Vous êtes sur la page 1sur 18

MAKALAH

FARMAKOLOGI MOLEKULER

MEKANISME MOLEKULER ASMA, PATOFISIOLOGI ASMA, DAN


PATOGEN PENYEBAB ASMA

DOSEN PENGAMPU:

apt. Desti Wulandari, M.Farm.

OLEH:

ENCIK NIAH KURNIAWATI : 10121006

HANNY EKA SRIANATA : 10121007

SANDI GUSTI ARIYANDA : 10121016

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HAR-KAUSYAR

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat serta hidayah-
Nya sehingga dalam pembuatan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Salam dan
shalawat semoga tetap tercurahkan kepada Rasul kita Rasulullah Muhammad SAW, kepada
sahabat-sahabatnya, dan kepada umatnya hingga akhir zaman. Semoga kita mendapat
syafa’atnya di Yaumul kiyamah nanti, Amin.

Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada dosen yang dengan kegigihan dan
keikhlasannya telah membimbing kami sehingga kami bisa mengetahui sedikit demi sedikit
apa yang sebelumnya kami tidak ketahui pada materi ini. Juga tak lupa teman-teman
seperjuangan yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Makalah ini kami buat dengan sedemikian mungkin dan jika ada kesalahan dalam penulisan
pada makalah ini, kami mohon maaf dan berharap serta memohon saran serta kritikan dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini kedepannya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Rengat Barat, November 2023

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ ii


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 2
C. Tujuan ......................................................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 3
A. Patofisiologi asma ....................................................................................................................... 3
B. Etiologi asma .............................................................................................................................. 4
C. Mekanisme Molekuler Asma ...................................................................................................... 6
D. Obat Asma .................................................................................................................................. 9
BAB III PENUTUP .............................................................................................................................. 11
A. Kesimpulan ............................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 12

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asma menjadi penyakit yang lebih umum sejak awal tahun 1990an. Dari tahun 1982 hingga
1992, angka penderita asma melonjak dari 34,7 menjadi 49,4 per seribu. [1] Prevalensi
asma di Amerika adalah sekitar 8%. [2] Ada juga beberapa tren yang beragam di seluruh
dunia di mana negara-negara berbeda mengalami peningkatan kasus atau mengalami
stagnasi. [3] Pada anak-anak, asma terutama terjadi pada laki-laki hingga usia 20 tahun,
dimana penyakit ini mempunyai prevalensi yang sama. Perbedaan pada masa kanak-kanak
dapat disebabkan oleh atopi, atau karena ukuran saluran napas anak laki-laki lebih kecil
dibandingkan anak perempuan. [4] Ada juga komponen riwayat keluarga yang menderita
asma. Namun, gen yang bertanggung jawab untuk mewarisi asma masih belum
teridentifikasi. Terdapat mekanisme fenotipe asma yang memiliki korelasi kuat dengan
faktor keturunan, namun mekanismenya lebih kompleks, karena asma tidak mengikuti pola
Mendel. Asma kemungkinan besar ditularkan oleh banyak gen, dengan beberapa variasi
heterogenitas lokus dan pewarisan poligenik yang menyebabkan ekspresi asma menjadi
beragam. Antibodi atopi atau IgE menyerang antigen atau polutan tertentu, yang dapat
menyebabkan penyakit. Penelitian telah menunjukkan bahwa asma berhubungan erat dengan
kadar total IgE serum. [5] Peningkatan respon IgE terhadap faktor lingkungan seperti tungau,
debu rumah, alergen hewan, jamur, hewan ternak, telah berkontribusi terhadap sensitisasi
asma yang memperburuk gejalanya dan menyebabkan peningkatan reaktivitas saluran
napas. Alasannya adalah adanya peningkatan paparan terhadap alergen ini, namun data
penyebabnya lebih sedikit. Polusi udara dan penyebab asma juga kurang jelas; Namun, ada
hubungannya antara merokok dan peningkatan risiko asma. [6] Yang cukup menarik,
obesitas menunjukkan hubungan linier positif antara asma dan peningkatan
BMI. [7] Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih
jelas tentang penyakit multifaktorial.

Asma kini telah menjadi penyakit kronis yang paling umum terjadi di negara-negara maju
dan menyerang lebih dari 10% orang dewasa. Karena penggunaan ICS yang lebih luas, angka
kematian akibat asma telah menurun meskipun di Inggris lebih dari 1000 kematian/tahun
disebabkan oleh asma, terutama pada orang lanjut usia. Meskipun kini terdapat pengobatan
yang efektif untuk asma, penyakit ini masih kurang terkontrol di masyarakat dengan gejala
dan eksaserbasi yang sering terjadi, sebagian besar disebabkan oleh buruknya kepatuhan
terhadap ICS[8]. Mayoritas pasien asma bersifat atopik dan memiliki pola peradangan alergi
pada saluran napasnya, mulai dari trakea hingga saluran napas perifer[9]. Peradangan alergi
didorong oleh limfosit CD4+ T helper-2 (Th2), yang mensekresi interleukin(IL)-4, IL-5 dan
IL-13 dan kadang-kadang disebut sebagai asma tipe 2 (T2), sedangkan beberapa pasien asma
tidak memilikinya. pola peradangan ini dan disebut sebagai asma non-T2, yang biasanya
berhubungan dengan penyakit yang lebih parah[10]. Heterogenitas asma kini telah diketahui

1
secara luas, namun sejauh ini sulit untuk menghubungkan mekanisme molekuler (endotipe)
dengan fenotipe klinis[11].

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana patofisiologi asma?
2. Apa saja etiologi asma?
3. Bagaimana mekanisme molekuler penyakit asma?
4. Apa saja terapi yang digunakan pada penyakit asma?

C. Tujuan
1. Mamahami patofisiologi asma
2. Mengetahui apa saja etiologi dari penyakit asma
3. Memahami mekanisme molekuler asma
4. Mengetahui terapi yang tepat untuk penyakit asma

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Patofisiologi asma
Asma adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas pada rangsangan tertentu, yang mengakibatkan peradangan, penyempitan ini
bersifat sementara [12]. Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermitten,
bersifat reversibel dimana trakea dan bronchi berespon secara hiperaktif terhadap stimuli
tertentu serta mengalami peradangan atau inflamasi [13].

Patofisiologi dari asma yaitu adanya faktor pencetus seperti debu, asap rokok, bulu binatang,
hawa dingin terpapar pada penderita. Benda-benda tersebut setelah terpapar ternyata tidak
dikenali oleh sistem di tubuh penderita sehingga dianggap sebagai benda asing (antigen).
Anggapan itu kemudian memicu dikeluarkannya antibody yang berperan sebagai respon
reaksi hipersensitif seperti neutropil, basophil, dan immunoglobulin E. masuknya antigen
pada tubuh yang memicu reaksi antigen akan menimbulkan reaksi antigen-antibodi yang
membentuk ikatan seperti key and lock (gembok dan kunci) [14].

Ikatan antigen dan antibody akan merangsang peningkatan pengeluaran mediator kimiawi
seperti histamine, neutrophil chemotactic show acting, epinefrin, norepinefrin, dan
prostagandin. Peningkatan mediator kimia tersebut akan merangsang peningkatan
permiabilitas kapiler, pembengkakan pada mukosa saluran pernafasan (terutama bronkus).
Pembengkakan yang hampir merata pada semua bagian pada semua bagian bronkus akan
menyebabkan penyempitan bronkus (bronkokontrikis) dan sesak nafas [14].

Penyempitan bronkus akan menurunkan jumlah oksigen luar yang masuk saat inspirasi
sehingga menurunkan ogsigen yang dari darah. kondisi ini akan berakibat pada penurunan
oksigen jaringan sehingga penderita pucat dan lemah. Pembengkakan mukosa bronkus juga
akan meningkatkan sekres mucus dan meningkatkan pergerakan sillia pada mukosa.
Penderita jadi sering batuk dengan produksi mucus yang cukup banyak [14].

Gambar patofisiologi asma

3
Gambar patofisiologi asma

B. Etiologi asma
Obstruksi jalan napas pada asma disebabkan oleh:
a. Kontraksi otot sekitar bronkus sehingga terjadi penyempitan napas.
b. Pembengkakan membrane bronkus
c. Bronkus berisi mucus yang kental

Asma bukan penyakit tunggal. Hal ini terdiri dari kelompok kelainan dengan berbagai
etiologi [15].

Asma Karena Alergen


Allergen penyebab asma (media IgE) adalah bentuk yang paling sering terjadi dari obstruksi
aliran udara ekspirasi. Pasien dengan asma yang disebabkan allergen sering ditandai dengan
atopik, seperti rhinitis alergi dan dermatitis alergi. Predisposisi genetik diperkirakan sering
terjadi pada pasien dengan riwayat keluarga asma. Eosinofil pada pemeriksaan darah perifer
dan meningkatnya konsentrasi IgE pada dalam plasma mendukung diagnosis penyakit atopi.
Kemungkinan, inhalasi antigen mencetuskan pelepasan mediator kimia dari sel mast,
menyebabkan brokokontriksi, edema mukosa bronkus, sekresi mukus kental.

1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu binatang, serbuk
bunga, bakteri, dan polusi.
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan dan obat-obatan tertentu seperti
penisilin, salisilat, beta blocker, kodein, dan sebagainya.
3. Kontaktan, seperti perhiasan, logam, jam tangan, dan aksesoris lainnya yang masuk
melalui kontak dengan kulit.

Asma Karena Aktivitas


Asma karena aktivitas atau gerakan badan menggambarkan pasien peningkatan reaktifitas
jalan nafas, di mana aktivitas fisik yang hebat menyebabkan menyempitnya jalan nafas
mendadak dan obstruksi aliran udara ekspirasi. Akhirnya, dapat menyebabkan spasme
4
bronkus. Asma karena aktivitas lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda karena
aktivitas fisik mereka yang lebih tinggi.

Asma Pada Malam Hari


Serangan asma pada malam hari berkaitan dengan perubahan tonus jalan nafas saat tidur,
variasi konsentrasi katekolamin dalam sirkulasi, reflux esophageal berkaitan dengan posisi
tidur telentang, atau tertahannya sekret jalan nafas karena tertekannya reflek batuk,
Meningkatnya kejadian kematian karena asma setelah tengah malam dan sebelum pagi
hari, menggambarkan fenomena ini.

Asma Karena Aspirin


Aspirin dan kebanyakan NSAID mempercepat terjadinya bronkospasme pada kira-kira
8-20% pada pasien dengan asma. Dalam 15 menit sampai 4 jam setelah injeksi paling sedikit
10 mg Aspirin, pada pasien yang sensitif akan terjadi obstruksi jalan nafas, hidung
tersumbat, dan rhinorrhea. Polip nasi, dapat terjadi pada pasien asma yang sensitif terhadap
aspirin, juga sering terjadi pada pasien yang tidak sensitif dengan aspirin. Aspirin yang
menyebabkan bronkokontriksi pada pasien asma berkaitan dengan bloking cyclooxygenase,
yang merubah arachidonic acid menjadi prostaglandin, di mana arachidonic acid ini
berkaitan dengan pembentukan bronkokonstriktor leukotrien. Tingginya kejadian
sensitifitas terhadap NSAID berkaitan dengan mekanisme yang meliputi bahwa obat tersebut
menghambat cyclooxygenase.

Kira-kira 5% pasien dengan asma sensitif terhadap bisulfat dan metabisulfat, yang digunakan
sebagai pengawet dan antioksidan pada industri – industri makanan. Bahan-bahan ini juga
terdapat dalam jumlah besar di dalam obat-obatan.

Asma Karena Pekerjaan


Asma adalah bentuk penyakit paru karena pekerjaan tersering yang terjadi di dunia,
mempengaruhi 5-10% penduduk dunia. Chlorine dan Ammonia adalah bahan yang paling
sering menjadi penyebab. Sensitif terhadap Latex dapat meningkatkan terjadinya obstruksi
aliran udara selama bekerja di kamar operasi. Misalnya orang yang bekerja di pabrik kayu,
polisi lalu lintas, penyapu jalanan.

Asma Karena Infeksi


Asma karena infeksi disebabkan karena meningkatnya resistensi jalan nafas, yang berkaitan
dengan penyakit inflamasi akut bronkus. Agen-agen penyebab mungkin virus, bakteri, atau
organisme Mycoplasma. Pembasmian organisme penyebab infeksi dapat menyebabkan
bronkokontriksi dengan cepat

Asma Karena Stress


Gangguan emosi dapat menjadi pencetus terjadinya serangan asma, selain itu juga dapat
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma harus segera diobati
penderita asma yang mengalami stres harus diberi nasehat untuk menyelesaikan masalahnya.

5
C. Mekanisme Molekuler Asma
Ada dua fase eksaserbasi asma, yaitu fase awal dan fase akhir. Fase awal dimulai oleh
antibodi IgE yang disensitisasi dan dilepaskan oleh sel plasma. Antibodi ini merespons
pemicu tertentu di lingkungan, seperti faktor risiko yang disebutkan di atas. Antibodi IgE
kemudian berikatan dengan sel mast dan basofil dengan afinitas tinggi. Ketika polutan atau
faktor risiko terhirup, sel mast melepaskan sitokin dan akhirnya mengalami
degranulasi. Yang dilepaskan dari sel mast adalah histamin, prostaglandin, dan
leukotrien. Sel-sel ini, pada gilirannya, mengontraksikan otot polos dan menyebabkan
penyempitan saluran napas. [16] Limfosit Th2 memainkan peran integral di mana mereka
menghasilkan serangkaian interleukin (IL-4, IL-5, IL-13) dan GM-CSF, yang membantu
komunikasi dengan sel lain dan mempertahankan peradangan. IL-3 dan IL-5 membantu
eosinofil dan basofil bertahan hidup. IL-13 terlibat dalam remodeling, fibrosis, dan
hiperplasia. [17] Dalam beberapa jam berikutnya, fase akhir terjadi, di mana eosinofil,
basofil, neutrofil, dan sel T pembantu dan memori semuanya juga terlokalisasi di paru-paru,
yang melakukan bronkokonstriksi dan menyebabkan peradangan. Sel mast juga memainkan
peran penting dalam membawa reaktan fase akhir ke tempat peradangan. [18] Penting untuk
mengenali kedua mekanisme ini untuk menargetkan terapi dan meringankan
bronkokonstriksi dan peradangan, tergantung pada tingkat keparahan penyakit. Menariknya,
mereka yang saluran napasnya lebih tebal dari waktu ke waktu mempunyai durasi penyakit
yang lebih lama karena saluran napasnya yang lebih sempit. [19] Akibat peradangan dan
bronkokonstriksi, terjadi penyumbatan aliran udara intermiten, yang mengakibatkan
peningkatan kerja pernapasan.

Hiperresponsif saluran napas merupakan ciri penting asma; ini adalah respons
bronkokonstriktor yang berlebihan, biasanya terhadap rangsangan yang berbeda. Ada
berbagai mekanisme yang menyebabkan hiperresponsif saluran napas. Beberapa
penjelasannya disebabkan oleh peningkatan histamin dari sel mast atau peningkatan massa
otot polos saluran napas. Selain itu, terdapat peningkatan tonus vagal dan peningkatan
kalsium bebas intraseluler yang selanjutnya meningkatkan kontraktilitas sel otot polos
saluran napas. [20] Untuk menilai hiperresponsif saluran napas, tes provokasi bronkus
digunakan untuk menentukan tingkat keparahannya. [21] Aspek ini signifikan secara klinis
karena adanya hiperresponsif saluran napas dikaitkan dengan penurunan fungsi paru-paru
yang lebih besar dan peningkatan risiko perkembangan dan eksaserbasi asma dari masa
kanak-kanak hingga dewasa. [22] Oleh karena itu, pengobatan yang ditargetkan dapat
dilakukan sejak dini untuk memerangi asma dan hiperresponsif. Semua mekanisme ini
bersama-sama sedikit mengubah kepatuhan paru-paru untuk meningkatkan kerja
pernapasan. Dikombinasikan dengan peradangan, sel darah putih granular, eksudat, dan
lendir yang menempati pohon bronkiolus, akan semakin sulit bagi seseorang untuk bernapas
dengan normal. Banyaknya miofibroblas yang menghasilkan kolagen akan menyebabkan
peningkatan epitel sehingga menyempitkan lapisan otot polos dan lamina
reticularis. [23] Akibatnya, terjadi peningkatan penebalan membran basal. Seseorang dapat
mengalami hambatan aliran udara yang tidak dapat diperbaiki, yang diyakini disebabkan oleh
renovasi saluran napas. [24]

6
SEL INFLAMASI
Banyak sel inflamasi direkrut dari darah ke dalam paru-paru pada asma dan PPOK di bawah
arahan faktor kemotaktik yang dilepaskan secara lokal. Sel-sel struktural di paru-paru,
termasuk sel epitel, sel endotel, dan fibroblas, juga melepaskan mediator inflamasi dan
secara aktif berpartisipasi dalam proses inflamasi. Pada asma dan PPOK, respons inflamasi
melibatkan imunitas bawaan (eosinofil, neutrofil, makrofag, sel mast, sel pembunuh alami,
γ -sel-T, sel limfoid bawaan, dan sel dendritik) dan imunitas adaptif (limfosit T dan B).

Sel mast
Sel mast adalah sel efektor utama pada asma melalui pelepasan beberapa mediator
bronkokonstriktor, seperti histamin, sisteinil-leukotrien (Cys-LT), dan prostaglandin (PG) -D2
[25]. Pada asma alergi, sel mast peka dengan pengikatan IgE ke permukaan reseptor IgE
dengan afinitas tinggi (Fcε R1) sehingga dapat dipicu oleh alergen, yang mengikat silang
reseptor IgE, atau oleh perubahan osmolalitas, misalnya setelah hiperventilasi latihan [26].
Sel mast mukosa direkrut ke permukaan saluran udara pada asma oleh faktor sel punca (SCF)
yang dilepaskan dari sel epitel, yang bekerja pada reseptor c-Kit yang diekspresikan pada sel
mast [27]. Sel mast juga melepaskan beberapa sitokin yang terkait dengan peradangan alergi,
termasuk IL-4, IL-5 dan IL-13, serta faktor pertumbuhan dan neurotropin, yang tampaknya
penting dalam respon akhir terhadap alergen. Keberadaan sel mast di otot polos saluran
napas telah dikaitkan dengan AHR [28]. Sel mast juga melepaskan beberapa protease, di
mana tryptase dan chymase adalah sel mast yang spesifik [29]. Tryptase bersifat
proinflamasi dan dapat berkontribusi pada asma, sedangkan chymase bersifat profibrotik
melalui aktivasi transforming growth factor (TGF)-β.

Makrofag
Makrofag sebagian besar berasal dari monosit darah yang bergerak ke paru-paru dan
berdiferensiasi secara lokal. Terdapat heterogenitas makrofag, dengan beberapa makrofag
memiliki profil proinflamasi, sedangkan yang lain bersifat anti-inflamasi, mendorong
perbaikan jaringan dan lebih bersifat fagositik. [30]. Terdapat plastisitas antara fenotipe-
fenotipe ini yang mungkin hilang pada penyakit. Namun, meskipun fenotipe makrofag yang
berbeda (M1, M2) telah dijelaskan pada tikus, ini tidak berlaku untuk manusia dan saat ini
ada kekurangan penanda untuk membedakan berbagai jenis makrofag secara andal [31].

Peran makrofag pada asma saat ini tidak pasti karena mereka mungkin memiliki efek
proinflamasi atau anti-inflamasi. Makrofag dapat diaktifkan oleh alergen melalui reseptor IgE
dengan afinitas rendah (Fcε RII). Makrofag memiliki kapasitas untuk memulai suatu jenis
respons inflamasi melalui pelepasan pola sitokin tertentu, tetapi sel-sel ini juga melepaskan
mediator antiinflamasi, seperti IL-10. Ada beberapa bukti bahwa sekresi IL-10 dapat
berkurang pada pasien dengan asma berat [32].

Sel dendritik
Sel dendritik adalah sel mirip makrofag khusus di epitel saluran napas, yang merupakan sel
penyaji antigen utama di saluran napas dan merupakan penghubung penting antara kekebalan
bawaan dan adaptif di paru-paru. [33]. Sel dendritik mengambil alergen, memprosesnya

7
menjadi peptida, dan bermigrasi ke kelenjar getah bening lokal di mana mereka menyajikan
peptida alergen ke limfosit-T yang tidak berkomitmen untuk memprogram produksi sel-T
spesifik alergen. Sel dendritik yang belum matang di saluran pernapasan mendorong
diferensiasi sel T pembantu (Th2) [32]. Sitokin timus stroma limfopoietin (TSLP) yang
dilepaskan dari sel epitel pada pasien asma memprogram sel dendritik untuk melepaskan
kemokin yang menarik sel Th2 ke dalam saluran napas. [34].

Eosinofil
Peradangan eosinofilik adalah ciri khas saluran napas asma [35]. Perekrutan eosinofil
melibatkan adhesi mereka ke sel endotel vaskular dalam sirkulasi bronkial melalui molekul
adhesi, migrasi ke submukosa di bawah arahan kemokin, seperti CCL11 (eotaxin) dan
CCL5 (RANTES) yang disekresikan dari sel epitel saluran napas dan aktivasi selanjutnya
serta kelangsungan hidup yang lama di saluran napas. IL-5 memainkan peran penting dalam
pembentukan eosinophil di sumsum tulang dan kelangsungan hidupnya di saluran napas.
IL-5 disekresikan oleh sel Th2 tetapi juga oleh sel limfoid tipe-2 bawaan (ILC2), yang diatur
oleh epitel alarmins daripada sel dendritik dan mungkin penting pada asma non-atopik
(intrinsik) [36]. Memblokir antibodi terhadap IL-5 dan reseptor nya menyebabkan penurunan
yang mendalam dan berkepanjangan pada eosinofil yang bersirkulasi dan dahak, tetapi tidak
terkait dengan berkurangnya AHR atau gejala asma [37]. Namun, pada pasien tertentu
dengan eosinofil saluran napas yang resisten terhadap steroid, ada penurunan eksaserbasi
yang nyata [38]. Eosinofil mungkin penting dalam pelepasan faktor pertumbuhan, seperti
TGF-β, yang terlibat dalam renovasi saluran napas dan dalam eksaserbasi tetapi mungkin
tidak berkontribusi pada AHR, yang tidak berkurang dengan terapi anti-IL-5.

Neutrofil
Peningkatan jumlah neutrofil teraktivasi ditemukan pada dahak dan saluran napas beberapa
pasien dengan asma berat, penderita asma yang merokok dan selama eksaserbasi, meskipun
ada sebagian pasien bahkan dengan asma ringan atau sedang yang memiliki dominasi
neutrofil [39]. Mekanisme peradangan neutrofil pada asma tidak pasti dan dapat dikaitkan
dengan penggunaan kortikosteroid dosis tinggi yang memperpanjang kelangsungan hidup
neutrofil di saluran napas atau karena infeksi bakteri [40]. Peradangan neutrofil pada asma
berat dapat diatur oleh sel Th17 dan peningkatan ekspresi IL-17A dan IL-17F dijelaskan
dalam saluran udara pasien dengan asma berat [41]. Peran neutrofil pada asma juga belum
jelas dan terapi anti-neutrofil sejauh ini tidak efektif secara klinis.

Limfosit
Limfosit-T memainkan peran yang sangat penting dalam mengoordinasikan respons
inflamasi pada asma melalui pelepasan pola sitokin tertentu (disebut T2-sitokin), yang
menghasilkan perekrutan dan kelangsungan hidup eosinofil dan dalam pemeliharaan
populasi sel mast di saluran napas. [42]. Sistem kekebalan tubuh yang naif dan sistem
kekebalan tubuh penderita asma cenderung mengekspresikan fenotipe Th2, sedangkan pada
saluran napas normal, sel Th1 mendominasi. Sel Th2, melepaskan IL-5, yang mendorong
peradangan eosinofilik dan IL-4 dan IL-13, yang mendorong pembentukan IgE. Sel T
regulator (Treg) menekan sel Th2 dan dapat berkurang pada asma. Sel ILC2 juga melepaskan

8
sitokin T2 dan telah diidentifikasi di saluran napas pasien asma [43]. ILC2 diatur oleh sitokin
epitel IL-25, IL-33 dan TSLP dan mungkin penting pada asma intrinsik dan berat. Seperti
dibahas di atas, sel Th17 juga meningkat pada pasien dengan asma berat dan dapat mengatur
peradangan neutrofil dengan menginduksi pelepasan CXCL8 dari sel epitel saluran napas
[40, 43]. Populasi yang berbeda dari sel CD4+ yang memproduksi IL-9 (Th9) meningkat pada
asma dan berperan dalam mempertahankan sel mast di saluran napas [44]. Limfosit B
menghasilkan IgE pada asma alergi di bawah arahan IL-4 dan IL-13 tetapi sel B yang
memproduksi IgE secara lokal di saluran udara juga telah diidentifikasi bahkan pada
penderita asma non-atopik [45]. Faktor pengaktifan sel B dari keluarga TNF (BAFF)
meningkat setelah tantangan alergen pada pasien asma, banyak yang mungkin berperan
dalam meningkatkan produksi IgE [46]. Limfosit B juga meningkat pada paru-paru PPOK,
terutama pada penyakit yang parah. Sel B diatur ke dalam folikel limfoid, yang terletak di
saluran udara perifer dan parenkim paru [47].

Sel struktural
Sel-sel struktural saluran napas, termasuk sel epitel, sel endotel, fibroblast, dan sel otot polos
saluran napas, juga merupakan sumber penting mediator inflamasi seperti sitokin dan
mediator lipid pada asma dan PPOK.. Sel epitel memainkan peran kunci dalam
menerjemahkan sinyal lingkungan yang dihirup ke dalam respons inflamasi saluran napas,
dan mungkin merupakan sel target utama untuk kortikosteroid inhalasi pada asma. [48,49]

Mekanisme seluler dan molekuler asma


Pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme seluler dan molekuler asma dan PPOK
penting untuk mendapatkan fenotip pasien yang lebih akurat dan untuk pengembangan terapi
baru dan lebih efektif di masa depan. Kebanyakan pasien asma merespon dengan baik
terhadap terapi ICS asalkan mereka meminumnya secara teratur, namun kortikosteroid adalah
terapi spektrum luas yang menargetkan banyak mekanisme inflamasi, sehingga mungkin
efektif dalam berbagai fenotipe asma yang berbeda. Peradangan eosinofilik, ditemukan pada
sebagian besar pasien asma, biasanya responsif terhadap terapi kortikosteroid, namun juga
ditemukan pada beberapa pasien PPOK, yang mungkin menunjukkan respons terhadap
terapi kortikosteroid, sedangkan sebagian besar pasien PPOK tidak menunjukkan respons
terhadap terapi kortikosteroid. Sekitar 5% pasien asma memiliki penyakit yang parah, yang
tidak memberikan respons terhadap terapi optimal dan tampaknya terdapat fenotipe yang
berbeda, termasuk pasien dengan eosinofil dominan, pasien dengan neutrofil dominan, atau
pasien tanpa peningkatan sel inflamasi, sehingga menunjukkan perlunya pengobatan yang
berbeda. Pasien dengan eosinofil tinggi yang tidak berespon terhadap steroid mungkin
menunjukkan respon klinis yang baik terhadap antibodi anti-IL-5, sedangkan mereka yang
memiliki peningkatan neutrofil dapat merespons makrolida [50].

D. Obat Asma
Pada prinsipnya tatalaksana asma dibagi menjadi 2, yaitu tatalaksana asma jangka panjang
dan tatalaksana asma eksaserbasi/ saat serangan. Tiga kategori obat yang digunakan untuk
tatalaksana asma jangka panjang adalah:

9
a. Obat pengontrol (controller): diberikan secara rutin setiap hari. Dapat mengurangi
inflamasi, mengontrol gejala dan mengurangi risiko eksaserbasi serta penurunan
fungsi paru.
b. Obat pelega (reliever): hanya diberikan bila timbul eksaserbasi untuk mengurangi
gejala. Dapat juga diberikan pada bronkokonstriksi yang diinduksi oleh latihan
(exercise-induced bronchoconstriction) sebagai pencegahan jangka pendek. Tujuan
utama dari tata laksana asma adalah mempertahankan penggunaan obat pelega
seminimal mungkin.
c. Add-on therapies: diberikan pada pasien asma berat dengan gejala atau eksaserbasi
yang persisten walaupun telah diberikan dosis tinggi kombinasi terapi kortikosteroid
inhalasi (ICS) dan agonis ẞ2 kerja lama (LABA) serta modifikasi faktor risiko.

Terapi inhalasi adalah bentuk obat pilihan untuk pasien asma karena dapat mencapai
konsentrasi tinggi di paru, efek samping sistemik yang lebih sedikit dan lebih ditoleransi
dibandingkan dengan bentuk sistemik.

Table kategori obat untuk terapi asma


Obat Pengontrol Obat Pelega Terapi Add-on
Agonis beta2 kerja singkat
Kortikosteroid inhalasi
(short acting 2 Terapi Anti IgE
(Inhaled corticosteroids/ICS)
agonist/SABA)
Kortikosteroid Oral/sistemik
Kombinasi ICS/LABA Short acting antikolinergik
(OCS)
(SAMA)
Leukotriene receptor
antagonists (LTRA)
Terapi Anti IL-5
Long acting anticholinergics
(LAMA)
Terapi special (spesifik
fenotip) dan intervensi di
Methylxanthines (teofilin)
pusat spesialistik

Gambar Cara kerja Obat

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Asma adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas pada rangsangan tertentu, yang mengakibatkan peradangan,
penyempitan ini bersifat sementara. Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif
intermitten, bersifat reversibel dimana trakea dan bronchi berespon secara hiperaktif
terhadap stimuli tertentu serta mengalami peradangan atau inflamasi.
2. Asma bukan penyakit tunggal. Hal ini terdiri dari kelompok kelainan dengan berbagai
etiologi yaitu asma karena alergen, asma karena aktifitas, asma pada malam hari,
asma karena aspirin, asma karena pekerjaan, asma karena stress, dan karena infeksi.
3. Pada prinsipnya tatalaksana asma dibagi menjadi 2, yaitu tatalaksana asma jangka
panjang dan tatalaksana asma eksaserbasi/ saat serangan.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Mannino DM, Homa DM, Akinbami LJ, Moorman JE, Gwynn C, Redd SC. Surveillance
for asthma--United States, 1980-1999. MMWR Surveill Summ. 2002 Mar 29;51(1):1-
13.
2. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Vital signs: asthma prevalence,
disease characteristics, and self-management education: United States, 2001--
2009. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2011 May 06;60(17):547-52.
3. Maio S, Baldacci S, Carrozzi L, Pistelli F, Angino A, Simoni M, Sarno G, Cerrai S,
Martini F, Fresta M, Silvi P, Di Pede F, Guerriero M, Viegi G. Respiratory
symptoms/diseases prevalence is still increasing: a 25-yr population study. Respir
Med. 2016 Jan;110:58-65.
4. Weiss ST, Gold DR. Gender differences in asthma. Pediatr Pulmonol. 1995
Mar;19(3):153-5.
5. Burrows B, Martinez FD, Halonen M, Barbee RA, Cline MG. Association of asthma
with serum IgE levels and skin-test reactivity to allergens. N Engl J Med. 1989 Feb
02;320(5):271-7.
6. Gilliland FD, Islam T, Berhane K, Gauderman WJ, McConnell R, Avol E, Peters JM.
Regular smoking and asthma incidence in adolescents. Am J Respir Crit Care Med. 2006
Nov 15;174(10):1094-100.
7. Camargo CA, Weiss ST, Zhang S, Willett WC, Speizer FE. Prospective study of body
mass index, weight change, and risk of adult-onset asthma in women. Arch Intern
Med. 1999 Nov 22;159(21):2582-8.
8. Price, D., Fletcher, M. dan van der Molen, T. (2014) Kontrol dan manajemen asma pada
8.000 pasien Eropa: survei REcognise Asthma and LInk to Symptoms and Experience
(REALISE). Pengobatan pernapasan perawatan primer NPJ. 24, 14009
9. Barnes, PJ (2011) Patofisiologi peradangan alergi. Immunol Rev. 242, 31-50
10. Wenzel, SE (2016) Munculnya jalur biomolekuler untuk mendefinisikan fenotipe asma
baru. Imunitas tipe-2 dan seterusnya. Am J Respir Cell Mol Biol. 55, 1-4
11. Lotvall, J., Akdis, CA, Bacharier, LB, Bjermer, L., Casale, TB, Custovic, A., Lemanske,
RF, Jr, Wardlaw, AJ, Wenzel, SE, dan Greenberger, PA (2011) Endotipe asma: sebuah
pendekatan baru untuk klasifikasi entitas penyakit dalam sindrom asma. J Allergy
Clin.Immunol. 127, 355-360
12. Abd. Wahid, Imam Suprapto (2013). Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan
Pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta: CV.Trans Media
13. Padila. (2013). Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha medika.
14. Astuti, Widya.2010.Asuhan Keperawatan Anak dengan Gangguan Sistem Pernapasa.
Jakarta:CV.Trans Info Media.
15. Stoelting, R.K. dan Hillier, S.C. 2006. Pharmacology and Physiology In Anesthetic
Practice. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
16. Liu MC, Hubbard WC, Proud D, Stealey BA, Galli SJ, Kagey-Sobotka A, Bleecker ER,
Lichtenstein LM. Respon inflamasi segera dan lambat terhadap tantangan antigen
ragweed pada saluran napas perifer pada penderita asma alergi. Perubahan seluler,
mediator, dan permeabilitas. Am Rev Respir Dis. 1991 Juli; 144 (1):51-8.
17. Zhu Z, Homer RJ, Wang Z, Chen Q, Geba GP, Wang J, Zhang Y, Elias JA. Ekspresi
interleukin-13 di paru menyebabkan peradangan, hipersekresi mukus, fibrosis subepitel,
kelainan fisiologis, dan produksi eotaxin. J Clin Investasikan. 1999 Maret; 103 (6):779-
88.

12
18. Stewart AG, Tomlinson PR, Fernandes DJ, Wilson JW, Harris T. Faktor nekrosis tumor
alfa memodulasi respons mitogenik otot polos saluran napas manusia yang dikultur. Am
J Respirasi Sel Mol Biol. 1995 Januari; 12 (1):110-9.
19. Melakukan DC, Solway J. Otot polos saluran napas dalam patofisiologi dan pengobatan
asma. J Appl Fisiol (1985). April 2013; 114 (7):834-43.
20. Melakukan DC, Solway J. Otot polos saluran napas dalam patofisiologi dan pengobatan
asma. J Appl Fisiol (1985). April 2013; 114 (7):834-43.
21. Brannan JD, Lougheed MD. Hiperresponsif saluran napas pada asma: mekanisme,
signifikansi klinis, dan pengobatan. Fisiol Depan. 2012; 3 :460.
22. Chapman DG, Irvin CG. Mekanisme hiper-responsif saluran napas pada asma: masa lalu,
sekarang, dan yang akan datang. Alergi Clin Exp. April 2015; 45 (4):706-19.
23. Kudo M, Ishigatsubo Y, Aoki I. Patologi asma. Mikrobiol Depan. 10 September
2013; 4 :263.
24. Limb SL, Brown KC, Wood RA, Wise RA, Eggleston PA, Tonascia J, Adkinson
NF. Defisit fungsi paru yang ireversibel pada dewasa muda dengan riwayat asma pada
masa kanak-kanak. J Alergi Klinik Imunol. Desember 2005; 116 (6):1213-9.
25. Arthur, G. dan Bradding, P. (2016) Perkembangan baru dalam biologi sel mast: implikasi
klinis. Chest. 150, 680-693
26. Galli, SJ dan Tsai, M. (2012) IgE dan sel mast pada penyakit alergi. Nat Med. 18, 693-
704
27. Reber, L., Da Silva, CA dan Frossard, N. (2006) Faktor sel punca dan reseptornya c-Kit
sebagai target untuk penyakit inflamasi. Eur J Pharmacol. 533, 327-340
28. Brightling , CE, Bradding, P., Symon, FA, Holgate, ST, Wardlaw, AJ dan Pavord, ID
(2002) Infiltrasi sel mast pada otot polos saluran napas pada asma. N.Engl.J Med. 346,
1699-1705
29. Caughey, GH (2016) Protease sel mast sebagai target farmakologis. Eur J Pharmacol.
778, 44-55
30. Morales-Nebreda,L., Misharin, AV, Perlman, H. dan Budinger, GR (2015) Heterogenitas
makrofag paru dalam kerentanan terhadap penyakit. Eur Respir Rev. 24, 505-509
31. Chana, K. K., Fenwick, PS, Nicholson, AG, Barnes, PJ dan Donnelly, LE (2014)
Identifikasi fenotipe makrofag paru yang tidak sensitif terhadap glukokortikosteroid yang
berbeda pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik. J Allergy Clin Immunol.
133, 207-216
32. Tomita, K., Lim, S., Hanazawa, T., Usmani, O., Stirling, R., Chung, K. F., Barnes, P. J.
dan Adcock, I. M. (2002) Produksi intraseluler IL-10 dan IL-12 yang dilemahkan pada
monosit dari pasien asma berat. Clin Immunol. 102, 258-266
33. Upham, JW dan Xi, Y. (2016) Sel dendritik pada penyakit paru-paru manusia: kemajuan
terkini. Dada
34. Hammad, H. dan Lambrecht, BN (2015) Sel epitel penghalang dan kontrol imunitas tipe
2. Imunitas. 43, 29-40
35. Rosenberg, HF, Dyer, KD dan Foster, PS (2013) Eosinofil: mengubah perspektif dalam
kesehatan dan penyakit. Nat Rev Immunol. 13, 9-22
36. Scanlon, ST dan McKenzie, AN (2012) Sel limfoid bawaan tipe 2: pemain baru dalam
asma dan alergi. Curr.Opin.Immunol. 24, 707-712
37. Leckie, MJ, ten Brincke, A., Khan, J., Diamant, Z., O'Connor, BJ, Walls, CM, Mathur,
M., Cowley, H., Chung, FK, Djukanovic, RJ, Hansel, TT, Holgate, ST, Sterk, PJ
dan Barnes, PJ (2000) Efek antibodi monoklonal penghambat interleukin-5 pada
eosinofil, hiperresponsif saluran napas, dan respons asma yang terlambat. Lancet. 356,
2144-2148

13
38. Ortega, HG, Liu, MC, Pavord, ID, Brusselle, GF, FitzGerald, JM, Chetta, A., Humbert,
M., Katz, LEE, Keene, ON, Yancey, SW dan Chanez, P. (2014) Pengobatan
mepolizumab pada pasien asma eosinofilik berat. N Engl J Med. 371, 1198-1207
39. Trejo Bittar, HE, Yousem, SA dan Wenzel, SE (2015) Patobiologi asma berat. Tinjauan
tahunan patologi. 10, 511-545
40. Barnes, PJ (2015) Pendekatan terapeutik untuk sindrom tumpang tindih penyakit paru
obstruktif kronik asma. J Allergy Clin Immunol. 136, 531-545
41. Al-Ramli , W., Prefontaine, D., Chouiali, F., Martin, J. G., Olivenstein, R., Lemiere, C.
dan Hamid, Q. (2009) T (H) 17-associated cytokines (IL-17A dan IL-17F) pada asma
berat. J Allergy Clin Immunol. 123, 1185-1187
42. Lambrecht, B. N. and Hammad, H. (2015) Imunologi asma. Imunologi alam. 16, 45-56
43. Smith, SG, Chen, R., Kjarsgaard, M., Huang, C., Oliveria, JP, O'Byrne, PM, Gauvreau,
GM, Boulet, LP, Lemiere, C., Martin, J , Nair, P. dan Sehmi, R. (2015) Peningkatan
jumlah sel limfoid bawaan kelompok 2 yang teraktivasi di saluran napas pasien dengan
asma berat dan eosinofilia saluran napas persisten. J Allergy Clin Immunol. 137, 75-86
44. Halwani , R., Al-Muhsen, S. dan Hamid, Q. (2013) Sel T helper 17 pada penyakit
saluran napas: dari meja laboratorium ke samping tempat tidur. Chest. 143, 494-501
45. Koch, S., Sopel, N. dan Finotto, S. (2016) Th9 dan sel penghasil IL-9 lainnya pada asma
alergi. Seminar dalam imunopatologi
46. Takhar, P., Corrigan, CJ, Smurthwaite, L., O'Connor, BJ, Durham, SR, Lee, TH dan
Gould, HJ (2007) Rekombinasi peralihan kelas pada IgE di mukosa bronkus pasien
atopik dan nonatopik dengan asma. J Allergy Clin.Immunol. 119, 213-218
47. Seys, LJ, Verhamme, FM, Schinwald, A., Hammad, H., Cunoosamy, DM, Bantsimba-
Malanda, C., Sabirsh, A., McCall, E., Flavell, L., Herbst, R , Provoost, S., Lambrecht,
BN, Joos, GF, Brusselle, GF dan Bracke, KR (2015) Peran faktor pengaktif sel B pada
penyakit paru obstruktif kronik. Am J Respir Crit Care Med. 192, 706-718
48. Kato, A., Xiao, H., Chustz, RT, Liu, MC dan Schleimer, RP (2009) Pelepasan lokal
faktor pengaktif sel B dari keluarga TNF setelah tantangan alergen segmental pada
subjek alergi. J Allergy Clin.Immunol. 123, 369-375
49. Hammad, H. dan Lambrecht, BN (2015) Sel epitel penghalang dan kontrol imunitas tipe
2. Imunitas. 43, 29-40
50. Brusselle, G. G., Vanderstichele, C., Jordens, P., Deman, R., Slabbynck, H., Ringoet, V.,
Verleden, G., Demedts, I. K., Verhamme, K., Delporte, A., Demeyere, B., Claeys, G.,
Boelens, J., Padalko, E., Verschakelen, J., Van Maele, G., Deschepper, E. dan Joos, GF
(2013) Azitromisin untuk pencegahan eksaserbasi pada asma berat (AZISAST): uji coba
acak tersamar ganda terkontrol plasebo multisenter. Thorax. 68, 322-329

14

Vous aimerez peut-être aussi