidak berubah rasanya, warnanya, serta baunya, bahkan sebenarnya air ini masih
bersih dan suci. Akan tetapi air ini tidak dapat digunakan untuk bersuci.
 Air Mustanajjis. Air ini adalah air yang sudah terkena atau tercampur dengan najis,
sedangkan volumenya kurang dari dua qullah (sekitar 216 liter). Hukum bersuci
menggunakan air ini adalah tidak boleh sama sekali, karena tidak suci dan tidak
menyucikan. Namun apabila volumennya lebih dari dua qullah dan tidak mengubah
sifat airnya (bau, rasa, dan warna), maka air itu boleh digunakan untuk bersuci.
 Air yang bercampur dengan barang yang suci. Air ini adalah air muthlaq pada
awalnya, kemudian air ini tercampur (kemasukkan sesuatu) dengan barang yang
sebenarnya tidak najis, misalkan sabun tau bahan makanan. Air seperti ini
hukumnya tetap suci, amun jika sifat air sudah berubah sifat, rasa, bau, dan
warnanya, maka air tersebut menjadi tidak bisa digunakan untuk bersuci.
Dari semua jenis-jenis air diatas, ada satu jenis air lagi yang suci tetapi haram digunakan
untuk bersuci. Air yang dimaksud di sini ialah air yang didapat dengan
cara ghahsab atau mencuri (mengambil atau memakai tanpa izin).

10
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan
Kebersihan yang sempurna menurut syara’ disebut thaharah, merupakan masalah
yang sangat penting dalam beragama dan menjadi pangkal dalam beribadah yang
menghantarkan manusia berhubungan dengan Allah SWT. Tidak ada cara bersuci
yang lebih baik dari pada cara yang dilakukan oleh syarit Islam, karena syariat Islam
menganjurkan manusia mandi dan berwudlu. Walaupun manusia masih dalam
keadaan bersih, tapi ketika hendak melaksanakan sholat dan ibadah-ibadah lainnya
yang mengharuskan berwudlu, begitu juga dia harus pula membuang kotoran pada diri
dan tempat ibadahnya dan mensucikannya karena kotoran itu sangat menjijikkan bagi
manusia

11
DAFTAR PUSTAKA

Thaharah Nabi, Tuntunan Bersuci Lengkap; DR Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani;
Yogyakarta:(2004) Media Hidayah

Muiz, Abdul. Panduan Shalat Terlengkap. Jakarta: Pustaka Makmur. 2013. ISBN 602-7639-


65-2

Ash' Shiddieqy, M. Hasbi. Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Islam. 1962.

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Bandung: Al-Ma'ruf. 1990. ISBN 979-400-038-8

https://tafsirq.com/5-al-maidah/ayat-6

http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/al_risalah/article/download/12731/
pdf#:~:text=Kandungan%20ayat%206%20dalam%20surah,ia%20berwudhu%20dan
%20atau%20mandi.

https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/riwayah/article/download/3746/pdf

Arfain M, Parhani A, Mustafa M(2020)"Mandi junub dalam tinjauan Al-qur'an dan


sains(Kajian tahlili terhadap Q.s An-nisa/4:43)" diakses pada 20 september 2021 pukul
11.42
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/tafsere/article/download/14806/8993
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa terjemaah tafsir Al-maraghi, (semarang:PT Karya toha putra,
1974)
uparta, H. Mundzier MA. 2002. Fiqih Madrasah Aliyah kelas 1. Semarang: PT Karya Toha
Putra
https://bincangsyariah.com/kalam/memahami-ayat-tentang-perintah-tayamum/
https://tafsiralquran.id/tafsir-ahkam-tata-cara-tayamum-dan-syarat-sahnya/

12

Vous aimerez peut-être aussi