Vous êtes sur la page 1sur 20

HADITS SHAHIH, HASAN, DHAIF DAN HADITS MAUDHU’

Oleh :
NURQARIRAH ARIFIN
80300222056

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN 2023

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.


Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan
salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat
dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah.
Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang terang
benderang.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Studi Hadits Pascasarjana UIN
Alauddin Makassar, dengan ini penulis mengangkat judul “Hadits Shahih, Hasan, Dhaif
dan Maudhu’”
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
.Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua, karena kesempurnaan
hanya milik Allah SWT semata.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Maros, 1 Juni 2023


Penulis

2
DAFTAR ISI

Table of Contents
BAB I ..................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 4
A. Latar belakang ........................................................................................................................... 4
BAB II .................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 5
A. HADITS SHAHIH ....................................................................................................................... 5
a. Pengertian hadits Shahih .......................................................................................................... 5
b. Syarat Hadits Shahih ................................................................................................................ 5
c. Macam-macam Hadits Shahih .................................................................................................. 7
d. Kedudukan Hadits Shahih ........................................................................................................ 9
B. HADITS HASAN ........................................................................................................................ 9
a. Pengertian Hadist Hasan........................................................................................................... 9
b. Kriteria Hadits Hasan ............................................................................................................. 10
c. Macam-macam Hadits Hasan ................................................................................................. 10
d. Kedudukan Hadits Hasan ....................................................................................................... 13
C. HADITS DHAIF ........................................................................................................................... 14
a. Pengertian Hadist Dhaif ......................................................................................................... 14
b. Pembagian Hadits Dhaif ......................................................................................................... 14
c. Berhujjah dengan Hadits Dhaif ............................................................................................... 16
D. HADITS MAUDHU’ .................................................................................................................... 16
a. Ciri Hadits Maudhu’ .............................................................................................................. 16
b. Sebab-sebab Pemalsuan Hadits dan Tanda-tanda Hadits Palsu ................................................ 17
BAB III ................................................................................................................................................ 19
PENUTUP............................................................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 20

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Secara terminologis, hadits dimaknai sebagai ucapan dan segala perbuatan yang
dilakukan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan secara bahasa, hadits berarti perkataan,
percakapan, berbicara.

Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang kedua telah dibukukan pada masa
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, khilafah kelima Bani Umayyah. Sedangkan
sebelumnya hadits– hadits Nabi SAW masih terdengar dalam ingatan para sahabat untuk
kepentingan dan pegangan mereka sendiri.

Umat Islam di dunia harus menyadari bahwa hadits Rasulullah SAW sebagai
pedoman hidup yang kedua setelah AlQur’an. Tingkah laku manusia yang tidak
ditegaskan ketentuan hukumnya, cara mengamalkannya, tidak dirinci dengan ayat
AlQur’an secara mutlak dan secara jelas, hal ini membuat para muhaditsin sadar akan
perlunya mencari penyelesaian dalam hal tersebut dengan al-hadits.

Dalam meneliti kekuatan hadits serta kelemahan hadits serta kelemahan hadits
dan untuk dijadikan hujjah hukum, serta untuk mengamalkan Hadits, perlu difahami
hadits–hadits yang berkembang baik dari segi kwalitas mapun kwantitas. Dalam
makalah ini penulis akan membahas tentang Hadits Shahih, Hadits Hasan, Hadits Dhaif
dan Hadits Maudhu’ beserta macam–macam dan contohnya Terakhir akan ditutup
dengan beberapa kesimpulan.

4
BAB II

PEMBAHASAN
A. HADITS SHAHIH
a. Pengertian hadits Shahih

Hadits Shahih secara bahasa adalah hadits yang sehat, selamat, benar, sah,
sempurna dan yang tidak sakit. Secara istilah menurut Shubhi al-Shalih, hadits shahih
adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan
dhâbith hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal dari
kalangan sahabat tanpa mengandung syâdz (kejanggalan) ataupun ‘illat (cacat). Imam Ibn al-
Shalah mendefinisikan hadits shahih dengan “Hadits yang disandarkan kepada Nabi yang
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga sampai
akhir sanad, tidak ada syâdz (kejanggalan) dan tidak mengandung ‘illat(cacat)”.

b. Syarat Hadits Shahih


1. Sanadnya bersambung

Maksudnya adalah setiap rangkaian perawi dalam sanad tersebut memiliki


hubungan guru dan murid. Hal ini bisa diketahui dengan melihat biografi masing-masing
rawi di kitab rijal. Biasanya dalam kitab tersebut dicantumkan nama guru dan muridnya,
namun apabila tidak disebutkan bisa juga diketahui dengan melihat perjalanan ilmiah atau
tahun wafatnya.

2. Tidak ada syaz

Ada banyak pengertian syaz, di antara pengertian tersebut sebagian mengatakan,


syaz adalah periwayatan seorang perawi tsiqah yang bertolak belakang dengan
periwayatan perawi yang lebih tsiqah darinya. Ada juga yang mengatakan syaz adalah
sebuah riwayat yang maqbul (diterima) bertentangan dengan periwayatan yang lebih
diterima/baik dari periwayatannya. Dari dua pengertian tersebut dapat kita ambil
kesimpulan bahwa syaz adalah kondisi sebuah hadis yang bertentangan dengan yang
lebih baik kualitasnya dari hadis itu sendiri.

3. Tidak ada illat

5
Illat adalah cacat yang terdapat dalam sebuah kesalahan yang tidak disengaja.
Untuk mengetahui illat dalam sebuah hadis adalah dengan cara membandingkan antar per

wayatan yang tsiqah.

4. Perawinya ‘adil
Imam Ibnu Hajar mengatakan perawi yang adil adalah perawi yang menjaga
ketakwaan dan menjauhi dosa kecil. Artinya orang ‘adil adalah orang yang senantiasa
menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau yang mengikuti hawa nafsunya. Ada lima
syarat perawi disebut ‘adil, yaitu: (1) Muslim; (2) Menjauhi perbuatan fasiq; (3) bukan
orang yang teledor; (4) mukallaf (balig dan berakal); (5) menjaga muru’ah. Muru’ah di
sini artinya sangat lokalistik, sesuai dengan ada dan kebiasaan daerah perawi hidup.
5. Perawinya dhabith.

Dhabit ada dua jenis dhabith shadr dan dhabit kitab. Yang dimaksud dengan
dhabit shadr adalah kuat hafalannya. Ukuran kuat hafalannya adalah ia yakin akan apa
yang dia ingat dan apabila diminta untuk menyebutkan dia tidak butuh bantuan lainnya,
Definisi Dhabit

Adapun pengertian dhabit menurut istilah, telah dikemukakan oleh ulama dalam
berbagai format bahasa, antara lain sebagai berikut :

1) Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy dan al-Sahawiy yang disebut orang dhabit adalah
orang yang kuat hafalannya tentang apa-apa yang didengarnya dan mampu
menyampaikan hafalanya itu kapan saja dia menghendakinya.

2) Dhabit adalah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, dia


memahami pembicaraan itu secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan
sungguh sungguh dan dia berhasil hafal dengan sempurna, sehingga dia mampu
menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik.

3) Dhabit ialah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia


memahaminya dengan pemahaman yang mendetail kemudian dia menghafalnya
dengan sempurna, dan dia meyakini kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai

6
dari saat mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada
orang lain.

c. Macam-macam Hadits Shahih

Hadits Shahih pula terdapat dua bagian:

1. Hadits Shahih Lidzatihi

Hadits shahih lidzatihi adalah hadits yang dimana memiliki semua syarat hadits
shahih sebagaimana yang telah kita bahas diatas, Adapun contoh hadits Lidzatihi:

َ ‫عب ِد أَبِي‬
‫عن‬ َ ‫عب ِد الَّرح َم ِن‬َ ِ‫ب ب ِن عُ َم َر ب ِن للا‬ َّ ‫ي ال َخ‬
ِ ‫طا‬ َ ‫ض‬ َ ‫ قَا َل‬: ُ‫س ِمعت‬
ِ ‫عن ُه َما للاِ َر‬ َ ‫صل للاِ َرسُو َل‬ َ َّّ ‫ى‬
َ ‫س َّلم‬
ُ‫علَي ِه للا‬ َ ‫ يَقُو ُل َو‬: ‫ال ُم بُن َِي‬
َ ‫ع َلى اإلس‬َ ‫ خَمس‬: ِ‫ش َهادَة‬ َ ‫ل ِإ َلهَ أَن‬
َ ‫ل‬ َّ ِ‫صالَ ِة ِإقَ ِام َّو للاِ َرسُو ُل ُم َح َّمدًا أ َ َّن َو للاُ إ‬
َّ ‫ال‬
َّ ‫ج‬
ِ‫الزكَاةِ َو ِإيتَاء‬, ِ ‫ت َو َح‬
ِ ‫ال َبي‬, ‫صو ِم‬
َ ‫ضانَ َو‬
َ ‫ر َم‬.
َ (‫)مسلم و البخاري رواه‬

Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhuma


berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Islam dibangun atas lima pekara. (1) Persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah,
dan Muhammad Rasul Allah, (2) mendirikan shalat, (3) mengeluarkan zakat, (4)
melaksanakan ibadah haji, dan (5) berpuasa Ramadhan”. [HR Bukhari dan Muslim].

Takhrij Hadits:

1. Shahihul Bukhari, Kitabul Iman, Bab al Iman wa Qaulin Nabiyyi Shallallahu


‘alaihi wa sallam ,“Buniyal Islamu ‘ala khamsin”, no. 8.
2. Shahih Muslim, Kitabul Iman, Bab Bayanu Arkanil Islam, no.16.
3. Sunan at Tirmidzi, Kitabul Iman, Bab Ma Ja’a fi Buniyal Islam, no. 2612.
4. Sunan an Nasaa-i, Kitabul Iman, Bab ‘Ala Kam Buniyal Islam, VIII/108.
5. Musnad Imam Ahmad, II/26, 93, 120, 143.
6. Al Humaidi, no. 703.
7. Ibnu Hibban, no. 158 dan 1446.

Menurut Imam Ibnu Daqiqil ‘Id (wafat th. 702 H), pada beberapa riwayat
disebutkan haji lebih dahulu daripada puasa. Hal ini keraguan dari perawi. Wallahu
a’lam. Oleh karena itu, ketika Ibnu ‘Umar mendengar seseorang mendahulukan
menyebut haji daripada puasa, ia melarangnya, lalu ia mendahulukan menyebut

7
puasa daripada haji. Ia berkata,”Begitulah yang aku dengar dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” [Muslim, no.16, 19].

Menurut Imam an Nawawi dalam syarahnya terhadap hadits ini, ia berkata:


“Demikianlah, dalam riwayat ini, haji disebutkan lebih dahulu dari puasa. Hal ini
sekadar tertib dalam menyebutkan, bukan dalam hal hukumnya, karena puasa
Ramadhan diwajibkan sebelum kewajiban haji. Dalam riwayat lain disebutkan puasa
lebih dahulu daripada haji”. [Syarah Muslim, I/178,179].

2. Hadits Shahih Lighoirihi

Hadits Shahih Lighoirihi adalah Hadits Hasan Lidzatihi yang diriwayatkan dari jalur
lain yang sama atau yang lebih kuat darinya, contohnya hadits yang derajatnya shahih
lighoirihi sebagai berikut;

‫عن‬َ ‫ي أ َ ِبي‬
َ ‫ض‬ ِ ‫ أ َ َّن للاُ ه َُري َرة َ – َر‬: – ُ‫عنه‬ َ ‫صلَّى َرسُو َل‬ َ ‫سلَّ َم‬
ِ ُ‫علَي ِه للا‬
َ – ‫للا‬ َ – ‫أ ُ َّمتِي‬
َ ‫ – َو‬، ‫ قَا َل‬: (( َ‫علَى أش َُّق أن لَول‬
‫علَى أَو‬
َ ‫اس – أل َ َمرت ُ ُهم‬ َ )) ‫علَي ِه متفق‬
ِ َّ‫صالَة كُ ِل َم َع ِبال ِس َواكِ الن‬ َ .

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam


bersabda, “Seandainya tidak memberatkan umatku—atau tidak memberatkan
manusia—, aku pasti memerintahkan mereka untuk bersiwak bersamaan dengan setiap
kali shalat.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 887 dan Muslim, no. 452]

ُ ‫عمرو ب ُن ُم َح َّمد‬ َ ‫سلَ َمةَ أ َ ِبي‬


َ ‫عن‬ َ ‫عن‬ َ ‫ِبال ِس َواكِ َأل َ َمرت َ ُهم أ ُ َّمتِي‬
َ ‫ قا َ َل م ص للاِ َرسُو َل أ َ َّن ه َُري َرة َ أ َ ِبي‬: َ‫علَى أَش َُّق أَن لَول‬
َ‫صالَة ُك ِل عِند‬َ “

“ Dari Muhammad bin amer dari abi salamah dari abu hurairah sesungguhnya rasulullah
saw bersabda: Kalaulah tidak memberatkan atas umatku pasti akanku perintahkan
kepada mereka bersiwak ketika setiap shalat”(HR. Tirmidzi, Kitab Thaharah).

Berkata Ibnu Shalah: Rawi yang bernama Muhammad bin amer bin alqomah
termasuk dari kalangan termasyhur (terkenal) karena kebenaran dan penjagaannya, akan
tetapi bukan termasuk dari “ahli itqan” sehingga sebagaian para ulama hadits
mendhaifkannya dari aspek jelek hafalannya, dan sebagiannya lagi mentsiqatkannya
karena kebenaran dan kemulyaannya, maka hadits ini hasan. Maka ketika digabungkan
dari berbagai hadits yang diriwayatkan dari jalur lain hadits ini menjadi shahih
lighoirihi.

8
d. Kedudukan Hadits Shahih
Para Ulama‟ sependapat bahwa hadist ahad yang shahih dapat dijadikan hujjah
untuk menetapkan syariat islam, namun mereka berbeda pendapat, Apabila hadist
kategori ini dijadikan untuk menetapkan soal-soal aqidah. Perbedaan di atas
berpangkal pada perbedaan penilaian mereka tentang faedah yang diperoleh dari
hadist ahad yang shahih, yaitu apakah hadist semacam itu member faedah qoth‟i
sebagaimana hadist mutawatir, maka hadist-hadist tersebut dapat dijadikan hujjah
untuk menetapkan masalah-masalah aqidah.Akan tetapi yang menganggap hanya
member faidah zhanni, berarti hadist-hadist tersebut tidak dapat dijadikan hujjah
untuk menetapkan soal ini.
B. HADITS HASAN
a. Pengertian Hadist Hasan
Secara bahasa (etimologi), kata Hasan (‫ )حسن‬merupakan Shifah Musyabbahah dari
kata al-Husn (‫ )ال ُحس ُن‬yang bermakna al-Jamâl (‫)الجمال‬: kecantikan, keindahan. Menurut
pendapat Ibnu Hajar, ”Hadist hasan adalah hadist yang dinukilkan oleh orang yang adil,
yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil.”
“setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh
sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syâdzdz(janggal/bertentangan dengan riwayat
yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami
dinamakan dengan Hadîts Hasan.”
Imam Tirmidzi mengartikan bahwa “setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya
tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak
Syâdzdz(janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari
satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan Hadîts Hasan”.
Menurut Al Khattabi. “Hadits yang diketahui orang yang mengeluarkannya, dikenal
rijalnya, merupakan jenis dari kebanyakan hadits, diterima oleh banyak ulama dan
diamalkan oleh para fuqaha secara umum.”
Dari uraian diatas maka dapat difahami hadits hasan adalah hadits yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya
tidak rancu dan tidak bercacat. Hadis sahih diriwayatkan oleh rawi yang sempurna daya

9
hafalnya yakni kuat hafalannya dan tingkat akurasinya, sedangkan rawi hadis hasan
adalah yang rendah tingkat daya hafalnya.
b. Kriteria Hadits Hasan
Kriteria-kriteria hadits hasan dibagi menjadi lima, yakni:
1. Periwayat (sanad) bersambung. Yang dimaksudkan dengan sanad bersambung
ialah sanad yang selamat dari keguguran. Dengan kata lain, tiap-tiap periwayat
dapat saling bertemu dan menerima secara langsung dari guru yang memberi.
Keadaan bersambung sanad ini berlaku dari awal sanad, thabaqat pertama (yakni
sahabat) hingga kepada periwayat terakhir yang menuliskan hadis tersebut ke
dalam kitabnya dengan menyebutkan nama-nama periwayat sebelumnya dari
thabaqat ke thabaqat tanpa tertinggal walaupun seorang periwayat (tidak
terputus).Jadi, mulai dari periwayat pertama hadis pada tingkatan sahabat sampai
kepada periwayat terakhir atau mukharrij, terdapat ketersambungan dalam
periwayatan.
2. Diriwayatkan oleh rawi yang adil. Mengenai masalah keadilan seorang
periwayat, maka menurut Syuhudi Ismail dapat diakumulasi dalam empat
kriteria, yaitu: a) beragama Islam, b) mukallaf, c) melaksanakan ketentuan
agama, d) memelihara muru’ah.
3. Diriwayatkan oleh rawi yang hafal (dhabith), tetapi tingkat kehafalannya masih
di bawah hadits shahih.
4. Tidak bertentangan dengan hadits dengan rawi yang tingkat dipercayanya lebih
tinggi atau Al-Qur'an. Menurut Imam al-Syafi’iy, hadis tidak mengandung syadz
adalah hadis itu diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya dari Nabi saw, bukan
sebaliknya, maka disyaratkan hadis hasan itu bersih dari pertentangan
periwayatan, karena apabila bertentangan dengan riwayat yang terpercaya, maka
hadis itu ditolak.
5. Tidak terdapat cacat (‘Illat). ‘Illat hadis, sebagaimana juga syadz hadis, dapat
terjadi pada matan, sanad, atau pada matan dan sanad sekaligus. Akan tetapi yang
terbanyak, ‘illat hadis terjadi pada sanad. Jadi, disamping terhindar dari syadz,
maka hadis hasan juga terhindar dari ‘illat.
c. Macam-macam Hadits Hasan

10
Hadits Shahih pula terdapat dua bagian:
1. Hadits Hasan Lidzatihi
Hadits hasan lidzatihi adalah hadits hasan yang sanadnya bersambung-
sambung dengann orang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat
syudzudz dan ‘illat. Dalam bahasa sederhananya, hadits hasan adalah hadits
yang perawinya terkenal dengan kebaikannya, namun daya ingat dan hafalan
perawinya belum sampai ke derajat para perawi yang shahih. Hadits hasan
lidzatihi dalam terminologi lain disebut sebagai hadits hasan dengan sendirinya.
Contoh hadits hasan lidzatihi adalah:
‫ قال هريرة أبي عن‬: ‫ سلم و عليه للا صلى للا رسول قال‬: (( ‫قبل للا إل إله ل أن شهادة من أكثروا‬
‫بينها و بينكم يحال أن‬, ‫)) موتاكم ها لقينو و‬
“Dari Abu Hurairah, beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Perbanyaklah bersyahadat Laa ilaaha illallahu (Tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah) sebelum kalian terhalangi
darinya. Dan ajarilah syahadat tersebut kepada orang yang sedang menghadapi
sakaratul maut diantara kalian.”

Hadits ini derajatnya hasan karena di sanadnya ada rowi yang bernama
Dhimam bin Isma’il.

Al Hafizh Adz Dzahabi rahimahullah berkomentar tentang dirinya :


“Shalihul hadits, sebagian ulama melemahkan dirinya tanpa hujjah”.

Abu Zur’ah Al ‘Iroqy rahimahullah dalam kitab Dzailul Kaasyif (hal


144)menukil komentar Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah terhadap Dhimam
bin Isma’il : “Shalihul hadits”. Dan juga komentar Abu Hatim rahimahullah :
“Shoduq dan ahli ibadah”. Dan juga komentar An Nasa’I rahimahullah : “Laa
ba’sa bihi”.

Al Hafizh Ibnu Hajar berkomentar tentangnya : “Shoduq tapi terkadang


salah (hafalannya)”

11
Maka hadits seperti ini minimal berderajat hasan.

(Disarikan dari At Ta’liqaat ‘alal Manzhumah Al Baiquniyyah karya Syaikh


Ali Hasan Al Halabi hafizhahullah hal. 22-23, cet. Daar Ibnul Jauzy)
2. Hadits Hasan Lighoirihi
Hadits Hasan Lighairihi adalah hadits hasan yang di dalam isnadnya terdapat
orang yang tidak diketahui keadaannya, tidak bisa dipastikan kelayakan atau
tidaknya. namun ia bukan orang yang lengah yang banyak berbuat salah dan tidak
pula berbuat dosa..
Hadits hasan li ghoirihi adalah hadits hasan yang derajat hasan nya tidak dengan
sendirinya tetapi dibantu oleh hadits lain yang telah memenuhi derajat hadits hasan.
Hadits hasan lighairihi dalam bahasa lain disebut dengan hadits hasan dengan
topangan hadits lain., contohnya hadits yang derajatnya hasan lighoirihi sebagai
berikut;
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
‫يب‬
ُ ِ‫الر َجا ِل ط‬ َ ُ‫ِى ِري ُحه‬
ِ ‫ظ َه َر َما‬ َ ‫يب لَونُهُ َو َخف‬
ُ ِ‫ساءِ َوط‬ َ َّ ُ‫ِى لَونُه‬
َ ِ‫ظ َهر َما الن‬ َ ‫ِري ُحهُ َو َخف‬

“Sifat parfum laki-laki, baunya nampak sedangkan warnanya tersembunyi.


Adapun sifat parfum wanita, warnanya nampak namun, baunya tersembunyi.” (HR.
Tirmidzi, no. 2787; An-Nasa’i, no. 5120.
Ada seorang perawi yang majhul -tidak disebut namanya- dalam hadits ini,
penguat hadits ini pun lemah menurut Al-Hafizh Abu Thahir. Namun Syaikh
Musthafa Al-‘Adawi dalam Jami’ Ahkam An-Nisa’, 4: 417 menyatakan bahwa hadits
ini hasan lighairihi yaitu melihat jalur yang lain). Lihat perbedaan penilaian dari Al-
Hafizh Abu Thahir dan Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Yang satu menyatakan dha’if.
Yang lainnya menyatakan hasan lighairihi. Keterangan dari Syaikh Musthafa Al-
‘Adawi rahimahullah: Syaikh Mustahafa dalam Jami’ Ahkam An-Nisa’ membawakan
hadits dengan riwayat berikut ini.

12
َّ ‫عن ال َحنَفِى َبكر أَبُو َحدَّثَنَا َب‬
‫شار ب ُن ُم َح َّمد ُ َحدَّثَنَا‬ َ ‫سعِيد‬ َ ‫عن‬ َ َ ‫ع ِن قَت َادَة‬
َ ‫س ِن‬
َ ‫عن ال َح‬ َ َ‫َقالَ ين َّ ُحص ب ِن عِم َران‬
‫ ال َّن ِبى لِى قَا َل‬-‫وسلم عليه للا صلى‬- « ‫ب خَي َر ِإ َّن‬ ِ ‫الر ُج ِل طِ ي‬
َّ ‫ظ َه َر َما‬ َ ُ‫ِى ِري ُحه‬َ ‫ب َوخَي َر َلونُهُ َو َخف‬
ِ ‫ساءِ طِ ي‬
َ ِ‫َما الن‬
َ ُ‫ِى لَونُه‬
‫ظ َه َر‬ ِ ‫األُر ُج َو‬
َ ِ‫ان مِيث َ َرة‬
َ ‫» ِري ُحهُ َو َخف‬. ‫عن َونَ َهى‬
“Muhammad ibn Bashar memberi tahu kami, Abu Bakr al-Hanafi memberi tahu
kami, dari Saeed, dari Qatada, dari Al-Hassan, dari Imran ibn Husain, yang berkata
rasulullah SAW bersabda "Sebaik-baik parfum untuk pria adalah yang
mengungkapkan aromanya tetapi warnanya tersembunyi, dan parfum terbaik untuk
wanita adalah yang terungkap warnanya tetapi aromanya tersembunyi." Dan dia
melarang Dan beliau melarang u/ seperti arjun (yang tidak ad warna dan baunya) HR.
Tirmidzi, hadits no. 2788
Isi haditsnya sama, namun dari sahabat ‘Imran bin Hushain.Syaikh Musthafa Al-
‘Adawi mengatakan,
“Dalam sanad hadits ini terdapat kedha’ifan karena tidak mendengarnya Al-
Hasan dari ‘Imran, akan tetapi hadits ini punya syawahid (penguat). Di antara
penguatnya adalah riwayat Tirmidzi, no. 2787; Abu Daud, no. 2174 dari hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, marfu’ -sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-
, juga dikeluarkan pula oleh An-Nasa’i. Juga hadits ini memiliki syahid (penguat)
dari hadits Anas sebagaimana diisyaratkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-
Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 3832. Hadits tersebut telah dishahihkan dalam
kitab tersebut. Hadits Abu Hurairah itu dihasankan oleh Imam Tirmidzi, padahal
terdapat kedha’ifan. Adapun hadits Anas disebutkan dalam Faidul Qadir bahwa
hadits tersebut diriwayatkan dari Al-Bazzar (ada tambahan pada Ath-Athbarani dan
Adh-Dhiya’), Al-Haitsami mengatakan perawinya adalah perawi yang shahih.”
Kesimpulannya, hadits yang jadi contoh di atas adalah hadits hasan lighairihi,
asalnya dha’if namun memiliki penguat dari jalur lain sehingga terangkat menjadi
hasan lighairihi.

d. Kedudukan Hadits Hasan


Menurut para ulama’ ahli hadits, bahwa hadits hasan, baik hasan li dzatih maupun
hasan li ghairih, juga dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu kepastian hukum,
yang harus diamalkan. Hanya saja terdapat perbedaan pandangan di antara mereka

13
dalam soal penempatan rutbah atau urutannya, yang disebabkan oleh kualitasnya
masing-masing. Ada ulama’ yang tetap mambedakan kualitas kehujjahan, baik antara
shahih li dzatih dan shahih li ghairih dengan hasan li dzatih dan hasan li ghairih

C. HADITS DHAIF
a. Pengertian Hadist Dhaif

Kata Dhaif menurut bahasa yang berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy yang
kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata Dhaif secara bahasa berarti Hadist yang lemah,
yang sakit atau yang tidak kuat. Secara Terminilogis, para ulama mendefinisikan secara
berbeda-beda. Akan tetapi pada dasarnya mengandung maksud yang sama, Sementara
Pendapat An-Nawawi : “Hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih
dan syarat-syarat Hadist Hasan”.

b. Pembagian Hadits Dhaif


1. Dhaif dari sudut sandaran matannya, maka hal ini terbagi dua macam, yaitu:
1) Hadits Mauquf, ialah Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, berupa perkataan,
perbuatan dan taqrirnya. Sebagai contoh Ibnu Umar berkata: Bila kau berada
diwaktu sore, jangan menunggu datangnya diwaktu pagi hari, dan bila kau berada
diwaktu pagi jangan menunggu datangnya waktu sore hari, Ambillah dari waktu
sehatmu persediaan untuk waktu sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk persediaan
matimu.” (Riwayat Bukhari)
2) Hadits Maqhtu, ialah Hadits yang diriwayatkan dari Tabi‟in, berupa perkataan,
perbuatan atau taqrirnya. Contoh : seperti perkataan Sufyan Ats-Tsaury, seorang
Tabi‟in: “Termasuk Sunnah, ialah mengerjakan sembahyang 12 rakaat setelah
sembahyang idul fitri , dan 6 rakaat sembahyang idul Adha.

2. Dhaif dari sudut matannya.


Hadits Syadz, ialah Hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah atau
terpercaya, akan tetapi kandungan haditsnya bertentangan dengan (kandungan
Hadits) yang diriwayatkan oleh para perawi yang lebih kuat ketsiqahannya.
Contohnya, “Rasulullah SAW, bila telah selesai sembahyang sunnat dua rakaat
fajar, beliau berbaring miring diatas pinggang kanannya”.

14
3. Dhaif dari salah satu sudutnya, baik sanad ataupun matan secara bergantian.
Yang dimaksud bergantian disini adalah ke-Dhaifan tersebut kadang-kadang
terjadi pada sanad dan kadang-kadang pada matan, yang termasuk hadits yaitu:
1) Hadits Maqlub, ialah Hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahkan hadits lain),
disebabkan mendahulukan dan mengakhirkan. Tukar menukar yang dikarenakan
mendahulukan sesuatu pada satu dan mengakhirkan pada tempat lain, adakalanya
terjadi pada matan hadits dan adakalanya terjadi pada sanad hadits. Contoh: Tukar
menukar yang terjadi pada matan , Hadits Muslim dari Abu Hurairah r.a Artinya: “...
dan seseorang yang bersedekah dengan sesuatu yang sedekah yang disembunyikan,
hingga tangan kanannya tak mengetahui apa-apa yang telah dibelanjakan oleh
tangan kirinya”. Hadits ini terjadi pemutarbalikan dengan Hadits riwayat Bukhari
atau riwayat Muslim Sendiri, pada tempat lain, yang berbunyi.
2) Hadits Mudraf Kata Mudraf menurut bahasa artinya yang disisipkan.Secara
terminologi hadits mudraf ialah hadits yang didalamnya terdapat sisipan atau
tambahan.
3) Hadits Mushahhaf Hadits Muhahhaf ialah Hadits yang terdapat perbedaan dengan
hadits yang diriwayatkan oleh tsiqah, karena didalamnya terdapat beberapa huruf
yang diubah. Pengubahan ini juga bias terjadi pada lafadz atau pada makna,
sehingga maksud hadits menjadi jauh berbeda dari makna, dan maksud semula.
4. Dhaif dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-sama
Yang termasuk hadits dhaif dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-sama yaitu:
1) Hadits Maudhu Hadits yang disanadkan dari Rasululah SAW secara dibuat-buat dan
dusta, padahal beliau tidak mengatakan, melakukan dan menetapkan.
2) Hadits Munkar Ialah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang
lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
terpercaya/jujur”.
5. Dhaif dari segi persambungan sanadnya
Hadits-hadits yang termasuk dalam kategori Dhaif atau lemah dari sudut
persambungan sanadnya ialah:

15
1) Hadits Mursal Hadits Mursal ialah hadits yang gugur sanadnya setelah tabi‟in. Yang
dimaksud gugur disini ialah nama sanad terakhir, yakni nama sahabat tang tidak
disebutkan, padahal sahabat adalah oang pertama menerima Hadits dari Rasulullah
SAW.
2) Hadits Mungqathi‟ Ialah Hadits yang gugur pada sanadnya. Seorang perawi atau
pada sanad tersebut disebutkan seorang yang tidak dikenal namanya.
3) Hadits Mu‟dhal Hadits yang gugur dua sanadnya atau lebih, secara berturut-turut,
baik (gugurnya itu) antara sahabat dengan tabi‟in, atau antara tabi‟in dengan tabi‟in.

c. Berhujjah dengan Hadits Dhaif


Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhaif bukan maudhu. Adapun
hadits dhaif bukan hadits maudhu‟ maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya
diriwayatkan untuk berhujjah.

D. HADITS MAUDHU’
Pengertian maudhu’ menurut bahasa (Hasby As-Shiddiqy, 1981:360) ialah yang
diletakkan, menggugurkan, meninggalkan dan berita bohong yang dibuat-buat. Hadits maudhu
adalah hadits yang dibuat-buat oleb para pendusta, dan mereka menyandarkannya kepada
Rasulullah. Hadits maudhu adalah hadits yang dibuat-buat oleb para pendusta, dan mereka
menyandarkannya kepada Rasulullah.Pemalsuan ini umumnya muncul karena kemauan si
pembuat sendiri, dengan kata- kata rekaannya dan sanad-sanad susunannya sendiri. Tidak jarang,
sebagiun dari mereka membuat-buat sanad rekaan yang berakhir kepada Nabi Saw. Dengan
melontarkan kata-kata mutiara yang indah, atau kalimat yang lengkap, atau pribahasa yang
ringkas padat, jika hayalan mereka tidak mendukung untuk membikin yang baru (Subhi As-
Shalih,1993:230). Pengakuan pembuatnya sendiri bahwa ia telah membuat hadits, seperti yang
dilakukan oleh Abu 'lsmah Nuh bin Abi Maryam yang mendapat julukan Nuh al-Jami'. Ia
mengaku telah memalsukan beberapa hadits tentang keutamaan al-Qur'an surat demi surat, yang
ia sandarkan kepada lbnu Abbas ra.

a. Ciri Hadits Maudhu’


1. Jika terdapat kejanggalan dalam redaksi atau kelemahan pada makna, itu adalah halyang
mustahil keluar dari orang yangpaling fasih, yakni Nabi Saw. Kaidahini mudah

16
dimengerti oleh orang-orangyang menggeluti bidang tersebut. Karena, sebuah hadits - .
sebagaimana dikatakan - oleh Ar-Rabi' bin Jutsaim-- "terang bagaikan terangnya siang,
bila anda mengenalnya. Tetapi, kelam bagai gelap malam, bila anda tidak mengenalnya".
2. Jika periwayatan itu bertentangan dengan akal atauperasaan atau persaksian, tanpa dapat
ditakwil. Pemah ditanyakan kepada Abdurrahman bin Zaid: "Apakah ayahmu
menceritakan sebuah hadits kepadamu yang bersumber dari kakekmu, bahwa Rasulullah
Saw. bersabda: "Perahu Nabi Nuh mengitari Baitullah dan melakukan shalat dua rakaat di
belakang maqam Ibrahim? Jawabnya: Ya." Hadits ini dibuat-buat oleh Abdurrahman bin
Zaid bin Aslam, seorang yang terkenal suka berbohong dan mengada-ada.
3. Jika periwayatan itu memuat ancaman keras terbadap perkara kecil, atau janji besar
terhadap perkara kecil, atau janji besar terhadap perkara sepele, seperti
langgeng di dalam sorga yang dibawahnya mengalir sungai dan dikerumuni oleh seribu
bidadari, bagi orangyang mengerjakan amalan sunat atau meninggalkan perkara makruh.
4. Jika pemalsu hadits itu memang terkenal suka berdusta, tipis iman agamanya, tidak takut-
takut membuat-buat hadits dan memalsukan sanad-sanad demi menuruti keinginan
pribadi

b. Sebab-sebab Pemalsuan Hadits dan Tanda-tanda Hadits Palsu


Munculnya pemalsuan hadits dimulai sejak tahun 41 H. Pada masa pemerintahan
Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. ketika kaum muslimin saling berselisih dan terpecah-
pecah dalam beberapa kelompok: Mayoritas kaum Muslimin, Khawarij dan Syi'ah.
Mereka banyak mengarang hadits untuk kepentingan golongan, bahkan sampai
mengatasnamakan Rasul. Sehingga Abdullah bin Yazid al- Muqri, berkata: "Ada seorang
ahli bid'ah setelah bertaubat berkata 'perhatikanlah hadits dari siapa kalian
mengambilnya. Sebab, biasanya kami (ahli bid'ah) bila telah menetapkan suatu pendapat,
kami menjadikanya sebagai hadits.' Sementara itu, Hammad bin Salmah berkata:
Seorang guru golongan Rafidlah memberitahukan kepadaku bahwa mereka sering
mengadakan pertemuan untuk memalsukkan hadits .
sebab pemalsuan hadits itu, antara lain:
1. Perselisihan politik dalam soal khilafah.

17
2. Zandaqah Dimaksud dengan zandaqah, rasa dendam yang bergelimang dalam
hati sanubari golongan yang ticlak menyukai kebangunan Islam clan kejayaan
peme rintahannya .
3. Ashabiyah. Yakni fanatik kebangsaan, kekabilaban, kebahasaan dan keimanan.
4. keinginan menarik minat para pendengar dengan jalan kisah-kisah, pengajaran-
pengajaran dan hikayat-hikayat yang menarik dan menakjubkan.
5. Perselisihan fuham dalam masalah fiqh dan rnasalah kalam.

Tanda-tanda pada sanad, diantaranya:

1. Perawi itu terkenal berdusta clan tiada yang diriwayatkan hadits yang ia
riwayatkan itu, oleh selainnya, yang kepercayaan.
2. Pengakuan perawi sendiri
3. Kenyataan sejarah mereka tak mungkin bertemu
4. Keadaan perawi-perawi sendiri serta pendorong-pendorong yang
mendorongnya kepada membuat hadits
Tanda-tanda pada matan (ma'na)
1. Rusaknya ma'na (sangat berlawanan dengan pendapat akal) . Apabila ma'na
suatu hadits demikian rusaknya, sehinggga tak masuk aka) rna'na yang serupa
datangnya dari Nabi Saw. maka hadits itu palsu.
2. Rusaknya Lafadh AJ-Hafidh Ibn Hajr menerangkan, bahwa dalam hal kejelekan
susunan ini, rnaka yang dititik-beratkan ialah kejelekan maim.a, bukan kejelekan
lafadh.
3. Menyalahi keterangan al-Qur'an yang_ terong tegas, keterangan Sunnah
Mutawatir clan Qaidah-qaidah kulliyah.
4. Menyalahi hakikat sejarah yang telah terkenal di masa Nabi Saw.
5. Sesuai hadits dengan rnadzhab yang dianut oleh rawi, sedang rawi itu pula orang
yang sangat fanatik kepada madzhab.
6. Mengandung urusan yang menurut seharusnya, kalau ada dinukilkan oleh orang
ramai.

18
BAB III
PENUTUP

Dari beberapa uraian diatas, maka dapatlah diambil beberapa kesimpulan.

1. Hadits shahih merupakan hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yanga adil dan dhabit hingga sampai
akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak berikat. Hadits shahih ini juga terbagi
menjadi dua macam yaitu shahih lizathihi dan shahih lighairi yang memiliki kedudukan
menjadi landasan atau petunjuk hidup setelah Al-qur’an

2. Hadits hasan merupakan hadits yang dinukilkan leh orang yang adil, tapi kurang kuat
ingatannya yang muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil. Hadits hasan ini juga
terbagi menjadi dua yaitu: Hadits Shahih lizathihi dan Hadits Shahih li-ghairihi. dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu kepastian hukum, yang harus diamalkan. Hanya
saja terdapat perbedaan pandangan di antara mereka dalam soal penempatan rutbah atau
urutannya, yang disebabkan oleh kualitasnya masing-masing.

3. Hadits Dhaif adalah, Hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih
dan hadits hasan. Atau dapat juga diartikan hadits yang kehilangan, satu syarat atau lebih
dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan.

4. Hadits maudhu’ adalah hadits palsu yang dategorikan sebagai hadits yang tidak bisa di
jadikan landasan hukum.

19
DAFTAR PUSTAKA
Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahu‟ul Hadits, Al-Ma‟arif, Bandung, Cet. V, 1987

Hamid, A. (2017). Globalisasi dan Tantangan Dakwah. Kordinat: Jurnal Komunikasi antar

https://almanhaj.or.id/12026-bangunan-islam-syarah-rukun-islam.html

https://rumaysho.com/14092-hadits-hasan-lighairihi.html

Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta: Pustakapelajar) 2009.

Perguruan Tinggi Agama Islam, 16(1).

Sabranun, MACAM - MACAM HADITS DARI SEGI KUALITASNYA Desa Sidoharjo


Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selat Lampung, Indonesia 35365
achmadsarbanun@gmail.com

Sajadi, Dahrun. 2009. Kajian ‘Ulumul-Hadits. Jakarta:Universitas Islam As-Syafi’iyah.

https://rumaysho.com/26217-hadits-hadits-tentang-siwak-dan-sunnah-fitrah.html

20

Vous aimerez peut-être aussi